Anda di halaman 1dari 20

Laporan Kasus

STRIKTUR URETRA

oleh:
Dr. Elina Deviana

Pembimbing:
Dr. Yudhy Arimansyah, SpB

BAGIAN BEDAH
PROGRAM DOKTER INTERNSHIP
RUMAH SAKIT Dr. SOBIRIN MUSI RAWAS
2013
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi Kasus yang Berjudul:


Striktur Uretra

oleh:
Dr. Elina Deviana

Telah dilaksanakan pada 2013 sebagai salah satu syarat dalam


menjalankan program dokter Internship di Rumah Sakit Dr. Sobirin, Musi Rawas
Tahun 2013

Lubuklinggau, 2013
Pembimbing

Dr. Yudhy Arimansyah, SpB


BAB I
STATUS PENDERITA

I.1 Identitas
Nama : Tn. S
Umur : 54 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Alamat :
Pekerjaan : Petani
MRS : April 2013

I.2 Anamnesis
Keluhan Utama:
Tidak bisa buang air kecil (BAK) sejak 2 hari lalu

Riwayat Perjalanan Penyakit:


 2 bulan SMRS penderita sering mengeluh sulit BAK. BAK terputus-putus (+),
nyeri saat BAK (-), mengedan lama saat BAK (+), Pancaran kencingnya lemah
(+), rasa tidak puas setelah BAK (+), kencingnya menetes (+), sering kencing
pada malam hari (-), tak bisa menahan BAK dalam waktu yang lama (-), nyeri
pinggang(-), demam(-). Keluhan dirasakan untuk pertama kali. riwayat BAK
keluar batu (-), riwayat BAK berdarah (-), riwayat sering BAK pada malam
hari (-), riwayat merasa tidak puas setelah selesai BAK (-), riwayat pemasangan
kateter atau instrumentasi melalui penis disangkal, riwayat operasi di daerah
genital disangkal, riwayat infeksi genital sebelumnya disangkal, riwayat
terjatuh dengan posisi terduduk (-), riwayat jatuh terduduk di atas sepeda (+)
karena pekerjaan penderita yang menggunakan sepeda setiap hari.
 2 hari SMRS, penderita tidak bisa BAK sama sekali meskipun penderita sudah
mengedan. Perut terasa nyeri, demam (+). Penderita lalu berobat ke mantri dan
dilakukan pemasangan kateter urin namun gagal karena kateter tidak bisa
masuk (seperti ada tahanan). Lalu penderita dirujuk ke RS Dr. Sobirin dan
dilakukan blast pungsi, keluar urin sebanyak 1800 cc. Lalu dilanjutkan dengan
pemasangan sistostomi suprapubik.

Riwayat Penyakit Dahulu:


- Riwayat sakit kencing manis (-)
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat trauma ada (jatuh terduduk saat mengendarai sepeda)
- Riwayat infeksi menular seksual (-)

Riwayat Penyakit dalam Keluarga:


Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal

I.3 Pemeriksaan Fisik


A. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Pernafasan : 20x/ menit
Nadi : 82x/menit
Suhu : 36,8 0C
Kepala : konjungtiva pucat (-), sclera ikterik (-/-)
Leher : Tidak ada kelainan
Pupil : Isokor/ Reflek Cahaya +/+
KGB : Tidak ada kelainan
Thorax : Tidak ada kelainan
Abdomen : Lihat status urologikus
Genitalia Eksterna : Lihat status urologikus

2
Ektremitas atas dan bawah : Tidak ada kelainan

B. Status Urologikus
Regio Costo Vertebrae Angle (CVA) dextra et sinistra:
Inspeksi : Bulging (-)
Palpasi : Ballotement (-)
Palpasi : Nyeri ketok -/-

Regio Suprapubik:
Inspeksi : Bulging (-), terpasang kateter cystostomi, urine lancar dan jernih,
darah (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-)

Regio Genitalia Eksterna :


