Anda di halaman 1dari 86

PENGARUH SERVICE QUALITY, CITRA PERUSAHAAN,

CUSTOMER VALUE DAN SWITCHING COST TERHADAP


LOYALITAS KONSUMEN DENGAN EXPERIENTIAL
MARKETING SEBAGAI VARIABEL INTERVENING PADA
PT ASURANSI JASINDO KANTOR CABANG JEMBER

PROPOSAL TESIS

Disusun Oleh:

ANGKAT SUMEKTO
NIM. 130820101042

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS JEMBER
2014
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perusahaan Indonesia mencatat bahwa pertumbuhan perekonomian dunia tahun
ini lebih lambat dari tahun sebelumnya. Meskipun demikian secara umum perekonomian
domestik tetap tumbuh baik dengan stabilitas yang terjaga. Penurunan tersebut lebih
berkaitan dengan kondisi perekonomian global, dimana pertumbuhan ekonomi Eropa
mengalami kontraksi terkait dengan berlarut-larutnya penyelesaian krisis dikawasan
tersebut. Sementara itu, ekonomi AS tumbuh cukup baik meskipun dibayangi
kekhawatiran terhadap ancaman jurang fiskal (fiscal cliff). Di kawasan Asia, China dan
India, sebagai mitra dagang utama, Indonesia juga mengalami penurunan pertumbuhan
ekonomi. Perkonomian Indonesia tahun 2012 meskipun tumbuh cukup baik, secara
keseluruhan tumbuh sekitar 6,3% dan merupakan salah satu yang tertinggi di Asia
setelah China yang tumbuh sebesar 7,8% (YoY), namun lebih rendah dari asumsi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 sebesar 6,5%. Pertumbuhan ini
juga lebih rendah dibandingkan tahun 2011 yang mampu mencapai 6,5%. Kinerja
pertumbuhan ditopang oleh kuatnya permintaan domestik, terutama konsumsi rumah
tangga dan investasi, sementara penurunan kinerja ekspor masih berlanjut.
(bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/11/20)
Pada sektor industri asuransi, walaupun di negara maju cenderung menurun
searah perlambatan ekonomi, namun industri asuransi di Asia Tenggara termasuk di
Indonesia diprediksikan akan terus tumbuh berkembang di tahun-tahun yang akan
datang. Pada tahun 2013, bisnis premi asuransi di Indonesia sebagaimana dilaporkan
oleh Fitch Ratings, akan terdorong oleh semakin berkembangnya pasar domestik, dan
semakin menguatnya regulasi. Selain itu perkembangan sektor perasuransian akan
ditopang oleh meningkatnya kemakmuran di Indonesia dan kesadaran bencana alam.
(Laporan Tahunan PT Jasindo, 2012:19)
Penetrasi asuransi di Indonesia saat ini sebesar 1.7% masih tergolong rendah bila
dibandingkan dengan prosentase serupa di AS yang menembus 8.1%, di Inggris 11.8%

1
2

dan 4% di negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Masih rendahnya


