Anda di halaman 1dari 18

SITUS LIANGAN DALAM BINGKAI SEJARAH MATARĀM

KUNO

POSITIONING OF THE LIANGAN SITE IN THE OLD


MATARĀM HISTORICAL FRAMEWORK
Sugeng Riyanto
Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta
sugeng66riyanto@gmail.com

ABSTRACT
Liangan site – found in 2008 and being researched since 2009 – is an intricate site. At least three
type of areas have been unearthed, viz. settlement, agriculture, and Hinduistic worship, which
buried in 3 hectares area of Mt. Sindoro volcanic material. Archaeological data and carbon
dating have indicated that Liangan site extend between II to XI AD. Thus, the specific historical
context of Liangan based on existing archaeological evidences has become a separate issue.
Through descriptive-analytical methods, supported by historical sources, it is known that the
ancient civilization of Liangan had developed sincepre-Hindu to Ancient Matarām periods. To be
more specific, the Liangan site can be associated with Rakai Layang Dyah Tlodhong, the king of
Matarām who reigned from 918 to 928 AD, both indicating that the ancient Liangan settlements
were of watak, not wanua.

Keyword : Liangan site, Ancient Matarām, pre-Hindu, ancient settlement.

ABSTRAK
Situs Liangan yang ditemukan tahun 2008 dan diteliti sejak tahun 2009 merupakan situs
yang tergolong kompleks. Setidaknya ada tiga area yang sudah diketahui yaitu hunian, pertanian,
dan pemujaan berlatar Hindu. Hingga 2016, situs yang terkubur oleh material vulkanis Gunung
Sindoro ini sudah terbuka sekitar 3 hektare. Berdasarkan identifikasi data arkeologi dan
pengumuran melalui analisis karbon, secara kronologis situs Liangan ditempatkan setidaknya dari
abad II hingga XI Masehi. Hal itu selanjutnya menjadi permasalahan tersendiri, yaitu konteks
kesejarahan situs Liangan secara spesifik berdasarkan bukti-bukti data arkeologis. Berkaitan
dengan hal itu, dengan metode deskriptif-analitis yang didukung sumber-sumber sejarah, diketahui
bahwa Liangan kuno berkembang sejak pra-Hindu hingga masa kejayaan Matarām Kuno. Lebih
spesifik lagi, situs Liangan dapat dikaitkan dengan Rakai Layang Dyah Tlodhong, raja yang
memerintah Matarām dari tahun 918 M sampai 928 M, sekaligus menunjukkan bahwa
permukiman Liangan kuno adalah setingkat watak, bukan wanua.

Kata Kunci : Situs Liangan, Matarām Kuno, pra-Hindu, Permukiman kuno.

Tanggal Masuk : 30 Mei 2017


Tanggal Diterima : 15 Agustus 2017

Situs Liangan Dalam Bingkai Sejarah Matarām Kuna ; 141


(Sugeng Riyanto)
PENDAHULUAN Tang berbagai bentuk; artefak
Situs Liangan di Dusun wadah berbahan tembikar; artefak
Liangan, Desa Purbosari, batu seperti manik-manik, pipisan,
Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten dan gandik; serta artefak berbahan
Temanggung, Jawa Tengah, logam berbagai bentuk, 4) data
merupakan salah satu situs yang organik, dalam hal ini merupakan
tergolong baru, jika dihitung dari data yang tergolong langka, yaitu
ditemukannya data arkeologi pada kain berbentuk lembaran dan
akhir 2008 secara tidak sengaja oleh kantong bertali; bahan pengan dan
para penambang pasir. Penelitian hasil pertanian seperti gabah, pala,
2009 merupakan kegiatan survei dan biji-bijian; fragmen kayu dari
pendahuluan yang kemudian unsur bangunan maupun pohon, 5)
menjadi acuan dalam penyusunan ekofak yang umumnya meliputi
rencana strategis dan dituangkan fragmen tulang fauna (Riyanto,
menjadi program penelitian bertahap 2015: 36-46). Keragaman data itu
yang terbagi menjadi dua jenjang, menunjukkan bahwa Liangan bukan
yaitu jangka menengah I (2010 – sekadar situs pemujaan tetapi
2014) dan jangka menengah II (2015 cenderung sebagai situs
– 2019) (Riyanto, 2014a: 5-6, 23- permukiman yang sedikitnya meliputi
25). Situs Liangan terdiri atas area area hunian, pertanian, dan
atau lokasi-lokasi yang terkait pemujaan.
dengan aktivitas pemujaan, aktivitas Area pemujaan memang
hunian, dan aktvitas pertanian yang paling menonjol, yaitu meliputi
ketiganya integral. Peradaban bangunan-bangunan berbahan batu
Liangan kuno secara kronologis seperti candi, batur-batur, dan
sedikitnya berada pada rentang petirtaan. Area hunian ditandai
abad II-XI, bahkan sebelum dengan ditemukannya sisa
masuknya anasir budaya India, bangunan kayu, sisa peralatan
hingga masa kejayaan Matarām keseharian seperti barang-barang
Kuno. Situs Liangan terkubur oleh berbahan tembikar, keramik, logam,
material vulkanis Gunung Sindoro dan batu. Area pertanian
(Riyanto, 2016: 50) yang letaknya diindikasikan oleh temuan-temuan
hanya sekitar 8 kilometer dari berupa sebaran yoni penanda
puncak. pertanian di bagian atas situs,
Gambaran itu menjadikan peralatan pertanian berbahan logam,
Liangan disebut sebagai situs yang serta sisa padi dan biji-bijian
sangat kompleks, selain areanya (Riyanto, 2016: 51). Aspek temporal
yang juga luas. Kompleksitas situs merupakan salah satu aspek yang
Liangan juga diperlihatkan oleh menarik untuk secara khusus
keragaman data yang hampir dicermati justru karena dalam hal ini
semuanya dalam kondisi hangus berkaitan dengan rentang kronologi
karena terdampak oleh erupsi situs yang panjang dan di sisi lain
Gunung Sindoro. Data tersebut area pemujaan berlatar belakang
meliputi 1) struktur dan bangunan agama Hindu tampak menonjol
terdiri atas candi, batur, pagar, talud, sehingga dengan mudah dikaitkan
dan jalan batu 2) fitur yang terdiri dengan kerajaan Matarām Kuno.
atas lubang-lubang bekas tiang Hasil penentuan umur melalui
bambu maupun kayu serta fitur analisis carbon 14 berdasarkan
lahan pertanian, 3) artefak berbahan sampel arang bambu, kayu, dan ijuk
keramik Tiongkok masa Dinasti yang dicuplik dari beberapa lokasi

