Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

TRANSPLANTASI ORGAN

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Islam dan Ilmu pengetahuan yang di
ampu oleh: Agus Siswanto, M.Si., Apt.

Disusun oleh :

1. Rafi Oktiani 1708010014


2. Rifani Oka Y 1708010018
3. Rosyahira 1708010020
4. Shania Putri W.D 1708010024
5. Lutfiani Amalia 1708010148

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2019

KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrahim,
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
yang senantiasa selalu menyertai seluruh tugas dan tanggungjawab, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan tugas makalah untuk mata kuliah Islam dan Ilmu pengetahuan dengan judul
“TRANSPLANTASI ORGAN” sesuai dengan ketentuan dan waktu yang ditentukan walau
masih sangat sederhana.

`Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk melengkapi nilai
tugas kelompok Islam dan Ilmu pengetahuan. Adapun terdapat kendala-kendala yang sering
penyusun hadapi dalam penyusunan makalah ini. Namun alhamdulillah berkat berbagai
pihak, penyusun dapat menyelasaikan makalah ini. Berkaitan dengan hal tersebut, penyusun
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak tersebut, yakni:
1.Bapak selaku Dosen matakuliah Islam dan Ilmu pengetahuan.
2.Kedua orangtua yang memberi dukungan baik secara moril maupun materil serta doa restu.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan
makalah ini dan sebagai acuan penyusun untuk bisa melangkah lebih maju lagi di masa
depan.
Akhir kata, Penyusun berharap dengan adanya makalah ini, dapat bermanfaat untuk
semuanya.

Purwokerto, 13 Desember 2019

Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................................................................i

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI .............................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................................

A. LATAR BELAKANG..............................................................................................................................

B. RUMUSAN MASALAH.........................................................................................................................

C. TUJUAN..............................................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................................

A.TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH MANUSIA PERSPEKTIF HUKUM KESEHATAN……………………………...

1. Dasar Hukum.....................................................................................................................................

2. Pihak-Pihak Terkait………………………………………………………………………………………………………………………..

3. Syarat dan Prosedur……………………………………………………………………………………………………………………..

4. Hak dan Kewajiban………………………………………………………………………………………………………………………..

B. Transplantasi Organ Tubuh Manusia Perspektif Hukum Islam………………………………………………………..

1. Fikih Klasik………………………………………………………………………………………………………………………………….

2. Fikih Kontemporer……………………………………………………………………………………………………………………..

BAB III PENUTUP..................................................................................................................................

A. KESIMPULAN...................................................................................................................................

B. SARAN.............................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Memiliki penduduk dengan mayoritas pemeluk Agama Islam membuat
Indonesia menempati satu dari sepuluh negara dengan jumlah muslim tertinggi di
dunia dengan total 222 juta umat berdasarkan perhitungan dari Muslim Pro diikuti
oleh Pakistan sebanyak 195 juta umat di urutan kedua dan India sebanyak 183 juta
umat diurutan ketiga per 2018.1 Sensus penduduk oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
pada 2010 mencatat bahwa jumlah umat Muslim di Indonesia mencapai 207.176.162
jiwa atau sekitar 80% dari 237.641.326 jiwa penduduk Indonesia memeluk agama
Islam.

Beberapa term digunakan Al-Qur’an untuk menunjukkan arti masyarakat


ideal, yaitu terdiri atas ummatan wahidah, ummatan wasathan, khoiru ummah dan
baldatun thayyibah. Ummatan wahidah disebutkan dalam surah Al-Baqarah (2) ayat
213 yang mengatakan bahwa manusia dari dulu hingga sekarang merupakan satu
umat, Allah SWT menciptakan mereka sebagai makhluk sosial yang saling berkaitan
dan saling membutuhkan satu sama lain. Ummatan wasathan. Khoiru ummah terdapat
dalam Surah Ali Imran (3) ayat yang menyatakan untuk menjadi ideal, umat Islam
seharusnya memiliki supremasi dalam segala bidang yaitu bidang ekonomi, politik,
sosial, budaya, ilmu dan lain-lain karena kekuatan digalang dari semua aspek
kehidupan. Baldatun thayyibah terdapat dalam Qur’an Surah Saba (34) ayat 15 yang
menyatakan bahwa jika suatu negeri dapat dikatakan memiliki tanah yang subur,
penduduk yang makmur serta pemerintahan yang adil, maka dapat disebut sebagai
masyarakat yang ideal.

Kesehatan dapat dikategorikan ke dalam kondisi ideal umat muslim yaitu


khoiru ummah. Sehat berasal dari bahasa Arab yaitu as-shihah yang berarti sembuh,
sehat, selamat dari cela, cacat atau nyata, benar sesuai kenyataan. Dapat disimpulkan
secara umum bahwa sehat berarti suatu keadaan dimana seluruh organ serta syaraf
tubuh dapat berfungsi dengan baik tanpa adanya penyakit yang hinggap di tubuh.

Menurut Islam, kebaikan yang dicari bukan hanya kebahagiaan/kesehatan


hidup di dunia saja, tetapi juga sehat/bahagia di akhirat berdasarkan definisi dari Al-
Qur’an :

ِِ‫ ﺎﺣَ ﺎ ﺎﯿﯿﻧْﱡﺪﻟا‬...َ‫رﺎﱠﻨﻟا ﺎبَﺎ ﺎﺎﺬﻋَ ﺎ ﺎﻨِﺎﻗوَ ﺔﺎﻨﺎﺎﺴَﺣَ ِةﺎِﺮﺧِ ﯿﻵْا ِﻲﺎﻓوَ ﺔﺎﺎﻨﺴ‬
“...Ya Tuhan kami, berilah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di
akhirat dan lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Al-Baqarah (2):201)

Do’a ini mencakup semua kebaikan di dunia dan memalingkan semua


keburukan, karena sesungguhnya kebaikan di dunia itu mencakup semua yang
didambakan dalam kehidupan dunia, seperti kesehatan, rumah yang luas, istri yang
cantik, rezeki yang berlimpah, ilmu yang bermanfaat, amal saleh, kendaraan yang
mudah, dan sebutan yang baik serta lain-lainnya; semuanya itu tercakup di dalam
ungkapan mufassirin. Semua hal yang disebutkan tadi termasuk ke dalam pengertian
kebaikan di dunia. Kesehatan yang dimaksud di sini adalah sehat yang meliputi empat
hal, yaitu yang pertama sehat dalam bidang ilmu, artinya manusia tersebut
mempunyai ilmu dan terhindar dari kebodohan. Selanjutnya sehat dalam bidang
ekonomi, artinya manusia tersebut mempunyai ekonomi yang cukup untuk hidup
sehingga terhindar dari kemiskinan. Ketiga, sehat atau bebas dari penyakit-penyakit,
baik penyakit jasmaniah maupun penyakit rohaniah. Terakhir, sehat dalam bidang-
bidang lainnya seperti mempunyai istri dan anak-anak yang shaleh, hubungan dengan
relasi yang baik dan lancar, dan lain-lain.

Seiring dengan perkembangan zaman, dunia mengalami kemajuan yang


signifikan di berbagai bidang. Semakin banyak orang yang memanfaatkan kemajuan
ini untuk mendapatkan fasilitas apapun yang ingin dimiliki salah satunya dalam
bidang kesehatan. Kemajuan bioteknologi dalam aspek kesehatan mengundang
pemikiran, diskusi dan perdebatan terutama dari segi hukum dan agama, terutama
Agama Islam yang bukan hanya berisi pedoman hidup, peraturan, akhlak, sejarah dan
lain-lain, tetapi juga berisi pokok ilmu pengetahuan dimana terdapat ilmu kesehatan di
dalamnya. Adanya ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW tentang
penciptaan manusia, kebersihan, makanan, pemberantasan penyakit menular dan
adanya obat jiwa dalam Al Qur’an merupakan petunjuk bahwa ajaran-ajaran Islam
mengandung ilmu kedokteran dan ilmu kesehatan di dalamnya.7 Dalam ilmu
kedokteran timur maupun barat meyakini bahwa setiap penyakit ada obatnya,
begitupun dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang pernah bersabda mengenai
pentingnya kesehatan, yaitu:

