Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian


kekuasaan kelembagaan. Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem
hukum Eropa, hukum agama, dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut,
baik perdata maupun pidana berbasis pada hukum Eropa, khususnya dari Belanda
karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan
sebutan Hindia Belanda.

Hukum merupakan sebuah produk budaya Hal ini berarti hukum sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum seperti : nilai, sikap, dan pandangan
masyarakat yang biasa disebut dengan kultur atau budaya hukum. Adanya kultur atau
budaya hukum inilah yang menyebabkan perbedaan penegakan hukum di antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya.

Hukum selalu tumbuh dan berkembang bersama pertumbuhan masyarakatnya.


Hukum senantiasa harus dikaitkan dengan masyarakat dimanapun hukum itu bekerja.
Jadi perlu adanya gagasan menciptakan budaya hukum masyarakat Indonesia yang
mengedepankan kesadaran untuk bertindak, berbuat, dan berperilaku atas dasar
hukum yang seharusnya.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari budaya hukum?
2. Sejauh mana pentingnya budaya hukum dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara?
3. Bagaimana cara menanamkan budaya hukum dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara?
4. Bagaimana peranan budaya hukum dalam penegakan hukum?
5. Apa pengaruh budaya hukum terhadap fungsi hukum?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dan komponen dari budaya hukum.
2. Untuk mengetahui pentingnya budaya hukum dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3. Untuk mengetahui cara menanamkan budaya hukum dalam kehidupn
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
4. Untuk mengetahui peranan budaya hukum dalam penegakan hukum.
5. Untuk mengetahui pengaruh budaya hukum terhadap fungsi hukum.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Budaya Hukum


Budaya hukum jika diartikan secara gramatikal maka akan menghasilkan banyak
pandangan, walaupun sebenarnya pandangan tersebut bebas. Namun kiranya dalam
pendidikan hukum ke depan, budaya hukum haruslah memiliki batasan-batasan
dalam pengertiannya agar tidak menimbulkan interpretasi dalam masyarakat.
sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Jimly Assidiqie bahwa pembudayaan,
pemasyarakatan dan pendidikan hukum dalam arti luas sering tidak dianggap penting.
Padahal, tanpa didukung oleh kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman oleh para
subjek hukum dalam masyarakat, nonsense suatu norma hukum tidak dapat
diterapkan tegak dan ditaati.1
Menurut Sastrapratedja mengatakan bahwa kebudayaan bukan hanya merupakan
cerminan infrastruktur melainkan juga merupakan totalitas objek (kebudayaan
material) dan totalitas makna (kebudayaan intelektual) yang didukung oleh subjek
(individu, kelompok, sektor-sektor masyarakat atau bangsa) yang keseluruhannya,
minimal dapat dibedakan dalam 3 lapis.
a. Alat-alat yakni segala sesuatu yang diciptakan manusia untuk mencapai
tujuan yang dikehendaki, termasuk segala bentuk teknologi dari yang
sederhana sampai yang canggih dan ilmu pengetahuan. Dalam lapis pertama
ini, kebudayaan bersifat kumulatif dan dapat dialihkan dari suatu masyarakat
kemasyarakat lain dengan cara yang relatif mudah.
b. Etos masyarakat yakni kompleks kebiasaan dan sikap-sikap manusia terhadap
waktu, alam dan kerja.
c. Inti atau hati kebudayaan yakni pemahaman diri masyarakat meliputi cara
masyarakat memahami, sejarah dan tujuan-tujuannya.
Budaya hukum merupakan penerimaan atau penolakan terhadap suatu peristiwa
hukum yang menunjukan setiap perilaku manusia terhadap masalah hukum dan
peristiwa hukum yang terbawa ke dalam masyarakat. Budaya hukum adalah
1 http://dedenapriadekusuma12345.blogspot.co.id/ (diakses tanggal 8 Desember 2016).

3
keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh
tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Elemen
budaya hukum (legal culture) yang harus diartikan sebagai people’s attitudes toward
law and the legal system – their beliefs, values, ideas, and expectations. Budaya
hukum adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-
gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan
perilaku hukum. Jadi suatu budaya hukum menunjukkan tentang pola perilaku
individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan (orientasi)
yang sama terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan
(Hadikusuma, 1986).2
Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor
masyarakat sengaja dibedakan, karena di dalam pembahasannya
diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari
kebudayaan spiritual atau nonmaterial. Sebagai suatu sistem (atau
subsistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum mencakup
struktur, substansi, dan kebudayaan (Lawrence M. Friedman, 1977).
Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut
yang umpamanya mencakup tatanan lembaga-lembaga tersebut,
hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, dan seterusnya. Substansi
mencakup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun
acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi pelaksana hukum
maupun pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum pada
dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasarihukum yang berlaku,
nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa
yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yanng dianggap
buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan
pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim

2 http://nurulantropologi.blogspot.co.id/2011/03/budaya-hukum-seni-hukum-dan-sistem.html
(diakses tanggal 17 November 2016).

4
yanng harus diserasikan. Pasangan nilai yang berperanan dalam
hukum, adalah sebagai berikut (Purbacaraka & Soerjono Soekanto,
1983):
1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman,
2. Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan,
3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai
kebaruan/inovatisme.
Di dalam keadaan sehari-hari, maka nilai ketertiban biasanya
disebut dengan ketertiban atau disiplin, sedangkan nilai
ketentraman merupakan suatu kebebasan. Schuyt pernah
memperinci ciri-ciri ketertiban atau keadaan tertib, sebagai berikut
(Schuyt, 1976):
1. Voorspelbaarheid (dapat diperkirakan),
2. Cooperatie (kerja sama),
3. Controle van geweld (pengendalian kekerasan),
4. Consistentie (kesesuaian),
5. Duurzaamheid (langgeng),
6. Stabiliteit (mantap),
7. Hierarchic (berjenjang),
8. Conformiteit (ketaatan),
9. Afwezigheid van conflict (tanpa perselisihan),
10. Uniformiteit (keseragaman),
11. Gemeenschappelijkheid (kebersamaan),
12. Regelmaat (ajeg),
13. Bevel (suruhan),
14. Volgorde (keberurutan),
15. Uiterlijke stijl (corak lahiriah),
16. Rangshickking (tersusun).
Keadaan tidak tenteram atau tidak bebas akan terjadi, apabila
(Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1983):
1. Ada hambatan dari pihak lain (dipaksa),
2. Tidak ada pilihan lain (terpaksa tanpa ada kesalahan pihak lain),
3. Karena keadaan diri sendiri (takut; merasa tidak pada
tempatnya).

