Abstrak
Angka kematian bayi (Infrant Mortality Rate) merupakan salah satu indikator penting dalam
menentukan tingkat kesehatan masyarakat karena dapat menggambarkan kesehatan penduduk
secara umum. Angka kematian bayi tersebut dapat adalah sebagai kematian yang terjadi
antara saat setelah bayi lahir sampai bayi belum berusia tepat satu tahun. Bayi merupakan
individu yang berusia 0-12 bulan yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan yang
cepat disertai dengan perubahan dalam kebutuhan zat gizi. Di Surakarta, selama tahun 2016
berdasarkan laporan dari Puskesmas ditemukan bayi mati sejumlah 33 bayi, sedangkan
jumlah kelahiran bayi hidup sebanyak 9.851. Dari data tersebut didapatkan angka kematian
bayi sebesar 3,35 per 1000 kelahiran hidup. Dari 37 kematian bayi tersebut 13 kematian bayi
terjadi masa neonatal. Apabila dibandingkan dengan angka tahun 2015 (2,82 per 1000
kelahiran hidup), maka mengalami peningkatanan (Dinkes Surakarta, 2017). Hal ini masih
menjadi prioritas masalah di uskesmas. Untuk menurnkan angka kematian berdasarkan per
kelahiran hidup, perlu dilakukan suatu kegiatan Proble Solving Cycle (PSC) yang memiliki
beberapa tahap yaitu analisis situasi, identifikasi masalah, prioritas masalah, tujuan, alternatif
pemecahan masalah, rencana operasional, pelaksanaan, dan evaluasi.
Pendahuluan
Bayi merupakan individu yang berusia 0-12 bulan yang ditandai dengan pertumbuhan
dan perkembangan yang cepat disertai dengan perubahan dalam kebutuhan zat gizi (Wong,
2003). Kematian bayi adalah kematian anak-anak di bawah usia 1. Angka kematian ini diukur
dengan angka kematian bayi (IMR) (UNICEF, 2015).
Angka kematian bayi ( Infrant Mortality Rate) merupakan salah satu indikator penting
dalam menentukan tingkat kesehatan masyarakat karena dapat menggambarkan kesehatan
penduduk secara umum. Angka kematian bayi tersebut dapat didefenisikan sebagai kematian
yang terjadi antara saat setelah bayi lahir sampai bayi belum berusia tepat satu tahun (BPS)
(UNICEF, 2015). Sedangkan untuk menghitung angka kematian bayi dapat dihitung dengan
cara:
Angka Kematian Bayi (AKB) adalah indikator derajat kesehatan didalam Sustainable
Development Goal (SDGs) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2015-2019. Goal SDGs ke tiga yaitu Good Health and Well- being menjelaskan bahwa salah
satu dampak yang diharapkan yaitu dituntaskannya kematian bayi dan balita melalui
pencegahan yang ditargetkan pada tahun 2030. Semua negara diharapkan berpartisipasi untuk
menekan angka kematian neonatal menjadi 12/1.000 KH serta angka kematian balita 25/1.000
KH (Kusumawardani dan Handayani, 2018).
Indonesia juga telah mengalami kemajuan yang signifikan dalam upaya penurunan
kematian bayi dalam beberapa dekade terakhir. Pada tahun 2017, di Indonesia terdapat 24
kematian per 1.000 kelahiran hidup. Angka tersebut mengalami penurunan dibandingkan
tahun 1991 dimana terdapat 68 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Namun, Indonesia masih
menjadi peringkat tertinggi dibandingkan dengan Vietnam (18/1000), Malaysia ( 13/1000),
dan Thailand (10/1000) (Kemenkes, 2017).
Di Surakarta, selama tahun 2016 berdasarkan laporan dari Puskesmas ditemukan bayi mati
sejumlah 33 bayi, sedangkan jumlah kelahiran bayi hidup sebanyak 9.851. Dari data tersebut
didapatkan angka kematian bayi sebesar 3,35 per 1000 kelahiran hidup. Dari 37 kematian bayi
tersebut 13 kematian bayi terjadi masa neonatal. Apabila dibandingkan dengan angka tahun 2015
(2,82 per 1000 kelahiran hidup), maka mengalami peningkatanan (Dinkes Surakarta, 2017).
