E13ssn PDF
E13ssn PDF
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pengaruh
Teknik Sterilisasi terhadap Keberhasilan Eksplan Paulownia (Paulownia elongata
SY. Hu) secara In Vitro adalah benar-benar hasil dari karya saya sendiri dengan
bimbingan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
ABSTRACT
In vitro culture is used as one of the solutions in paulownia propagation.
Contamination is a major problem in procedures micropropagation. This study
examines the effect of sterilization treatment on the percentage of contamination,
browning, and shoot induction paulownia. Sterilization techniques used in the
study consisted of four treatments, namely A (Dhitane M-45 0.2 g/100 mL,
Agrept 80 WP 0.2 g/100 mL, Bayclin 20%, 15%, 10%), B (Dhitane M-45
2 g/100 mL, Agrept 80 WP 2 g/100 mL, Bayclin 15%, 10%, 5%), C (Dhitane
M-45 0.2 g/100 mL, Agrept 80 WP 0.2 g/100 mL, So Klin 20%, 15%, 10 %), and
D (Dhitane M-45 2 g/100 mL, Agrept 80 WP 2 g/100 mL, So Klin 15%, 10%,
5%). Sterilization techniques give the same effect on the percentage of
contamination, browning, and shoot induction paulownia. Contamination caused
by bacteria and fungi is 93.96% and 11.5% respectively. Explants without
contamination and browning shows the development of axillary buds. Some of
explants produced callus as a response to highly endogenouse hormone. Low
concentration of auxin can induced 100% callus formation at the stage of
multiplication.
Keywords: bactericide, fungicide, paulownia, potassium hyphochloride,
sterilization
PENGARUH TEKNIK STERILISASI TERHADAP
KEBERHASILAN INISIASI EKSPLAN PAULOWNIA
(Paulownia elongata SY. Hu) SECARA IN VITRO
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
Judul Skripsi : Pengaruh Teknik Sterilisasi terhadap Keberhasilan Inisiasi
Eksplan Paulownia (Paulownia elongata SY. Hu) secara
In Vitro
Nama : Sabar Sampulan Nasution
NIM : E44063409
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
PRAKATA
DAFTAR GAMBAR
1 Paulownia elongata SY. Hu 3
2 Tingkat kontaminasi eksplan paulownia pada akhir pengamatan
(5 MSI) 14
3 Kontaminasi eksplan paulownia oleh bakteri (A, B, C) dan fungi
(D, E, F) 15
4 Laju kontaminasi eksplan paulownia selama 5 minggu setelah
inokulasi 16
5 Tingkat browning kultur paulownia pada akhir pengamatan
(5 MSI) 17
6 Laju browning eksplan paulownia selama 5 minggu setelah ino-
kulasi 18
7 Eksplan yang tumbuh secara normal (kiri) dan eksplan yang mati
akibat browning (kanan) 18
8 Persentase pembentukan tunas eksplan paulownia selama 5 ming-
gu setelah inokulasi 19
9 Pertumbuhan tunas aksilar secara normal (A), pertumbuhan tunas
yang diikuti perkembangan kalus pada pangkal eksplan (B, dan C) 19
10 Penurunan persentase hidup eksplan paulownia selama 5 minggu
setelah inokulasi 20
11 Pertumbuhan yang mulai terhenti setelah adanya pembentukan
kalus 21
12 Kalus yang terbentuk dari eksplan potongan batang tanpa nodus
(A) , kalus yang mulai mengalami browning (B), kalus yang ber
berpotensi untuk berorganogenesis 21
DAFTAR LAMPIRAN
1 Jenis bahan sterilan beserta kisaran konsentrasi dan lama peren-
daman 26
2 Hasil analisis ragam pengaruh teknik sterilisasi eksplan terhadap
persentase pertumbuhan tunas kultur in vitro paulownia 26
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sepanjang tahun 2011 tercatat jumlah lahan kritis di Indonesia sebesar
27.294.842 ha. Dalam upaya pemulihan lahan kritis diperlukan pemilihan
tanaman yang tepat agar waktu yang dibutuhkan untuk penghijauan kembali
relatif lebih singkat dan memberikan hasil bagi masyarakat. Jenis tanaman fast
growing species menjadi pilihan dalam pemulihan kembali lahan-lahan yang
kritis, salah satunya adalah paulownia. Paulownia adalah tanaman asli dari negeri
Cina dan telah banyak dibudidayakan di beberapa tempat lain di Asia seperti:
Laos, Vietnam, Jepang, dan Korea. Tanaman tersebut juga telah lama
dibudidayakan di Jerman, Irlandia Utara, Paraguay, Brasil, dan di beberapa negara
bagian Amerika seperti Corollina.