142 Berkala Arkeologi Vol. 37 Edisi No.2 /November 2017


menghasilkan umur kalender Masehi makalah ini ditulis dengan tujuan
587, 742, 846, 913, dan 971 untuk mengulas kerangka sejarah
(Riyanto, 2014b: 101; Riyanto, 2015: pra-Matarām hingga masa Matarām
47). Kuno yang berkaitan dengan situs
Unsur-unsur pra-Hindu, Liangan.
selain ditunjukkan oleh hasil dating Berdasarkan permasalahan
juga terlihat dari formasi area dan tujuan, rujukan penting dalam
pemujaannya. Berbeda dengan situs hal ini setidaknya meliputi bahan-
candi semasa yang konsentris, area bahan sekunder berupa
pemujaan di situs Liangan kepustakaan yang secara khusus
bentuknya berundak-teras. Hingga berkaitan kerangka sejarah masa
penelitian tahun 2016 ada empat Matarām Kuno. Rujukan tersebut
teras, dapat disebut juga sebagai dalam hal ini meliputi pustaka
halaman, yang sudah ditemukan. Sejarah Nasional Indonesia
Gejala adanya unsur pra-Hindu yang khususnya Jilid II edisi pemutakhiran
lain adalah dominasi struktur (Poesponegoro dan Nugroho
berbahan boulder dan arca “tipe Notosusanto, 2011) dan Indonesia
polinesia” yang ditemukan tahun dalam Arus Sejarah (Abdullah dan
2009 (Tim Penelitian, 2016: 89). A.B. Lapian, ed., 2012) khususnya
Kerangka kronologis yang panjang Jilid II Kerajaan Hindu-Buddha.
dan berkesinambungan itu diperkuat Kedua pustaka tersebut banyak
oleh hasil penentuan umur terbaru, menghimpun hasil-hasil kajian
tahun 2016, yang menghasilkan primer yang dinarasikan sehingga
angka kalender Masehi 181, 234, gambaran kerangka sejarah yang
921, dan 1061. Dengan demikian ditulis memiliki nilai akademis yang
kisaran abad II – XI Masehi cocok dapat menjadi rujukan dalam
dengan hipotesis dan kerangka penulisan artikel ini, terutama karena
kronologis hasil penelitian ada tokoh bernama Dyah Tlodhong
sebelumnya, yaitu sejak pra-Hindu sebagai Rakai Layang yang
hingga kejayaan Matarām Kuno. kemudian menjadi raja di kerajaan
Namun demikian, fenomena Hindu Matarām pada perempat pertama
sangat jelas terilhat di situs Liangan, abad X M. Tentu saja selain kedua
sehingga sulit untuk dibantah pustaka tersebut, sebagai rujukan
pengaruh peradaban Matarām Kuno juga digunakan berbagai sumber lain
di dalam rentang panjang kronologi yang diperlukan dalam tulisan ini.
situs Liangan.
Boechari menyatakan bahwa
nama Matarām muncul pertama kali METODE
sebagai kerajaan pada tahun 717 M Kerangka dasar metode
pada masa pemerintahan raja kajian dalam artikel ini adalah
Sañjaya yang bergelar Rakai deskriptif-analitis dengan penalaran
Matarām, sampai pemerintahan induktif. Dalam metode ini, antara
Dharmawangsa Tguh meskipun lain dilakukan analisis berbagai data
berkedudukan di Jawa Timur arkeologi dan bahan-bahan pustaka
(Boechari, 2012a: 184). yang berkaitan dengan situs Liangan
Pertanyaannya kemudian adalah, dan kerangka sejarah Matarām
bagaimana gambaran situs Liangan Kuno secara deskriptif. Danim
di dalam perkembangan dan (2002: 41) menggambarkan bahwa
dinamika sejarah masa Matarām penelitian deskriptif dimaksudkan
Kuno ? Berkenaan dengan hal itu, untuk mendeskripsikan suatu situasi

Situs Liangan Dalam Bingkai Sejarah Matarām Kuna ; 143


(Sugeng Riyanto)
tertentu yang bersifat faktual secara dikaitkan dengan data arkeologi.
sistematis dan akurat. Sementara Dengan demikian nantinya dapat
itu, menurut Sumanto (1995: 77) dijelaskan kedudukan situs Liangan
penelitian deskriptif analitis berusaha dalam salah satu fase dalam rentang
untuk mendeskripsi dan kronologis, yaitu fase Matarām Kuno
menginterpretasi mengenai kondisi dan masa sebelumnya hingga
atau hubungan yang ada. persentuhan awal dengan budaya
Dalam arkeologi terdapat tiga India. Hal ini penting artinya karena
dimensi utama dalam kajianya, yaitu Matarām Kuno tidak muncul tiba-tiba
dimensi bentuk, dimensi waktu, dan tetapi ada proses yang mendahului,
dimensi ruang. Dalam dan gejala yang demikian juga
perkembangan disiplin arkeologi, terlihat di situs Liangan, yaitu
dimensi ruang (spasial) muncul ditemukannya unsur-unsur pra-
belakangan dibandingkan dimensi Hindu.
bentuk (formal) maupun dimensi
waktu (temporal) (Mundardjito, 2002:
70). Pandangan kepada ketiga HASIL PENELITIAN
dimensi tersebut sebenarnya terkait
dengan perubahan tekanan Kronologi Situs Liangan
perhatiannya terutama dalam hal Gambaran kronologis situs
keruangan, yaitu dari artifact Liangan pada awalnya didasarkan
oriented, kemudian site oriented, pada hasil penelitian penjajagan
dan akhirnya region oriented. Istilah tahun 2010 yaitu antara abad IX dan
ruang dalam kajian ini mengacu X Masehi. Hal ini didasarkan pada
pada aspek keletakan, lokasi, atau dua data yaitu 1) profil klasik Jawa
tempat ditemukannya benda Tengah pada bagian kaki candi
arkeologi dan situs di permukaan berbentuk pelipit persegi, pelipit
bumi. Dalam wacana arkeologi, hal setengah lingkaran, dan pelipit sisi
ini dikenal sebagai konsep in situ genta, abad VIII-IX M; 2) hasil
(Mundardjito, 2002: 71). analisis pecahan keramik yang
Situs Liangan secara menunjuk pada masa Dinasti Tang,
keruangan berada di antara abad IX M. Pada penelitian 2011
sejumlah situs masa Matarām Kuno, dilakukan analisis karbon 14 atas
bahkan beberapa di antaranya sampel arang bambu dan
dalam wilayah kecamatan yang menghasilkan angka 1060 BP
sama (Riyanto, 2014b: 54-57). (1950) ± 110. Angka tersebut adalah
Sebagai situs yang sudah diteliti umur arang bambu hasil perhitungan
sejak 2009 dan hasilnya sudah laboratorium (radiocarbon age) dan
dipublikasikan dalam bentuk terbitan setelah dikalibrasi menghasilkan
maupun seminar, maka bahan- umur kalender (calendar age) 971
bahan sekunder menjadi rujukan Masehi (Riyanto, 2013: 775;
dalam kajian ini. Berkaitan dengan Riyanto, 2014b: 58-59). Berdasarkan
hal itu data yang sifatnya sekunder hal itu, hingga tahun 2011 situs
dikumpulkan dengan cara menelaah Liangan secara tegas dihubungkan
sumber-sumber pustaka yang dengan kerajaan Matarām Kuno,
berkaitan dengan topik kajian. karena kecocokan pertanggalan.
Demikian pula dengan analisisnya, Tahun 2013 penentuan umur
merujuk kajian proses masuknya situs Liangan kembali dilakukan
anasir budaya India ke Indonesia sebagai bagian dari penelitian,
serta masa Matarām Kuno yang dengan mencuplik sampel organik,

