Anda di halaman 1dari 44

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA Referat & Laporan Kasus

FAKULTAS KEDOKTERAN September 2019


UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFERAT : OBAT ANTIDEPRESAN


LAPORAN KASUS: GANGGUAN AFEKTIF BIPOLAR EPISODE KINI
DEPRESI BERAT TANPA GEJALA PSIKOTIK [F31.4]

Disusun Oleh:
Zulfah Hasanah
C014182256

Residen Pembimbing :
dr. Dessy Natalia

Supervisor Pembimbing :
dr. Erlyn Limoa, Sp. KJ, Ph. D

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Zulfah Hasanah

Stambuk : C014182256

Judul Referat : Obat Antidepresan

Judul Laporan Kasus : Gangguan Afektif Bipolar Episode Kini Depresi Berat tanpa

Gejala Psikotik [F31.4]

Telah didiskusikan dan disetujui untuk dipresentasikan tugas referat dan laporan kasus

dengan judul di atas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, September 2019

Supervisor Pembimbing Residen Pembimbing

dr. Erlyn Limoa, Sp. KJ., Ph.D. dr. Dessy Natalia

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat,

anugrah, dan karunia-Nya sehingga saya bisa menyelesaikan referat ini dengan baik dan

sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Saya mengucapkan terima kasih kepada dr.

Erlyn Limoa, Sp.KJ, Ph.D dan dr. Dessy Natalia selaku pembimbing di Ilmu Penyakit Jiwa

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar 2019.

Saya menyadari bahwa penulisan referat saya masih kurang sempurna. Untuk itu

saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca

agar kedepannya saya dapat memperbaiki dan menyempurnakan tulisan saya. Saya

berharap agar referat yang saya tulis ini berguna bagi semua orang dan dapat digunakan

sebaik-baiknya sebagai sumber informasi. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Makassar, September 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ................................................................................. i


Lembar Pengesahan ............................................................................ ii
Kata Pengantar ..................................................................................... iii
Daftar Isi ............................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................... 2
2.1 Definisi Antidepresar .................................................................... 2
2.2.Pemilihan Antidepresan ................................................................. 2
2.3 Mekanisme kerja antidepresan……………………………. ......... 3
2.3.1. Antidepresan golongan SSRI............................................... 3
2.3.2. Antidepresan golongan trisiklik........................................... 6
2.3.3. Antidepresan golongan tetrasiklik ....................................... 9
2.3.4. Antidepresan golongan MAOI ............................................ 10
2.3.5. Antidepresan golongan SNRI .............................................. 12
2.3.6. Antidepresan golongan atipikal ........................................... 14
BAB III KESIMPULAN ..................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 17
LAPORAN KASUS ............................................................................. 18

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan

alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan

nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak

berdaya, serta bunuh diri.1 WHO (2012) menyatakan bahwa depresi berada pada urutan

keempat penyakit paling sering di dunia. Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk

Indonesia sebesar 1,7 per mil. Penderita gangguan jiwa berat paling banyak terdapat di

Yogyakarta, Aceh, Sulawesi selatan, Bali, dan Jawa.1

Peningkatan penggunaan antidepresan berhubungan dengan peningkatan

pengetahuan, peningkatan kepekaan terhadap penyakit, diagnosis depresi yang lebih baik,

dan berkurangnya stigma penyakit yang melekat. Dan dapat terjadi juga karena

diperkenalkan obat antidepresan baru yaitu Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)

dan Serotonin norepinephrine reuptake inhibitor (SNRI), yang lebih toleransi dan memiliki

indikasi yang luas dibandingkan obat antidepresan yang telah beredar sebelumnya yaitu

trisiklik (TCA). Dalam beberapa tahun terakhir secara global, pola pengunaan antidepresan

telah berubah. Penggunaan obat – obatan konvensional seperti antidepresan Tricyclic

(TCA) dan Monoamine Oxidase Inhibitor (inhibitor MAO) secara perlahan mulai

digantikan oleh Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI), Serotonin norepinephrine

reuptake inhibitor (SNRI), dan jenis antidepresan lainnya.2

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Antidepresan


Antidepresan adalah obat-obat yang mampu memperbaiki suasana jiwa (mood) dengan
menghilangkan atau meringankan gejala keadaan murung. Dahulu obat-obat ini juga
disebut thymoleptika (Yun. Thymos = suasana jiwa ; analepsis = stimulasi). Anti depresan
merupakan obat yang efektif pada pengobatan depresi, meringankan gejala gangguan
depresi, termasuk penyakit psikis yang dibawa sejak lahir.3
Sindrom depresi disebabkan oleh defisiensi relative salah satu atau beberapa “aminergic
neurotransmitter” (noradrenalin, serotonin, dopamine) pada celah sinaps neuron di Sistem
Saraf Pusat (khususnya pada sistem limbik) sehingga aktivitas reseptor serotonin menurun.
Disinilah peran obat anti-depresi. Mekanisme kerja obat anti-depresi pada umumnya adalah
menghambat reuptake neurotransmitter aminergik, atau menghambat penghancurannya
oleh enzim monoamine oxidase. Sehingga hasil yang diharapkan adalah terjadinya
peningkatan jumlah neurotransmitter aminergik pada celah sinaps neuron tersebut, yang
pada akhirnya dapat meningkatkan aktivitas reseptor serotonin.4

2.2 Pemilihan Antidepresan


Pemilihan jenis obat anti depresi tergantung pada banyak faktor, toleransi pasien
terhadap efek samping dan penyesuaian terhadap kondisi pasien (usia, penyakit fisik
tertentu, dan jenis depresi), interaksi obat dan faktor harga. Sebaiknya dalam pemilihan
sediaan antidepressan perlu dilakukan evaluasi psikiatrik dan pemeriksaan kondisi medis
pasien secara menyeluruh. Mengingat profil efek samping, untuk penggunaan pada sindrom
depresi ringan dan sedang yang datang berobat jalan pada fasilitas pelayanan kesehtaan
umum, pemilihan obat anti depresi sebaiknya mengikuti urutan (step care).
a. Step 1 : golongan SSRI
b. Step 2 : golongan trisiklik
c. Step 3 : golongan tetrasiklik, atau golongan atipikal, atau golongan MAOI

2
Pertama-tama menggunakan golongan SSRI yang efek sampingnya sangat minimal
(meningkatkan kepatuhan mium obat, bisa digunakan pada berbagai kondisi medik),
spectrum efek anti-depresi luas, dan gejala putus obat minimal, serta “lethal dose” yang
tinggi (>6000 mg) sehingga relatif aman.
Bila telah diberikan dengan dosis yang adekuat dalam jangka waktu yang cukup (sekitar
3 bulan) tidak efektif, dapat beralih ke pilihan kedua, golongan trisiklik, yang spektrum anti
depresinya juga luas tetapi efek sampingnya relatif lebih berat.
Bila pilihan kedua belum berhasil, dapat beralih ketiga dengan spektrum antidepresi
yang lebih sempit, dan juga efek samping lebih ringan dibandingkan trisiklik, yang teringan
adalah golongan MAOI. Disamping itu juga dipertimbangkan bahwa pergantian SSRI ke
MAOI membutuhkan waktu 2-4 minggu istirahat guna mencegah timbulnya “serotonin
malignat syndrome”.5

2.3 Mekanisme Kerja Antidepresan


2.3.1 Antidepressan golongan SSRI
a. Mekanisme kerja
Golongan obat SSRI bekerja secara spesifik menghambat ambilan serotonin
oleh pengangkut serotonin. Pengangkut serotonin merupakan suatu glikoprotein
transmembran yang terbenam di membran ujung akson dan badan sel neuron
yang melakukan pelepasan serotonin di dalam sel. Selektive Serotonin Reuptake
Inhibitors (SSRI) menghambat pengangkutan dengan mengikat reseptor di luar
tempat pengikatan aktif untuk serotonin. Golongan obat ini kurang
memperlihatkan pengaruh terhadap sistem kolinergik, adrenergik atau
histaminergik, sehingga efek sampingnya lebih ringan.6

