Anda di halaman 1dari 26

TELAAH JURNAL NASIONAL MENGENAI

PENGELOLAAN LIMBAH
FASILITAS KESEHATAN

Oleh Kelompok PALI

1. Tri Fitrianti 6. Enggar Prasetyo


2. Hanggayu 7. Davied Arja
3. Dian Rika Sari 8. Marlina
4. Aidil Fikri 9. Kemas Badarudin
5. Wina 10. Leni Marlina

DOSEN PEMBIMBING : PAK YAHYA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


BINA HUSADA
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan Makalah dengan
judul “Telaah Jurnal Nasional Mengenai Pengelolaan Limbah Fasilitas Kesehatan.” Sholawat
serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para
sahabatnya hingga pada umatnya sampai akhir zaman.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas sebagai mahasiswa program studi
Magister Kesehatan Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Husada. Dalam proses
penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen
pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan serta masukan yang bermanfaat. Rasa
terima kasih juga hendak kami ucapkan kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan
kontribusinya baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga karya ilmiah ini bisa selesai
pada waktu yang telah ditentukan.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun
terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga
kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya
makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kemauan, kesadaran, dan
kemampuan hidup sehat bagi semua lapisan masyarakat sehingga dengan begitu diharapkan
dapat meningkatkan derajat kesehatan setinggi-tingginya. Derajat kesehatan sangat
berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang sehat akan
meningkatkan produktivitas hidup. Pengetahuan dan kepedulian masyarakat akan kesehatan
menyebabkan kebutuhan terhadap layanan bermutu rumah sakit semakin meningkat dari
tahun ke tahun. Hal tersebut mengakibatkan perkembangan rumah sakit di Indonesia
meningkat pesat belakangan ini. Seiring jumlah rumah sakit yang bertambah setiap tahunnya
di Indonesia, maka semakin banyak pula jumlah produksi limbah medis yang dihasilkan.
Jika limbah medis tidak dikelola dengan baik, maka kondisi tersebut akan memperbesar
kemungkinan potensi limbah rumah sakit dalam mencemari lingkungan serta menularkan
penyakit dan juga dapat mengakibatkan kecelakaan kerja (Pertiwi, 2017). (1)
Keputusan Menteri Kesehata RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 menjelaskan sebagai
tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang sehat, rumah sakit yang sering
dimanfaatkan masyarakat sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan juga
memungkinkan terjadinya penularan penyakit, pencemaran lingkungan, dan gangguan
kesehatan. Rumah sakit memberikan dampak positif sebagai sarana untuk peningkatan
derajat kesehatan masyarakat juga memberikan dampak negatif yaitu penghasil limbah
sehingga perlu mendapatkan perhatian. Apabila benda tajam seperti jarum suntik yang
berasal dari limbah rumah sakit kontak dengan manusia akan dapat menyebabkan infeksi
hepatitis B dan C serta HIV. Selain itu buangan limbah rumah sakit lainnya juga dapat
menyebabkan penyakit antara lain kolera, tifoid, malaria, dan penyakit kulit (Riyanto,
2013). (1)
Sekitar 70 – 90 % limbah padat yang berasal dari instalasi kesehatan merupakan
limbah umum yang menyerupai limbah rumah tangga dan tidak mengandung risiko. Sisanya
sekitar 10 – 25 % merupakan limbah yang dapat menimbulkan berbagai jenis dampak
kesehatan karena dipandang berbahaya. Produksi limbah medis padat rumah sakit di
Indonesia secara nasional diperkirakan sebesar 376.089 ton/hari (Astuti, 2014).(1)
Limbah rumah sakit dibagi menjadi dua kelompok secara umum yaitu limbah medis
dan limbah non medis (Pertiwi, 2017). Limbah medis rumah sakit dikategorikan sebagai
limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) seperti disebutkan dalam Lampiran I PP No.
101 Tahun 2014 bahwa limbah medis memiliki karakteristik infeksius. Limbah B3 dapat
menimbulkan bahaya terhadap lingkungan dan juga dampak terhadap kesehatan masyarakat
serta makhluk hidup lainnya bila dibuang langsung ke lingkungan. Selain itu, limbah B3
memiliki karakteristik dan sifat yang tidak sama dengan limbah secara umum, utamanya
karena memiliki sifat yang tidak stabil, reaktif, eksplosif, mudah terbakar dan bersifat
racun.(1)
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No. P.56
Tahun 2015 juga menyebutkan Rumah sakit termasuk salah satu fasilitas pelayanan
kesehatan wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang meliputi pengurangan dan
pemilahan limbah B3, penyimpanan limbah B3, pengangkutan limbah B3, pengolahan
limbah B3, penguburan limbah B3, dan/atau penimbunan limbah B3. Pengelolaan limbah
B3 di rumah sakit sangat diperlukan karena apabila limbah B3 tidak dikelola dengan baik
dapat menimbulkan dampak antara lain: mengakibatkan cedera, pencemaran lingkungan,
serta menyebabkan penyakit nosokomial. Pengelolaan limbah B3 rumah sakit yang baik
diharapkan dapat meminimalisir dampak yang ditimbulkan tersebut. (1)

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa saja hubungan pengelolaan limbah fasilitas pelayan kesehatan yang dibahas dalam
jurnal yang ditelaah dengan pengelolaan limbah yang ada di tempat kerja penyusun?
2. Apa saja 10 kelebihan dan 10 kekurangan dari pengelolaan limbah fasilitas pelayanan
kesehatan yang dibahas di dalam jurnal yang ditelaah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui hubungan pengelolaan limbah fasilitas pelayan kesehatan yang
dibahas dalam jurnal yang ditelaah dengan pengelolaan limbah yang ada di tempat kerja
penyusun.
2. Untuk mengetahui 10 kelebihan dan 10 kekurangan dari pengelolaan limbah fasilitas
pelayanan kesehatan yang dibahas di dalam jurnal yang ditelaah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hubungan Sistem Pengelolaan Limbah yang ditelaah dengan Wilayah Kerja Penulis
1. Jurnal I : Evaluasi Sistem Pengelolaan Limbah Medis Puskesmas di Wilayah
Kabupaten Bantul(2)
a. Pembahasan
Manajemen input pengelolaan limbah medis
Pengelolaan limbah medis menggunakan model baru dengan melibatkan koperasi
kesehatan sebagai user untuk menyewa jasa angkut pihak transporter swasta.
Mekanisme ini digunakan karena Puskesmas tidak memiliki
incenerator. Pertimbangan memilih Koperasi Kesehatan sebagai mitra karena
merupakan lembaga swasta milik Dinas Kesehatan dan memiliki badan hukum
dianggap lebih fleksibel untuk menalangi dana yang dikeluarkan diawal untuk
membayar pembiayaan jasa pengangkutan dan pemusnahan. Hal ini disebut dengan
contracting out: tindakan yang dilakukan lembaga pemerintah untuk
memperkerjakan dan membiayai agen swasta untuk menyediakan pelayanan tertentu
daripada mengelola sendiri.
Faktor terpenting dalam memilih perusahaan penanganan limbah infeksius adalah
harga yang ditawarkan harus kompetitif . Meskipun pihak swasta telah melakukan
pengelolaan pembuangan limbah medis efektif, Puskesmas harus bertanggung jawab
atas pembuangan limbah yang aman dan layak. Dinas Kesehatan harus melakukan
penilaian secara teliti kepada pihak swasta sebagai transporter dan pemusnahan. Item
minimal yang harus dipenuhi adalah ketersediaan alat pembekuan, kontainer limbah
medis tajam, frekuensi dan metode pembuangan dan pemusnahan serta kendaraan
yang memenuhi syarat pengangkutan limbah medis. Untuk memastikan limbah
medis yang diangkut telah dimusnahkan dengan benar, Koperasi Kesehatan,
Puskesmas, Dinas Kesehatan, dan BPLH mengunjungi PT. Wastec.
Dinas Kesehatan tidak menghilangkan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai
pembina dengan mengadakan evaluasi setiap tahunnya. Evaluasi internal hanya
melibatkan Puskesmas diwakili oleh sanitarian dan Dinas Kesehatan diwakili oleh
seksi Kesehatan Lingkungan. Evaluasi eksternal dilakukan bertahap. Tahap pertama
dilakukan antara Koperasi Kesehatan, Dinas Kesehatan, Puskesmas dan BPLH. Pada
tahap selanjutnya dilakukan evaluasi antara Dinas Kesehatan, BPLH dan pihak
transporter swasta. Dinas Kesehatan melalui Puskesmas harus secara tegas memberi
teguran kepada fasilitas pelayanan kesehatan swasta yang telah menandatangani
perjanjian kerjasama pengelolaan limbah medis tetapi tidak rutin mengirim limbah
ke Puskesmas. Dinas berperan melakukan pembinaan dan pengawasan.
Manajemen proses pengelolaan limbah medis
Pemilahan limbah medis menggunakan kode pelabelan dan warna yang
dibedakan menjadi dua jenis: limbah infeksius dan limbah benda tajam. Hal ini
berbeda dengan peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang
mengelompokkan limbah medis menjadi 9 jenis. Walaupun belum semua Puskesmas
memiliki jenis limbah lengkap berdasarkan kriteria, tetapi setiap Puskesmas harus
mengidentifikasi jenis limbah medis yang dihasilkan dari kegiatan pelayanan medis.
Praktik pemilahan pada sumber aliran limbah harus diperkenalkan ke semua petugas
kesehatan.
Pengumpulan limbah medis dilakukan setiap hari oleh petugas cleaning service
sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Limbah medis dikumpulkan dari tiap
ruangan, kantong wadah plastik diikat dan dimasukkan ke dalam wheelbin dan
diletakkan di TPS.
Frekuensi pengangkutan eksternal yang dilakukan sebulan sekali oleh pihak
transporter swasta masih menjadi masalah tersendiri. Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan nomor 56 Tahun 2015 tentang tatacara dan persyaratan teknis
pengelolaan limbah B3 dari fasilitas pelayanan kesehatan disebutkan limbah
infeksius, benda tajam dan limbah patologis tidak boleh disimpan lebih dari 2 hari
untuk menghindari pertumbuhan bakteri, outrekasi dan bau. Apabila disimpan lebih
dari dua hari limbah harus dilakukan desinfeksi kimiawi atau disimpan dalam
refrigator suhu 0o C atau lebih rendah. Namun, belum semua Puskesmas memiliki
TPS. Puskesmas belum memenuhi persyaratan untuk menyimpan limbah medis lebih
dari dua hari karena tidak dilengkapi pengatur suhu untuk penyimpanan limbah
infeksius.
Pengangkutan limbah dilakukan sebulan sekali karena terkendala pada masalah
biaya. Pengangkutan limbah setiap hari tidak menutupi biaya operasional. Sementara,
ketika memberlakukan sistem pengangkutan dua hari sekali maka biaya angkut yang
dikeluarkan menjadi besar. Perlu solusi dengan mencari penawaran ke perusahaan
lain yang bisa memberikan penawaran yang lebih baik. Alternatif lain dengan
membuat tempat penampungan sementara di Puskesmas yang dilengkapi alat
pengatur suhu.