‫ﺎمﺎﺮﮭَﯿﻟا ِﺪﺣَا ﺎوَ ءًﺎادَ ﺎﯿﺮﺎﯿﻏَ ءًا ﺎﺎوَدَ ُﺎﮫﻟ ﺎﺎﻊﺿَ ﺎوَ ﱠِﻻإِ ءًﺎادَ ﯿﺎﻊ ﺎ‬
ُِ‫ﻀﯾَ ﯿﺎﻢﻟﺎ ﷲ ﱠن‬
“Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak
meletakkan suatu penyakit kecuali Dia juga telah meletakkan obat penyembuhnya,
selain penyakit yang satu, yaitu penyakit tua” (HR. Abu Daud)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa setiap umat Islam wajib berikhtiar untuk
berobat apabila menderita sakit apapun macam penyakitnya. Sebab, setiap penyakit
merupakan berkah kasih sayang Allah yang pasti ada penawarnya baik dengan obat
maupun tindakan tertentu yang salah satu contohnya adalah transplantasi.
Transplantasi adalah pengangkatan suatu organ atau jaringan dari suatu organisme,
kemudian diimplantasikan melalui pembedahan ke organisme lain untuk memberikan
struktur dan/atau fungsi. Pendapat kedua menyatakan bahwa transplantasi ialah
pemindahan organ tubuh yang masih mempunyai daya hidup sehat untuk
menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi lagi dengan baik.
Terlepas dari beberapa pendapat tersebut, tujuan utama transplantasi organ adalah
mengurangi penderitaan dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

Saat ini, transplantasi tidak mustahil untuk dilakukan mengingat semakin


majunya teknologi di bidang kedokteran. Orang-orang yang memiliki kerusakan pada
organ tubuhnya bisa memilih langkah transplantasi yang lebih efektif untuk
mempebesar harapan hidupnya daripada melakukan terapi kesehatan seperti
hemodialisis untuk pasien gagal ginjal begitupun pasien dengan kerusakan hati,
jantung serta organ tubuh lainnya.

Belum ada Ayat Al-Qur’an maupun Hadits Nabi Muhammad SAW yang
memaparkan secara jelas mengenai hukum transplantasi organ tubuh manusia, namun
terdapat ayat dan hadits yang secara tersirat atau qiyash menyampaikan hukum
mengenai transplantasi organ tubuh manusia.

“Mematahkan tulang mayat seperti mematahkannya ketika dia hidup” (H.R. Ahmad
dan Abu Dawud) Hadits tersebut menunjukkan betapa manusia semasa hidup hingga
meninggal begitu dijunjung tinggi kehormatannya, sehingga dirasa tidak mungkin
untuk mengambil bagian tubuh seseorang untuk didonorkan ke orang lain. Allah
berfirman dalam Al-Qur’an:

.... َ‫ ﺎ ﺎﺎھﺎﯿ ﯿﺎﺣَأَ ﯿﺎﻦﺎﻣو‬...‫ﺎﯿﻌﯿِﺎﻤﺟَ ﺎسَﺎﱠﻨﻟا ﺎﺎﯿ ﯿﺎﺣَأَ ﺎﺎﱠﻤﻧْﺎﺄ ﺎﺎﻜﻓ‬


“... Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya ....” (QS. Al-Maidah (5):32)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa suatu tindakan pengobatan seperti


transplantasi yang dapat menolong manusia lain akan sangat dihargai oleh Agama
Islam sehingga menunjukkan bahwa transplantasi memungkinkan untuk dilakukan
dengan syarat-syarat tertentu.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka permasalahan yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana transplantasi organ tubuh manusia dalam perspektif Hukum
Kesehatan?
2. Bagaimana transplantasi organ tubuh manusia dalam perspektif Hukum
Islam?
C. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Kegunaan secara teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan berguna sebagai sumbangan


pemikiran dan pengetahuan ilmu hukum keperdataan terutama dalam bidang
Hukum Islam khususnya untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan
transplantasi organ tubuh manusia dalam perspektif Hukum Kesehatan dan
Hukum Islam.

2. Kegunaan secara praktis


a. Sebagai bahan untuk menambah wawasan bagi penulis mengenai
transplntasi organ tubuh manusia dalam perspektif Hukum Kesehatan dan
Hukum Islam.
b. Mengetahui tentang bagian transplantasi organ tubuh manusia dalam
perspektif Hukum Kesehatan dan Hukum Islam.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Perkembangan Transplantasi Organ

Transplantasi atau pencangkokan semula merupakan rumusan ide tempel-


menempel dari dunia flora. Pada awalnya transplantasi organ lebih nampak seperti
fiksi ilmiah, kemudian mengalami perkembangan denotasi setelah dilakukan
percobaan ilmiah pada fauna dan manusia. Namun, seiring berjalannya waktu
transplantasi menjelma menjadi salah satu penemuan paling luar biasa yang telah
dicapai dalam dunia kedokteran modern. Transfusi darah merupakan jenis
transplantasi yang paling sering dilakukan.

Jauh sebelum transplantasi ditemukan dan dikembangkan, beberapa ilmuwan


muslim telah mendedikasikan hidupnya untuk dunia kedokteran. Mereka
berkontribusi dalam perkembangan dunia kedokteran dari mempelajari, meneliti
hinga meletakkan pondasi bagi ilmu kedokteran.

Ilmuwan muslim pada era tahun 864-930 Masehi adalah Muhammad bin
Aaariya ar-Razi yang dikenal sebagai Rhazes di dunia barat, merupakan seorang
ilmuwan serba bisa dan salah satu ilmuwan terbesar dalam islam dari Iran. Ar Razi
merupakan ilmuwan muslim yang meneliti mengenai demam, penyakit cacar, alergi
asma serta ilmuwan pertama yang menulis tentang alergi dan imunologi.

Abul Qasim az-Zahrawi atau yang dikenal sebagai Abulcasis di Barat


merupakan pakar kedokteran pada masa Islam Abad Pertengahan mendapa julukan
bapak operasi modern. Az- Zahrawi menerbitkan karya yaitu Al-Tsarif yang berisi
kumpulan praktik kedokteran termasuk di dalamnya mengenai gigi dan kelahiran
anak. Setelah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin oleh Gerardo dan Cremona pada
abad 12, selama 5 abad pertengahan Eropa buku ini menjadi sumber utama dan
menjadi rujukan resmi dalam pengetahuan bidang kedokteran di sekolah kedokteran
Eropa.

Ilmuwan pertama yang dapat mendeskripsikan peredaran darah secara akurat


dalam tubuh manusia adalah seorang ilmuwan muslim bernama Ibnu Al Nafis. Beliau
menggunakan metode observasi, survei dan percobaan dalam studinya. Penemuan Al
Nafis mengenai peredaran darah di paru-paru membuatnya dianggap memberikan
pengaruh besar bagi perkembangan ilmu kedokteran Eropa pada abad XVI. Melalui
penemuannya, para ilmuwan dunia menganggapnya sebagai tokoh pertama dalam
ilmu sirkulasi darah.

Tidak ada yang tidak mengenal Ibnu Sina yang juga dikenal sebagai Avicenna
di dunia Barat. Ia adalah seorang filsuf, ilmuwan dan dokter kelahiran Persia. Ibnu
Sina adalah seorang penulis produktif yang sebagian karyanya adalah mengenai
filosofi dan pengobatan. Ibnu Sina dijuluki bapak pengobatan modern dengan
karyanya yang sangat terkenal yaitu Qanun fi Thib yang merupakan rujukan di bidang
kedokteran selama berabad-abad. Ibnu Sina mendapat gelar Medicorum Principal oleh
Kaum Latin Skolastik, diberi gelar Raja Obat, dan dalam Islam dianggap sebagai
Zenith, puncak tertinggi dalam ilmu kedokteran.

Transplantasi pertama yang tercatat dalam sejarah adalah transplantasi kulit


yang ditemukan dalam manuskrip Mesir Kuno yakni pada tahun 2000 SM. Namun,
tidak banyak yang dijelaskan dalam catatan tersebut. Pada tahun 1597, barulah
seorang ahli bedah Italia bernama Gaspare Tagliacozzi memberikan gambaran yang
lebih jelas mengenai usahanya melakukan transplantasi kulit orang lain kepada pasien
yang kehilangan hidungnya. Ia menilai usahanya kurang berhasil karena adanya
pengaruh suatu kekuatan yang berasal dari dalam tubuh manusia itu sendiri.

Tahun 1863, seorang ahli bedah Perancis, Paul Bert baru dapat menjelaskan
bahwa transplantasi alat dari seorang kepada orang lain yang disebut allograft selalu
mendapat penolakan secara normal dari resipien. Sedangkan pemindahan alat dari
tubuh manusia yang sama, yang disebut sebagai autograft tidak mengalami penolakan
seperti yang terjadi pada allograft.11 Jeff E. Zhorne menyatakan bahwa sejak awal
abad ke 8 SM, para ahli bedah Hindu telah melakukan transplantasi kulit untuk
mengganti hidung yang hilang karena penyakit sifilis, perang fisik maupun hukuman
atas suatu kejahatan.

