Anda di halaman 1dari 40

PENGARUH TEKNIK STERILISASI TERHADAP

KEBERHASILAN INISIASI EKSPLAN PAULOWNIA


(Paulownia elongata SY. Hu) SECARA IN VITRO

SABAR SAMPULAN NASUTION

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pengaruh
Teknik Sterilisasi terhadap Keberhasilan Eksplan Paulownia (Paulownia elongata
SY. Hu) secara In Vitro adalah benar-benar hasil dari karya saya sendiri dengan
bimbingan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Sabar Sampulan Nasution


E44063409
ABSTRAK
SABAR SAMPULAN NASUTION. Pengaruh Teknik Sterilisasi terhadap
Keberhasilan Inisiasi Eksplan Paulownia (Paulownia elongata SY. Hu) secara
In Vitro. Dibimbing oleh ARUM SEKAR WULANDARI.
Kultur in vitro digunakan sebagai salah satu solusi dalam perbanyakan
paulownia. Dalam kultur in vitro kontaminasi merupakan masalah utama dalam
fase inisiasi pertama. Penelitian ini mengkaji tentang pengaruh perlakuan
sterilisasi terhadap persentase kontaminasi, browning, dan induksi tunas
paulownia. Teknik sterilisasi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas
empat perlakuan yaitu A (Dhitane M-45 0.2 g/100 mL, Agrept 80 WP
0.2 g/100 mL, Bayclin 20%, 15%, 10%), B (Dhitane M-45 2 g/100 mL, Agrept 80
WP 2 g/100 mL, Bayclin 15%, 10%, 5%), C (Dhitane M-45 0.2 g/100 mL, Agrept
80 WP 0.2 g/100 mL, So Klin 20%, 15%, 10%), dan D (Dhitane M-45
2 g/100 mL, Agrept 80 WP 2 g/100 mL, So Klin 15%, 10%, 5%). Teknik
sterilisasi memberikan pengaruh yang sama terhadap persentase kontaminasi,
browning, dan induksi tunas paulownia. Kontaminasi yang terjadi pada akhir
pengamatan 93.96% disebabkan oleh bakteri dan 11.5% oleh fungi. Eksplan yang
bebas dari kontaminasi dan browning menunjukkan perkembangan pucuk aksilar.
Terdapat perkembangan kalus pada beberapa eksplan karena tingkat hormon
endogen yang cukup tinggi. Hal tersebut diperkuat dengan 100% terbentuknya
kalus pada tahap multiplikasi dengan penambahan zat pengatur tumbuh auksin
dalam jumlah kecil.
Kata kunci: bakterisida, fungisida, natrium hipoklorit, paulownia, sterilisasi

ABSTRACT
In vitro culture is used as one of the solutions in paulownia propagation.
Contamination is a major problem in procedures micropropagation. This study
examines the effect of sterilization treatment on the percentage of contamination,
browning, and shoot induction paulownia. Sterilization techniques used in the
study consisted of four treatments, namely A (Dhitane M-45 0.2 g/100 mL,
Agrept 80 WP 0.2 g/100 mL, Bayclin 20%, 15%, 10%), B (Dhitane M-45
2 g/100 mL, Agrept 80 WP 2 g/100 mL, Bayclin 15%, 10%, 5%), C (Dhitane
M-45 0.2 g/100 mL, Agrept 80 WP 0.2 g/100 mL, So Klin 20%, 15%, 10 %), and
D (Dhitane M-45 2 g/100 mL, Agrept 80 WP 2 g/100 mL, So Klin 15%, 10%,
5%). Sterilization techniques give the same effect on the percentage of
contamination, browning, and shoot induction paulownia. Contamination caused
by bacteria and fungi is 93.96% and 11.5% respectively. Explants without
contamination and browning shows the development of axillary buds. Some of
explants produced callus as a response to highly endogenouse hormone. Low
concentration of auxin can induced 100% callus formation at the stage of
multiplication.
Keywords: bactericide, fungicide, paulownia, potassium hyphochloride,
sterilization
PENGARUH TEKNIK STERILISASI TERHADAP
KEBERHASILAN INISIASI EKSPLAN PAULOWNIA
(Paulownia elongata SY. Hu) SECARA IN VITRO

SABAR SAMPULAN NASUTION

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
Judul Skripsi : Pengaruh Teknik Sterilisasi terhadap Keberhasilan Inisiasi
Eksplan Paulownia (Paulownia elongata SY. Hu) secara
In Vitro
Nama : Sabar Sampulan Nasution
NIM : E44063409

Disetujui oleh

Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS


Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS


Ketua Departemen

Tanggal Lulus:
PRAKATA

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat


Allah subhanahu wa ta’ala, Rabb yang Maha Kuasa yang telah menganugrahkan
rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini
dengan baik. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada teladan ummat Nabi
Muhammad SAW. Skripsi ini penulis persembahkan sebagai tugas akhir dalam
menyelesaikan studi dan merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Kehutanan pada Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Arum Sekar Wulandari,
MS selaku dosen pembimbing dan kepada Ibu Puja selaku teknisi laboratorium
Silvikultur. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh
Dosen dan staf Departemen Silvikultur, serta kepada seluruh teman-teman
rimbawan. Ungkapan terima kasih saya sampaikan kepada ayah, ibu, seluruh
keluarga, dan teman-teman serta seluruh sahabat saya atas segala doa dan
dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

Sabar Sampulan Nasution


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii


DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN vii
PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Tujuan 2
Manfaat Penelitian 2
Hipotesis 2
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Umum Paulownia (Paulownia elongata) 3
Taksonomi dan Tatanama 3
Daerah Penyebaran dan Ekologi 3
Keterangan Botanis 4
Kegunaan dan Manfaat 4
Tinjauan Umum Kultur In Vitro 5
Pengertian dan Manfaat Kultur In Vitro 5
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Teknik
In Vitro 6
Faktor Lingkungan yang Berpengaruh terhadap Perkem-
bangan Kultur 8
METODOLOGI
Tempat dan Waktu Penelitian 9
Bahan dan Alat Penelitian 9
Metode Kerja 9
Pengamatan 12
Analisis Data 12
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Kontaminasi Kultur 13
Tingkat Browning Kultur 16
Persentase Pembentukan Tunas dan Multiplikasi Eksplan 19
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 22
Saran 22
DAFTAR PUSTAKA 23
LAMPIRAN 26
RIWAYAT HIDUP 27
DAFTAR TABEL
1 Perlakuan sterilisasi pada eksplan paulownia 11
2 Model one way anova 13
3 Hasil analisis ragam pengaruh teknik sterilisasi eksplan terhadap
tingkat kontaminasi kultur in vitro paulownia 13
4 Hasil analisis ragam pengaruh teknik sterilisasi eksplan terhadap
tingkat browning kultur in vitro paulownia 16

DAFTAR GAMBAR
1 Paulownia elongata SY. Hu 3
2 Tingkat kontaminasi eksplan paulownia pada akhir pengamatan
(5 MSI) 14
3 Kontaminasi eksplan paulownia oleh bakteri (A, B, C) dan fungi
(D, E, F) 15
4 Laju kontaminasi eksplan paulownia selama 5 minggu setelah
inokulasi 16
5 Tingkat browning kultur paulownia pada akhir pengamatan
(5 MSI) 17
6 Laju browning eksplan paulownia selama 5 minggu setelah ino-
kulasi 18
7 Eksplan yang tumbuh secara normal (kiri) dan eksplan yang mati
akibat browning (kanan) 18
8 Persentase pembentukan tunas eksplan paulownia selama 5 ming-
gu setelah inokulasi 19
9 Pertumbuhan tunas aksilar secara normal (A), pertumbuhan tunas
yang diikuti perkembangan kalus pada pangkal eksplan (B, dan C) 19
10 Penurunan persentase hidup eksplan paulownia selama 5 minggu
setelah inokulasi 20
11 Pertumbuhan yang mulai terhenti setelah adanya pembentukan
kalus 21
12 Kalus yang terbentuk dari eksplan potongan batang tanpa nodus
(A) , kalus yang mulai mengalami browning (B), kalus yang ber
berpotensi untuk berorganogenesis 21

DAFTAR LAMPIRAN
1 Jenis bahan sterilan beserta kisaran konsentrasi dan lama peren-
daman 26
2 Hasil analisis ragam pengaruh teknik sterilisasi eksplan terhadap
persentase pertumbuhan tunas kultur in vitro paulownia 26
1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sepanjang tahun 2011 tercatat jumlah lahan kritis di Indonesia sebesar
27.294.842 ha. Dalam upaya pemulihan lahan kritis diperlukan pemilihan
tanaman yang tepat agar waktu yang dibutuhkan untuk penghijauan kembali
relatif lebih singkat dan memberikan hasil bagi masyarakat. Jenis tanaman fast
growing species menjadi pilihan dalam pemulihan kembali lahan-lahan yang
kritis, salah satunya adalah paulownia. Paulownia adalah tanaman asli dari negeri
Cina dan telah banyak dibudidayakan di beberapa tempat lain di Asia seperti:
Laos, Vietnam, Jepang, dan Korea. Tanaman tersebut juga telah lama
dibudidayakan di Jerman, Irlandia Utara, Paraguay, Brasil, dan di beberapa negara
bagian Amerika seperti Corollina.
Paulownia merupakan tanaman deciduous atau tanaman yang
menggugurkan daun dan termasuk tanaman keras yang memiliki pertumbuhan
yang cepat (fast growing species). Pada tahun pertama tanam paulownia dapat
tumbuh hingga 5–6 m dan memiliki diameter 3–5 cm. Kayu paulownia berwarna
keputih-putihan, abu-abu silver, coklat muda, dan kemerah-merahan dengan serat
kayu yang lurus. Kayunya yang ringan, kuat, dan tahan dilengkungkan membuat
paulownia banyak digemari sebagai bahan baku industi seperti: veneer, plywood,
surfboard, furniture dan lain-lain.
Perbanyakan paulownia dapat dilakukan dengan cara generatif dan
vegetatif. Perbanyakan secara generatif dapat dilakukan dengan baik saat benih
masih baru, persentase kecambah dapat mencapai 100%. Perbanyakan vegetatif
biasanya dilakukan melalui stek akar, stek pucuk, dan kultur in vitro. Perbanyakan
generatif membutuhkan persediaan benih yang masih baik dan dalam jumlah yang
besar untuk menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak, sedangkan
perbanyakan vegetatif dapat menghasilkan jutaan bibit hanya dari satu induk
(teknik in vitro). Sulitnya mendapatkan benih paulownia membuat banyak
perusahaan dari negara-negara yang mengembangkan tanaman ini menggunakan
teknik in vitro untuk menghasilkan bibit paulownia dalam jumlah yang besar.
Selain itu dengan teknik tersebut akan dihasilkan bibit yang sehat, bebas penyakit
dan dapat menghasilkan tanaman yang memiliki sifat genetik yang sama dengan
induknya.
Kultur in vitro merupakan teknik perbanyakan tanaman secara modern
dengan mengisolasi bagian-bagian tanaman seperti: organ, jaringan, sel, dan
protoplasma serta menumbuhkannya dalam kondisi yang aseptik (bebas hama dan
penyakit) sampai menjadi tanaman yang sempurna. Dengan teknik ini
dimungkinkan akan menghasilkan tanaman dalam jumlah besar yang berasal dari
satu tanaman induk.
Kegiatan kultur in vitro dilakukan di dalam ruang kultur steril yang
merupakan konsep kerja dari teknik tersebut. Bagian tanaman yang diinisiasi
disebut sebagai eksplan. Eksplan yang digunakan biasanya berasal dari tunas
pucuk, potongan batang satu buku, potongan batang tanpa buku, daun, akar, dan
biji (endosperma). Tahap awal dalam kegiatan kultur in vitro adalah fase inisiasi
yang akan menghasilkan tanaman bebas dari mikroorganisme dan menjadi awal
2