tingkat penetrasi ini merupakan peluang bagi Perusahaan untuk terus bekerja keras
mengisi peluang tersebut. (bisniskeuangan.kompas.com, 20/10/2013) Di sisi lain,
meningkatnya persyaratan regulasi, termasuk persyaratan modal minimum ke Rp. 70
miliar pada tahun 2012 dan Rp 100 miliar pada tahun 2013, akan mendorong konsolidasi
pasar yang lebih ketat. Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jumat 24 Januari 2014,
menerbitkan Surat Edaran Nomor 6/D.05/2013 tanggal 31 Desember 2013 tentang
penetapan tarif premi serta ketentuan biaya akuisisi pada lini usaha asuransi kendaraan
bermotor dan harta benda. Surat edaran ini juga mengatur jenis risiko khusus meliputi
banjir, gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami tahun 2014.
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Non-perusahaan OJK, Firdaus Djaelani,
menjelaskan bahwa surat edaran ini mengatur penetapan batas atas dan batas bawah tarif
premi, kecuali untuk asuransi gempa bumi. Tarif batas atas ditetapkan dengan tujuan
untuk melindungi kepentingan masyarakat dari pengenaan premi yang berlebihan
(over-pricing), adapun penetapan tarif batas bawah dimaksudkan untuk mencegah tarif
premi yang tidak memadai, yang dapat menyebabkan perusahaan asuransi tidak mampu
membayar kewajibannya atas terjadinya klaim. Penetapan tarif batas bawah ini ditujukan
untuk melindungi kepentingan masyarakat pemegang polis. Dengan adanya penetapan
tarif batas atas dan batas bawah itu, bisa memberi ruang bagi perusahaan asuransi untuk
berkompetisi secara lebih sehat dan sekaligus mengakhiri era perang tarif yang selama
ini terjadi pada industri asuransi di Indonesia.
Dengan melihat potensi pasar yang masih prospektif membuat institusi
internasional/pemain asing begitu berminat untuk masuk ke pasar Indonesia. Ini
merupakan tantangan yang harus dihadapi mengingat mereka datang dengan dukungan
dana yang besar, keahlian teknik asuransi, riset pasar dan dukungan tekonologi informasi
yang canggih. (Laporan Tahunan PT Jasindo, 2012:20) Guna menghadapi perubahan
lingkungan usaha yang dinamis serta persaingan usaha yang semakin kompetitif maka
Perusahaan harus melakukan perbaikan-perbaikan untuk mencari cara yang
mendatangkan keuntungan dengan cara mendiferensiasikan diri mereka terhadap
pesaing. Salah satu strategi yang dapat menunjang keberhasilan dalam bisnis asuransi ini
3

adalah berusaha menawarkan kualitas jasa dengan kualitas pelayanan tinggi yang
nampak dalam kinerja yang tinggi dalam performa dari pelayanan yang ada
(Parasuraman, et al., 1985). Keberhasilan suatu organisasi dalam merealisasikan
tujuannya ditentukan oleh kemampuan organisasi bersangkutan dalam mengidentifikasi
kebutuhan dan keinginan pasar sasarannya dan memberikan kepuasan yang diharapkan
secara lebih efektif dan efisien dibandingkan para pesaingnya (Tjiptono, 2014:7) Pada
masa yang akan datang para pelanggan akan semakin memegang peran kunci
keberhasilan perusahaan, ini memaksa perusahaan-perusahaan untuk lebih beorientasi
eksternal dengan cara memberikan pelayanan dengan mutu sebaik mungkin kepada para
pelanggan mereka (Soetjipto, 1997).
Produk asuransi, baik kerugian maupun jiwa, antara satu asuransi dengan yang
lain, sebagian besar memiliki fitur-fitur yang serupa. Oleh karena itu tiap perusahaan
penerbit produk harus jeli dalam menjual produk jasa mereka. Mereka harus dapat
menciptakan keunggulan dari produk mereka dibandingkan dengan produk lainnya.
Pelayanan prima adalah faktor penting yang dapat menunjang loyalitas dari konsumen
(Caruana, 2002). Asuransi melihat pentingnya arti loyalitas konsumen, karena saat ini
konsumen lebih cerdas, sadar harga, banyak menuntut, kurang memaafkan dan didekati
banyak produk. (Kotler and Keller, 2009 : 148) Teknologi informasi juga memberikan
peran yang cukup besar dalam konsumen menentukan pilihan untuk berbagai macam
produk yang dapat dipilih untuk membelanjakan uangnya.
Bloemer, et al., (1998) menyebutkan ada enam alasan mengapa suatu institusi
perlu mendapatkan loyalitas konsumennya. Pertama : konsumen yang ada lebih
prospektif, artinya konsumen loyal akan memberi keuntungan besar kepada institusi.
Kedua : biaya mendapatkan konsumen baru lebih besar dibanding menjaga dan
mempertahankan konsumen yang ada. Ketiga : konsumen yang sudah percaya pada
institusi dalam suatu urusan akan percaya juga dalam urusan lainnya. Keempat : biaya
operasi institusi akan menjadi efisien jika memiliki banyak konsumen loyal. Kelima:
institusi dapat mengurangkan biaya psikologis dan sosial, dikarenakan konsumen lama
telah mempunyai banyak pengalaman positif dengan institusi. Keenam : konsumen loyal
akan selalu membela institusi bahkan berusaha pula untuk menarik dan memberi saran
4

kepada orang lain untuk menjadi konsumen.