Transplantasi pertama yang berhasil di Indonesia dilakukan tahun 1977,


diprakarsai oleh Prof. Dr. R. P. Sidabutar, SpPD-KGH yakni transplantasi ginjal yang
merupakan pilihan utama pengobatan pasien penyakit ginjal kronik tahap akhir.
Kesulitan mencari donor membuat penderita gagal ginjal harus mencari ginjal sampai
ke China. Beberapa tahun belakangan ini, banyak pasien dari Indonesia yang pergi
berobat ke China untuk melakukan transplantasi organ tubuh seperti ginjal. Kabarnya,
di China, organ tubuh manusia dijual secara terbuka. Meskipun tidak murah,
ketersediaan pasokan organ membuat mereka tertarik menjalani transplantasi.

Perkembangan teknologi yang cukup pesat dan cepat mendunia membuat


Indonesia juga mampu melakukan transplantasi organ tanpa perlu pergi jauh ke
China. Sebab, atas kerjasama antara Rumah Sakit Puri Indah, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dengan The First
Affiliated Hospital of Zhejiang University China, Rumah Sakit Puri Indah Group
yang telah mendedikasikan layanannya sebagai Pusat Layanan Hepato-Pankreo-Bilier
dan Transplantasi Hati telah berhasil menyelenggarakan operasi transplantasi hati
pada tanggal 14 dan 17 Desember 2010 yang dipimpin oleh Prof. Zheng Shu-sen,
MD, PhD, FACS dari The First Affiliated Hospital Zhejiang University.

B. Pengertian Transplantasi Organ

Transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ manusia tertentu


dari suatu tempat lain pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain dengan persyaratan
dan kondisi tertentu. Transplantasi berasal dari Bahasa Inggris, yang berarti to take up
plant to another atau mengambil dan menempelkan sesuatu pada tempat lain, dalam
hal ini tumbuhan. Kemudian dalam Bahasa

Indonesia transplantasi diterjemahkan dengan istilah pencangkokan. Dalam


kamus besar Bahasa Indonesia, pengertian transplantasi organ adalah penggantian
organ tubuh atau anggota badan yang rusak atau tidak normal supaya dapat berfungsi
secara normal atau sesuai dengan fungsinya masing-masing.

Berdasarkan Pasal 1 butir 5 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan yang selanjutnya disebut dengan UU Kesehatan, definisi yuridis
transplantasi organ adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ dan
atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri
dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ atau jaringan tubuh yang tidak
berfungsi dengan baik.

Menurut World Health Oganization (WHO), Transplantasi adalah transfer


(pengikatan) sel-sel manusia, jaringan atau organ dari donor ke penerima dengan
tujuan memulihkan fungsi-fungsi dalam tubuh.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa,
transplantasi adalah suatu proses pemindahan atau pencangkokan jaringan atau organ
tubuh dari suatu atau seorang individu ke tempat yang lain pada individu itu atau ke
tubuh individu lain untuk menggantikan jaringan atau organ tubuh yang tidak
berfungsi dengan baik. Dalam dunia kedokteran jaringan atau organ tubuh yang
dipindah disebut graft atau transplant, pemberi transplant disebut donor dan penerima
transplant disebut kost atau resipien. Terdapat tiga pihak yang terkait dengan
pelaksanaan transplantasi organ tubuh yaitu pendonor, resipien dan dokter yang
menangani operasi transplantasi dari pihak donor ke resipien.

Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis dan
Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia yang
selanjutnya disebut PP 18/1981 menyebutkan bahwa donor adalah orang yang
menyumbangkan alat dan atau jaringan tubuhnya kepada orang lain untuk keperluan
kesehatan. Ketentuan umum Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 tahun 2016
Tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ yang selanjutnya disebut Permenkes
38/2016 mendefinisikan resipien yaitu: orang yang menerima organ tubuh dari
pendonor untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.

Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan No 290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan


Tindakan Kedokteran yang selanjutnya disebut sebagai Permenkes 290/2008
mendefinisikan dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis lulusan
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang
diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan.

C. Dasar Peraturan Transplantasi Organ

1. Hukum Kesehatan

Aturan hukum untuk transplantasi organ tubuh secara tersurat terdapat dalam
No. 23 Tahun 1992 yang sudah diganti dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan yang selanjutnya disebut dengan UU Kesehatan yakni Pasal 64, yang
berbunyi:

Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui


transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan,
bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca.
Indonesia hanya membolehkan tenaga kesehatan yang memiliki kewenangan,
yang melakukan transplantasi atas dasar adanya persetujuan dari donor maupun ahli
warisnya. Pengambilan organ baru dapat dilakukan jika donor telah diberitahu tentang
resiko operasi dan atas dasar pemahaman yang benar tadi donor dan ahli waris atau
keluarganya secara sukarela menyatakan persetujuannya Hal ini dinyatakan pada
Pasal 65 ayat 1 dan 2 UU Kesehatan yang berbunyi,

Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh


tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan
di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu. Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh
dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan pendonor yang bersangkutan dan
mendapat persetujuan pendonor dan/atau ahli waris atau keluarganya.

 Pasal 66 UU Kesehatan yang berbunyi:

Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari hewan, hanya dapat
dilakukan apabila telah terbukti keamanan dan kemanfaatannya.

 Pasal 67 UU Kesehatan yang berbunyi:

Pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta
dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

Selain UU Kesehatan, regulasi mengenai transplantasi organ tubuh manusia


ini juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1981 Tentang Bedah
Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan
Tubuh Manusia, yang selanjutnya disebut dengan PP 18/1981. Pelaksanaan
transplantasi dilakukan oleh dokter yang bekerja di rumah sakit yang ditunjuk oleh
Menkes, hal ini tertuang dalam Pasal 11 PP 18/1981, yaitu:

 Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia hanya boleh dilakukan oleh
dokter yang bekerja pada sebuah rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri
Kesehatan.
 Transplantasi alat atau jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh dokter
yang merawat atau mengobati donor yang bersangkutan.

2. Hukum Islam
Pada dasarnya, ada beberapa

persoalan yang terjadi dalam transplantasi, sehingga memerlukan dasar


hukumnya, di antaranya:

1. Transplantasi organ tubuh dalam keadaan hidup

Apabila transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih dalam
keadaan hidup sehat, maka hukumnya haram dengan alasan sebagaimana firman
Allah Surat al-Baqarah 195, berbunyi: "Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan
Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik." Ayat tersebut menjelaskan bahwa kita jangan gegabah dan ceroboh dalam
melakukan sesuatu, tetapi harus memperhatikan akibatnya, yang memungkinkan
bisa berakibat fatal bagi diri donor. Meskipun perbuatan itu mempunyai tujuan
kemanusiaan yang baik dan luhur. Umpamanya seseorang menyumbangkan sebuah
ginjalnya, atau sebuah matanya kepada orang lain yang memerlukannya, karena
hubungan keluarga atau karena teman, dan lain-lain. Dalam hal ini, orang yang
menyumbangkan sebuah mata atau ginjalnya kepada orang lain yang buta atau tidak
mempunyai ginjal, ia mungkin akan menghadapi resiko sewaktu-waktu mengalami
tidak berfungsinya mata atau ginjalnya yang tinggal sebuah itu, dari itu dapat di
pahami adanya unsur yang di nilai mendatangkan bahaya dan menjatuhkan diri pada
kebinasaan.

Menurut Zuhdi, ada beberapa dalil yang dinilai sebagai dasar pengharaman
transplantasi organ tubuh ketika pendonor dalam keadaan hidup.11 Misalnya, Q.S.
al-Baqarah: 195 dan hadits Rasulullah Saw:

‫رارض لوا ررض ل‬

Tidak diperbolehkan adanya bahaya pada diri sendiri dan tidak boleh
membayakan diri orang lain. (HR. Ibnū Majah).

