Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PENILAIAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS

OLEH :
KELOMPOK IV

1. DIAH RAMAYANTI A24117022


2. YULIANUZHA A24117025
3. ZAITUN A24117028
4. YANDRI PITER RORORA A24117031
5. HASNIAR A24117040
6. ANDI NUR KAMILA A24117100

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TADULAKO
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berpikir merupakan ciptaan dalam bentuk akal yang diciptakan oleh tuhan yang maha kuasa.
Berpikir merupakan kata kerja dalam kamus Bahasa Indonesia, berawal dari kata pikir yang berarti
apa yang ada dalam hati, akal budi, ingatan, angan-angan, kata dalam hati, pendapat,
pertimbangan. Sedangkan, menurut kata kerjanya berpikir itu adalah menggunakan akal budi
untuk menemukan jalan keluar, mempertimbangkan atau memutuskan sesuatu.
Salah satu macam berpikir yag tidak semua orang bisa melakukannya adalah berpikir kritis,
sebab berpikir kritis hanya diperuntukan untuk orang yang mempunyai daya nalar yang tinggi dan
mempunyai rasionalitas logika yang tinggi pula. Orang – orang yang berpikir kritis berbeda dengan
orang – orang yang berpikir protes walaupun ada kesamaan arti yaitu sama-sama bentuk penolakan
dari sesuatu atau seseorang.
Pikiran yang digunakan dalam penalaran dan diungkapkan lewat bahasa juga memiliki materi
dan bentuk. Contohnya, kalau kita mengatakan bundar, materinya adalah isi dan arti kata itu
sendiri, sedangkan bentuknya adalah positif. Akan tetapi, jika kita mengatakan tidak bundar,
bentuknya adalah negati.
Berpikir secara kritis berarti berpikir secara luas dan terbuka dengan mempertimbangkan
kemungkinan – kemungkinan hingga mendapatkan suatu fakta dan informasi yang dapat diterima
atau ditolak. Seseorang yang berpikir kritis akan mampu menyelesaikan masalah dengan sistemasi
pemikiran yang abstrak lalu menyusunnya dalam metode penyelesaian yang efektif.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hakikat berpikir?
2. Bagaimana hakikat berpikir kritis?
3. Bagaimana hakikat berpikir kritis menurut Norris-Ennis?
4. Apa saja indikator penilaian kemampuan berpikir kritis menurut Robert H. Ennis?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui hakikat berpikir.
2. Untuk mengetahui hakikat berpikir kritis
3. Untuk memahami hakikat berpikir kritis menurut Norris-Ennis
4. Untuk mengetahui indikator penilaian kemampuan berpikir kritis menurut Robert H. Ennis
BAB II
ASESMEN PENALARAN KERANGKA KERJA NORRIS-ENNIS