Loyalitas konsumen tergantung dari pengalaman yang dirasakan konsumen
dalam menggunakan jasa perusahaan (Dick and Basu, 1999). menyatakan bahwa
pengalaman konsumen dapat dilakukan melalui experiential marketing. Dengan adanya
experiential marketing, Pendekatan ini dinilai sangat efektif karena sejalan dengan
perkembangan jaman dan teknologi, para pemasar lebih menekankan diferensiasi produk
untuk membedakan produknya dengan produk kompetitor. Dengan adanya experiential
marketing, pelanggan akan mampu membedakan produk dan jasa yang satu dengan
lainnya karena mereka dapat merasakan dan memperoleh pengalaman secara langsung
melalui lima pendekatan (sense, feel, think, act, relate), baik sebelum maupun ketika
mereka mengkonsumsi sebuah produk atau jasa (Schmitt, 1999). Experiential marketing
sangat efektif bagi pemasar untuk membangun brand awareness, brand perception,
brand equity, maupun brand loyalty hingga purchasing decision dari pelanggan.
(Gronroos, 1984) Oleh karena itu pemasar juga harus berhati-hati dalam memilih sarana
yang benar dan media yang tepat agar tujuan pemasaran dapat tercapai seperti yang
diharapkan. (Fransisca, 2007).
Pembentukan PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) merupakan bagian penting
dari perjalanan sejarah bangsa dan tanah air Indonesia. Sejarah tersebut bermula pada
tahun 1845 ketika dilaksanakannya nasionalisasi atas NV Assurantie Maatschappij de
Nederlander, sebuah perusahaan Asuransi Umum milik kolonial Belanda, dan Bloom
Vander, perusahaan Asuransi Umum Inggris yang berkedudukan di Jakarta. Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia yang dinyatakan pada 17 Agustus 1945 oleh
Proklamator RI, Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta, sekaligus meng-amanatkan
pelaksanaan pemindahan kekuasaan dan kepemilikan Kerajaan Belanda kepada
Pemerintah Indonesia. Termasuk, melakukan nasionalisasi terhadap dua perusahaan
tersebut dan mengubah nama ke-duanya menjadi PT Asuransi Bendasraya yang bergerak
di bidang Asuransi Umum dalam Rupiah dan PT Umum Internasional Underwriters
(UIU) yang bergerak pada bidang Asuransi Umum dalam valuta asing.
Kedua perusahaan hasil tindak lanjut nasionalisasi ini bertujuan untuk
memberikan manfaat yang maksimal kepada masyarakat dan memperkokoh keamanan
5

serta perekonomian negara. Adapun kebijakan nasionalisasi tersebut dilaksanakan


berdasarkan payung hokum Undang-Undang Nomor 86 tahun 1958 tentang
Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang berada di dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasca implementasi kebijakan nasionalisasi dan
pribumi maka kemudian muncul sebuah inisiatif untuk mengoptimalkan fungsi dan
peran dari kedua perusahaan nasional tersebut dalam menghadapi tantangan sekaligus
mengisi era kemerdekaan Republik Indonesia.
Dalam perjalanan bersejarahnya, melalui Keputusan Menteri Keuangan
No.764/MK/IV/12/1972 tertanggal 9 Desember 1972, pemerintah Indonesia
memutuskan untuk melakukan merger antara PT Asuransi Bendasraya dan PT Umum
Internasional Underwriters (UIU) menjadi PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) sebagai
sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang usaha Asuransi
Umum. Pengesahan penggabungan tersebut selanjutnya dikukuhkan dengan Akta
Notaris Mohamad Ali Nomor 1 tanggal 2 Juni 1973.
Sebagai salah satu BUMN yang memiliki kinerja usaha gemilang di Indonesia,
seluruh saham PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) dimiliki oleh Negara Republik
Indonesia. Apalagi, perjalanan waktu telah membuktikan bahwa PT Asuransi Jasa
Indonesia (Persero) atau yang dikenal dengan Asuransi Jasindo, memang memiliki
pengalaman yang mumpuni, panjang dan matang di bidang Asuransi Umum bahkan
sejak era kolonial. Pengalaman ini memberikan nilai kepeloporan tersendiri bagi
keberadaan dan pertumbuhan kinerja Asuransi Jasindo hingga saat ini, sehingga berhasil
dalam meraih kepercayaan publik baik yang ada di dalam maupun di luar negeri. Dalam
menyuguhkan layanan profesional dan terbaiknya, Asuransi Jasindo senantiasa
memegang teguh nilai-nilai budaya perusahaan yang ditanamkan yaitu Asah, Asih dan
Asuh. Selain itu, Asuransi Jasa Indonesia juga berkomitmen untuk memberikan
pelayanan yang prima demi memenuhi kepuasan Tertanggung. Asuransi Jasindo juga
banyak mendapatkan dukungan reasuradur terkemuka dari seluruh belahan dunia, seperti
Swiss Re dan Partner Re, dalam memberikan back-up reasuransi, terutama
pertanggungan yang bersifat mega-risk.
Budaya Perusahaan merupakan suatu cerminan aturan perilaku yang umum
6