Para ulama Uṣul, menafsirkan kaidah tersebut dengan pengertian “tidak


boleh menghilangkan ḍarar dengan menimbulkan ḍarar yang sama atau yang lebih
besar daripadanya. Karena itu, tidak boleh mendermakan organ tubuh bagian luar,
seperti mata, tangan, dan kaki. Karena yang demikian itu adalah menghilangkan
dharar orang lain dengan menimbulkan dharar pada diri sendiri yang lebih besar,
sebab dengan begitu dia mengabaikan kegunaan organ itu bagi dirinya dan
menjadikan buruk rupanya. Begitu pula halnya organ tubuh bagian dalam yang
berpasangan tetapi salah satu dari pasangan itu tidak berfungsi atau sakit, maka
organ ini dianggap seperti satu organ. Hal itu merupakan contoh bagi yang dharar-
nya menimpa salah seorang yang mempunyai hak tetap terhadap penderma (donor),
seperti hak istri, anak, suami, atau orang yang berpiutang (mengutangkan sesuatu
kepadanya). Sedangkan dilihat dari kaidah hukumnya terhadap pendonor yang masih
hidup, yaitu:

‫حلصامل بلج ىلع مدقم دسافمل ءرد‬

Menolak kerusakan lebih didahulukan dari pada meraih kemaslahatan”

‫ررضلبا لزاي ل ررضل‬

Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lainnya.”

Kaidah di atas menegaskan bahwa dalam Islam tidak dibenarkan


penanggulangan suatu bahaya dengan menimbulkan bahaya yang lain. Sedangkan
orang yang mendonorkan organ tubuhnya dalam keadaan hidup sehat dalam rangka
membantu dan menyelamatkan orang lain adalah dinilai upaya menghilangkan
bahaya dengan konsekuensi timbulnya bahaya yang lain. Seseorang harus lebih
mengutamakan menjaga dirinya dari kebinasaan, daripada menolong orang lain
dengan cara mengorbankan diri sendiri dan berakibat fatal, akhirnya ia tidak mampu
melaksanakan tugas dan kewajibannya, terutama tugas kewajibannya dalam
melaksanakan ibadah. Transplantasi seseorang harus lebih mengutamakan
memelihara dirinya dari kebinasaan dari pada menolong orang lain dengan cara
mengorbankan diri sendiri, akhirnya ia tidak dapat melaksanakan tugasnya dan
kewajibannya terutama tugas kewajibannya dalam melaksanakan ibadah.

Orang yang mendonorkan organ tubuhnya pada waktu ia masih hidup sehat
kepada orang lain, ia akan menghadapi resiko, suatu waktu akan mengalami
ketidakwajaran, karena mustahil Allah menciptakan mata atau ginjal secara
berpasangan kalau tidak ada hikmah dan manfaat bagi seorang manusia. Maka bila
ginjal si donor tidak berfungsi lagi, maka ia sulit untuk ditolong kembali. Maka sama
halnya, menghilangkan penyakit dari resipien dengan cara membuat penyakit baru
bagi si donor. Sedangkan masalah pencangkokan ginjal, apabila yang bersumber dari
manusia baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, disepakati oleh
kebanyakan ulama hukum Islam tentang kebolehannya bila di cangkokan kepada
pasien yang membutuhkannya, karena dianggap sangat dibutuhkan. Simposium
Nasional II tentang “transplantasi organ”, telah ditandatangani sebuah persetujuan
antara NU, PP Muhammadiyah dan MUI tentang kebolehan transplantasi organ
dalam keadaan darurat dengan tujuan menyelamatkan nyawa orang lain. Ulama lain
seperti Quraisy Shihab, juga membolehkan. Menurut beliau maṣlaḥat orang yang
hidup lebih didahulukan. Selain itu, K H. ‘Alī Yafie, juga menguatkan bahwa ada
kaedah ushul fiqh yang dapat dijadikan penguat pembolehan transplantasi yaitu
“hurmatul hayyi a’dhamu min hurmatil mayyiti” (kehormatan orang hidup lebih besar
keharusan pemeliharaannya daripada yang mati.12

Sementara dilihat dari pandangan ulama mengenai hal ini, di antaranya:


Qardhawi, membolehkan transplantasi organ hidup. Beliau berpendapat bahwa
walaupun tubuh ini merupakan titipan Allah, namun manusia diberi wewenang
untuk mempergunakan dan memanfaatkannya, sebagaimana boleh mendermakan
harta.13 Pada hakikatnya harta adalah milik Allah, tapi manusia diberi wewenang
untuk memiliki dan membelanjakannya. Sebagaimana firman Allah surat an-Nūr 33:
Dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya
kepadamu.

Sementara Zallum, berpendapat bahwa syara’ membolehkan seseorang


mendonorkan sebagian organ tubuhnya ketika ia hidup, dengan syarat suka rela atau
tidak dipaksa oleh siapapun. Organ yang didonorkan bukanlah organ vital, seperti
jantung dan hati.”14 Hal ini karena penyumbangan tersebut dapat mengakibatkan
kematian pendonor, padahal

Allah Swt melarang untuk membunuhdirinya sendiri. Sementara Mujtana,


mengatakan bahwa hukum transplantasiorgan tubuh, sebagai berikut: (1) Apabila
transplantasi dilakukan dengan tidak adahajat syar’i, yakni untuk pengobatan, maka
hukumnya haram. Sebab ada unsur“taghoyyurul khilqoh” (perubahan ciptaan) dan
dikhawatirkan mencerminkan sikap tidak rela menerima taqdir Illahi; (2) Apabila ada
hajat syar’iyyah, umpamanya transplantasi organ tubuh dengan tujuan untuk
memulihkan penyakit, yang termasuk masalah hajiyah (primer), maka hukumnya
boleh dengan urutan syarat-syarat sebagai berikut: (a) Diambilkan dari hewan, selain
manusia. (b). Diambil dari dirinya sendiri, dengan ketentuan tidak membahayakan.
(c). Diambilkan dari manusia yang sudah mati yang martabatnya lebih rendah,
kemudian yang sederajat; (3) Apabila transplantasi organ tubuh dengan tujuan
menghindari kematian, untuk menyelamatkan nyawa seseorang, maka hal ini adalah
termasuk unsur dhoruriyat, seperti seseorang yang menderita penyakit jantung atau
ginjal yang sudah mencapai stadium gawat, maka ia dapat mati sewaktu-waktu.
Karenanya boleh dilakukan transplantasi atas dasar keadaan darurat.15

Dalam kaitan ini, ulama yang tidak membolehkan transplantasi donor


yang hidup, yaitu: transplantasi donor hidup, kebanyakan ahli fiqh
berpendapat bahwa hukumnya haram.16 Dengan alasan bahwa Allah
melarang kita untuk menjerumuskan diri kita dalam kebinasaan. Muḥammad
Syafi’ī berpendapat bahwa transplantasi organ manusia tidak diperbolehkan
berdasarkan tiga prinsip: (1) Kesucian hidup atau tubuh manusia; (2) Tubuh
manusia adalah amanah Pada dasarnya organ-organ tubuh manusia bukan
miliknya, melainkan amanah yang dititipkan kepadanya, sehingga manusia
tidak memiliki hak untuk mendonorkan satu bagian pun dari tubuhnya. Praktek
tersebut dapat disamakan dengan memperlakukan tubuh manusia sebagai
benda material.17

2. Transplantasi donor dalam keadaan koma Melakukan transplantasi organ


tubuh
Donor dalam keadaan koma hukumnya tetap haram walaupun menurut
dokter bahwa si donor itu akan segera meninggal, karena hal itu dapat mempercepat
kematiannya dan mendahului kehendak Tuhan. Hal tersebut dapat dikatakan
euthanasia atau mempercepat kematian. Tidak etis melakukan transplantasi dalam
sekarat. Orang yang sehat, seharusnya berusaha untuk menyembuhkan orang yang
sedang koma itu, meskipun menurut dokter, bahwa orang yang koma tersebut sudah
tidak ada harapan lagi untuk sembuh. Sebab ada juga orang yang sembuh kembali
walaupun itu hanya sebagian kecil, padahal menurut medis, pasien tersebut sudah
tidak ada harapan untuk hidup. Oleh sebab itu, mengambil organ tubuh donor dalam
keadaan koma tidak boleh menurut Islam.

