Disusun oleh:
Kelompok D1
PPDH Semester Ganjil Tahun 2019/2020
Periode 9 September – 5 Oktober 2019
Dosen pembimbing:
Dr. Drh. Sus Derthi Widhyari, MSi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ada banyak penyakit yang dapat menyerang kucing baik infeksius maupun
non infeksius. Salah satu jenis gangguan yang dapat terjadi adalah pada kucing
adalah feline eosinophilic granuloma complex (EGC). Eosinophilic granuloma
complex merupakan pola reaksi dermatologis pada kucing yang timbul karena
adanya reaksi seperti alergi hipersensitivitas dan sering diikuti dengan infeksi
sekunder. Plaque eosinofilik, granuloma eosinofilik, dan ulser eosinofilik dapat
dikelompokkan bersama menjadi eosinophilic granuloma complex (EGC).
Penyakit ini dianggap sebagai pola reaksi kulit yang dapat menjadi manifestasi dari
sejumlah infeksi yang mendasari, alergi atau infestasi ektoparasit. Hal ini juga dapat
idiopatik, yang tidak memiliki pemicu yang tidak diketahui. Reaksi eosinophilic
merupakan hal yang umum pada penyakit inflamantori pada kucing. Granuloma
eosinofilik bisa menjadi pola reaksi turun-temurun di beberapa ras kucing domestik
(Goljan 2011).
Eosinofilik adalah jenis sel darah putih yang umumnya terkait dengan
respon alergi atau dengan parasitisme. Jumlah eosinofil akan naik pada tes darah
ketika hewan peliharaan memiliki kutu atau cacing atau ketika mengalami alergi,
dan dapat menyebabkan sensasi gatal, bengkak, kemerahan dan gejala lain dari
alergi. Granuloma eosinofilik terbagi atas tiga kelas yang memiliki kondisi berbeda,
tidak semua berbentuk granuloma dan tidak semua mempunyai eosinofil. Selain itu,
munculnya lesi granuloma eosinophilik tidak menyiratkan penyebab spesifik.
Granuloma eosinofilik bisa muncul dari sejumlah kondisi kulit primer, meskipun
alergi adalah penyebab yang paling umum (Brooks 2013).
Berdasarkan hal tersebut, granuloma eosinofilik akan menjadi granuloma
yang dibentuk eosinofil dengan mekanisme yang lebih kompleks sehingga penting
untuk dipelajari dna diketahui lebih lanjut. Makalah ini akan menjelaskan mengenai
studi kasus penyakit feline eosinophilic granuloma complex (EGC) pada kucing
Boni.
Tujuan
Gejala Klinis
Gejala Klinis yang ditunjukkan pada kasus Boni, yaitu adanya tiga
benjolan yang muncul pada bagian tubuhnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Scott et al. (2001). EGC dapat ditandai dengan adanya peradangan, konsistensi
keras, dan ulcerasi pada bagian yang mengalami pembesaran. Berdasarkan White
(2013), EGC dapat berkonsistensi yang keras, eritematosa dan kadang kekuningan,
mempunyai batas yang baik dan distribusi linear. Kelainan berada pada daerah
kaudal dari paha, atau jarang di leher, dada, atau kaki depan. Setelah dibuat preparat
ulas dari bagian yang mengalami EGC, dapat terlihat eosinofil dengan
menggunakan mikroskop. Berdasarkan Scott et al. (2001), secara histologis, sering
terjadi epidermal yang parah dan folikel canthosis, eosinophilic eksositosis,
spongiosis, dan epidermis dan folikel mukinosis. Dermis mengalami infiltrasi
densely dengan eosinofil berhubungan dengan sel mast dan sebagian kecil
limfosit radang plasmasitik.