Jika dibandingkan angka Jawa Tengah yang sebesar 32 per seribu kelahiran hidup maka angka
kematian bayi di Surakarta masih jauh lebih rendah. Demikian juga bila dibandingkan dengan
target SDGs (Sustainable Development Goals) sebesar 23 per seribu kelahiran hidup, angka
kematian bayi di Kota Surakarta lebih rendah (Dinkes Surakarta, 2017).
Angka kematian bayi bila dilihat untuk tiap-tiap kecamatan, maka angka kematian bayi
tertinggi ditemukan di kecamatan Laweyan sebesar 5,68 per 1000 kelahiran hidup dan angka
kematian bayi terendah ditemukan di kecamatan Banjarsari sebesar 2,22 per 1000 kelahiran hidup
(Dinkes Surakarta, 2017).
Menurut CDC (2019) beberapa faktor risiko di Amerika Serikat yang dapat menyebabkan
kematian bayi antara lain kelainan kongenital, kelahiran premature dan berat bayi lahir rendah,
sudden infant death syndrome (SIDS), komplikasi kehamilan dan kecelakaan. Terdapat juga 5
penyebab kematian bayi paling sering di dunia adalah:
1. Ensefalopati neonatus, atau kelainaan fungsi otak setelah \melahirkan. Ensefalopati
neonatus biasanya karena dari trauma saat melahirkan atau kekurangan oksigen saat bayi
melahirkan.
2. Infeksi, terkhusus infeksi pada darah
3. Komplikasi pada kelahiran premature
4. Infeksi saluran pernapasan bagian bawah (seperti flu dan pneumonia)
5. Penyakit diare
Menurut WHO (2017) beberapa faktor yang menyebabkan kematian neonatus adalah
prematur (878 kasus), asfiksia pada saat melahirkan dan trauma saat melahirkan (610 kasus), epsis
dan kelainan infeksi lainnya (350 kasus), anomali kongenital (284 kasus), infeksi saluran
pernapasan akut (155 kasus).
Kematian bayi dalam Indonesian dalam catatan Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) mencatat angka kematian neonatal atau sebelum bayi berumur satu
tahun menurun dari 32 per 100 kelahiran hidup di 2012 menjadi 15. Menurut BKKBN juga angka
kematian bayi di bawah lima tahun (balita) juga mengalami penurunan dari 40 per 1000 kelahiran
di 2012 menjadi 32 per 1000 kelahiran di 2017.
Laporan Kasus
S (Strength) W (Weakness)
Internal 1. Adanya program yang telah 1. Jumlah Sumber daya manusia
dirancang puskesmas berkaitan yang tersedia belum maksimal.
dengan usaha penurunan angka 2. Kesibukan tenaga puskesmas
kematian bayi. berkaitan dengan program-
2. Tenaga kesehatan yang handal program puskesmas yang lain.
dan berkompetensi 3. Dana mencukupi namun belum
Eksternal 3. Fasilitas di Puskesmas yang teralokasi dengan maksimal
sudah cukup memadai. 4. Cakupan wilayah kerja cukup
4. Akses yang mudah ke luas, sehingga pelayanan di
puskesmas, letak puskesmas puskesmas kurang maksimal
strategis
O (Opportunity) Strategi SO Strategi WO
1. Banyaknya kader 1. Mengadakan pertemuan 1. Menggerakkan kader untuk
yang aktif, sukarela, dengan kader secara rutin semakin giat menjaring ibu hamil
dan bersemangat. untuk evaluasi, forum diskusi dengan kehamilan beresiko
2. Tidak ada kesulitan tinggi
dalam menjangkau 2. Pemaparan materi kepada 3. Meningkatkan kemampuan
daerah cakupan kader utuk meningkatkan kader dalam edukasi dan
kerja Puskesmas kualitas kader pendampingan ibu hamil, juga
Sibela. dalam mendorong ibu hamil
untuk ANC.
4. Memberi penekanan ANC
wajib dilakukan, namun tidak
harus di puskesmas. Boleh di
manapun Ibu nyaman.