Cakupan limbah medis


Secara jumlah cakupan pengelolaan limbah medis sudah mencakup seluruh
wilayah di Kabupaten Bantul tetapi potensi jumlah limbah medis yang dihasilkan
masih cukup besar mengingat belum semua fasyankes swasta melakukan kerjasama
rutin pengiriman limbah.
b. Hubungan Pengelolaan limbah medis Puskesmas di Wilayah Kabupaten Bantul
dengan tempat kerja penulis
1. Sama – sama bekerja sama dengan pihak ke3 dalam hal pengelolaan limbah B3.
2. Sumber dana pembayaran dengan pihak ke 3 di Puskesmas wilayah Bantul
melalui dana koperasi kesehatan milik Dinas Kesehatan, sedangkan di tempat
kerja penulis menggunakan dana yang bersumber dari dana Badan Layanan
Umum.

2. Jurnal II : Pengelolaan Limbah Padat Bahan Berbahaya Dan Beracun (B3) Rumah
Sakit Di Rumah Sakit Umum Daerah dr.Soetomo Surabaya(1)

a. Pembahasan

RSUD Dr. Soetomo merupakan rumah sakit milik pemerintah provinsi kelas A
sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan 51/Menkes/SK/1179 tahun 1979
sebagai rumah sakit pelayanan, pendidikan, penelitian dan pusat rujukan (Top
Referal) dan merupakan rumah sakit paling besar di wilayah Indonesia bagian Timur.
Tugas pokok RSUD Dr. Soetomo adalah melaksanakan upaya kesehatan secara
berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan (kuratif)
dan pemulihan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan
upaya promotif, preventif dan penyelenggaraan upaya rujukan serta penyelenggaraan
pendidikan, pengembangan di bidang kesehatan, penelitian dan pelatihan tenaga
kesehatan.
Pada tahun 1998, instalasi sanitasi lingkungan dibentuk dengan tujuan menangani
kegiatan yang berlangsung di rumah sakit. Tugas pokok dari instalasi ini yaitu
menyediakan semua kebutuhan dan fasilitas yang berhubungan dengan sanitasi.
Sumber daya manusia yang terdapat pada instalasi sanitasi RSUD Dr. Soetomo
Surabaya jumlahnya sebanyak 39 orang terdiri dari 1 kepala instalasi, 4 orang
koordinator dan 6 orang kepala unit pelayanan serta 28 staf karyawan.
Instalasi sanitasi lingkungan terdiri dari unit-unit, salah satunya adalah unit
sampah medis yang merupakan unit pelaksana upaya untuk mewujudkan pengelolaan
sampah medis di lingkungan rumah sakit. Jumlah sampah medis yang dihasilkan dari
lokasi pelayanan kesehatan dari yang terdapat di RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada
semester ke-1 tahun 2017 rata-rata adalah 1200 - 1500 kg/hari.
Jenis limbah padat medis yang dihasilkan tersebut dibedakan menjadi 5
berdasarkan kategori dan pewadahannya, yaitu : sampah medis lunak dengan bak
sampah dan kantong plastik warna kuning, sampah medis tajam dengan bak sampah
dan kantong plastik warna kuning, sampah medis sitotoksik dengan bak sampah dan
kantong plastik warna ungu, sampah medis radiologi dengan bak sampah dan kantong
plastik warna merah, sampah medis farmasi dengan bak sampah dan kantong plastik
warna cokelat.
Komposisi sampah medis tajam terdiri dari syringe, jarum suntik dan spuit,
pecahan gelas/botol/ampul, lancet, catridge/silet. Sampah medis lunak meliputi kapas,
perban, selang darah, plester, kateter, kantung transfusi darah/cairan, pembalut
wanita, lidi dan kapas, jaringan tubuh. Sampah Beracun (toxic) berupa botol-botol
bekas kemoterapi. Sampah radiologi berupa Fixer dan Developer serta sampah
farmasi berupa obat kadaluwarsa.
Sampah atau limbah medis menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.56 Tahun 2015 termasuk dalam limbah B3
oleh karena itu pengelolaannya juga harus disesuaikan dengan pengelolaan limbah
B3. Pengelolaan sampah medis yang dilakukan di RSUD Dr. Soetomo secara garis
besar adalah sampah medis yang berasal dari ruangan penghasil timbulan diangkut ke
lokasi insinerator oleh petugas untuk dilakukan proses insinerasi (pembakaran).
Pengelolaan sampah medis yang tergolong limbah B3 mulai tahap pengurangan dan
pemilahan limbah B3 hingga pengolahaannya secara lebih rinci dijelaskan sebagai
berikut :