dari perbanyakan selanjutnya. Pada fase ini digunakan media dasar yang
mendukung pertumbuhan eksplan tanpa campuran zat pengatur tumbuh (ZPT).
Eksplan merupakan sumber kontaminasi dalam fase inisiasi selain sumber
kontaminasi lainnya, seperti ruang kultur, alat-alat kultur, media, dan pekerja.
Sterilisasi dapat menghilangkan sumber kontaminan pada eksplan baik
kontaminan eksternal maupun internal. Penggunaan bahan sterilisasi yang terlalu
pekat dan waktu perendaman yang terlalu lama dapat menghilangkan sumber
kontaminan tetapi juga dapat menghambat pertumbuhan eksplan bahkan
membunuh jaringan tanaman. Konsentrasi bahan sterilisasi yang terlalu rendah
dan waktu perendaman yang terlalu singkat kurang efektif dalam membunuh
kontaminan seperti fungi dan bakteri. Oleh karena itu penggunaan bahan sterilan
dan lamanya waktu perendaman menjadi sangat penting pada fase ini dan harus
dilakukan secara tepat untuk mendukung pertumbuhan eksplan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh teknik sterilisasi pada
inisiasi eksplan paulownia terhadap persentase kontaminasi, browning, dan
pertumbuhan pucuk eksplan paulownia melalui teknik in vitro.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang teknik
sterilisasi yang efektif (konsentrasi dan lamanya waktu perendaman) pada
paulownia dalam mengatasi masalah kontaminasi dan browning yang sering
terjadi saat mengisolasi bagian tanaman untuk menghasilkan tanaman yang steril.
Selain itu dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif dalam
memilih bahan sterilisasi yang tepat dan mudah didapat dalam melakukan
perbanyakan tanaman melalui teknik in vitro.

Hipotesis
Hipotesis yang diajukan ialah semakin tinggi konsentrasi bahan sterilan
yang digunakan dan semakin lama waktu perendaman eksplan, maka semakin
kecil tingkat kontaminasi yang terjadi.
3

TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Umum Paulownia (Paulownia elongata)
Taksonomi dan Tatanama
Paulownia adalah tanaman yang terdiri dari 6–17 spesies seperti:
P. tomentosa, P. fortunei, P. catalpifolia, P. kawakamii, P. grandifolia, dan
P. elongata (Gambar 1). Paulownia merupakan tanaman keras asli dari Cina dan
beberapa negara lainnya di Asia. Paulownia dalam sistem klasifikasi tanaman
digolongkan sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Lamiales
Famili : Paulowniaceae
Genus : Paulownia
Spesies : Paulownia elongata

Gambar 1 Paulownia elongata SY. Hu

Paulownia memiliki beberapa nama yang sering digunakan untuk


menunjukkan tanaman tersebut. Di Cina paulownia dikenal dengan nama
pao-tong dan di negara Asia lainnya seperti Jepang paulownia dikenal dengan
nama kiri tree, emprees tree, dan princess tree. Di Amerika paulownia juga
dikenal dengan nama royal tree.

Daerah penyebaran dan Ekologi


Paulownia memiliki penyebaran yang sangat luas di Cina. Batas utaranya
kira-kira di daerah bagian selatan Liaoning, Beijing, Taiyuan, dan Pinglian.
Paulownia juga tersebar sampai ke Kwangtung dan Kwangsi di bagian selatan.
Taiwan, Ganzu, dan Szechuan di bagian timur dan sebagian besar daerah Yunan
di barat daya. Di Cina paulownia dapat tumbuh pada daerah lembah sampai ke
bukit-bukit, bahkan paulownia dapat tumbuh di pegunungan dengan ketinggian
2000 mdpl. Paulownia dapat ditemukan di Jepang dan Cina pada garis lintang
antara 32–40 oLU dengan ketinggian 500–1.800 mdpl (Johnson 2000).
Pertumbuhan paulownia yang optimal dipengaruhi oleh faktor-faktor ekologi yang
sesuai untuk tanaman tersebut seperti: tanah, curah hujan, dan suhu.
Paulownia merupakan tanaman yang cepat tumbuh dan memiliki toleransi
yang besar terhadap keragaman tempat tumbuh. Tanaman ini akan tumbuh dengan
baik pada lahan yang subur dengan iklim sedang. Paulownia juga tumbuh pada
tanah yang tandus dan tanah laterit. El-Showk S dan El-Showk N (2003)
mengatakan paulownia dapat tumbuh dengan baik pada tanah berpasir tetapi
kurang optimal pada lahan dengan kandungan tanah liat dan berbatu. Masing-
masing jenis paulownia memiliki toleransi yang berbeda terhadap pH tanah.
4

Jenis P. elongata dan P. tomentosa dapat hidup pada tanah dengan pH 5–8.9,
sedangkan jenis lainnya seperti P. fortunei dan P. fargessi masing-masing pada
pH 5–8 dan 5–6.
Paulownia memiliki daun yang sangat lebar dan perkembangan akar yang
baik. Oleh karena itu kebutuhan akan air sangat besar dan kelembaban yang cukup
akan mendorong pertumbuhan paulownia. Curah hujan untuk pertumbuhan
paulownia sangat bervariasi yaitu antara 500–2.600 mm dan masih dapat hidup
pada curah hujan di bawah 500 mm. Selain itu paulownia dapat beradaptasi
dengan berbagai suhu. Suhu optimum untuk meningkatkan pertumbuhan diameter
dan tinggi tanaman sekitar 24–29 oC (El-Showk S dan El-Showk N 2003).
Semakin lama suhu optimum berlangsung maka semakin baik pertumbuhan
paulownia. Paulownia merupakan tanaman yang menggugurkan daun. Di habitat
aslinya paulownia akan mulai mengalami dormansi saat memasuki musim gugur
yang ditandai dengan berhentinya pertumbuhan sebelum menggugurkan daunnya.
Untuk jenis P. elongata pertumbuhan biasanya akan terhenti pada bulan Oktober
dengan suhu sekitar 18 oC.

Keterangan Botanis
Paulownia memiliki tinggi sekitar 12–16 m, bahkan terkadang dapat
mencapai lebih dari 20 meter (Johnson 2000). Tanaman tersebut memiliki daun
yang sangat besar dengan lebar daun 15–40 cm. Pada tahun pertama setelah
tanam paulownia dapat mencapai tinggi sekitar 6 m dengan diameter mencapai
3–5 cm. Namun, pada tempat tumbuh yang sesuai, di tahun pertamanya paulownia
dapat mencapai tinggi 8 m dengan diameter at breast height (DBH) 8 cm.
Paulownia memiliki bunga yang berbentuk seperti lonceng dan masing-masing
spesies memiliki warna bunga yang berbeda mulai dari warna putih, putih
keunguan, sampai warna ungu. Paulownia memiliki buah berbentuk kapsul. Benih
paulownia berukuran kecil, ringan, dan bersayap. Setiap polong buah paulownia
berisi 2000 benih dan dalam satu kilogram buah terdapat kira-kira 4–6 juta benih
(Johnson 2000).
Menurut Clatterbuck dan Hodges (2004), di Jepang banyak produk
diproduksi berasal dari kayu paulownia, hal ini karena sifatnya yang menarik,
kuat, ringan, mudah dikerjakan, dan mempunyai kualitas yang baik untuk alat-alat
musik. Selain itu kayu paulownia juga mudah dikeringkan secara alami tanpa
mengalami retak dan mampu merespon dengan baik bahan perekat dalam
pembuatan plywood.