Secara psikologis keadaan tenteram ada bila seseorang tidak


merasa khawatir, tidak merasa diancam dari luar, dan tidak terjadi

5
konflik batiniah. Pasangan nilai-nilai tersebut, yaitu ketertiban dan
ketenteraman sebenarnya sejajar dengan nilai kepentingan umum
dan kepentingan pribadi. Di dalam bidang tata hukum, maka bidang
hukum publik (seperti misalnya hukum tata negara, hukum
administrasi negara dan hukum pidana) harus mengutamakan nilai
ketertiban dan dengan sendirinya nilai kepentingan umum. Akan
tetapi di dalam bidang hukum perdata (misalnya hukum pribadi,
hukum harta kekayaan, hukum keluarga, dan hukum waris), maka
nilai ketenteraman lebih diutamakan. Hal ini bukan berarti bahwa di
dalam hukum publik nilai ketenteraman boleh diabaikan, sedangkan
di dalam hukum perdata nilai ketertiban yang sama sekali tidak
diperhatikan. Pasangan nilai ketertiban dan nilai ketenteraman,
merupakan pasangan nilai yang bersifat universal; mungkin
keserasiannya berbeda menurut keadaan masing-masing
kebudayaan, di mana pasangan nilai tadi diterapkan. Keadaan di
Korea Selatan, misalnya, adalah sebagai berikut (Pyong-Choon
Hahm, 1969):

“The ultimate ideal has been a complete absence of dispute and


conflict. But if discord could not be avoided, society demanded the
quickest restoration of broken concord. For this purpose mediation
has been preferred, because it does not require the fixing of blame.
Parties themselvesformulate the solution by mutual agreement, this
obviating the need for an external sanction. Since mediation is
possible only when sides are willing to compromise, each side has
to give a little and to be satisfied with less than complete victory”.

Di Indonesia nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat, sebagai


berikut (Koesnoe, 1969):

6
1. Individu adalah bagian dari masyarakat yang mempunyai
fungsi masing-masing demi untuk melangsungkan dan
kelangsungan daripada masyarakat (sebagai lingkungan
kesatuan),
2. Setiap individu di dalam lingkungan kesatuan itu, bergerak
berusaha sebagai pengabdian kepada keseluruhan kesatuan,
3. Dalam pandangan adat yang demikian mengenai
kepentingan-kepentingan individu itu, maka sukarlah untuk
dapat dikemukakan adanya suatu keperluan yang mendesak
untuk menerbitkan segala kepentingan-kepentingan para
individu-individu itu. Bagi adat, ketertiban itu telah ada di
dalam semesta, di dalam kosmis. Ketertiban itu adalah berupa
dalam hubungan yang harmonis antara segalanya ini. Gerak
dan usaha memenuhi kepentingan individu, adalah gerak dan
usaha yang ditempatkan di dalam garis ketertiban kosmis
tersebut. Bagi setiap orang, maka garis ketertiban kosmis itu
dijalani dengan serta merta. Bilamana tidak dijalankan garis
itu, garis yang dijelmakan di dalam adat, maka baik jalannya
masyarakatnya, maupun jalan kehidupan pribadi orang yang
bersangkutan akan menderita karena berada di luar garis
tertib kosmis tersebut, yaitu adat.
4. Dalam pandangan adat, tidak ada pandangan bahwa
ketentuan adat itu harus disertai dengan syarat yang
menjamin berlakunya dengan jalan mempergunakan
paksaan. Apa yang disebut sebagai salah kaprah, yaitu
dengan sebutan hukum adat, tidaklah merupakan hukuman.
Akan tetapi itu adalah suatu upaya adat untuk mengembalikan
langkah yang berada di luar garis tertib kosmis itu, demi untuk tidak
terganggu ketertiban kosmis. Upaya adat dari lahirnya adalah

7
terlihat sebagai adanya penggunaan kekuasaan melaksanakan
ketentuan yang tercantum di dalam pedoman hidup yang disebut
adat.
Tetapi dalam intinya itu adalah lain, itu bukan pemaksaan
dengan mempergunakan alat paksa. Itu bukan bekerjanya suatu
santice. Itu adalah upaya membawa kembalinya keseimbangan
yang terganggu, dan bukan suatu “hukuman”, bukan suatu leed
yang diperhitungkan bekerjanya bagi individu yang bersangkutan.
Hal-hal yang telah dijelaskan oleh Moh. Koesnoe merupakan
kebudayaan Indonesia yang mendasari hukum adat yang berlaku.
Hukum adat tersebut merupakan hukum kebiasaan yang berlaku di
kalangan rakyat terbanyak. Di samping itu, berlaku pula hukkum
tertulis (perundang-undangan) yang timbul dari golongan tertentu
dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang
yang resmi. Hukum perundang-undangan tersebut harus dapat
mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat
supaya hukum perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara
efektif.
Pasangan nilai-nilai kebendaan dan keakhlakan, juga merupakan
pasangan yang bersifat universal. Akan tetapi di dalam kenyataan
pada masing-masing masyarakat timbul perbedaan-perbedaan
karena pelbagai macam pengaruh. Pengaruh dari kegiatan-kegiatan
modernisasi di bidang materiel, misalnya tidak mustahil akan
menempatkan nilai kebendaan pada posisi yang lebih tinggi
daripada nilai keakhlakan, sehingga akan timbul pula suattu
keadaan yang tidak serasi. Penempatan nilai kebendaan pada posisi
yang lebih tinggi dan lebih penting, akan mengakibatkan bahwa
pelbagai aspek proses hukum akan mendapat penilaian dari segi
kebendaan belaka. Salah satu akibat daripada penempatan nilai