Sinyalemen Hewan
Nama : Boni
Jenis hewan : Kucing
Ras : Persia mix
Warna bulu & kulit : Hitam
Jenis kelamin : Jantan
3
Pemeriksaan Fisik
1. Status Present
1.1 Keadaan Umum
Perawatan : Baik
Habitus : Tulang punggung lurus
Tingkah laku : Jinak
Gizi : Baik
Pertumbuhan badan : Baik
Sikap berdiri : Tegak pada 4 kaki
Suhu tubuh : 38,4 °C
Frekuensi nadi : 180 x/ menit
Frekuensi napas : 40 x/ menit
Palpasi
- Turgor kulit : Baik (< 3 detik)
- Kondisi kulit : Ada 3 benjolan berdiameter ± 3 cm
4
Telinga
- Posisi : Tegak keduanya
- Bau : Khas cerumen
- Permukaan daun telinga : Tidak ada lesio
- Krepitasi : Tidak ada
- Refleks panggilan : Ada
Leher
- Perototan : Simetris
- Trakhea : Teraba
- Esophagus : Teraba, kosong
5
1.4 Thorak
1.4.1. Sistem Pernapasan
Inspeksi
- Bentuk rongga thorax : Simetris
- Tipe pernapasan : Costalis
- Ritme : Teratur
- Intensintas : Tidak ada perubahan
- Frekuensi : 40 x/ menit
Palpasi
- Penekanan rongga thorax : Tidak sakit
- Palpasi intercostal : Tidak ada reaksi batuk atau
sakit
Perkusi
- Lapangan paru-paru : Tidak ada perubahan
- Gema perkusi : Nyaring
Auskultasi
- Suara pernapasan : Suara vesicular terdengar
- Suara ikutan antara
in- dan ekspirasi : Tidak ada
Palpasi
- Epigastrikus : Tidak ada respon sakit
6
Auskultasi
- Peristaltik usus : Tidak ada hiperperistaltik
Anus
- Sekitar anus : Bersih
- Reflex spinchter ani : Ada
- Glandula perianalis kanan/ kiri anus : Tidak ada perubahan
- Kebersihan daerah perineal : Bersih
Kucing persia mix bernama Boni datang ke RSHP FKH IPB pada hari
Rabu, 18 Septermber 2019. Kucing tersebut berumur 1 tahun 9 bulan dan berjenis
kelamin jantan. Pemilik boni membawa Boni ke RSHP dengan keluhan 3 benjolan
pada daerah punggung. Setelah dilakukan administrasi di resepsionis, Boni
dilakukan pemeriksaan. Hampir semua hasil pemeriksaan menunjukkan hasil yang
baik, dan beberapa menunjukkan hasil yang tidak normal.
Boni memiliki frekuensi nadi sebanyak 180 kali per menit. Frekuensi
tersebut melebihi dari nilai normal. Menurut Widodo et al. (2017), frekensi nadi
kucing normal berada pada kisaran 110-130 kali per menit. Takikardi yang terjadi
pada Boni diduga terjadi karena Boni merasa stres saat dilakukan pemeriksaan oleh
orang baru. Posisi kepala boni miring ke kiri dan adanya inkoordinasi cara bergerak,
berjalan, dan berlari. Menurut anamnesis dari pemilik, Boni pernah mengalami
benturan pada umur 3 bulan. Hal tersebut yang diduga menjadi penyebab
inkoordinasi pada saat berjalan. Ada 3 benjolan berdiameter ± 3 cm. Benjolan
tersebut mulai terlihat pada bulan juli, bagian belakang dan tengah sudah pernah
kempes dan tumbuh lagi pada bulan akhir bulan agustus. Benjolan tersebut berisi
cairan dan diduga sebagai eosinophilic granuloma complex (EGC). Kemudian
dokter meminta untuk dilakukan pemeriksaan profil darah dan kimia darah.
Diagnosa Penunjang
Hasil profil darah merah (Tabel 1) dari Boni sebagian besar berada pada
kisaran normal kecuali trombosit. Boni mengalami trombositopenia karena
memiliki kadar trombosit sebesar 130 103/µ sedangkan nilai normal trombosit
berada pada kisaran 300 – 800 103/µ. Selain itu nilai mean platelet volume (MPV)
yang rendah juga menjelaskan bahwa Boni mengalami trombositopenia. Hasil
darah putih yang mengalami kelainan terlihat pada jumlah monosit. Boni
mengalami monositosis karena memiliki jumlah sebesar 5.5% sedangkan nilai
normal monosit pada kucing hanya berkisar antara 1-3%. Tingginya Monosit pada
9
profil darah boni diduga karena ada infeksi sekunder yang terjadi pada granuloma
yang berada di punggung Boni.
Hasil kimia darah dari boni juga menunjukkan nilai normal kecuali nilai
SGPT. Adanya peningkatan kadar SGPT dalam darah dapat menunjukkan
kerusakan hati akibat senyawa toksik (Lehninger 2004). Menurut anamnesis yang
bersumber dari pemilik, Boni pernah mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang
tidak sesuai. Obat yang diberikan dengan jenis dan dosis yang tidak sesuai dapat
menyebabkan obat tersebut berubah menjadi zat toksik dan merusak hati.
Diagnosis
History
Clinical Examination
Cytology
Histopatologi
Prognosa
Prognosis dari ECG sendiri dapat dikatan baik, karena lesi akan
menghilang dengan sendirinya, namun hal tersebut dapat berbahaya jika terjadi
infeksi sekunder.