Kegunaan dan Manfaat


Kayu paulownia memiliki warna yang terang dan merupakan kayu yang
ringan dan mudah untuk dikeringkan. Di Cina kayu paulownia banyak digunakan
untuk kebutuhan rumah tangga seperti: pintu, jendela, balok, plafon, dan atap
bagian dalam rumah. Selain ringan kayu paulownia juga tahan jika
dilengkungkan. Oleh karena itu kayu tersebut juga sering digunakan untuk
membuat kapal dan papan selancar.
Menurut Australian Standard (2005) kekuatan alami kayu paulownia
masuk ke dalam kelas IV dan tidak tahan terhadap serangan rayap. Paulownia
memiliki serat kayu yang halus, pola serat yang indah, tidak mengalami keretakan
5

saat dikeringkan, mudah dikupas, dan mampu merespon dengan baik bahan
perekat, sehingga membuat kayu tersebut banyak digunakan dalam industri veneer
dan plywood. Menurut Bell et al. (2005) kerapatan kayu paulownia adalah 260
kg/m3, diasumsikan kekuatan paulownia lebih rendah dari spesies komersial
lainnya dan tidak cocok digunakan dalam aplikasi struktural. Selanjutnya Akyildis
dan Kol (2009) menambahkan bahwa kayu paulownia memiliki kekuatan tekan
25.55 N/mm2 dan kekuatan lengkung 43.55 N/mm2 sehingga bisa digunakan
untuk beberapa produk yang menuntut kelembutan tetapi dengan kekuatan yang
relatif tinggi.
El-Showk S dan El-Showk N (2003) mengatakan paulownia memiliki
warna kayu yang putih dengan pertumbuhan tanaman yang tergolong cepat.
Paulownia mengandung selulosa 46–49%, hemiselulosa 22–25%, dan lignin
21–23%, sehingga kayu paulownia sangat baik digunakan untuk memproduksi
bubur kertas. Kemudahan dalam pengolahannya membuat kayu paulownia
disenangi untuk membuat berbagai produk furniture seperti: meja, kursi, lemari,
dan berbagai jenis peti antara lain peti ikan, peti teh, peti buah dan lain-lain.
Masih banyak manfaat yang dapat dihasilkan dari paulownia. Paulownia
juga memiliki manfaat di bidang pengobatan. Daun dan buah paulownia dapat
dimanfaatkan sebagai obat untuk penderita bronkhitis, terutama untuk mengurangi
batuk dan dahak. Selain itu daun paulownia juga sering digunakan untuk pakan
ternak serta tambahan untuk memproduksi pupuk kompos sebab daun paulownia
memiliki kandungan nitrogen yang cukup besar.

Tinjauan Umum Kultur In Vitro


Pengertian dan Manfaat Kultur In Vitro
Santoso dan Nursandi (2003) menerangkan kultur in vitro adalah teknik
budidaya sel, jaringan, organ tanaman dalam suatu lingkungan yang terkendali
dan dalam keadaan aseptik atau bebas mikroorganisme. Selanjutnya Zulkarnain
(2009) menambahkan kultur in vitro tanaman adalah istilah umum yang mengacu
pada semua bentuk kultur aseptik jaringan tanaman yang ditujukan terhadap
berbagai tanaman yang meliputi organ, sel, kalus, protoplasma, dan embrio.
Perkembangan kultur in vitro berawal dari teori totipotensi (Total Genetic
Potential) yang disampaikan oleh Sclheiden dan Schwan pada tahun 1838. Teori
tersebut menyebutkan bahwa sel tanaman mengandung material genetik dan pada
prinsipnya mampu menjadi tanaman lengkap apabila ditumbuhkan pada
lingkungan tumbuh yang sesuai. Pada umumnya sifat totipotensi dimiliki oleh
tanaman yang masih juvenil, muda, dan pada daerah-daerah yang aktif membelah
(meristematik). Oleh karena itu bahan tanam atau eksplan yang sering digunakan
adalah bagian-bagian dari tanaman yang masih aktif membelah seperti pucuk,
daun muda, ujung akar, biji, anther, kepala sari, dan sebagainya.
Kegunaan utama dari teknik in vitro adalah untuk mendapatkan klon atau
perbanyakan massal dari tanaman dalam waktu yang relatif singkat, yang
mempunyai sifat fisiologi dan morfologi sama dengan tanaman induknya. Selain
itu telah banyak ditemukan manfaat lain dari kultur in vitro. Santoso dan Nursandi
(2003) manyampaikan beberapa manfaat lain dari teknik tersebut antara lain:
mengatasi perbanyakan tanaman yang persentase perkecambahan bijinya rendah
dan sulit membentuk biji sedangkan perbanyakan vegetatifnya rendah,
6

mempermudah dalam penyelamatan tanaman yang terancam punah, menghasilkan


tanaman yang bebas bahkan tahan terhadap serangan bakteri dan virus melalui
kultur meristem, melalui manipulasi kondisi kultur dapat dihasilkan tanaman yang
toleran terhadap lingkungan tertentu, dan lain-lain.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Teknik In Vitro


Sel-sel tanaman yang diinduksi dapat diarahkan ekspresi totipotensinya
tergantung dari tujuannya. Keberhasilan ekspresi tersebut dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu seleksi bahan tanaman, teknik sterilisasi eksplan, komposisi
media, penambahan zat pengatuh tumbuh, dan faktor lingkungan di mana kultur
ditempatkan.
Bahan tanaman yang digunakan biasanya merupakan bagian tanaman yang
masih aktif membelah. Bahan tanaman yang berasal dari benih biasanya
mengalami dormansi. Pematahan dormansi dapat dilakukan dengan merendam
benih ke dalam bahan sterilisasi. Perendaman benih Pinus merkusii dalam larutan
hidrogen peroxida (H2O2) pada konsentrasi 7% selama 10 menit dapat
mematahkan dormansi benih sekaligus efektif dalam mengatasi sumber
kontaminan yang terdapat pada benih (Nurtjahjaningsih 2009).
Kondisi bahan tanaman yang digunakan sebagai eksplan harus sehat dan
kuat. Penggunaan bahan tanam dari potongan batang ramin (Gonystilus bancanus)
yang masih sangat muda menyebabkan eksplan mengalami kematian setelah
proses sterilisasi, sedangkan eksplan yang lebih dewasa mampu berkembang dan
merespon dengan baik perlakuan yang diberikan (Yelnititis dan Komar 2011).
Kondisi bahan tanam antara satu tanaman dengan tanaman lainnya sangat
berbeda. Untari dan Puspitaningtyas (2006), menyatakan bahwa kondisi fisiologi
tumbuhan memberikan respon yang berbeda terhadap perlakuan yang diberikan.
Selanjutnya Zulkarnain (2009) menambahkan bahwa jaringan yang kurang aktif
sering menginginkan modifikasi jenis dan takaran zat pengatur tumbuh selama
proses pengkulturan dan semakin tua organ eksplan yang digunakan, maka proses
pembelahan dan regenerasi sel cenderung semakin menurun.
Bahan eksplan biasanya mengandung debu, kotoran-kotoran, dan berbagai
sumber kontaminan lainnya pada permukaan eksplan terlebih jika bahan yang
digunakan berasal dari lapangan. Zulkarnain (2009) menyatakan terdapat
beberapa sumber kontaminan mikroorganisme pada sistem in vitro antara lain:
media tanam yang kurang steril, lingkungan kerja, pelaksanaan yang kurang hati-
hati, eksplan yang kurang steril, dan serangga atau hewan kecil yang berhasil
masuk ke dalam botol kultur setelah diletakkan dalam ruang inkubasi.
Penggunaan bahan sterilan mutlak dibutuhkan dalam perbanyakan
tanaman secara in vitro. Dalam kultur in vitro perbanyakan tanaman tanpa
penggunaan bahan sterilan (kontrol) akan menghasilkan tingkat kontaminasi
eksplan yang tinggi. Seperti yang disampaikan oleh Gunawan (2007), 80%
kontaminasi terjadi 11 hari setelah inokulasi pada perlakuan tanpa menggunakan
bahan sterilan (kontrol) pada eksplan anggrek kuping gajah (Bulbophyllum
beccarii). Bahan-bahan sterilan pada umumnya bersifat racun, selain dapat
membunuh kontaminan, bahan tersebut juga dapat mematikan jaringan tanaman.
Rismayani dan Hamzah (2010) mengatakan konsentrasi bahan sterilan yang kecil
membuat eksplan rentan terhadap patogen, namun semakin tinggi konsentrasi
7

bahan sterilan maka akan menghambat perkembangan jaringan planlet pada


tanaman Aglaonema sp. Larutan hipoklorit (natrium dan kalsium) telah terbukti
mampu mengatasi kontaminasi permukaan pada beberapa tanaman. Seperti yang
dilaporkan Rismayani dan Hamzah (2010) penggunaan bahan sterilisasi kloroks
3% mampu mensterilkan jaringan Aglaonema sp. dengan sempurna dan
meningkatkan jumlah tunas tanaman. Selain itu menurut Khairunisa (2009),
penggunaan alkohol 70% selama 3 menit efektif dalam mensterilkan tanaman
binahong (Anredera cordifolia) dengan tingkat keberhasilan mencapai 92.76%.
Secara umum bahan kimia yang sering digunakan dalam sterilisasi eksplan beserta
kisaran konsentrasinya dan lama waktu perendaman terdapat pada Lampiran 1
(Gunawan 1992).
Penanganan bahan tanaman yang berasal dari lapangan lebih sulit
dibandingkan dengan tanaman yang dipelihara di dalam rumah kaca.
Nurhaimi-Haris et al. (2009) menggunakan bahan pra-sterilan desogerme dalam
mengatasi masalah kontaminan pada eksplan karet dengan hasil yang baik.
Desogerme memiliki kemampuan merusak membran dan sel protein berbagai
jenis mikrob namun cukup aman untuk jaringan tanaman, sehingga cukup efektif
digunakan sebagai desinfektan. Penggunaan merkuri klorida (HgCl2) telah banyak
dilakukan untuk mengatasi kontaminan yang berasal dari lapangan. Gunawan
(2007) menyampaikan penggunaan HgCl2 0.01% kurang efektif dalam mengatasi
kontaminasi pada eksplan anggrek kuping gajah (B. beccarii). Penggunaan bahan
tersebut merupakan pilihan terakhir sebab merupakan bahan yang sangat beracun
dan dapat mencemari lingkungan jika penanganannya tidak dilakukan dengan
hati-hati.
Media kultur in vitro mengandung garam-garam anorganik yang
dibutuhkan eksplan yang sama dengan kebutuhan tanaman akan garam-garam
organik yang diperoleh tanaman pada lingkungan alaminya. Media yang paling
sering digunakan adalah media Murashige dan Skoog (media MS) karena
memiliki jumlah garam-garam anorganik yang lebih tinggi dari pada media
lainnya. Selain itu pada umumnya media MS juga mendukung pertumbuhan
berbagai tanaman.
Dalam media kultur in vitro sering ditambahkan senyawa organik
kompleks seperti air kelapa, ekstrak ragi, malt, pisang, kentang, dan jus tomat.
Menurut Syammiah (2006) penambahan 5% jus lidah buaya, 5% jus tomat, dan
7.5% jus pisang dapat memenuhi kebutuhan protocorm like bodies (PLB)
tanaman Dendrobium sp. dalam pembentukan klorofil. Selanjutnya Untari dan
Puspitaningtyas (2006) menambahkan bahwa penambahan senyawa organik dari
ekstrak ubi jalar, air kelapa, dan ekstrak pisang tanpa penambahan zat pengatur
tumbuh dapat mendorong induksi pemanjangan akar, jumlah akar, dan jumlah
tunas dari tanaman anggrek hitam. Selain itu menurut Gunawan (1992)
penambahan arang aktif dalam media tanam dapat meningkatkan perkembangan
kultur dan merangsang pertumbuhan akar dengan mengurangi tingkat cahaya yang
sampai ke bagian eksplan yang terdapat dalam media. Hutami (2008)
menambahkan bahwa arang aktif dapat menghilangkan pewarnaan pada media
dengan menyerap dan mengoksidasi fenol dan menginaktifkan peroksidase.
Dalam kultur in vitro, pemberian zat pengatur tumbuh menjadi sangat
penting untuk memacu perkembangan tanaman dan membantu menentukan
8

