Anda di halaman 1dari 46

A.

Laporan Pre-operatif
Subjektif :
Anamnesis
a. Keluhan Utama:
Pasien mengeluhkan sesak napas
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan sesak napas dan
tekanan darah tinggi selama hamil. Pasien merupakan rujukan RS
Ananda dengan Preeklamsia berat. Sebelumnya, pasien rutin kontrol
ANC di bidan dan hasil tekanan darahnya selalu tinggi sehingga dirujuk
ke RS. Pasien merasa sesak napas sejak 2 hari sebelum masuk RSMS
dan semakin memberat. Selain itu, pasien mengatakan bahwa ia merasa
lemas dan mudah lelah sejak 3 bulan terakhir. Keluhan lain seperti nyeri
kepala, kejang, mual, dan muntah disangkal oleh pasien. Pasien saat ini
sedang mengandung anak kedua, dengan usia kehamilan 39 minggu.
HPHT pasien 15 September 2018. HPL nya yaitu 22 Juni 2019. Pasien
mengaku belum merasakan kenceng-kenceng dan menyangkal
keluarnya air, lendir, atau darah dari jalan lahir.
c. Riwayat Penyakit Dahulu:
1) Penyakit Jantung : disangkal
2) Penyakit Paru : disangkal
3) Penyakit Diabetes Mellitus : disangkal
4) Penyakit Ginjal : disangkal
5) Penyakit Hipertensi : (+) saat hamil anak kedua
6) Riwayat Alergi : disangkal
7) Riwayat Penyakit Hati : disangkal
8) Riwayat Asma : disangkal
9) Riwayat Operasi : disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga:
1) Penyakit Jantung : (+) ayah pasien bengkak jantung
2) Penyakit Paru : (+) ibu pasien bronkhitis
3) Penyakit Hipertensi : (+) ayah pasien
4) Penyakit Ginjal : disangkal
5) Penyakit Diabetes Mellitus : disangkal
6) Riwayat Alergi : disangkal
7) Riwayat Penyakit Hati : disangkal
8) Riwayat Asma : disangkal
e. Riwayat Menstruasi:
1) Menarche : 13 Tahun
2) Lama Haid : + 8 hari
3) Siklus Haid : Tidak teratur, 20 – 40 hari
4) Dismenore : Tidak ada
5) Jumlah Darah Haid : 2-3x/hari ganti pembalut
f. Riwayat ANC:
Pasien mengaku rutin memeriksakan kandungan ke bidan selama
kehamilan ini. Terakhir melakukan kunjungan ANC di bidan pada usia
kehamilan 36 minggu.
g. Riwayat Menikah
Pasien menikah 1x saat berusia 19 tahun hingga saat ini.
h. Riwayat Obstetri
G2P1A0:
1) Anak pertama perempuan/ lahir spontan/ ditolong bidan/ BB lahir
4400 gram/ usia 18 tahun
2) Anak kedua : hamil ini
i. Riwayat KB
Pasien menggunakan alat kontrasepsi pil KB.
j. Riwayat Ginekologi
Riwayat Operasi : Tidak ada
Riwayat Keputihan : Tidak ada
Riwayat Kuret : Tidak ada
Riwayat Perdarahan Pervaginam : Tidak ada
k. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal dengan suami dan seorang anaknya, serta seorang
keponakan perempuannya. Pasien merupakan seorang ibu rumah
tangga. Suaminya bekerja sebagai wiraswasta dengan penghasilan
Rp3.000.000-4.000.000,-. Anak pertama pasien sudah bekerja
sebagai karyawan. Kesan sosial ekonomi keluarga pasien adalah
golongan menengah. Pasien menggunakan Badan Penyelenggara
Jaminan Kesehatan (BPJS NON PBI) untuk kontrol kehamilan dan
persalinan. Pasien mengaku tidak merokok. Pasien mengaku jarang
berolahraga. Riwayat konsumsi obat-obatan disangkal oleh pasien.

Objektif
KU/Kesadaran : Gelisah, tampak sesak napas/ CM, E4V5M6
Tekanan Darah : 165/120 mmHg
Laju Nadi : 175 x/menit kuat, reguler
Laju Pernapasan : 33 x/menit
Suhu : 36.5 0C
BB sebelum hamil : 65 kg
Berat Badan hamil : 83 kg
Penambahan BB selama kehamilan : 18 kg
Tinggi Badan : 156 cm
Indeks Massa Tubuh : 34.1 kg/m2 (Obesitas II)

Airway:
Clear (+), snorling (-), gurgling (-), buka 3 jari, TMD 6 cm, mallampati (II),
gitang (-), karies (-), gisu (-), giyang (-), massa jalan napas (-), massa leher (-)

Status Generalis:
- Kepala : mesocephal (+)
- Mata : CA (-)/(-), SI (-)/(-), RC (+)/(+), isokor 3mm/3mm
- Telinga : discharge (-)
- Hidung : discharge (-), nafas cuping hidung (-)
- Mulut : discharge (-), sianosis (-)
- Leher : deviasi trakea (-)
- Thoraks : simetris, jejas (-)
Pulmo : SDV (+)/(+), RBK (+)/(+), RBH (-)/(-), Whz (-)/(-)
Cor : S1 > S2, M (-), G (-)
- Abdomen : cembung gravid, BU (+) N, defans muscular (-), NT (-), pekak
janin (+)
- Ekstremitas : AH (+)/(+)//(+)/(+), Edema (-)/(-)//(+)/(+)
Pemeriksaan Leopold:
- L1 : Bokong
- L2 : Punggung Kanan
- L3 : Kepala
- L4 : Divergen
- DJJ : sulit dinilai, HIS (-)
- His :-
- VT : belum ada pembukaan
- TFU : 34 cm
- TBJ : 3565 gram

Pemeriksaan Laboratorium RSMS tanggal 15 Juni 2019 (IGD)


Hematologi
Hemoglobin : 14.4
Leukosit : 17290 (H)
Hematokrit : 45 (L)
Eritrosit : 4.6 x 106 (L)
Trombosit : 259.000
MCV : 96.5
MCH : 31.2
MCHC : 32.4
RDW : 15.4 (H)
Hitung Jenis
Basofil : 0.2
Eosinofil : 2.4
Batang : 0.7 (L)
Segmen : 48.7 (L)
Limfosit : 41.1 (H)
Monosit : 6.9
PT : 9.4 (L)
APTT : 35.0
Kimia Klinik
Albumin :2.39 (L)
SGOT : 17
SGPT : 17
LDH : 217
GDS : 164
Ureum : 13.40 (L)
Kreatinin : 0.86
Natrium : 144
Kalium : 3.5
Klorida : 111 (H)
Kalsium : 8.7
Urine Lengkap
Fisik
Warna : kuning
Kekeruhan : agak keruh (N: jernih)
Bau : khas
Kimia
Urobilinogen : 0.1
Glukosa : negatif
Bilirubin : negatif
Keton : negatif
Berat jenis : 1.020
Eritrosit : 10 (N: negatif)
PH :7.0
Protein : 300 (N: negatif)
Nitrit : negatif
Leukosit :0
Sedimen
Eritrosit : 0-1 (N: negatif/LPB)
Leukosit : 1-3 (N: negatif/LPB)
Epitel : >300 (N: negatif/LPB)
Silinder hialin : negatif
Silinder lilin : negatif

Foto Rontgen Thorax 15 Juni 2019

Kesan :
- Kardiomegali
- Gambaran pneumonia DD/ edema pulmonum
- Suspek efusi pleura kanan

Assesment
G2P1A0 Usia 41 Tahun Hamil 39 Minggu dengan PEB dan edem pulmo
Usulan ASA : ASA IVE
Rencana Operasi : SCTP Cito
Rencana Anestesi : GA dengan intubasi

Planning
Pro SCTP Cito tanggal 15 Juni 2019

B. Laporan Durante Operasi


Tanggal operasi : Sabtu, 15 Juni 2019
Jam mulai anestesi : 03.35 WIB
Jam selesai anestesi : 04.30 WIB
Kondisi prainduksi
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 170/100 mmHg
Heart rate : 165 x/menit, reguler
RR : 40 x/menit, pola napas thorakoabdominal
Suhu : 37 0C
Teknik Anestesi
- Teknik : general anestesi
- Premedikasi : ondansentron 4 mg
- Analgesik : Fentanyl 100 mcg
- Induksi : Intravena, dengan propofol 100 mg
- Fasilitas intubasi : Recuronium 30 mg
- Intubasi : ET kinking No 6.5, Laringoskop Miller
- Keterangan : tidak sulit ventilasi, tidak sulit intubasi

Monitoring Durante Operasi


- Tekanan darah, SpO2, dan HR :
Waktu TD (mmHg) SpO2 HR (x/min)
03.35 170/100 100% 165
03.50 110/50 100% 150
04.05 100/50 100% 140
04.20 95/45 100% 125
04.30 100/50 100% 120

- Obat yang masuk :


a. Ondansentron 4 mg
b. Fentanyl 100 mcg
c. Propofol 100 mg
d. Roculax 30 mg
e. Oksitosin 20 IU
f. Tramadol drip 100 mg
- Cairan yang masuk :
a. Ringer lactate 1000 cc
- Perdarahan : 300 cc
- Urine output : 50 cc