144 Berkala Arkeologi Vol. 37 Edisi No.2 /November 2017


kayu dan bambu, di empat lokasi menggembirakan dan cocok dengan
ekskavasi. Hasil analisis karbon 14 kisaran masa keberadaan situs
oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional Liangan secara umum, namun
menghasilkan angka kalender kronologi SM harus didalami, bukan
Masehi 587, 742, 846, dan 913. hanya dengan pembuktian
Hasil ini selain menegaskan adanya berdasarkan data budaya tetapi juga
fase kronologis situs Liangan yang dengan gambaran dinamika periode-
sejaman dengan kerajaan Matarām periode tersebut beserta benang
Kuno juga mengindikasikan durasi merahnya hingga periode Matarām
situs yang lebih panjang, setidaknya Kuno.
sejak abad VI Masehi (Riyanto,
2015: 47). Pengaruh Budaya India di
Pada penelitian 2016 Indonesia
penentuan umur melalui analisis Teknologi pelayaran dan
karbon 14 dilakukan lagi dan jika perdagangan rupanya menjadi faktor
diurutkan mulai dari yang paling tua, penentu dalam kontak budaya
maka diperoleh gambaran antara Nusantara dan India,
kronologis yang semakin lengkap, setidaknya sejak awal Masehi. Oleh
sebagai berikut. karena itu wilayah pesisir
a) 1113 Sebelum Masehi ± 60 merupakan area geografis yang
atau abad XII SM, dari strategis dalam kontak tersebut
sampel tanah di kotak sebagai “pintu masuk”, sebelum
S50B10 blok LT1603 akhirnya berkembang menuju
b) 23 Sebelum Masehi ± 28 pedalaman. Hal ini berarti bahwa
atau abad I SM, dari sampel pada masa itu permukiman di
tanah di kotak U11T29 blok beberapa pesisir Nusantara sudah
LT1602 berkembang dan mandiri. Dua situs
c) 181 Masehi ± 34 atau abad di Bali memberikan pengetahuan
II M, dari sampel tanah di tentang hal itu. Pertama, di situs
kotak S24B2 blok LT1501 Sembiran yang memperlihatkan
d) 234 Masehi ± 50 atau abad adanya permukiman yang mapan
III M, dari sampel arang kayu sejak awal Masehi dan selanjutnya
di kotak U15T35 blok LT1601 berkembang ke daerah pedalaman
e) 921 Masehi ± 27 atau abad X secara bertahap. Ke-dua, situs
M, dari sampel arang bambu Gilimanuk sebagai permukiman
di kotak S49B10 blok LT1603 yang telah memiliki pranata sosial,
f) 1061 Masehi ± 38 atau abad jauh sebelum terbentuknya kerajaan
XI M, dari sampel bambu awal. Gambaran serupa, yaitu
kayu di kotak U345T28 blok hunian menetap dengan didukung
LT1601 (Tim Penelitian, oleh pranata sosial di Jawa Tengah
2016: 88-89). tercermin dari hasil penelitian
arkeologi di situs Plawangan. Hasil
Kisaran abad II – XI Masehi penelitian arkeologi menunjukkan
cocok dengan hipotesis dan bahwa sistem penguburan di
kerangka kronologis hasil penelitian Plawangan mencerminkan adanya
sebelumnya. Akan tetapi sangat stratifikasi sosial pada masa itu
mengejutkan dengan adanya (Poseponegoro dan Nugroho
beberapa hasil yang menunjuk pada Notosusanto, 2011: 2). Selain itu,
kronologi periode yang “terlalu tua”, hubungan dagang dalam skala
yaitu 1113 SM. Meskipun regional bahkan dapat dibuktikan

Situs Liangan Dalam Bingkai Sejarah Matarām Kuna ; 145


(Sugeng Riyanto)
dengan data arkeologi yang untuk dapat memberi
ditemukan di Buni (Jawa Barat), pengaruh peradaban dan
Sembiran (Bali), dan Karangagung agama pada masyarakat
(Sumatra Selatan) (Soeroso, 2006: setempat melalui sang istri
123). George Coedes tegas f) Putri pemimpin yang sudah
menyatakan bahwa orang-orang dipengaruhi oleh suaminya
India telah berhadapan dengan akan menegaskan bahwa
masyarakat-masyarakat yang telah pemikiran dan kepercayaan
terorganisir dan berperadaban, baru memiliki keunggulan,
bukan dengan orang primitif yang sehingga kemudian diserap
tidak beradab (Coedes, 2010: 35). oleh masyarakat setempat
George Coedes kemudian dengan menggunakan bahasa
menggambarkan secara hipotetis India
proses bagaimana para pedagang g) Istilah-istilah dari India yang
yang mencari rempah-rempah dan baru dikenal itu tidak ada yang
petualang yang mencari emas sepadan dengan bahasa Jawa
akhirnya membentuk masyarakat sehingga dipakai apa adanya
yang cukup homogen, terorganisir, (Coedes, 2010: 50-51)
hingga melahirkan kerjaan-kerajaan
Hindu-Buddha di Indonesia. Selain bahasa dan aksara,
Rangkuman tersebut adalah sebagai teknologi pertanian menjadi salah
berikut: satu unsur yang penting dalam
a) Dua atau tiga kapal dari India perkembangan kebudayaan dan
berlayar bersamaan dan peradaban hingga nantinya
mencapai Pulau Jawa terbentuk institusi kerajaan dengan
b) Para pendatang baru itu gaya India. Denys Lombard tegas
kemudian menjalin hubungan mengatakan ideologi baru Hindu dan
dengan para pemimpin Buddha, yang menurutnya lebih
setempat, membuat mereka rukun di Jawa dibandingkan dengan
senang dengan memberi di India, memiliki andil besar dalam
berbagai hadiah, serta proses penggabungan wilayah-
mengobati yang sakit dengan wilayah dan munculnya konsep
jimat kerajaan (Lombard, 1996: 16).
c) Pendatang harus kaya atau Paling tidak di Jawa, sejak masa
yang dianggap kaya, tabib, prasejarah yang mendahului masa
dan tukang sihir; untuk hal ini Hindu-Buddha, telah dikenal sistem
orang India paling mahir administrasi kemasyarakatan dalam
berperilaku demikian, atau dua tingkatan, yaitu setingkat desa
bahkan mereka menyatakan atau dusun dan di atasnya semacam
diri sebagai keturunan raja federasi antardesa (Sedyawati dkk.,
untuk memberi kesan baik 2012b: 23).
kepada tuan rumah Awal terbentuknya kerajaan-
d) Para pendatang belajar kerajaan atau dinasti baru di Jawa
bahasa setempat yang sangat dijelaskan oleh George Coedes
berbeda dengan bahasa sebagai gejala umum di Asia
mereka agar dapat diterima Tenggara. Menurutnya kerajaan
dan diakui menjadi warga bergaya India didirikan dengan cara
e) Dengan menjadi warga, mengumpulkan beberapa kelompok
mereka selanjutnya mengawini masyarakat di bawah kewibawaan
anak pemimpin sebagai jalan seorang pemimpin tunggal bangsa