ekspresi dari tujuan yang diinginkan. Menurut Yelnititis dan Komar (2011)
pemberian Thidiazuron 2 mg/L mampu menginduksi tunas dari eksplan ramin
(G. bancanus) dalam waktu yang relatif singkat yaitu 5.1 hari. Zat pengatur
tumbuh yang sering digunakan berasal dari kelompok auksin dan sitokinin. Jenis
auksin antara lain: indole-3-acetic acid (IAA), α-naphthalenaacetic acid (NAA),
indole-3-butyric acid (IBA), dan 2,4-dichlorophenoxy acetic acid (2,4-D),
sedangkan jenis sitokinin adalah kinetin, benziladenin (BA), zeatin, dan 2iP.
Pemberian auksin dapat membantu pemanjangan sel, pembelahan sel, dan
pembentukan akar adventif. Yunita et al. (2011) menyatakan pemberian IBA
1 mg/L dapat meningkatkan perakaran pulai pandak (Rauwolfia serpentina)
dengan rata-rata panjang akar mencapai 2.6 cm. Pemberian sitokinin dapat
meningkatkan pembelahan sel, mengatur pertumbuhan tanaman, meningkatkan
perkecambahan, dan proliferasi pucuk. Dalam menginduksi pembentukan jumlah
tunas biasanya konsentrasi auksin lebih rendah dibandingkan dengan sitokinin.
Pemberian zat pengatur tumbuh BAP 3 mg/L dan NAA 0.03 mg/L menghasilkan
respon pembentukan jumlah tunas yang baik pada tanaman sengon (Herawan dan
Ismail 2009). Hal yang serupa juga disampaikan oleh Lestari (2011) yang
mengatakan pada umumnya tanaman berkayu memerlukan zat pengatur tumbuh
sitokinin dalam konsentrasi yang lebih besar berkisar 5–10 mg/L untuk
meningkatkan proliferasi tunas dan terkadang perlu ditambahkan auksin dalam
jumlah yang relatif rendah antara 0.1–0.3 mg/L.

Faktor Lingkungan yang Berpengaruh terhadap Perkembangan Kultur


Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap keberhasilan kultur in vitro
antara lain adalah suhu, kelembaban, cahaya, karbondioksida, oksigen, dan etilen.
Masing-masing faktor tersebut berkaitan satu dengan yang lainnya dalam
mempengaruhi perkembangan eksplan yang dikulturkan.
Menurut Gunawan (1992), suhu yang umum digunakan dalam kultur in
vitro adalah 25–28 oC yang merupakan suhu ruangan normal untuk pertumbuhan
tanaman. Suhu optimum untuk perkembangan tanaman secara in vitro tidak selalu
sama pada setiap spesies tanaman. Zulkarnain (2009) melaporkan, pada spesies
Streptocarpus hybrida suhu 12 oC merupakan yang terbaik untuk pembentukan
pucuk secara langsung pada eksplan potongan daun dan apabila suhu dinaikkan
sampai 30 oC dapat mengurangi pertumbuhan pucuk adventif. Pertamawati (2010)
juga melaporkan adanya perbedaan suhu antara periode terang dan gelap dapat
meningkatkan berat kering pada eksplan kentang (Solanum tuberosum).
Cahaya juga mempengaruhi perkembangan suatu eksplan. Menurut
Hutami (2008) penyimpanan eksplan di dalam ruang gelap sampai 14 hari dari
awal inkubasi dapat mengatasi masalah browning pada jaringan sebelum
ditransfer ke ruangan dengan intensitas cahaya rendah (500–1000 lux).
Selanjutnya Pertamawati (2010) melaporkan bahwa eksplan kentang (Solanum
tuberosum)yang dikulturkan di bawah intensitas cahaya yang tinggi memiliki
warna daun yang lebih hijau dan berat kering akan meningkat seiring dengan
meningkatnya suhu.
Pemilihan tutup wadah kultur menjadi sangat penting karena akan
berpengaruh terhadap CO2, uap air, dan konsentrasi gas etilen (Zulkarnain 2009).
Percobaan yang dilakukan oleh Nurhaimi-Haris et al. (2009) pada eksplan karet
9

(Hevea brasiliensis) menghasilkan tutup tabung yang menggunakan kapas


memberikan hasil induksi tunas aksilar yang lebih baik dibandingkan dengan
tutup tabung menggunakan parafilm, diduga karena adanya pertukaran gas dan
aerasi yang lebih baik.

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Silvikultur, Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitian dilaksanakan selama ± delapan bulan
yaitu dari bulan Juni 2012 sampai dengan Januari 2013.

Bahan dan Alat Penelitian


Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian tersebut berupa bahan
tanam (eksplan), media tanam, dan bahan sterilisasi eksplan. Eksplan yang
digunakan adalah tunas pucuk dan batang berbuku satu yang masih tergolong ke
dalam pucuk tanaman. Bahan tanaman ini berasal dari bibit paulownia hasil
perbanyakan secara generatif yang berumur ± 3 bulan.
Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media MS (Murashige
dan Skoog) lengkap yang telah ditambahkan vitamin, asam amino, dan sukrosa.
Dalam pengambilan data tambahan yaitu tahap multiplikasi ditambahkan zat
pengatur tumbuh (ZPT) berupa NAA dan BA dengan konsentrasi 0.2 mg/L NAA
dan 7 mg/L BA untuk perlakuan I, sedangkan perlakuan II yaitu 0.2 mg/L NAA
dan 5 mg/L BA. Dalam media dasar ditambahkan agar-agar sebagai pemadat
media.
Bahan lainnya adalah berupa bahan kimia yang digunakan untuk sterilisasi
eksplan. Bahan sterilisasi yang digunakan adalah deterjen, sunlight, fungisida
(mankozeb), bakterisida (streptomisin), bayclin 20%, 15%, 10%, 5%, so klin
20%, 15%, 10%, 5%, alkohol 70%, alkohol 95%, betadine, dan air steril.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah botol kultur, gelas
piala, labu erlenmeyer, labu ukur, cawan petri, pipet, pipet bulp, sendok takar,
spatula, gunting, pinset, skalpel, lampu bunsen, timer, sprayer, kertas lakmus,
tissue, plastik, karet gelang, sarung tangan, timbangan analitik, magnetik stirer,
oven, otoklaf, laminar air flow, dan ruang kultur serta alat-alat lainnya yang biasa
digunakan dalam kegiatan kultur in vitro.

Metode Kerja
A. Penyiapan bahan tanam
Bahan tanaman yang berasal dari bibit yang diperbanyak secara generatif
terlebih dahulu dipangkas untuk mendapatkan pucuk-pucuk muda dalam jumlah
besar dan disemprot dengan bahan fungisida dan bakterisida untuk meminimalkan
sumber kontaminan yang berasal dari eksplan.
10

B. Sterilisasi alat
Alat-alat yang digunakan dalam kegiatan tersebut harus dalam keadaan
steril. Botol kultur dan alat-alat logam (pinset, gagang scalpel, gunting, dll), gelas
(cawan petri, pipet, dll) dibungkus dengan kertas kemudian disterilisasi dengan
otoklaf pada suhu 121 oC dengan tekanan 1 atm selama ± 60 menit. Pada saat
penanaman alat yang digunakan disterilisasi permukaannya dengan
mencelupkannya ke dalam alkohol 70% dan membakarnya dengan bunsen.
Alat-alat logam dan kaca (pipet dan cawan petri) setelah disterilisasi selanjutnya
disimpan di dalam oven dengan suhu 50 oC sampai alat-alat tersebut digunakan
dan botol kultur disimpan di dalam rak inisiasi.
C. Sterilisasi lingkungan kerja
Sebelum penanaman permukaan laminar air flow disterilisasi dengan
menyalakan lampu ultraviolet selama ± 30 menit untuk membunuh kontaminan
yang terdapat di permukaan meja kerja. Meja kerja disemprot terlebih dahulu
dengan alkohol 70%, dibersihkan dengan tissue dan kemudian blower dinyalakan
untuk meniupkan udara steril secara kontinu melewati tempat kerja. Tangan
pekerja juga disterilkan dengan menyemprotkan alkohol 70% serta menggunakan
jas laboratorium dan masker untuk menghindari kontaminan yang berasal dari
pekerja.
D. Sterilisasi Air
Air yang digunakan berasal dari air kemasan yang disterilisasi dengan
otoklaf. Air dimasukkan ke dalam botol kultur sebanyak 1/3 volume botol. Mulut
botol ditutup dengan plastik dan diikat dengan karet gelang agar air tidak
menguap. Sterilisasi air dilakukan selama ± 30 menit. Setelah selesai, air steril
disimpan di dalam ruang inkubasi sampai digunakan dalam penanaman.
E. Pembuatan media
Media yang digunakan adalah media MS (Murashige dan Skoog) lengkap
yang telah ditambahkan vitamin, asam amino, sumber energi, dan pemadat media.
Media yang digunakan merupakan media kultur siap pakai berupa bubuk kering.
Media dimasukkan ke dalam 500 mL air kemudian diaduk hingga rata. Sumber
energi diperoleh dengan pemberian gula sebanyak 30 g/L yang dilarutkan dalam
200 mL air kemudian ditambahkan ke dalam larutan media dan pH diukur hingga
berkisar 5.5–5.8 sebelum ditambahkan bahan pemadat. Media dipanaskan di atas
pemanas dengan magnetik stirer kemudian ditambahkan agar-agar sebanyak 8 g/L
secara perlahan sambil diaduk. Kemudian ditambahkan air sampai tepat mencapai
1000 mL. Pemanasan media dilakukan sampai media mendidih. Selanjutnya
media dituangkan ke dalam botol kultur dengan ketebalan media ± 1 cm, ditutup
rapat dengan plastik dan diikat dengan karet gelang serta disterilisasi dengan
otoklaf pada suhu 121 oC, tekanan 1 atm selama 15 menit.
F. Sterilisasi media
Media yang telah dimasukkan ke dalam botol-botol kultur dan telah
ditutup rapat dengan plastik selanjutnya disterilisasi dengan otoklaf dengan suhu
121 oC pada tekanan 1 atm selama ± 30 menit. Setelah waktu sterilisasi tercapai
selanjutnya tekanan otoklaf diturunkan secara perlahan agar cairan di dalamnya
11