3
SSRI

Gambar 2.1 Mekanisme Kerja Antidepressan Golongan SSRI7

Sesuai dengan gambar 2.1., mekanisme kerja SSRI adalah mencegah


reuptake dari serotonin, yang mengarah ke peningkatan konsentrasi
neurotransmitter di celah sinaps. Antidepresan, termasuk SSRI, biasanya butuh
waktu setidaknya 2 minggu untuk menghasilkan peningkatan yang signifikan
dalam suasana hati, dan manfaat maksimal mungkin membutuhkan sampai 12
minggu atau lebih.7
b. Cara pemberian
Pemberian SSRI dimulai dengan dosis kecil yang ditingkatkan secara
bertahap 2-3 minggu. Reaksi optimal didapat setelah 4-6 minggu. Pada pasien
usia lanjut, disfungsi ginjal dan hepar, berikan dosis rendah. Dapat dimulai
dengan dosis tunggal 10 mg pada pagi hari. Dosis dapat ditingkatkan secar
bertahap setelah 2 minggu pemberian menjadi 20 mg, 40 mg, dan dosis maksimal
adalah 60 mg.8
c. Efek samping
Efek sedasi, otonomik, kardiologik sangat minimal. Biasa diberikan pada pasien
usia dewasa dan usia lanjut, atau yang dengan gangguan jantung, berat badan
lebih dan keadaan lain yang menarik manfaat dari efek samping yang minimal
tersebut.4
d. Contoh obat golongan SSRI antara lain:
 Fluoxetin
Beberapa pasien mungkin akan merasakan peningkatan energi setelah meminum
obat ini sebaiknya diberikan pada pagi hari. Sebagai antidepresan, efeknya tidak

4
segera. Biasanya butuh waktu 2-4 minggu baru menunjukkan efek. Jika obat ini
tidak menunjukkan efek dalam waktu 6-8 minggu pengobatan, mungkin dosis
obatnya harus dinaikkan, atau mungkin obatnya sebaiknya disubstitusi dengan
obat antidepresan lain. Obat ini dapat digunakan untuk penggunaan dalam waktu
yang lama untuk mencegah kekambuhan.9
Dosis lazim: 20 mg sehari pada pagi hari, maksimum 40 mg/hari
Kontra Indikasi: hipersensitif terhadap fluoxetin, gagal ginjal yang berat,
penggunaan bersama MAO.
Interaksi Obat: MAO, Lithium, obat yang merangsang aktivitas SSP, anti
depresan, triptofan, karbamazepin, obat yang terkait dengan protein plasma.
Perhatian: penderita epilepsi yang terkendali, penderita kerusakan hati dan
ginjal, gagal jantung, jangan mengemudi / menjalankan mesin.9
 Sertralin
Dosis lazim: 50 mg/hari bila perlu dinaikkan maksimum 150 mg/hr.
Kontra Indikasi: Hipersensitif terhadap sertraline.
Interaksi Obat: MAO, Alkohol, Lithium, obat seretogenik.
Perhatian: pada gangguan hati, terapi elektrokonvulsi, hamil, menyusui,
mengurangi kemampuan mengemudi dan mengoperasikan mesin.9
 Citalopram
Obat ini biasanya butuh waktu 2-4 minggu baru menunjukkan efek. Jika obat ini
tidak menunjukkan efek dalam waktu 6-8 minggu pengobatan, mungkin dosis
obatnya harus dinaikkan, atau mungkin obatnya sebaiknya disubstitusi dengan
obat antidepresan lain. Obat ini dapat digunakan untuk penggunaan dalam waktu
yang lama untuk mencegah kekambuhan. Nama dagang obat ini adalah cipram
dan tersedia dalam sediaan tablet 20 mg.9
Dosis lazim: 20 mg/hari, maksimum 60 mg /hari.
Kontra indikasi: hipersensitif terhadap obat ini.
Interaksi Obat: MAO, sumatripan, simetidin.

5
Perhatian: kehamilan, menyusui, gangguan mania, kecenderungan bunuh diri.9

 Fluvoxamine
Mekanisme kerja obat ini memungkinkan efek segera dalam terapi insomnia atau
cemas. Namun sebagai antidepresan, efeknya tidak segera. Biasanya butuh waktu
2-4 minggu baru menunjukkan efek. Jika obat ini tidak menunjukkan efek dalam
waktu 6-8 minggu pengobatan, mungkin dosis obatnya harus dinaikkan, atau
mungkin obatnya sebaiknya disubstitusi dengan obat antidepresan lain. Obat ini
dapat digunakan untuk penggunaan dalam waktu yang lama untuk mencegah
kekambuhan. Nama dagang obat ini adalah luvox dan tersedia dalam sediaan
tablet 50 mg.9
Dosis lazim: 50 mg dapat diberikan 1x/hari sebaiknya pada malam hari,
maksimum dosis 100 mg/hari.
Interaksi Obat: warfarin, fenitoin, teofilin, propanolol, litium.
Perhatian: Tidak untuk digunakan dalam 2 minggu penghentian terapi MAO,
insufiensi hati, tidak direkomendasikan untuk anak dan epilepsi, hamil dan
laktasi.9

2.3.2 Antidepresan Trisiklik (TCA)

a. Mekanisme kerja TCA


Mekanisme kerja obat golongan ini pada umumnya ada dua, yaitu:
 Menghambat uptake neurotransmitter: TCA menghambat ambilan norepinefrin
dan serotonin ke dalam saraf presinaps terminalis.
 Menghambatan reseptor: TCA juga menghambat reseptor serotonik, adrenergik,
histaminik, dan muskarinik. Tidak diketahui jika salah satu tindakan
menghasilkan manfaat terapi TCA tersebut. Namun, aktivitas pada reseptor-
reseptor ini mungkin bertanggung jawab untuk banyak efek samping dari obat
ini.7

6
Gambar 2.2 Mekanisme Kerja Antidepressan Golongan TCA7

Dari gambar 2.2. dapat dilihat efek obat yang menghambat neuronal uptake of
noradrenaline dan menyebabkan aktifitas antikolinergik, menghambat neuronal
uptake dari 5HT, dan juga menghambat reseptor serotonergik, α-adrenergik,
histaminik, dan muskarinik. Mekanisme kerjanya yang pasti tidak diketahui.
Antidepresan ini efeknya terlihat setelah tiga sampai empat minggu dari
pemberian obat.7
b. Efek samping
Karena TCA menghambat neuron kolinergik pada sistem saraf, sehingga
menimbulkan efek samping antikolinergik, yaitu mulut dan kulit kering,
penglihatan kabur, konstipasi, dan susah buang air kecil. Pasien juga dapat
merasakan pusing. Pusing disebabkan oleh efek obat yang dapat menurunkan
tekanan darah sehingga menyebabkan hipotensi ortostatik. Kenaikan berat badan
juga merupakan masalah yang lain, terutama pada penggunaan Elavi
(amitriptylin), Pamelor (nortriptilin), dan sinequan (doxepin). Efek samping
laiannya adalah narrow-angle glaucoma, aritmia jantung. Pada pasien dengan

7
riwayat kejang maka TCA harus monitor karena antidepresan TCA dapat menjadi
pemicu terjadinya kejang. Secara umum, efek samping sedatif, otonomik,
kardiologik pada trisiklik relative besar sehingga sebaiknya diberikan pada pasien
usia muda yang lebih besar toleransi terhadap efek samping tersebut.4
c. Cara pemberian
Pemberian TCA dimulai dengan dosis rendah yang ditingkatkan dengan dosis
rendah yang ditingkatkan secara bertahap setelah 7-10 hari tidak reaksi. Bila
stelah 2 minggu masih tidak ada reaksi, dosis boleh ditingkatkan lagi. Pada usia
lanjut dan pasien dengan gagal ginjal dan hepar, berikan dalam dosis kecil dan
titrasi yang lebih bertahap untuk meminimalkan toksisitas. Penghentian obat
secara mendadak dapat menyebabkan fenomena rebound pada efek samping
kolinergik, oleh karena itu turunkan dosis secara bertahap sebanyak 25-50 mg
setiap 3-7 hari.4
d. Contoh obat golongan antidepresan trisiklik
 Amitriptilin
Efektivitas obat ini dikenal mirip dengan imipramine, yaitu dapat menunjukkan
efek segera dalam terapi insomnia atau cemas. Namun sebagai antidepresan,
efeknya tidak segera. Biasanya butuh waktu 2-4 minggu baru menunjukkan efek.
Jika obat ini tidak menunjukkan efek dalam waktu 6-8 minggu pengobatan,
mungkin dosis obatnya harus dinaikkan, atau mungkin obatnya sebaiknya
disubstitusi dengan obat antidepresan lain. Obat ini dapat digunakan untuk
penggunaan dalam waktu yang lama untuk mencegah kekambuhan.9
Dosis: 75 – 300 mg/hari
Kontra Indikasi: penderita koma, diskrasia darah, gangguan depresif sumsum
tulang, kerusakan hati, penggunaan bersama dengan MAO.
Interaksi Obat: bersama guanetidin meniadakan efek antihipertensi, bersama
depresan SSP seperti alkohol, barbiturate, hipnotik atau analgetik opiate