Paulownia merupakan tanaman deciduous atau tanaman yang
menggugurkan daun dan termasuk tanaman keras yang memiliki pertumbuhan
yang cepat (fast growing species). Pada tahun pertama tanam paulownia dapat
tumbuh hingga 5–6 m dan memiliki diameter 3–5 cm. Kayu paulownia berwarna
keputih-putihan, abu-abu silver, coklat muda, dan kemerah-merahan dengan serat
kayu yang lurus. Kayunya yang ringan, kuat, dan tahan dilengkungkan membuat
paulownia banyak digemari sebagai bahan baku industi seperti: veneer, plywood,
surfboard, furniture dan lain-lain.
Perbanyakan paulownia dapat dilakukan dengan cara generatif dan
vegetatif. Perbanyakan secara generatif dapat dilakukan dengan baik saat benih
masih baru, persentase kecambah dapat mencapai 100%. Perbanyakan vegetatif
biasanya dilakukan melalui stek akar, stek pucuk, dan kultur in vitro. Perbanyakan
generatif membutuhkan persediaan benih yang masih baik dan dalam jumlah yang
besar untuk menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak, sedangkan
perbanyakan vegetatif dapat menghasilkan jutaan bibit hanya dari satu induk
(teknik in vitro). Sulitnya mendapatkan benih paulownia membuat banyak
perusahaan dari negara-negara yang mengembangkan tanaman ini menggunakan
teknik in vitro untuk menghasilkan bibit paulownia dalam jumlah yang besar.
Selain itu dengan teknik tersebut akan dihasilkan bibit yang sehat, bebas penyakit
dan dapat menghasilkan tanaman yang memiliki sifat genetik yang sama dengan
induknya.
Kultur in vitro merupakan teknik perbanyakan tanaman secara modern
dengan mengisolasi bagian-bagian tanaman seperti: organ, jaringan, sel, dan
protoplasma serta menumbuhkannya dalam kondisi yang aseptik (bebas hama dan
penyakit) sampai menjadi tanaman yang sempurna. Dengan teknik ini
dimungkinkan akan menghasilkan tanaman dalam jumlah besar yang berasal dari
satu tanaman induk.
Kegiatan kultur in vitro dilakukan di dalam ruang kultur steril yang
merupakan konsep kerja dari teknik tersebut. Bagian tanaman yang diinisiasi
disebut sebagai eksplan. Eksplan yang digunakan biasanya berasal dari tunas
pucuk, potongan batang satu buku, potongan batang tanpa buku, daun, akar, dan
biji (endosperma). Tahap awal dalam kegiatan kultur in vitro adalah fase inisiasi
yang akan menghasilkan tanaman bebas dari mikroorganisme dan menjadi awal
2
dari perbanyakan selanjutnya. Pada fase ini digunakan media dasar yang
mendukung pertumbuhan eksplan tanpa campuran zat pengatur tumbuh (ZPT).
Eksplan merupakan sumber kontaminasi dalam fase inisiasi selain sumber
kontaminasi lainnya, seperti ruang kultur, alat-alat kultur, media, dan pekerja.
Sterilisasi dapat menghilangkan sumber kontaminan pada eksplan baik
kontaminan eksternal maupun internal. Penggunaan bahan sterilisasi yang terlalu
pekat dan waktu perendaman yang terlalu lama dapat menghilangkan sumber
kontaminan tetapi juga dapat menghambat pertumbuhan eksplan bahkan
membunuh jaringan tanaman. Konsentrasi bahan sterilisasi yang terlalu rendah
dan waktu perendaman yang terlalu singkat kurang efektif dalam membunuh
kontaminan seperti fungi dan bakteri. Oleh karena itu penggunaan bahan sterilan
dan lamanya waktu perendaman menjadi sangat penting pada fase ini dan harus
dilakukan secara tepat untuk mendukung pertumbuhan eksplan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh teknik sterilisasi pada
inisiasi eksplan paulownia terhadap persentase kontaminasi, browning, dan
pertumbuhan pucuk eksplan paulownia melalui teknik in vitro.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang teknik
sterilisasi yang efektif (konsentrasi dan lamanya waktu perendaman) pada
paulownia dalam mengatasi masalah kontaminasi dan browning yang sering
terjadi saat mengisolasi bagian tanaman untuk menghasilkan tanaman yang steril.