1) Pengurangan dan Pemilahan Limbah B3


Pengurangan limbah padat B3 dapat dilakukan melalui tata kelola yang
baik terhadap setiap bahan atau material yang berpotensi menimbulkan
pencemaran terhadap lingkungan maupun gangguan kesehatan. RSUD Dr.
Soetomo mewujudkan kegiatan tersebut dengan cara melakukan pengelolaan
terhadap limbah padat medis yang dihasil dari kegiatan pelayanan kesehatan.
Limbah non medis rumah sakit dan sampah domestik apabila terkontaminasi
limbah medis harus dikelola sebagaimana layaknya limbah medis, maka upaya
dini pencegahan kontaminasi limbah medis melalui pemilahan limbah sejak awal
dihasilkan harus diprioritaskan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2014).
Pemilahan limbah B3 di RSUD Dr. Soetomo dilakukan dengan
memisahkan tempat penampungan / wadah dari sampah medis di ruangan menjadi
tiga macam yaitu wadah sampah medis tajam, wadah sampah medis lunak dan
wadah sampah B3. Hal ini dilakukan dengan harapan limbah padat B3 sudah
terpilah mulai dari sumbernya di ruangan berdasarkan jenis, kelompok, dan/atau
karakteristik limbah B3.
Pengurangan volume limbah dan pemilahan limbah yang cenderung
sejenis merupakan persyaratan keamanan yang penting bagi petugas pembuang
(Alamsyah, 2007). Penelitian Hasan et al (2008) yang dilakukan di dua Rumah
Sakit besar di Dhaka City ditemukan bahwa limbah yang dibuang ke dalam
wadah tanpa dipisahkan dan dipilah, hal tersebut menimbulkan risiko kesehatan
yang serius kepada para petugas penanganan limbah, dan kepada masyarakat pada
umumnya.
Upaya pengurangan dan pemilahan limbah B3 yang dilakukan oleh RSUD
Dr. Soetomo sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Republik Indonesia No. P.56 Tahun 2015 dilihat dari pemisahan
timbulan sampah di ruangan yang dilakukan yaitu dipisah antara sampah medis
dan sampah non medis.Terkadang sampah medis dari ruangan penghasil masih
bercampur dengan sampah non medis, namun untuk mengatasinya pihak sanitasi
RSUD Dr. Soetomo sudah melakukan upaya pemilahan lagi di Tempat
Pembuangan Sementara (TPS) sampah non medis sehingga sampah medis yang
tercampur bisa dipisahkan kemudian dibawa ke TPS limbah B3 untuk diinsenerasi
bersama sampah medis lainnya oleh petugas cleaning service.
Timbulan sampah medis sendiri dalam pewadahannya dibedakan menjadi
sampah tajam, sampah lunak dan sampah B3. Agar memudahkan pemilahan,
pewadahan sampah medis wadah terlebih dahulu dilapisi dengan kantong plastik
berukuran 60 cm x 60 cm untuk wadah kecil dan berukuran 80 cm x 100 cm
untuk wadah besar sedangkan sampah medis tajam pewadahannya menggunakan
safety box. Setiap ruangan yang menghasilkan sampah medis disediakan tempat
sampah dengan wadah dan kantong plastik yang warnanya disesuaikan dengan
jenis limbah peruntukannya.
Hal ini juga sesuai dengan yang tercantum dalam Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No.1204/MENKES/SK/X/2004 yang menyebutkan
pemilahan harus dilakukan mulai dari sumber penghasil limbah.

2) Penyimpanan Limbah B3
Penyimpanan limbah B3 RSUD Dr. Soetomo menggunakan wadah atau
kemasan dengan warna sesuai dengan jenis limbahnya yaitu warna kuning untuk
limbah padat medis (limbah infeksius), warna merah untuk limbah radioaktif,
warna ungu untuk limbah sitotoksik dan warna cokelat untuk limbah farmasi.
Selain itu wadah / kemasannya juga sudah diberi simbol seperti yang diatur dalam
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No.
P.56 Tahun 2015.
Penyimpanan limbah padat B3 dilakukan di fasilitas penyimpanan limbah
B3 yaitu di TPS limbah B3 milik RSUD Dr. Soetomo yang bebas banjir dan
bencana alam serta memiliki fasilitas yang lengkap sesuai dengan yang tercantum
dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
No. P.56 Tahun 2015. TPS yang ada di lingkungan RSUD Dr. Soetomo ini juga
sudah memiliki izin TPS yang dikeluarkan oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH)
Surabaya. Hal ini serupa dengan penelitian Maulana (2017) penyediaan fasilitas
rumah sakit dalam hal penanganan limbah perlu perencanaan yang matang.
Kementerian Lingkungan Hidup (2014) menyebutkan penyimpanan
limbah infeksius dan / atau yang terkontaminasi limbah infeksius menurut
peraturan dibatasi maksimum 48 jam. Waktu penyimpanan limbah medis yang
merupakan limbah infeksius di RSUD Dr. Soetomo tidak lebih dari 2 hari karena
setiap harinya limbah medis langsung dibakar menggunakan insinerator. Hal ini
dilakukan karena timbulan limbah padat medis yang dihasilkan dari kegiatan
pelayanan kesehatannya relatif besar (1200 – 1500 kg/hari), sehingga diharapkan
dengan begitu tidak ada penumpukan dan limbah tidak tercecer.
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Astuti (2014) yang
menyatakan bahwa ceceran limbah dan ruangan yang kotor merupakan akibat dari
tempat sampah yang telah penuh. Limbah yang perlu penanganan khusus seperti
limbah radiologi menunggu waktu luruhnya terlebih dahulu, begitu pula limbah
patologis menunggu waktu hingga 2 minggu (disimpan di unit patologi anatomi)
baru dilakukan insenerasi. Penyimpanan limbah B3 dilakukan dalam wadah yang
tertutup untuk mencegah kontak dengan manusia. Hal ini sesuai dengan penelitian
Pertiwi (2007), yang menyatakan tempat sampah tertutup memperkecil
kemungkinan manusia kontak dengan mikroba, gangguan estetika, dan bau.
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Paramita (2007) di Rumah Sakit
Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto menjelaskan bahwa fungsi penyimpanan ini
adalah untuk mengumpulkan limbah B3 sebelum dibakar dan untuk mencegah
terjadinya penularan baik melalui udara, kontak langsung, maupun melalui
binatang.

3) Pengangkutan Limbah B3
Pengangkutan sampah medis di RSUD Dr. Soetomo dibagi menjadi dua
yaitu sebelum dibakar dan setelah dibakar menggunakan insinerator.
Pengangkutan sampah medis sebelum dibakar yaitu menggunakan troli sampah
medis namun sampah medis lunak dan sampah B3 diangkut secara terpisah.
Sampah medis tajam pengangkutannya mengikuti petunjuk pelaksanaan
pengambilan kontainer jarum.
Pengangkutan limbah B3 dari ruangan dilakukan sebanyak 3 kali dalam
sehari melalui jalur umum yang juga digunakan oleh pasien dan pengunjung.
Berbeda dengan penelitian Triana (2006) yang menunjukkan pengangkutan
sampah medis yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Haji Surabaya dilakukan
hanya satu kali sehari. Walaupun pengangkutan di RSUD Dr. Soetomo melalui
jalur umum, namun pengangkutannya dilakukan sebelum jam besuk pengunjung
dan menggunakan troli tertutup menuju ke lokasi insinerator. Sampah medis
merupakan salah satu sarana berkembang biak kuman dan vektor penyakit (Ditjen
PPM dan PLP, 2002). Pengangkutan menggunakan troli tertutup dimaksudkan
untuk menghindari gangguan estetika akibat adanya ceceran yang dikhawatirkan
kontak dengan manusia. Pengangkutan limbah B3 setelah dibakar yang berupa
residu insinerator ke PT. PPLI (Prasadah Pamunah Limbah Indonesia)
mengunakan kendaraan dengan wadah kuat dan tertutup untuk menghindari risiko
penularan penyakit akibat limbah B3 rumah sakit. Kendaraan yang disediakan
oleh PT. PPLI dilengkapi dengan simbol dan disertai manifes limbah B3 sesuai
yang tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Republik Indonesia No. P.56 Tahun 2015.
Hal ini sesuai penelitian Paramita (2007) yang menyebutkan risiko
penularan penyakit dapat muncul mulai proses pengumpulan, pengangkutan,
maupun penyimpanan limbah. Oleh karena itu proses pengangkutan memang
sudah seharusnya dilakukan secara tertutup agar tidak berisiko menyebabkan
penularan penyakit.