Terapi Cairan
Rumus:
Maintenance (M) : 2 x kgBB/jam
Pengganti Puasa (PP) : Puasa (jam) x M
Stress Operasi (SO) : 6cc/kgBB (operasi sedang)
Jam I : ½ PP + M + SO
Jam II : ¼ PP + M + SO
Jam III : Jam II
Jam IV : M + SO
30 Menit : 1/2 Jam I
EBV : 65 (wanita) x BB
Perhitungan (BB= 83 Kg):
Maintenance (M) : 2 x 83 kg : 166 cc
Pengganti puasa (PP) : 4 x 166 cc : 664 cc
Stress operasi (SO) : 6 x 83 kg : 498 cc
EBV : 65 x 83 : 5395 cc
Lama operasi (55 menit)
Kebutuhan cairan durante operasi
Jam I : ½ PP + M + SO
: ½ 664 + 166 + 498
: 996 cc
Output durante operasi
Jumlah perdarahan = 300 cc
Urin output = 50 cc
Total output durante operasi = 350 cc

Tabel Keseimbangan Cairan Durante Operasi


Output Cairan Input Cairan
Perdarahan + urin output Durante operasi = 1000 cc
= 300 + 50 cc
Output cairan D.O. = 350 cc Input cairan D.O. = 1000 cc

Kebutuhan durante operasi


55 menit : 996 cc

Total Cairan Output Total Cairan Input


350 + 996 1000 cc
= 1346 cc = 1000 cc
Balance Cairan: - 346 cc

C. Laporan Follow-Up Post-Operasi


Hari, Subjektif dan Objektif Assessment Planning
tanggal
Sabtu, S: P2A0 usia 41 - IVFD RL
15/06/19 Pasien merasa lemas, tahun Post - IVFD Tutofusin
Pukul 07.00 dada berdebar-debar, SCTP a.i PEB - Inj. Dexametason
di ICU sesak, dan nyeri dan edem pulmo 2x 5 mg
tenggorok setelah - Inj. Meropenem
pemasangan NGT 3x1 gr
- Infus paracetamol
O : 3x 1 gr
KU/Kes : lemas/ - Furosemid pump 5
E4M6V5 mg/jam
TD : 126/83 mmHg - Morphin pump 1 gr
Nadi : 130 x/menit /jam
RR : 19 x/menit - ISDN pump 1 - 2
S: 39,5 0C gr /jam
- Fentanil syrpump
Status Generalis 10-20 mcg/ jam
- Mata : Conjungtiva - PO Dopamet 3 x
Anemis +/+, Sklera 500 mg
Ikterik -/-, Reflek - PO MgSO4
- PO Kalk 2 x 1 tab
Cahaya +/+ pupil isokor
3mm/3mm
- Hidung : terpasang
NGT
- Mulut : ETT + 
ventilator spontan
- Thorax : retraksi -
- Pulmo : Suara dasar
vesikuler +/+, Ronki
kasar -/-, Ronki halus -
/-, wheezing -/-
- Cor : S1>S2, regular,
murmur -, gallop –
- Abdomen : cembung,
supel, BU (+) normal,
kassa rembes –
- Ekstremitas: akral
hangat +/+//+/+, edema
+/+//+/+

Status Nifas
Lochia rubra: 5 cc
Kontraksi: keras
TFU: 1 jari di bawah
pusat

Status Vegetatif
BAK (+) DC 300 cc / 6
jam
BAB (-) Flatus (+)
Minggu, S: P2A0 usia 41 - IVFD RL
16/06/2019 Pasien mengeluhkan tahun Post - IVFD Tutofusin
pkl 07.00 di lemas dan sedikit sesak SCTP a.i PEB - IVFD NS
ICU dan edem pulmo - Inj. Meropenem
O: 3x1 gr
KU/ kes : lemah, tampak - Inj. Dexametason 1
gelisah/ E4V5M6 amp extra
TD : 120/85 mmHg - Infus paracetamol
Nadi : 127 x/menit 3x 1 gr
RR : 15 x/menit - Furosemid pump
S: 39,3 0C 5mg/jam
Status Generalis
- Mata : CA -/-, SI -/-, RC - Morphin pump 1 gr
+/+ pupil isokor /jam
3mm/3mm - ISDN pump 1 - 2
- Hidung : terpasang gr /jam
NGT - PO Dopamet 3 x
- Mulut : ETT +  500 mg
ventilator spontan - PO Kalk 2 x 1 tab
- Thorax : retraksi - - Nebulizer NaCl
- Pulmo : Suara dasar
vesikuler +/+, Ronki
kasar -/-, Ronki halus -
/-, wheezing +/+
- Cor : S1>S2, regular,
murmur -, gallop –
- Abdomen : cembung,
supel, BU (+) normal,
kassa rembes –
Ekstremitas: akral hangat
+/+//+/+, edema +/+//+/+

Status Nifas
Lochia rubra: 5 cc
Kontraksi: keras
TFU: 2 jari di bawah
pusat

Status Vegetatif
BAK (+) DC 700 cc / 6
jam
BAB (-) Flatus (+).
Senin, S: P2A0 usia 41 - IVFD RL
17/06/2019 Pasien mengatakan lemas
tahun Post - Inj. Meropenem
pkl 14.00 di dan tenggorokan tidak
SCTP a.i PEB 3x1 gr
ICU nyaman karena terpasang
dan edem pulmo - Inj. Dexametason
NGT extra 5 mg
- Inj. Ranitidin 3x 50
O: mg
KU/ Kes : tampak - Infus paracetamol
gelisah/ E4V5M6 3x 1 gr
TD : 140/100 mmHg - Furosemid pump
Nadi : 130 x/menit 2,5 cc/ jam
RR : 21 x/menit
S: 39.2 C - Morphin pump 2
Status Generalis cc/ jam
- Mata : CA -/-, SI -/-, RC - ISDN pump 1 - 2
+/+ pupil isokor gr /jam
3mm/3mm - PO Dopamet 3 x
- Hidung : terpasang 500 mg
NGT - PO Nifedipin 3x 10
- Mulut : ETT (+)  mg
sekret kental - PO Kalk 2 x 1 tab
- Pulmo : Suara dasar - Tranfusi albumin 1
vesikuler +/+, Ronki kolf (pelan)
kasar +/+, Ronki halus -
/-, wheezing -/-
- Cor : S1>S2, regular,
murmur -, gallop –
- Abdomen : cembung,
supel, BU (+) normal,
kassa rembes –
Ekstremitas: akral hangat
+/+//+/+, edema +/+//+/+

Status Nifas
Lochia rubra: 3 cc
Kontraksi: keras
TFU: 2 jari di bawah
pusat

Status Vegetatif
BAK (+) DC 650 cc / 6
jam
BAB (-) Flatus (+)
Selasa, S: P2A0 usia 41 - IVFD RL
18/06/2019 Pasien mengatakan sesak tahun Post - Inj. Meropenem
pkl 11.00 di napas SCTP a.i PEB 3x1 gr
ICU O: dan edem pulmo - Inj. Ranitidin 3x 50
KU/ Kes : tampak mg
gelisah, mengamuk/ - Infus paracetamol
E4V4M6 3x 1 gr
TD : 122/95 mmHg - Furosemid pump 5
Nadi : 130 x/menit mg/jam
RR : 21 x/menit - Morphin pump 1
S: 39.8 C gr/jam
Status Generalis - ISDN pump 1 - 2
- Mata : CA -/-, SI -/-, RC gr /jam
+/+ pupil isokor - PO Dopamet 3 x
3mm/3mm 500 mg
- Hidung : terpasang - PO Nifedipin 3x 10
NGT mg
- Mulut : ETT +  - PO Kalk 2 x 1 tab
ventilator spontan
- Thorax : retraksi -
- Pulmo : Suara dasar
vesikuler +/+, Ronki
kasar +/+, Ronki halus -
/-, wheezing -/-
- Cor : S1>S2, regular,
murmur -, gallop –
- Abdomen : cembung,
supel, BU (+) normal,
kassa rembes –
Ekstremitas: akral hangat
+/+//+/+, edema +/+//+/+

Status Nifas
Lochia rubra: 5 cc
Kontraksi: keras
TFU: 2 jari di bawah
pusat

Status Vegetatif
BAK (+) 850 cc/6 jam
Rabu, S: P2A0 usia 41 - IVFD RL
19/06/2019 Pasien mengatakan ingin tahun Post SCTP - Inj. Meropenem
pkl 14.00 di pulang. Pasien tidak a.i PEB dan 3x1 gr
ICU kooperatif. Pasien tidak edem pulmo - Infus paracetamol
mau makan sejak pagi. 3x 1 gr
- Furosemid pump 5
O: mg/ jam
KU :tampak gelisah - Morphin pump 1
Kes : E4V4M6 mg/jam
TD : 119/90 mmHg - Fentanil pump 3cc
Nadi : 153 x/menit /jam
RR : 24 x/menit - ISDN pump 2 mg/
S: 39.8 C jam
Status Generalis - PO Dopamet 3 x
- Mata : CA -/-, SI -/-, RC 500 mg
+/+ pupil isokor - PO Kalk 2 x 1 tab
3mm/3mm - PO curcuma
- Hidung : NGT (-)
- Mulut : ETT (-), NRM
(+)
- Thorax : retraksi -
- Pulmo : Suara dasar
vesikuler +/+, Ronki
kasar +/+, Ronki halus -
/-, wheezing -/-
- Cor : S1 dan S2 sdn,
murmur -, gallop –
- Abdomen : cembung,
supel, BU (+) normal,
kassa rembes –
- Ekstremitas: akral
hangat +/+//+/+, edema
+/+//+/+