8
mempotensiasi efek gangguan depresif SSP termasuk gangguan depresif saluran
napas, bersama reserpin meniadakan efek antihipertensi.
Perhatian: ganguan kardiovaskular, kanker payudara, fungsi ginjal menurun,
glakuoma, kecenderungan untuk bunuh diri, kehamilan, menyusui, epilepsi.9
 Tianeptine
Obat ini meskipun diklasifikasikan kedalam golongan trisiklik, namun secara
farmakologis sedikit berbeda. Obat ini memodulasi neurotransmisi glutamatergik
melalui potensiasi reseptor AMPA.9
Dosis: 25 – 50 mg/hari
Kontra Indikasi: anak <15 tahun. Pemberian bersama MAOI.
Interaksi Obat: MAOI.
Perhatian: ibu hamil maupun laktasi. Pasien harus diawasi selama fase awal
pengobatan karena adanya risiko bunuh diri pada pasien depresi. Dapat
mengganggu kemampuan mengemudi atau menjalankan mesin. Bila terapi akan
dihentikan, turunkan dosis secara bertahap. Hentikan penggunaan obat 24-48 jam
sebelum pembedahan dengan anestesi umum.9

2.3.3 Antidepressan Tetrasiklik


a. Mekanisme kerja
Secara umum, mekanisme kerjanya sebagai antagonis pada prasinaptic a2-
adrenergik autoreseptor dan heteroreceptor sehingga meningkatkan aktivitas
neurotransmisi, noradrenergik dan serotonergik.5
b. Efek samping
Tetrasiklik memiliki efek yang sama dengan trisiklik, tetapi mempunyai efek
samping lebih sedikit. Efek samping yang paling sering adalah mengantuk,
mulut kering, konstipasi, dan nafsu makan meningkat, serta asthenia, agitasi,
bingung, atau pusing. Efek samping otonomik dan kardiologik relative kecil,
efek sedasi lebih kuat, dapat diberikan pada pasien yang kondisinya kurang
tahan terhadap efek otonomik dan kardiologik (usia lanjut).5

9
c. Contoh obat antidepressan golongan tetrasiklik
Mianserin
Mekanisme kerja obat ini memungkinkan efek segera dalam terapi insomnia
atau cemas. Namun sebagai antidepresan, efeknya tidak segera. Biasanya butuh
waktu 2-4 minggu baru menunjukkan efek. Jika obat ini tidak menunjukkan
efek dalam waktu 6-8 minggu pengobatan, mungkin dosis obatnya harus
dinaikkan, atau mungkin obatnya sebaiknya disubstitusi dengan obat
antidepresan lain. Obat ini dapat digunakan untuk penggunaan dalam waktu
yang lama untuk mencegah kekambuhan.9
Kontra Indikasi: mania, gangguan fungsi hati.
Interaksi Obat: mempotensiasi aksi depresan SSP, tidak boleh diberikan
dengan atau dalam 2 minggu penghentian terapi.
Perhatian: dapat menganggu psikomotor selama hari pertama terapi, diabetes,
insufiensi hati, ginjal, jantung.9

2.3.4 Anti depressan golongan Mono Amine Oxydase Inhibitor (MAOI)


a. Mekanisme kerja
Obat ini diserap dengan baik dengan pemberian peroral. Regenerasi enzim
bervariasi, tapi biasanya terjadi beberapa minggu setelah penghentian obat.
Dengan demikian, ketika beralih pada obat antidepresan lainnya, harus tunggu
minimal 2 minggu setelah penghentian terapi MAOI kemudian diperbolehkan
untuk mengganti obat anti-depresi. MAOI pada umumnya dimetabolisme di
hepar dan diekskresikan dengan cepat dalam urin.7

10
MAOI menyebabkan peningkatan cadangan norepinefrin, serotonin, dan
dopamine di dalam neuron dan difusi selanjutnya kelebihan neurotransmitter ke
dalam ruang sinaptik. Obat ini menghambat tidak hanya MAO di otak tetapi
juga MAO dalam hati dan usus yang mengkatalisis oksidatif deaminasi obat dan
zat yang potensial beracun, seperti tyramine, yang ditemukan dalam makanan
tertentu. MAOI menunjukkan tingginya insiden interaksi obat dengan obat dan
interaksi obat dengan makanan.7

Gambar 2.3 Mekanisme Kerja Antidepressan Golongan MAO Inhibitor 7

Gambar 2.3. menjelaskan mekanisme kerja obat golongan MAOI. Tanpa


pemberian obat ini, MAO akan berfungsi untuk menginaktivasi monoamine
(norepinefrin, serotonin, dan dopamine) yang keluar dari vesikel sinaps. Namun
jika obat MAOI diberikan kepada pasien dengan depresi, obat ini akan bekerja
untuk mencegah proses inaktivasi monoamine dalam suatu neuron,
menghasilkan peningkatan neurotransmitter pada celah sinaps.7

11
b. Efek samping
Akibat kenaikan monoamine di reseptor otak dan tubuh memicu aktivitas
serotonin di pusat-pusat tidur menyebabkan insomnia. Dan memicu aktivitas
yang tidak diinginkan dari norepinephrine pada otot polos pembuluh darah
menyebabkan perubahan tekanan darah. Efek samping obat ini umumnya terjadi
langsung, namun berangsur membaik seiring waktu.9

c. Contoh obat antidepressan golongan MAOI


Moclobemid
Obat ini sebagai antidepresan, efeknya tidak segera. Biasanya butuh waktu 2-4
minggu baru menunjukkan efek. Jika obat ini tidak menunjukkan efek dalam
waktu 6-8 minggu pengobatan, mungkin dosis obatnya harus dinaikkan, atau
mungkin obatnya sebaiknya disubstitusi dengan obat antidepresan lain. Obat ini
dapat digunakan untuk penggunaan dalam waktu yang lama untuk mencegah
kekambuhan. Nama dagang obat ini adalah aurorix dan tersedia dalam sediaan
tablet 50 mg.9
Dosis lazim: 300 mg/ hari terbagi dalam 2-3 dosis dapat dinaikkan sampai
dengan 600 mg/ hari
Kontra Indikasi: hipersensitifitas terhadap moclobemid
Interaksi Obat: simetidin dapat memperpanjang metabolisme moclobemid,
memperkuat efek opium.
Perhatian: Hamil, laktasi, anak. Penderita gangguan depresif dengan agitasi dan
eksitasi harus diobati dengan kombinasi sedatif.9

2.3.5 Antidepresan golongan Serotonin/Norepinephrine Reuptake Inhibitor (SNRI)


a. Mekanisme kerja
Mekanisme kerja obat golongan SNRI ialah menghambat aktivitas
reuptake serotonin dan norepinefrin sehingga terjadi peningkatan neurotransmisi
serotonergik maupun noradrenergic.9

12
Gambar 2.4 Mekanisme Kerja Antidepressan Golongan SNRI9

b. Efek samping
Efek samping yang mungkin dirasakan bisa berupa sakit kepala, cemas,
insomnia, sedasi, mual, diare, penurunan nafsu makan, disfungsi seksual, dan
hyponatremia.9
c. Contoh golongan SNRI
Venlafaxine
Mekanisme kerja obat ini sebagai antidepresan, efeknya tidak segera. Biasanya
butuh waktu 2-4 minggu baru menunjukkan efek. Jika obat ini tidak
menunjukkan efek dalam waktu 6-8 minggu pengobatan, mungkin dosis
obatnya harus dinaikkan, atau mungkin obatnya sebaiknya disubstitusi dengan
obat antidepresan lain. Obat ini dapat digunakan untuk penggunaan dalam
waktu yang lama untuk mencegah kekambuhan. Namun untuk terapi cemas
menyeluruh, setelah pemberian dosis awal, proses remisi akan terasa dan
bertahan hingga 8 minggu bahkan sampai 6 bulan. Nama dagang obat ini adalah
efexor-xr dan tersedia dalam sediaan kapsul 75 mg.9
Dosis lazim: 150 mg/hari bila perlu dapat ditingkatkan hingga menjadi 375
mg/hari.