Selain itu dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif dalam
memilih bahan sterilisasi yang tepat dan mudah didapat dalam melakukan
perbanyakan tanaman melalui teknik in vitro.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan ialah semakin tinggi konsentrasi bahan sterilan
yang digunakan dan semakin lama waktu perendaman eksplan, maka semakin
kecil tingkat kontaminasi yang terjadi.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Umum Paulownia (Paulownia elongata)
Taksonomi dan Tatanama
Paulownia adalah tanaman yang terdiri dari 6–17 spesies seperti:
P. tomentosa, P. fortunei, P. catalpifolia, P. kawakamii, P. grandifolia, dan
P. elongata (Gambar 1). Paulownia merupakan tanaman keras asli dari Cina dan
beberapa negara lainnya di Asia. Paulownia dalam sistem klasifikasi tanaman
digolongkan sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Lamiales
Famili : Paulowniaceae
Genus : Paulownia
Spesies : Paulownia elongata
Jenis P. elongata dan P. tomentosa dapat hidup pada tanah dengan pH 5–8.9,
sedangkan jenis lainnya seperti P. fortunei dan P. fargessi masing-masing pada
pH 5–8 dan 5–6.
Paulownia memiliki daun yang sangat lebar dan perkembangan akar yang
baik. Oleh karena itu kebutuhan akan air sangat besar dan kelembaban yang cukup
akan mendorong pertumbuhan paulownia. Curah hujan untuk pertumbuhan
paulownia sangat bervariasi yaitu antara 500–2.600 mm dan masih dapat hidup
pada curah hujan di bawah 500 mm. Selain itu paulownia dapat beradaptasi
dengan berbagai suhu. Suhu optimum untuk meningkatkan pertumbuhan diameter
dan tinggi tanaman sekitar 24–29 oC (El-Showk S dan El-Showk N 2003).
Semakin lama suhu optimum berlangsung maka semakin baik pertumbuhan
paulownia. Paulownia merupakan tanaman yang menggugurkan daun. Di habitat
aslinya paulownia akan mulai mengalami dormansi saat memasuki musim gugur
yang ditandai dengan berhentinya pertumbuhan sebelum menggugurkan daunnya.
Untuk jenis P. elongata pertumbuhan biasanya akan terhenti pada bulan Oktober
dengan suhu sekitar 18 oC.
Keterangan Botanis
Paulownia memiliki tinggi sekitar 12–16 m, bahkan terkadang dapat
mencapai lebih dari 20 meter (Johnson 2000). Tanaman tersebut memiliki daun
yang sangat besar dengan lebar daun 15–40 cm. Pada tahun pertama setelah
tanam paulownia dapat mencapai tinggi sekitar 6 m dengan diameter mencapai
3–5 cm. Namun, pada tempat tumbuh yang sesuai, di tahun pertamanya paulownia
dapat mencapai tinggi 8 m dengan diameter at breast height (DBH) 8 cm.
Paulownia memiliki bunga yang berbentuk seperti lonceng dan masing-masing
spesies memiliki warna bunga yang berbeda mulai dari warna putih, putih
keunguan, sampai warna ungu. Paulownia memiliki buah berbentuk kapsul. Benih
paulownia berukuran kecil, ringan, dan bersayap. Setiap polong buah paulownia
berisi 2000 benih dan dalam satu kilogram buah terdapat kira-kira 4–6 juta benih
(Johnson 2000).
Menurut Clatterbuck dan Hodges (2004), di Jepang banyak produk
diproduksi berasal dari kayu paulownia, hal ini karena sifatnya yang menarik,
kuat, ringan, mudah dikerjakan, dan mempunyai kualitas yang baik untuk alat-alat
musik. Selain itu kayu paulownia juga mudah dikeringkan secara alami tanpa
mengalami retak dan mampu merespon dengan baik bahan perekat dalam
pembuatan plywood.
saat dikeringkan, mudah dikupas, dan mampu merespon dengan baik bahan
perekat, sehingga membuat kayu tersebut banyak digunakan dalam industri veneer
dan plywood. Menurut Bell et al. (2005) kerapatan kayu paulownia adalah 260
kg/m3, diasumsikan kekuatan paulownia lebih rendah dari spesies komersial
lainnya dan tidak cocok digunakan dalam aplikasi struktural. Selanjutnya Akyildis
dan Kol (2009) menambahkan bahwa kayu paulownia memiliki kekuatan tekan
25.55 N/mm2 dan kekuatan lengkung 43.55 N/mm2 sehingga bisa digunakan
untuk beberapa produk yang menuntut kelembutan tetapi dengan kekuatan yang
relatif tinggi.
El-Showk S dan El-Showk N (2003) mengatakan paulownia memiliki
warna kayu yang putih dengan pertumbuhan tanaman yang tergolong cepat.
Paulownia mengandung selulosa 46–49%, hemiselulosa 22–25%, dan lignin
21–23%, sehingga kayu paulownia sangat baik digunakan untuk memproduksi
bubur kertas. Kemudahan dalam pengolahannya membuat kayu paulownia
disenangi untuk membuat berbagai produk furniture seperti: meja, kursi, lemari,
dan berbagai jenis peti antara lain peti ikan, peti teh, peti buah dan lain-lain.