disebut dengan Kode Etik. Dalam menjalankan kegiatan usahanya serta menimbang
nature bisnis yang dijalankan Asuransi Jasindo erat dengan unsur “Trust”
(Kepercayaan), maka sebagai suatu organisasi, Asuransi Jasindo dituntut untuk memiliki
suatu aturan yang mengikat seluruh jajarannya dalam bertindak sesuai dengan standar
tertinggi dalam integritas profesional dan personal diseluruh aspek kegiatan perusahaan,
serta mematuhi seluruh undang-undang, tata tertib, peraturan dan kebijakan Perusahaan.
Berkenaan dengan hal tersebut, PT Asuransi Jasindo (persero) memiliki budaya
perusahaan yang harus dilaksanakan oleh seluruh jajaran PT Asuransi Jasa Indonesia
dari Direksi sampai dengan pegawai paling bawah yakni budaya “3A” Asah, Asih dan
Asuh. Asah, memuat pesan profesionalisme yang mengharuskan setiap sumber daya
manusia PT Asuransi Jasindo senantiasa mengasah keahlian dan kecerdasannya lewat
proses belajar secara terus menerus, sehingga pada gilirannya akan menghasilkan SDM
yang cerdas. Asih, mewajibkan setiap SDM di PT Jasindo saling menghormati dan
menghargai agar terdapat keharmonisan dan kenyamanan dalam lingkungan kerja. Asuh,
mengandung makna kepedulian akan perlunya memelihara solidaritas dan kesatuan tim
kerja yang harmonis, solid dan lebih mendasarkan pada kepentingan bersama
(perusahaan), bukan kepentingan individu.
Dalam perkembangannya, sejalan dengan upaya manajemen dan seluruh jajaran
pegawai serta untuk mengarahkan segala daya untuk meningkatkan mutu pelayanan dan
kepuasan pelanggan, maka kekuatan “3A” telah dijabarkan lebih lanjut melalui kata
kunci yaitu “CARE” Cepat, Akurat, Ramah dan Efisien yang secara sadar menyatakan
bahwa: (1) Cepat, berarti bahwa kecepatan pelayanan akan memberikan kepastian dan
ketenangan bagi tertanggung maupun calon tertanggung; (2) Akurat, berarti bahwa
keakurasian akan menjamin kepuasan tertanggung dalam memperoleh kepastian dalam
berasuransi dengan PT Jasindo; (3) Ramah, berarti bahwa keramahan merupakan wujud
dari budaya kerja yang bertujuan memberikan kenyamanan dan pengayoman dalam
kemitraan; (4) Efisien, menjamin nilai produk yang ditawarkan serta layanan yang
diberikan setara dengan kualitas yang diharapkan.
Experiential marketing sangat tepat diterapkan dalam bisnis jasa, dimana bisnis
jasa merupakan bisnis yang berdasarkan asas kepercayaan sehingga masalah kualitas
7