13
Kontra Indikasi: penggunaan bersama MAO, hamil dan laktasi, anak < 18
tahun.
Perhatian: riwayat kejang dan penyalahgunaan obat, gangguan ginjal atau
sirosis hati, penyakit jantung tidak stabil, monitor tekanan darah jika penderita
mendapat dosis harian > 200 mg.9

2.4.6 Antidepresan golongan Atipikal

a. Mekanisme kerja
Mekanisme kerja obat ini dapat dilihat pada gambar 2.6. Obat ini meningkatkan
proses neurotransmisi serotonin dan norepinefrin karena bekerja sebagai antagonis
pada presinaps reseptor α2. Efek anti-depresi dari obat ini juga diduga kuat dibantu
akibat sifat antagonisnya pada reseptor 5-HT2. Obat ini juga memiliki efek sedasi
karena berfungsi pula sebagai anti-histamin yang poten.7

Gambar 2.6 Mekanisme Kerja Antidepresan Golongan Atipikal7

b. Efek Samping
Efek samping penggunaan obat ini antara lain, efek sedasi, peningkatan berat
badan, efek antikolinergik, hipotensi, flu-like symptoms, dan gangguan fungsi
ginjal.9 Efek samping otonomik dan kardiologik relatif kecil, efek sedasi lebih
kuat, dapat diberikan pada pasien yang kondisinya kurang tahan terhadap efek
otonomik dan kardiologik (usia lanjut).4

14
c. Contoh obat golongan atipikal
Mirtazapine
Obat ini dikenal dapat menunjukkan efek segera dalam terapi insomnia atau
cemas. Namun sebagai antidepresan, efeknya tidak segera. Biasanya butuh
waktu 2-4 minggu baru menunjukkan efek. Jika obat ini tidak menunjukkan
efek dalam waktu 6-8 minggu pengobatan, mungkin dosis obatnya harus
dinaikkan, atau mungkin obatnya sebaiknya disubstitusi dengan obat
antidepresan lain. Obat ini dapat digunakan untuk penggunaan dalam waktu
yang lama untuk mencegah kekambuhan. Nama dagang obat ini adalah remeron
dan tersedia dalam sediaan tablet 30 mg.9
Dosis lazim: 15-45 mg/hari pada malam hari.
Kontra Indikasi: pasien yang sedang mengkonsumsi obat golongan MAOI,
atau jika ada riwayat alergi mirtazapine.
Perhatian: pasien anak; pasien dengan gangguan ginjal, hepar maupun jantung;
ibu hamil dan menyusui.9

15
BAB III

KESIMPULAN

Obat-obat antidepresan digunakan untuk mengatasi gejala depresi yang terjadi karena

rendahnya kadar serotonin di neuron pasca sinap. Secara umum, mekanisme kerja obat anti-

depresi adalah menghambat reuptake neurotransmitter aminergik, atau menghambat

penghancurannya oleh enzim monoamine oxidase. Sehingga hasil yang diharapkan adalah

terjadinya peningkatan jumlah neurotransmitter aminergik pada celah sinaps neuron yang

pada akhirnya dapat meningkatkan aktivitas reseptor serotonin.

Golongan trisiklik dan tetrasiklik bersifat serotonergik dengan menghambat ambilan

kembali neurotransmitter yang dilepaskan dari neuron prasinaps ke celah sinaps, tetapi

ambilan kembali tersebut tidak bersifat selektif. Dengan demikian kemungkinan muncul

berbagai efek samping yang tidak diharapkan terjadi. Sementara Selective Serotonin

Reuptake Inhibitor (SSRI) bekerja dengan cara yang sama tetapi dengan hambatan yang

bersifat selektif hanya pada neurotransmitter serotonin (5HT2).

Kelompok MAOI bekerja di presinap dengan cara menghambat enzim monoaminase

yang memecah atau memetabolisme serotonin sehingga jumlah serotonin yang dilepaskan

ke celah sinap bertambah dan dengan demikian yang diteruskan ke pasca sinap juga akan

bertambah.

Kelompok SNRI selain bekerja dengan menghambat ambilan kembali serotonin juga

menghambat ambilan kembali neurotransmitter norepineprin sehingga kadar serotonin dan

norepineprin pasca sinap meningkat.10

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Marina Marcus, M. Taghi Yasamy, Mark van Ommeren, and Dan Chisholm, Shekhar
Saxena. 2012. Depression. WHO Department of Mental Health and Substance Abuse.
2. Ningtyas AR, Puspitasari IM dan Sinuraya RK, 2018. Farmakoterapi Depresi dan
Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Efikasi Antidepresan. Farmaka suplemen. Vol. 16
No. 2. Hal 186-199
3. Tjay dan Rahardja.2007 Obat-Obat Penting. Ed6. Jakarta : PT. Alex Media
Komputindo.
4. Maslim R, 2014. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya Jakarta.
5. Antidepresant Clinical Guidelines for Antidepresan Use in Primary and Secondry Care.
Lincolnshire Partnership. 2010
6. Amir Syarif, et all, 2011. Farmakologi dan Terapi Edisi ke 5. Fakultas Kedokteran
Universitas Hindonesia
7. Whalen, Karen. 2015. Pharmacology: Sixth Edition. USA. Wolters Kluwer.
8. Mowbary,RM, Timbury,Gc, Ingram. Psikiatri: Catatan Kuliah. Jakarta: EGC.
9. Stahl SM. 2006. Stahl’s Essential Psychopharmacology Prescriber’s Guide 5th Edition.
UK: Cambridge Medicine
10. Elvira SD 2017. Buku Ajar Psikiatri. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ed 3.
Hal 417-419

17
LAPORAN KASUS
GANGGUAN AFEKTIF BIPOLAR EPISODE KINI DEPRESI BERAT TANPA
GEJALA PSIKOTIK (F31.4)

IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. N
Umur : 22 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Belum Menikah
Agama : Islam
Warga Negara : Indonesia
Alamat : Jl. Kejayaan Utara, Makassar
Pekerjaan : Keuangan & Marketing staff Briton
Masuk RS : 06 September 2019
No. RM : 773600

ALLOANAMNESA
Diperoleh dari : Tn. AR
Pekerjaan : Karyawan BUMN
Pendidikan : S1
Alamat : BTP, Makassar
Hubungan dengan Pasien : Kakak kandung