Status Nifas
Lochia rubra: 5 cc
Kontraksi: keras
TFU: 2 jari di bawah
pusat

Status Vegetatif
BAK (+) 700 cc/ 6 jam

Hasil Pemeriksaan Penunjang Post SCTP

1. Darah Lengkap Tanggal 15 Juni 2019 pukul 05.30


Hematologi
Hemoglobin : 14.3
Leukosit : 25610 (H)
Hematokrit : 46 (L)
Eritrosit : 4.6 x 106 (L)
Trombosit : 236.000
MCV : 100.9
MCH : 31.2
MCHC : 30.9 (L)
RDW : 15.4 (H)
MPV : 11.9
Hitung Jenis
Basofil : 0.4
Eosinofil : 0.4 (L)
Batang : 3.4
Segmen : 69.6
Limfosit : 17.1 (L)
Monosit : 9.1 (H)
Kimia Klinik
Total protein : 6.72
Albumin : 2.20 (L)
Globulin : 4.52 (H)
GDS : 118
Ureum : 18.94
Kreatinin : 1.01
Natrium : 145
Kalium : 4.4
Klorida : 108
Kalsium : 8.0 (H)

2. Analisa Gas Darah (AGD) tanggal 15 Juni 2019 pukul 15.50


Kimia Klinik
Ph : 7.25 (L)
PO2 : 52.1 (L)
PCO2 : 38.0
HCO3 : 15.9 (L)
TCO2 : 17 (L)
Base excess (BS) : -10.2 (L)
HCO3 Standard : 16.1 (L)
O2 saturasi : 77.9 (L)
A-aDO2 : 403.1 (H)

3. Darah Lengkap Tanggal 18 Juni 2019 pukul 14.33


Hematologi
Hemoglobin : 13.2
Leukosit : 14460 (H)
Hematokrit : 42 (L)
Eritrosit : 4.3 x 106 (L)
Trombosit : 212.000
MCV : 97.4
MCH : 31.0
MCHC : 31.8 (L)
RDW : 15.7 (H)
MPV : 11.6
Hitung Jenis
Basofil : 0.3
Eosinofil : 0.1 (L)
Batang : 0.6 (L)
Segmen : 80.1 (H)
Limfosit : 8.4 (L)
Monosit : 10.5 (H)
PT : 10.8
APTT : 39.6 (H)
Kimia Klinik
SGOT : 279 (H)
SGPT : 343 (H)
Kreatinin : 1.31 (H)
Natrium : 150 (H)
Kalium : 3.2 (L)
Klorida : 108
4. Foto Rontgen Thorax tanggal 18 Juni 2019
Kesan :
- bentuk dan letak jantung normal
- Bercak interstitiel pada basal paru kanan kiri, suspek pasca edema pulmonum
- Suspek efusi pleura dupleks

Pasien pulang atas permintaan sendiri pada tanggal 19 Juni 2019 pukul 20.00.
I. TINJAUAN PUSTAKA

A. Edema Paru
Edem pulmo atau edema paru adalah akumulasi cairan di intersisial dan
alveolus paru yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh
tekanan intravaskular yang tinggi (Edem pulmo kardiak) atau karena
peningkatan permeabilitas membran kapiler (Edem pulmo non kardiak) yang
mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi
gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan
hipoksia (Harun dan Saly, 2009).
Edema paru terjadi bila volume plasma berlebihan memasuki ruang
interstisial dan alveoli. Edema paru merupakan suatu keadaan klinis akut yang
ditandai dengan gejala distres pernafasan dan takipnea yang sebanding dengan
penurunan PaO2 dan P(A-a)O2. Gangguan fisiologis yang menyebabkan
terjadinya hipoksemia adalah adanya ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
(ventilation-perfusion missmatch).
Pada paru normal (Gambar 1), cairan dan protein keluar dari mikrovaskular
terutama melalui celah kecil antara sel endotel kapiler ke ruang interstitial
sesuai dengan selisih antara tekanan hidrostatik dan osmotik protein, serta
permeabilitas membran kapiler. Cairan yang keluar dari sirkulasi ke ruang
alveolar intertisial pada keadaan normal tidak dapat masuk ke ruang alveolar
hal ini disebabkan epitel alveolus terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain
itu, ketika cairan memasuki ruang intertisial, cairan tersebut akan dialirkan ke
ruang peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan oleh sistem limfatik
ke sirkulasi. Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar tertahan.
Tekanan hidrostatik yang diperlukan untuk filtrasi cairan keluar dari
mikrosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrostatik kapiler paru yang
dihasilkan sebagian oleh gradien tekanan onkotik protein (Maria, 2010).

Gambar 1. Alveolus pada paru normal

Persamaan Starling menggambarkan daya yang mengendalikan


perpindahan cairan melalui membran semipermeabel. Persamaan ini juga
berguna dalam memberikan sebuah batasan klasifikasi penyebab edema paru,
karena penyimpangan salah satu dari variabel-variabel tersebut bertanggung
jawab terhadap terjadinya edema. Persamaan Starling menyatakan bahwa
aliran cairan melalui membran semipermeabel dikendalikan oleh tekanan dan
osmolaritas salah satu sisi membran, seperti halnya permeabilitas relatif
membran terhadap larutan dan zat terlarut (Wake, 2006).

1. Etiologi
a. Peningkatan tekanan hidrostatik mikrovaskular paru
Salah satu penyebab edema paru adalah perbedaan antara tekanan
mikrovaskular dan tekanan interstisial. Kenaikan tekanan mikrovaskular
paru dapat dikarenakan pemberian cairan intravena yang berlebihan
(meskipun pemberian ini juga mempengaruhi tekanan osmotik), dan
defek-defek kardiak, termasuk di antaranya adalah shunt (pirai) kiri-ke-
kanan, obstruksi vena paru dan atrium kiri, serta disfungsi ventrikel kiri.
b. Penurunan tekanan osmotik koloid
Terjadi akibat kadar protein yang rendah. Biasanya terjadi pada
malnutrisi berat, enteropati yang menyebabkan kehilangan protein, dan
nefrosis
c. Penurunan tekanan hidrostatik interstisial
Nilai tekanan interstisial telah diperkirakan antara -5 hingga -10
mmHg. Penurunan tekanan hidrostatatik interstisial dapat terjadi karena
tiga keadaan, yaitu penurunan tekanan intratorakal, peningkatan tekanan
hidrostatik intravaskular, dan peningkatan tekanan negatif pleura.
d. Peningkatan permeabilitas kapiler paru
Dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu penambahan jumlah total
poros dan pelebaran diameter poros. Keadaan ini dapat disebabkan oleh
lepasnya mediator inflamasi, inhalasi zat toksik, terbakar, toksin, dan
lain-lain. Bila merujuk persamaan Starling, hal ini merupakan jumlah
peningkatan koefisien filtrasi (Kf) dan penurunan koefisien refleksi. Hal
tersebut akan menyebabkan cairan edema yang relatif kaya protein.
e. Insufisiensi aliran pembuluh limfatik
Edema paru yang disebabkan oleh insufisiensi limfatik adalah satu-
satunya edema paru yang sejauh ini tidak dideskripsikan dalam
persamaan Starling. Aliran limfatik diperkirakan sebesar 10-20 ml/jam
pada orang dewasa dengan kemampuan untuk mengatasi peningkatan
sebesar 10 tanpa perubahan signifikan dalam akumulasi cairan
interstisial. Kontribusi relatif dari faktor-faktor di dalam sistem limfatik,
seperti valvula limfatik dan otot polos, yaitu bekerja sebagai pompa
untuk mengatasi peningkatan tekanan vena sistemik, masih
diperdebatkan.
f. Peningkatan luas permukaan vaskular paru
Satu hal yang perlu untuk diingat adalah, dibandingkan dengan
dewasa, area permukaan vaskular yang berisi darah lebih luas pada bayi
dan anak. Oleh karena itu, keadaan tersebut mempermudah terjadinya
perpindahan cairan paru.
2. Klasifikasi dan Patomekanisme
Edema paru dapat diklasifikasikan sebagai edema paru kardiogenik dan
edema paru non-kardiogenik. Edema paru kardiogenik disebabkan oleh
peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru yang dapat terjadi akibat
perfusi berlebihan baik dari infus darah maupun produk darah dan cairan
lainnya, sedangkan edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas kapiler paru (Rampengan, 2014).
a. Edema pulmo kardiogenik
Edem pulmo kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan
peningkatan filtrasi cairan transvaskular. Ketika tekanan interstitial paru
lebih besar daripada tekanan pleural maka cairan bergerak menuju pleura
visceralis yang menyebabkan efusi pleura. Jika permeabilitas kapiler
endotel tetap normal maka cairan edema yang meninggalkan sirkulasi
memiliki kandungan protein yang rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik
di kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan
vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri
dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18 – 25
mmHg) menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang intersisial
peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25)
maka cairan edema akan menembus epitel paru, membanjiri alveolus
(gambar 2).
Secara patofisilogi edem pulmo kardiogenik ditandai dengan transudasi
cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru akibat terjadinya
peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi
ini terjadi tanpa perubahan pada permiabilitas atau integritas dari membran
alveoli-kapiler dan hasil akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan
difusi, hiposemia dan sesak nafas (Harun dan Sally, 2009). Edem pulmo
kardiogenik terdiri dari tiga stage, yaitu (Rampengan, 2014):
1) Cairan dan koloid berpindah dari kapiler paru ke interstisial paru tapi
terdapat peningkatan cairan yang keluar dari aliran limfatik.
2) Kemampuan pompa sistem limfatik telah terlampaui sehingga cairan
koloid mulai terakumulasi pada ruang interstisial sekitar bronkioli,
arteriol, dan venula.
3) Peningkatan akumulasi cairan menyebabkan terjadinya edema alveoli.
Pada tahap ini mulai terjadi gangguan pertukaran gas.
Gambar 2. Mekanisme edem pulmo kardiogenik dan non kardiogenik