layanan menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan bisnis ini.
Kualitas layanan merupakan suatu bentuk penilaian konsumen terhadap tingkat layanan
yang dipersepsi (perceived service) dengan tingkat pelayanan yang diharapkan (expected
service) (Parasuraman, et al., 1985). Implikasinya, baik buruknya kualitas jasa
tergantung pada kemampuan penyedia jasa memenuhi harapan pelanggannya secara
konsisten (Tjiptono, 2014 : 268) Kualitas layanan dihasilkan oleh operasi yang dilakukan
perusahaan dan keberhasilan oleh proses operasi perusahaan ini ditentukan oleh banyak
faktor antara lain faktor karyawan, system teknologi dan keterlibatan konsumen.
(Asubonteng, 1996)
Penyampaian layanan yang berkualitas dewasa ini dianggap suatu strategi yang
esensial agar perusahaan sukses dan dapat bertahan (Buttle, F., 1996). Penerapan
manajemen kualitas dalam industri jasa menjadi kebutuhan pokok apabila ingin
berkompetisi di pasar domestik apalagi di pasar global (Fornel and Wernefelt, 1987).
Hal ini disebabkan kualitas pelayanan dapat memberi kontribusi pada kepuasan
konsumen, pangsa pasar dan profitabilitas. Oleh karena itu, perhatian para manajer saat
ini lebih diprioritaskan pada pemahaman dampak kualitas layanan terhadap keuntungan
dan hasil-hasil financial yang lain dalam perusahaan (Geykens, et al., 1999).
Kualitas pelayanan merupakan salah satu faktor kunci bagi keberhasilan
perusahaan jasa dan tidak dapat dipungkiri dalam dunia bisnis saat ini, karena tidak ada
yang lebih penting lagi bagi sebuah perusahaan jasa kecuali menempatkan masalah
kepuasan dan loyalitas terhadap konsumen melalui pelayanan sebagai salah satu
komitmen bisnisnya. (Parasuraman, 1997) Selain dari perusahaan asuransi yang
mengelola jasa secara murni, setiap perusahaan asuransi dengan produk apapun baik
disadari maupun tidak disadari, pasti bersinggungan dengan jasa. Komponen
jasa tersebut bahkan dapat menjadi bagian penting walaupun hanya menjadi
bagian minor dari keseluruhan kegiatan perusahaan.
Apabila kita kembali kepada hakekat bisnis jasa yang mana inti dari bisnis ini
adalah bagaimana memuaskan konsumen, yakni dengan cara memberikan layanan yang
berkualitas. Banyak faktor yang mendukung atau dapat dikatakan berpengaruh pada
kualitas pelayanan. Faktor-faktor tersebut akan dibahas satu persatu secara detail pada
8

penelitian ini. Hal tersebut menjadi sangat penting dan menarik untuk dibahas sebab
dalam bidang jasa, kepuasan konsumen sangat bergantung atau bahkan bergantung
sepenuhnya terhadap kualitas layanan yang diberikan. Apabila kita kaji lebih dalam,
kepuasan konsumen tersebut akan berdampak lebih jauh lagi pada loyalitas konsumen
terhadap perusahaan. Dengan loyalitas konsumen, dapat dikatakan bahwa hal tersebut
adalah wujud nyata dari keberhasilan suatu perusahaan jasa dalam menjalankan segala
kegiatannya.
Kualitas pelayanan berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan
serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan konsumen. Ada dua faktor
yang mempengaruhi kualitas jasa yaitu expected service dan perceived service
(Gronroos, 1984). Kualitas harus dimulai dari kebutuhan konsumen dan berakhir pada
persepsi konsumen. Hal ini berarti citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan sudut
pandang atau persepsi penyedia jasa melainkan berdasarkan sudut pandang atau persepsi
konsumen. Baik buruknya kualitas pelayanan menjadi tanggung jawab seluruh bagian
organisasi perusahaan.
Dalam penelitian yang dilakukan Crosby dan Stephens (1987) pada industri jasa
menyebutkan bahwa ketidakpuasan merupakan salah satu penyebab beralihnya
konsumen. Penelitian lain Fornel (1992) juga menyebutkan bahwa konsumen yang puas
cenderung menjadi konsumen yang loyal. Sehingga apabila tingkat kepuasan konsumen
meningkat akan diikuti tingkat loyalitas konsumen. Menurut Ho and Wu, (1999) dalam
Saha and Zhao, (2005) hal-hal yang membentuk kepuasan konsumen adalah logistical
support, technical characteristhics, information characteristhics, home page
presentation dan product characteristhics. Sedangkan penelitian Selnes (1993),
Goodman, et al., (1995) dan Geykens, et al., (1999) menyatakan bahwa indikator yang
membentuk kepuasan konsumen adalah rasa senang, kepuasan terhadap pelayanan,
kepuasan terhadap sistem dan kepuasan finansial.
Semakin tingginya intensitas persaingan bisnis serta semakin homogennya
produk serta pelayanan membuat perusahaan asuransi, baik yang bergerak dalam bidang
kerugian maupun jasa, saat ini mengalami kesulitan untuk menerapkan strategi agar
unggul dari para pesaing mereka untuk mencapai kinerja yang diharapkan. Pekerjaan
9