Inspeksi : bloody discharge (-)\

I.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Darah Rutin
Hb : 12,2 g/dl (L: 14-18 g/dl)
Ht : 36 vol% (L: 40-48 vol%)
Leukosit : 10.900/mm3 (L: 5000-10.000/mm3)
Trombosit : 308.000/mm3 (200.000-500.000/mm3)
Hitung Jenis : 0/8/0/68/20/4

Kimia Klinik (5 Juli 2011)


BSS : 97 mg/dl
Ureum : 35 mg/dl (15-39 mg/dl)
Creatinin : 1,2 mg/dl (L: 0,9-1,3 mg/dl P: 0,6-1,0 mg/dl)
Natrium : 136 mmol/l (135-155)
Kalium : 3,6 mmol/l (3,5-5,5)

3
Urinalisa (5 Juli 2011):
Sel epitil : Positif (+)
Leukosit : 4-6/ LPB
Eritrosit : 8-10/ LPB
Silinder bakteri : ++

Radiologi
USG TUG (18 Juni 2011)
- Kesan: Cystitis

I.5 Diagnosis Banding


Retensio urin et causa striktur uretra
Retensio urin e.c Benign Prostat Hiperplasia

I.6 Diagnosis Kerja


Retensio urin et causa striktur uretra

I.7 Penatalaksanaan
- IVFD RL : D5% 1:1 gtt XX/ menit makro + drip tramadol 1 amp
- inj. Cefotaxime 2x1 gr iv.
- Uretrotomi interna (Sachse)

1.8 Rencana Pemeriksaan


- Urinalisis
- Uretrografi

I.9 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Pendahuluan
Uretra merupakan bagian terpenting dari saluran kemih. Pada pria dan wanita,
uretra mempunyai fungsi utama untuk mengalirkan urin keluar dari tubuh. Saluran uretra
juga penting dalam proses ejakulasi semen dari saluran reproduksi pria. Uretra pria
berbentuk pipa yang menyerupai alat penyiram bunga.
Pada striktur uretra terjadi penyempitan dari lumen uretra akibat terbentuknya
jaringan fibrotik pada dinding uretra. Striktur uretra menyebabkan gangguan dalam
berkemih, mulai dari aliran berkemih yang mengecil sampai sama sekali tidak dapat
mengalirkan urin keluar dari tubuh. Urin yang tidak dapat keluar dari tubuh dapat
menyebabkan banyak komplikasi, dengan komplikasi terberat adalah gagal ginjal.
Striktur uretra masih merupakan masalah yang sering ditemukan pada bagian dunia
tertentu. Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria dari pada wanita, karena uretra pada
wanita lebih pendek dan jarang terkena infeksi. Segala sesuatu yang melukai uretra dapat
menyebabkan striktur. Orang dapat terlahir dengan striktur uretra, meskipun hal itu
jarang terjadi.

II.2 Anatomi Uretra

Gambar 1. Anatomi Uretra

5
Uretra adalah saluran yang dimulai dari orifisium uretra interna dibagian buli-buli
sampai orifisium uretra eksterna glands penis, dengan panjang yang bervariasi. Uretra
pria dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian anterior dan bagian posterior. Uretra
posterior dibagi menjadi uretra pars prostatika dan uretra pars membranasea. Uretra
anterior dibagi menjadi meatus uretra, pendulare uretra dan bulbus uretra. Dalam keadaan
normal lumen uretra laki-laki 24 ch, dan wanita 30 ch. Kalau 1 ch = 0,3 mm maka lumen
uretra laki-laki 7,2 mm dan wanita 9 mm.
1. Uretra bagian anterior
Uretra anterior memiliki panjang 18-25 cm (9-10 inchi). Saluran ini
dimulai dari meatus uretra, pendulans uretra dan bulbus uretra. Uretra anterior ini
berupa tabung yang lurus, terletak bebas diluar tubuh, sehingga kalau memerlukan
operasi atau reparasi relatif mudah.