b. Edema pulmo non kardiogenik


Edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya
cairan dan protein masuk ke dalam intersisial paru dan alveolus. Cairan
edema paru nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi karena
membran pembuluh darah lebih permeabel untuk dilewati oleh molekul
besar seperti protein plasma. Banyaknya cairan edema tergantung pada
luasnya edema interstitial, ada atau tidak adanya cidera pada epitel alveolar
dan kemampuan dari epitel alveolar untuk secara aktif mengeluarkan
cairan edema alveolar. Edema paru akibat acute lung injury dimana terjadi
cedera epitel alveolar yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk
menghilangkan cairan alveolar (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).
3. Gejala klinis
Gejala paling umum dari Edem pulmo adalah sesak nafas. Ini mungkin
adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang
secara perlahan, atau dapat mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada
kasus dari Edem pulmo akut. Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk
mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak nafas daripada normal
dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), nafas yang cepat
(takipnea), kepeningan atau kelemahan (Alasdair et al, 2008; Lorraine et al,
2005; Maria I, 2010).

4. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edema paru,
misalnya adanya riwayat sakit jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai
dengan gagal jantung kronis. Edema paru akut kardiak, kejadiannya
sangat cepat dan terjadi hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim.
Keadaan ini merupakan pengalaman yang menakutkan bagi pasien
karena mereka batuk-batuk dan seperti seseorang yang akan tenggelam
(Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).
b. Pemeriksaan fisik
Terdapat takipnea, ortopnea (manifestasi lanjutan). Takikardia,
hipotensi atau tekanan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam
posisi duduk agar dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan
lebih baik saat respirasi atau sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat
retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa supraklavikula yang
menunjukkan tekanan negatif intrapleural yang besar dibutuhkan pada
saat inspirasi, batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan (pink
frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru akan
terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat
wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan gallop, bunyi jantung 3
dan 4. Terdapat juga edema perifer, akral dingin dengan sianosis (Harun
dan Sally, 2009; Maria, 2010).
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang relevan diperlukan untuk mengkaji
etiologi edema paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan
hematologi / darah rutin, fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa,
analisa gas darah, enzim jantung (CK-MB, troponin I) dan Brain
Natriuretic Peptide (BNP). BNP dan prekursornya Pro BNP dapat
digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema paru kardiogenik pada
kondisi gawat darurat.
Gambaran radiografi pada edema paru tidak spesifik. Bentuk-bentuk
edema paru yang lebih berat seringkali menghasilkan kesuraman
perihiler, kemungkinan karena terdapat kumpulan cairan yang banyak di
perivaskular dan peribronkial di daerah ini. Penebalan septum (edema
septum septum interlobular) terlihat sebagai garis tipis, lurus, sepanjang
2-6 cm. Pada daerah perihiler disebut sebagai garis Kerley “A”. Garis-
garis yang mirip, tidak lebih dari 2 cm, ditemukan pada lapangan paru
perifer tegak lurus terhadap garis pleura, disebut sebagai garis Kerley
“B”. Garis garis Kerley “C” lebih pendek dan membentuk pola retikuler
di bagian basiler sentral paru dan biasanya paling baik terlihat pada foto
lateral. Gambaran lain yang bisa terlihat adalah penebalan perivaskular
dan peribronkial, gambaran pembuluh darah yang lebih menonjol, serta
gambaran diafragma yang terlihat rendah. Gambaran foto thorax dapat
digunakan untuk membedakan edem pulmo kardiogenik atau non
kardiogenik.
Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda
iskemia atau infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan
krisis hipertensi gambaran EKG biasanya menunjukkan gambaran
hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi
yang non iskemik biasanya menunjukkan gambaran gelombang T negatif
yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan membaik
dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1 minggu.
Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui tetapi beberapa keadaan
yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-
endokardial yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada
dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak atau peningkatan
elektrikal akibat perubahan metabolik atau ketokolamin (Harun dan
Sally, 2009).

5. Penatalaksanaan
Terapi awal yang paling penting adalah pemberian oksigen, jika perlu
dengan ventilasi mekanik. Pemberian ventilasi mekanik bertujuan tidak
hanya untuk mengurangi kerja pernapasan saja, tetapi juga meningkatkan
oksigenasi dengan mencegah kolaps alveoli memakai positive end expiratory
pressure (PEEP). Peningkatan oksigenasi menyebabkan cairan keluar ke
intersitisial sehingga tidak mengganggu pertukaran gas.
Jika edema paru disebabkan oleh gagal jantung dengan peningkatan
tekanan mikrovaskular pulmonal, maka dapat dilakukan terapi untuk
perbaikan fungsi jantung. Perbaikan fungsi jantung dapat dicapai dengan
berbagai cara, oksigen dan digitalis diberikan untuk meningkatkan volume
semenit, pemberian morfin dapat membantu mengurangi preload dan
afterload karena mengurangi ansietas. Penurunan afterload ventrikel kiri
akan memungkinkan peningkatan fraksi ejeksi tanpa meningkatkan kerja
miokardial. Aminofilin dapat diberikan, karena selain mengurangi afterload,
efek lainnya dapat memperbaiki kontraktilitas dan menyebabkan
bronkodilatasi. Perbaikan kontraktilitas miokardium dapat melalui stimulasi
adrenergik dengan obat-obat inotropik seperti dopamin, dobutamin, atau
isoproterenol dengan meningkatkan curah jantung dan menurunkan tekanan
pengisian ventrikel. Preload juga dapat dikurangi dengan posisi duduk, juga
dengan pemberian ventilasi tekanan positif. Sebagai tambahan, perlu juga
diberikan terapi suportif, seperti merencanakan pemberian cairan dengan
cermat, dengan memberikan sejumlah cairan pengganti dehidrasi, sambil
melakukan koreksi asam basa, dan kemudian memberikan cairan
pemeliharaan.
Diuretik diberikan dengan tujuan mengurangi volume plasma dan
pengisian atrium kiri, juga untuk meningkatkan tekanan koloid osmotik.
Mekanisme kerja diuretik dalam mengatasi edema paru adalah dengan
meningkatkan kapasitas vena, dan meningkatkan eksresi garam dan air
sehingga mengurangi pengeluaran cairan dari mikrovaskular paru. Pada
edema berat, furosemid dapat diberikan secara intravena dengan dosis 1-2
mg/kgBB. Dosis ini biasanya menghasilkan diuresis nyata yang menurunkan
tekanan mikrovaskular paru dan meningkatkan konsentrasi protein di dalam
plasma. Dua perubahan ini menghambat filtrasi cairan ke dalam paru dan
mempercepat masuknya air ke dalam mikrosirkulasi paru dari interstisial.
Terapi berkelanjutan dengan furosemid, kadangkala disertai dengan
penggunaan diuretik lain seperti spironolakton dan tiazid, digunakan untuk
membantu mengendalikan edema paru. Pada terapi jangka panjang dengan
diuretik sering terjadi kehilangan sejumlah besar kalium klorida. Deplesi
elektrolit ini biasanya dapat dicegah dengan menggunakan suplementasi
kalium klorida, 3-5 mEq/kgBB setiap hari.
Jika terdapat hipotensi, zat inotropik seperti dopamin dan dobutamin juga
mempunyai efek terhadap pembuluh darah paru. Jika terdapat resistensi
vaskular yang tinggi, maka dobutamin lebih efektif karena dapat
meningkatkan volume jantung semenit tanpa meningkatkan resistensi
vaskular sistemik, bahkan menyebabkan vasodilatasi sistemik.
Pemberian albumin intravena bermanfaat jika edema paru disebabkan
oleh penurunan tekanan koloid osmotik. Untuk mencegah efek penumpukan
cairan sementara akibat albumin, maka pemberiannya harus lambat dan
disertai diuretik. Pada bayi, serta anak-anak dengan edema paru berat, infus
albumin atau plasma biasanya tidak memberikan keuntungan. Pemberian
tersebut cenderung meningkatkan tekanan mikrovaskular paru, sebagai usaha
mengimbangi efek peningkatan tekanan osmotik protein intravaskular.
Selanjutnya, protein yang diberikan dapat bocor ke interstisial paru, sehingga
menambah beratnya edema.
Pada edema paru yang disebabkan oleh perubahan permeabilitas kapiler,
seperti ARDS, maka dapat ditambahkan steroid dan nonsteroid
antiinflammation drugs (NSAID) dosis tinggi. Jika disebabkan sepsis dan
disseminate intravascular coagulation (DIC), maka dapat diberikan heparin
dan dekstran. Pemberian antioksidan dapat dipertimbangkan pada beberapa
kasus ARDS atau NRDS.
Kondisi-kondisi yang merusak kerja miokardium (hipoglikemia,
hipokalsemia, infeksi) membutuhkan terapi spesifik, sementara faktor-
faktor/keadaan yang meningkatkan aliran darah paru (hipoksia, nyeri, dan
demam) seharusnya dihindari atau diterapi secepatnya. Jika tindakan-
tindakan ini tidak berhasil mengurangi edema, perlu diberikan dukungan
ventilator dengan PEEP. Positive end-expiratory pressure tidak mengurangi
kandungan air paru, tetapi mendistribusi ulang cairan dalam rongga-rongga
udara, dan memperbaiki pertukaran gas respirasi. Beberapa penelitian
menemukan bahwa pemberian ventilasi mekanik dengan PEEP dan
continuous positive airway pressure (CPAP) cukup efektif. Positive end-
expiratory pressure dapat mengurangi penumpukan cairan di paru, sedangkan
CPAP dapat mencegah terjadinya kolaps unit alveoli dan membuka kembali
unit alveoli yang sudah kolaps. Keadaan ini akan meningkatkan kapasitas
residu fungsional (functional residual capacity, FRC). Peningkatan FRC akan
memperbaiki komplians paru, meningkatkan produksi surfaktan, dan
menurunkan resistensi vaskular. Hasil akhirnya adalah penurunan kerja
pernapasan, peningkatan oksigenasi, dan penurunan afterload jantung.
Tatalaksana edem pulmo akut kardiogenik berdasarkan ESC 2012
sebagai berikut.