146 Berkala Arkeologi Vol. 37 Edisi No.2 /November 2017


India atau pribumi yang telah Meskipun pada awalnya
menerima peradaban India. prasasti ditulis menggunakan huruf
Kelompok-kelompok itu memiliki jin Pallawa dan bahasa Sansekerta,
pelindung atau dewa tanah (Coedes, namun dalam perjalanan selajutnya
2010: 56). juga digunakan bahasa-bahasa yang
Dalam waktu yang nantinya menjadi cikal-bakal bahasa
bersamaan dilakukan pemujaan di yang digunakan di beberapa daerah
atas gunung, alami atau buatan, di Inonesia. Boechari pernah
terhadap dewa India yang erat mencatat koleksi prasasti dalam
hubungannya dengan tokoh raja bentuk abklats, atau cetakan kertas,
atau yang melambangkan kesatuan yang berasal dari berbagai daerah di
kerajaan. Dengan begitu, maka Indonesia dalam jumlah besar,
pemujaan terhadap jin oleh pribumi sekitar tiga ribu. Abklats atau
dipertemukan dengan ideologi India duplikat berbahan kertas dari
tentang kerajaan, sedangkan prasasti berbahan batu dan logam
kepada masyarakat yang tersebut ditulis dalam bahasa
dikumpulkan di bawah seorang raja Melayu Kuno, Sunda Kuno, Jawa
tunggal diberikan sosok dewa Kuno, dan Bali Kuno; selain bahasa
secara “nasional”. Dengan cara “asing” Sansekerta, Arab, dan Tamil
begitu bangsa India berhasil (Boechari, 2012b: 4).
mengasimilasi kepercayaan- Di Jawa Tengah, prasasti-
kepercayaan dan pemujaan asing prasasti pertama dari awal abad VIII
sehingga kedua unsur saling M mencerminkan adanya
bereaksi (Coedes, 2010: 56). persaingan antara para penguasa
yang telah berhasil mempersatukan
Kerangka Sejarah Matarām dan menguasai sejumlah wanua
Kuno atau komunitas desa. Mereka
Kebiasaan orang India disebut raka atau rakryan yang pada
menulis buku-buku pedoman akhirnya menjadi “atasan” para rama
(śāstra) mengenai hukum yang menjadi pembesar di tingkat
(dharmaśāstra), politik (arthaśāstra), wanua. Federasi regional beberapa
dan pencarian kenikmatan wanua itu selanjutnya disebut watak
(kāmaśāstra) memuluskan proses yang namanya diberikan kepada
peresapan anasir budaya India oleh para raka, seperti rakai Pikatan,
bangsa Indonesia. Bahkan sebagai contoh, berarti penguasa
disebutkan bahwa orang India dari Pikatan. Mereka mulai banyak
akhirnya dianggap “tanpa peran” membangun bangunan-bangunan
karena orang Indonesia sendiri yang suci dalam usahanya meningkatkan
memperoleh keseluruhan prestise sebagai penguasa
kebudayaan India melalui buku-buku (Lombard, 1996: 14).
pedoman tersebut (Coedes, 2010: Salah satu fase sejarah yang
55-56). Perlu diingat bahwa banyak diungkap melalui sumber
munculnya pemakaian tulisan tidak prasasti di Jawa adalah masa
harus berarti ipso facto bahwa telah kerajaan Matarām Kuno. Kerajaan
lahir masyarakat yang baru karena Matarām (bhūmi Matarām) adalah
masyarakat yang terungkap pada kerajaan kuno yang berpusat di
prasasti-prasasti pertama pada saat Jawa Tengah. Pemerintahan
tertentu berkembang lamban kerajaan ini berlangsung dari abad
(Lombard, 1996: 16). VIII – X Masehi, tepatnya sejak
berkuasanya Rakai Matarām Saἠ

Situs Liangan Dalam Bingkai Sejarah Matarām Kuna ; 147


(Sugeng Riyanto)
Ratu Sañjaya pada tahun 717 Prasasti Mantyasih (907 M)
Masehi. Nama Matarām memang dan prasasti Wanua Tengah III (908
baru dikenal pada waktu itu, namun M) yang dikeluarkan oleh raja
tidak berarti kerajaan ini muncul tiba- Balitung hingga kini menjadi sumber
tiba karena sebelumnya kerajaan di paling penting dalam merekonstruksi
Jawa Tengah hanya diketahui historiografi Matarām Kuno,
melalui berita Cina. Menurut sumber setidaknya sejak pemerintahan
itu, nama kerajaan di Jawa Tengah Sañjaya (abad VIII M) hingga
bernama Shepo yang setidaknya Balitung (abad X Masehi). Garis
sudah ada sejak tahun 420 Masehi, besar sejarah kerajaan Matarām
dan kerajaan Ho-ling yang Kuno berdasarkan prasasti
setidaknya sudah berkuasa pada Mantyasih dan prasasti Wanua
tahun 618 Masehi. Abad IX, berita Tengah III menurut Kusen adalah
Cina kembali menyebut kerajaan itu sebagai berikut.
dengan nama Shepo lagi (Boechari,
2012c: 198).

Tabel 1. Daftar Raja Matarām Kuno Menurut Prasasti Mantyasih dan Prasasti
Wanua Tengah III
Prasasti Mantyasih 907 M Prasasti Wanua Tengah III 908 M

Rakai Matarām Sang Ratu Sanjaya Rahyangta ri Mdang


Rake Panangkaran
Sri Maharaja Rakai Panangkaran
(7 Oktober 746 – 1 April 784)
Rake Panaraban
Sri Maharaja Rakai Panunggalan
(1 April 784 – 28 Maret 803
Rake Warak Dyah Manara
Sri Maharaja Rakai Warak
(28 Maret 803 – 5 Agustu 827)
Dyah Gula
-
(5 Agustus 827 – 24 Januari 828)
Rake Garung
Sri Maharaja Rakai Garung
(24 Januari 828 – 22 Februari 847)
Rake Pikatan Dyah Saladu
Sri Maharaja Rakai Pikatan
22 Ferbruari 847 – 27 Mei 855)
Rake Kayuwangi Dyah Lokapala
Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
(27 Mei 855 – 5 Ferbruari 885)
Dyah Tagwas
-
(5 Februari 885 – 27 September 885)
Rake Panumwangan Dyah Dewendra
-
(27 September 885 – 27 Januari 887)
Rake Gurunwangi Dyah Bhadra
-
(27 Januari 887 – 24 Februari 887)
Rake Wungkalhumalang Dyah Jbang
Sri Maharaja Rakai Watuhumalang
(27 November 894 – 23 Mei 898)
Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Rake Watukura Dyah Balitung
Balitung (23 Mei 898 – 1 Oktober 908)
Sumber: Kusen, 1994, halaman 93