4) Pengolahan Limbah B3
Pengolahan sampah medis dilakukan melalui proses insinerasi
(pembakaran) dengan menggunakan insinerator yang ada di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya dengan suhu minimal untuk primary burner yaitu 800 oC dan secondary
burner yaitu min 1000 oC. Proses pemusnahan dengan insinerator dilakukan
karena sampah medis termasuk dalam kategori limbah B3 yaitu bersifat infeksius
dan berpotensi menularkan penyakit. Menurut Kementerian Lingkungan
Hidup (2014) hingga awal abad 21 fungsi utama teknologi insenerasi sebagai
penghancur limbah medis infeksius adalah yang paling efektif dan tidak
tergantikan oleh teknologi lain. RSUD Dr. Soetomo melakukan insinerasi setiap
hari karena timbulan jumlah sampah yang dihasilkan cukup besar. Tidak seperti
hasil penelitian Triana (2006) di Rumah Sakit Umum Haji Surabaya yang
menunjukkan pemusnahan sampah medis dilakukan hanya 2-3 hari sekali
tergantung dari jumlah sampah medis yang dihasilkan. Paramita (2007) juga
menyebutkan bahwa pada prinsipnya limbah medis harus sesegera mungkin
diolah setelah dihasilkan dan penyimpanan merupakan prioritas akhir apabila
limbah tidak dapat langsung diolah. Sampah medis berupa botol infus bekas dan
jerigen hemodialisis (HD) bekas tidak dibakar menggunakan insinerator,
melainkan didaur ulang bekerja sama dengan pihak ke-3.
Botol Infus dan jerigen HD bekas yang terlebih dahulu dipilah dari
ruangan diangkut oleh petugas sampah medis ke tempat pengolahan. Setelah itu
dilakukan proses pemotongan agar mempermudah proses pencacahan. Apabila
sudah dicacah kemudian dilakukan proses didesinfeksi lalu dilanjutkan ke proses
pengeringan. Setelah kering kemudian dilakukan proses pewadahan dan
penimbangan sebelum dikirim kepada industri pemanfaat. Pada saat dikirim ke
industri pemanfaat tersebut, pengiriman disertai dengan berita acara pengiriman
yang ditandatangani oleh pihak ke-3 dan pihak instalasi sanitasi.
Proses daur ulang yang dilakukan oleh RSUD Dr. Soetomo sudah sesuai
dengan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.56 Tahun 2015. Dalam peraturan
tersebut dijelaskan bahwa pengolahan kemasan limbah B3 seperti kemasan bekas
B3, spuit bekas, botol infus bekas selain infus darah dan/atau cairan tubuh
dan/atau bekas kemasan cairan hemodialisis dilaksanakan melalui pengosongan,
pembersihan, desinfeksi, dan penghancuran atau pencacahan.
Pengelolaan sampah medis yang memerlukan pengelolaan khusus lainnya
yaitu sampah yang berasal dari instalasi radiologi. Sebelum diinsinerasi sampah
dari instalasi radiologi dilakukan peluruhan terhadap radioisotop yang digunakan.
Waktu luruh (T1/2) NaI131 = 8,02 hari dan Technesium = 6 jam, pengolahan
sampah ini baru dilakukan setelah waktu luruh terpenuhi dan lolos uji radiasi.
Limbah radioaktif yang sudah memenuhi waktu luruh baru bisa diolah bersama
dengan sampah medis yakni dibakar menggunakan insinerator.
Penanganan khusus juga dilakukan pada unit patologi anatomi, dimana
potongan jaringan tubuh dari ruang operasi yang di bawa ke patologi anatomi
memerlukan waktu penyimpanan selama 2 minggu, sebelum dilakukan
pengolahan dengan Insinerator. Tujuannya adalah untuk menunggu ada tidaknya
pemeriksaan ulang terhadap jaringan tubuh tersebut. Saat ini jumlah insinerator
yang ada di RSUD Dr. Soetomo ada 4 (empat) buah.
Pengolahan yang dilakukan oleh RSUD Dr. Soetomo juga sudah
memenuhi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia Nomor P.56 Tahun 2015 karena sudah menggunakan insinerator yang
dapat mereduksi massa dan volume limbah padat B3 90 - 95%. Selain itu suhu
primary dan secondary burner sudah memenuhi syarat yaitu minimal 800 oC dan
minimal 1000 oC.
Hal ini sesuai dengan penelitian Askarian, M. dkk (2003) yang
menunjukkan bahwa massa limbah direduksi sebesar 70% dan volumenya
direduksi sampai 90% oleh insinerator. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Saragih (2013) di rumah sakit TNI Dr. Ramelan Surabaya menunjukkan tingkat
reduksi limbah oleh insinerator adalah 82,63%. Insinerator dilengkapi dengan alat
pengendali pencemar udara wet scrabber dan sprayer pada stack atau cerobong
insinerator dan fasilitas pendukung untuk pengambilan contoh uji emis berupa
tangga dan platform pengambilan. Wet scraber dan sprayer berfungsi untuk
menyaring gas dan partikulat yang keluar dari cerobong insinerator.
Prinsip kerja penanganan asap yang ada di cerobong insinerator yaitu asap
tebal yang keluar dari hasil pembakaran limbah medis terserap oleh blower
(centrifugal fan). Gas asap yang keluar dari proses pembakaran di insinerator
bertemperatur tinggi, yang semula mengandung partikel halus maupun kasar akan
tersaring oleh sprayer jet air di dalam bagian atas cyclone secara kontinu atau
terus menerus dengan sistem gravitasi, sehingga asap yang keluar dari insinerator
menjadi lebih baik. Ini dibuktikan dengan hasil uji emisi yang dilakukan pada 4
insinerator, hasilnya keseluruhan masih memenuhi baku mutu udara emisi.
Proses insenerasi akan menghasilkan residu berupa abu. Hasil analisis
TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedure) untuk residu hasil proses
pembakaran sampah medis bisa diketahui bahwa parameter yang diperiksa
memenuhi baku mutu. Pembuangan abu dari hasil atau proses pembakaran
dimasukkan ke dalam drum-drum kapasitas 200 liter, yang kemudian dilakukan
proses solidifikasi dengan menggunakan campuran semen dan pasir sebagai
cover, kemudian di kirimkan ke pihak ke-3 yang memiliki legalitas untuk
pengelolaan limbah abu insinerator dari proses insinerasi yaitu di kirim ke PT.
PPLI.
Limbah B3 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya yang di luar proses produksi
menggunakan insinerator meliputi oli bekas, aki, lampu TL, fixer/developer, abu
paska bakar insinerator, sludge IPAL, sisa obat dari instalasi farmasi yang
kadaluwarsa dan lain-lain. Limbah B3 ini sebelum ditangani oleh pihak ke-3 yang
telah memiliki perijinan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) disimpan di TPS limbah B3.
Sistem pengelolaan limbah B3 di atas meliputi pengangkutan limbah B3
dari ruangan, pengemasan limbah B3. Penyimpanan limbah B3, pengangkutan
limbah B3 oleh pihak ke-3 dan pelaporan limbah B3. Pengangkutan limbah B3
dari setiap ruangan dilakukan oleh petugas limbah medis atau cleaning service
yang selanjutnya dibawa dan disimpan ke TPS limbah B3. Pengemasan limbah
B3 fase cair (fixer developer, oli bekas) ditampung dalam jerigen dan drum serta
diletakkan di atas palet dengan tujuan mencegah kontak dengan lantai secara
langsung. Limbah B3 fase padat (lampu TL bekas, kemasan dan baterai bekas)
dikemas menggunakan kardus dan diletakkan juga di atas palet Pengangkutan dan
pembuangan limbah B3 diserahkan ke pihak ke-3 yang memiliki legalitas dari
Kementerian Lingkungan Hidup untuk proses lebih lanjut. Pengangkutan limbah
B3 dilengkapi dengan manifes atau dokumen limbah B3 yang terdiri dari 7
rangkap.
Pelaporan limbah B3 dilakukan setiap 3 bulan kepada Badan Lingkungan
Hidup (BLH) Kota Surabaya, BLH provinsi dan KLHK. Pelaporan tersebut
berupa neraca limbah B3, logbook limbah B3 dan pendataan limbah B3. Neraca
limbah B3 merupakan kinerja pengelolaan limbah B3 dalam periode penataan
tertentu. Pengisian logbook berisi tentang sumber nama, jumlah dan volume,
karakteristik, pelaksanaan penyimpanan dan penyerahan limbah B3 kepada pihak
ke -3. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.56 Tahun 2015 yang
menyatakan bahwa pelaporan tentang Pengolahan Limbah B3 dilakukan secara
berkala setiap 6 bulan sekali kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
dengan tembusan kepada gubernur dan bupati/walikota sesuai kewenangannya.
Kondisi ruangan TPS limbah B3 sudah baik dan layak karena telah
mendapatkan izin TPS yang dikeluarkan oleh BLH Surabaya. Ruangan TPS
bersih dan terdapat palet yang digunakan sebagai alas untuk menyimpan limbah
B3 agar tidak tercampur. Untuk antisipasi tumpahan atau ceceran, di dalam TPS
dilengkapi dengan saluran pembuangan air limbah. Masing-masing TPS juga
dilengkapi peralatan penanggulangan keadaan darurat yaitu APAR dan kotak
P3K. RSUD Dr. Soetomo tidak melakukan tahap penguburan maupun
penimbunan limbah B3 karena abu sisa pembakaran insinerator dikirimkan ke
pihak ke-3 yang memiliki legalitas untuk pengelolaan limbah ash insinerator.
Kontrak kerjasama didalam penanganan limbah antara RSUD Dr.
Soetomo dengan PT PPLI sebagai pihak ke-3 pengelola limbah telah dibuat
berdasarkan kontrak kerjasama No.116/12681.1/301/2016. Pengiriman residu ke
pihak ke-3 menggunakan kendaraan milik pihak ke-3 (PT. PPLI). Pelaporan
limbah B3 dilakukan setiap 3 bulan kepada BLH Kota Surabaya, BLH provinsi,
dan KLHK. Pelaporan tersebut berupa neraca limbah B3, logbook limbah B3 dan
pendataan limbah B3.