Gambar 3. Algoritma tatalaksana edem pulmo (ESC, 2012).


B. Preeklamsia Berat (PEB)
Preeklampsia berat adalah peningkatan tekanan darah sekurang-kurangnya
160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik, dengan atau tanpa proteinuria.
Preeklamsia merupakan suatu keadaan hipertensi pada masa kehamilan yang
timbul setelah usia kehamilan 20 minggu. Hipertensi dalam kehamilan dapat
didiagnosis PEB apabila terdapat salah satu dari tanda berikut:
1. Tekanan darah > 160/110
2. Proteinuria > +1
3. Serum kreatinin > 1,1 g/dl
4. Peningkatan enzim hati >2 kali
5. Trombosit < 100.000
6. Edema paru
7. Nyeri kepala, gangguan penglihatan dan nyeri epigastrium
Faktor risiko preeklamsia berat sama dengan faktor risiko hipertensi dalam
kehamilan lainnya, yaitu meliputi faktor maternal dan faktor janin atau
plasenta.
1. Faktor maternal
a. Usia
Usia yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah usia 20-30
tahun. Komplikasi maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia
di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi dari pada kematian
maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Setiap remaja primigravida
mempunyai risiko yang lebih besar mengalami hipertensi dalam
kehamilan dan meningkat lagi saat usia diatas 35 tahun (Manuaba, 2007).
b. Primigravida
Sekitar 85% hipertensi dalam kehamilan terjadi pada kehamilan
pertama. Jika ditinjau dari kejadian hipertensi dalam kehamilan,
graviditas paling aman adalah kehamilan kedua sampai ketiga (Katsiki
et al., 2010). Selain itu, risiko mengalami preeklampsia pada kehamilan
kedua dengan interval ≥ 10 tahun adalah sama dengan ibu yang belum
pernah melahirkan sebelumnya.
c. Riwayat Hipertensi
Riwayat hipertensi kronis yang dialami selama kehamilan dapat
meningkatkan risiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan, dimana
komplikasi tersebut dapat mengakibatkan superimposed preeclampsi dan
hipertensi kronis dalam kehamilan (Manuaba, 2007).
d. Obesitas
Obesitas merupakan salah satu faktor risiko penting terjadinya
preeklampsia. Dislipidemia dan diabetes melitus gestasional
meningkatkan risiko preeklampsia dua kali lipat, mungkin berhubungan
dengan disfungsi endotel (Myrtha, 2015).
e. Gangguan ginjal
Penyakit ginjal seperti gagal ginjal akut yang diderita pada ibu hamil
dapat menyebabkan hipertensi dalam kehamilan. Hal tersebut
berhubungan dengan kerusakan glomerulus yang menimbulkan
gangguan filtrasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (Muflihan, 2012).
2. Faktor janin
Faktor janin seperti molahilatidosa, hydrops fetalis dan kehamilan
ganda berhubungan dengan hipertensi dalam kehamilan. Preeklampsi dan
eklampsi mempunyai risiko 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan
ganda. Dari 105 kasus bayi kembar dua, didapatkan 28,6% kejadian
preeklampsi dan satu kasus kematian ibu karena eklampsi (Manuaba, 2007).
Patofisiologi preeklampsia dibagi menjadi dua tahap, yaitu perubahan
perfusi plasenta dan sindrom maternal. Tahap pertama terjadi selama 20
minggu pertama kehamilan. Pada fase ini terjadi perkembangan abnormal
remodelling dinding arteri spiralis. Abnormalitas dimulai pada saat
perkembangan plasenta, diikuti produksi substansi yang jika mencapai
sirkulasi maternal menyebabkan terjadinya sindrom maternal. Tahap ini
merupakan tahap kedua atau disebut juga fase sistemik. Fase ini merupakan
fase klinis preeklampsia, dengan elemen pokok respons inflamasi sistemik
maternal dan disfungsi endotel.
Hipoksia plasenta terjadi karena berkurangnya aliran darah dalam arteri
spiralis. Hal ini terjadi karena kegagalan invasi sel tropoblast pada dinding
arteri spiralis pada awal kehamilan dan awal trimester kedua kehamilan
sehingga arteri spiralis tidak dapat melebar dengan sempurna dan terjadi
kegagalan “remodeling arteri spiralis”, sehingga aliran darah utero plasenta
menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
Hipoksia plasenta yang berkelanjutan akan melepaskan zat-zat toksis
seperti sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase dalam sirkulasi
darah ibu, dan akan menyebabkan terjadinya stress oksidatif yaitu suatu
keadaan di mana radikal bebas jumlahnya lebih dominan dibandingkan
antioksidan. Stress oksidatif pada tahap berikutnya bersama dengan zat toksis
yang beredar dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sel endotel
pembuluh darah yang disebut disfungsi endotel yang dapat terjadi pada seluruh
permukaan endotel pembuluh darah pada organ-organ penderita preeklampsia.
Pada disfungsi endotel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat yang
bertindak sebagai vasodilator seperti prostasiklin dan nitrat oksida,
dibandingkan dengan vasokonstriktor seperti endothelium I, tromboxan, dan
angiotensin II sehingga akan terjadi vasokonstriksi yang luas dan terjadilah
hipertensi. Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem
koagulasi, sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan thrombus.
Secara keseluruhan setelah terjadi disfungsi endotel di dalam tubuh penderita
preeklampsia jika prosesnya berlanjut dapat terjadi disfungsi dan kegagalan
organ seperti berikut:
a. Pada ginjal menyebabkan disfungsi glomerulus yang ditandai dengan
hiperurisemia, proteinuria sampai dengan gagal ginjal.
b. Penyempitan pembuluh darah sistemik ditandai dengan hipertensi. Terjadi
perubahan permeabilitas pembuluh darah yang ditandai dengan edem paru
atau edem anasarka.
c. Trombositopenia dan koagulopati
d. Pandangan kabur sampai kebutaan, kejang dan perdarahan.
e. Pada plasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, hipoksia
janin, dan solusio plasenta
Gambar 4. Patofisiolgi terjadinya preeklamsia (Subandrate, 2017)