Masih banyak manfaat yang dapat dihasilkan dari paulownia. Paulownia
juga memiliki manfaat di bidang pengobatan. Daun dan buah paulownia dapat
dimanfaatkan sebagai obat untuk penderita bronkhitis, terutama untuk mengurangi
batuk dan dahak. Selain itu daun paulownia juga sering digunakan untuk pakan
ternak serta tambahan untuk memproduksi pupuk kompos sebab daun paulownia
memiliki kandungan nitrogen yang cukup besar.
ekspresi dari tujuan yang diinginkan. Menurut Yelnititis dan Komar (2011)
pemberian Thidiazuron 2 mg/L mampu menginduksi tunas dari eksplan ramin
(G. bancanus) dalam waktu yang relatif singkat yaitu 5.1 hari. Zat pengatur
tumbuh yang sering digunakan berasal dari kelompok auksin dan sitokinin. Jenis
auksin antara lain: indole-3-acetic acid (IAA), α-naphthalenaacetic acid (NAA),
indole-3-butyric acid (IBA), dan 2,4-dichlorophenoxy acetic acid (2,4-D),
sedangkan jenis sitokinin adalah kinetin, benziladenin (BA), zeatin, dan 2iP.
Pemberian auksin dapat membantu pemanjangan sel, pembelahan sel, dan
pembentukan akar adventif. Yunita et al. (2011) menyatakan pemberian IBA
1 mg/L dapat meningkatkan perakaran pulai pandak (Rauwolfia serpentina)
dengan rata-rata panjang akar mencapai 2.6 cm. Pemberian sitokinin dapat
meningkatkan pembelahan sel, mengatur pertumbuhan tanaman, meningkatkan
perkecambahan, dan proliferasi pucuk. Dalam menginduksi pembentukan jumlah
tunas biasanya konsentrasi auksin lebih rendah dibandingkan dengan sitokinin.
Pemberian zat pengatur tumbuh BAP 3 mg/L dan NAA 0.03 mg/L menghasilkan
respon pembentukan jumlah tunas yang baik pada tanaman sengon (Herawan dan
Ismail 2009). Hal yang serupa juga disampaikan oleh Lestari (2011) yang
mengatakan pada umumnya tanaman berkayu memerlukan zat pengatur tumbuh
sitokinin dalam konsentrasi yang lebih besar berkisar 5–10 mg/L untuk
meningkatkan proliferasi tunas dan terkadang perlu ditambahkan auksin dalam
jumlah yang relatif rendah antara 0.1–0.3 mg/L.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Silvikultur, Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitian dilaksanakan selama ± delapan bulan
yaitu dari bulan Juni 2012 sampai dengan Januari 2013.
Metode Kerja
A. Penyiapan bahan tanam
Bahan tanaman yang berasal dari bibit yang diperbanyak secara generatif
terlebih dahulu dipangkas untuk mendapatkan pucuk-pucuk muda dalam jumlah
besar dan disemprot dengan bahan fungisida dan bakterisida untuk meminimalkan
sumber kontaminan yang berasal dari eksplan.
10
B. Sterilisasi alat
Alat-alat yang digunakan dalam kegiatan tersebut harus dalam keadaan
steril. Botol kultur dan alat-alat logam (pinset, gagang scalpel, gunting, dll), gelas
(cawan petri, pipet, dll) dibungkus dengan kertas kemudian disterilisasi dengan
otoklaf pada suhu 121 oC dengan tekanan 1 atm selama ± 60 menit. Pada saat
penanaman alat yang digunakan disterilisasi permukaannya dengan
mencelupkannya ke dalam alkohol 70% dan membakarnya dengan bunsen.
Alat-alat logam dan kaca (pipet dan cawan petri) setelah disterilisasi selanjutnya
disimpan di dalam oven dengan suhu 50 oC sampai alat-alat tersebut digunakan
dan botol kultur disimpan di dalam rak inisiasi.
C. Sterilisasi lingkungan kerja
Sebelum penanaman permukaan laminar air flow disterilisasi dengan
menyalakan lampu ultraviolet selama ± 30 menit untuk membunuh kontaminan
yang terdapat di permukaan meja kerja. Meja kerja disemprot terlebih dahulu
dengan alkohol 70%, dibersihkan dengan tissue dan kemudian blower dinyalakan
untuk meniupkan udara steril secara kontinu melewati tempat kerja. Tangan
pekerja juga disterilkan dengan menyemprotkan alkohol 70% serta menggunakan
jas laboratorium dan masker untuk menghindari kontaminan yang berasal dari
pekerja.
D. Sterilisasi Air
Air yang digunakan berasal dari air kemasan yang disterilisasi dengan
otoklaf. Air dimasukkan ke dalam botol kultur sebanyak 1/3 volume botol. Mulut
botol ditutup dengan plastik dan diikat dengan karet gelang agar air tidak
menguap. Sterilisasi air dilakukan selama ± 30 menit. Setelah selesai, air steril
disimpan di dalam ruang inkubasi sampai digunakan dalam penanaman.