3. Transplantasi donor yang telah meninggal


Jumhur ulama Fiqh yang terdiri dari sebagian ulama Maḍhab Ḥanafī, Malikī,
Syafi’ī dan Ḥanbali, berpendapat bahwa memanfaatkan organ tubuh manusia
sebagai pengobatan dibolehkan dalam keadaan darurat. Transplantasi dapat
dilakukan dengan syarat si pendonor telah mewariskan sebelum ia meninggal atau
dari ahli warisnya (jika sudah wafat). Menurut jumhur ulama kebolehan transplantasi
donor yang telah meninggal alasannya bahwa transplantasi merupakan salah satu
jenis pengobatan, sedangkan pengobatan merupakan hal yang disuruh dan
disyariatkan dalam Islam terdapat dua hal yang muḍarat dalam masalah ini yaitu
antar memotong bagian tubuh yang suci dan dijaga dan antara menyelamatkan
kehidupan yang membutuhkan kepada organ tubuh mayat tersebut. Namun
kemudharatan yang terbesar adalah kemudharatan untuk menyelamatkan kehidupan
manusia.
Mengambil organ tubuh orang yangsudah meninggal untuk
menyelamatkannyawa orang lain secara yuridis dan medis,hukumnya mubah, yaitu
dibolehkan menurutpandangan Islam, dengan syarat bahwapasien dalam keadaan
darurat yang mengancam jiwanya bila tidak dilakukantransplantasi itu, sedangkan ia
telah berobat secara optimal, tetapi tidak berhasil. Hal iniberdasarkan qaidah
fiqhiyyah: “Darurat akan membolehkan yang diharamkan. Selanjutnya, dalam qaidah
fiqhiyah yang lain disebutkan: “Bahaya harus dihilangkan.”20 Disamping itu, harus
ada wasiat dari donor kepada ahli warisnya untuk menyumbangkan organ tubuhnya
bila ia meninggal, atau ada izin dari ahli warisnya. Hal ini sesuai dengan fatwa MUI
tanggal 29 Juni 1987, bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik,
maka pengambilan katup jantung orang yang telah meninggal untuk kepentingan
orang yang masih hidup, dapat dibenarkan oleh hukum Islam dengan syarat ada izin
dari keluarga yang bersangkutan. Selanjutnya, masalah transplantasi yang diambil
dari orang yang telah meninggal, maka hal ini secara prinsip syariah
membolehkannya berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an surat Al-Kahfi: 9-12 dan
berdasarkan kaidah fiqih di antaranya: “Suatu hal yang telah yakin tidak dapat
dihilangkan dengan suatu keraguan/tidak yakin: “Dasar pengambilan hukum adalah
tetap berlangsungnya suatu kondisi yang lama sampai ada indikasi pasti
perubahannya.” Berbagai hasil muktamar dan fatwa lembaga-lembaga Islam
internasional (Lembaga Fiqih Islam dari Liga Dunia Islam (Makkah, Januari 1985 M.),
Majelis Ulama Arab Saudi (SK. No.99 tgl. 6/11/1402 H.) dan konferensi OKI (Malaysia,
April 1969 M) membolehkan praktek transplantasi jenis ini di dengan ketentuan
kondisinya darurat dan tidak boleh diperjualbelikan.

Beberapa lembaga fatwa Islam saat ini lebih dominan berpandangan


mendukung bolehnya transplantasi organ tubuh seperti Akademi Fiqh Islam (lembaga
di bawah liga Islam dunia di Arab Saudi), akademi fiqh Islam India, dan Dārul Ifta’
(Lembaga otonom seperti MUI di Mesir Yang diketuai Syaikh dari Universitas al-Azhar.
Namun, tentunya mesti diingat bahwa proses transplantasi harus melewati syarat-
syarat yang telah ditentukan. Demikian juga, fatwa ulama dari negara-negara Islam
seperti Kerajaan Yordania dengan ketentuan harus memenuhi persyaratan; 1). Harus
dengan persetujuan orang tua mayat/ walinya atau wasiat mayat 2). Hanya bila dirasa
benar-benar memerlukan dan darurat. 3). Bila tidak darurat dan keperluannya tidak
urgen atau mendesak, maka harus memberikan imbalan pantas kepada ahli waris
donatur (tanpa transaksi dan kontrak jual beli). Demikian pula negara Kuwait
(menurut SK Dirjen Fatwa Dept. Wakaf dan Urusan Islam no.97 tahun 1405 H.),
Mesir. (SK. Panitia Tetap Fatwa al-Azhar no. 491), dan al-Jazair (SK Panitia Tetap Fatwa
Lembaga Tinggi Islam Aljazair, 20/4/1972 (Risalah Islamiah, 69). Selanjutnya, ada
yang berpendapat transplantasi organ orang yang telah meninggal dunia
diharamkan. Keharaman tersebut didasarkan pada adanya larangan untuk menyakiti
si mayat sebagaimana menyakiti orang yang hidup. Hal ini sebagaimana sabda
Rasulullah Saw bersabda:“Mematahkan tulang orang yang telah mati sama
hukumnya dengan memotong tulangnya ketika ia masih hidup”. Alasan bagi yang
mengharamkan transplantasi donor yang telah meninggal yaitu:

(a) Kesucian tubuh manusia ;setiap bentuk agresi atas tubuh manusia
merupakan hal yang terlarang. Di antara hadits yang terkenal “Mematahkan
tulang mayat seseorang sama berdosanya dan melanggarnya dengan
mematahkan tulang orang tersebut ketika ia masih hidup”

(b) Tubuh manusia adalah amanah; Hidup, diri, dan tubuh manusia pada
dasarnya bukanlah milik manusia tapi merupakan amanah dari Allah yang
harus dijaga, karena itu manusia tidak memiliki hak untuk mendonorkannya
kepada orang lain.

(c) Tubuh manusia tidak boleh diperlakukan sebagai benda material semata;
transplantasi dilakukan dengan Beberapa lembaga fatwa Islam saat ini lebih
dominan berpandangan mendukung bolehnya transplantasi organ tubuh seperti
Akademi Fiqh Islam (lembaga di bawah liga Islam dunia di Arab Saudi), akademi fiqh
Islam India, dan Dārul Ifta’ (Lembaga otonom seperti MUI di Mesir Yang diketuai
Syaikh dari Universitas al-Azhar. Namun, tentunya mesti diingat bahwa proses
transplantasi harus melewati syarat-syarat yang telah ditentukan. Demikian juga,
fatwa ulama dari negara-negara Islam seperti Kerajaan Yordania dengan ketentuan
harus memenuhi persyaratan;

1). Harus dengan persetujuan orang tua mayat/ walinya atau wasiat mayat

2). Hanya bila dirasa benar-benar memerlukan dan darurat.

3). Bila tidak darurat dan keperluannya tidak urgen atau mendesak, maka
harus memberikan imbalan pantas kepada ahli waris donatur (tanpa transaksi dan
kontrak jual beli). Demikian pula negara Kuwait (menurut SK Dirjen Fatwa Dept.
Wakaf dan Urusan Islam no.97 tahun 1405 H.), Mesir. (SK. Panitia Tetap Fatwa al-
Azhar no. 491), dan al-Jazair (SK Panitia Tetap Fatwa Lembaga Tinggi Islam Aljazair,
20/4/1972 (Risalah Islamiah, 69). Selanjutnya, ada yang berpendapat transplantasi
organ orang yang telah meninggal dunia diharamkan. Keharaman tersebut
didasarkan pada adanya larangan untuk menyakiti si mayat sebagaimana menyakiti
orang yang hidup. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw bersabda:“Mematahkan
tulang orang yang telah mati sama hukumnya dengan memotong tulangnya ketika ia
masih hidup”. Alasan bagi yang mengharamkan transplantasi donor yang telah
meninggal yaitu:

(a) Kesucian tubuh manusia ;setiap bentuk agresi atas tubuh manusia
merupakan hal yang terlarang. Di antara hadits yang terkenal “Mematahkan
tulang mayat seseorang sama berdosanya dan melanggarnya dengan
mematahkan tulang orang tersebut ketika ia masih hidup”

(b) Tubuh manusia adalah amanah; Hidup, diri, dan tubuh manusia pada
dasarnya bukanlah milik manusia tapi merupakan amanah dari Allah yang
harus dijaga, karena itu manusia tidak memiliki hak untuk mendonorkannya
kepada orang lain.

(c) Tubuh manusia tidak boleh diperlakukan sebagai benda material semata;
transplantasi dilakukan dengan memotong organ tubuh seseorang untuk
diletakkan (dicangkokkan) pada tubuh orang lain, padahal tubuh manusia
bukanlah benda material semata yang dapat dipotong dan dipindah-
pindahkan. Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Amar bin Hazm al- Ansharī,
berkata: ”Rasulullah ku sedang bersandar pada sebuah kuburan.” Maka beliau
lalu bersabda: “Janganlah kamu menyakiti penghuni kubur itu.” Hadits ini
secara jelas menunjukkan bahwa mayat mempunyai kehormatan
sebagaimana orang hidup. Begitu pula melanggar kehormatan dan
menganiaya mayat adalah sama dengan melanggar kehormatan dan
menganiaya orang hidup.