Wanita hamil dengan preeklamsia dengan gejala pemberat biasanya akan


dilakukan tindakan terminasi segera untuk menghindarkan komplikasi
maternal maupun fetal yang ada. Preeklamsia sendiri merupakan penyakit yang
progresif dan tidak memiliki terapi definitif selain terminasi yang merupakan
hal yang terbaik bagi si ibu, tetapi tidak pula pada fetus, terkadang keputusan
untuk menunda terminasi dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan hasil
luaran neonatus yang lebih baik pula (POGI, 2016). Penanganan konservatif
pada kehamilan dengan PEB dapat dilihat pada gambar 5.
1. Obat Antihipertensi
ESC merekomendasikan jika tekanan darah sistolik >170 mmHg atau
diastolik >110 mmHg pada wanita hamil diklasifikasikan sebagai
emergensi dan merupakan indikasi rawat inap. Terapi farmakologis
dengan labetalol intravena, metildopa oral, atau nifedipin sebaiknya segera
diberikan.
Obat pilihan untuk preeklampsia dengan edema paru adalah
nitrogliserin infus intravena dengan dosis 5 μg/menit dan ditingkatkan
bertahap tiap 3-5 menit hingga dosis maksimal 100 μg/menit. Furosemid
intravena dapat digunakan untuk venodilatasi dan diuresis (20-40 mg bolus
intravena selama 2 menit), dapat diulang 40-60 mg setelah 30 menit jika
respons diuresis kurang adekuat. Morfin intravena 2-3 mg dapat diberikan
untuk venodilator dan ansiolitik. Edema paru berat memerlukan ventilasi
mekanik. Selain itu, perlu pengukuran keseimbangan cairan agar tidak
terjadi overload. Perlu pemasangan kateter urin untuk mengetahui
pengeluaran volume dan proteinuria. Jika jumlah urin <30 ml per jam,
infus cairan dipertahankan sampai 1 jam dan pantau kemungkinan edema
paru. Observasi tanda-tanda vital ibu dan denyut jantung janin dilakukan
setiap jam (Myrtha, 2015).
Obat antihipertensi larut lemak konsentrasinya dapat lebih tinggi di
ASI. Paparan neonatus pada penggunaan obat metildopa, labetalol,
captopril dan nifedipin rendah, sehingga obat-obat ini dianggap aman
diberikan selama menyusui. Diuretik juga didapatkan pada konsentrasi
rendah, tetapi dapat mengurangi produksi ASI. Metildopa sebaiknya
dihindari pascapersalinan karena dapat menyebabkan depresi pasca-
melahirkan.
2. Magnesium sulfat
Magnesium sulfat mempunyai efek antikejang dan vasodilator.
Magnesium sulfat merupakan agen pencegahan eklampsia paling efektif,
dan obat lini pertama untuk terapi kejang pada eklampsia. Selain itu,
direkomendasikan untuk profilaksis eklampsia pada wanita dengan
preeklampsia berat.
Dosis awal MgSO4 (loading dose) yaitu 4 gram MgSO4 40% dalam
100 cc NaCl habis dalam 30 menit. Dosis pemeliharaannya yaitu 6 gr
MgSO4 40% dalam 500 cc RL selama 6 jam. Pemberian tersebut
dilanjutkan sampai 24 jam postpartum atau kejang terakhir. Pemberian
MgSO4 dihentikan jika frekuensi nafas <16 kali/menit, refleks patella
negatif dan urin <30 ml/jam. Jika terjadi henti nafas atau tanda-tanda
intoksikasi magnesium, maka diberikan glukonat 2 gr (20 ml dalam larutan
10%) IV pelan sampai pernafasan membaik.
3. Konseling dan follow up pasca-persalinan
Tujuan terapi adalah untuk mencegah terjadinya hipertensi berat.
Obat antihipertensi antenatal sebaiknya diberikan kembali post-partum
dan dapat dihentikan dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah
tekanan darah normal. Jika tekanan darah sebelum konsepsi normal,
tekanan darah biasanya normal kembali dalam 2-8 minggu. Hipertensi
yang menetap setelah 12 minggu postpartum mungkin menunjukkan
hipertensi kronis yang tidak ter diag nosis atau ada nya hipertensi
sekunder. Evaluasi post-partum perlu dilakukan pada pasien preeklampsia
onset dini, preeklampsia berat atau rekuren, atau pada pasien dengan
proteinuria yang menetap; perlu dipikirkan kemungkinan penyakit ginjal,
hipertensi sekunder, dan trombofilia (misalnya sindrom antibody
antifosfolipid).

Gambar 5. Skema tatalaksana kehamilan dengan PEB. (Wagner, 2012)

Wanita dengan riwayat preeklamsia memiliki risiko penyakit


kardiovaskuler, termasuk 4x peningkatan risiko hipertensi, dan 2x risiko
penyakit jantung iskemik, stroke, dan DVT di masa yang akan datang. Risiko
kematian pada wanita dengan riwayat preeklamsia lebih tinggi, termasuk
disebabkan oleh penyakit serebrovaskuler. Penderita preeklampsia dapat juga
mengalami morbiditas seperti Disseminated Intravascular Coagulation (DIC),
gagal ginjal akut, gangguan penglihatan, Edema paru, eklampsia, Systemic
Inflammatory Response Syndrome (SIRS), perawatan ICU, sepsis dan
perdarahan post partum. Ditambah lagi bila preeklampsia dengan Sindrom
HELLP yang dapat memperburuk kondisi ibu hamil.
Preeklampsia merupakan salah satu penyebab terpenting edema paru akut
dengan hipertensi pada kehamilan. Edema paru akut merupakan penyebab
penting morbiditas dan mortalitas pada kehamilan, di tandai dengan sesak nafas
mendadak, dapat disertai agitasi, dan merupakan manifestasi klinis proses
penyakit yang berat. Terapi meliputi oksigenasi, ventilasi, dan kontrol sirkulasi
dengan venodilator. Dibandingkan dengan wanita pada kehamilan fisiologis,
wanita preeclampsia memperlihatkan berbagai abnormalitas jantung, mulai
dari peningkatan curah jantung dan peningkatan ringan resistensi vaskuler
sistemik, hingga penurunan curah jantung dengan peningkatan resistensi
vaskuler sistemik. Sering kali didapatkan gangguan fungsi diastolik dengan
hipertrofi ventrikel kiri. Pada preeklampsia juga terjadi penurunan tekanan
osmotik koloid plasma dan gangguan permeabilitas endotel. Krisis hipertensi
yang mencetuskan edema paru akut mungkin karena aktivasi system saraf
simpatis yang menyebabkan terjadinya vasokonstriksi, sehingga meningkatkan
afterload dan redistribusi cairan dari sirkulasi perifer ke sirkulasi pulmonal.
Hal ini menyebabkan akumulasi cairan pada alveolus dan penurunan
oksigenasi (Myrtha, 2015).
C. Persiapan Pra Anestesi
Pemeriksaan pre operatif dilakukan pada saat pre operatif visit.
Pemeriksaan ini dilakukan seperti pemeriksaan pada umumnya yaitu
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Secara umum
pemeriksaan pre operatif meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang dan menentukan prognosis dari operasi (Roizen, 2005):
1. Anamnesis
Anamnesis dapat dilakukan secara langsung kepada pasien
(autoanamnesa) atau dengan keluarga pasien (alloanamnesa). Yang harus
diperhatikan dan ditanyakan dalam melakukan anamnesia di antaranya
adalah Identitas pasien, keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan
dihadapi, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat
penyakit keluarga, riwayat obat-obatan, riwayat anestesi atau operasi
sebelumnya, riwayat kebiasaan & konsumsi makan terakhir (Roizen, 2005).
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan secara umum adalah pemeriksaan
antropometri, berupa tinggi badan dan berat badan, kesadaran, keadaan
umum, tanda-tanda anemia, ikterus, sianosis, dehidrasi, edema, dan tanda
vital berupa tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi napas, suhu tubuh.
Setelah dilakukan pemeriksaan secara umum, maka dilakukan
pemeriksaan 5B yaitu: Breath, Blood, Bowel, Bladder, dan Bone (Roizen,
2005).
Pada pemeriksaan Breath dinilai jalan napas, pola napas, suara napas,
dan anatomi fungsi paru. Selain itu juga dilakukan evaluasi tentang
penyulit dalam intubasi seperti panjang leher, gangguan membuka mulut,
kekakuan otot leher, masalah gigi (gigi tanggal, gigi goyang, gigi palsu)
dan lidah relatif besar. Pada pemeriksaan blood yang dinilai adalah
tekanan darah, suara jantung dan kelalinan anatomis fungsi jantung. Pada
pemeriksaan brain yang dinilai diantaranya adalah GCS dan kelainan pada
saraf pusat dan perifer. Pemeriksaan Bowel dapat dinilai dengan cara
menanyakan makan minum terakhir, memeriksa bising usus, gangguan
peristaltik dan gangguan lambung dan kehamilan. Sedangkan pada
pemeriksaan Bladder yang dicek adalah prosuksi urine untuk mengetahui
apakah ada gangguan ginjal atau tidak. Pemeriksaan yang terakhir adalah
Bone. Pada pemeriksaan Bone yang dinilai adalah kelainan postur,
kelainan neuromuskuler dan ada atau tidaknya patah tulang (Fleisher,
2005).
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan yang dilakukan apabila
pemeriksaan fisik dirasa masih meragukan sehingga untuk mendapatkan
kepastian perlu dilakukan pemeriksaan penunjang seperti radiologi, EKG
atau pemeriksaan laboratorium. Adapun indikasi dilakukan pemeriksaan
penunjang antara lain: usia, penyakit yang diderita, penyakit penyerta,
penyakit dahulu, penyakit keluarga herediter dan lalin lain (Roizen, 2005).
Adapun pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan adalah
pemeriksaan darah rutin (Hb, leukosit, trombosit, hematokrit) dan
pemeriksaan kimia klinik seperti fungsi hepar (SGOT, SGPT, albumin),
fungsi ginjal (urine lengkap, BUN, serum kreatinin), fungsi hemostasis
(PT, APTT), dan serum elektrolit (Na, K, Cl). Sedangkan pemeriksaan
fisik yang dilakukan berdasarkan indikasi di antaranya adalah pemeriksaan
radiologi (foto thorak, BOF, CT scan, USG, dan lain lain), laboratorium
(gula darah), dan EKG (Roizen, 2005).
Apabila pemeriksaan pre operatif dilakukan dan telah memeroleh
gambaran tentang keadaan fisik dan mental pasien beserta masalah-
masalah yang ada, selanjutnya menentukan prognosis dari operasi,
membuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan
(Roizen, 2005).
4. Menentukan prognosis, morbiditas dan mortalitas operasi
Prognosis suatu operasi dapat ditentukan melalui status kalsifikasi
fisik ASA (American Society of Anesthesiology) dengan kategori sebagai
berikut:
Tabel 2. Klasifikasi Status Fisik ASA (American Society of
Anaesthesiologists, 2014)
Klasifikasi Definisi Contoh Kasus
ASA 1 Pasien sehat dan Pasien sehat, tidak merokok, atau
normal. konsumsi alkohol minimal.
ASA 2 Pasien dengan penyakit Asma ringan atau hipertensi
sistemik ringan yang terkontrol, pasien perokok,
tidak berpengaruh hipertensi dan DM terkontrol.
terhadap aktivitas
sehari-hari.
ASA 3 Pasien dengan penyakit Diabetes dan hipertensi yang tidak
sistemik berat atau terkontrol dengan baik, PPOK,
secara bermakna obesitas parah (IMT ≥ 40), hepatitis
membatasi aktivitas aktif,
sehari-hari. ketergantungan/penyalahgunaan
alkohol, gagal ginjal dengan
hemodialysis terjadwal, dll.
ASA 4 Pasien dengan penyakit Infark miokardial akut, gagal nafas
berat yang mengancam yang membutuhkan ventilasi
nyawa atau mekanik.
membutuhkan terapi
intensif.
ASA 5 Pasien hampir Rupture aneurisma
meninggal yang abdomen/thoraks, trauma massif,
mungkin akan perdarahan intrakranial dengan efek
meninggal dalam 24 massa.
jam dengan atau tanpa
tindakan operasi
ASA 6 Pasien sudah
dinyatakan mati batang
otak dan organnya
ingin didonorkan.
“E” ditambahkan pada status di atas, menunjukkan operasi emergensi yang
bila tidak segera dilakukan dapat meningkatkan bahaya pada hidup pasien
atau bagian tubuh pasien.