8
kebendaan pada posisi yang lebih tinggi daripada nilai keakhlakan,
adalah bahwa di dalam proses pelembagaan hukum dalam
masyarakat, adanya sanksi-sanksi negatif lebih dipentingkan
daripada kesadaran untuk mematuhi hukum. Artinya, berat-
ringannya ancaman hukuman terhadap pelanggaran menjadi tolak
ukkur kewibawaan hukum; kepatuhan hukum kemudian juga
disandarkanpada cost and benefit.
Mengenai hal tersebut, memang belum pernah diadakan
penelitian di Indonesia, yang secara langsung memeriksa efek
daripada penempatan nilai kebendaan pada posisi yang lebih
penting daripada nilai keakhlakan. Akan tetapi, secara tidak
langsung pernah dipersoalkan mengenai hubungan antara pasal
283 dan 534 KUH yang berpokok pangkal pada nilai keakhlakan,
dengan pelaksanaan program keluarga berencana. Akan tetapi, di
negara lain, misalnya di Amerika Serikat pernah diadakan pelbagai
penelitian, untuk mengukur mana yang lebih efektif, yakni
penanaman kesadaran ataukah ancaman hukuman yang tinggi.
Contoh dari penelitian tersebut pernah dilakukan oleh Schwarz dan
Sonya Orleans (1967) terhadap efektivitas sanksi, khususnya
terhadap kepatuhan untuk membayar pajak. Dari hasi penelitian
tersebut diperoleh kesimpulan, bahwa sanksi-sanksi lebih efektif
bagi mereka yang berasal dari kelas sosial yang relatif tinggi (dari
sudut kedudukan ekonomis). Bagi masyarakat luas yang menduduki
kelas sosial yanglebih rendah, maka penanaman kesadarann jauh
lebih efektif daripada ancaman-ancaman hukuman.
Pasangan nilai konservatisme dan nilai inovatisme, senantiasa
berperan di dalam perkembangan hukum, oleh karena di satu pihak
ada yang menyatakan bahwa hukum hanya mengikuti perubahan
yang terjadi dan bertujuan untuk mempertahankan “statusquo”. Di

9
lain pihak ada anggapan-anggapan yang kuat pula, bahwa hukum
juga dapat berfungsi sebagai sarana untuk mengadakan perubahan
dan menciptakan hal-hal yang baru.keserasian anatara kedua nilai
ttersebut akan menempatkan hukum pada kedudukan dan peranan
yang semestinta, oleh karena:
“Law must be stable and yet it can not stand still. Hence all
thinking about law has struggled to reconcile the confliting
demands of the need of stability and of the need of change (Pound,
1932)”.3
B. Pentingnya Budaya Hukum
Pada era reformasi dan globalisasi ini, pembangunan budaya hukum menjadi
sangat penting karena dizaman modernisasi saat ini seakan semuanya serba mudah
karena didukung oleh teknologi yang canggih bahkan kejahatanpun bisa dilakukan
dengan mudah, perkembangan tersebut tentu akan berakibat juga terhadap berbagai
sendi kehidupan baik itu hukum, politik, ekonomi maupun sosial dan budaya oleh
setiap negara termasuk indonesia.
Di indonesia sendiri sudah mulai terasa budaya hukum masyarakat kita sudah
mulai terikis oleh kejamnya zaman, ini bisa kita lihat di masyarakat banyak terjadi
konflik horizontal, pelanggaran HAM, narkotika, pelecehan seksual, kekerasan
terhadap anak, KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) bukan hanya melibatkan
masyarakat biasa tetapi bahkan pejabat nagara, khususnya mengenai korupsi. Belum
lagi ditambah dengan proses penegakan hukum yang tumpul kebawah serta kisruh
institusi penegak hukum yang seharusnya menegakkan keadilan justru saling
menjatuhkan, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap para
aparat penegak hukum kita. Bahkan banyak orang yang berpendapat bahwa
pembangunan supremasi hukum akan sulit dilakukan karena budaya hukum
masyarakat indonesia adalah budaya hukum patrimonial yang korup, pesimisme ini

3 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012), hh. 59-65.

10
muncul karena budaya biasanya diwarisi dan dihayati oleh masyarakat dari nenek
moyang sejak waktu yang sangat lama dan karenanya sulit untuk diubah.
Namun dalam kenyataan historis tampak juga bahwa tidaklah benar kalau
dikatakan bahwa masyarakat indonesia terjangkit budaya korupsi yang tak bisa
diubah. Sebab, dalam kenyataannya, budaya hukum di negeri ini pernah tumbuh dan
berkembang baik pada era tahun1950-an. Sebastian Pompe, penulis buku Indonesia
Supreme Court, bahkan mengatakan bahwa nonsense kalau dikatakan bahwa budaya
hukum Indonesia adalah korupsi sebab, dalam hasil penelitiannya, judicial
corruption di Indonesia baru dimulai sekitar tahu 1974.
Sesuai toeri Lawrence M. Friedman menjelaskan bahwa hukum sebagai suatu
sistem memiliki komponen-komponen, ada 3 aspek yang harus disentuh secara
simultan ketika hukum hendak ingin dibangun, yakni::
1. Struktur yaitu berupa kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum untuk
mendukung bekerjanya sistem hukum itu sendiri seperti pengadilan negeri,
pengadilan administrasi, dan sebagainya;
2. Substansi berupa norma-norma hukum yang digunakan oleh para penegak
hukum maupun mereka yang diatur;
3. Kultur hukum berupa ide, sikap, harapan, dan pendapat tentang hukum yang
secara keseluruhan mempengaruhi seseorang untuk patuh atau tidak patuh
terhadap hukum.

Diantara ketiganya harus berjalan beriringan yaitu struktur harus kuat, kredibel,
akuntabel dan capabel. Substansi harus selaras dengan rasa keadailan masyarakat
sedang budaya hukumnya harus mendukung tegaknya hukum jika salah satunya
timpang, misal struktur aparat (law unforercement officer) tidak akuntable, kredible
dan capable mustahil hukum bias ditegakkan.