148 Berkala Arkeologi Vol. 37 Edisi No.2 /November 2017


Perbedaan daftar nama raja digunakan di India selatan, tetapi
yang tertera dalam prasasti dalam bahasa yang berbeda,
Mantyasih dan prasasti Wanua prasasti Tuk Mas berbahasa
Tengah III disebabkan oleh Sansekerta sedangkan prasasti
perbedaan yang melatari penerbitan Sojomerto berbahasa Melayu Kuno.
keduanya. Prasasti Mantyasih Keberadaan prasasti Tuk
diterbitkan dalam rangka Mas setidaknya menunjukkan bahwa
melegitimasi diri Balitung sebagai anasir India memang sudah lama
raja yang sah memerintah kerajaan. masuk dan cukup mapan di Jawa
Oleh karena itu ia hanya Tengah, karena kontak pertama
mencantumkan raja yang berdaulat tentu saja di pesisir. Hal ini sekaligus
penuh atas kerajaan. Empat nama juga menggambarkan dinamika
raja tidak dimasukkan oleh Balitung perdagangan dengan India, dan
dalam daftar di prasasti Mantyasih tentunya Cina, yang sudah
karena dianggap tidak berdaulat mengenal dengan sangat baik
penuh, hal ini tampak dari masa potensi komoditi di pedalaman Jawa.
pemerintahan yang sangat singkat Sementara itu prasasti Sojomerto
karena digulingkan. Sementara itu, menggambarkan aspek yang lebih
prasasti Wanua Tengah III luas, bahkan secara politik, karena
diterbitkan berkenaan dengan menyebut nama tokoh penting yaitu
perubahan status sawah di Wanua Dapunta Selendra. Disebutkan
Tengah sehingga dianggap perlu dalam prasasti bahwa Dapunta
memasukkan nama-nama raja yang Selendra adalah anak dari ayah
ada sangkut-pautnya dengan bernama Santanu dan ibu bernama
perubahan status tersebut. Mengapa Badrawati, sedangkan istrinya
nama Sañjaya tidak dimasukkan ? bernama Sampula (Sedyawati dkk.,
Hal ini karena riwayat status sawah 2012a: 173). Selain nama Dapunta
di Wanua Tengah baru dimulai sejak Selendra yang nantinya dikaitkan
Rakai Panangkaran (Kusen, 1994: dengan wangsa Sailendra,
90). penggunaan bahasa Melayu Kuno
Sayang sekali prasasti yang juga dihubungkan dengan kerajaan
diharapkan dapat menjembatani Sriwijaya di Sumatera.
fase sebelum Sañjaya dengan Wangsa Sailendra
dimulainya masa Matarām Kuno, selanjutnya menjadi penguasa
dengan Sañjaya sebagai rajanya, kerajaan Matarām, mulai dari
belum ditemukan hingga kini. Selain Sañjaya hingga keturunannya. Ada
untuk melukiskan gambaran proses catatan menarik yang berasal dari
kontinuitas kedua fase secara berita Cina yaitu penobatan Ratu
lembut, jadi tidak terkesan Matarām Hsimo pada tahun 674 M dari
muncul tiba-tiba, prasasti yang kerajaan Ho-ling. Disebutkan bahwa
sangat diharapkan itu juga dapat Ratu Hsimo adalah leluhur raja
menjadi kunci untuk menelusuri para Sañjaya. Lebih menarik lagi dengan
leluhur raja-raja Matarām lebih jauh disebutnya kerajaan Tolomo yang
ke belakang. Di Jawa Tengah diserang oleh Sriwijaya pada tahun
terdapat prasasti dari pertengahan 686 M. Jika Tolomo adalah Taruma,
abad VII M, yaitu prasasti Tuk Mas maka waktu itu kerajaan Taruma di
dari pedalaman Magelang dan Jawa Barat masih berdiri (Sedyawati
prasasti Sojomerto dari pesisir utara dkk., 2012a: 179). Artinya, pada
Batang. Kedua prasasti ditulis pertengahan abad VII ada tiga
dengan aksara Pallawa yang lazim kerajaan besar di Nusantara yaitu

Situs Liangan Dalam Bingkai Sejarah Matarām Kuna ; 149


(Sugeng Riyanto)
Sriwijaya di Sumatera bagian karena ada kemungkinan antara
selatan, Taruma di Jawa bagian Dapunta Selendra dan Ratu Hsimo,
barat, dan Ho-ling di Jawa bagian atau antara Ratu Hsimo dengan
tengah. Sanna masih ada tokoh raja lagi
Ho-ling dengan Ratu Hsimo yang belum diketahui
yang naik tahta pada 674 M (Poesponegoro dan Nugroho
merupakan cikal-bakal kerajaan Notosusanto, 2011: 131). Urutan
Matarām karena Ratu Hsimo adalah raja-raja Matarām berikutnya,
leluhur Sañjaya, raja pertama berdasarkan prasasti Mantyasih dan
Matarām. Dalam gambaran itu prasasti Wanua Tengah III, dari
barangkali ada mata rantai yang Panangkaran (746 - 784 M) hingga
putus antara Ratu Hsimo dengan Balitung (898 – 908 M) dapat
Sañjaya, yaitu raja Sanna yang disimak pada Tabel.
disebut dalam prasasti Canggal. Gambaran urutan raja-raja
Prasasti ini memberitakan bahwa Matarām menjadi rumit dengan
raja Sañjaya pada tanggal 6 Oktober dimasukannya Samaratungga oleh
732 mendirikan lingga di puncak Coedes sebagai raja di Jawa di
bukit, serta menyebut kekayaan antara masa pemerintahan Rakai
alam Pulau Jawa antara lain berupa Warak. Ia diidentifikasi sebagai
padi (serealia) dan emas (Coedes, Samarāgrawīra, keturunan Sailendra
2010: 132; Poesponegoro dan dari Jawa yang disebut dalam
Nugroho Notosusanto, 2011: 129). prasasti Nālandā. Kerumitan sedikit
Diberitakan juga bahwa ibunda terurai pada masa pemerintahan
Sañjaya, yaitu Sannaha adalah Rakai Pikatan yang bermusuhan
saudara perempuan raja Ho-ling, dengan Bālaputra, “anak bungsu”
Sanna, yang meninggal akibat Samaratungga hasil perkawinannya
serangan musuh serta kerajaannya dengan putri Tāra dari Sriwijaya
dihancurkan. Sanna kemudian yang beragama Buddha. Setelah
digantikan oleh Sañjaya yang kalah dari Rakai Pikatan, Bālaputra
dinobatkan pada tahun 717 M di pulang ke negeri ibunya di
Medang yang diduga terletak di Poh Sumatera. Dalam konteks itu,
Pitu. Setelah berhasil menaklukkan Pikatan juga mengawini saudara
raja-raja kecil di sekitarnya dan perempuan Bālaputra, bernama
membangun kembali kerajaannya ia Pramodāwarddhani sehingga dalam
kemudian mendirikan lingga di bukit hubungan keluarga Pikatan adalah
yang didokumentasikan melalui menantu Samaratungga (Coedes,
prasasti Canggal (Sedyawati dkk., 2010: 156).
2012a: 180-181). Sanna, Sannaha, Di antara Kayuwangi dan
dan Sañjaya mungkin sekali Sindok sebenarnya ada tokoh yang
memang pewaris Dapunta Selendra, menonjol, yaitu Rakai Watukura
oleh karena itu mereka juga bagian Dyah Balitung. Manurut prasasti
dari wangsa Sailendra. Wanua Tengah III, ia memerintah
Sebagaimana diberitakan dalam dari tahun 898 -908 M, waktu yang
prasasti Mantyasih (907 M), Sañjaya tidak singkat dalam masa
merupakan raja pertama yang pemerintahan raja di Jawa. Selama
bertakhta di Mědang. Selanjutnya ia pemerintahannya ia berhasil
disusul oleh Rakai Panangkaran meluaskan kekuasaannya hingga
yang jelas menyebut dirinya sebagai Jawa bagian timur dengan
“Permata wangsa Sailendra”. menaklukkan kerajaan Kañjuruhan
Gambaran ini mungkin tidak lengkap yang sejak pertengahan abad VIII M