tidak meluap. Kemudian media disimpan di dalam ruang inkubasi sampai media
digunakan dalam penanaman.
G. Sterilisasi eksplan
Eksplan yang diambil dari lapangan dimasukkan ke dalam wadah yang
berisi air untuk menjaga kadar air eksplan. Kemudian dibersihkan di bawah air
mengalir dengan menyikat bagian-bagian tanaman. Selanjutnya direndam dalam
air yang telah diberi deterjen 2 g/100 mL dan dilanjutkan dengan perendaman
eksplan di dalam 100 mL air yang telah ditambahkan sunlight secukupnya
kemudian dibilas dengan air hingga bersih. Setelah itu ukuran eksplan diperkecil
lagi dan direndam dalam larutan fungisida dan bakterisida selam 30 menit serta
dibilas dengan air hingga bersih. Pada tahap akhir, sterilisasi dilakukan di dalam
laminar air flow dengan perendaman eksplan ke dalam alkohol 70%, larutan
kloroks (bayclin dan so klin 20%, 15%, 10%, dan 5%), betadine, dan pembilasan
dengan air steril. Uraian perlakuan sterilisasi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Perlakuan sterilisasi pada eksplan paulownia
Lama
Perlakuan Bahan sterilisasi Konsentrasi
perendaman
I Deterjen 2 g/100 mL 5 menit
Sunlight 1 tutup botol 5 menit
Fungisida dan bakterisida 0.2 g + 0.2 g/100 mL 30 menit
Alkohol 70% ± 30 detik
Bayclin 20%, 15%, 10% (3, 3, 5) menit
Betadine 4–5 tetes ± 3–5 menit
II Deterjen 2 g/100 mL 5 menit
Sunlight 1 tutup botol 5 menit
Fungisida dan bakterisida 2 g + 2 g/100 mL 30 menit
Alkohol 70% ± 30 detik
Bayclin 15%, 10%, 5% (3, 3, 5) menit
Betadine 4–5 tetes ± 3–5 menit
III Diterjen 2 g/100 mL 5 menit
Sunlight 1 tutup botol 5 menit
Fungisida dan bakterisida 0.2 g + 0.2 g/100 mL 30 menit
Alkohol 70% ± 30 detik
So Klin 20%, 15%, 10% (3, 3, 5) menit
Betadine 4–5 tetes ± 3–5 menit
IV Diterjen 2 g/100 mL 5 menit
Sunlight 1 tutup botol 5 menit
Fungisida dan bakterisida 2 g + 2 g/100 mL 30 menit
Alkohol 70% ± 30 detik
So Klin 15%, 10%, 5% (3, 3, 5) menit
Betadine 4–5 tetes ± 3–5 menit
12

H. Penanaman eksplan
Eksplan yang telah disterilisasi diambil dengan menggunakan pinset yang
telah dicelupkan ke dalam larutan alkohol dan ditanam pada media MS0.
Selanjutnya pada tahap multiplikasi ekplan steril yang telah tumbuh di dalam
media MS0 dipindahkan ke dalam media MS yang telah ditambahkan zat pengatur
tumbuh berupa NAA dan BA.
I. Pemeliharaan
Botol-botol kultur yang telah berisi eksplan dimasukkan ke dalam ruang
inkubasi. Selanjutnya dilakukan pengamatan dan pemisahan botol-botol yang
telah terkontaminasi.

Pengamatan
Pengamatan dilakukan selama 5 minggu. Peubah yang diamati meliputi:
1. Persen kontaminasi
Persen kontaminasi diukur dengan menghitung jumlah tanaman yang
terkontaminasi mulai dari satu minggu setelah eksplan diinokulasi (MSI).
Selanjutnya pengamatan dilakukan setiap minggunya sampai akhir
pengamatan. Persen kontaminasi dihitung dengan cara :
% Kontaminasi = ∑ eksplan yang terkontaminasi / jumlah seluruh eksplan
2. Persen browning
Persen browning diukur dengan menghitung jumlah tanaman yang
mengalami browning mulai dari satu minggu pertama setelah eksplan
diinokulasi (MSI). Selanjutnya pengamatan dilakukan setiap minggunya
sampai akhir pengamatan. Persen browning dihitung dengan cara :
% Browning = ∑ eksplan yang terjadi browning / jumlah seluruh eksplan
3. Persen pembentukan tunas
Persen pembentukan tunas diukur dengan menghitung jumlah tanaman
yang tumbuh membentuk tunas mulai dari minggu pertama sampai dengan
akhir pengamatan. Persen pembentukan tunas dihitung dengan cara :
% Pembentukan tunas = ∑ eksplan yang bertunas / jumlah seluruh eksplan

Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
(RAL) satu faktor yaitu teknik sterilisasi yang terdiri atas empat taraf perlakuan.
Jumlah ulangan dalam setiap perlakuan adalah empat kali ulangan dan setiap
ulangan terdiri atas sepuluh unit percobaan berupa botol kultur.
Model rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
Yij = µ + αi + €ij
Keterangan :
Yij = nilai pengamatan pada satuan percobaan yang memperoleh teknik
sterilisasi ke-i pada ulangan ke-j
µ = nilai rata-rata umum
13

αi = pengaruh teknik sterilisasi ke-i


€ij = galat percobaan dari teknik sterilisasi ke-i dan ulangan ke-j
i = 1, 2, 3, 4
j = 1, 2, 3, 4
Data hasil pengamatan persen kontaminasi, browning, dan pembentukan
tunas dianalisis ragam dengan menggunakan anova seperti pada Tabel 2.
Tabel 2 Model one way anova
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat
F-Hitung Peluang
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah
Perlakuan t-1 JKP JKP/DBP KTP/KTG P < 0.05
Galat t(r-1) JKG JKG/DBG
Total (r.t)-1 JKT
Pengelolaan data hasil pengamatan pada kultur in vitro paulownia dibantu dengan
menggunakan program SPSS 18 for windows.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tingkat Kontaminasi Kultur
Dalam kultur in vitro fase inisiasi merupakan fase pertama yang bertujuan
untuk mendapatkan eksplan yang bebas dari mikroorganisme dan menghasilkan
inisiasi pertumbuhan baru. Pada fase ini masalah kontaminasi menjadi faktor
pembatas utama yang sering kali dijumpai. Hasil pengamatan pada kultur
paulownia dengan 4 perlakuan teknik sterilisasi eksplan yaitu A (Dhitane M-45
0.2 g/100 mL, Agrept 80 WP 0.2 g/100 mL, Bayclin 20%, 15%, 10%), B (Dhitane
M-45 2 g/100 mL, Agrept 80 WP 2 g/100 mL, Bayclin 15%, 10%, 5%),
C (Dhitane M-45 0.2 g/100 mL, Agrept 0.2 g/100 mL, So Klin 20%, 15%, 10%),
dan D (Dhitane M-45 2 g/100 mL, Agrept 80 WP 2 g/100 mL, So Klin 15%, 10%,
5%) menunjukkan tingkat kontaminasi yang tinggi akan menurunkan keberhasilan
dalam kegiatan kultur in vitro. Hasil analisis ragam pengaruh teknik sterilisasi
eksplan terhadap tingkat kontaminasi kultur paulownia dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil analisis ragam pengaruh teknik sterilisasi eksplan terhadap tingkat
kontaminasi kultur in vitro paulownia
Derajat Jumlah Kuadrat
Sumber
Bebas Kuadrat Tengah F-hitung Sig.
Keragaman
(DB) (JK) (KT)
Perlakuan 3 668.750 222.917 0.626tn 0.612
Galat 12 4275.000 356.250
Total 15 4943.750
tn : tidak berbeda nyata pada taraf uji 0.05.