b. Hubungan Dengan Pengelolaan Limbah di Tempat Kerja Penulis


1. Sama – sama bekerja sama dengan pihak ke 3 dalam pengelolaan limbah.
2. Sama – sama memiliki TPS limbah B3 berizin dan dilengkapi sarana pendukung.
3. Jika di RSUD dr Soetomo ada sebagian limbah B3 yang diproses melalui
incinerator terlebih dahulu baru diangkut oleh pihak ke 3, maka di tempat kerja
penulis semua limbah B3 padat diangkut tanpa melalui proses insenerasi.
4. Di RSUD dr Soetomo sudah dilakukan proses daur ulang botol infuse,
sedangkan di RSUD Talang Ubi belumdilakukan.

3. Jurnal III : Pengelolaan Limbah Padat B3 Di Rumah Sakit dr. Saiful Anwar
Malang(3)

a. Pembahasan
Dari hasil dan pembahasan pengelolaan limbah padat B3 di RSSA Malang, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1) Hasil pengukuran dan perhitungan limbah padat B3 di RSSA Malang adalah
sebagai berikut :
a) Timbulan rata-rata limbah padat B3 sebesar 854,5 kg/hari (0,503
kg/orang/hari)
b) Volume rata-rata limbah padat B3 sebesar 1,225 m3.
c) Densitas rata-rata limbah padat B3 sebesar 95,00 kg/m3
2) Kondisi pengelolaan limbah padat B3 di RSSA Malang
a) Pewadahan: Wadah yang tersedia yaitu tempat sampah kuning untuk medis
dengan kapasitas 36 L serta savety box 5 L
b) Pengumpulan: Menggunakan troli 120 L, tidak ada rute pengumpulan khusus
limbah padat B3, serta penggunaan APD petugas yang masih belum lengkap
c) Penyimpanan: Belum adanya sarana pendukung pada TPS B3
d) Pengolahan dan Pengangkutan: Limbah medis disimpan kurang dari 1 hari
kemudian dilakukan pembakaran menggunakan 2 insinerator dengan hasil abu
rata-rata sebesar 49,38 kg. Abu hasil pembakaran limbah padat B3 diangkut
oleh pihak ke-3 yaitu PT. Persadha Pamunah Limbah Industri.

b. Hubungan Dengan Pengelolaan Limbah Di Tempat Kerja Penulis


1. Waktu penyimpanan limbah medis sebelum dilakukan insenerasi di RSSA
Malang kurang dari 2 hari, sedangkan di tempat kerja penulis lebih dari 2 hari.
2. Pengangkutan limbah di RSSA Malang telah melalui jalur khusus, sedangkan di
tempat kerja penulis belum melalui jalur khusus.
3. TPS limbah B3 di tempat kerja penulis telah dilengkapi sarana pendukung.
4. Di tempat kerja penulis APD untuk petugas telah lengkap, sedang yang di RSSA
Malang belum lengkap.

4. Jurnal IV: Gambaran Pengelolaan Limbah Cair Di Rumah Sakit X Di Kabupaten


Jember(4)
a. Pembahasan
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dengan petugas sanitasi maupun
dengan petugas yang ada di ruangan dapat diketahui bahwa sumber limbah cair yang
berasal dari ruang rawat jalan, ruang rawat inap, bedah sentral, UGD, laboratorium,
laundry, gizi, kamar mandi dialirkan semuanya menuju IPAL. Untuk limbah cair
yang berasal dari urusan gizi ditampung pada bak khusus yang disebut dengan bak
penangkap lemak/greastrap dan proses pengolahannya dilakukan secara fisik agar
lemak dapat ditangkap dan tidak bercampur dengan air. sedangkan untuk limbah cair
yang berasal dari instalasi lain (kecuali gizi dan laundry) langsung ditampung pada
bak screening 1,2 dan 3, dimana fungsi dari bak screening sama dengan greastrap
yaitu menyaring limbah air dengan limbah padat berupa lumpur agar tidak
tercampur.
Proses Pengolahan Limbah Cair Rumah Sakit X Jember IPAL (Instalasi
Pengolahan Air Limbah) adalah sistem pengolahan limbah cair rumah sakit yang
didesain berdasarkan karakteristik limbah cair yang masuk dari beberapa sumber
pengeluaran limbah. Air limbah dari berbagai unit disalurkan secara gravitasi menuju
bak control (bak screening) dimana selanjunya akan dipompa untuk diolah dengan
menggunakan sistem diffuser. Tujuan IPAL adalah untuk mencegah pencemaran
lingkungan dan gangguan kesehatan bagi pengunjung terutama petugas limbah dan
masyarakat sekitar rumah sakit yang beresiko terkontaminasi limbah cair medis yang
dihasilkan rumah sakit (Siregar, 2005). Secara garis besar komponen yang
digunakan dalam proses pengolahan limbah cair dengan sistem biofilter teknologi
terdiri dari PTB (potential tank body)/ bak penangkap lemak dari urusan gizi maupun
laundry, bak screening, bak ekualisasi, pompa inlet, alchimia, blower udara, bak
chlorinasi, aero-reactor (KOMPAK 40), dan bak indikator. Hal tersebut sudah sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
1204/MENKES/SK/X/2004.
Untuk material pipa yang digunakan sudah memenuhi persyaratan, yaitu
menggunakan PVC, dimana material tersebut bersifat tidak korosif dan tahan
terhadap kondisi asam atau basa. Saluran pembuangan limbah menggunakan sistem
saluran tertutup, bersifat kedap air, dan terpisah dari saluran air hujan. Hal tersebut
sudah sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
1204/MENKES/SK/X/2004 dimana pada peraturan tersebut menyebutkan
bahwasannya saluran pembuangan air limbah harus menggunakan sistem saluran
tertutup, kedap air, limbah harus mengalir lancar, dan terpisah dengan aluran air
hujan. Sedangkan untuk jarak IPAL dengan sumber air bersih yang ada di Rumah
Sakit Bina Sehat Jember juga sudah memenuhi persyaratan dimana jaraknya lebih
dari 10 meter.
Pemeliharan IPAL di Rumah Sakit X Jember Pemeliharaan IPAL di Rumah sakit
X sudah dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ada di Rumah Sakit tersebut.
Pemeliharaan IPAL pada prinsipnya relatif mudah dilakukan. Yang terpenting adalah
menjaga agar limbah padat tidak masuk ke dalam sistem perpipaan dan mencegah
adanya penyumbatan-penyumbatan. Untuk mencegah limbah padat masuk dan
mencegah terjadinya penyumbatanpenyumbatan, maka perlu selalu dilakukan
pembersihan pada bak screening dan bak ekualisasi dari sampah padat secara rutin.
Peralatan yang digunakan adalah serok, bak sampah, dan senter. Sedangkan material
yang digunakan adalah kaporit berupa khlorin sebagai desinfektan. Untuk
pengawasan terhadap peralatan dan mesin dilakukan secara rutin 6 kali dalam
sebulan.
Kualitas Limbah Cair Rumah di Rumah Sakit X Jember Parameter yang
digunakan dalam menentukan kualitas limbah cair yaitu parameter fisik, kimia, dan
mikrobiologi. Parameter fisik berupa suhu dan pH. Parameter kimia berupa BOD,
COD, TSS, NH3 Bebas, fosfat, detergen, dan phenol. Sedangkan parameter
mikrobiologi yang diperiksa adalah coliform (Soeparman, H.M, dan Suparmin,
2002)5. Berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik
Indonesia Nomor : Kep58/MENLH/12/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi
kegiatan Rumah Sakit, maka setiap rumah sakit yang menghasilkan air
limbah/limbah cair harus memenuhi peraturan tersebut (KLH, 1995)6. Mengacu
pada peraturan tersebut, tolak ukur untuk pemerikasaan limbah cair Rumah sakit X
yaitu berdasarkan SK. Gubernur Jawa Timur Nomor 61 tahun 1999.7 Berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
1204/MENKES/SK/X/2004, frekuensi pemeriksaan kualitas limbah cair terolah
(effluent) dilakukan setiap bulan sekaliatau minimal 3 bulan sekali.
Namun pada kenyataannya frekuensi pemerikasaan kualitas limbah cair di Rumah
Sakit Bina Sehat dilakukan setiap 6 bulan sekali karena mengacu pada SK. Gubernur
Jawa Timur Nomor 61 tahun 1999. Laporan hasil pengujian limbah cair dari Balai
Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP)
Surabaya pada tanggal 15 April 2013 didapatkan hasil bahwa parameter yang diuji
yaitu meliputi pH, suhu, BOD5, COD, TSS, NH3 bebas, detergen, phenol, sisa
Chlor, fosfat dan coliform adalah memenuhi baku mutu limbah cair rumah sakit.
Hasil pemeriksaan limbah cair di Rumah Sakit Bina sehat telah memenuhi syarat
baku mutu lingkungan. Namun untuk hasil pemeriksaan parameternya tidak dapat
ditampilkan di dalam tabel dikarenakan dokumen Upaya Pemantauan Lingkungan
(UPL) yang dilakukan di Rumah Sakit Bina sehat ini bersifat rahasia.
Untuk mencegah penurunan kualitas air bersih, maka dalam penanganannya
limbah cair yaitu menggunakan IPAL. Air dari berbagai unit disalurkan secara
gravitasi menuju bak kontrol dimana selanjutnya akan dipompa untuk diolah dengan
menggunakan sistem diffuser. Sebagai indikator dibuatkan kolam ikan dan untuk
memantau kualitas air limbah yang dibuang ke sungai, outlet limbah cair
diperiksakan secara kontinyu minimal 3 bulan sekali ke laboratorium kesehatan
lingkungan yang terakreditasi. Kegunaan adanya pemantauan lingkungan rumah
sakit khususnya pemantauan outlet IPAL adalah untuk menguji pendugaan dampak
dari hasil limbah cair yang sudah diolah, untuk menguji efektivitas dari teknologi
yang digunakan, serta untuk mendapatkan tanda peringatan sedini mungkin
mengenai perubahan lingkungan.
Kuantitas Limbah Cair Rumah Sakit X Secara umum debit limbah cair sangat
tergantung pada jumlah air bersih yang dibutuhkan perkapita, bisa berkisar 70-80 %
dari banyaknya air bersih yang digunakan akan keluar sebagai air limbah. Perkiraan
kebutuhan air bersih untuk rumah sakit per hari didasarkan pada jumlah tempat tidur,
yaitu 500 liter/hari (Depkes, 2002). Dari penelitian yang telah dilakukan volume
limbah cair yang dihasilkan oleh Rumah Sakit Bina sehat adalah sebesar 90,89
m3/hari = 90.890 dm3/hari. Dan debit limbah cair yang dihasilkan oleh Rumah Sakit
X adalah sebesar 0,00105 m3/detik.