Selain itu, untuk memprediksi keadaan buruk yang spesifik yang akan
berpengaruh pada kelancaran operasi seperti (Latief, 2002):
a. Masalah dengan jalan napas
Masalah dengan jalan napas berhubungan dengan kesulitan intubasi
pada proses operasi, sehingga pemeriksaan pre operasi harus tepat.
Identifikasi pasien yang potensial diduga akan terjadi kesulitan dalam
melakukan intubasi harus dilakukan untuk menentukan tindakan atau
teknik anestesi yang tepat harus dilakukan. Pada penatalaksanaan pre
operasi, salah satu penilaian klinik yang dapat dilakukan untuk menilai
kemungkinan terjadinya kesulitan intubasi adalah tes Mallampati dan
Thyromental Distance (TMD).
Tes mallampati dilakukan dengan cara pasien membuka mulut
semaksimal mungkin yang dapat dilakukan disertai dengan lidah
menjulur ke depan, dan pada saat itu yang dilihat adalah daerah bagian
faring posterior. Apabila pada tes Mallampati ditemukan bagian faring
posterior tidak dapat terlihat, maka kemungkinan akan terjadi kesulitan
dalam intubasi. Adapun interpretasi dari tes Mallampati adalah
(Downing, 2008):
- Grade I: Faring posterior, uvula, dan palatum mole terlihat jelas,
seluruh tonsil terlihat jelas
- Grade II: faring posterior tidak terlihat, uvula dan palatum mole
terlihat sedangkan, setengah keatas dari fossa tonsil terlihat
- Grade III: faring posterior tidak terlihat, uvulu hanya terlihat bagian
basis, palatum mole dan palatum durum masih terlihat
- Grade IV: Faring posterior, uvula dan palatum mole tidak terlihat,
hanya palatum durum yang terlihat.

Gambar 6. Mallampati Score

Thyromental Distance (TMD) adalah jarak yang diukur dari bagian


mentum sampai ke kartilago tiroid dengan posisi kepala ekstensi
maksimal. Hasil pengukuran TMD > 6,5 cm dapat dikategorikan mudah
untuk dilakukan intubasi, TMD 6-6,5 cm sulit intubasi tapi masih bisa
dilakukan dengan menggunakan bantuan optical stylet, sedangkan
TMD < 6 cm merupakan indikasi sulit dilakukan intubasi dan
pemasangan laringoskop (Baker, 2009).

.
Gambar 7. Thyromental Distance (TMD)

b. Kondisi jantung yang tidak baik


Untuk menilai kondisi jantung yang tidak baik pada operasi non
kardiak dapat dilakukan menggunakan penghitungan indeks Goldman
(Morgan, 2002).
Tabel 4. Indeks Goldman dari risiko kardiak pada prosedur Non-kardiak
Faktor Risiko Nilai
Suara jantung III atau distensi vena jugularis 11
MI dalam 6 bulan terakhir 10
Irama selain sinus atau kontraksi prematur atrial 7
Lebih dari 5 denyutan ventrikel ektopik dalam 1 menit 7
Operasi abdomen, toraks, atau aorta 3
Usia > 70 tahun 5
Important cardiac stenosis 3
Tindakan pembedahan darurat 4
Kondisi buruk yang ditandai salah satu dari: 3
- PaO2 < 8 kPa
- PaCo2 > 6,5 kPa
- Kalium < 3 mmol/L
- HCO3 < 20 mmol/L
- Urea > 7,5 mmol/L
- Kreatinin > 270 µmol/L
- SGOT abnormal
- Penyakit hepar kronis
Total nilai 53

c. Komplikasi respirasi
Pasien dengan kebiasaan merokok, riwayat penyakit paru, obesitas
dan pasien yang menjalani operasi daerah toraks atau abdomen
memunyai kemungkinan untuk timbulnya komplikasi masalah respirasi
secara operasi. Untuk memprediksi diperlukan pemeriksaan lain seperti
Analisa Gas Darah preoperasi. Bila nilai PaO2 preoperasi kurang dari
9 kPa, ditambah dengan dispneu saat istirahat, hampir dapat dipastikan
diperlukan bantuan ventilasi mekanik pasca bedah (Morgan, 2002).

D. Anestesi pada Sectio Caesarea


Anestesi diperlukan dalam setiap prosedur SCTP. Teknik anestesi pada
SCTP dibagi dalam dua kategori besar, yaitu anestesi regional dan anestesi
general. Anestesi regional dibagi lagi menjadi anestesi spinal, lumbar epidural,
dan kombinasi spinal-epidural. Teknik anestesi yang banyak digunakan pada
SCTP adalah anestesi regional. Pedoman anestesi obstetrik yang
direkomendasikan untuk SCTP adalah teknik anestesi regional (Aminah, 2013).
1. Anestesi regional
Anestesi regional merupakan tindakan anestesi menggunakan obat anestesi
lokal yang disuntikkan ke dalam kanal tulang belakang, yaitu ruang
subarachnoid, menggunakan jarum sangat kecil. Tujuannya yaitu untuk
memblokir transmisi sinyal saraf. Pasien tetap terjaga untuk prosedur ini
tetapi mereka biasanya mendapatkan sedasi untuk mengurangi kecemasan
(KMK, 2015).
Indikasi dilakukannya anestesi regional yaitu pembedahan daerah lower
abdomen, ekstremitas bawah, dan urogenitalia. Kontra indikasi absolut dari
anestesi regional yaitu pasien menolak, keadaan syok, dan adanya infeksi
kulit di daerah sekitar penyuntikan. Kontraindikasi relatifnya yaitu gangguan
faal koagulasi, kelainan tulang belakang, peningkatan TIK, atau pasien tidak
kooperatif (KMK, 2015).
Anestesi regional dibagi menjadi anestesi spinal, lumbar epidural, dan
kombinasi spinal-eidural. Posisi pasien untuk anestesi spinal adalah duduk
atau lateral decubitus, kemudian disuntikkan cairan hiperbarik tetrakain (7-
10 mg), lidokain (50-60 mg), atau bupivakain (10-15 mg).
Tindakan yang dilakukan pasca prosedur yaitu observasi tanda vital di kamar
pemulihan, melakukan penanganan tindakan monitor ketinggian blok sesuai
skala bromage atau alderretscore, dan segera atasi jika terjadi komplikasi.
Komplikasi tersering anestesi spinal adalah hipotensi karena anestesi regional
dengan epidural blok simpatis dan sensorik yang lebih tinggi atau sampai
vertebra thoracalis II akan menyebabkan vasodilatasi perifer, pelebaran
kapiler, dan penurunan venous return.
2. Anestesi General
Anestesi general biasanya digunakan pada pasien dengan kontraindikasi
untuk dilakukan anestesi regional. Pada ibu hamil akan dipertimbangkan
menggunakan anestesi general pada kondisi ruptur uteri, bradikardi fetal berat,
perdarahan hebat, dan solusio plasenta berat.
Obat pilihan untuk anestesi general pada seksio sesaria adalah thiopental (4-
5 mg/kgBB) atau propofol (2-2,8 mg/kgBB). Pada keadaan hemodinamik yang
tidak stabil penggunaan thiopental dihindari dan diganti dengan ketamin (1-1,5
mg/kgBB) atau etomidate (0,2 mg/kgBB). Obat-obat anestesi yang dapat
melalui plasenta antara lain agen induksi seperti thiopental dan propofol, agen
anestesi inhalasi seperti halothane dan isoflurane, serta opioid dan agen anestesi
lokal. Asidosis fetus dapat terjadi pada pemakaian anestesi lokal dan opioid.
Obat-obat yang dapat melalui plasenta juga dapat menimbulkan abnormalitas
plasenta dan janin sehingga penggunaannya butuh perhatian khusus.
Komplikasi dari anestesi general adalah relaksasi uterus sehingga
meningkatkan risiko perdarahan ibu, dan aspirasi lambung yang merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu. Kesulitan yang dihadapi yaitu
gejolak hemodinamik, risiko aspirasi, mungkin sulit intubasi karena edem
laring, menjamin sirkulasi uteroplasenta, serta efek MgSO4 pada transmisi
neuromuskuler dan tonus uterus (KMK, 2015).
II. KESIMPULAN