150 Berkala Arkeologi Vol. 37 Edisi No.2 /November 2017


berpusat di sekitar Malang. bahkan berhenti mendadak, dan
Kañjuruhan selanjutnya menjadi berita berikutnya adalah raja Sindok
bagian dari Matarām yang dikuasai yang memindahkan kerajaannya ke
oleh seorang rakai, yaitu Rakarayān bagian timur Jawa. Pu Sindok
Kanuruhan. Selain itu, tahun 907 M membangun pusat kerajaannya di
Balitung mengeluarkan prasasti Tamwlang sekaligus membangun
Rukam untuk memperingati perintah wangsa yang baru, yaitu Iśāna,
raja yang menetapan Desa Rukam meskipun sebenarnya masih
menjadi sīma karena desa itu hancur anggota wangsa Sailendra
oleh letusan gunung (Poesponegoro (Poesponegoro dan Nugroho
dan Nugroho Notosusanto, 2011: Notosusanto, 2011: 173-184).
171-172).
Setelah masa Balitung,
situasi politik semakin tidak menentu DISKUSI DAN PEMBAHASAN
akibat perebutan kekuasaan, bahkan Angka kalender termuda
di kalangan keluarga dan kerabat berdasarkan hasil analisis karbon 14
kerajaan. Balitung yang berasal dari adalah abad XI M, tepatnya 1061
Watukura dianggap tidak memiliki Masehi ± 38 sangat menarik
hak atas takhta kerajaan, ia menjadi terutama jika dikaitkan dengan
raja karena perkawinannya dengan perpindahan kerajaan Matarām ke
putri raja sebelumnya, dan bukan timur. Sebenarnya hal ini tidak sulit
keturunan langsung dari Pikatan. untuk dijelaskan karena perpindahan
Daksa atau Śri Dakṣottama tersebut tidak berarti memindahkan
Bāhubajra Pratipakṣakṣaya yang seluruh isi kerajaan hingga
menjabat sebagai putra mahkota peradaban di Jawa Tengah lenyap.
(Rakryān Mahamantri I Hino) bukan Harus digarisbawahi bahwa Sindok
anak Balitung tetapi kemungkinan memindahkan pusat kerajaannya ke
iparnya. Daksa dan Rakai tempat yang sudah dibangun
Gurunwangi, keduanya kerabat peradabannya oleh raja-raja
Rakai Pikatan, bersekongkol untuk sebelumnya ketika masih berkuasa
merebut kembali takhta kerajaan di Jawa Tengah. Di sisi lain dapat
dari Balitung dan berhasil naik takhta dipastikan bahwa sebagian tempat-
sejak 910/911 M selama 8 tahun. Ia tempat peradaban Matarām Kuno di
mengangkat seorang putra mahkota, Jawa Tengah masih terus tumbuh
yaitu Rakai Layang Dyah Tlodhong dan tidak habis sama sekali. Hal ini
yang ternyata bukan pejabat eselon antara lain dibuktikan oleh prasasti
pertama. Selanjutnya Rakai Layang yang ditulis pada jaman Kadiri tetapi
menggantikan Daksa sebagai raja ditemukan di Jawa Tengah, yaitu
Matarām, kemungkinan sekitar 918 prasasti bertarikh 1100 M yang
atau 919 M. Pemerintahan Rakai ditemukan di Desa Pojok,
Layang antara lain ditandai dengan Semarang, dan prasasti berangka
pembangunan bendungan di Sungai tahun 1210 M yang ditemukan di
Hariñjing pada 19 September 921 M, kawasan Dieng (Sedyawati, dkk.,
sebelum akhirnya digantikan oleh 2012a: 197). Bukan hal yang
Rakai Sumba Dyah Wawa pada mustahil Liangan menjadi salah satu
tanggal 14 Februari 928 M. Dyah situs yang memiliki data arkeologi
Wawa bukan anak Tlodhong dan untuk menerangkan tentang apa
sebenarnya tidak berhak atas takhta yang terjadi di Jawa bagian tengah
kerajaan Matarām. setelah Matarām berpindah ke
Pemerintahannya sangat singkat bagian timur.

Situs Liangan Dalam Bingkai Sejarah Matarām Kuna ; 151


(Sugeng Riyanto)
Dalam kerangka sejarah (nahkoda), sedangkan yang ditulis
mengenai masuknya pengaruh India dalam bahasa Jawa Kuno adalah
di Indonesia hingga tumbuhnya Prasasti Tulang Air (850 M) yang
kerajaan Matarām Kuno, dinamika menyebut marhyaŋ iṅ prasāda
politik beriringan dengan penciptaan kabanyagān (marhyaŋ dalam
karya-karya seni yang ditopang oleh bangunan suci kelompok banyagā).
teknologi arsitektur, serta Ada empat istilah bagi pedagang
melonjaknya kehidupan ekonomi yang terdapat dalam prasasti, yaitu
melalui perdagangan yang didukung abakul atau pedagang eceran;
oleh teknologi pelayaran. Teknologi adagaŋ mungkin semacam grosir;
pertanian juga tidak kalah hiliran, yakni sebutan untuk
pentingnya, bahkan bersama hasil pedagang yang hanya berjualan di
tambang berupa emas, padi menjadi hilir sungai-sungai besar; dan
komoditi dagang seperti diberitakan banyagā, yakni pedagang besar
dalam prasasti Canggal (732 M). yang melakukan perdagangan
Liangan kuno bukan tidak mungkin antarpulau atau pedagang yang
menjadi salah satu pendukung sudah bertaraf internasional (Suhadi
ekonomi kerajaan, terbukti dengan dan Titi Surti Nastiti, 2012: 107).
ditemukannya fitur lahan pertanian, Dengan demikian maka Liangan
peralatan pertanian, bahkan hasil kuno telah tumbuh menjadi bagian
pertaniannya, khususnya padi. dari peradaban kerajaan Matarām
Tidak ada kolonisasi dan Kuno, terletak di lereng Sindoro
“indianisasi” di Liangan kuno, kecuali yang subur, meskipun memiliki
hanya seleksi dan “mutasi” karena potensi bencana yang mengancam
penduduk Liangan kuno sudah orang-orang yang bermukim di sana.
teratur jauh sebelumnya sehingga Dalam periode Hindu-
unsur-unsur lokal dapat beriringan Buddha, peradaban Liangan
dengan unsur India. Dominasi memang beriringan dengan tumbuh
struktur boulder dan tata ruang dan berkembangnya kerajaan
berundak-teras adalah unsur lokal Matarām Kuno, dan dalam waktu
yang tampak secara fisik sekaligus tersebut ada dua orang raja yang
menandakan masih kuatnya alam dapat dikaitkan dengan keberadaan
pemikiran pra-Hindu pada permukiman ini. Pertama adalah
masyarakat. Kehadiran barang- Rakai Watukura Dyah Balitung
barang keramik produk Dinasti Tang berkenaan dengan dikeluarkannya
dalam jumlah besar bukan hanya prasasti Rukam, berangka tahun 907
cermin kekayaan masyarakat secara M. Prasasti ini ditemukan pada
ekonomi tetapi juga menunjukkan tahun 1975 di Desa Petarangan,
bahwa Liangan kuno memiliki Kecamatan Parakan, berjarak
kedudukan penting dalam konteks sekitar 12 Km di selatan atau secara
kerajaan Matarām Kuno, sehingga georafis di bawah situs Liangan.
barang-barang dari Tiongkok hadir di Bagian yang sering dikaitkan dengan
sana. Liangan adalah yang menyebutkan
Dinamika perdagangan pada “… wanua i rukam wanua wanua i
masa Matarām Kuno sudah dro saŋka yan hilaŋ deniŋ guntur …”
diberitakan melalui beberapa yang artinya “… desa Rukam yang
prasasti. Prasasti Gondosuli II atau termasuk wilayah kutagara atau
Prasasti Puhawang Glis (827 M) negeri ageng, yang telah hancur
yang berbahasa Melayu Kuno oleh letusan gunung…” (Nastiti dkk.,
menyebut kata daŋ puhawaŋ 1982: 23, 36). Kondisi situs Liangan