E. Pembuatan media
Media yang digunakan adalah media MS (Murashige dan Skoog) lengkap
yang telah ditambahkan vitamin, asam amino, sumber energi, dan pemadat media.
Media yang digunakan merupakan media kultur siap pakai berupa bubuk kering.
Media dimasukkan ke dalam 500 mL air kemudian diaduk hingga rata. Sumber
energi diperoleh dengan pemberian gula sebanyak 30 g/L yang dilarutkan dalam
200 mL air kemudian ditambahkan ke dalam larutan media dan pH diukur hingga
berkisar 5.5–5.8 sebelum ditambahkan bahan pemadat. Media dipanaskan di atas
pemanas dengan magnetik stirer kemudian ditambahkan agar-agar sebanyak 8 g/L
secara perlahan sambil diaduk. Kemudian ditambahkan air sampai tepat mencapai
1000 mL. Pemanasan media dilakukan sampai media mendidih. Selanjutnya
media dituangkan ke dalam botol kultur dengan ketebalan media ± 1 cm, ditutup
rapat dengan plastik dan diikat dengan karet gelang serta disterilisasi dengan
otoklaf pada suhu 121 oC, tekanan 1 atm selama 15 menit.
F. Sterilisasi media
Media yang telah dimasukkan ke dalam botol-botol kultur dan telah
ditutup rapat dengan plastik selanjutnya disterilisasi dengan otoklaf dengan suhu
121 oC pada tekanan 1 atm selama ± 30 menit. Setelah waktu sterilisasi tercapai
selanjutnya tekanan otoklaf diturunkan secara perlahan agar cairan di dalamnya
11
tidak meluap. Kemudian media disimpan di dalam ruang inkubasi sampai media
digunakan dalam penanaman.
G. Sterilisasi eksplan
Eksplan yang diambil dari lapangan dimasukkan ke dalam wadah yang
berisi air untuk menjaga kadar air eksplan. Kemudian dibersihkan di bawah air
mengalir dengan menyikat bagian-bagian tanaman. Selanjutnya direndam dalam
air yang telah diberi deterjen 2 g/100 mL dan dilanjutkan dengan perendaman
eksplan di dalam 100 mL air yang telah ditambahkan sunlight secukupnya
kemudian dibilas dengan air hingga bersih. Setelah itu ukuran eksplan diperkecil
lagi dan direndam dalam larutan fungisida dan bakterisida selam 30 menit serta
dibilas dengan air hingga bersih. Pada tahap akhir, sterilisasi dilakukan di dalam
laminar air flow dengan perendaman eksplan ke dalam alkohol 70%, larutan
kloroks (bayclin dan so klin 20%, 15%, 10%, dan 5%), betadine, dan pembilasan
dengan air steril. Uraian perlakuan sterilisasi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Perlakuan sterilisasi pada eksplan paulownia
Lama
Perlakuan Bahan sterilisasi Konsentrasi
perendaman
I Deterjen 2 g/100 mL 5 menit
Sunlight 1 tutup botol 5 menit
Fungisida dan bakterisida 0.2 g + 0.2 g/100 mL 30 menit
Alkohol 70% ± 30 detik
Bayclin 20%, 15%, 10% (3, 3, 5) menit
Betadine 4–5 tetes ± 3–5 menit
II Deterjen 2 g/100 mL 5 menit
Sunlight 1 tutup botol 5 menit
Fungisida dan bakterisida 2 g + 2 g/100 mL 30 menit
Alkohol 70% ± 30 detik
Bayclin 15%, 10%, 5% (3, 3, 5) menit
Betadine 4–5 tetes ± 3–5 menit
III Diterjen 2 g/100 mL 5 menit
Sunlight 1 tutup botol 5 menit
Fungisida dan bakterisida 0.2 g + 0.2 g/100 mL 30 menit
Alkohol 70% ± 30 detik
So Klin 20%, 15%, 10% (3, 3, 5) menit
Betadine 4–5 tetes ± 3–5 menit
IV Diterjen 2 g/100 mL 5 menit
Sunlight 1 tutup botol 5 menit
Fungisida dan bakterisida 2 g + 2 g/100 mL 30 menit
Alkohol 70% ± 30 detik
So Klin 15%, 10%, 5% (3, 3, 5) menit
Betadine 4–5 tetes ± 3–5 menit
12
H. Penanaman eksplan
Eksplan yang telah disterilisasi diambil dengan menggunakan pinset yang
telah dicelupkan ke dalam larutan alkohol dan ditanam pada media MS0.
Selanjutnya pada tahap multiplikasi ekplan steril yang telah tumbuh di dalam
media MS0 dipindahkan ke dalam media MS yang telah ditambahkan zat pengatur
tumbuh berupa NAA dan BA.