Dari Tabel 3 diperoleh hasil analisis ragam dengan nilai F hitung 0.626
dan Sig. sebesar 0.612 menunjukkan bahwa teknik sterilisasi dari ke empat
perlakuan tersebut tidak berbeda nyata terhadap persentase kontaminasi karena
nilai P > 0.05. Dengan demikian penggunaan ke empat teknik sterilisasi
14

memberikan pengaruh yang sama terhadap tingkat kontaminasi eksplan pada fase
inisiasi paulownia.
Bahan-bahan sterilan dari ke empat perlakuan tergolong sama yaitu
menggunakan bahan aktif natriun hipoklorit (Bayclin dan So Klin), mankozeb
80% (Dhitane M-45), dan streptomisin (Agrept 80 WP) dengan konsentrasi yang
berbeda. Tingkat kontaminasi eksplan dari ke empat perlakuan pada akhir
pengamatan atau lima minggu setelah inokulasi tergolong tinggi yaitu 53.13%
perlakuan yang diberikan mengalami kontaminasi. Tingkat kontaminasi eksplan
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti media tanam, lingkungan kerja, asal
eksplan khususnya yang berasal dari lapangan, dan pekerjaan yang kurang teliti.
Tingkat kontaminasi eksplan selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Tingkat kontaminasi eksplan paulownia pada akhir pengamata


(5 MSI)
Perlakuan C memberikan persentase kontaminasi terendah yaitu 42.5%,
sedangkan tingkat kontaminasi tertinggi terjadi pada perlakuan A yaitu 60%.
Kontaminasi pada kultur paulownia tersebut disebabkan oleh mikroorganisme
berupa bakteri dan fungi. Kontaminasi didominasi oleh bakteri dan pada akhir
pengamatan dari semua eksplan paulownia yang terkontaminasi, 93.96%
disebabkan oleh bakteri dan 11.5% disebabkan oleh fungi. Namun perlakuan C
dapat direkomendasikan untuk dijadikan pilihan sebagai teknik sterilisasi
paulownia sebab menggunakan konsentrasi yang lebih rendah sehingga dapat
menghemat penggunaan bahan sterilan.
Kontaminasi yang disebabkan oleh fungi tergolong rendah. Hal tersebut
dimungkinkan karena penggunaan fungisida berbahan aktif mankozeb 80% yang
mampu menghambat pertumbuhan fungi yang terdapat pada permukaan eksplan.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Supriyanto dan Irawan
(2005) yang mengatakan bahwa penggunaan fungisida dengan bahan aktif
mankozeb 80% pada konsentrasi di atas 700 µM dapat menjadi inhibitor yang
menghambat pertumbuhan miselia dari fungi Cenococum geophilum. Selanjutnya
Sembiring (2008) juga menyatakan penggunaan fungisida berbahan aktif
mankozeb 80% dapat menghambat perkembangan diameter dari koloni fungi
Cylindrocladium scoparium yang merupakan penyebab penyakit busuk daun teh
(Camelia sinensis) secara stabil dari minggu ke minggu berikutnya. Hal tersebut
menunjukkan penggunaaan mankozeb 80% dapat menghambat perkembangan
15

dari beberapa jenis fungi termasuk jenis Fusarium. Seperti yang disampaikan oleh
Hamidin et al. (2009) bahwa penggunaan mankozeb 80% dengan aplikasi 3 g/L
akan menurunkan busuk kering ubi dan aplikasi 4.5 g/L dapat meniadakan
serangan fungi Fusarium terhadap busuk kering ubi pada tanaman kentang
(Solanum tuberosum).
Kontaminasi yang disebabkan oleh bakteri jumlahnya cukup besar
walaupun dalam sterilisasi telah menggunakan bahan aktif streptomisin yang
merupakan bakterisida sistemik. Hal ini dimungkinkan karena bakteri memiliki
kemampuan untuk menetralisir senyawa antimikrobia atau karena adanya
glycocalyx yang melindungi bakteri kontaminan dari senyawa beracun. Pengujian
bakteri patogen pada tanaman ulin (Eusideroxylon zwageri) secara in vitro
menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara waktu sterilisasi dan
persentase kontaminasi bakteri dengan ketebalan koloni bakteri. Kontaminasi
kultur 20% menghasilkan rerata ketebalan koloni bakteri 1 mm, sedangkan
kontaminasi tertinggi sebesar 39% menghasilkan rerata ketebalan koloni bakteri
sebesar 7 mm (Putri 2009).
Dari hasil pengamatan terlihat bahwa masing-masing kontaminan baik
bakteri maupun fungi terdiri dari beberapa jenis, ada yang berwarna putih, merah,
dan coklat kehitaman (Gambar 3).

A B C

D E F

Gambar 3 Kontaminasi eksplan paulownia oleh bakteri (A, B, C)


dan fungi (D, E, F)
Media in vitro yang diperkaya dengan garam-garam anorganik serta
sumber energi merupakan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan bakteri
dan fungi. Kontaminan berkembang dengan cepat hingga menutupi eksplan dan
akhirnya menghambat dan membunuh eksplan. Laju kontaminasi mulai terjadi
dari minggu pertama setelah inokulasi (Gambar 4).
16

Gambar 4 Laju kontaminasi eksplan paulownia selama 5 minggu setelah


inokulasi
Dari gambar terlihat kontaminasi eksplan paulownia mulai terjadi pada
minggu pertama pengamatan dan selanjutnya meningkat pada minggu kedua,
sedangkan minggu berikutnya cenderung stabil. Kontaminasi ada yang berasal
dari eksplan dan ada juga yang bersumber dari media. Hal ini mungkin karena
sterilisasi yang kurang sempurna, pekerjaan yang kurang teliti, dan lingkungan
kerja atau ruang laboratorium yang banyak mengandung sumber kontaminan.
Seperti yang disampaikan oleh Odutayo et al. (2007), menurut penelitian yang
telah dilakukannya bahwa terdapat hubungan antara ruang laboratorium dengan
sumber-sumber kontaminan. Bakteri dan fungi banyak terdapat pada dinding,
meja, jendela, dan alat pendingin laboratorium. Selain itu tangan manusia juga
mengandung 34–46% sumber kontaminan. Menurut Odutayo ada 18 mikrob
kontaminan, terdiri dari 11 bakteri dan 8 fungi yang terdapat pada eksplan dan
lingkungan laboratorium.

Tingkat Browning Kultur


Tejadinya browning merupakan kemunduran fisiologi dari suatu eksplan
yang sering dijumpai pada kultur in vitro. Dalam kultur in vitro sering dijumpai
peristiwa browning yang pada akhirnya menghambat perkembangan dari suatu
eksplan. Hasil pengamatan pada eksplan paulownia selama lima minggu
menunjukkan tingkat browning yang cukup besar. Hasil analisis ragam pengaruh
teknik sterilisasi eksplan terhadap tingkat browning kultur paulownia terlihat pada
Tabel 4.
Tabel 4 Hasil analisis ragam pengaruh teknik sterilisasi eksplan terhadap tingkat
browning kultur in vitro paulownia
Derajat Jumlah Kuadrat
Sumber
Bebas Kuadrat Tengah F-hitung Sig.
Keragaman
(DB) (JK) (KT)
Perlakuan 3 425.000 141.667 0.430 0.735
Galat 12 3050.000 329.167
Total 15 4375.000
tn : tidak berbeda nyata pada taraf uji 0.05.
17

Dari Tabel 4 diperoleh hasil analisis ragam dengan nilai F hitung 0.430
dan nilai Sig. sebesar 0.735 menunjukkan bahwa pengaruh teknik sterilisasi
eksplan dari ke empat perlakuan tidak berbeda nyata terhadap persentase
browning pada kultur paulownia karena nilai P > 0.05. Penggunaan ke empat
teknik sterilisasi memberikan pengaruh yang sama terhadap persentase browning
pada kultur paulownia. Pada akhir pengamatan diperoleh hasil persentase tingkat
browning pada perlakuan C yaitu 45%, perlakuan B 42.5%, D 35%, dan A 32.5%
(Gambar 5).

Gambar 5 Tingkat browning kultur paulownia pada akhir pengamatan


(5 MSI)
Tingkat browning pada percobaan tersebut cukup besar. Hal ini
dikarenakan tidak adanya penggunaan bahan-bahan atau perlakuan yang dapat
mengurangi masalah browning. Sebaliknya penggunaan bahan sterilan alkohol
dan NaOCl dengan konsentrasi yang cukup tinggi dapat menyebabkan browning
dan menurunkan kemampuan regenerasi eksplan paulownia. Seperti penelitian
yang dilakukan oleh Yang (2009) yang menyatakan bahwa etanol dan pemutih
dengan konsentrasi yang cukup tinggi dapat merusak tanaman muda dan
menghambat induksi pucuk baru.
Peristiwa browning merupakan faktor yang sering menghambat
keberhasilan dari suatu eksplan untuk berkembang. Oleh karena itu berbagai cara
telah dicoba dalam mengatasi masalah browning pada eksplan. Pengurangan
senyawa fenol adalah salah satu jalan untuk mengatasi masalah browning.
Perendaman eksplan dengan asam askorbat dan polivinilpirolidon (PVP) sering
dilakukan untuk mengatasi masalah browning pada jaringan. Seperti penelitian
yang dilakukan oleh Poudyal et al. (2008) pada tanaman pir (Pyrus sp.) yang
menyatakan bahwa penggunaan asam askorbat 100 mg/L pada medium MS sangat
efektif dalam mengatasi masalah browning sehingga meningkatkan persentase
eksplan yang hidup sebesar 92%. Selain itu ia juga menggunakan 0.02% PVP
untuk menekan masalah browning dan meningkatkan persentase hidup eksplan.
Hal tersebut juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yang (2009),
yang menyatakan bahwa kombinasi pra perlakuan bahan antioksidan PVP dan
frekuensi perubahan media yang tinggi efektif untuk mencegah terjadinya
browning dan kematian eksplan akibat senyawa fenol.
18

Bahan tanam yang terlalu muda sangat rentan terhadap masalah browning,
baik akibat senyawa fenol yang terkandung dari tanaman maupun akibat
penggunaan bahan sterilan. Seperti penelitian Poudyal et al. (2009) yang
menunjukkan bahwa ujung pucuk tanaman pir (Pyrus sp.) lebih rentan terhadap
masalah browning dibandingkan dengan eksplan dua nodus dan satu nodus.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Huang et al. (2002) pada tanaman
Dendrocalamus latiflorus bahwa potongan ujung pucuk D. latiflorus sangat cepat
mengalami browning.
Pada kultur in vitro paulownia masalah browning telah terjadi sejak
minggu pertama dan terus meningkat sampai akhir pengamatan (Gambar 6).