4. Memberikan donor kepada orang non-muslim

Mendonorkan organ tubuh itu seperti menyedekahkan harta. Hal ini boleh
dilakukan terhadap orang muslim dan non muslim, tetapi tidak boleh diberikan
kepada orang kafir harbi yang memerangi kaum muslim. Misalnya, orang kafir yang
memerangi kaum muslim lewat perang pikiran dan yang berusaha merusak Islam.
Demikian pula tidak diperbolehkan mendonorkan organ tubuh kepada orang murtad
yang keluar dari Islam secara terang-terangan. Karena menurut pandangan Islam,
orang murtad berarti telah mengkhianati agama dan umatnya sehingga ia berhak
dihukum bunuh.

Kebolehan bagi seorang muslim untuk menerima organ tubuh non muslim
didasarkan pada dua syarat berikut:

(1) organ yang dibutuhkan tidak bisa diperoleh dari tubuh seorang muslim dan

(2) nyawa muslim itu bisa melayang jika transplantasi tidak segera dilakukan.23

Sedangkan Qardawī, menjelaskan bahwa mendonor darah kepada orang non muslim
yang tidak memusuhi Islam termasuk sedekah, seperti halnya tidak boleh di berikan
kepada orang Murtad, maka menurut beliau pendonoran kepada non muslim itu di
perbolehkan dengan ketentuan tersebut, tetapi jika terjadi dua orang yang sama-
sama membutuhkan pendonoran yang satu muslim dan yang lain non muslim, maka
orang muslim haruslah yang di utamakan. Jika resipien adalah orang Muslim maka
masih tetap diperbolehkan karena organ tubuh tidaklah bisa di kategorikan muslim
atau non muslim, bahkan menurutnya semua organ tubuh manusia dan makhluk
hidup seluruhnya itu bertasbih dan tunduk kepada Allah Swt tanpa terkecuali organ-
organ tubuh orang kafir.

Apabila ada dua orang yang membutuhkan bantuan donor, yang satu muslim
dan satunya lagi non muslim, maka yang muslim itulah yang harus diutamakan.
Untuk lebih jelas lihat QS: At-Taubah: 71. Bahkan seorang muslim yang saleh dan
komitmen terhadap agamanya lebih utama untuk diberi donor daripada orang fasik
yang mengabaikan kewajiban-kewajibannya kepada Allah. Karena dengan hidup dan
sehatnya muslim yang saleh itu berarti si pemberi donor telah membantunya
melakukan ketaatan kepada Allah dan memberikan manfaat kepada sesama
makhluk-Nya. Hal ini berbeda dengan ahli maksiat yang mempergunakan nikmat-
nikmat Allah hanya untuk bermaksiat kepada-Nya dan menimbulkan mudarat
kepada orang lain.
Adapun mencangkokkan organ tubuh orang non muslim kepada orang
muslim tidak terlarang, karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai
Islam atau kafir, ia hanya merupakan alat bagi manusia yang dipergunakannya sesuai
dengan akidah dan pandangan hidupnya. Apabila suatu organ tubuh dipindahkan
dari orang kafir kepada orang muslim, maka ia menjadi bagian dari wujud si muslim
itu dan menjadi alat baginya untuk menjalankan misi hidupnya, sebagaimana yang
diperintahkan Allah Swt . Hal ini sama dengan orang muslim yang mengambil
senjata orang kafir dan mempergunakannya untuk berperang.

5. Hukum menjual dan mewasiatkan organ tubuh


Mengenai menjual organ tubuh manusia, ulama sepakat bahwa hukumnya
haram berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut: 1) Seseorang tidak boleh
menjual benda-benda yang bukan miliknya; 2) Jika seseorang menjual manusia
merdeka, maka selamanya si pembeli tidak memiliki hak apapun atas diri manusia
itu, karena sejak awal hukum transaksi itu sendiri adalah haram dan 3) Penjualan
organ manusia bisa mendatangkan penyimpangan, dalam arti bahwa hal tersebut
dapat mengakibatkan diperdagangkannya organ-organ tubuh orang miskin dipasaran
layaknya komoditi lain.

Pada prinsipnya, jual beli organ tubuh dengan alasan apapun tidak
dibenarkan dalam Islam, karena organ tubuh adalah pemberian Allah yang sangat
berharga yang jika dijual kepada orang lain, maka sulit untuk diperoleh lagi. Semua
organ yang ada pada manusia, tidak ada seorang pun yang mampu menciptakan
serupa dengannya. Oleh karena itu, organ tersebut harus dipelihara dan dijaga agar
tetap utuh berfungsi sebagaimana biasanya. Meskipun ada sebagian ulama yang
membolehkan transplantasi bukan berarti mereka juga membolehkan memperjual -
belikan organ tubuh, karena jual beli itu adalah tukar menukar harta secara sukarela,
sedangkan tubuh manusia itu bukan harta yang dapat dipertukarkan dan ditawar-
menawarkan sehingga organ tubuh manusia menjadi objek perdagangan dan jual
beli. UU No.23/1992 tentang Kesehatan yang mengatur pelarangan komersialisasi
organ tubuh manusia. Dalam Pasal 33 Ayat (2) disebutkan, transplantasi organ tubuh
serta transfusi darah dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk
tujuan komersial. Pelanggaran terhadap pasal tersebut diancam hukuman penjara
maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp. 300 juta.

Selanjutnya, mengenai mewasiatkan organ tubuh setelah meninggal dunia,


hal ini diperbolehkan karena bermanfaat untuk orang lain serta tidak menimbulkan
mudarat pada dirinya sendiri, maka boleh berwasiat untuk mendonorkan sebagian
organ tubuhnya. Sebab yang demikian itu akan memberikan manfaat yang utuh
kepada orang lain tanpa menimbulkan mudarat (kemelaratan/ kesengsaraan) sedikit
pun kepada dirinya. Apabila ia berwasiat untuk mendermakan organ tubuhnya itu
dengan niat mendekatkan diri dan mencari keridhaan Allah, maka ia akan
mendapatkan pahala sesuai dengan niat dan amalnya. Dalam hal ini tidak ada satu
pun dalil syara’ yang mengharamkannya, sedangkan hukum asal segala sesuatu
adalah mubah, kecuali jika ada dalil yang sahih dan sharih (jelas) yang melarangnya.

Ahli waris yang mendonorkan sebagian organ tubuh mayit yang dibutuhkan
oleh orang-orang sakit untuk mengobati mereka, seperti ginjal, jantung, dan
sebagainya, dengan niat sebagai sedekah dari si mayat, merupakan suatu sedekah
yang berkesinambungan pahalanya selama si sakit masih memanfaatkan organ yang
didonorkan itu. Tetapi, para ahli waris tidak boleh mendonorkan organ tubuh si
mayat jika si mayat sewaktu hidupnya berpesan agar organ tubuhnya tidak
didonorkan. Mengambil sebagian organ tubuh mayat diperbolehkan dalam batas-
batas darurat atau suatu kebutuhan yang tergolong dalam kategori darurat,
berdasarkan dugaan kuat bahwa si mayat tidak mempunyai wali. Apabila dia
mempunyai wali, maka wajib meminta izin kepadanya. Disamping itu, juga tidak
didapati indikasi bahwa sewaktu hidupnya dulu si mayat berwasiat agar organ
tubuhnya tidak didonorkan.

Donor darah merupakan sedekah untuk menolong orang yang terluka. Dalam
kaidah syar’iyah ditetapkan bahwa mudharat itu harus dihilangkan sebisa mungkin.
Karena itulah kita disyariatkan untuk menolong orang yang dalam keadaan
tertekan/terpaksa, menolong orang yang terluka, memberi makan orang yang
kelaparan, melepaskan tawanan, mengobati orang yang sakit, dan menyelamatkan
orang yang menghadapi bahaya, baik mengenai jiwanya maupun lainnya. Maka tidak
diperkenankan seorang muslim yang melihat suatu dharar (bencana, bahaya) yang
menimpa seseorang atau sekelompok orang, tetapi dia tidak berusaha
menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu menghilangkannya, atau tidak
berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya.