A. Kemampuan Berpikir Kritis


1. Hakikat Berpikir
Istilah asesmen (assessment) dalam Stiggin (1994) sebagai penilaian proses, kemajuan, dan
hasil belajar siswa (outcomes). Sementara itu asesmen diartikan oleh Kumano (2001) sebagai ”The
process of collecting data which is shows the develompment of learning”. Dengan demikian dapat
disimpukan bahwa asesmen merupakan istilah yang tepat untuk penilaian proses belajar siswa.
Namun, meskipun proses belajar siswa merupakan hal yang penting yang dinilai dalam asesmen,
faktor hasil belajar juga tidak dapat dikesampingkan.
Asesmen juga merupakan kegiatan pengumpulan bukti yang dilakukan secara sengaja,
sistematis, dan berkelanjutan serta digunakan untuk menilai kompetensi siswa. Penalaran adalah
proses kemampuan berpikir seseorang untuk mendapatkan suatu pengetahuan baru dengan cara
melogikakan konsep-konsep yang diketahuinya berdasarkan bukti-bukti yang ada dan
mengkontradiksikannya dengan pengetahuan yang sebelumnya. Penalaran juga merupakan semua
hubungan antara pengalaman dan pengetahuan yang digunakan seseorang untuk menjelaskan apa
yang dilihat, dipikirkan dan disimpulkan. Penalaran berasal dari kemampuan berpikir seseorang.
Jadi asesmen penalaran adalah kegiatan pengumpulan bukti yang dilakukan secara sengaja
untuk membuat hubungan antara pengalaman dan pengetahuan agar dapat menjelaskan apa yang
dilihat, dipikirkan dan disimpulkan.
Norris dan Ennis (dalam Stiggin, 1989:1994) mengungkapkan satu set tahap-tahap yang
termasuk proses berpikir kritis:
1. Mengklarifikasi isu dengan mengajukan pertanyaan kritis
2. Mengumpulkan informasi tentang isu
3. Mulai bernalar melalui berbagai sisi atau sudut pandang yang berbeda-beda
4. Mengumpulkan informasi dan melakukan analisis lebih lanjut, jika diperlukan
5. Membuat dan mengkomunikasikan keputusan
Disamping mengembangkan berpikir kritis yang berkaitan dengan domain kognitif, Norris dan
Ennis juga mengembangkan disposisi yang merupakan “jiwa kritis”. Berikut akan diuraikan
tentang kemampuan dan disposisi kritis dari Norris dan Ennis.
Norris dan Ennis (dalam Stiggins, 1994) menyatakan berpikir kritis merupakan berpikir masuk
akal dan reflektif yang difokuskan pada pengambilan keputusan tentang apa yang dilakukan atau
diyakini. Masuk akal berarti berpikir didasarkan atas fakta-fakta untuk menghasilkan keputusan
yang terbaik, reflektif artinya mencari dengan sadar dan tegas kemungkinan solusi yang terbaik.
Dengan demikian berpikir kritis, menurut Norris dan Ennis adalah berpikir yang terarah pada
tujuan. Tujuan dari berpikir kritis adalah mengevaluasi tindakan atau keyakinan yang terbaik.
Norris dan Ennis memfokuskan kerangkanya pada proses berpikir yang melibatkan pengumpulan
informasi dan penerapan kriteria untuk mempertimbangkan serangkaian tindakan atau pandangan
yang berbeda. Ini bersesuaian dengan tingkat berpikir evaluasi pada taksonomi Bloom.
Jiwa kritis menurut Norris dan Ennis meliputi: kebutuhan untuk berpikir logis, berusaha keras
untuk memiliki pengetahuan luas dari sumber-sumber yang kredibel, berwawasan atau
berpandangan luas, dan memperoleh kesenangan pribadi dalam hubungannya dengan cara
pemecahan masalah-masalah yang komplek. Namun, Norris dan Ennis berpendapat bahwa alat-
alat intelektual dapat menjadi tidak berguna, jika tidak ada tanggung jawab untuk
menggunakannya.
Kerangka kerja Norris dan Ennis mengungkapkan bahwa penalaran kompleks memerlukan
penggunaan terintegrasi dari sejumlah proses berpikir. Karena kompleksitasnya, kerangka kerja
Norris dan Ennis ini tidak cocok dengan asesmen respon terbatas. Di lain pihak, kita dapat
menggunakan asesmen essay untuk memperoleh informasi tentang penalaran dan pemahaman
yang komplek. Di samping itu kita dapat menggunakan asesmen essay sebagai alat untuk
menguraikan proses penalaran siswa.
Asesmen kinerja sangat baik digunakan untuk menilai penalaran. Kita dapat menggunakan
suatu isu kepada siswa baik individu maupun kelompok dan kemudian menilai keterampilan
berpikir kritisnya. Di samping dengan asesmen kinerja, kita juga dapat menyelidiki penalaran
siswa melalui komunikasi personal dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan strategis. Atau kita
dapat mengikutsertakan siswa untuk merancang kriteria penskoran essay, kriteria penskoran
asesmen kinerja, atau suatu daftar tentang tahap-tahap penting dalam proses berpikir Norris dan
Ennis. Dengan cara seperti itu guru setidaknya dapat menilai respon siswa dan bagaimana