2. Uretra bagian posterior


Uretra posterior memiliki panjang 3-6 cm (1-2 inchi). Uretra yang
dikelilingi kelenjar prostat dinamakan uretra prostatika. Bagian selanjutnya adalah
uretra membranasea, yang memiliki panjang terpendek dari semua bagian uretra,
sukar untuk dilatasi dan pada bagian ini terdapat otot yang membentuk sfingter.
Sfingter ini bersifat volunter sehingga kita dapat menahan kemih dan berhenti
pada waku berkemih. Uretra membranacea terdapat dibawah dan dibelakang
simpisis pubis, sehingga trauma pada simpisis pubis dapat mencederai uretra
membranasea.

II.3 Etiologi
Striktur uretra dapat terjadi pada:
1. Kelainan Kongenital, misalnya kongenital meatus stenosis, klep uretra posterior
2. Operasi rekonstruksi dari kelainan kongenital seperti hipospadia, epispadia
3. Trauma, misalnya fraktur tulang pelvis yang mengenai uretra pars
membranasea; trauma tumpul pada selangkangan (straddle injuries) yang
mengenai uretra pars bulbosa, dapat terjadi pada anak yang naik sepeda dan

6
kakinya terpeleset dari pedal sepeda sehingga jatuh dengan uretra pada bingkai
sepeda pria; trauma langsung pada penis; instrumentasi transuretra yang kurang
hati-hati (iatrogenik) seperti pemasangan kateter yang kasar, fiksasi kateter
yang salah.
4. Post operasi, beberapa operasi pada saluran kemih dapat menimbulkan striktur
uretra, seperti operasi prostat, operasi dengan alat endoskopi.
5. Infeksi, merupakan faktor yang paling sering menimbulkan striktur uretra,
seperti infeksi oleh kuman gonokokus yang menyebabkan uretritis gonorrhoika
atau non gonorrhoika telah menginfeksi uretra beberapa tahun sebelumnya
namun sekarang sudah jarang akibat pemakaian antibiotik, kebanyakan striktur
ini terletak di pars membranasea, walaupun juga terdapat pada tempat lain;
infeksi chlamidia sekarang merupakan penyebab utama tapi dapat dicegah
dengan menghindari kontak dengan individu yang terinfeksi atau
menggunakan kondom.
Tabel 1. Letak Striktur Uretra dan Penyebabnya
Letak Uretra Penyebab
Pars membranasea Trauma panggul, kateterisasi “salah Jalan”.

Pars bulbosa Trauma/ cedera kangkang, uretritis.

Meatus Balanitis, instrumentasi kasar.


Penyebab lain terjadinya striktur uretra ialah tindakan-tindakan bedah
seperti bedah rekonstruksi uretra terhadap hipospadia, epispadia, kordae, dan
bedah urologi.
Striktur uretra paling sering terjadi pada pria karena uretra pria lebih
panjang daripada uretra wanita. Penyebab lainnya ialah tekanan dari luar uretra
seperti tumor pada hipertrofi prostat benigna, atau pun juga bisa diakibatkan
oleh kelainan congenital, namun jarang terjadi. Resiko striktur uretra
meningkat pada orang yang memiliki riwayat penyakit menular seksual,
episode uretritis berulang, atau hipertrofi prostat benigna.

7
II.4 Patofisiologi
Struktur uretra terdiri dari lapisan mukosa dan lapisan submukosa. Lapisan
mukosa pada uretra merupakan lanjutan dari mukosa buli-buli, ureter dan ginjal.
Mukosanya terdiri dari epitel kolumnar, kecuali pada daerah dekat orifisium eksterna
epitelnya skuamosa dan berlapis. Submukosanya terdiri dari lapisan erektil vaskular.
Apabila terjadi perlukaan pada uretra, maka akan terjadi penyembuhan cara epimorfosis,
artinya jaringan yang rusak diganti oleh jaringan lain (jaringan ikat) yang tidak sama
dengan semula. Jaringan ikat ini menyebabkan hilangnya elastisitas dan memperkecil
lumen uretra, sehinggaterjadi striktur uretra.

Gambar 2. Patofisiologi Striktur Uretra

II.5 Derajat Penyempitan


Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi tiga
tingkatan, yaitu derajat:

8
1. Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra
2. Sedang: jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen uretra
3. Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra
Pada penyempitan derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di korpus spongiosum
yang dikenal dengan spongiofibrosis.