5. Mengalokasi dana untuk
memaksimalkan program yang
sudah ada (penambahan media
edukasi, acara-acara yang
menarik, dan lain-lain)
3. Memaksimalkan 4 3 5 4 3 4 4 4 31
program SEJOLI
CETAR dengan
mengadakan kelas
untuk calon
pengantin dengan
kurikulum
pembelajaran
mengenai persiapan
menuju Orangtua
CERMAT, salah
satunya mengenai
kehamilan resiko
tinggi
4. Memaksimalkan 3 4 3 4 3 4 4 3 28
pemberdayaan kader
KASIAT untuk
melakukan
pendekatan personal
kepada ibu hamil
Memaksimalkan 3 5 4 4 3 3 4 3 29
pemberdayaan kader
untuk melakukan
pendekatan personal
kepada ibu hamil.
Pendekatan tidak
hanya sekedar
memberikan edukasi
dan pemamaparan
materi namun juga
pendekatan secara
psikososial.
5. - Memberikan 3 3 4 4 3 3 4 3 27
pelatihan kepada
kader berkaitan
dengan
menscreening
faktor resiko
penyakit
kongenital secara
tepat dan
mendalam.
6. Memaksimalkan 5 3 4 4 3 4 4 3 30
pemberdayaan kader;
setiap ibu hamil
dipegang oleh satu
orang kader, yang
mana kader tersebut
dapat memfollowup
kepada pihak
puskesmas berkaitan
dengan Rencana
Tindak Lanjut dari
puskesmas.
7. Pihak puskesmas 3 3 3 4 3 3 3 3 25
memperantai pihak
GSI dan kader
sehingga terjadi
monitoring yang
berkesinambungan
8. Mengadakan rapat 4 3 4 3 3 3 3 3 26
untuk membahas
program apa yang
menjadi prioritas
untuk dilakukan di
satu tahun atau satu
semester tertentu,
dan menjadwalkan
evaluasi progam
secara rutin.
9. Mengadakan rapat 4 3 4 3 3 3 3 3 26
untuk membahas
mengenai alokasi
dana, dengan
mendata kebutuhan
setiap program
UKM. Dapat dibantu
dengan menanyakan
kebutuhan program
di lapangan kepada
kader
10. Pengalokasian dana 4 2 3 3 3 3 3 3 24
diarahkan juga
kepada pengadaan
media untuk
sosialisasi dan
edukasi dalam
bentuk pamflet,
brosur, MMT dan
poster yang menarik.
12. Memaksimalkan 3 2 4 3 3 3 4 3 25
pemberdayaan kader
dengan melatih kader
yang memiliki
kemampuan untuk
menyampaikan
13. informasi mengenai 4 2 4 3 4 3 4 3 27
KIA (program 1000
14. HPK). 4 3 4 3 4 3 4 2 27
Pengadaan media
sosialisasi yang
menarik.
Pemberdayaan
generasi muda
seperti karang taruna,
atau dokter muda
untuk melakukan
penyuluhan berkaitan
dengan KIA
Keterangan:
E : Efektivitas
KU : Keuntungan
KP : Komitmen Politik
O : Onset Efek yang Diharapkan
D : Durasi Efek yang Diharapkan
PS : Penerimaan Sosial
Kriteria: 1 = sangat rendah; 2 = rendah; 3 = sedang;
4 = tinggi; 5 = sangat tinggi B : Biaya yang Diperlukan
KR : KerugianKriteria: 5 = sangat rendah; 4 = rendah; 3 = sedang;
2 = tinggi; 1 = sangat tinggi
(Sulaeman, 2015)
Berdasarkan analisis table 5, memaksimalkan program SEJOLI CETAR dengan
mengadakan kelas untuk colon pengantian dengan kurikulum pembelajaran mengenai
persiapan menuju Orangtua CERMAT, salah satunya mengenai kehamilan resiko
tinggi, menjadi pilihan untuk intervensi terhadap masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas Sibela.
Rencana Operasional
Dari analisis beberapa alternatif pemecahan masalah, diadakan SEJOLI
CETAR, yaitu upaya pencerdasan calon pengantin mengenai masalah kehamilan dan
kelahiran adalah pemecahan alternative yang terbaik. Rencana operasional yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan nilai cakupan angka kematian bayi, sebagai berikut:
A. Penyuluhan Cara Dahak Efektif untuk Pemeriksaan TB
1. Tujuan
a) Meningkatkan pengetahuan calon orang tua mengenai perencanaan
kehamilan, kelahiran dan penyebab kematian pada bayi