Hukum sebenarnya memiliki hubungan yang timbal balik dengan masyarakatnya,


dimana hukum itu merupakan sarana/alat untuk mengatur masyarakat dan bekerja di
dalam masyarakat itu sendiri sedangkan masyarakat dapat menjadi penghambat

11
maupun menjadi sarana/alat sosial yang memungkinkan hukum dapat diterapkan
dengan sebaik-baiknya.

Apabila sebagai contoh ditelaah suku bangsa di Indonesia, maka akan nampak
suatu masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok yang berhubungan satu
dengan yang lain, dalam kaitannya pula dengan alam yang tidak nampak, terhadap
dunia luar dan terhadap alam kebendaan, sehingga mereka bertngkah laku sedemikian
rupa, yang mana untuk gambaran yang jelas, kelompok-kelompok ini dapat disebut
sebagai masyarakat hukum (rechtsgemeen schappen). Dalam pergaulan hukum
mereka yang merasa menjadi anggota dari ikatan-ikatan itu bersikap dan bertindak
sebagai suatu kesatuan. Beberapa anggota melakukan sesuatu dianggap akan
berpengaruh terhadap kesatuan kelompok.4 Jadi, yang dimaksud dengan masyarakat
hukum (rechtsgemeenschappen) adalah suatu masyarakat yang terdiri dari kelompok-
kelompok yang berhubungan satu sama lain dalam kaitannya pula dengan alam
sehingga bertingkah laku sedemikian rupa. Dalam masyarakat hukum, apabila
masyarakat telah berkembang menjadi masyarakat majemuk, maka di dalamnya
terjalin bergeraknya hukum di tengah pergaulan.

Oleh karena itu tanpa budaya hukum suatu sistem hukum tidak akan berdaya.
Dapat juga dikemukakan bahwa budaya hukum itu merupakan bagian dari suatu
sistem hukum yang juga memiliki dua bagian yang lain, yakni struktur, substansi dan
budaya hukum. Ketiga hal tersebut merupakan subsistem dari sistem hukum yang
saling berkaitan sehingga jika budaya hukum tidak ada maka sistem itu akan lumpuh.
Dari uraian tersebut maka jelas bahwa budaya hukum dalam kehidupan bermsyarakat,
berbangsa dan bernegara sangatlah penting apalagi negara kita adalah negara hukum,
dimana seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara harus berdasarkan akan
hukum.
C. Cara Menanamkan Budaya Hukum

4 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), h. 117.

12
Mengingat akan arti pentingnya budaya hukum maka perlu menjadi perhatian
pemerintah dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat agar benar-benar
tercipta suatu budaya hukum atau kesadaran hukum dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Namun tak bisa dipungkiri budaya hukum di indonesia
mengalami sebuah kemunduran bahkan sangat terpuruk. Oleh karena untuk
memulihkan kembali dan meningkatkan budaya hukum masyarakat secara terus-
menerus perlu dilakukan langkah-langkah konkrit yang dapat diwujudkan dengan
cara-cara sebagai berikut:
1. Melalui Pendidikan.
Apabila kita melihat tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana yang
dituangkan dalam konstitusi pada kalimat yaitu “untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketrtiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan
perdamaian abadi, dan keadilan soisal” disini jelas memiliki hubungan erat
dengan pendidikan. Dimana kita dapat menanamkan budaya hukum melalui
pendidikan formal sejak dini, mulai dari TK, SD, SMP, SMA bahkan ditingkat
perguruan tinggi. Agar budaya hukum sudah tertanam sejak dini sehingga dengan
melaui cara budaya hukum benar-benar terwujud.
2. Sosialisasi dan Penyuluhan Hukum.
Masih banyaknya masyarakat yang kurang paham akan hukum utamanya
wilayah-wilayah pedalaman di Indonesia, sehingga sangat perlu diadakan
Sosialisasi dan penyuluhan hukum. Tentu dengan harapan masyarakat akan lebih
tahun akan hukum sehingga hal dapat membuat masyarakat akan arti pentingnya
hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3. Keteladanan
Keteladanan adalah hal yang sangat penting karena apa arti sebuah
pemehaman hukum tanpa dibarengi dengan nilai-nilai ketekadanan, nilai-nilai
keteladanan inilah yang akan menjadi cerminan kepada orang lain khususnya
generasi mudah, agar nantinya benar-benar tercipta keasadaran hukum sesuai
dengan cita-cita hukum itu sendiri.
4. Memperbaiki Penegakan Hukum

13
Tercoreng institsusi-institusi atau para aparat penegak hukum di indonesia saat
ini membuat masyarakat menimbulkan ketidak percayaan kepada para penegak
hukum, sehingga perlu ditingkatkannya integritasnya didalam menegakkan
hukum, hal tersebut diharapakan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat
terhadap para aparat penegak hukum.
Dengan dilaksanakannya cara-cara di atas maka diharapakan pembangunan dan
pengembangan budaya hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Sehingga dapat tercipta ketentraman, serta ketertiban dan tegaknya hukum
yang berintikan kejujuran, kebenaran dan keadilan untuk mewujudkan kepastian
hukum demi terwujudnya cita-cita hukum yang sesungguhnya.5
D. Peranan Budaya Hukum dalam Penegakan Hukum
Menurut Prof. Jimly Assidiqie penegakan hukum adalah proses dilakukannya
upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai
pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan
hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas, terbatas, atau sempit. Dalam arti
luas proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap
hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan
hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakan aturan hukum. Dalam
arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai
upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa
suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya
hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk
menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu
dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas
dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan

5 http://nurulantropologi.blogspot.co.id/2011/03/budaya-hukum-seni-hukum-dan-sistem.html
(diakses tanggal 17 November 2016).