Berusaha menghilangkan penderitaan seorang muslim yang menderita


gagal ginjal misalnya, dengan mendonorkan salah satu ginjalnya yang sehat, maka
tindakan demikian diperkenankan syara’, bahkan terpuji dan berpahala bagi orang
yang melakukannya. Karena dengan demikian berarti dia menyayangi orang yang di
bumi, sehingga dia berhak mendapatkan kasih sayang dari yang Allah. Islam tidak
membatasi sedekah pada harta semata-mata, bahkan Islam menganggap semua
kebaikan sebagai sedekah. Maka mendermakan sebagian organ tubuh termasuk
kebaikan (sedekah). Bahkan tidak diragukan lagi, hal ini termasuk jenis sedekah
yang paling tinggi dan paling utama, karena tubuh (anggota tubuh) itu lebih utama
daripada harta, sedangkan seseorang mungkin saja menggunakan seluruh harta
kekayaannya untuk menyelamatkan (mengobati) sebagian anggota tubuhnya.
Karena itu, mendermakan sebagian organ tubuh karena Allah Ta’ala merupakan
qurbah (pendekatan diri kepada Allah) yang paling utama dan sedekah yang paling
mulia.
Hampir tidak ada satupun bahasan dalam teks fikih klasik yang meninggalkan
tulisan yang membahas langsung mengenai hukum mendonorkan organ tubuh
manusia untuk tujuan transplantasi. Namun, hukum perlakuan terhadap jasad manusia
disebutkan dalam bab jual beli. Begitupun ketika membahas tentang pengobatan,
keadaan terpaksa, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat keadaan terpaksa.
Riwayat dari Abu Daud dari Abu Darda' bahwa Nabi SAW bersabda:

ِ‫ﻻوَ ا ﯿﺎوَوَاﺎﺎﺪﺎﺘﻓ ءًاﺎﺎوَدَ ءًﺎادَ ﱢُﻞِﻜﻟ ﺎﺎﻞﺎﻌﺎﺟَوَ ﺎءًاﺎوَﱠﺪﻟا‬


‫ﻣﺎ ﺎﺎﺮِﺤبَ ا ﯿﺎوَوَاﺎﺎﺪﺗَ ﺎ ﺎ‬

"Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat, serta menjadikan bagi


setiap penyakit itu obatnya, Dari itu berobatlah kamu, tetapi jangan berobat dengan
yang haram!" (H.R Abu Dawud No. 3372)

Hadits tersebut mengatakan bahwa berobat memang dianjurkan, namun tidak


dengan yang haram. Meskipun ilmu dan teknologi kedokteran semakin maju, masih
banyak penyakit yang hingga saat ini belum ditemukan obatnya, seperti penyakit
kanker maupun kelainan genetik. Penelitian dalam bidang kedokteran yang memakan
waktu berabad-abad lamanya, membuahkan transplantasi atau pencangkokan organ
tubuh sebagai alternatif terakhir untuk menyembuhkan suatu penyakit.

Tujuan dari transplantasi tak lain adalah sebagai pengobatan dari penyakit
karena Islam sendiri memerintahkan manusia agar setiap penyakit diobati, karena
membiarkan penyakit bersarang dalam tubuh dapat mengakibatkan kematian,
sedangkan membiarkan diri terjerumus dalam kematian (tanpa usaha) adalah
perbuatan terlarang, sebagai mana firman Allah dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa
(4) ayat 29, yang artinya:

‫ل إ تلل لأن ت ل ك‬ ‫ل‬ ‫م‬ ‫ل‬


‫م وللل‬
‫منك ك م‬
‫ض م‬
‫عن ت للرا ض‬
‫جلرة ة ل‬
‫ن ت ت جل‬
‫كو ل‬ ‫كم ب تٱل مب جلط ت ت‬
‫كم ب لي من ل ك‬ ‫موجلل ل ك‬‫مكنواا لل ت لأك كل كوواا أ م‬
‫ن لءا ل‬‫ذي ل‬‫ي ولجأي يلها ٱل ل ت‬
‫ما‬
‫حي ة‬ ‫م لر ت‬ ‫ن ب تك ك م‬ ‫ه ل‬
‫كا ل‬ ‫ن ٱلل ل ل‬
‫م إت ل‬‫سك ك م‬
‫ف ل‬‫قت كل كوواا لأن ك‬
‫تل م‬

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah adalah Maha


Penyayang kepadamu.”

D. Tujuan Transplantasi Organ


Transplantasi sebagai suatu usaha untuk melepaskan manusia dari
keabnormalan akibat dari rusaknya fungsi organ, jaringan atau sel, pada dasarnya
memiliki tujuan:

1. Kesembuhan dari suatu penyakit, misalnya kebutaan, rusaknya jantung, ginjal,


dan sebagainya.
2. Pemulihan kembali suatu organ, jaringan atau sel yang telah rusak atau
mengalami kelainan tetapi sama sekali tidak terjadi kesakitan biologis,
contohnya bibir sumbing.

Transplantasi organ biasanya dilakukan pada stadium terminal suatu penyakit,


dimana organ yang ada tidak dapat lagi menanggung beban karena fungsinya yang
nyaris hilang karena suatu penyakit.Pasal 33 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan yang selanjutnya disebut sebagai UU No 23/1992 menyatakan
bahwa transplantasi merupakan salah satu pengobatan yang dapat dilakukan untuk
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Secara legal transplantasi hanya
boleh dilakukan untuk tujuan kemanusiaan dan tidak boleh dilakukan untuk tujuan
komersial hal ini tercantum dalam Pasal 33 ayat 2 UU No 23/1992. Penjelasan Pasal
tersebut menyatakan bahwa organ atau jaringan tubuh merupakan anugerah Tuhan
Yang Maha Esa sehingga dilarang untuk dijadikan obyek untuk mencari keuntungan
atau komersial.

E. Klasifikasi Transplantasi Organ

Terdapat dua hal penting yang mendasari transplantasi, yaitu eksplantasi dan
implantasi. Eksplantasi adalah usaha mengeluarkan atau mengambil jaringan atau
organ dari donor yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal. Sedangkan
implantasi adalah usaha penempatan organ atau jaringan atau jaringan yang telah yang
telah diambil dari tubuh donor untuk ditempatkan pada tubuh pendonor itu sendiri
atau ditempatkan pada tubuh resipient lain.

Berdasarkan jenisnya, transplantasi sendiri dibedakan menjadi dua, antara lain:

a. Transplantasi jaringan, seperti pencangkokan kornea mata dan menambal bibir


sumbing. Transplantasi jaringan ini jika tidak dilakukan tidak membahayakan
kelangsungan hidup penderita, tujuannya hanyalah menyempurnakan kekurangan
yang ada.
b. Transplantasi organ, seperti jantung, hati, dan ginjal. Transplantasi ini dilakukan
untuk melangsungkan hidup penderita, karena jika tidak dilakukan transplantasi
maka akan membahayakan kelangsungan hidup penderita.

Dalam dunia kedokteran, para ahli medis menetapkan tiga tipe donor organ tubuh,
yaitu:

1. Donor dalam keadaan sehat

Transplantasi jenis ini adalah pemindahan jaringan atau organ tubuh seseorang
yang hidup kepada orang lain atau ke bagian lain tubuhnya sendiri tanpa mengancam
kesehatan, contohnya adalah mendonorkan salah satu ginjal. Untuk melakukan
transplantasi organ tubuh dari orang yang hidup yang sehat diperlukan seleksi dan
penelitian cermat serta menyeluruh (general check up) baik terhadap donor maupun
tingkat kegagalan transplantasi karena penolakan tubuh resipien terhadap organ yang
di transplantasi, sekaligus untuk mencegah terjadinya resiko bagi donor. Akibat dari
kegagalan ini, penelitian para medis menyatakan bahwa satu dari seribu donor dalam
transplantasi organ tubuh meninggal dunia.

2. Donor dalam keadaan koma

Donor dalam keadaan koma atau diduga kuat akan meninggal dunia. Untuk
pengambilan organ tubuh orang yang dalam keadaan yang seperti ini dilakukan
dengan bantuan alat kontrol yang ketat dan alat penunjang kehidupan, seperti alat
bantuan pernapasan khusus. Kemudian, alat penunjang kehidupan tersebut dicabut
setelah proses pengambilan organ tubuhnya selesai.

3. Donor dalam keadaan mati

Transplantasi organ tubuh dari donor yang telah mati adalah tipe yang ideal
menurut para ahli medis, karena dokter hanya menunggu kapan donor dianggap mati
secara medis dan yuridis. Dalam hal ini, pengertian mati dalam syariat Islam maupun
dalam dunia kedokteran perlu dipertegas dengan tujuan agar organ tubuh donor dapat
dimanfaatkan. Penentuan kondisi mati ini diperlukan agar dokter yang akan
melaksanakan transplantasi organ tubuh dari donor kepada resipien dapat bekerja
dengan tenang dan tidak dituntut sebagai pelaku pembunuhan oleh keluarga donor.