II.6 Gambaran Klinis


Gejala dari striktur uretra yang khas adalah pancaran buang air seni kecil dan
bercabang. Gejala yang lain adalah iritasi dan infeksi seperti frekuensi, urgensi, disuria,
inkontinensia, urin yang menetes, kadang-kadang dengan penis yang membengkak,
infiltrat, abses dan fistel. Gejala lebih lanjutnya adalah retensi urin.
1. Pemeriksaan Fisik
Anamnesa:
Untuk mencari gejala dan tanda adanya striktur uretra dan juga mencari penyebab
striktur uretra.
Pemeriksaan fisik dan lokal:
Untuk mengetahui keadaan penderita dan juga untuk meraba fibrosis di uretra,
infiltrat, abses atau fistula.
2. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Urin dan kultur urin untuk mengetahui adanya infeksi
Ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal
Uroflowmetri
Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran urin.
Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya proses
miksi. Kecepatan pancaran urin normal pada pria adalah 20 ml/detik dan pada
wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga normal
menandakan ada obstruksi.
Radiologi
Diagnosa pasti dibuat dengan uretrografi, untuk melihat letak penyempitan dan
besarnya penyempitan uretra. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai panjang

9
striktur adalah dengan membuat foto bipolar sistouretrografi dengan cara
memasukkan bahan kontras secara antegrad dari buli-buli dan secara retrograd
dari uretra. Dengan pemeriksaan ini panjang striktur dapat diketahui sehingga
penting untuk perencanaan terapi atau operasi.
Instrumentasi
Pada pasien dengan striktur uretra dilakukan percobaan dengan memasukkan
kateter Foley ukuran 24 ch, apabila ada hambatan dicoba dengan kateter dengan
ukuran yang lebih kecil sampai dapat masuk ke buli-buli. Apabila dengan kateter
ukuran kecil dapat masuk menandakan adanya penyempitan lumen uretra.
Uretroskopi
Untuk melihat secara langsung adanya striktur di uretra. Jika diketemukan adanya
striktur langsung diikuti dengan uretrotomi interna (sachse) yaitu memotong
jaringan fibrotik dengan memakai pisau sachse.

II.7 Diagnosis
Diagnosis striktur uretra dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik. Diagnosis
pasti striktur uretra didapat dari pemeriksaan radiologi, tentukan lokasi dan panjang
striktur serta derajat penyempitan dari lumen uretra.
Pemeriksaan radiologi dengan kontras yang biasa dilakukan ialah Retrograde
Urethrogram (RUG) with Voiding Cystourethrogram (VCUG).

Gambar 3. Hasil pemeriksaan urethrogram. Tampak adanya striktur pada uretra bulbar
sepanjang 4 cm.

10
Pemeriksaan yang lebih maju digunakan sistoskopi, yaitu penggunaan kamera
fiberoptik pada uretra. Dengan sitoskopi dapat dilihat penyebab striktur, letaknya, dan
karakter dari striktur.

Gambar 4. Prosedur sistoskopi

II.8 Penatalaksanaan
Pengobatan terhadap striktur uretra tergantung pada lokasi striktur, panjang/
pendeknya striktur, dan kedaruratannya. Striktur uretra dapat diobati dengan melakukan
dilatasi uretra secara periodik. Dilatasi dilakukan dengan halus & hati-hati setiap 2-3
bulan. Namun teknik seperti ini cenderung menimbulkan striktur uretra kembali.
Striktur uretra tidak dapat dihilangkan dengan jenis obat-obatan apapun. Pasien
yang datang dengan retensi urin, secepatnya dilakukan sistostomi suprapubik untuk
mengeluarkan urin, jika dijumpai abses periuretra dilakukan insisi dan pemberian
antibiotika. Pengobatan striktur uretra banyak pilihan dan bervariasi tergantung panjang
dan lokasi dari striktur, serta derajat penyempitan lumen uretra.
Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktur uretra adalah:
1. Bougie (Dilatasi)
Sebelum melakukan dilatasi, periksalah kadar hemoglobin pasien dan
periksa adanya glukosa dan protein dalam urin. Tersedia beberapa jenis bougie.
Bougie bengkok merupakan satu batang logam yang ditekuk sesuai dengan
kelengkungan uretra pria; bougie lurus, yang juga terbuat dari logam, mempunyai
ujung yang tumpul dan umumnya hanya sedikit melengkung; bougie filiformis