Gambar 6 Laju browning eksplan paulownia selama 5 minggu setelah


inokulasi
Eksplan yang bebas dari browning akan tumbuh dengan baik, sedangkan eksplan
yang mengalami browning perlahan akan mengalami kematian. Proses browning
biasanya disertai dengan perubahan warna pada media kultur (Gambar 7).

Gambar 7 Eksplan yang tumbuh secara normal (kiri) dan eksplan yang
mati akibat browning (kanan)
Penelitian pada tanaman pir (Pyrus sp.) yang dilakukan oleh Poudyal et al.
(2008) menunjukkan bahwa proses browning telah terjadi enam jam setelah
pengkulturan dan terus meningkat setiap jamnya. Terkait dengan gejala browning
Huang et al. (2002) menganjurkan untuk mentransfer kultur pada interval yang
lebih pendek ke media yang baru untuk mengurangi intensitas browning dan
memungkinkan perkembangan eksplan.
19

Persentase Pembentukan Tunas dan Multipliksi Eksplan


Pembentukan tunas dalam kultur in vitro sering menjadi parameter
keberhasilan dalam suatu kultur. Dari hasil pengamatan pada eksplan paulownia
pembentukan tunas telah terjadi pada 1 MSI. Pada akhir pengamatan persentase
pertumbuhan tunas pada perlakuan A dan B sebesar 7.5%, sedangkan pada
perlakuan C dan D sebesar 12.5% (Gambar 8).

Gambar 8 Persentase pembentukan tunas eksplan paulownia selama 5


minggu setelah inokulasi
Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata
terhadap pembentukan tunas pada eksplan paulownia yang dihasilkan selama
5 MSI. Dari hasil analisis ragam diperoleh nila F hitung sebesar 0.235 dan
Sig. 0.870 yang menunjukkan bahwa seluruh perlakuan memiliki pengaruh yang
sama dalam pembentukan tunas eksplan paulownia karena nilai P > 0.05.
Pada kultur eksplan paulownia persentase pembentukan tunas yang terjadi
relatif kecil. Hal tersebut berbanding lurus dengan tingkat kontaminasi dan
browning yang relatif tinggi. Pola pertumbuhan tunas pada eksplan paulownia
yang dikulturkan dalam medium MS0 relatif sama yaitu pertumbuhan tunas-tunas
aksilar dan pada minggu berikutnya terdapat tunas yang diikuti oleh
perkembangan kalus (Gambar 9).

Gambar 9 Pertumbuhan tunas aksilar secara normal (A), pertumbuhan


tunas yang diikuti perkembangan kalus pada pangkal eksplan
(B dan C)
20

Terjadinya pembentukan kalus pada eksplan paulownia yang


menggunakan media MS0 atau tanpa penambahan zat pengatur tumbuh (ZPT)
diduga karena eksplan paulownia memiliki kandungan hormon endogen yang
tinggi dan cukup dominan ke arah pembentukan kalus, sehingga tanpa
penambahan zat pengatur tumbuh eksplan mampu membentuk kalus.
Tunjungsari (2006) melakukan penelitian pada tanaman jati secara in vitro dan
menemukan eksplan jati mampu membentuk kalus dalam media MS0 sebesar
60%. Hal tersebut juga diduga karena eksplan jati memiliki hormon endogen yang
dominan terhadap pembentukan kalus.
Pembentukan tunas secara normal terjadi pada eksplan yang bebas dari
kontaminasi dan browning. Tunas-tunas yang terbentuk mengalami pertambahan
tinggi dan secara morfologi tunas yang berkembang secara normal memiliki
kandungan klorofil yang lebih tinggi dibandingkan dengan tunas-tunas yang
diikuti dengan pembentukan kalus. Hal tersebut terlihat dari warna eksplan yang
lebih hijau baik daun maupun batang eksplan, sedangkan pada eksplan yang
diikuti oleh kalus memiliki warna hijau yang lebih pucat yang menunjukkan
terhambatnya penyerapan unsur hara oleh eksplan. Seperti yang disampaikan oleh
Nurhaimi-Haris et al. (2011) bahwa eksplan karet dengan warna daun yang lebih
hijau memiliki kandungan klorofil yang lebih tinggi. Sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Syammiah (2006) yang mengamati protocorm like bodies
(PLB) dendrobium yaitu PLB mengalami perubahan warna menjadi hijau
kekuningan karena proses penyerapan unsur hara yang ditambahkan 0.2% ekstrak
ragi dan 15% air kelapa berjalan dengan lambat dan PLB tidak mampu untuk
membentuk klorofil.
Eksplan paulownia telah membentuk tunas pada 1 MSI. Sekitar 68.75%
semua eksplan paulownia mulai membentuk tunas pada minggu pertama dan
jumlah eksplan yang hidup menurun pada minggu berikutnya akibat adanya
kontaminasi dan masalah browning pada eksplan (Gambar 10).

Gambar 10 Penurunan persentase hidup eksplan paulownia selama


5 minggu setelah inokulasi
21

Laju penurunan tertinggi untuk jumlah eksplan yang hidup terjadi antara
minggu pertama dan kedua, sedangkan minggu berikutnya tetap terjadi penurunan
dalam jumlah yang lebih kecil. Hal ini juga menunjukkan bahwa tingkat
kontaminasi dan browning tertinggi terjadi pada minggu pertama yang akhirnya
berdampak pada persentase eksplan yang hidup.
Tahap selanjutnya dilakukan multiplikasi pada sisa eksplan yang berhasil
tumbuh membentuk tunas. Media yang digunakan adalah media MS yang
ditambahkan zat pengatur tumbuh berupa NAA dan BA. Kombinasi zat pengatur
tumbuh yang diberikan adalah 0.2 ppm NAA dan 7 ppm BA (perlakuan I),
kemudian 0.2 ppm NAA dan 5 ppm BA (perlakuan II) dengan ulangan sebanyak
11 kali pada masing-masing perlakuan. Eksplan yang digunakan adalah ujung
pucuk, batang dengan satu nodus, dan potongan batang tanpa nodus. Dari hasil
pengamatan pada 1 MSI terdapat tunas yang mulai berkembang membentuk
pucuk dan kalus. Pada minggu berikutnya pertumbuhan pucuk mulai terhenti
disebabkan oleh adanya perubahan orientasi perkembangan eksplan dengan
terbentuknya kalus pada pangkal eksplan (Gambar 11).

Gambar 11 Pertumbuhan yang mulai terhenti setelah adanya pembentukan


kalus
Pada akhir pengamatan (4 MSI) ditemukan 100% eksplan membentuk
kalus dari semua sumber eksplan baik ujung pucuk, potongan batang satu nodus
dan potongan batang tanpa nodus (Gambar 12).

Gambar 12 Kalus yang terbentuk dari eksplan potongan batang tanpa


nodus (A), kalus yang mulai mengalami browning (B), kalus
yang berpotensi untuk berorganogenesis (C)
22

Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa eksplan paulownia


memiliki hormon endogen yang lebih dominan dalam pembentukan kalus. Hal ini
terlihat dari perkembangan eksplan yang keseluruhannya membentuk kalus.
Seperti yang disampaikan oleh Gunawan (1992) bahwa interaksi dan perimbangan
atas pemberian zat pengatur tumbuh dan hormon endogen yang diproduksi oleh
tanaman akan menentukan perkembangan suatu kultur. Pemberian sitokinin dapat
memacu induksi pucuk suatu eksplan. Akan tetapi pada kasus-kasus tertentu
pemberian sitokinin dapat meningkatkan konsentrasi hormon auksin sehingga
memacu pertumbuhan kalus pada eksplan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh
Yelnititis dan Komar (2011), pemberian sitokinin thidiazuron 3.0 mg/L
mengakibatkan terbentuknya kalus pada pangkal biakan yang menyentuh media.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Teknik sterilisasi dari ke empat perlakuan memberikan pengaruh yang
sama terhadap parameter yang diuji yaitu persentase kontaminasi, browning, dan
pertumbuhan pucuk pada eksplan paulownia. Kontaminasi yang terjadi
disebabkan oleh kontaminan berupa bakteri dan fungi. Pada akhir pengamatan
93.96% kontaminasi disebabkan oleh bakteri dan 11.5% disebabkan oleh fungi.
Kontaminasi tertinggi terjadi pada minggu pertama setelah inokulasi dan terus
meningkat secara perlahan pada minggu berikutnya. Penggunaan alkohol dan
NaOCl selain menghambat perkembangan sumber kontaminan juga menyebabkan
browning pada eksplan yang pada akhirnya menurunkan persentase hidup
eksplan.

Saran
Perlakuan C (Dhitane M-45 0.2 g/100 mL, Agrept 0.2 g/100 mL, dan So
Klin (15%, 10%, dan 5%) dapat digunakan untuk sterilisasi eksplan paulownia
jika tidak ingin menggunakan bahan-bahan sterilan yang keras dan berbahaya.
Perendaman eksplan dalam larutan asam askorbat dan penggunaan
polivinilpirolidon (PVP) dapat dijadikan perlakuan untuk mengatasi masalah
browning pada eksplan paulownia. Selanjutnya pada tahap multiplikasi dapat
ditambahkan zat pengatur tumbuh dari golongan sitokinin tanpa penambahan
auksin karena hormon endogen pada eksplan paulownia cenderung kepada
pembelahan sel (auksin).
23