4. Transplatasi berdasarkan hukum memberikan donor kepada orang non-muslim :


Mendonorkan organ tubuh itu seperti menyedekahkan harta. Hal ini boleh
dilakukan terhadap orang muslim dan non muslim, tetapi tidak boleh diberikan
kepada orang kafir harbi yang memerangi kaum muslim. Misalnya, orang kafir yang
memerangi kaum muslim lewat perang pikiran dan yang berusaha merusak Islam.
Demikian pula tidak diperbolehkan mendonorkan organ tubuh kepada orang murtad
yang keluar dari Islam secara terang-terangan. Karena menurut pandangan Islam,
orang murtad berarti telah mengkhianati agama dan umatnya sehingga ia berhak
dihukum bunuh.

Kebolehan bagi seorang muslim untuk menerima organ tubuh non muslim
didasarkan pada dua syarat berikut: (1) organ yang dibutuhkan tidak bisa diperoleh
dari tubuh seorang muslim dan (2) nyawa muslim itu bisa melayang jika transplantasi
tidak segera dilakukan. Sedangkan Qardawī, menjelaskan bahwa mendonor darah
kepada orang non muslim yang tidak memusuhi Islam termasuk sedekah, seperti
halnya tidak boleh di berikan kepada orang Murtad, maka menurut beliau pendonoran
kepada non muslim itu di perbolehkan dengan ketentuan tersebut, tetapi jika terjadi
dua orang yang sama-sama membutuhkan pendonoran yang satu muslim dan yang
lain non muslim, maka orang muslim haruslah yang di utamakan. Jika resipien adalah
orang Muslim maka masih tetap diperbolehkan karena organ tubuh tidaklah bisa di
kategorikan muslim atau non muslim, bahkan menurutnya semua organ tubuh
manusia dan makhluk hidup seluruhnya itu bertasbih dan tunduk kepada Allah Swt
tanpa terkecuali organ-organ tubuh orang kafir.

Apabila ada dua orang yang membutuhkan bantuan donor, yang satu muslim
dan satunya lagi non muslim, maka yang muslim itulah yang harus diutamakan.
Untuk lebih jelas lihat QS: At-Taubah: 71. Bahkan seorang muslim yang saleh dan
komitmen terhadap agamanya lebih utama untuk diberi donor daripada orang fasik
yang mengabaikan kewajiban-kewajibannya kepada Allah. Karena dengan hidup dan
sehatnya muslim yang saleh itu berarti si pemberi donor telah membantunya
melakukan ketaatan kepada Allah dan memberikan manfaat kepada sesama makhluk-
Nya. Hal ini berbeda dengan ahli maksiat yang mempergunakan nikmat-nikmat Allah
hanya untuk bermaksiat kepada-Nya dan menimbulkan mudarat kepada orang lain.
Adapun mencangkokkan organ tubuh orang non muslim kepada orang muslim
tidak terlarang, karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai Islam atau
kafir, ia hanya merupakan alat bagi manusia yang dipergunakannya sesuai dengan
akidah dan pandangan hidupnya. Apabila suatu organ tubuh dipindahkan dari orang
kafir kepada orang muslim, maka ia menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan
menjadi alat baginya untuk menjalankan misi hidupnya, sebagaimana yang
diperintahkan Allah Swt . Hal ini sama dengan orang muslim yang mengambil senjata
orang kafir dan mempergunakannya untuk berperang.

Berdasarkan hukum menjual dan mewasiatkan organ tubuh :

Mengenai menjual organ tubuh manusia, ulama sepakat bahwa hukumnya


haram berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut: 1) Seseorang tidak boleh
menjual benda-benda yang bukan miliknya; 2) Jika seseorang menjual manusia
merdeka, maka selamanya si pembeli tidak memiliki hak apapun atas diri manusia itu,
karena sejak awal hukum transaksi itu sendiri adalah haram dan 3) Penjualan organ
manusia bisa mendatangkan penyimpangan, dalam arti bahwa hal tersebut dapat
mengakibatkan diperdagangkannya organ-organ tubuh orang miskin dipasaran
layaknya komoditi lain.

Pada prinsipnya, jual beli organ tubuh dengan alasan apapun tidak dibenarkan
dalam Islam, karena organ tubuh adalah pemberian Allah yang sangat berharga yang
jika dijual kepada orang lain, maka sulit untuk diperoleh lagi. Semua organ yang ada
pada manusia, tidak ada seorang pun yang mampu menciptakan serupa dengannya.
Oleh karena itu, organ tersebut harus dipelihara dan dijaga agar tetap utuh berfungsi
sebagaimana biasanya. Meskipun ada sebagian ulama yang membolehkan
transplantasi bukan berarti mereka juga membolehkan memperjual - belikan organ
tubuh, karena jual beli itu adalah tukar menukar harta secara sukarela, sedangkan
tubuh manusia itu bukan harta yang dapat dipertukarkan dan ditawar-menawarkan
sehingga organ tubuh manusia menjadi objek perdagangan dan jual beli. UU
No.23/1992 tentang Kesehatan yang mengatur pelarangan komersialisasi organ tubuh
manusia. Dalam Pasal 33 Ayat (2) disebutkan, transplantasi organ tubuh serta transfusi
darah dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan
komersial. Pelanggaran terhadap pasal tersebut diancam hukuman penjara maksimal
15 tahun dan denda maksimal Rp. 300 juta.26
Selanjutnya, mengenai mewasiatkan organ tubuh setelah meninggal dunia, hal
ini diperbolehkan karena bermanfaat untuk orang lain serta tidak menimbulkan
mudarat pada dirinya sendiri, maka boleh berwasiat untuk mendonorkan sebagian
organ tubuhnya. Sebab yang demikian itu akan memberikan manfaat yang utuh
kepada orang lain tanpa menimbulkan mudarat (kemelaratan/ kesengsaraan) sedikit
pun kepada dirinya. Apabila ia berwasiat untuk mendermakan organ tubuhnya itu
dengan niat mendekatkan diri dan mencari keridhaan Allah, maka ia akan
mendapatkan pahala sesuai dengan niat dan amalnya. Dalam hal ini tidak ada satu pun
dalil syara’ yang mengharamkannya, sedangkan hukum asal segala sesuatu adalah
mubah, kecuali jika ada dalil yang sahih dan sharih (jelas) yang melarangnya.

F. Syarat dan Prosedur Transplantasi Organ

Berdasarkan Deklarasi Geneva tahun 1948, transplantasi organ tubuh manusia


boleh dilakukan apabila:

1. Transplantasi merupakan upaya terakhir dalam pengobatan


2. Tujuan utamanya bersifat klinis dan bukan eksperimental
3. Pelaksanaanya prosedural dan proporsionalitas yang artinya, tidak hanya
mempertimbangkan kualitas kehidupan tetapi mempertimbangkan juga fisibilitas
medis
4. Transplantasi merupakan tindakan medik yang beresiko tinggi, oleh karena itu
tindakan medik transplantasi dilakukan oleh sebuah tim yang minimal terdiri dari
dokter spesialisasi bedah dengan sub spesilisasi.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan :

1. Dalam pandangan Islam, bahwa hukum transplantasi organ tubuh dapat dilakukan
dengan tujuan menghindari kematian, untuk menyelamatkan nyawa seseorang, hal ini
harus sesuai dengan kaidah syari’i.
2. Hukum positif di Indonesia memperbolehkan dilakukannya transplantasi organ tubuh
untuk penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui
transplantasi organ tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan
rekonstruksi, serta penggunaan sel punca yang sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam undang-undang.
3. Dari segi etika kedokteran, transplantasi dibolehkan hanya dalam keadaan darurat.
Seorang dokter harus melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi, untuk
melindungi hidup insani dan bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu
dan keterampilannya.

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin dan H. Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:


PT. Raja Grafindo Persada, 2012.

Chrisdiono, M. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG, 2007.

Christiawan, Rio. Aspek Hukum Kesehatan. Yogyakarta : Universitas


Atmajaya. 2003

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai


Pustaka, 2002.

Guwandi. Rahasia Medis. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran UI, 2005.

Handayani, Trini. Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Perdagangan Organ


Tubuh Manusia, Bandung: Mandar Maju. 2012.

Hasan, Ali. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada masalah-masalah kontemporer


Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo persada. 2000.

Houve, Van. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1986.

Anda mungkin juga menyukai