penalaran masing-masing siswa. Karena mereka menginternalisasi visi dan merefleksikan
pekerjaannya sendiri, mereka akan menjadi pemikir yang kritis.
Sebagaimana pandangan Norris dan Ennis, kerangka kerja konseptual yang ditawarkan oleh
Marzano (1992) mencakup komponen kognitif dan afektif. Dimensi kognitif (dari susunan
Marzano yang relatif komplek) menguraikan tentang proses penalaran yang disajikan dalam tabel
2 dengan label, definisi dan contoh. Dimensi afektif menyatakan bahwa siswa harus
mengembangkan dan mempertahankan sikap dan persepsi positif mengenai pembelajaran dan
pemahaman tanggung jawab personal untuk berpikir yang bijak. Bila dimensi afektif ini tidak
dimiliki, maka sepertinya keterampilan yang mereka miliki jadi sia-sia.
Keunggulan kerangka kerja ini adalah bahwa setiap jenis berpikir yang dispesifikasikan
diterjemahkan secara natural kedalam pertanyaan yang tampaknya dapat diterapkan pada semua
area materi. Lebih jauh, setiap pertanyaan tampaknya unik dan relevan dengan dunia nyata.
Sebagai bahan pertimbangan kita dapat menggunakan contoh pertanyaan yang ada pada tabel
sebagai model, kemudian memilih area konten dan menempatkan serangkaian pertanyaan yang
mungkin digunakan untuk memeriksa pemahaman siswa pada area tersebut.
Berpikir secara umum diartikan sebagai suatu proses kognitif yang tidak dapat di lihat secara
fisik, merupakan suatu tindakan mental dalam usaha memperoleh pengetahuan (Presseisen,
1985 dalam Costa ed., 1985: 43)
Nickerson, Perkins, dan Smith (1985: 48), menyatakan bahwa di satu sisi berpikir itu sangat
penting untuk memperoleh pengetahuan dan di sisi lain pengetahuan itu sangat penting untuk
proses berpikir. Sementara, Costa (1985 dalam Costa ed. 1985: 62) menyatakan bahwa berpikir
adalah menerima stimulus eksternal melalui indera dan diproses secara internal. Berpikir juga bisa
dikatakan suatu hal yang alamiah (fitrah atau natural) bagi setiap manusia dikarenakan adanya
unsur-unsur ciptaan yang telah diciptakan oleh Allah SWT. Dalam proses berpikir dilibatkan
berbagai unsur, yakni otak yang sehat, panca indra, informasi sebelumnya, dan adanya fakta. Dari
keempat unsur di atas dapat dirangkai sebuah definisi berpikir, yaitu pemindahan penginderaan
terhadap fakta melalui panca indera ke dalam otak yang disertai adanya informasi-informasi
terdahulu yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut (Hatta, 2007:1).
Menurut Piaget (Dahar, 1996: 152), setiap individu mengalami tingkat-tingkat
perkembangan intelektual sebagai berikut:
a) Tingkat sensori-motor (0-2tahun), selama periode ini anak mengatur alamnya dengan indera-
inderanya (sensori) dan tindakan-tindakannya (motor);
b) Tingkat pra operasional (2-7tahun), periode ini disebut pra operasional karena pada tahap ini anak
belum mampu melaksanakan operasi-operasi mental seperti operasi matematis yang reversibel.
Selain itu, anak pada tingkat pra operasional bersifat egosentris;
c) Tingkat operasional konkret (7-11 tahun), pada tingkat ini anak memiliki operasi-
operasi logis yang dapat diterapkan pada masalah-masalah konkret dan anak
belum dapat berurusan dengan materi abstrak, seperti hipotesis dan proposisiverbal;
d) Tingkat operasional formal (11 tahun ke atas), pada periode ini anak
telah mempunyai kemampuan untuk berpikir abstrak. Flavell (1936 dalam Dahar, 1996: 155)
mengemukakan beberapa karakteristik berpikir operasional formal, yaitu berpikir hipotesis-
deduktif, berpikir proposisional dan berpikir kombinatorial.
Berkaitan dengan proses berpikir, Swartz dan Perkins (1992 dalam Hassoubah, 2008: 21),
mengemukakan bahwa manusia cenderung mengalami empat kecenderungan berpikir yang tidak
efektif atau salah. Keempat kecenderungan berpikir yang salah tersebut adalah:
a) Tergesa-gesa, yaitu terlalu cepat membuat keputusan tanpa mempertimbangkan ide atau alternatif
lain;
b) Acak-acakan, yaitu kecenderungan untuk tidak teratur dalam berpikir, melompat
dari satu gagasan ke gagasan lainnya tanpa menganalisis secara mendalam salah
satu dari gagasan tersebut
c) Tidak fokus, yaitu samar-samar dalam pemikiran serta tidak jelas dalam memberikan pendapat
d) Sempit, yaitu kecenderungan berpikir tidak mendalam, sehingga mengabaikan informasi
penting lain yang mungkin ada.
Sebenarnya setiap orang memiliki tingkat kemampuan berpikir yang seringkali seseorang itu
tidak menyadarinya. Ketika mulai menggunakan tingkat kemampuan berpikir tersebut, fakta-fakta
yang sampai sekarang tidak diketahuinya, lambat laun akan terungkap. Semakin dalam seseorang