marketing tidak lagi sesederhana dulu, konsumen zaman sekarang sangat mudah
mendapat informasi dan membandingkan beberapa tawaran dari produk serupa
(Kertajaya, 2010:3) Kecenderungan yang ada adalah bahwa kegiatan pemasaran sudah
tidak lagi ditujukan untuk pertukaran atau transaksi yang terjadi sekali saja, tetapi sudah
mulai mengarah pada pertukaran yang terus menerus dan berkesinambungan. Jika pada
masa lalu proses pemasaran berakhir ketika transaksi jual beli telah terjadi, dimana
barang berpindah kepemilikan dari penjual ke pembeli, maka sekarang agar dapat
merangkul perubahan ini, pemasar di seluruh dunia memperluas konsep marketing untuk
berfokus pada emosi manusia, mereka memperkenalkan konsep baru seperti, emotional
marketing, relationship marketing, experiential marketing dan brand equity yang
berpandangan bahwa pemasaran seharusnya memberikan perhatian pada
transaksi yang sedang berlangsung dan memanfaatkannya sebagai dasar untuk hubungan
pemasaran yang berkelanjutan di masa depan. (Kertajaya, 2010:29 ) Dengan demikian
sebenarnya yang penting pada masa sekarang adalah bagaimana menciptakan loyalitas
konsumen.
Bloemer, et al., (1998) dalam penelitiannya menekankan akan arti pentingnya
pembentukan loyalitas perusahaan sebagai dasar bagi perusahaan untuk bertahan dan
menghadapi persaingan. Menurutnya loyalitas konsumen terhadap suatu perusahaan
dapat tumbuh disebabkan oleh beberapa faktor, seperti citra baik yang dimiliki
perusahaan tersebut, kualitas pelayanan yang diberikan dan kepuasan terhadap
perusahaan. Faktor-faktor tersebut memegang peran penting dalam meningkatkan posisi
persaingan perusahaan. Dick and Basu (1994) menyatakan bahwa Loyalitas pelanggan
dipandang sebagai kekuatan hubungan antara sikap relatif individu dan dukungan ulang.
Hubungan anatara penjual dan pembeli menjadi mediasi antara sosial norma dan faktor
situasional. Kognitif, afektif, dan konatif anteseden dari sikap relatif diidentifikasikan
sebagai kontributor terhadap loyalitas, bersama dengan konsekuensi motivasi, persepsi,
dan perilaku.
Sebuah perusahaan akan dapat bertahan jika memiliki citra yang baik di mata
publik. Publik akan memberikan dukungan, bantuan, serta kerjasama dengan perusahaan
apabila perusahaan tersebut dapat dipercaya, menurut Kotler (2009:258) citra merupakan
10