11
mempunyai diameter yang lebih kecil dan terbuat dari bahan yang lebih lunak.
Berikan sedatif ringan sebelum memulai prosedur dan mulailah pengobatan
dengan antibiotik, yang diteruskan selama 3 hari. Bersihkan glans penis dan
meatus uretra dengan cermat dan persiapkan kulit dengan antiseptik yang lembut.
Masukkan gel lidokain ke dalam uretra dan dipertahankan selama 5 menit. Tutupi
pasien dengan sebuah duk lubang untuk mengisolasi penis. Apabila striktur sangat
tidak teratur, mulailah dengan memasukkan sebuah bougie filiformis; biarkan
bougie di dalam uretra dan teruskan memasukkan bougie filiformis lain sampai
bougie dapat melewati striktur tersebut. Kemudian lanjutkan dengan dilatasi
menggunakan bougie lurus.
Apabila striktur sedikit tidak teratur, mulailah dengan bougie bengkok
atau lurus ukuran sedang dan secara bertahap dinaikkan ukurannya. Dilatasi
dengan bougie logam yang dilakukan secara hati-hati. Tindakan yang kasar
tambah akan merusak uretra sehingga menimbulkan luka baru yang pada akhirnya
menimbulkan striktur lagi yang lebih berat. Karena itu, setiap dokter yang
bertugas di pusat kesehatan yang terpencil harus dilatih dengan baik untuk
memasukkan bougie. Penyulit dapat mencakup trauma dengan perdarahan dan
bahkan dengan pembentukan jalan yang salah (false passage). Perkecil
kemungkinan terjadinya bakteremi, septikemi, dan syok septic dengan tindakan
asepsis dan dengan penggunaan antibiotik.

2. Uretrotomi interna
Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan alat endoskopi yang
memotong jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau dengan pisau Sachse,
laser atau elektrokoter. Otis uretrotomi dikerjakan pada striktur uretra anterior
terutama bagian distal dari pendulans uretra dan fossa navicularis, otis uretrotomi
juga dilakukan pada wanita dengan striktur uretra. Indikasi untuk melakukan
bedah endoskopi dengan alat Sachse adalah striktur uretra anterior atau posterior
masih ada lumen walaupun kecil dan panjang tidak lebih dari 2 cm serta tidak ada
fistel, kateter dipasang selama 2-3 hari pasca tindakan. Setelah pasien
dipulangkan, pasien harus kontrol tiap minggu selama 1 bulan kemudian 2

12
minggu sekali selama 6 bulan dan tiap 6 bulan sekali seumur hidup. Pada waktu
kontrol dilakukan pemeriksaan uroflowmetri, bila pancaran urinnya < 10 ml/det
dilakukan bouginasi.

3. Uretrotomi eksterna
Tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis kemudian
dilakukan anastomosis end-to-end di antara jaringan uretra yang masih sehat, cara
ini tidak dapat dilakukan bila daerah strikur lebih dari 1 cm. Cara Johansson;
dilakukan bila daerah striktur panjang dan banyak jaringan fibrotik. Stadium I,
daerah striktur disayat longitudinal dengan menyertakan sedikit jaringan sehat di
proksimal dan distalnya, lalu jaringan fibrotik dieksisi. Mukosa uretra dijahit ke
penis pendulans dan dipasang kateter selama 5-7 hari. Stadium II, beberapa bulan
kemudian bila daerah striktur telah melunak, dilakukan pembuatan uretra baru.