berpikir, maka semakin bertambah kemampuan berpikirnya dan hal ini mungkin sekali
berlaku bagi setiap orang. Karena itu, perlu disadari bahwa setiap orang mempunyai kebutuhan
untuk berpikir serta menggunakan akalnya semaksimal mungkin (Yahya, 2003: 4).
2. Berpikir Kritis
Menurut Presseisen (1985 dalam Costa ed., 1985: 44), keterampilan berpikir dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu: keterampilan berpikir dasar dan keterampilan
berpikir kompleks atau keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking).
Proses berpikir dasar merupakan gambaran dari proses berpikir rasional yang mengandung
sekumpulan proses mental dari yang sederhana menuju yang kompleks
(Novak, 1979 dalam Liliasari, 2001:13).
Aktivitas berpikir yang terdapat dalam proses berpikir rasional yaitu menghapal,
membayangkan, mengelompokkan, menggeneralisasikan, membandingkan, mengevaluasi,
menganalisis, mensintesis, mendeduksi dan menyimpulkan. Dalam hal ini dasar proses berpikir
adalah menemukan hubungan, menghubungkan sebab-akibat, mentransformasi, mengelompokkan
dan memberikan kualifikasi (Liliasari, 2001: 13).
Sedangkan proses berpikir kompleks atau berpikir tingkat tinggi dapat dikategorikan ke dalam
empat kelompok, yaitu pemecahan masalah, pengambilan keputusan, berpikir kritis, dan berpikir
kreatif (Presseisen, 1985 dalam Costa ed., 1985: 45).
Salah satu keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking) adalah berpikir
kritis. Berpikir kritis menggunakan dasar proses berpikir untuk menganalisis argumen dan
memunculkan pengetahuan terhadap setiap makna dan interpretasi, mengembangkan pola
penalaran yang kohesif dan logis, memahami asumsi dan bias, serta memberikan model
penyampaian yang dapat dipercaya, ringkas, dan meyakinkan (Presseisen, 1985 dalam Costa ed.,
1985: 45).
Banyak definisi berpikir kritis yang dikemukakan oleh para ahli. Seperti yang dikemukakan
oleh Dewey (1909 dalam Fisher 2009: 2), bahwa berpikir kritis didefinisikan sebagai
pertimbangan yang aktif, terus-menerus, dan teliti mengenai suatu keyakinan atau asumsi. Berpikir
kritis menuntut upaya keras untuk memeriksa keyakinan atau asumsi berdasarkan bukti pendukung
dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang ditimbulkannya (Fisher, 2009: 3). Selain itu, berpikir
kritis merupakan suatu proses untuk mencari makna, bukan sekedar perolehan pengetahuan
(Barell, 1985 dalam Costa ed., 1985: 35). Sementara,
Swart dan Perkins (1990 dalam Hassoubah, 2008: 86), menyatakan bahwa
berpikir kritis bertujuan untuk mencapai penilaian yang kritis terhadap apa yang akan diterima
atau dilakukan dengan alasan yang logis. Definisi lainnya dikemukakan oleh Glaser
(1941 dalam Fisher, 2009: 3), mendefinisikan berpikir kritis sebagai:
a) suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada
pada jangkauan pengalaman seseorang
b) pengetahuan tentang metode-metode penilaian dan penalaran yang logis; dan
c) keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut. Menurut Beyer (Potts, 1994: 1),
meskipun terdapat beragam definisi mengenai berpikir kritis, namun hampir semua menekankan
pada kemampuan dan kecenderungan untuk mengumpulkan, mengevaluasi, dan menggunakan
informasi secara efektif. Salah satu kontributor terkenal bagi pengembangan budaya berpikir kritis
adalah Robert H. Ennis. Ennis (1985 dalam Costa ed., 1985: 54) menyatakan
bahwa berpikir kritis adalah berpikir reflektif yang masuk akal yang berfokus
untuk memutuskan apa yang harus diyakini atau dilakukan. Menurut Ennis (1995: 365), terdapat
enam unsur dasar dalam berpiki kritis yang disingkat menjadi FRISCO, yaitu:
a) F (Focus), yaitu memfokuskan pertanyaan atau isu yang tersedia untuk membuat sebuah
keputusan tentang apa yang diyakini.
b) R (Reason), yaitu mengetahui alasan-alasan yang mendukung atau melawan utusan-
putusan yang dibuat berdasarkan situasi dan fakta yang relevan
c) I (Inference), yaitu membuat kesimpulan yang beralasan atau menyungguhkan. Bagian penting
dari langkah penyimpulan ini adalah mengidentifikasi asumsi dan mencari pemecahan,
pertimbangan dari interpretasi akan situasi dan bukti.
d) S (Situation), yaitu memahami situasi dan selalu menjaga situasi dalam berpikir akan
membantu memperjelas pertanyaan da mengetahui arti istilah-istilah kunci, bagian-
bagian yang relevan sebagai pendukung.
e) C (Clarity), yaitu menjelaskan arti atau istilah-istilah yang digunakan.
f) O (Overview), yaitu meninjau kembali dan meneliti secara menyeluruh keputusan yang
diambil.