I. Pemeliharaan
Botol-botol kultur yang telah berisi eksplan dimasukkan ke dalam ruang
inkubasi. Selanjutnya dilakukan pengamatan dan pemisahan botol-botol yang
telah terkontaminasi.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan selama 5 minggu. Peubah yang diamati meliputi:
1. Persen kontaminasi
Persen kontaminasi diukur dengan menghitung jumlah tanaman yang
terkontaminasi mulai dari satu minggu setelah eksplan diinokulasi (MSI).
Selanjutnya pengamatan dilakukan setiap minggunya sampai akhir
pengamatan. Persen kontaminasi dihitung dengan cara :
% Kontaminasi = ∑ eksplan yang terkontaminasi / jumlah seluruh eksplan
2. Persen browning
Persen browning diukur dengan menghitung jumlah tanaman yang
mengalami browning mulai dari satu minggu pertama setelah eksplan
diinokulasi (MSI). Selanjutnya pengamatan dilakukan setiap minggunya
sampai akhir pengamatan. Persen browning dihitung dengan cara :
% Browning = ∑ eksplan yang terjadi browning / jumlah seluruh eksplan
3. Persen pembentukan tunas
Persen pembentukan tunas diukur dengan menghitung jumlah tanaman
yang tumbuh membentuk tunas mulai dari minggu pertama sampai dengan
akhir pengamatan. Persen pembentukan tunas dihitung dengan cara :
% Pembentukan tunas = ∑ eksplan yang bertunas / jumlah seluruh eksplan
Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
(RAL) satu faktor yaitu teknik sterilisasi yang terdiri atas empat taraf perlakuan.
Jumlah ulangan dalam setiap perlakuan adalah empat kali ulangan dan setiap
ulangan terdiri atas sepuluh unit percobaan berupa botol kultur.
Model rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
Yij = µ + αi + €ij
Keterangan :
Yij = nilai pengamatan pada satuan percobaan yang memperoleh teknik
sterilisasi ke-i pada ulangan ke-j
µ = nilai rata-rata umum
13
Dari Tabel 3 diperoleh hasil analisis ragam dengan nilai F hitung 0.626
dan Sig. sebesar 0.612 menunjukkan bahwa teknik sterilisasi dari ke empat
perlakuan tersebut tidak berbeda nyata terhadap persentase kontaminasi karena
nilai P > 0.05. Dengan demikian penggunaan ke empat teknik sterilisasi
14
memberikan pengaruh yang sama terhadap tingkat kontaminasi eksplan pada fase
inisiasi paulownia.
Bahan-bahan sterilan dari ke empat perlakuan tergolong sama yaitu
menggunakan bahan aktif natriun hipoklorit (Bayclin dan So Klin), mankozeb
80% (Dhitane M-45), dan streptomisin (Agrept 80 WP) dengan konsentrasi yang
berbeda. Tingkat kontaminasi eksplan dari ke empat perlakuan pada akhir
pengamatan atau lima minggu setelah inokulasi tergolong tinggi yaitu 53.13%
perlakuan yang diberikan mengalami kontaminasi. Tingkat kontaminasi eksplan
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti media tanam, lingkungan kerja, asal
eksplan khususnya yang berasal dari lapangan, dan pekerjaan yang kurang teliti.
Tingkat kontaminasi eksplan selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 2.
dari beberapa jenis fungi termasuk jenis Fusarium. Seperti yang disampaikan oleh
Hamidin et al. (2009) bahwa penggunaan mankozeb 80% dengan aplikasi 3 g/L
akan menurunkan busuk kering ubi dan aplikasi 4.5 g/L dapat meniadakan
serangan fungi Fusarium terhadap busuk kering ubi pada tanaman kentang
(Solanum tuberosum).
Kontaminasi yang disebabkan oleh bakteri jumlahnya cukup besar
walaupun dalam sterilisasi telah menggunakan bahan aktif streptomisin yang
merupakan bakterisida sistemik. Hal ini dimungkinkan karena bakteri memiliki
kemampuan untuk menetralisir senyawa antimikrobia atau karena adanya
glycocalyx yang melindungi bakteri kontaminan dari senyawa beracun. Pengujian
bakteri patogen pada tanaman ulin (Eusideroxylon zwageri) secara in vitro
menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara waktu sterilisasi dan
persentase kontaminasi bakteri dengan ketebalan koloni bakteri. Kontaminasi
kultur 20% menghasilkan rerata ketebalan koloni bakteri 1 mm, sedangkan
kontaminasi tertinggi sebesar 39% menghasilkan rerata ketebalan koloni bakteri
sebesar 7 mm (Putri 2009).