LAPORAN PSIKIATRI
I. RIWAYAT PENYAKIT :
A. Keluhan utama:
Sulit Tidur

18
B. Riwayat gangguan sekarang :
 Keluhan dan gejala
Seorang perempuan usia 22 tahun masuk RSWS untuk pertama kalinya,
diantar oleh teman kerjanya dengan keluhan sulit untuk memulai dan
mempertahankan tidur sejak 1 bulan yang lalu dan mulai memberat 1 minggu
terakhir. Pasien lama memejamkan mata dan mulai bisa tidur pada pukul 00.00
dan sering terbangun pukul 03.00 WITA. Jika terbangun, pasien biasanya tidur
kembali dan membutuhkan waktu 30 menit untuk bisa dapat tidur lagi. Dalam
semalam, pasien bisa 2-3 kali terbangun dari tidur, atau tidak tidur sama sekali.
Saat datang ke Rumah Sakit pasien mengatakan jika dia belum tidur sejak tadi
malam. Pasien sering merasa mual dan muntah. Pasien mengatakan tubuhnya
sering merasa lemas dan tidak ada energi untuk melakukan aktivitasnya, Pasien
mulai malas masuk kerja karena tidak bisa fokus dengan pekerjaannya. Pasien
lebih suka menyendiri di kamar dan merenung. Pasien merasa sudah tidak
percaya diri lagi untuk melanjutkan hidupnya, dan kehilangan semangat untuk
hidup dan melakukan apa yang pasien senangi sebelumnya. Sesekali pasien
sering menangis dan membayangkan masa depannya,dia merasa hanya akan
menjadi beban keluarganya, tidak ada yang mencintai dirinya, dan merasa ingin
mati saja. Nafsu makan pasien berkurang dan kadang hanya makan sekali
dalam sehari. Berat badan pasien turun 4-5 kg dalam 2 minngu terakhir.
Pasien baru bekerja sebulan di Briton dan tidak nyaman di tempat kerjanya
dikarenakan tuntutan pekerjaan yang terlalu berat dari atasan, dan sering terjadi
salah paham antara pasien dengan atasan. Pasien merasa tidak cocok dengan
atasannya dan ingin keluar dari pekerjaan tersebut. Awalnya sebelum bekerja,
ibu dan kedua kakak pasien tidak setuju dan melarang pasien untuk kerja di
tempat itu dikarenakan peraturannya yang terikat, dimana pasien harus kerja
selama 2 tahun dan ditahan ijazahnya. Apabila ingin keluar dari pekerjaan
sebelum kontrak kerjanya selesai akan dikenakan denda sebesar 35 juta. Namun

19
pasien keras kepala dan tetap mengambil pekerjaan tersebut. Dalam keluarga
pasien adalah anak yang sangat keras kepala dan harus dituruti semua
kemauannya.
Pasien sangat tertekan oleh pekerjaannya, dan baru saja putus dengan
pacarnya. Pasien sebelumnya menjalani hubungan pacaran untuk pertama kali
selama 2 tahun dengan pacarnya. Pacarnya memutuskan dia dikarenakan pasien
terlalu posesif dan melarang-larang aktivitas pacarnya, kemudian pacarnya
memblokir pasien di media sosial dan membuat pasien merasa sangat sedih.
Awal perubahan perilaku dialami sejak tahun 2018 perilaku yang sama
ditunjukan oleh pasien yaitu suka menyendiri dan menangis sendiri,
dikarenakan saat pasien sedang KKN, kakak kandung pasien yang pertama
(paling dekat dengan pasien) akan menikah, pasien merasa cemas kalau calon
iparnya tidak cocok dengan pasien karena pasien tidak mengenalnya
sebelumnya. Pasien mengatakan saat KKN dan pengerjaan skripsi tahun 2018
lalu, pasien juga merasakan perasaan yang sangat senang dan bahagia yang
sangat berlebih dalam beraktivitas. Oleh karena itu pasien ke poli psikiatri RS
Unhas untuk berobat dan dirawat jalan. Pasien rutin kontrol setiap bulan tanpa
sepengetahuan keluarga dan mendapatkan obat olanzapine, fluoxetine 20 mg,
dan merlopam dari dokter poli.

 Hendaya / disfungsi
o Hendaya dalam bidang sosial: terganggu
o Hendaya dalam bidang pekerjaan: terganggu
o Hendaya dalam penggunaan waktu senggang: terganggu

 Faktor stressor psikososial :


Pasien merasa tuntutan pekerjaan yang terlalu berat dan tidak nyaman di
lingkungan pekerjaan dikarenakan tidak cocok dengan atasannya. Dan tidak

20
bisa keluar dari pekerjaannya dikarenakan akan dikenakan denda sebesar 35
juta. Apalagi pasien baru putus dengan pacar pertamanya dan diblokir di media
sosial oleh pacarnya membuat pasien merasa sangat sedih dan kehilangan
semangat.

 Hubungan gangguan sekarang dengan riwayat penyakit fisik dan psikis


sebelumnya :
o Riwayat infeksi tidak ada
o Riwayat trauma tidak ada
o Riwayat kejang tidak ada
o Riwayat merokok tidak ada
o Riwayat penggunaan NAPZA tidak ada

C. Riwayat gangguan sebelumnya :


1. Riwayat penyakit fisik : tidak ada gangguan fisik sebelumnya.
Riwayat perjalanan gangguan psikiatri : Awal perubahan perilaku dialami
sejak tahun 2018 perilaku yang sama ditunjukan oleh pasien yaitu suka
menyendiri dan menangis sendiri, dikarenakan saat pasien sedang KKN, kakak
kandung pasien yang kedua (paling dekat dengan pasien) akan menikah, pasien
merasa cemas kalau calon iparnya tidak cocok dengan pasien karena pasien
tidak mengenalnya sebelumnya. Pasien mengatakan saat KKN dan pengerjaan
skripsi tahun 2018 lalu, pasien juga merasakan perasaan yang sangat senang
dan bahagia yang sangat berlebih. Oleh karena itu pasien ke poli psikiatri RS
Unhas untuk berobat dan dirawat jalan. Pasien rutin kontrol setiap bulan tanpa
sepengetahuan keluarga dan mendapatkan obat olanzapine, fluoxetine 20 mg,
dan merlopam dari dokter poli.

21
Riwayat kehidupan pribadi :
1. Riwayat prenatal dan perinatal (0-1 tahun)
Pasien lahir pada tahun 1997, cukup bulan, lahir secara sectio caesarea karena
lilitan tali pusat, dibantu oleh dokter di rumah sakit. Pasien mendapatkan ASI
eksklusif sampai umur 2 tahun. Pertumbuhan dan perkembangan normal.
2. Riwayat kanak awal (1-3 tahun)
Perkembangan masa kanak-kanak awal pasien seperti berjalan, berbicara baik,
perkembangan bahasa dan perkembangan motorik berlangsung baik. Pasien
bermain dengan teman seusiannya. Pasien tinggal bersama dengan kedua orang
tuanya dan saudaranya.
3. Riwayat kanak pertengahan (4-11 tahun)
Pada usia 6 tahun pasien masuk SD. Perkembangan di sekolah baik, pasien
bergaul dengan teman seusianya.
4. Riwayat kanak akhir dan remaja (12-18 tahun)
Pasien melanjutkan pendidikannya hingga tingkat SMA. Saat SMA pasien
tinggal bersama ibu dan sandaranya. Pergaulan dengan teman sekolah baik.

5. Riwayat masa dewasa


a. Riwayat Pekerjaan: Bekerja di bagian keuangan & marketing staff di
Briton, Pasien merupakan lulusan S1 Fisioterapi
b. Riwayat Pernikahan : pasien belum menikah
c. Riwayat Agama: pasien memeluk agama Islam dan menjalankan kewajiban
agama dengan cukup baik.

D. Riwayat kehidupan keluarga


 Pasien anak ke 3 dari 3 bersaudara (♀,♂,♀)
 Hubungan dengan saudara baik

22
 Pasien tinggal dengan ibunya saat ini, dikarenakan kedua kakak yang sudah
berkeluarga, dan sang ayah yang sudah meninggal pada tahun 2001
 Tidak ada riwayat keluarga dengan keluhan yang sama

Genogram

Perempuan

Laki-laki

Gangguan Jiwa

Tinggal Serumah
Meninggal

E. Situasi sekarang
Saat ini pasien mampu mengurus dirinya sendiri. Sekarang pasien tinggal serumah
dengan ibunya di makassar. Namun, seminggu sebelum pasien dibawa ke RS ibu
pasien sedang berada di kendari.

23
F. Persepsi pasien tentang diri dan kehidupannya
Pasien merasa dirinya sulit tidur, dan sering terbangun pada malam hari. Pasien
cenderung menyendiri dan memikirkan banyak hal, dan sedih tiba-tiba. Pasien
menganggap kehidupannya tidak menyenangkan dan ingin mati saja.