B. Indikator Berpikir Kritis


Ennis (1985 dalam Costa ed., 1985: 54-57) mengungkapkan kemampuan berpikir kritis yang
dikelompokkan ke dalam lima indikator kemampuan, yaitu:
a) memberikan penjelasan sederhana;
b) membangun keterampilan dasar;
c) menyimpulkan;
d) memberikan penjelasan lebih lanjut; dan
e) mengatur strategi dan taktik. Penjelasa mengenai kelima indikator kemampuan berpikir kritis
tersebut selengkapnya disajikan dalam Tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1 Kemampuan Berpikir Kritis menurut Robert H. Ennis

Indikator Berpikir Kritis Sub-Indikator Berpikir Kritis Penjelasan

1. Memfokuskan pertanyaan. a. Mengidentifikasi dan


merumuskan
Pertanyaan.
b. Mengidentifikasi dan
merumuskan kriteria-kriteria
untuk mempertimbangkan
jawaban yang mungkin.
c. Memelihara situasi dalam
pikiran.
2. Menganalisis argumen. a. Mengidentifikasi kesimpulan.
b. Mengidentifikasi alasan
(sebab) yang dinyatakan
Elementary
(eksplisit).
clarification
c. Mengidentifikasi alasan
(memberikan
(sebab) yang tidak dinyatakan
penjelasan
(implisit).
sederhana)
d. Mencari persamaan dan
perbedaan.
e. Mengidentifikasi dan
menangani ketidakrelevanan.
f. Mencari struktur dari suatu
argument
g. Membuat ringkasan.
3. Bertanya dan menjawab a. Mengapa demikian?
pertanyaan tentang suatu b. Apa inti utamanya?
penjelasan atau tantangan. c. pa yang Anda maksudkan?
d. Mana yang merupakan
contoh?
e. Mana yang yang bukan
contoh?
f. Bagaimana menerapkannya
dalam kasus tersebut?
g. Perbedaan apa yang
menyebabkannya?
h. Apa faktanya?
i. Inikah yang Anda katakan?
j. Akankah Anda menyatakan
lebih dari itu?
4. Mempertimbangkan a. Ahli.
kredibilitas suatu sumber. b. Kelemahan dari
permasalahan yang
bersangkutan.
c. Kesepakatan antar sumber.
d. Reputasi.
e. Menggunakan prosedur yang
telah diakui.
Basic support
f. Mengetahui resiko
(membangun
berdasarkanreputasi.
keterampilan
g. Kemampuan memberikan
dasar)
alas an.
h. Kebiasaan hati-hati.
5. Mengobservasi dan a. Sedikit mengambil
mempertimbangkan hasil kesimpulan yang berbelit-
observasi. belit.
b. Interval waktu singkat antara
observasi dan pembuatan
laporan.
c. Laporan yang dibuat oleh
observer lebih baik dari yang
dibuat orang lain.
d. Merekam gambaran secara
umum,
6. Membuat deduksi dan a. Kelompok yang logis.
mempertimbangkan hasil b. Kondisi yang logis.
deduksi. b. c. Interpretasi pernyataan.
7. Membuat induksi dan a. Membuat generalisasi:
mempertimbangkan hasil kekhususan data,
induksi. pengambilan contoh, table
dan grafik.
b. Membuat penjelasan dari
suatu kesimpulan dan
hipotesis.
c. Menyelidiki, yaitu
Inference merancang eksperimen
(membuat termasuk merencanakan
inferensi) dalam mengendalikan
variabel, mencari bukti di
luar bukti yang telah ada,
mencari penjelasan lain
yang mungkin.
d. Memberikan kriteria yang
layak dalam membuat
asumsi. jika laporan disertai
rekaman, umumnya lebih
baik.
e. Bukti-bukti yang
menguatkan.
f. Kemungkinan dari kuat
tidaknya bukti-bukti tersebut.
g. Kondisi akses yang baik.
h. Penggunaan teknologi yang
kompeten.\Kepuasan
observer atas kredibilitas
kriteria.
8. Membuat keputusan dan a. Latar belakang fakta.
mempertimbangkan hasilnya. b. Konsekuensi.
c. Penerapan yang utama
terhadap prinsip-prinsip yang
dapat diterima.
d. Mempertimbangkan berbagai
alternatif.
e. Menyesuaikan, menimbang
dan memutuskan.
9. Mendefinisikan istilah dan a. Bentuk: sinonim, klasifikasi,
mempertimbangkan definisi. rentang, ungkapan yang
setara, operasional, contoh
Advance
dan non contoh.
clarification
b. Strategi definisi (tindakan,
(memberikan
mengidentifikasi persamaan)
penjelasan lebih
c. Isi.
lanjut)
10. Mengidentifikasi asumsi. a. Penalaran secara implisit.
b. Diperlukan asumsi:
merekonstruksi argumen.
11. Memutuskan suatu tindakan. a. Mendefinisikan masalah.
b. Menyeleksi kriteria untuk
membuat solusi.
c. Merumuskan alternatif
solusi.
Strategy and d. Memutuskan hal-hal yang
tactics akan dilakukan secara
(mengatur tentative.
strategi dan e. Melakukan tinjauan ulang.
taktik) f. Memonitor implementasi.
12. Berinteraksi dengan orang lain. a. Bereaksi terhadap label yang
keliru.
b. Strategi logis.
c. Strategi retoris.
d. Menyampaikan secara lisan
atau tertulis.