10
Kausa Penyakit
Diferensial Diagnosa
Menurut Bloom (2006), granuloma pada kulit kucing yang paling umum
adalah feline military dermatitis (FMD) atau dan eosinophilic granuloma complex
(EGC). Kedua jenis ganggguan kulit tersebut memiliki kausa yang sama dan yang
paling umum adalah reaksi hipersensitivitas dari gigitan insekta, baik pinjal,
nyamuk, alergen, atau pakan. Alergen dari lingkungan biasanya menyebabkan
atopic dermatitis. EGC terdiri dari eosinophilic plaque (EP), eosinophilic
granuloma (EG), dan indolent ulcer (IU). Differensial diagnosa yang dapat
11
ditemukan adalah squamous cell carcinoma (SCC) dan ulser infeksius yang bias
disebabkan oleh feline herpesvirus. SCC adalah tumor malignant yang umum
terjadi pada kucing. Lesio yang terbentuk diduga disebabkan oleh kerusakan
sekunder akibat photo-carcinogenesis, kemudian berkembang menjadi karsinoma
in-situ (Spugnini et al. 2007). SCC sangat jarang bermetastase, tetapi memiliki
kecenderungan untuk berkembang menjadi ulserasi kanker. Kucing penderita feline
herpesvirus memiliki gejala klinis mirip dengan ECG berupa ulser di oral atau
korneal diikuti dengan bersin dan leleran nasal serta okuler. Selain itu, differensial
diagnosa lain yang menunjukkan gejala mirip ECG adalah canine facial
eosinophilic folliculitis dan furunculosis (Bloom 2006).
Terapi
Terapi yang diberikan pada kasus kucing Boni adalah dengan memberikan
antibiotik dan vitamin B. Antibiotik berfungsi untuk mencegah adanya infeksi
skunder yang dapat disebabkan oleh perlukaan yang ada pada granuloma. Vitamin
B berfungsi sebagai terapi penunjang untuk tetap meningkatkan dan
mempertahankan aktivitas tubuh. Pilihan terapi lain untuk EGC dapat berupa
penggunaan glukokortikoid, asam lemak esensial, siklosporin, chlorambucil,
aurothioglucose dan progestagen, telah direkomendasikan dalam literatur. Terapi
dapat dilakukan dengan melihat reaksi hipersensitivitas kucing tersebut baik
terhadap alergen, pakan, atau parasit. Penggunaan jangka panjang glukokortikoid
pada kucing dengan masalah kulit kronis harus dilakukan dengan hati-hati. Asam
lemak esensial (EFA) adalah asam lemak tak jenuh ganda yang merupakan fakto
nutrisi penting karena tidak dapat disintesis oleh tubuh. Siklosporin menghambat
proliferasi sel T dan pembentukan limfosit sitotoksik dan juga diduga menghambat
sel mast dan reaksi fase segera dan lanjut yang diperantarai IgE melalui penekanan
transduksi sinyal yang dimediasi kalsium (Krishnaveni 2016).
Pencegahan Penyakit
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Bloom PB, 2006. Canine and feline eosinophilic skin diseases. Veterinary Clinics:
Small Animal Practice. 36(1): 141-160.
Brooks W. 2013. Eosinophilic Granuloma Complex. Veterinary Information
Network.
Campbell KL. 2000. The Veterinary Clinics of North America : Small Animal
Practice: Dermatology. Philadelphia (US): WB Saunders
Goljan EF. 2011. Rapid Review Pathology. Philadelphia (US): Elsevier. 246.
Hunter T, Ward E. 2019. Eosinophilic Granuloma Complex in Cats. [internet].
[diunduh pada tanggal 29 September 2019]. Tersedia pada:
https://vcahospitals.com/know-your-pet/feline-eosinophilic-granuloma-
complex-in-cats.
Krishnaveni J. 2016. Case Study On Feline Eosinophilic Granuloma Complex.
Skripsi. Bogor (ID): Faculty Of Veterinary Medicine Bogor Agricultural
University Bogor.
Lehninger AL. 2004. Dasar-dasar Biokimia. Edisi ke-2. Jakarta (ID): Erlangga.
Medleau L, Hnilica KA. 2006. Small Animal Dermatology A Color Atlas and
Therapeutic Guide. St. Louis, Missouri (US): Saunders Elsevier.
Miller WH. 2014. Eosinophilic Granuloma Complex. New York (US): Cornell
University College of Veterinary Medicine, Ithaca. Hal 200-221.
Scott R, Danny W, Miller WH, Griffin JE. 2001. Muller & Kirk's Small Animal
Dermatology 6th Edition. Philadelphia (US): WB Saunders Company.35-
38.
Setiawan A. 2010. Implementasi Fuzzy Expert System untuk Analisis Penyakit
Kulit pada Hewan. Seminar Nasional Teknologi Informasi 2010.
Spugnini EP, Vincenzi B, Citro G, Tonini G, Dotsinsky I, Mudrov N, Baldi, A.,
2009. Electrochemotherapy for the treatment of squamous cell carcinoma
in cats: a preliminary report. The Veterinary Journal. 179(1): 117-120.
White SD. 2013. Eosinophilic Granuloma Complex in cats. Merck Veterinary
Manual. Merck & Co,Inc. New York (US). 50-53.
Widodo S, Sajuthi D, Choliq C, Wijaya A, Wulansari R, Lelana RPA. 2017.
Diagnostik Hewan Kecil. Bogor (ID): IPB Press.
13