Dari hasil pengamatan terlihat bahwa masing-masing kontaminan baik
bakteri maupun fungi terdiri dari beberapa jenis, ada yang berwarna putih, merah,
dan coklat kehitaman (Gambar 3).
A B C
D E F
Dari Tabel 4 diperoleh hasil analisis ragam dengan nilai F hitung 0.430
dan nilai Sig. sebesar 0.735 menunjukkan bahwa pengaruh teknik sterilisasi
eksplan dari ke empat perlakuan tidak berbeda nyata terhadap persentase
browning pada kultur paulownia karena nilai P > 0.05. Penggunaan ke empat
teknik sterilisasi memberikan pengaruh yang sama terhadap persentase browning
pada kultur paulownia. Pada akhir pengamatan diperoleh hasil persentase tingkat
browning pada perlakuan C yaitu 45%, perlakuan B 42.5%, D 35%, dan A 32.5%
(Gambar 5).
Bahan tanam yang terlalu muda sangat rentan terhadap masalah browning,
baik akibat senyawa fenol yang terkandung dari tanaman maupun akibat
penggunaan bahan sterilan. Seperti penelitian Poudyal et al. (2009) yang
menunjukkan bahwa ujung pucuk tanaman pir (Pyrus sp.) lebih rentan terhadap
masalah browning dibandingkan dengan eksplan dua nodus dan satu nodus.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Huang et al. (2002) pada tanaman
Dendrocalamus latiflorus bahwa potongan ujung pucuk D. latiflorus sangat cepat
mengalami browning.
Pada kultur in vitro paulownia masalah browning telah terjadi sejak
minggu pertama dan terus meningkat sampai akhir pengamatan (Gambar 6).
Gambar 7 Eksplan yang tumbuh secara normal (kiri) dan eksplan yang
mati akibat browning (kanan)
Penelitian pada tanaman pir (Pyrus sp.) yang dilakukan oleh Poudyal et al.
(2008) menunjukkan bahwa proses browning telah terjadi enam jam setelah
pengkulturan dan terus meningkat setiap jamnya. Terkait dengan gejala browning
Huang et al. (2002) menganjurkan untuk mentransfer kultur pada interval yang
lebih pendek ke media yang baru untuk mengurangi intensitas browning dan
memungkinkan perkembangan eksplan.
19
Laju penurunan tertinggi untuk jumlah eksplan yang hidup terjadi antara
minggu pertama dan kedua, sedangkan minggu berikutnya tetap terjadi penurunan
dalam jumlah yang lebih kecil. Hal ini juga menunjukkan bahwa tingkat
kontaminasi dan browning tertinggi terjadi pada minggu pertama yang akhirnya
berdampak pada persentase eksplan yang hidup.
Tahap selanjutnya dilakukan multiplikasi pada sisa eksplan yang berhasil
tumbuh membentuk tunas. Media yang digunakan adalah media MS yang
ditambahkan zat pengatur tumbuh berupa NAA dan BA. Kombinasi zat pengatur
tumbuh yang diberikan adalah 0.2 ppm NAA dan 7 ppm BA (perlakuan I),
kemudian 0.2 ppm NAA dan 5 ppm BA (perlakuan II) dengan ulangan sebanyak
11 kali pada masing-masing perlakuan. Eksplan yang digunakan adalah ujung
pucuk, batang dengan satu nodus, dan potongan batang tanpa nodus. Dari hasil
pengamatan pada 1 MSI terdapat tunas yang mulai berkembang membentuk
pucuk dan kalus. Pada minggu berikutnya pertumbuhan pucuk mulai terhenti
disebabkan oleh adanya perubahan orientasi perkembangan eksplan dengan
terbentuknya kalus pada pangkal eksplan (Gambar 11).
Saran
Perlakuan C (Dhitane M-45 0.2 g/100 mL, Agrept 0.2 g/100 mL, dan So
Klin (15%, 10%, dan 5%) dapat digunakan untuk sterilisasi eksplan paulownia
jika tidak ingin menggunakan bahan-bahan sterilan yang keras dan berbahaya.
Perendaman eksplan dalam larutan asam askorbat dan penggunaan
polivinilpirolidon (PVP) dapat dijadikan perlakuan untuk mengatasi masalah
browning pada eksplan paulownia. Selanjutnya pada tahap multiplikasi dapat
ditambahkan zat pengatur tumbuh dari golongan sitokinin tanpa penambahan
auksin karena hormon endogen pada eksplan paulownia cenderung kepada
pembelahan sel (auksin).
23
DAFTAR PUSTAKA
Akyildiz MH, Kol HS. 2010. Some technological properties and uses of
paulownia (Paulownia tomentosa Steud.) wood. Journal of Environmental
Biology 31:351–355.