152 Berkala Arkeologi Vol. 37 Edisi No.2 /November 2017


yang terkubur material vulkanis tentunya terjadi setelah pertengahan
itulah yang selalu dikaitkan dengan abad XI M.
prasasti ini. Jika merujuk hasil Desa Rukam merupakan
analisis karbon 14 yang menunjuk daerah penting dalam pemerintahan
angka kalender 1061 Masehi ± 38 Balitung, sebagaimana kutipan
hal ini menjadi sulit untuk disepakati berikut.
karena yang diberitakan dalam “Di dalam prasasti Rukam
prasasti adalah kejadian sebelum diperingati perintah raja
tahun 907 M, sedangkan untuk menetapkan menjadi
permukiman Liangan masih ada sīma Desa Rukam yang
setidaknya hingga pertengahan masuk wilayah pusat
abad XI M. kerajaan bagi Rakryān
Pada waktu ditemukan, Śanjiwana Nini Haji, karena
prasasti ini satu konteks dengan desa itu pernah hancur oleh
alat-alat upacara dari perunggu, letusan gunung. Kewajiban
yaitu baki berbentuk bulat yang sīma itu adalah memberi
tersusun mulai dari yang kecil persembahan kepada
sampai dengan yang besar, bokor, bangunan suci di Limwung
cepuk, entong, gantungan lampu, dan membuat sebuah
mangkuk-mangkuk perunggu, kamūlān. Penghasilan pajak
keramik asing, serta beberapa Desa Rukam sebanyak 5
benda kecil lainnya (Nastiti dkk., dhārana perak dan pilih mas
1982, 7). Barang-barang tersebut (?) sebanyak 5 māsa
semuanya juga ditemukan di hendaknya dipersembahkan
Liangan, hal ini membuka kepada bangunan suci di
kemungkinan adanya keterkaitan Limwung itu, dan
antara prasasti Rukam dengan penduduknya berkewajiban
Liangan. Ada catatan penting dalam melakukan kerja bakti
artikel Agni Sesaria Muchtar, yaitu (buñcang haji) untuk
koreksi atas anggapan bahwa pengelolaan kamulan”
wanua i rukam adalah desa yang (Poesponegoro dan
hilang karena terjadinya letusan Nugroho Notosusanto, 2011:
gunung berapi, namun sebenarnya 172).
wanua i rukam adalah desa yang
menggantikan status sīma dari desa Limwung yang disebut dalam
lainnya yang hilang karena letusan prasasti Rukam mengingatkan pada
gunung berapi (Muchtar, 2014: 160). nama mesjid kuno Wali Limbung di
Jika demikian maka Rukam Dusun Kauman, Desa Medari,
merupakan desa yang pada tahun Kecamatan Ngadirejo, sekitar 5 Km
907 M mendapat anugerah sima dari arah timur dari situs Liangan. Di
Balitung untuk menggantikan status sekitar lokasi mesjid juga ditemukan
sīma dari sebuah desa, bukan batu-batu komponen bangunan
Liangan, yang hancur oleh letusan candi. Menurut informasi warga,
gunung. Gambaran ini menjadi batu-batu tersebut dikumpulkan dari
sesuai dengan kronologi situs lokasi mesjid ketika dilakukan
karena permukiman Liangan kuno renovasi. Oleh karena itu, sangat
masih ada setidaknya hingga mungkin di lokasi inilah tempat
pertengahan abad XI M, sebelum bangunan suci dan kamulan berada,
akhirnya juga harus terkubur oleh seperti yang disebut dalam prasasti
material letusan gunung Sindoro, Rukam.

Situs Liangan Dalam Bingkai Sejarah Matarām Kuna ; 153


(Sugeng Riyanto)
Raja Matarām lainnya yang awal Masehi, maka ketika masuk ke
diduga terkait dengan Liangan nusantara mereka berhadapan
adalah Dyah Tlodhong. Nama dengan masyarakat yang sudah
lengkapnya adalah Rakai Layang beradab. Oleh karena itu corak dan
Dyah Tlodhong, gelarnya sebagai gaya India dalam karya peradaban
raka i layang inilah yang Matarām Kuno tidak sungguh-
dihubungkan dengan nama sungguh dominan karena warna
Liyangan (menurut ejaan warga) “asli” Nusantara selalu dapat
atau Liangan (ejaan pemerintah). dikenali. Hasil penelitian di situs
Kemungkinan Daksa mengangkat Liangan banyak memberi gambaran
Tlodhong sebagai putera mahkota tentang hal itu.
setelah ia mengalahkan Balitung, Unsur-unsur pra-Hindu
sekitar tahun 908 M. Pada waktu itu (istilah “pra-Hindu” khusus
Tlodhong menjadi penguasa daerah digunakan di situs Liangan karena
Layang yang mungkin juga lebih tidak ada unsur Buddha di Liangan)
dikenal sebagai daerah layangan. sangat jelas terlihat pada data
Meskipun masih diperlukan kajian arkeologi yang ditemukan di
lebih mendalam secara linguistik, Liangan. Kombinasi unsur-unsur
tetapi kata layangan dan liyangan pra-Hindu dan gaya India dapat
yang sangat dekat menjadi menjadi dasar untuk menyimpulkan
pertimbangan untuk mengatakan bahwa ada kesinambungan
bahwa liyangan adalah layang, peradaban di Liangan, setidaknya
daerah yang menjadi tempat asal sejak abad II – XI Masehi. Dalam hal
Dyah Tlodhong. Jika hal ini benar, ini memang masih diperlukan
maka situs Liangan merupakan pendalaman kajian kronologis untuk
daerah watak yang salah satu menjelaskan rangkaiannya dari fase
penguasanya, Dyah Tlodhong, pra-Hindu, fase transisi, hingga fase
menjadi raja Matarām menggantikan kejayaan Matarām Kuno. Mengacu
Pu Daksa, setidaknya sejak 919 M pada kerangka sejarah, bahkan
hingga 928 M. Hingga pertengahan Liangan diduga merupakan daerah
abad XI permukiman Liangan kuno asal Rakai Layang Dyah Tlodhong,
masih ada, tentunya yang berkuasa raja Matarām sebelum Wawa dan
setelah Dyah Tlodhong menjadi raja Sindok. Kerangka sejarah kerajaan
Matarām adalah kerabat Dyah Matarām Kuno yang ditarik ke
Tlodhong sendiri, dan mungkin juga belakang hingga persentuhan awal
bergelar Rakai Layang, yang dengan budaya India dengan
akhirnya menjadi nama dusun dan Nusantara, Jawa khususnya,
situs Liangan sekarang. memberi penjelasan adanya
kesesuaian antara kerangka sejarah
tersebut dengan kronologi situs
KESIMPULAN Liangan.
Corak budaya India pada Dalam bagian yang lain,
karya-karya fisik peradaban berdasarkan kerangka sejarah
Matarām Kuno dan terbentuknya Matarām Kuno disimpulkan bahwa
institusi monarki bergaya India tidak Liangan bukanlah wanua i rukam
berarti dominasi budaya India atas yang dalam prasasti Rukam
Indonesia. Jika “indianisasi” diartikan (dikeluarkan oleh Balitung tahun 907
sebagai penyebaran kebudayaan M) diberitakan hancur karena
India ke berbagai belahan dunia letusan gunung. Berdasarkan
melalui pelayaran samudera sekitar pembahasan, disimpulkan bahwa