A. Edem pulmo adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru yang
terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular
yang tinggi (edem paru kardiogenik) atau karena peningkatan permeabilitas
membran kapiler (edem paru non kardiogenik) yang mengakibatkan terjadinya
ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di
alveoli.
B. Edem pulmo pada masa kehamilan merupakan penyebab penting morbiditas
dan mortalitas, di tandai dengan sesak nafas mendadak, dapat disertai agitasi,
dan merupakan manifestasi klinis proses penyakit yang berat.
C. Preeklampsia berat adalah peningkatan tekanan darah sekurang-kurangnya 160
mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik, dengan atau tanpa proteinuria. Ibu
hamil dengan PE/PEB dengan gejala pemberat biasanya akan dilakukan
tindakan terminasi segera untuk menghindarkan komplikasi maternal maupun
fetal yang ada.
D. Anestesi pada obstetri, termasuk prosedur SCTP, biasanya menggunakan
teknik regional anestesi. Anestesi umum dipertimbangkan untuk digunakan
jika terdapat bradikardi fetal berat, ruptur uteri, perdarahan hebat dan solusio
plasenta berat, dengan lebih banyak kesulitan dan komplikasi yang mungkin
terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

Alasdair et al. 2008. Noninvasive Ventilation in Acute Cardiogenic Pulmonary


Edema. N Engl J Med; 359: 142-51.
Aminah, N. 2013. Perbandingan frekuensi penggunaan anestesi regional dan
anestesi general pada pasien seksio sesaria di RSUP dr Kariadi Semarang
periode Januari 2011- Januari 2013. Jurnal Media Medika Muda.
Baker, P. A., A. Depuydt, J.M. Thompson. 2009. Thyromental Distance
Measurement. Anesthesia. 64(8): 878-882.
Downing JW, Baysinger CL. 2008. Lost in translation: the Mallampati score?
Anesthesiology.;109:931-2.
ESC. 2012. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic
Heart Failure 2012. European Heart Journal (2012) 33, 1787–184
Fleisher, L.A., et al., 2009. ACCF/AHA focused update on perioperative beta
blockade incorporated into the ACC/AHA 2007 guidelines on perioperative
cardiovascular evaluation and care for noncardiac surgery. Journal of the
American College of Cardiology, 54(22): p. e13-e118.
Harun S dan Sally N. Edema Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
5th Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Keputusan Menteri Kesehatan RI. 2015. Pedoman Nasioanal Pelayanan
Kedokteran Anestesiologi dan Terapi Intensif.
Latief, S, Suryadi, K, Dachlan, M. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Lorraine et al. 2005. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 353:2788-96.
Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP.
Anestesia & Critical Care.28 (2) :52
Morgan, G.E., M.S. Mikhail, M.J. Murray, C.P. Larson. Clinical Anesthesiology.
3rd ed. New York, Lange Medical Books.
Myrtha, Risalina. 2015. Penatalaksanaan Tekanan Darah pada Preeklamsia. CKD-
227. 42(4): 262-266
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan
Kesehatan : Diagnosis dan Tatalaksana Preeklampsia. 2016
Rampengan, SH. 2014. Edema Paru Kardiogenik Akut. Jurnal Biomedik (JBM).
6(3): 149-156.
Roizen M F., Doenicke AW., O’Connor M F.,Strohschneider U. 2005. Propofol in
an Emulsion of Long- and Medium-Chain Trigliseride: The Effect of Pain.
Anest Analg. 93:382-4
Subrandate, Mia EPA Faisal, Nurul Windi Anggraini. 2017. Peranan Stres
Oksidatif pada Preeklamsia. CKD-252. 44(5): 353-355
Wagner, L. 2012. Management and Diagnosis of Preeclampsia.
Wake LB, Matthay AM. 2006. Acute pulmonary edema. N Engl J Med. 353:2788–
92
- Stage 1 : distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil di paru akibat
peningkatan tekanan di atrium kiri, dapat memperbaiki pertukaran udara diparu
dan meningkatkan kemampuan difusi dari gas karbon monoksida. Pada
keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas fisik dan disertai
ronkhi inspirasi akibat terbukanya saluran nafas yang tertutup.
- Stage 2 : edema interstitial akibat peningkatan cairan pada daerah interstitial
yang longgar dengan jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, hal ini
akan mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik
dan petanda septum interlobuler (garis Kerley B). Pada derajat ini akan terjadi
kompetisi untuk memperebutkan tempat antara pembuluh darah, saluran nafas
dan peningkatan jumlah cairan didaerah di interstitium yang longgar tersebut,
dan akan terjadi pengisian di lumen saluran nafas yang kecil yang
menimbulkan refleks bronkokonstriksi. Ketidakseimbangan antara ventilasi
dan perfusi akan mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan
dengan ventilasi yang semakin memburuk. Sehingga seringkali ditemukan
manifestasi klinis takipnea.
- Stage 3 : proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan hipoksemia
yang berat dan seringkali hipokapnea. Alveolar yang sudah terisi cairan ini
terjadi akibat sebagian besar saluran nafas yang besar terisi cairan berbusa dan
mengandung darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh si pasien. Secara
keseluruhan kapasitas vital dan volume paru semakin berkurang di bawah
normal. Terjadi pirai dari kanan ke kiri pada intrapulmonal akibat perfusi dari
alveoli yang telah terisi cairan. Walaupun hipokapnea yang terjadi pada
awalnya, tetapi apabila keadaan semakin memburuk maka dapat terjadi
hiperkapnea dengan asidosis respiratorik akut apalagi bila pasien sebelumnya
telah menderita penyakit paru obstruktif kronik. Dalam hal ini terapi morfin
yang telah diketahui memiliki efek depresi pada pernafasan, jika akan
digunakan harus dengan pemantauan yang ketat.
Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk
oleh proses sebagai berikut (Lorraine et al, 2005;Maria, 2010):
1) Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya
pasokan oksigen miokard dan akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung.
2) Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi
pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan. Peningkatan
tekanan ventrikel kanan melalui mekanime interdependensi ventrikel akan
semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.
3) Insufisiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk
fungsi jantung.

Tabel 2. Obat Antihipertensi untuk hipertensi pada kehamilan (Myrtha, 2015)


1.

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

HIPERTENSI KRONIK
Definisi
Hipertensi tanpa proteinuria yang timbul dari sebelum kehamilan dan
menetap setelah persalinan
Diagnosis
 Tekanan darah ≥140/90 mmHg
 Sudah ada riwayat hipertensi sebelum hamil, atau diketahui adanya
hipertensi pada usia kehamilan <20 minggu
 Tidak ada proteinuria (diperiksa dengan tes celup urin)
 Dapat disertai keterlibatan organ lain, seperti mata, jantung, dan ginjal

Tatalaksana
a. Tatalaksana Umum
Anjurkan istirahat lebih banyak.
Pada hipertensi kronik, penurunan tekanan darah ibu akan mengganggu perfusi
serta tidak ada bukti-bukti bahwa tekanan darah yang normal akan memperbaiki
keadaan janin dan ibu.
 Jika pasien sebelum hamil sudah mendapat obat antihipertensi, dan terkontrol
dengan baik, lanjutkan pengobatan tersebut
 Jika tekanan diastolik >110 atau tekanan sistolik >160, berikan antihipertensi
 Jika terdapat proteinuria atau tanda-tanda dan gejala lain, pikirkan superimposed
preeklampsia dan tangani seperti preeclampsia.
Berikan suplementasi kalsium1,5-2 g/hari dan aspirin 75 mg/hari mulai dari usia
kehamilan 20 minggu Pantau pertumbuhan dan kondisi janin.
Jika tidak ada komplikasi, tunggu sampai aterm.
Jika denyut jantung janin <100 kali/menit atau >180 kali/menit, tangani seperti
gawat janin.
Jika terdapat pertumbuhan janin terhambat, pertimbangkan terminasi kehamilan

HIPERTENSI GESTASIONAL

hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi
menghilang setelah 3 bulan pascapersalinan atau kematian dengan tanda-tanda
preeklampsi tetapi tanpa proteinuria.

 Tekanan darah ≥140/90 mmHg


 Tidak ada riwayat hipertensi sebelum hamil, tekanan darah normal di
usia kehamilan <12 minggu
 Tidak ada proteinuria (diperiksa dengan tes celup urin)
 Dapat disertai tanda dan gejala preeklampsia, seperti nyeri ulu hati da
trombositopenia
 Diagnosis pasti ditegakkan pascapersalinan
Tatalaksana
a. Tatalaksana Umum
u Pantau tekanan darah, urin (untuk proteinuria), dan kondisi janin setiap
minggu.
u Jika tekanan darah meningkat, tangani sebagai preeklampsia ringan.
u Jika kondisi janin memburuk atau terjadi pertumbuhan janin terhambat,
rawat untuk penilaian kesehatan janin.
u Beri tahu pasien dan keluarga tanda bahaya dan gejala preeklampsia dan
eklampsia.
u Jika tekanan darah stabil, janin dapat dilahirkan secara normal

Anda mungkin juga menyukai