4. Uretroplasti
Dilakukan pada penderita dengan panjang striktur uretra lebih dari 2 cm
atau dengan fistel uretro-kutan atau penderita residif striktur pasca Uretrotomi
Sachse. Operasi uretroplasti ini bermacam-macam, pada umumnya setelah daerah
striktur di eksisi, uretra diganti dengan kulit preputium atau kulit penis dan
dengan free graft atau pedikel graft yaitu dibuat tabung uretra baru dari kulit
preputium/kulit penis dengan menyertakan pembuluh darahnya.

II.9 Komplikasi
1. Trabekulasi, sakulasi dan divertikel
Pada striktur uretra kandung kencing harus berkontraksi lebih kuat, maka
otot kalau diberi beban akan berkontraksi lebih kuat sampai pada suatu saat
kemudian akan melemah. Jadi pada striktur uretra otot buli-buli mula-mula akan
menebal terjadi trabekulasi pada fase kompensasi, setelah itu pada fase
dekompensasi timbul sakulasi dan divertikel. Perbedaan antara sakulasi dan
divertikel adalah penonjolan mukosa buli pada sakulasi masih di dalam otot buli

13
sedangkan divertikel menonjol di luar buli-buli, jadi divertikel buli-buli adalah
tonjolan mukosa keluar bulibuli tanpa dinding otot.

2. Residu urin
Pada fase kompensasi dimana otot buli-buli berkontraksi makin kuat tidak
timbul residu. Pada fase dekompensasi maka akan timbul residu. Residu adalah
keadaan dimana setelah kencing masih ada urine dalam kandung kencing. Dalam
keadaan normal residu ini tidak ada.

3. Refluks vesiko ureteral


Dalam keadaan normal pada waktu buang air kecil urine dikeluarkan buli-
buli melalui uretra. Pada striktur uretra dimana terdapat tekanan intravesika yang
meninggi maka akan terjadi refluks, yaitu keadaan dimana urine dari buli-buli akan
masuk kembali ke ureter bahkan sampai ginjal.

4. Infeksi saluran kemih dan gagal ginjal


Dalam keadaan normal, buli-buli dalam keadaan steril. Salah satu cara
tubuh mempertahankan buli-buli dalam keadaan steril adalah dengan jalan setiap
saat mengosongkan buli-buli waktu buang air kecil. Dalam keadaan dekompensasi
maka akan timbul residu, akibatnya maka bulibuli mudah terkena infeksi. Adanya
kuman yang berkembang biak di buli-buli dan timbul refluks, maka akan timbul
pyelonefritis akut maupun kronik yang akhirnya timbul gagal ginjal dengan segala
akibatnya.

5. Infiltrat urine, abses dan fistulasi


Adanya sumbatan pada uretra, tekanan intravesika yang meninggi maka
bisa timbul inhibisi urine keluar buli-buli atau uretra proksimal dari striktur. Urine
yang terinfeksi keluar dari buli buli atau uretra menyebabkan timbulnya infiltrat
urine, kalau tidak diobati infiltrat urine akan timbul abses, abses pecah timbul
fistula di supra pubis atau uretra proksimal dari striktur.

14
II.13 Prognosis
Striktur uretra kerap kali kambuh, sehingga pasien harus sering menjalani
pemeriksaan yang teratur oleh dokter. Penyakit ini dikatakan sembuh jika setelah
dilakukan observasi selama satu tahun tidak menunjukkan tanda-tanda kekambuhan.