II. STATUS MENTAL :


A. Deskripsi Umum :
1. Penampilan : Tampak perempuan memakai baju hitam, jilbab
hitam dan celana navy berbahan jeans, perawatan
diri cukup wajah tampak sesuai umur.
2. Kesadaran : Secara kuantitas atau kualitas baik
3. Aktivitas psikomotor : Tidak Ada
4. Pembicaraan : Spontan, lancar, intonasi pelan
5. Sikap terhadap pemeriksa: Kooperatif

B. Keadaan afektif (mood), perasaan, dan empati, perhatian :


 Mood : Depresif
 Afek : Depresif
 Empati : Dapat dirabarasakan

C. Fungsi intelektual (kognitif) :


1. Taraf pendidikan, pengetahuan umum, dan kecerdasan: sesuai dengan tingkat
pendidikan.
2. Daya konsentrasi dan perhatian : cukup
3. Orientasi
 Orientasi waktu : baik
 Orang : baik
 Tempat : baik

24
4. Daya ingat
 Jangka panjang : baik
 Jangka pendek : baik
 Jangka segera : baik
5. Pikiran abstrak : baik
6. Bakat kreatif : baik
7. Kemampuan menolong diri sendiri : baik

D. Gangguan persepsi :
1. Halusinasi : Tidak ada
2. Ilusi : Tidak ada
3. Depersonalisasi : Tidak ada
4. Derealisasi : Tidak ada

E. Proses berpikir :
1. Arus pikiran :
 Produktivitas : Cukup
 Kontinuitas : Relevan dan Koheren
 Hendaya berbahasa : Tidak ada hendaya dalam berbahasa
2. Isi pikiran :
 Preokupasi : Tidak ada
 Gangguan isi pikiran : Tidak ada

F. Pengendalian impuls : Tidak terganggu

25
G. Daya nilai :
 Norma sosial : Tidak terganggu
 Uji daya nilai : Tidak terganggu
 Penilaian realitas : Tidak terganggu

H. Tilikan (insight) :
Derajat 5 (menyadari dirinya sakit, butuh pengobatan, namun tidak mampu
mengendalikan diri saat penyakitnya muncul)
I. Taraf dipercaya : Dapat dipercaya

III. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT:


1. Status Internus
a. Keadaan umum : Baik
b. Kesadaran : Komposmentis
c. Tanda vital
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 96x/menit
- Suhu : 36,8 °C
- Pernapasan : 20x/menit
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterus, ekstremitas atas dan bawah tidak
ada kelainan.
2. Status Neurologi
a. GCS : E4M6V5
b. Rangsang meningeal : tidak ada tanda meningismus
c. Tanda ekstrapiramidal
- Tremor tangan : tidak ada
- Cara berjalan : normal
- Keseimbangan : baik

26
d. Sistem saraf motorik dan sensorik dalam batas normal
e. Kesan : normal

IV. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA :


Seorang pasien perempuan berumur 22 tahun datang diantar oleh teman kerjanya
ke RSWS untuk pertama kalinya dengan keluhan sulit untuk memulai dan
mempertahankan tidur sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu. Pasien sering
mengurung diri di kamar dan berpikir tentang kehidupannya kemudian menangis
Pasien menyesal dan ingin keluar dari pekerjannya, dan bertambah sedih karena
baru putus dengan pacarnya. Pasien mulai putus asa dengan hidupnya dan berikir
untuk bunuh diri. Tidak ada semangat dan energi untuk melakukan aktivitas
apapun, tidak bisa fokus dalam bekerja, serta nafsu makan terganggu, berat badan
turun 4-5kg dalam 2 minggu terakhir Awal perubahan perilaku pada tahun 2018
keluhan yang sama muncul yaitu suka mengurung diri di kamar dan menangis
sendiri. Kemudian, pada tahun 2018 juga saat KKN dan pengerjaan skripsi pasien
merasa senang dan bahagia yang sangat berlebih. Pasien dirawat jalan di poli RS
Unhas tanpa sepengetahuan keluarganya dan mendapatkan terapi obat olanzapine,
fluoxetine 20 mg, dan merlopam. Pasien memakai baju hitam dan jilbab hitam,
celana navy berbahan jeans, wajah tampak sesuai umur dan perawatan diri cukup.
mood: Depresif dan afek: Depresif. Tilikan 5 menyadari dirinya sakit, butuh
pengobatan, namun tidak mampu mengendalikan diri saat penyakitnya muncul.

V. EVALUASI MULTIAKSIAL :
 Aksis I :
Berdasarkan autoanamnesis dan pemeriksaan status mental didapatkan gejala klinis
yang bermakna yaitu perilaku sulit tidur, sedih, sering menyendiri, anenergi, tidak
bersemangat untuk melakukan apapun, tidak bisa fokus pada pekerjaan,gangguan pada
nafsu makan dan sering berpikiran ingin bunuh diri. Keadaan ini menimbulkan
penderitaan (distress) pada pasien, keluarga, dan masyarakat sekitar serta terdapat

27
hendaya (dissability) pada fungsi psikososial, pekerjaan dan penggunaan waktu
senggang sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien menderita gangguan jiwa Depresi
Berat.
Pada pemeriksaan status mental tidak ditemukan halusinasi auditorik berupa suara-
suara dan halusinasi visual berupa penampakan sehingga didiagnosis Gangguan Jiwa
Non Psikotik.
Pada pemeriksaan status internus dan neurologis tidak ditemukan adanya kelainan,
sehingga kemungkinan adanya gangguan mental organik dapat disingkirkan dan
berdasarkan PPDGJ-III didiagnosis Gangguan Jiwa Non Psikotik Non Organik.
Dari autoanamnesis, dan pemeriksaan status mental didapatkan adanya mood yang
depresif, produktivitas cukup, aktivitas psikomotorik cukup tenang. Selain itu, sejak
tahun 2018 - 2019 pasien sering datang ke Poli RSUH untuk kontrol dengan gejala
depresi yang berulang disertai dengan fase gembira tiba-tiba. Fase perubahan mood
yang paling tinggi terjadi pada saat pasien KKN dan pengerjaan skripsi. Di samping itu,
tidak ditemukan juga adanya gangguan persepsi berupa halusinasi auditorik dan
halusinasi visual sehingga berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa (PPDGJ III) diagnosis diarahkan pada Gangguan Afektif Bipolar
Episode Kini Depresi Berat tanpa Gejala Psikotik (F31.4)
 Aksis II :
Pasien besikap depresif tetapi berdasarkan data yang diperoleh belum cukup untuk
diarahkan ke salah satu ciri khas kepribadian.
 Aksis III :
Tidak ada diagnosis
 Aksis IV :
Faktor stressor adalah masalah lingkungan pekerjaan dan psikososial
 Aksis V :
GAF scale saat ini : GAF scale saat ini 40-31 (gangguan dalam beberapa
pengujian realitas atau komunikasi, disabilitas berat beberapa fungsi)

28
VI. DIAGNOSIS BANDING
 [F.32.2] Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik
 [F.33.2] Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Berat tanpa Gejala Psikotik
VII. DAFTAR PROBLEM
 Organobiologik
Tidak ditemukan kelainan fisik yang bermakna, namun diduga terdapat
ketidakseimbangan neurotransmitter, maka dari itu pasien memerlukan
farmakoterapi.
 Psikologik
Ditemukan adanya hendaya dalam kehidupan sehari-hari yang menimbulkan
gejala psikis sehingga pasien membutuhkan psikoterapi
 Sosiologik
Ditemukan adanya hendaya sosial, hendaya pekerjaan dan hendaya waktu
senggang.

VIII. RENCANA TERAPI :


 Psikofarmakoterapi :
R/ Seroquel XR 200 mg /1 tab/24 jam/oral setelah makan
Sandepril 50 mg/ 1 tablet/ 24 jam/oral pagi hari
 Psikoterapi supportif:
- Ventilasi : Memberi kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan isi hati
dan keinginannya sehingga pasien merasa lega.
- Konseling :Memberikan penjelasan dan pengertian kepada pasien tentang
penyakitnya agar pasien memahami kondisi dirinya, dan memahami cara
menghadapinya, serta memotivasi pasien agar tetap minum obat secara teratur.

29
 Sosioterapi:
Memberikan penjelasan kepada pasien, keluarga pasien dan orang terdekat
pasien tentang keadaan pasien agar tercipta dukungan sosial sehingga membantu
proses penyembuhan pasien sendiri.

IX. PROGNOSIS :
Dubia ad bonam
 Faktor Pendukung :
- Prognosis mungkin baik karena pasien menunjukkan gejala gejala yang
positif, gejala dapat berkurang dengan obat-obatan.
- Faktor stressor jelas.
- Dukungan orangtua dan keluarga untuk kesembuhan pasien.
- Semangat dan keinginan pasien untuk sembuh dan kembali ke lingkungan.