b. Hubungan dengan Pengelolaan Limbah Di Tempat Kerja Penulis


Rumah sakit X dan RSUD Talang Ubi sama - sama memiliki saluran pembuangan
limbah menggunakan sistem saluran tertutup, bersifat kedap air, dan terpisah dari
saluran air hujan. Pengujian kualitas juga sama – sama telah dilakukan namun
dengan waktu yang berbeda. Rumah Sakit X mengacu pada SK. Gubernur Jawa
Timur Nomor 61 tahun 1999 yaitu 1 kali per enam bulan. Sedang tempat kerja
penulis dilakukan per tiga bulan sekali.

5. Jurnal V : Evaluasi Pengelolaan Limbah Medis Padat Bahan Berbahaya Dan


Beracun (B3) Di Rumah Sakit Tk. Ii 04.05.01 Dr. Soedjono Magelang(5)

a. Pembahasan
Karakteristik Limbah B3
1. Sumber Limbah Medis Padat B3
Sumber penghasil limbah padat medis B3 ada 18 ruangan yaitu 9 ruang
rawat inap, ICU, hemodialisa, laboratorium, poliklinik, instalasi bedah, IGD,
CSSD, kemoterapi, patologi anatomi.
IPCN Rumah Sakit:
“Hampir semua layanan perawatan ada terutama di ruang rawat inap, untuk rawat
jalannya ya, yang paling banyak seperti HD, kemudian ruang kemoterapi.”

K3RS Rumah Sakit :


“Semua unit bangsal dan sebagian rawat jalan, kalo HD ikut rawat jalan,
kemudian OK, CSSD, kalau radiologi sudah tidak soalnya sudah pakai digital.”

Staf Sanitasi Rumah S


“Semua ruangan perawatan, bagi yang rawat jalan dan rawat inap. Rawat jalan
kalo ada tindakan pasti ada limbahnya.”

Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Elnovrian, Thamrin,
dan Dedi di RSPB menyebutkan bahwa limbah medis dihasilkan dari, UGD,
laboratorium, ruang rawat inap poliklinik, ICU, operasi dan ruang bersalin.

2. Jenis Limbah Medis Padat B3


Jenis limbah yang dihasilkan setiap ruangan memiliki komposisi yang
berbeda-beda. Secara umum limbah medis padat B3 yang dihasilkan pada
pelayanan kesehatan meliputi masker disposable, sarung tangan disposable, jarum
suntik, spuit, kassa/kapas terkontaminasi, plabot, selang infus, alkohol swab,
ampul, kateter, botol obat, reagen kimia, siringe, sisa obat, celemek
terkontaminasi, pembalut bekas, vial, jaringan tubuh, darah, cairan tubuh,
pembungkus alat, urin bag, selang, jerigen HD, alat tester, dan sludge IPAL.
K3RS Rumah Sakit
“Kalau disini yang terkumpul sampah medis infeksiusnya, kalo yang lain belum,
sama yang sampah umum domestik itu jadi dua. Kalau farmasi dikelola farmasi
sendiri .”
3. Jumlah Limbah Medis Padat B3
Unit sanitasi rumah sakit melakukan pencatatan terhadap limbah medis
padat B3 yang dihasilkan setiap harinya. Pencatatan jumlah limbah sudah
berdasarkan masing-masing ruangan sumber limbah medis padat B3. Pencatatan
dilakukan di TPS setelah pengangkutan dan penimbangan dari setiap sumber
limbah kedalam logbook yang sudah disediakan. Penimbangan dan pencatatan
logbook dilakukan oleh cleaning service khusus limbah medis.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa limbah yang dihasilkan selama
bulan Maret 2018 sebanyak 2553,34 kg dengan rata rata per harinya 82,37 kg.
Data jumlah didapatkan dari logbook pengelolaan limbah B3 yang dilakukan
pencatatan setiap hari. Banyaknya limbah medis padat yang dihasilkan oleh
Rumah Sakit Tk.II 04.05.01 dr. Soedjono Magelang dipengaruhi oleh jumlah
kunjungan pasien, kapasitas tempat tidur (TT), lama perawatan inap pasien.
Hal ini sesuai dengan hasil peneitian yang dilakukan oleh Askarian yang
menyatakan bahwa tingkat pemakaian tempat tidur (BOR), jenis tindakan
perawatan yang diberikan, dan jumlah pengunjung yang hadir mempengaruhi
besarnya volume limbah medis padat yang dihasilkan.
Penimbangan juga dilakukan oleh pihak ketiga sebelum diangkut.
Pengangkutan oleh pihak ketiga dilakukan dua atau tiga kali dalam satu minggu.
Pihak ketiga yaitu PT. Tenang Jaya Sejahtera mengelola 100% limbah medis
padat B3 yang dihasilkan oleh rumah sakit.