14
yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya
menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu,
penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam
menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan
istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan
hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan
juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri dengan dikembangkannya istilah ‘the rule
of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam istilah ‘the rule of law and not of man’
versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the rule of man by law’. Dalam istilah
‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan olehhukum, tetapi bukan dalam
artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung
di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah ‘the
rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya
pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh
orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai
pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan
belaka.
Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan
hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum,
baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai
pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang
bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan
kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum
yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang
luas itu, pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-
batasnya. Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan
hukum itu, baik dari segi subjeknya maupun objeknya atau kita batasi hanya

15
membahas hal-hal tertentu saja, misalnya, hanya menelaah aspek-aspek subjektifnya
saja.
Didalam sosiologi, maka masalah kepatuhan terhadap kaedah-kaedah telah
menjadi pokok permasalahan yang cukup banyak dibicarakan. Yang pada umumnya
menjadi pusat perhatian adalah dasar-dasar daripada kepatuhan tersebut. Menurut
Bierstedt, maka dasar-dasar kepatuhan adalah:
a. Indoctrination
Sebab pertama mengapa warga masyarakat mematuhi kaedah-kaedah adalah
karena dia diberi indoktrinasi untuk berbuat demikian. Sejak kecil manusia telah
dididik agar mematuhi kaedah-kaedah yang berlaku dalam masyarakat.
Sebagaimana dengan hal nya dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya, maka
kaedah-kaedah telah ada waktu seseorang dilahirkan, dan semula manusia
menerimanya secara tidak sadar.
b. Habituation
Oleh karena sejak kecil mengalami proses sosialisasi, maka lama kelamaan
menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhi kaedah-kaedah yang berlaku. Memang
pada mulanya yang seolah-olah mengekang kebebasan, maka apabila dilakukan
setiap hari akan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhi.
c. Utility
Pada dasarnya manusia mempunyai suatu kecenderungan untuk hidup pantas
dan teratur. Akan tetapi apa yang pantas dan teratur untuk seseorang, belum tentu
pada pantas dan teratur bagi orang lain. Maka diperlikan suatu patokan tentang
kepantasan dan keteraturan tersebut, yaitu patokan atau takaran tentang tingkah
laku dan dinamakan dengan kaedah.

d. Group Identification

Salah satu sebab mengapa seseorang patuh pada kaedah-kaedah adalah karena
kepatuhan tersebut merupaan salah satu sarana untuk mengadakan identifikasi
dengan kelompok. Kadang-kadang seseorang mematuhi kaedah-kaedah kelompok
lain, karena ingin mengadakan identifikasi dengan kelompok lain tersebut.6

6 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: CV Rajawali, 1981) hh. 345-350.

16
Menurut Tyler (Saleh, 2004) terdapat dua perspektif dalam literatur sosiologi
mengenai kepatuhan kepada hukum, yang disebut instrumental dan normatif.
Perspektif instrumental mengasumsikan individu secara utuh didorong oleh
kepentingan pribadi dan tanggapan terhadap perubahan-perubahan yang berhubungan
dengan perilaku. Perspektif normatif berhubungan dengan apa yang orang anggap
sebagai moral dan berlawanan dengan kepentingan pribadi. Seorang individu
cenderung mematuhi hukum yang mereka anggap sesuai dan konsisten dengan
norma-norma internal mereka.

Komitmen normatif melalui moralitas personal (normative commitment through


morality) berarti mematuhi hukum karena hukum tersebut dianggap sebagai suatu
keharusan, sedangkan komitmen normatif melalui legitimasi (normative commitment
through legitimaty) berarti mematuhi peraturan karena otoritas penyusun hukum
tersebut memiliki hak untuk mendikte perilaku.

Kepatuhan sendiri masih dapat dibedakan kualitasnya dalam tiga jenis yaitu:

1. Kepatuhan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu
aturan hanya ia takut terkena sanksi.

2. Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu
aturan hanya karena takut hubungan baiknya dengan seseorang menjadi rusak.

3. Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu
aturan benar-benar karena ia merasa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai
intrinsik yang dianutnya.

Dengan mengetahui ketiga jenis ketaatan ini maka kita dapat mengidentifikasi
seberapa besar efektifnya suatu peraturan perundang-undangan. Semakin banyak
warga masyarakat yang menaati suatu undang-undang hanya dengan ketaatan yang
bersifat compliance atau identification, berarti kualitas keefektivan aturan undang-
undang itu masih rendah, sebaliknya semakin banyak warga masyarakat yang menaati

17
suatu aturan perundang-undangan dengan ketaatan yang bersifat internalization,
maka semakin tinggi kualitas keefektivan aturan atau undang-undang itu. Kesadaran
hukum, ketaatan hukum, dan efektivitas perundang-undangan adalah tiga unsur yang
saling berhubungan dalam tegaknya segala peraturan dalam masyarakat. namun,
selain itu ada faktor penghambat terhadap msayarakat untuk mematuhi suatu
peraturan yaitu eksploitasi ekonomi, terutama dalam saat-saat kritis atau pada saat
tekanan ekonomi. Maka pada tingkat inilah masyarakat akan melakukan pelanggaran
guna untuk memenuhi ekonominya.7

Penegakan hukum bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri, melainkan ia saling
berkait dengan masalah-masalah sosial masyarakat lainnya. Artinya hukum bukan
hanya sebagai sistem nilai, tetapi juga hukum sebagai sub sistem dari sistem sosial
yang lebih besar, yaitu masyarakat dimana hukum diberlakukan.

 Hukum sebagai suatu sistem, latar belakang pemahaman hukum sebagai suatu
sistem tidak lain adalah agar kita dapat memahami hukum secara komprehensif,
tidak sepotong-potong dan parsial. Makna dasar sistem yaitu :

1. Selalu berorientasi pada tujuan;

2. Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dan bagian-bagiannya;

3. selalu berorientasi dengan sistem yang lebih besar;

4. bekerjanya bagian dari sistem sosial itu menciptakan sesuatu yang berharga.