X. FOLLOW UP :
Memantau keadaan umum pasien dan perkembangan penyakitnya, menilai efektifitas
terapi serta kemungkinan terjadinya efek samping dari obat yang diberikan.
S : Tidur malam cukup, nafsu makan kurang, mau minum obat oral, pasien mengaku
perasaan ingin bunuh diri berkurang
O : kontak mata dan verbal ada
Verbalisasi : spontan, lancar, intonasi pelan
Psikomotor : cukup tenang
Afek : Depresif
Gangguan persepsi : Tidak ada
Arus pikir : relevan, koheren
Gangguan isi pikir : tidak ada
A : episode kini depresi berat tanpa gejala psikotik

30
P: Seroquel XR 200 mg /1 tab/24 jam/oral setelah makan
Sandepril 50 mg/ 1 tablet/ 24 jam/oral pagi hari
Psikoterapi supportif
Sosio Therapy

XI. PEMBAHASAN
Konsep gangguan jiwa , didapatkan butir-butir:
1. Adanya gejala klinis yang bermakna, berupa:
- Sindrom atau pola perilaku
- Sindrom atau pola Psikologik
2. Gejala klinis tersebut menimbulkan penderitaan (distress), antara lain dapat berupa:
rasa nyeri, tidak nyamana, tidak tetram, terganggu, disfungsi organ tubuh, dll
3. Gejala klinis tersebut menimbulkan disabilitas (disability) dalam kehidupan sehari-
hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup
(mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, dll)

Berdasarkan DSM V, untuk diagnosis pasti Gangguan Afektif Bipolar [F31] harus
memenuhi :

F31 GANGGUAN AFEKTIF BIPOLAR

Gangguan ini tersifat oleh episode berulang (sekurang-kurangnya dua episode) dimana afek
pasien dan tingkat aktivitasnya jelas terganggu, pada waktu tertentu terdiri dari peningkatan
afek disertai penambahan energy dan aktivitas (mania atau hipomania), dan pada waktu lain
berupa penurunan afek disertai pengurangan energy dan aktivitas (depresi).
Yang khas adalah bahwa biasanya ada penyembuhan sempurna antar episode. Episode
manic biasanya mulai dengan tiba-tiba dan berlangsung antara 2 minggu sampai 4-5 bulan.
Episode depresi cenderung berlangsung lebih lama (rata-rata sekitar 6 bulan) meskipun
jarang melebihi 1 tahun kecuali pada orang usia lanjut. Kedua macam episode itu seringkali

31
terjadi setelah peristiwa hidup yang penuh stress atau trauma mental lain (adanya stress
tidak esensial untuk penegakan diagnosis)1

Untuk diagnosis pasti Gangguan Afektif Bipolar Episode Kini Depresi Berat tanpa
Gejala Psikotik [F31.4], harus memenuhi :
 episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk mania untuk episode
depresif berat dengan gejala psikotik (F32.3)
 harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain (hipomanik, manik, atau
campuran) di masa lampau1

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV Text Revision ( DSM-IV


TR ) mengklasifikasikan gangguan bipolar menjadi 6 macam, yaitu:
1) Depresi berat (major depressive): terjadi episode depresi berat (tunggal atau
kambuhan) tanpa ada ada mania dan hipomania.
2) Distimic (Dysthymic): perasaan depresi lebih sering dari pada tidak, setidaknya
dialami 2 tahun (tetapi tidak masuk dalam kriteria depresi berat).
3) Bipolar I: terjadi episode mania atau episode campuran serta diikuti episode
depresi mayor.
4) Bipolar II: terjadi episode depresi mayor dan diikuti satu atau lebih episode
hipomania atau episode campuran.
5) Siklotimik (Cyclothymic): ditandai dengan sejumlah periode tanda depresi tetapi
tidak mengarah pada kriteria episode depresi mayor. Setidaknya 2 tahun mengalami
gejala yang disertai episode hipomania.
6) Bipolar non-spesifik: ditandai dengan episode mania tetapi kriterianya tidak sama
dengan bipolar I, bipolar II atau Siklotimik. 4

32
Epidemiologi

Gangguan afektif bipolar, berdasarkan data WHO tahun 2004, merupakan peringkat

ke-12 terbanyak kondisi non-aktif (disabling) sedang sampai berat pada semua kelompok

umur.6 Insiden gangguan afektif bipolar berkisar 10/100.000 orang.3

Onset usai gangguan afektif bipolar bervariasi. Rentang usia dapat dimulai sejak

kecil hingga 50 tahun, dengan usia rata-rata sekitar 21 tahun. Kebanyakan kasus dimulai

ketika individu berusia 15-19 tahun, kemudian 20-24 tahun.7

Gangguan afektif bipolar I terjadi dengan jumlah yang hampir sama pada pria dan

wanita. Sedangkan insiden gangguan afektif bipolar II lebih tinggi pada wanita

dibandingkan pada pria.7

Tidak ada predileksi ras. Namun, hal yang menarik dari sejarah adalah bahwa

dokter sering cenderung untuk mempertimbangkan populasi Afrika Amerika dan Hispanik

untuk didiagnosis dengan skizofrenia dibandingkan dengan gangguan afektif dan gangguan

bipolar.7

Etiologi dan Patogenesis

Para peneliti masih mempelajari tentang kemungkinan penyebab gangguan afektif

bipolar. Kebanyakan peneliti setuju bahwa tidak ada penyebab tunggal. Sebaliknya,

kemungkinan terdapat interaksi dari banyak faktor untuk menimbulkan gangguan atau

meningkatkan risiko.8

33
 Faktor Biologis

Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di dalam metabolit

amin biogenik-seperti 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA), homovanillic acid (HVA),

dan 3-methoxy-4-hydroxyphenylglycol (MHPG) – di dalam darah, urin, dan cairan

serebrospinalis pada pasien dengan gangguan mood. Data yang dilaporkan paling konsisten

dengan hipotesis bahwa gangguan mood berhubungan dengan disregulasi heterogen pada

amin biogenik. Dari amin biogenik, norepinefrin dan serotonin merupakan dua

neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisologi gangguan mood. 1

Regulasi endokrin juga diduga berhubungan dengan gangguan mood. Sumbu

neuroendokrin utama dalam gangguan mood adalah sumbu adrenal, tiroid, dan hormon

pertumbuhan. Kelainan endokrin lainnya yang telah digambarkan pada pasien dengan

gangguan mood adalah penurunan sekresi nokturnal melantonin, penurunan pelepasan

prolaktin terhadap pemberian tryptophan, penurunan kadar dasar follicle-stimulating

hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH), dan penurunan kadar testosteron pada laki-

laki.1

Gangguan tidur – insomnia awal dan terminal, terbangun berulang kali (multiple

awakening), hipersomnia – adalah gejala yang klasik dan sering ditemukan pada depresi,

dan perasaan menurunnya kebutuhan tidur adalah gejala klasik dari mania. Beberapa

peneliti telah menggunakan EEG tidur dalam pemeriksaan diagnostik pasien dengan

gangguan mood.1

34
 Faktor Genetika

Gangguan afektif bipolar cenderung terjadi dalam keluarga, sehingga peneliti

berusaha menemukan gen yang dapat meningkatkan faktor risiko. Anak-anak dengan orang

tua atau saudara yang memiliki gangguan afektif bipolar memiliki kemungkinan empat

sampai enam kali lebih besar dibandingkan dengan anak-anak yang tidak memiliki riwayat

keluarga gangguan afektif bipolar. Namun, sebagian besar anak-anak dengan riwayat

keluarga gangguan afektif bipolar tidak terkena penyakit ini.8

Akan tetapi, gen bukan satu-satunya faktor risiko untuk gangguan afektif bipolar.

Penelitian terhadap kembar identik telah menunjukkan bahwa saudara kembar dari

seseorang dengan gangguan afektif bipolar tidak selalu mengembangkan gangguan

tersebut. Hal ini penting karena kembar identik berbagi semua gen yang sama.8

 Faktor Psikososial

Suatu pengamatan klinis menunjukkan bahwa peristiwa kehidupan yang

menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood daripada

episode selanjutnya. Hubungan tersebut telah dilaporkan untuk pasien gangguan depresif

berat dan gangguan bipolar I.1

Satu teori yang diajukan untuk menjelaskan pengamatan tersebut adalah bahwa stres

yang menyertai episode pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan lama.