Australian Standard. 2005. Timber – Natural durability ratings. Australia: SAI
Global Limited [internet]. [diunduh 2013 Maret 20]. Tersedia pada:
http://www.rajalaut.com/download/AS%205604-2005%20Timber%20-%20N
atural%20durability%20ratings.pdf.
Bell M, Davis S, Murphy J, Piper P. 2005. Product potential of paulownia
timber. Australian Forestry 68(1):3-8 [internet]. [diunduh 2013 Maret 20].
Tersedia pada: http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00049158.2005.
10676219#preview.
Clatteerbuck WK, Hodges DG. 2004. Tree crops for marginal farmland,
paulownia, with a financial analysis. The University of Tennessee [internet].
[diunduh 2012 November 29]. Tersedia pada: https://utextension.tennessee.ed
u/publications/Documents/PB1465.pdf.
El-Showk S, El-Showk N. 2003. The paulownia tree an alternative for
sustainable forestry. The farm [internet]. [diunduh 2012 September 5].
Tersedia pada: http://www.cropdevelopment.org/docs/PaulowniaBooklet.pdf.
Gunawan I. 2007. Perlakuan sterilisasi eksplan anggrek kuping gajah
(Bulbophyllum beccarii Rchb.f) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor.
Gunawan LW. 1992. Teknik Kultur Jaringan. Bogor: Depdikbud. Dirjen
Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor.
Hamidin, Sumadi, Nuraeni A. 2009. Pengaruh konsentrasi fungisida mancozeb
terhadap pertumbuhan tunas, busuk kering ubi, dan susut bobot ubi bibit
kentang (Solanum tuberosum L.) C.V. Granola di ruang penyimpanan. Jurnal
Agrikultura 20(3):159-163.
Herawan G, Ismail B. 2009. Penggunaan kombinasi auksin dan sitokinin untuk
menginduksi tunas pada kultur jaringan sengon (Falcataria moluccana)
menggunakan bagian kotiledon. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 3(1):23-
31.
Huang LC, Lee YL, Huang BL, Kuo CI, Shaw JF. 2002. High polyphenol
oxidase activity and low titratable acidity in browning bamboo tissue culture.
In Vitro Cell Dev Biol Plant 38:358-365.
Hutami S. 2008. Ulasan masalah pencoklatan pada kultur jaringan. Jurnal
Agrobiogen 4(2):83-88.
Johnson DV. 2000. Agriculture Recontruction Assistance Program. Use of
paulownia for forest plantation in the leon region of Nicaragua. Chemonics
International Inc [internet]. [diunduh 2012 Agustus 8]. Tersedia pada:
http://www.bio-nica.onfo/biblioteca/Johnson2000PaulowniaPlantation.pdf.
Khairunisa R. 2009. Penggunaan beberapa jenis sitokinin terhadap multiplikasi
tunas dan pertumbuhan binahong (Anredera cordifolia [Ten] Steenis).
[skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Lestari EG. 2011. Peranan zat pengatur tumbuh dalam perbanyakan tanaman
melalui kultur jaringan. Jurnal Agrobiogen 7(1):63-68.
24
LAMPIRAN
26
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Rantau Prapat, Sumatera Utara pada tanggal 2
Januari 1987. Penulis merupakan anak kesembilan dari sembilan bersaudara
pasangan bapak Abdul Roni Nasution dengan Ibu Ijah Dalimunteh. Pada tahun
2006 penulis lulus dari SMA N 2 Rantau Utara dan pada tahun yang sama lulus
seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis
memilih program Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dibeberapa organisasi
kemahasiswaan yakni sebagai anggota UKM Sepak Bola, Himpunan Profesi
(Himpro) Tree Grower Community (TGC), dan Himpunan Mahasiswa Labuhan
Batu (Himlab). Pada tahun 2008 penulis berpartisipasi sebagai panitia Pelatihan
Budidaya Jamur Tiram di Departemen Silvikultur. Pada tahun yang sama penulis
juga berpartisipasi dalam acara Belantara 44 (Bersatu Dalam Orientasi Anak
Rimba). Selain itu pada tahun 2010 penulis dipercaya menjadi salah satu asisten
dosen mata kuliah Silvikultur.
Praktek yang pernah diikuti oleh penulis terdiri dari Praktek Pengenalan
Ekosistem Hutan (PPEH), Praktek Pengelolaan Hutan (PPH), dan pada tahun
2010 penulis melaksanakan Praktek Kerja Profesi (PKP) di perusahaan
pertambangan batubara PT. Berau Coal, Kalimantan Timur. Sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Kehutanan penulis melakukan penelitian karya ilmiah
yang berjudul Pengaruh Teknik Sterilisasi terhadap Keberhasilan Inisiasi Eksplan
Paulownia (Paulownia elongata SY. Hu) secara In Vitro dibawah bimbingan Dr Ir
Arum Sekar Wulandari, MS.