Shrode dan Voich mendefinisikan sistem sebagian schorde a set of interreladed


parts, working independently and jointly, in parsuit of common objective of the whole
within a comply environment. Dari urain tersebut, Schore dan Voich ingin
memaparkan bahwa persoalan hukum itu rumit dan kompleks yaitu hukum bukan
hanya sebagai sistem nilai, tetapi juga hukum sebagai sub sistem dari sistem sosial
yang lebih besar, yaitu masyarakat dimana hukum diberlakukan. Hukum sebagai

7 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35177/4/Chapter%20ll.pdfC.kesadaranhukum
(diakses tanggal 8 Desember 2016).

18
sistem dapat dijabarkan bahwa hukum secara hirarkis dipayungi oleh norma dasar
tertinggi (groundnorm) yang berperan memberi isi, substansi, dasar, norma-norma
dibawahnya sehingga norma hukum tidak lain adalah penjabaran, break down dari
groundnorm yaitu pancasila dan norma hukum tidak boleh bertentangan dengan
groundnorm.

 Hukum sebagai sub sistem nasional, mengandung pengertian bahwa hukum


bukan hanya sistem tunggal dalam masyarakat, berdiri sendiri, otonom
independent melainkan bagian dari sub sistem sosial lainnya seperti ekonomi,
politik, sosial, budaya dan konsekuensi hukum sebagai bagian dari sub sistem
sosial lainnya tentunya terasa ganjil tidak lengkap tanpa memahami sistem sosial
lainnya, tak bekerjanya sistem ekonomi mustahil hukum tegak dan sebaliknya
rakyat tidak akan nyaman, aman, mencari penghidupan layak jika hukum tidak
tegak.

 Hukum sebagai sistem nilai sekaligus sebagai sub sistem dari sistem sosial
sebenarnya menjabarakan bahwa hukum merupakan das sein dan das solen disisi
lainnya antara das sein dan das sollen tidak mudah dipertemukan bahkan
seringkali bertolak belakang dengan perilaku hukum masyarakat yang seharusnya.
Sulitnya penyelarasan hukum sebagai “sein” dan hukum sebagai “solen” tidak
terlepas dari faktor-faktor non yuridis yang hidup dan berkembang yang salah
satunya adalah kultur hukum. Budaya sebagai produk masyarakat amat beragam
dan berbeda tidak hanya masyarakat satu dengan lainnya pun berbeda sehingga
akibat tingkatan-tingkatan sosial dalam lingkungan misalnya budaya hukum
seorang pedagang dengan guru, sopir dengan pegawai dan sebagainya.

Seperti dijabarkan oleh L. Friedman komponen sistem hukum meliputi struktur,


substansi dan kultur hukum atau budaya hukum. Diantara ketiganya harus berjalan
beriringan. Substansi harus selaras dengan rasa keadilan masyarakat sedangkan
budaya hukum harus mendukung tegaknya hukum. Jika salah satunya timpang
misalnya struktur aparat tidak akuntabel, kredibel, dan capable, mustahil hukum bisa

19
ditegakan.8 Jadi budaya hukum berperan untuk mendukung tegaknya hukum. Karena
budaya hukum ini berupa ide, sikap, harapan, dan pendapat seseorang atau
masyarakat tentang hukum yang secara keseluruhan memengaruhi seseorang untuk
patuh atau tidak patuh terhadap hukum. Jika ide, sikap, harapan dan pendapat itu
memengaruhi seseorang untuk patuh terhadap hukum, maka akan terjadi penegakan
hukum.

E. Pengaruh Budaya Hukum Terhadap Fungsi Hukum


Kehidupan manusia dewasa ini hampir tidak ada yang steril dari hukum, semua
lini kehidupanpun dijamahnya, artinya hukum sebagai penormaan perilaku sangat
penting agar perilaku masyarakat tidak menyimpang. Peran hukum sangat tergantung
pada negaranya. Pada Negara berkembang hukum mengambil peran sebagai kontrol
sosial sekaligus sebagai penggerak tingkah laku kearah tujuan nasional yaitu
peningkatan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Peranan hukum khususnya dalam penentuan hak dan kewajiban dan perlindungan
kepentingan sosial dan para individu. Peranan disini mencerminkan lagi secara lebih
nyata bekerjanya hukum ditengah kehidupan bermasyarakat. Hukum berperan
sedemikian rupa, sehingga segala sesuatu yang bertalian dengan hubungan antara
individu yang satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat berlangsung
dengan tertib dan teratur, karena hukum secara tegas akan menentukan hak-hak dan
kewajiban antara mereka yang mengadakan hubungan, serta bagamana tugas
kewajiban serta wewenang, dihubungkan kesatuan (pemerintah) dengan kepentingan
para individu. Sedemikian rupa sehingga tidak terjadi ketegangan dan berbagai
ketidakteraturan. Jadi, peranan hukum mencerminkan secara lebih nyata bekerjanya
hukum ditengah kehidupan masyarakat, khususnya dalam penentuan hak dan
kewajiban serta perlindungan kepentingan sosial dan para individu.

8 http://nurulantropologi.blogspot.co.id/2011/03/budaya-hukum-seni-hukum-dan-sistem.html
(diakses tanggal 17 November 2016).

20
Dalam melaksanakan peranannya di tengah kehidupan bersama, hukum memiliki
fungsi yang sangat penting, yang oleh J.F. Glastra van Loon disebutkan yaitu:

a. Penertiban (penataan) masyarakat dan pengaturan pergaulan hidup.


b. Penyelesaian pertikaian.
c. Memelihara dan mempertahankan tata tertib dan aturan-aturan, jika perlu
dengan kekerasan.
d. Pengaturan atau memelihara dan mempertahankan hal tersebut.
e. Pengubahan tata tertib dan aturan-aturan dalam rangka penyesuaian pada
kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat.
f. Pengaturan tentang pengubahan tersebut.