Perubahan bertahan lama tersebut dapat menyebabkan perubahan keadaan fungsional

berbagai neurotransmitter dan sistem pemberi signal intraneuronal. Perubahan mungkin

35
termasuk hilangnya neuron dan penurunan besar dakan kotak sinaptik. Hasil akhirnya dari

perubahan tersebut adalah menyebabkan seseorang pada risiko yang lebih tinggi untuk

menderita episode gangguan mood selanjutnya, bahkan tanpa adanya stresor eksternal.1

Komorbid

Sebagian besar penderita bipolar tidak hanya menderita bipolar saja tetapi juga

menderita gangguan jiwa yang lain (komorbid). Penelitian oleh Goldstein BI dkk

menyebutkan bahwa dari 84 penderita bipolar berusia diatas 65 tahun ternyata sebanyak

38,1% terlibat dalam penyalahgunaan alkohol, 15,5% distimia, 20,5% gangguan cemas

menyeluruh, dan 19% gangguan panik. Sementara itu, attention deficit hyperactivity

disorder (ADHD) menjadi komorbid yang paling sering didapatkan pada 90% anak-anak

dan 30% remaja yang bipolar.7

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan gangguan afektif bipolar secara langsung berkaitan dengan fase

episode yang sedang dialami oleh pasien (depresi atau manik) dan keparahan episode

tersebut. Untuk kasus akut pada episode mania, haloperidol merupakan obat pilihan dan

akan mengendalikan gangguan perilaku. Pada kasus yang sangat berat, dapat diberikan

haloperidol 5-10 mg intramuskular dan dapat diulangi setiap 2-4 jam sampai dosis total

mencapai 30 mg. Selanjutnya sama dengan kasus ringan, yaitu diberikan haloperidol 5-10

mg per oral tiga kali sehari. Pada keadaan yang kurang akut dan untuk pasien rawat jalan,

haloperidol 3 mg tiga kali sehari merupakan dosis awal yang cocok.7,10

36
Klorpromazin dapat digunakan sebagai pengganti, namun kurang memuaskan. Untuk

kasus akut, dapat diberikan klorpromazin 100 mg intramuskular, diulangi tiap 2-4 jam

sampai dosis 160 mg. Sedangkan untuk kasus yang kurang berat, dapat diberikan

klorpromazin 100 mg per oral tiga atau empat kali sehari.10

Natrium divalproex (Depakote) digunakan untuk penanganan gangguan bipolar

episode manik pada dewasa, selain itu juga digunakan untuk mencegah sakit kepala

migraine. Natrium divalproex juga merupakan alternatif terapi yang penting sebagai

pengganti lithium dalam penggunaan dengan tujuan pemeliharaan untuk kasus kasus

gangguan bipolar (terutama pada pasien dengan siklus berulang), penderita dengan riwayat

disforia atau mania campuran, gangguan anxietas, atau penyakit otak organik. Jika pasien

tidak menampakkan perkembangan yang signifikan dan cenderung tidak responsif terhadap

pengobatan farmakologis, maka pasien dapat dirujuk ke penyedia pelayanan kesehatan

yang memiliki fasilitas electroconvulsive therapy (ECT).7,10

Gangguan bipolar harus diobati secara kontinu, tidak boleh putus. Bila putus, fase

normal akan memendek sehingga kekambuhan semakin sering. Adanya fase normal pada

gangguan bipolar sering mengakibatkan buruknya kepatuhan untuk berobat karena pasien

mengira dirinya sudah sembuh. Oleh karena itu, edukasi dan pemantauan pengobatan

pasien sangat penting agar penderita dapat ditangani lebih dini. Pemantauan pengobatan

dapat dilakukan dengan cara pasien kontrol secara teratur ke poliklinik. Hal ini tentu

membutuhkan kerjasama dengan pihak keluarga, sehingga pihak keluarga sepatutnya juga

mendapatkan edukasi tentang penyakit pasien.7,10

37
Prognosis

Pasien dengan gangguan bipolar I mempunyai prognosis lebih buruk. Di dalam 2

tahun pertama setelah peristiwa awal, 40-50% tentang pasien mengalami serangan manik

lain. Hanya 50-60% pasien dengan gangguan bipolar I yang dapat diatasi gejalanya dengan

lithium. 7% pasien ini, gejala tidak terulang. 45% Persen pasien mengalami lebih dari

sekali kekambuhan dan lebih dari 40% mempunyai suatu gejala yang menetap.9

Gangguan bipolar memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang cukup signifikan.

Sekitar 25-50% individu dengan gangguan bipolar melakukan percobaan bunuh diri, dan

11% di antaranya benar-benar melakukan bunuh diri. Selain itu, suatu penelitian di Inggris

menyatakan bahwa untuk pasien dengan gangguan bipolar, angka mortalitasnya dalam

waktu satu tahun setelah keluar dari rumah sakit lebih tinggi dibandingkan dengan populasi

umum yang kebanyakan menderita gangguan pernafasan dan sirkulasi.7

Gangguan bipolar juga dikaitkan dengan kematian prematur. Dalam suatu studi kohort

terhadap 6.587.036 warga dewasa di Swedia, termasuk 6618 individu dengan gangguan

bipolar, Crump dan koleganya menemukan bahwa pasien wanita dan laki-laki dengan

gangguan bipolar masing-masing meninggal 9 tahun dan 8,5 tahun lebih awal dibandingkan

dengan populasi umum. Mereka menyimpulkan bahwa pasien dengan gangguan bipolar

meninggal secara prematur akibat berbagai penyebab, termasuk penyakit kardiovaskuler,

diabetes, penyakit paru obstruktif kronik, influenza atau pneumonia, cidera yang tidak

disengaja, dan bunuh diri.7

38
Secara umum, makin dini seseorang menderita gangguan afektif bipolar, maka risiko

penyakit akan lebih berat, kronik bahkan refrakter. Prognosis gangguan afektif episode

manik lebih baik daripada prognosis gangguan afektif episode depresi.10

Faktor yang memperburuk prognosis gangguan afektif tipe manik, antara lain riwayat

pekerjaan yang buruk/kemiskinan, disertai dengan penyalahgunaan alkohol, disertai dengan

gejala psikotik, jenis kelamin laki-laki, tidak adanya pasangan, tidak adanya remisi dalam 3

tahun, dan adanya riwayat penyerangan. Prognosis akan lebih baik pada usia lanjut, durasi

episode manik yang lebih pendek, individu dengan sedikit pemikiran bunuh diri, tanpa atau

minimal gejala psikotik, dan sedikit masalah kesehatan medis.9,10

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Maslim Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Rujukan Ringkas dari
PPDGJ III dan DSM 5. Cetakan 2. Jakarta : Penerbit Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
Fk-Unika Atma Jaya. Di cetak oleh PT. Nuh Jaya.
2. Maslim, Rusdi. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Edisi 3.
2007 Jakarta. FK Unika Atma Jaya. Di cetak oleh PT. Nuh Jaya
3. C.M, Bonin, dkk, 2012. Subthreshold symptoms in bipolar disorder: Impact on
neurocognition, quality of life and disability. Elsevier.
4. Mood Disorders. Dalam: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders,
DSM-IV-TR 4th Ed. Arlington, Va: American Psychiatric Association, Washin
gton DC, 2005
5. Salim R, 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDG
– III. Hal 60-62. Jakarta: PT Nuh Jaya.
6. World Health Organization. The global burden of disease: 2004 update. Part 3:
disease incidence, prevalence and disability.
7. Soreff S, 2014. Bipolar Affective Disorder. Medscape.
8. National Institute of Mental Health USA, 2008. Bipolar Disorder.
9. Israr YA, 2009. Gangguan Afektif Bipolar. Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
10. Ingram IM, Timbury GC, Mowbray RM. Catatan Kuliah Psikiatri. Edisi 6. Jakarta:
EGC. Hal 43-50.
11. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA, 2010. Sinopsis Psikiatri Jilid 1. Hal 791-825.
Tangerang: Binarupa Aksara Publisher

40

Anda mungkin juga menyukai