Evaluasi Pengelolaan Limbah Medis Padat B3


Pengelolaan limbah medis padat B3 yang dilakukan di Rumah Sakit Tk.II
04.05.01 dr. Soedjono Magelang masih belum bisa dikatakan baik sesuai dengan
kriteria tata cara dan persyaratan pengelolaan limbah B3 pada Permen LHK Nomor
56 Tahun 2015 karena memiliki nilai prosentase pada keseluruhan pengelolaan
limbah yang dilakukan masih rendah yaitu memperoleh nilai sebesar 76,39%.
Sedangakan dapat dikatakan memenuhi syarat sesuai Permen LHK Nomor 56 Tahun
2015 apabila memperoleh nilai lebih besar dari 100%.

1. Pengurangan dan Pemilahan Limbah Medis Padat B3


Rumah Sakit Tk.II 04.05.01 dr. Soedjono Magelang sudah melakukan
upaya pengurangan pada sumber limbah yaitu sebagian penghasil limbah sudah
menggunakan termometer digital sehingga menggurangi limbah B3 jika terjadi
kerusakan yaitu merkuri, kemudian tidak menggunakan pengharum aerosol.
Upaya tersebut sudah sesuai dengan Permen LHK No 56 tahun 2015 untuk
mengurangi penggunaan material yang akan menghasilkan limbah B3.
Pihak rumah sakit juga mengontrol pendistribusian bahan kimia dan obat
yang tanggung jawabnya dipegang oleh instalasi farmasi. Upaya penggunaan
kembali (reuse) juga sudah dilakukan dengan cara menggunakan kembali jerigen
bekas hemodialisa (HD) sebagai tempat limbah benda tajam. Menurut Saghita
(2017), dengan melakukan upaya minimasi dan pengelolaan sesuai aturan maka
dalam segi ekonomi bisa mengurangi biaya dalam pengelolaan limbah dan dapat
menetapkan rencana strategi untuk pengelolaan limbah dan rencana anggarannya.
Upaya pemilahan juga sudah dilakukan oleh pihak rumah sakit mulai dari
sumber limbah, dimana dilakukan pengkategorian tempat sesuai dengan
karakteristik limbah yaitu limbah medis, limbah non medis, dan limbah benda
tajam. Wadah dan kantong plastik limbah tidak memiliki simbol karakteristik
limbah tertentu.
Sistem pelabelan sudah berjalan yaitu dengan memberikan keterangan
atau informasi diatas penutup wadah mengenai jenis limbah yang harus dibuang
diwadah tersebut. Sistem pelabelan, pemberian simbol, dan pembedaan
karakteristik limbah berguna untu mencegah penyebaran penyakit akibat limbah
medis tersebut terhadap pengelola limbah. Limbah medis padat seperti bekas
jarum suntik, apabila dibuang bersamaan dengan limbah domestik maka akan
membahayakan petugas kebersihan yang mengelolanya, dapat diambil oleh
pemulung sampah sehingga dapat meningkatkan penularan HIV (99%) lewat
penggunaan jarum suntik bekas.
Staf Sanitasi Rumah Sakit:
“Kalo sampah standar ada tiga, ada limbah medis, non medis, sama limbah benda
tajam kalo khusus kemoterapi ada limbah sitotoksik jadiada empat. untuk
sementara limbah sitotoksiknya memakai plastik ungu yang kecil-kecil dan
disendirikan dari plastik kuning yang infeksius. Kalo sampah non medis pakai
plastik hitam.”
Kepala Instalasi Rawat Inap :
“Disana kita bagi tempatnya sampah sudah sendiri-sendiri. Limbah medis sendiri ,
non medis sendiri mbak, jadi yang ngambil bisalangsung memilah karena petugas
pengambil sampah medis sendiri, sampah non medis sendiri. Benda tajam juga
tempatnya sendiri.”

2. Penyimpanan Limbah Medis Padat B3


Upaya penyimpanan yang dilakukan di sumber limbah berupa
penyimpanan dalam wadah yang sudah disediakan sesuai dengan karakteristiknya
sebelum diangkut ke TPS oleh petugas. Penyimpanan sementara apabila
dilakukan terlalu lama maka akan menyebabkan jumlah bertambah banyak
sehingga tidak teratur cara penyimpanannya / berantakan dan dapat menjadi
sumber penyakit.
Lokasi TPS LB3 yang sudah sesuai dengan persyaratan dalam peraturan
yaitu termasuk dalam lokasi yang bebas banjir dan bencana alam, memiliki jarak
yang jauh dengan aktifitas pelayanan kesehatan, lalu lalang pengunjung dan
pasien dengan jarak 100 – 200 meter.
Fasilitas yang ada di area TPS LB3 sudah sesuai dengan persyaratan dalam
peraturan yaitu lantai terbuat dari semen sehingga mudah untuk proses
pembersihan, sumber air, bangunan permanen dengan atap dan memiliki vetilasi
dara yang cukup, dinding kokoh, kotak P3K, dan APAR. Penyediaan alat
pemadam api ringan (APAR) merupakan salah satu upaya dari penanggulangan
keadaan darurat untuk mengantisipasi adanya kebakaran yang akan menyebabkan
kerugian besar (Rizky,2009).
Kondisi kebersihan area dan ruang penyimpanan kurang bersih dimana
proses pembersihan ruangan tidak dilakukan setiap hari, yaitu dilakukan setelah
pengangkutan limbah ke pihak ketiga. Serta kurangnya jumlah petugas dan
perhatian terhadap TPS oleh unit sanitasi. Troly dan area TPS harus dilakukan
pembersihan serta desinfeksi agar mikroorganise patogan yang ada dapat hilang
sehingga tidak menimbulkan masalah kesehatan kepada pekerja
(Misgiono,2014).17

Staf Sanitasi Rumah Sakit:


“Ada APAR, P3K, wastafel, handscrub, sabun cuci tangan, handtowel, saluran
IPAL terus timbangannya buat limbah B3 juga ditaruh sana.”

Tata cara penyimpanan yang dilakukan yaitu limbah infeksius dengan


plastik warna kuning dimasukan ke welbin dan limbah benda tajam yang ada di
jerigen disusun dengan rapi serta ditutup. Pada saat penyimpanan tidak ditemukan
adanya penumpukan volume limbah karena welbin yang disediakan cukup untuk
menampung limbah yang dihasilkan. Penyimpanan yang dilakukan oleh pihak
rumah sakit di dalam TPS LB3 selama dua hari. Hal ini sudah sesuai dengan
Permen LHK No 56 tahun 2015 yang menyebutkan bahwa penyimpanan limbah
radioaktif, infeksius, daa sitotoksik pada suhu lebih dari 0℃ maksimal
peyimpannya adalah 2 (dua) sejak limbah dihasilkan untuk menghindari adanya
pertumbuhan bakteri, putreaksi, dan bau.

3. Pengangkutan Limbah Medis Padat B3


Pengangkutan limbah medis padat B3 yang dihasilkan dari masing masing
sumber, kemudian akan dibawa ke TPS LB3 dilakukan sebanyak 2 (dua) kali
dalam satu hari yaitu pada pagi hari (06.30 WIB) dan siang hari (13.30 WIB).
Pengangkutan yang dilakukan secara tidak terjadwal atau tidak rutin minimal
sehari sekali makan akan mengakibatkan penimbunan sampah pada penghasil
limbah (Aulia, 2012).18
Petugas Kebersihan LB3 :
“Pagi hari pukul setengah tujuhan dilakukan sebanyak dua kali sehari, satunya
siang jam satu setengah dua tapi cuma yang banyak-banyak saja yang dibangsal
tidak.”