154 Berkala Arkeologi Vol. 37 Edisi No.2 /November 2017


kemungkinan Liangan adalah layang adalah wanua sedangkan layang
yaitu daerah tingkat watak yang adalah watak, oleh karena itu
dikuasai oleh Rakai Layang Dyah mungkin saja wanua i rukam
Tlodhong. Setelah Daksa merebut merupakan bagian dari federasi
takhta dari kekuasaan Balitung antarwanua di bawah rakai layang,
sekitar tahun 908 M, raka i layang karena kedekatan jarak keduanya
inilah yang diangkat menjadi putra dan perbedaan tingkatannya.
mahkota dan selanjutnya menjadi
raja Matarām dari tahun 918 atau
919 hingga 928 M. Setelah UCAPAN TERIMA KASIH
ditinggalkan oleh Tlodhong karena Penulis mengucapkan
menjadi raja Matarām, daerah apresiasi dan terima kasih sebesar-
layang kemungkinan diperintah oleh besarnya kepada petugas
kerabat Tlodhong sendiri, dan terus perpustakaan Balai Arkeologi D.I.
ada bahkan setelah Sindok Yogyakarta yang dengan sabar telah
memindahkan pusat kerajaan ke melayani peminjaman buku-buku
Jawa Timur pada 929 M. yang sangat bermanfaat dalam
Permukiman dan peradaban di penulisan artikel ini.
layang akhirnya benar-benar
berhenti hanya karena muntahan
material letusan dahsyat gunung
Sindoro; belum dapat dipastikan
kejadiannya namun mestinya
setelah pertengahan abad XI M.
Pertanyaan selanjutnya
adalah, apa hubungan wanua i
rukam dengan layang ? Jawabannya
sebenarnya sederhana, yaitu
keduanya hidup berdampingan di
bawah naungan kerajaan Matarām.
Wanua i rukam jelas menjadi tempat
yang istimewa bagi Balitung karena
desa itu ada hubungannya dengan
leluhur raja, Rakryān Śanjiwana Nini
Haji. Desa itu bahkan mendapat
anugerah status sīma untuk
menggantikan status sīma dari desa
yang hilaŋ deniŋ guntur, dan
warganya berkewajiban membangun
kamulan serta memelihara
bangunan suci di limwung. Jika
limwung sama dengan limbung yang
sekarang menjadi nama mesjid
kuno, maka limwung dan mungkin
juga wanua i rukam hidup
berdampingan dengan layang di
lereng Sindoro dengan jarak
keduanya hanya 5 km. Berdasarkan
pembahasan diketahui bahwa
tingkatan keduanya berbeda, rukam

Situs Liangan Dalam Bingkai Sejarah Matarām Kuna ; 155


(Sugeng Riyanto)
DAFTAR PUSTAKA

Adullah, Taufik. 2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah, Jilid II Kerajaan Hindu-
Buddha. A.B. Lapian (Ed.). Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.

Boechari. 2012a. “Kerajaan Matarām Sebagaimana Terbayang dari Data


Prasasti”. In Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, 183-196.
Jakarta: Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia.

Boechari. 2012b. “Epigrafi dan Sejarah Indonesia”. In Melacak Sejarah Kuno


Indonesia Lewat Prasasti, 3-28. Jakarta: Penerbit Kepustakaan Populer
Gramedia.

Boechari. 2012c. “Satu atau Dua Dinasti di Kerajaan Matarām Kuno?”. Melacak
Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, 197-202. Jakarta: Penerbit
Kepustakaan Populer Gramedia.

Coedes, George. 2010. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha. Jakarta: Penerbit


Kepustakaan Populer Gramedia.

Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia.

Kusen. “Raja-raja Matarām Kuno dari Sañjaya sampai Balitung, Sebuah


Rekonstruksi Berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III”. Berkala Arkeologi,
Tahun XIV, Edisi Khusus (1994): 82-94.

Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya, Sejarah Kajian Terpadu. Jilid
III: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama.

Muchtar, Agni S. 2014. “Wanua I Rukam, Nama Asli Situs Liyangan? (Kajian
Terhadap Prasasti Rukam 907 M Sebagai Data Pendukung Penelitian
Situs Liyangan)”. In Liangan, Mozaik Peradaban Mataram Kuno di Lereng
Sindoro, 149-163. Yogyakarta: Kepel Press.

Mundardjito. “Arkeologi Keruangan: Konsep dan Cara Kerjanya”, In Kumpulan


Makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII, 2002, 70-75. Jakarta: Ikatan Ahli
Arkeologi Indonesia.

Nastiti, Titi Surti, dkk. 1982. Tiga Prasasti Dari Masa Balitung. Jakarta: Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional, Departemen P & K.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 2011. Sejarah


Nasional Indonesia, Jilid II Zaman Kuno. Tim Nasional Penulisan Sejarah
Indonesia (Ed.). Edisi Pemutakhiran. Cetakan ke-5. Jakarta: Balai
Pustaka.

Riyanto, Sugeng. “Letusan Gunung Sindoro Mengubur Situs Mataram Kuno


Liyangan”. In Seminar Antarbangsa ke-2 Arkeologi, Sejarah, dan Budaya,

156 Berkala Arkeologi Vol. 37 Edisi No.2 /November 2017


2013, 767-781. Bangi: Istitut Alam dan Tamadun Melayu, Universiti
Kebangsaan Malaysia.

Riyanto, Sugeng. 2014a. “Menggali Peradaban Mataram Kuno di Liangan Tahap


Demi Tahap”. In Liangan, Mozaik Peradaban Mataram Kuno di Lereng
Sindoro, 31-115. Yogyakarta: Kepel Press.

Riyanto, Sugeng. 2014b. “Prolog, Mozaik Peradaban Liangan Kuno”. In Liangan,


Mozaik Peradaban Mataram Kuno di Lereng Sindoro, 1-29. Yogyakarta:
Kepel Press.

Riyanto, Sugeng. “Situs Liangan: Ragam Data, Kronologi, dan Aspek


Keruangan”, Berkala Arkeologi, Vol. 35. No. 1 (Mei 2015): 31-50.

Riyanto, Sugeng. 2016. Liangan, Kini, Doeloe, dan Esok. Yogyakarta: Kepel
Press.

Sedyawati, Edi dkk. 2012a. “Dinasti, Agama, dan Moumen”. In Indonesia Dalam
Arus Sejarah, Kerajaan Hindu-Buddha, 171-2013. Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve.

Sedyawati, Edi dkk. 2012b. “Pengenalan Masa Hindu-Buddha”. In Indonesia


Dalam Arus Sejarah, Kerajaan Hindu-Buddha, 5-35. Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve.

Soeroso. 2006. “Awal Pembentukan Kerajaan-kerajaan”. In Permukiman di


Indonesia Perspektif Arkeologi, 122-136. Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional.

Suhadi, Machi dan Titi Surti Nastiti. 2012. “Perdagangan dan Politik”. In
Indonesia Dalam Arus Sejarah, Kerajaan Hindu-Buddha, 107-169.
Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.

Sumanto. 1995. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Yogyakarta:


Penerbit Andi Offset.

Tim Penelitian. 2016. “Laporan Penelitian Situs Liangan, Temanggung, Jawa


Tengah”. Balai Arkeologi D.I. Yogyakarta. Tidak terbit.

Situs Liangan Dalam Bingkai Sejarah Matarām Kuna ; 157


(Sugeng Riyanto)
158 Berkala Arkeologi Vol. 37 Edisi No.2 /November 2017

Anda mungkin juga menyukai