Hukum harus mewujudkan fungsi-fungsi tersebut diatas, agar dapat memenuhu


tuntutan keadilan (rechtsvaardigheid), hasil-guna (doelmatigheid), dan kepastian
hukum (rechtszekerheid).9

Permasalahan yang menyangkut berfungsinya hukum dalam


masyarakat tidak terlepas dari kenyataan apakah hukum tersebut
benar-benar berlaku atau tidak. Teori-teori hukum memaparkan tiga
hal tentang berlakunya hukum sebagai kaidah:

1. Kaidah hukum berlaku secara yuridis apabila penentuannya


didasarkan atas kaidah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans
Kelsen), atau menurut cara yang telah ditetapkan (W.
Zevenbergen), atau apabila menunjukkan hubungan
keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya (J.H.A.
Logemann).
2. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis apabila kaidah
tersebut efektif, artinya dapat dipasarkan berlakunya oleh
penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat

9 Soedjono Dirdjosisworo, op. cit., hh. 126-127.

21
(teori kekuasaan), atau kaidah tadi berlaku karena diterima
dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan).
3. Kaidah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya sesuai
dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.

Walaupun berlakunya suatu kaidah hukum dapat ditinjau dari


masing-masing sudut, apabila diinginkan benar-benar dapat
berfungsi secara efektif, maka kaidah hukkum harus mengandug
ketiga macam unur diatas, sebab, apabila salah satu saja tidak
terpenuhi, bukan tidak mungkin pelaksanaan kaidah hukum dalam
masyarakat akan mengalamihambatan atau kemacetan.

Di samping itu, berfungsinya kaidah hukum melibatkan banyak


faktor yang ikut mendukung pelaksanaan berlakunya suatu
peraturan, setidak-tidaknya dapat dikembalikan kepada empat
faktor, yaitu:

Pertama, kaidah hukum atau peraturan itu sendiri harus


sistematis, tidak bertentangan baik secara vertikal maupun secara
horizontal, dan dalam pembuatannya harus disesuaikan dengan
persyaratan yuridis yang telah ditentukan. Keadaan demikian ini
untuk menjamin jangan sampai terjadi kesimpangsiuran atau
tumpang tindih dalam peraturan, baik yang mengatur bidang-
bidang kehidupan tertentu maupun bidang lain yang saling
berkaitan, walaupun diakui bahwa untuk mewujudkan kaidah
hukum seperti tersebut diatas bukan hal yang mudah karena
dihadapkan pada penelitian yang sangat mendalam.

Kedua, penegak hukum haruslah mempunyai pedoman


berupaperaturan tertulis yang menyangkut ruang lingkup tugasnya
dengan menentukan batas-batas kewenangan dalam pengambilan

22
kebijaksanaan. Dan yanng paling penting, kualitas petugas
memainkan peranan penting dalam berlakunya hukum. Bisa saja
timbul masalah apabila kualitas dan mental petugas kurang baik,
walaupun peraturannya sudah dibuat sebaik mungkin.

Ketiga, adanya fasilitas yang diharapkan dapat mendukung


pelaksanaan kaidah hukum yang telah ditetapkan.fasilitas disini
terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung
untuk mencapai tujuan.

Keempat, warga masyarakat yang terkena ruang


lingkupperaturan tersebut. Justru pada faktor ini masalah yang
dihadapi menyangkut persoalan derajat keatuhan atau ketaatan
masyarakat yang terhadap hukum. Kadang-kadang dijumpai
peraturan yang dihasilkannya baik, bahkan petugasnya cukup
berwibawa, fasilitas mendukung, tetapi masih ada saja yang tidak
mematuhi peraturan. Dengan demikian penerapan hukum perlu
mempertimbangkan hal-hal non yuridis dengann mengingat sarana
pengendalian sosial lainnya, yaitu agama, adat-istiadat, dan lain-
lainnya.

Dalam kaitannya dengan berfungsinya hukum dalam masyarakat


ini, tidak bisa ditinggalkan faktor kepatuhan warga masyarakat
yang terkena peraturan itu terhadap hukum.

Pada umumnya warga masyarakat ingin hidup teratur dan


normal. Untuk itu masyarakat menciptakan kaidah-kaidah, antara
lain kaidah hukum, sebagai serangkaian patokan bagi tingkah
lakunya. Apabila hukum yang diciptakan tadi tidak lagi dapat
mengatur kepentingan-kepentingannya, maka niscaya warga

23
masyarakat berusaha untuk membentuk kaidah-kaidah hukum yang
baru. Di sinilah mulai timbul mengapa seseorang patuh pada
hukum.10

Agar perilaku masyarakat tidak berseberangan dengan hukum tentunya


dibutuhkan kesadaran masyarakat secara total untuk patuh dan taat pada hukum.
Kesadaran itu merupakan jembatan penghubung antara hukum dengan perilaku
masyarakat.
Faham kesadaran hukum sebenarnya berkisar pada pikiran-pikiran yang
menganggap bahwa kesadaran dalam diri warga-warga masyarakat merupakan suatu
faktor yang menentukan bagi sahnya hukum. Pada awalnya masalah kesadaran
hukum timbul didalam proses penerapan daripada hukum positif tertulis. Di dalam
kerangka proses tersebut timbul masalah, oleh karena adanya ketidaksesuaian antara
dasar sahnya hukum (yaitu pengendalian sosial dari penguasa atau kesadaran warga
masyarakat) dengan kenyataan-kenyataan dipatuhinya (atau tidak ditaatinya) hukum
positif tertulis tersebut.11

Kesadaran hukum menurut Friedman terkait erat dengan budaya hukum


masyarakatnya dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa tingkat kesadaran hukum
masyarakat tinggi atau rendah dapat dilihat pada budaya hukumnya, jika budaya
hukumnya cenderung posisitf, proaktif terhadap cita hukum tentu masyarakatnya
memilki kesadaran hukum yang tinggi. Dalam hal ini fungsi hukum mengalami
perluasan yang mulanya sebagai kontrol sosial dan pemertahanan pola sosial bergeser
arah perubahan tingkah laku yang dikehendaki hukum. Jika demikian dapat
digeneralisasikan bahwa tingkah laku masyarakat negara dapat dilihat pada
hukumnya, yaitu jika hukumnya bertujuan mengontrol dan mempertahankan pola
hidup warga negara tetap dan mapan dalam bertingkah laku. Hal senada dengan

10 Rasjid Lili dan Arief Shidarta, Filsafat Manajemen Mazhab dan Refleksinya, (Bandung: Remadja
Karya, 1994), hh. 72-74.
11 Soerjono Soekanto, op. cit., h. 336.