DAFTAR PUSTAKA

Akyildiz MH, Kol HS. 2010. Some technological properties and uses of
paulownia (Paulownia tomentosa Steud.) wood. Journal of Environmental
Biology 31:351–355.
Australian Standard. 2005. Timber – Natural durability ratings. Australia: SAI
Global Limited [internet]. [diunduh 2013 Maret 20]. Tersedia pada:
http://www.rajalaut.com/download/AS%205604-2005%20Timber%20-%20N
atural%20durability%20ratings.pdf.
Bell M, Davis S, Murphy J, Piper P. 2005. Product potential of paulownia
timber. Australian Forestry 68(1):3-8 [internet]. [diunduh 2013 Maret 20].
Tersedia pada: http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00049158.2005.
10676219#preview.
Clatteerbuck WK, Hodges DG. 2004. Tree crops for marginal farmland,
paulownia, with a financial analysis. The University of Tennessee [internet].
[diunduh 2012 November 29]. Tersedia pada: https://utextension.tennessee.ed
u/publications/Documents/PB1465.pdf.
El-Showk S, El-Showk N. 2003. The paulownia tree an alternative for
sustainable forestry. The farm [internet]. [diunduh 2012 September 5].
Tersedia pada: http://www.cropdevelopment.org/docs/PaulowniaBooklet.pdf.
Gunawan I. 2007. Perlakuan sterilisasi eksplan anggrek kuping gajah
(Bulbophyllum beccarii Rchb.f) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor.
Gunawan LW. 1992. Teknik Kultur Jaringan. Bogor: Depdikbud. Dirjen
Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor.
Hamidin, Sumadi, Nuraeni A. 2009. Pengaruh konsentrasi fungisida mancozeb
terhadap pertumbuhan tunas, busuk kering ubi, dan susut bobot ubi bibit
kentang (Solanum tuberosum L.) C.V. Granola di ruang penyimpanan. Jurnal
Agrikultura 20(3):159-163.
Herawan G, Ismail B. 2009. Penggunaan kombinasi auksin dan sitokinin untuk
menginduksi tunas pada kultur jaringan sengon (Falcataria moluccana)
menggunakan bagian kotiledon. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 3(1):23-
31.
Huang LC, Lee YL, Huang BL, Kuo CI, Shaw JF. 2002. High polyphenol
oxidase activity and low titratable acidity in browning bamboo tissue culture.
In Vitro Cell Dev Biol Plant 38:358-365.
Hutami S. 2008. Ulasan masalah pencoklatan pada kultur jaringan. Jurnal
Agrobiogen 4(2):83-88.
Johnson DV. 2000. Agriculture Recontruction Assistance Program. Use of
paulownia for forest plantation in the leon region of Nicaragua. Chemonics
International Inc [internet]. [diunduh 2012 Agustus 8]. Tersedia pada:
http://www.bio-nica.onfo/biblioteca/Johnson2000PaulowniaPlantation.pdf.
Khairunisa R. 2009. Penggunaan beberapa jenis sitokinin terhadap multiplikasi
tunas dan pertumbuhan binahong (Anredera cordifolia [Ten] Steenis).
[skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Lestari EG. 2011. Peranan zat pengatur tumbuh dalam perbanyakan tanaman
melalui kultur jaringan. Jurnal Agrobiogen 7(1):63-68.
24

Nurhaimi-Haris, Sumaryono, Carron MP. 2009. Pengaruh bahan pra-sterilan,


tutup tabung kultur, dan musim terhadap tingkat kontaminasi eksplan pada
kultur microcutting karet. Menara Perkebunan 77(2):89-99.
Nurhaimi-Haris, Ayuningtias NS, Suparto IH. 2011. Pengaruh ventilasi terhadap
morfologi, stomata, dan kadar klorofil tunas karet yang diperbanyak melalui
microcutting. Menara Perkebunan 79(2):57-63.
Nurtjahjaningsih. 2009. Pengaruh media dasar dan zat pengatur tumbuh BAP
pada perbanyakan mikro Pinus merkusii. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan
3(3):103-116.
Odutayo OI, Amusa NA, Okutade OO, Ogunsanwo YR. 2007. Sources of
microbial contamination in tissue culture laboratories in southwestern
Nigeria. African Journal of Agricultural Reseach 2(3):067-072.
Pertamawati. 2010. Pengaruh fotosintesis terhadap pertumbuhan tanaman
kentang (Solanum tuberosum L.) dalam lingkungan fotoautotrof secara in
vitro. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia 12(1):31-37.
Poudyal BK, Du G, Zhang Y, Liu J, Shi Q. 2008. Studies on browning problem
and phenols content on shoot of Yali, Aikansui, and Abbe Fetel pears for in
vitro culture. Front Agric China 2(3):321-330.
Putri AI. 2009. Kajian glycocalyx bakteri pada kontaminasi ulin (Eusideroxylon
zwageri) in vitro. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 3(1):33-42.
Rismayani, Hamzah F. 2010. Pengaruh pemberian chlorox (NaOCl) pada
sterilisasi permukaan untuk perkembangan bibit aglaonema (Donna carmen)
secara in vitro. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PGJ dan
PEJ XX, 27 Mei 2010. Sulawesi Selatan. Komisariat Daerah Sulawesi Selatan
[internet]. [diunduh 2013 Februari 23]. Tersedia pada: http://www.peipfi-
komdasulsel.org/wp-content/upload/2011/06/240-246-PENGARUH-PEM
BERIAN-CHLOROX-Rismayani.pdf.
Santoso U, Nursandi F. 2003. Kultur Jaringan Tanaman. Malang: UMM-Press.
Sembiring KW. 2008. Efektivitas mancozeb dan metalaxyl dalam menghambat
pertumbuhan Cylindrocladium scoparium. Hawley Boedijn et Reitsma
penyebab penyakit busuk daun teh (Camelia sinensis L.) di laboratorium
[skripsi]. Medan: Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas
Pertanian. Universitas Sumatera Utara. [diunduh 2013 Juni 2]. Tersedia pada:
http://ripository.usu.ac.id/bitstream/123456789/7732/1/09E00441.pdf.
Supriyanto, Irawan US. 2005. Effect of mancozeb 80% concentrations on the
growth of Cenococcum geophilum FR. under in vitro condition. Biotropia
25:22-28.
Syammiah. 2006. Jenis senyawa organik suplemen pada medium Knudson C
untuk pertumbuhan protocorm like bodies Dendrobium bertacong x
Denrobium undulatum. Jurnal Floratek 2:86-92 [internet]. [diunduh 2013
Mei 28]. Tersedia pada: http://jurnal.unsyiah.ac.id/floratek/article/view/97/91
Tunjungsari S. 2006. Perbedaan pengaruh teknik sterilisasi eksplan terhadap
tingkat kontaminasi dan browning pada kultur jaringan jati (Tectona grandis
Linn.f.) [skripsi]. Bandung: Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan.
Universitas Winaya Mukti.
25

Untari R, Puspitaningtyas DM. 2006. Pengaruh bahan organik dan NAA


terhadap pertumbuhan anggrek hitam (Coelogyne pandurata Lindl.) dalam
kultur in vitro. Biodiversitas 7(3):344-348.
Yang Z. 2009. Vegetative propagation and genetic fingerprinting of Eucalyptus
grandis and Eucalyptus amplifolia [thesis]. Florida: Universiti of Florida
[internet]. [diunduh 2013 Februari 16]. Tersedia pada: http://etdfcla.edu/UF/
UFE0024073/yang_z.pdf.
Yelnititis, Komar TE. 2011. Mikropropagasi ramin (Gonistylus bancanus (Miq.)
Kurz) dari eksplan batang satu buku secara in vitro. Jurnal Pemuliaan
Tanaman Hutan 5(3):149-157.
Yunita R, Endang, Lestari G. 2011. Perbanyakan tanaman pulai pandak
(Rauwolfia serpentina L.) dengan teknik kultur jaringan. Jurnal Natur
Indosesia 14(1):68-72.
Zulkarnain. 2009. Teknik Kultur Jaringan Solusi Perbanyakan Tanaman
Budidaya. Jakarta: PT Bumi Aksara.
26

LAMPIRAN
26

Lampiran 1 Jenis bahan sterilan beserta kisaran konsentrasi dan lama


perendaman

Bahan kimia Konsentrasi Lama perendaman


Kalsium hipoklorid 1–10% 5–30 menit
Natrium hipoklorid 1–2% 7–15 menit
Hidrogen peroksida 3–10% 5–15 menit
Gas klorin - 1–4 jam
Perak nitrat 1% 5–30 menit
Merkuri Klorida (HgCl2) 0.1–0.2% 10–20 menit
Betadine 2.5–10% 5–10 menit
Fungisida 2 g/L 20–30 menit
Antibiotik 50 mg/L 30–60 menit
Alkohol 70% 1/2–1 menit

Lampiran 2 Hasil analisis ragam pengaruh teknik sterilisasi eksplan terhadap


persentase pertumbuhan tunas kultur in vitro paulownia

Derajat Jumlah Kuadrat


Sumber
Bebas Kuadrat Tengah F-hitung Sig.
Keragaman
(DB) (JK) (KT)
Perlakuan 3 100.000a 33.333 0.235 0.870
Galat 12 1700.000 141.667
Total 15 1800.000
27

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Rantau Prapat, Sumatera Utara pada tanggal 2
Januari 1987. Penulis merupakan anak kesembilan dari sembilan bersaudara
pasangan bapak Abdul Roni Nasution dengan Ibu Ijah Dalimunteh. Pada tahun
2006 penulis lulus dari SMA N 2 Rantau Utara dan pada tahun yang sama lulus
seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis
memilih program Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dibeberapa organisasi
kemahasiswaan yakni sebagai anggota UKM Sepak Bola, Himpunan Profesi
(Himpro) Tree Grower Community (TGC), dan Himpunan Mahasiswa Labuhan
Batu (Himlab). Pada tahun 2008 penulis berpartisipasi sebagai panitia Pelatihan
Budidaya Jamur Tiram di Departemen Silvikultur. Pada tahun yang sama penulis
juga berpartisipasi dalam acara Belantara 44 (Bersatu Dalam Orientasi Anak
Rimba). Selain itu pada tahun 2010 penulis dipercaya menjadi salah satu asisten
dosen mata kuliah Silvikultur.
Praktek yang pernah diikuti oleh penulis terdiri dari Praktek Pengenalan
Ekosistem Hutan (PPEH), Praktek Pengelolaan Hutan (PPH), dan pada tahun
2010 penulis melaksanakan Praktek Kerja Profesi (PKP) di perusahaan
pertambangan batubara PT. Berau Coal, Kalimantan Timur. Sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Kehutanan penulis melakukan penelitian karya ilmiah
yang berjudul Pengaruh Teknik Sterilisasi terhadap Keberhasilan Inisiasi Eksplan
Paulownia (Paulownia elongata SY. Hu) secara In Vitro dibawah bimbingan Dr Ir
Arum Sekar Wulandari, MS.

Anda mungkin juga menyukai