Alat pengangkutan yang digunakan berupa troli khusus untuk limbah


medis padat B3 yang sudah sesuai dengan peraturan yaitu mudah dilakukan
bongkar muat limbah, mudah dibersihkan, tahan dengan goresan benda tajam,
dan beroda sehingga memudahkan mobilitaspengangkutan serta dilengkapi
dengan simbol limbah infeksius. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan
oleh Astuti (2014) bahwa pengangkutan limbah menuju TPS diangkut
menggunakan troli.7
Rumah Sakit Tk.II 04.05.01 dr. Soedjono Magelang belum memiliki jalur
khusus untuk pengangkutan limbah medis padat B3. Rute pengumpulan dimulai
dari area penghasil yang paling jauh dari TPS sampai dengan area penghasil yang
paling dekat dengan TPS LB3 selain itu melewati jalur belakang untuk
menghindari area yang banyak dilalui oleh banyak orang dan memilih waktu pagi
hari pada saat rumah sakit masih dalam kondisi sepi selain itu alat angkut yang
digunakan juga dapat ditutup sehingga mengurangi persebaran penyakit pada saat
pengangkutan. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Agustina (2014)
bahwa jalur pengangkutan yang digunakan sudah dipertimbangkan sehingga jalur
yangdilalui untuk membawa limbah medis sudah terstruktur dan berusaha
menghindari jalur yang digunakan oleh pengunjung agar tidak mengganggu
kenyamanan pengunjung.
Penggunaan alat pelindung diri (APD) sudah dilakukan mulai dari tahap
pengurangan dan pemilahan, penyimpanan dan pengangkutan, namun belum
dilakukan secara optimal dengan baik dan benar. Persyaratan dalam EPA
(Environment Protection Agency) menyatakan bahwa penanganan limbah
seharusnya menggunakan peralatan pelindung.

b. Hubungan Dengan Pengelolaan Limbah di Tempat Kerja Penulis


1. Sama – sama telah melakukan pencatatan jumlah limbah di TPS setelah
pengangkutan dan penimbangan dari setiap sumber limbah kedalam logbook
yang sudah disediakan.
2. Rumah Sakit Tk.II 04.05.01 dr. Soedjono Magelang dan RSUDTalang Ubi sama-
sama belum memiliki jalur khusus untuk pengangkutan limbah medis padat B3.
3. Rumah Sakit Tk.II 04.05.01 dr. Soedjono Magelang dan RSUD Talang Ubi sama
– sama sudah melakukan upaya pengurangan pada sumber limbah yaitu
mengganti penggunaan thermometer air raksa dengan termometer digital
sehingga menggurangi limbah B3 jika terjadi kerusakan yaitu merkuri,
kemudian tidak menggunakan pengharum aerosol.
4. Sama –sama memiliki TPS limbah B3 berizin dan dilengkapi dengan fasilitas
pendukung
B. Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pengelolaan Limbah yang Ditelaah

Pada proses pengelolaan limbah fasilitas kesehatan terdapat hal positif yang perlu
ditingkatkan dan tidak terlepas dari kekurangan yang harus diperbaiki. Berikut ini 10
kelebihan dan kekurangan yang dirangkum yaitu :

A. Kelebihan
a. Pengelolaan limbah fasilitas kesehatan telah menggunakan model baru dengan
melibatkan koperasi kesehatan milik Dinas Kesehatan sebagai user untuk menyewa
jasa angkut transporter swasta. Mekanisme ini selain dapat membantu pengelolaan
limbah puskesmas juga dapat memberikan kemudahan pada fasilitas kesehatan milik
swasta dengan sistem penalangan dana.
b. Pengelolaan limbah fasilitas pelayanan kesehatan telah dilengkapi dengan peralatan
yang memadai, diantaranya adalah ketersediaan incenerator dan instalasi pengolahan
air limbah (IPAL)
c. Sudah melakukan kerjasama pengelolaan limbah dengan pihak ke 3 yang memiliki
izin bagi fasilitas kesehatan kesehatan yang tidak memiliki incenerator.
d. Uji kualitas air limbah sudah dilakukan sesuai regulasi yang berlaku.
e. Failitas Pelayaan Kesehatan sudah melakukan upaya pengurangan pada sumber
limbah yaitu sebagian penghasil limbah sudah menggunakan termometer digital
sehingga menggurangi limbah B3 jika terjadi kerusakan yaitu merkuri, kemudian
tidak menggunakan pengharum aerosol.
f. Upaya pemilahan juga sudah dilakukan oleh pihak rumah sakit mulai dari sumber
limbah, dimana dilakukan pengkategorian tempat sesuai dengan karakteristik limbah
yaitu limbah medis, limbah non medis, dan limbah benda tajam.
g. Sistem pelabelan sudah berjalan yaitu dengan memberikan keterangan atau informasi
diatas penutup wadah mengenai jenis limbah yang harus dibuang diwadah tersebut.
h. Fasilitas pelayanan kesehatan yang belum memiliki jalur khusus pengangkutan
limbah telah mengatur jadwal pengangkutan agar tidak mengganggu pelayanan
kesehatan.
i. Alat pengangkutan yang digunakan berupa troli khusus untuk limbah medis padat B3
yang sudah sesuai dengan peraturan yaitu mudah dilakukan bongkar muat limbah,
mudah dibersihkan, tahan dengan goresan benda tajam, dan beroda sehingga
memudahkan mobilitas pengangkutan serta dilengkapi dengan simbol limbah
infeksius.
j. Penggunaan alat pelindung diri (APD) sudah dilakukan mulai dari tahap
pengurangan dan pemilahan, penyimpanan dan pengangkutan, namun belum
dilakukan secara optimal dengan baik dan benar.

B. Kekurangan
a. Waktu penyimpanan limbah sebelum diangkut dan dimusnahkan tidak sesuai dengan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 56 Tahun 2015 Tentang
tata cara dan persyaratan teknis pengelolaan limbah B3 dari fasilitas pelayanan
kesehatan yaitu 2 hari.
b. Tempat penyimpanan sementara (TPS) limbah medis belum memenuhi syarat. Yaitu
pengaturan suhu masih belum mencapai 0o C atau lebih rendah.
c. Tempat penyimpanan sementara (TPS) limbah medis belum dilengkapi fasilitas
pendukung seperti APAR, saluran, bak penampung ceceran atau tumpahan dan spill
kit.
d. Tidak semua fasilitas kesehatan memiliki tempat penyimpanan sementara limbah B3.
e. Kesadaran petugas kesehatan dalam pemisahan jenis limbah dari sumber masih
kurang.
f. Belum tersedianya jalur khusus untuk pengangkutan limbah B3 pada beberapa
fasilitas kesehatan untuk menghindari area yang dilalui banyak orang.
g. Petugas cleaning service belum mendapatkan pelatihan khusus mengenai limbah
medis.
h. Belum optimalnya penggunaan alat pelindung diri (APD).
i. Waktu pengangkutan limbah belum sesuai regulasi karena terkendala pada masalah
biaya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari telaah yang telah dilakukan terhadap 5 jurnal nasional dapat disimpulkan bahwa
semua fasilitas kesehatan sudah melakukan pengelolaan limbah yang dihasilkan. Pengelolaan
limbah bisa dilakukan mandiri oleh fasilitas yang bersangkutan, atau bisa juga bekerjasama
dengan pihak ketiga dalam pengelolaannya. Bahkan ada yang menggabungkan kedua cara
tersebut sekaligus.
Namun pengelolaan limbah tersebut masih belum sempurna pada prosesnya, sehingga
masih ada beberapa kelemahan yang perlu diperbaiki.

B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :
1. Fasilitas kesehatan hendaknya meyediakan TPS limbah B3 yang bukan hanya memiliki
izin, namun juga dilengkapi dengan fasilitas pendukung.
2. Memberikan pelatihan khusus mengenai limbah medis pada petugas cleaning service.
3. Mengoptimalkan pemakaian APD pada petugas
4. Menyediakan jalur khusus pengangkutan limbah medis
DAFTAR PUSTAKA

1. Purwanti AA. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Rumah Sakit Di RSUD
Dr.Soetomo Surabaya. J Kesehat Lingkung. 2018;10, No.3:291–8.
2. Manila RL, Sarto S. Evaluasi sistem pengelolaan limbah medis Puskesmas di wilayah
Kabupaten Bantul. Ber Kedokt Masy. 2017;33(12):587.
3. Hery Setyobudiarso, Dian Pusparini AA. Pengelolaan Limbah Padat B3 di Rumah Sakit
dr. Saiful Anwar Malang. J Envirotek. 2018;10(2):34–42.
4. Ningrum PT, Khalista NN. Gambaran Pengelolaan Limbah di Rumah Sakit X Kabupaten
Jember. J IKESMA [Internet]. 2004;10(2):352. Available from:
http://biblioteca.usac.edu.gt/tesis/08/08_2469_C.pdf
5. Himayati N, Joko T, Dangiran HL. Evaluasi Pengelolaan Limbah Medis Padat Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3) di Rumah Sakit Tk. II 04.05.01 dr. Soedjono Magelang. J
Kesehat Masy. 2018;6(4):485–95.

Anda mungkin juga menyukai