Menurut Priyadi (2005: 1), berpikir kritis adalah proses mental untuk menganalisis
atau mengevaluasi informasi. Informasi yang dianalisis dapat berupa suatu argumen. Berkaitan
dengan sub-indikator kemampuan berpikir kritis menganalisis argumen, Bruneu (1987 dalam
Hassoubah, 2008: 30) menjelaskan bahwa terdapat pola pikir yang salah
yang seringkali dilakukan seseorang dalam menganalisis argumen, diantaranya:
a) Argumentasi yang diberikan tidak berhubungan dengan kesimpulan;
b) Berbeda argumen dari orang lain hanya berdasarkan bukti tertentu saja;
c) Loyalitas buta, yaitu seseorang yang kukuh dengan argumentasinya tanpa peduli dengan
banyaknya bukti yang berlawanan;
d) Menyetujui atau menerima argumen begitu saja tanpa bukti atau tanpa perlu bersusah payah
membuktikan kebenaran argumen tersebut.

Berkaitan dengan sub-indikator berpikir kritis mempertimbangkan kredibilitas suatu


sumber, untuk dapat menilai kredibilitas secara kritis dapat dilakukan dengan cara menilai:
a) Keahlian yang relevan (seperti pengalaman atau kualifikasi formal) yang dimiliki sumber;
b) Reputasi sumber yang menyataka bahwa sumber tersebut dapat dipercaya;
c) Kelogisan pendapat sumber;
d) Sumber utama atau sumber sekunder yang mendasari pendapat sumber; dan
e) Bukti yang menguatkan dari sumber lain (Fisher, 2009:103).
Salah satu indikator kemampuan berpikir kritis adalah inference (membuat inferensi/
kesimpulan). Penarikan kesimpulan dapat dilakukan dengan melakukan penalaran secara deduktif
maupun induktif. Menurut Suriasumantri (2001: 49), penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir
dari pernyataan yang bersifat umum ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus
Ausubel (Dahar, 1996: 119), berpendapat bahwa pengembangan konsep berlangsung
paling baik apabila unsur- unsur yang paling umum diperkenalkan lebih dulu,
baru kemudian diberikan hal-hal yang lebih mendetail dan khusus dari konsep tersebut.
Sedangkan penalaran induktif merupakan cara berpikir dengan menarik suatu kesimpulan
yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat khusus, dari contoh-contoh menuju
kesimpulan umum (Suriasumantri, 2001: 48). Seseorang dapat berpikir induktif dengan mencari
ciri-ciri atau sifat-sifat dari berbagai fenomena, kemudian menarik kesimpulan
pada semua jenis fenomena tadi (Purwanto, 1997:102).
Menurut Mulyana (2005: 11), kebaikan dari pola penalaran induktif dalam pembelajaran
adalah siswa mempunyai kesempatan aktif di dalam menemukan sebuah kesimpulan sehingga
siswa terlibat dalam mengobservasi, berpikir dan bereksperimen Sedangkan kelemahan dari
pola penalaran induktif dalam pembelajaran adalah proses penarikan kesimpulan
yang banyak memakan waktu.
Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi merupakan salah satu sub indikator
kemampuan berpikir kritis. Menurut Fisher (2009: 67)
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan seseorang dalam menjelaskan definisi istilah atau
gagasan, diantaranya:
(a) memberikan ungkapan yang bersinonim (parafrase)
(b) mengemukakan contoh-contoh yang jelas;
(c) memberikan noncontoh atau hal- hal yang kontras dari istilah tersebut; dan
(d) menjelaskan sejarah sebuah istilah atau ungkapan.
Sub-indikator kemampuan berpikir kritis ke-10 adalah mengidentifikasi asumsi.
Asumsi adalah keyakinan yang secara jelas diterima atau dianggap benar oleh seseorang
tetapi biasanya tidak dinyatakan (Fisher, 2009: 46). Menurut Johnson (2007: 196) suatu
asumsi baru bisa diterima apabila jelas, logis, dan didasarkan pada pengalaman yang luas.
Salah satu tujuan dari berpikir kritis adalah untuk membuat keputusan mengenai
sesuatu. Fisher (2009: 153), mengemukakan beberapa kelemahan umum ketika seseorang
memutuskan suatu keputusan, diantaranya:
a) kurangcukup waktu berpikir mengenai keputusan yang diambil;
b) tidak berpikir tentang alternatif-alternatif lain;
c) tidak mempertimbangkan akibat-akibat dari beragam keputusan;
d) terlalu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan;
e) terlalu melibatkan emosi; dan
f) menerima apa yang direkomendasikan orang lain tanpa mempertimbangkannya.
Selain itu, pengambilan keputusan membutuhkan ketelitian yang logis, konsisten, tolok ukur
lain dan kemampuan untuk melihat adanya kekeliruan dalam logika suatu pernyataan
(Subiyanto, 1988: 50).
Menurut Hassoubah (2008: 88), latar belakang kepribadian dan budaya seseorang dapat
mempengaruhi usaha seseorang untuk berpikir secara kritis terhadap suatu masalah.
Selain itu,berpikir kritis juga dipengaruhi oleh kondisi emosi Proses berpiki kritis dapat dihambat
oleh beberapa faktor. Halpern (1989dalam Hassoubah, 2008: 27) mengungkapkan
bahwa terdapat kecenderungan bias psikologis yang dapat menghambat proses berpikir kritis, di
antaranya:
a) Bias konfirmasi, yaitu kecenderungan untuk mencari informasi hanya yang sesuai dengan ide
yang dimiliki;
b) Bias kebiasaan, yaitu kecenderungan untuk mengambil suatu keputusa berdasarkan kebiasaan;
c) Reaksi psikologis, yaitu keadaan emosi ketika memilih alternatif terbaik tidak berdasarkan kriteria
rasional dan
d) Resiprositas/ pertukaran, yaitu pengambilan keputusan dengan dasar perasaan subjektif,
bukan secara objektif.
Seorang yang berpikir kritis bisa menanyakan pertanyaan yang tepat, mengumpulkan
informasi yang relevan, efisien dan kreatif dalam memilah informasi, menemukan alasan logis
dari suatu informasi, dan memperoleh kesimpulan yang dapat dipercaya
dipertanggungjawabkan sehingga memungkinkan seseorang untuk menjadi lebih baik dan sukses
dalam kehidupan (Schafersman, 1991: 1). Selain itu, Chiras (1992: 464) menjelaskan bahwa siswa
perlu dibekali dengan kemampuan berpikir kritis karena membekali siswa dengan
kemampuan berpikir kritis, berarti memberikan siswa keterampilan yang dapat
digunakan untuk menganalisis dan memecahkan sejumlah besar masalah yang akan mereka
hadapi dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Mengacu pada betapa penting peran berpikir kritis bagi kehidupan, maka didalam pendidikan
guru hendaknya dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa.
Menurut Beyer (1985 dalam Costa ed., 1985: 145), ada dua langkah yang harus dilakukan guru
dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa, yaitu :
a) Guru terlebih dahulu menentukan tujuan yang jelas, kegiatan dan pengetahuan yang menunjang
berpikir kritis;
b) Guru juga harus merencanakan pembelajaran yang sistematis dan melibatkan keterampilan-
keterampilan untuk melatih berpikir kritis selama pembelajaran. Selain itu, guru dapat memilih
strategi yang tepat dalam pembelajaran untuk melatih kemampuan berpikir kritis siswa,
diantaranya menciptakan interaksi antar siswa dan memberikan pertanyaan terbuka pada
siswa (Potts, 1994: 1).
Hal ini senada dengan pendapat Rustaman et al. (2003: 125), yang menyatakan bahwa
dengan menggunakan pertanyaan yang efektif berarti mendorong siswa untuk berpikir dan
bernalar, sehingga belajar berpusat pada diri siswa. Begitu pula dengan pendapat Nasution (2000:
161) bahwa bertanya merupakan stimulus yang mendorong anak untuk berpikir dan belajar,
dengan bertanya, siswa akan memperoleh pengetahuan. Selain itu, menurut Costa (1985 dalam
Costa ed., 1985: 125) dalam tulisannya yang berjudul Teacher Behaviors tha Enable Student
Thinking pertanyaan merupakan alat intelektual yang dapat mempertahankan ketertarikan dan
antusiasme siswa dalam belajar.
Berdasarkan penelitian Wright dan Bar, Sartorelli, Swartz dan Parks (Hassoubah,
2008: 96-108), terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan
berpikir kritis, diantaranya:
a) membaca dengan kritis;
b) meningkatkan daya analisis;
c) mengembangkan kemampuan observasi /mengamati;
d) meningkatkan rasa ingin tahu, kemampuan bertanya dan refleksi
e) metakognisi; mengamati model dalam berpikir kritis; dan
f) melibatkan diri dalam diskusi yang “kaya”.
Melalui diskusi, siswa mendapat pengalaman dan latihan mengungkapkan pendapat secara
lisan dan berkomunikasi dengan orang lain dalam menghadapai suatu masalah. Diskusi
memungkinkan pengembangan penalaran, pemikiran kritis dan kreatif serta kemampuan
memberikan pertimbangan dan penilaian (Munandar, 1999: 84).
Langholz dan Smaldino (Gelven & Stewart, 2001) menyatakan bahwa berpikir
kritis tidak dapat dikembangkan dalam waktu yang singkat tetapi harus dilakukan secara
berkelanjutan. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Nickerson, Perkins dan Smith
(1985: 45), bahwa keterampilan berpikir merupakan keterampilan dasar yang perlu dikembangkan
atau dilatih. Begitu pula dengan pendapat Beyer (1985 dalam Costa ed.
1985: 149) bahwa melatih berpikir kritis perlu dilakukan secara berulang-ulang sambil
memberikan saran dan perbaikan pada hasil berpikir kritis siswa.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Penilaian Norris dan Ennis merupakan penilaian yang mengarah pada kemampuan berpikir
kritis yang difokuskan pada pengambilan keputusan tentang apa yang dilakukan atau diyakini.
Disamping mengembangkan berpikir kritis yang berkaitan dengan domain kognitif, Norris dan
Ennis juga mengembangkan disposisi yang merupakan “jiwa kritis”.
Berpikir adalah menerima stimulus eksternal melalui indera dan diproses secara internal.
Berpikir juga bisa dikatakan suatu hal yang alamiah (fitrah atau natural) bagi setiap manusia
dikarenakan adanya unsur-unsur ciptaan yang telah diciptakan oleh Allah SWT. Dalam proses
berpikir dilibatkan berbagai unsur, yakni otak yang sehat, panca indra, informasi sebelumnya, dan
adanya fakta. Dari keempat unsur di atas dapat dirangkai sebuah definisi berpikir, yaitu
pemindahan penginderaan terhadap fakta melalui panca indera ke dalam otak yang disertai adanya
informasi-informasi terdahulu yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut.
Salah satu keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking) adalah berpikir
kritis. Berpikir kritis menggunakan dasar proses berpikir untuk menganalisis argumen dan
memunculkan pengetahuan terhadap setiap makna dan interpretasi, mengembangkan pola
penalaran yang kohesif dan logis, memahami asumsi dan bias, serta memberikan model
penyampaian yang dapat dipercaya, ringkas, dan meyakinkan (Presseisen, 1985 dalam Costa ed.,
1985: 45). Berpikir kritis menuntut upaya keras untuk memeriksa keyakinan atau asumsi
berdasarkan bukti pendukung dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang ditimbulkannya
(Fisher, 2009: 3). Selain itu, berpikir kritis merupakan suatu proses untuk mencari
makna, bukan sekedar perolehan pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA

Arthur L. Costa. 1988. Developing Mind. Association for Supervision and Curriculum Development
USA
Brady, L. 1992. Curriculum development. 4-th ed. New York: Prentice Hall.
Bryce, T.G.K., McCall, J., MacGregor, J., Robertson, I.J., dan Weston, R.A.J. 1990. Techniques for
assessing process skills in practical science: Teacher’s guide. Oxford: Heinemann
Educational Books.
Kumano, Y. (2001) The National Curriculum Standards Reform and Its Implementation. Makalah
diseminarkan di JICA Meeting tanggal 15 September 2001. Yogyakarta: FMIPA UNY.
Puckett, M. B & Black, J. K. (1994). Authentic Assessment of The Young Child. New York: Macmillan
College Publishing Company.

Anda mungkin juga menyukai