15
BAB III
ANALISIS KASUS

Dari kasus di atas, Tn. S usia 54 tahun tinggal di datang dengan keluhan
tidak bisa buang air kecil (miksi) sejak 2 hari yang lalu. Keadaan ini disebut sebagai
retensio urin yaitu suatu keadaan dimana penderita tidak dapat kencing padahal kandung
kemih penuh. Keadaan ini bisa disebabkan oleh sumbatan mekanis pada uretra atau
gangguan fungsional kandung kemih dan sfingternya.
Dari anamnesa didapatkan keluhan berupa sulit BAK, BAK mengejan, setelah
BAK penderita merasa tidak puas dan diikuti oleh pancaran urine yang lemah,
dipertengahan miksi seringkali miksi berhenti kemudian memancar lagi (intermitensi).
Keluhan ini merupakan gejala obstruktif saluran kemih. Jadi kesimpulan yang diambil
bahwa penderita mengalami suatu gejala obstruktif saluran kemih. Dan juga ditemukan
adanya keluhan sering berkemih (frequency) terutama pada malam hari (nocturia),
sehingga pasien ini disimpulkan mengalami gejala iritatif dari saluran kemih.
Berdasarkan kondisi faktual diatas pasien ini mengalami gejala obstruktif dan gejala
iritatif saluran kemih yang dikenal dengan LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms).
LUTS merupakan suatu gejala yang menunjukkan adanya gangguan pada
saluran kemih bagian bawah yang meliputi gejala obstruktif dan iritatif pada saluran
kemih. Gejala obstruktif pada saluran kemih yaitu mengedan ketika miksi (straining),
menunggu pada awal miksi (hesitancy), pancaran melemah (weakness), miksi terputus
(intermitten), dan tidak lampias setelah miksi. Sedangkan gejala iritatif meliputi rasa
ingin miksi yang tidak bisa ditahan (urgency), sering miksi (frequency), sering miksi pada
malam hari (nocturia), dan nyeri ketika miksi (dysuria). Dari keluhan utama dan
anamnesis pada pasien ini terjadi suatu retentio urine yang disebabkan adanya sumbatan
pada saluran kemih bagian bawah yang bisa disebabkan oleh gangguan pada vesika
urinaria atau infravesika. Gangguan pada vesika urinaria bisa berupa batu vesika atau
gangguan neurogenic pada vesika. Sedangkan gangguan infravesika berupa pembesaran
prostat dan striktur uretra.
Kemudian pada riwayat penyakit dahulu, riwayat kencing manis dan riwayat
pernah trauma disangkal.

16
Berdasarkan pemeriksaan fisik pada status generalis didapatkan vital sign dalam
batas normal, konjungtiva tidak pucat dan sklera tidak ikterik. Pada inspeksi regio CVA
dan regio supra pubik didapatkan dalam keadaan normal, regio genitalia externa tidak
ditemukan bloody discharge. Pada pemeriksaan Digital Rectal Examination (Rectal
Toucher) didapatkan tonus spingter ani dalam keadaan baik sehingga hal ini dapat
menyingkirkan diagnosis bahwa retensio urine yang terjadi diakibatkan oleh neurogenic
bladder. Selain itu juga prostat dalam keadaan normal, sehingga diagnosis retensio urine
akibat hiperplasia prostat dapat disingkirkan.
Pada pemeriksaan darah rutin yang dilakukan didapatkan kadar Hb menurun
dan leukosit sedikit meningkat. Pemeriksaan kimia klinik dalam batas normal.
Dari pemeriksaan penunjang USG TUG didapatkan kesan cystitis.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka pasien ini
didiagnosa dengan Striktur Uretra.
Pada pasien ini memiliki akan ditatalaksana dengan pemberian antibiotik dan
analgetik untuk pengobatan secara simtomatik, kemudian rencana untuk dilakukan
uretrotomi interna dengan pisau sachse.
Prognosis pada pasien ini secara vitam dan fungsionam dubia ad bonam.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Jong, Wim De, R. Sjamsuhidayat. 2004. Striktur Uretra. Dalam: Saluran Kemih Dan
Alat Kelamin Lelaki, Buku Ajar Ilmu Bedah hal.752. EGC. Jakarta.
2. Purnomo Basuki B. Striktura uretra. 2003. dalam: Dasar-dasar Urologi. Ed 2. CV.
Sagung, Jakarta, Hal; 153-156.

3. Urethral Stricture Disease. http://www.urologyhealth.org/, diakses tanggal 13 Juli


2011.
4. Gousse, Angelo. Urethral Stricture, Male Workup.
http://www.emedicine.medscape.com , diakses tanggal 13 juli 2011.

18

Anda mungkin juga menyukai