24
pendapat Lon. L. Euller bahwa hukum itu sebagai usaha pencapaian tujuan tertentu
dalam hal ini hukum berperan sebagai guide, patokan pedoman dalam pelaksanaan
program pemerintah dengan kata lain hukum dijadikan alat pemulus pelaksanaan
keputusan, program poltik, seperti halnya bangsa Indonesia menempatkan
pembangunan sehingga program nomor wahid. Tentunya hukum pun dikondisikan
untuk memperlancar, bahkan mengamankan pelaksanaan pembangunan. Oleh karena
itu hukum berfungsi sebagai proteksi rakyat lemah terhadap kekuasaan politik
penguasa.
Di dalam ilmu hukum, adakalanya dibedakan antara kesadaran hukum dengan
perasaan hukum dengan perasaan hukum. Perasaan hukum adalah sebagai penilaian
hukum yang timbul secara serta mertadari masyarakat. Kesadaran hukum lebih
banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut,
yang telah dilakukannya melalui penafsiran-penafsiran secara ilmiah.
Kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat
di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan
ada. Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan
suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang kongkrit dalam masyarakat
yang bersangkutan. Dengan demikian, maka dapatlah dikatakan bahwa persoalannya
disini kembali pada masalah dasar daripada sahnya hukum yang berlaku yang
akhirnya harus dikembalikan pada nilai-nilai masyarakat. (Paul Scholten 1954: 166,
dan seterusnya).
Suatu konsep lain yang erat hubungannya dengan kesadaran hukum atau yang
mencangkup kesadaran hukum adalah konsepsi mengenai kebudayaan hukum “legal
culture”. Konsepsi ini secara relatif baru dikembangkan, dan salah satu kegunaannya
adalah untuk dapat mengetahui perihal nilai-nilai terhadap prosedur hukum maupun
substansinya (L.M Friedman 1969:29-44).
Apabila ajaran-ajaran tentang kesadaran hukum dibandingkan dengan konsepsi
kebudayaan hukum, maka konsepsi terakhir ini lebih luas. Ajaran-jaran kesadaran
hukum lebih banyak mempermasalahkan kesadaran hukum yang dianggap sebagai

25
mediator antara hukum dengan perilaku manusia baik secara individual maupun
kolektif. Konsepsi kebudayaan hukum lebih tepat, oleh karena kesadaran hukum
banyak sekal berkaitan dengan aspek-aspek konyitif dan perasaan yang seringkali
dianggap sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antara hukum dengan
pola-pola perilaku manusia dalam masyarakt. Hal ini memerlukan penguraian sedikit
tentang nilai-nilai dan berprosesnya nilai-nilai tadi menjadi hukum.
Setiap masyarakat senantiasa mempunyai kebutuhan-kebutuhan utama atau dasa
dan didalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut para warga mendapatkan
pengalaman-pengalaman tentang faktor-faktor yang mendukung dan yang mungkin
menghalang-halangi usahanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan utama atau
dasar tersebut. Apabila faktor-faktor tersebut di konsolidasikan, maka terciptalah
sistim nilai-nilai yang mencangkup konsepsi-konsepsi atau patokan-patokan abstrak
tentang apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.12
Jadi pengaruh budaya hukum terhadap fungsi hukum yaitu jika budaya hukumnya
baik cenderung posisitf, proaktif terhadap cita hukum tentu masyarakatnya memilki
kesadaran hukum yang tinggi. Tingkat kesadaran hukum ini dilihat dari budaya
hukumnya. Dengan tingkat kesadaran hukum yang tinggi, maka akan banyak orang
yang mematuhi hukum. Sehingga fungsi hukum itu dapat tercapai.

12 Ibid., hh. 337-340.

26
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Budaya hukum merupakan penerimaan atau penolakan terhadap suatu
peristiwa hukum yang menunjukan setiap perilaku manusia terhadap masalah
hukum dan peristiwa hukum yang terbawa ke dalam masyarakat. Budaya
hukum adalah keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum
memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat
umum.
2. Hukum memiliki hubungan yang timbal balik dengan masyarakatnya, dimana
hukum itu merupakan sarana atau alat untuk mengatur masyarakat dan bekerja
di dalam masyarakat itu sendiri sedangkan masyarakat dapat menjadi
penghambat maupun menjadi sarana atau alat sosial yang memungkinkan
hukum dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu tanpa budaya
hukum suatu sistem hukum tidak akan berdaya. Dapat juga dikemukakan
bahwa budaya hukum itu merupakan bagian dari suatu sistem hukum yang
juga memiliki dua bagian yang lain, yakni struktur, substansi dan budaya
hukum.
3. Cara menanamkan budaya hukum, yaitu:
a. Melalui pendidikan
b. Sosialisasi dan Penyuluhan Hukum
c. Keteladanan
d. Memperbaiki Penegakan Hukum
4. Budaya hukum berperan untuk mendukung tegaknya hukum. Karena budaya
hukum ini berupa ide, sikap, harapan, dan pendapat seseorang atau
masyarakat tentang hukum yang secara keseluruhan memengaruhi seseorang
untuk patuh atau tidak patuh terhadap hukum.
5. Pengaruh budaya hukum terhadap fungsi hukum yaitu jika budaya hukumnya
baik cenderung posisitf, proaktif terhadap cita hukum tentu masyarakatnya
memilki kesadaran hukum yang tinggi. Tingkat kesadaran hukum ini dilihat
dari budaya hukumnya.

27
B. Saran
1. Hukum yang berlaku harus sesuai dengan kultur yang ada supaya ketika
melakukan implementasi tidak menimbulkan masalah di masyarakat.
2. Hukum yang berlaku harus menghormati hukum agama dan hukum adat.
3. Perlu peningkatan integritas aparat penegak hukum dalam menegakkan
hukum, dan juga meningkatkan ketaatan aparat penegak hukum terhadap
hukum. Selain itu perlu dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan,
serta pengawasan yang efektif.

28

Anda mungkin juga menyukai