seperangkat keyakinan, ide, dan kesan yang dimiliki seseorang terhadap suatu obyek.
Citra berkaitan erat dengan suatu penilaian, tanggapan, opini, kepercayaan publik,
asosiasi atau simbol-simbol tertentu terhadap suatu perusahaan. Bontis, et al. (2007)
mengatakan bahwa Loyalitas pelanggan dan kecenderungan rekomendasi pelanggan
dapat ditingkatkan dengan meningkatkan reputasi. Konsekuensinya adalah reputasi dapat
membantu untuk meningkatkan profitabilitas perusahaan. Lebih jauh lagi penelitian
Schmitt, et al. (2009) mengemukakan bahwa Brand experience dikonseptualisasikan
sebagai sensasi, perasaan, kognisi, dan respon perilaku yang ditimbulkan oleh
rangsangan merek terkait yang merupakan bagian dari desain merek dan identitas,
kemasan, komunikasi, dan lingkungan. Para penulis membedakan beberapa dimensi
pengalaman dan membangun pengalaman skala brand yang meliputi empat dimensi:
sensorik, afektif, intelektual, dan perilaku. Dalam enam studi, Schmitt, et al. (2009)
menunjukkan bahwa skala ini dapat diandalkan, valid, dan berbeda dari langkah-langkah
merek lain, termasuk evaluasi merek, keterlibatan merek, keterikatan merek, kesenangan
pelanggan, dan brand personality. Selain itu, brand experience mempengaruhi kepuasan
konsumen dan loyalitas secara langsung maupun tidak langsung melalui asosiasi brand
personality.
Parves (2005) dalam Taufiq dan Suryadi (2009) memberikan definisi tentang
switching cost sebagai berikut; Switching cost include time and psycological effort
involved facing the uncertainty of dealing with a new service provider. Menurut Dick and
Basu, (1994) Switching cost is the sum of economic, psycological cost, and physical costs.
Switching cost includes the pshycological cost of becoming a customer of a new firm, and
the time effort involved in buying new brand (Reicheld and Sasser (1990) dalam
Tjiptono, 2014:380). Menurut Burnham (2003), switching cost adalah biaya yang harus
dikeluarkan segera, sebagai biaya dalam proses penggunaan produk atau jasa penyedia
layanan ketika pembelian kembali dilakukan.
Switching cost mendorong konsumen untuk merekomendasikan pada konsumen
yang lain (Gethok tular positif) (Tjiptono, 2014:381). Perubahan teknologi dan strategi
diferensiasi dari perusahaan menyebabkan switching cost menjadi faktor penting bagi
customer loyalty (Burnham, et al., 2003). Dalam penelitian Fornell (1992) juga
11

menemukan pengaruh positif antara switching cost terhadap customer loyalty. Taufiq dan
Suryadi (2009) menyatakan bahwa Switching cost mempengaruhi Customer Loyalty
secara positif.
Asuransi Jasindo sebagai perusahaan jasa telah memiliki Visi dan Misi
Perusahaan yang menjadi landasan bagi perusahaan untuk menetapkan
strategi-strategi bisnis yang akan dijalankan dalam memenangkan persaingan. Visi
Asuransi Jasindo “Menjadi perusahaan yang tangguh dalam persaingan global dan
menjadi market leader di pasar domestik”. Visi ini kemudian dijabarkan kedalam misi
perusahaan “menyelenggarakan usaha asuransi kerugian dengan reputasi internasinal
melalui peningkatan pangsa pasar, pelayanan prima dan tetap menjaga tingkat
kemampulabaan serta memenuhi harapan stakeholder”
PT. Asuransi Jasindo adalah salah satu perusahaan asuransi umum milik Negara
(BUMN). Asuransi Jasindo dituntut untuk mencari keuntungan seperti perusahaan
asuransi pada umumnya juga sebagai fungsi intermediary penggerak pembangunan,
Asuransi Jasindo dituntut menjalankan misi asuransi sebaik-baiknya. Untuk
melaksanakan visi dan misi serta tujuan perusahaan, maka disusun program kerja yang
dituangkan dalam Rencana Jangka Panjang (RJP) dan selanjutnya dijabarkan dalam
Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) tahunan. Penelitian ini berdasarkan
pada permasalahan atau kenyataan di lapangan (research problem), dimana PT Jasindo
belum dapat menjadi market leader di pasar domestik dan peringkat yang terus menurun
dari tahun ke tahun. Penelitian ini berdasarkan permasalahan atau kenyataan di lapangan
(research problem) secara total hasil underwriting neto ritel mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya.
12

Tabel 1.1
Realisasi Perolehan Underwriting Netto Premi Ritel Tahun 2011-2012
(dalam jutaan Rupiah)
RKAP Realisasi Realisasi
Class of Business
2012 2012 2011
Pengangkutan 13.011 17.701 12.562
Kebakaran 29.332 68.182 35.069
Kendaraan Bermotor 70.369 68.182 78.435
Aneka 70.228 4.601 26.367
Sumber: laporan keuangan tahunan PT Jasindo 2012

Hasil perolehan Underwriting Netto Premi Ritel dari Asuransi Kendaraan


Bermotor dan Aneka menurun dari tahun lalu dan tidak dapat mencapai target yang
ditetapkan, padahal apabila dibandingkan dengan bisnis korporasi, pendapatan premi
yang berasal dari bisnis ritel khusus nya pada Clas Of Business (COB) Kendaraan
Bermotor dan Aneka lebih memiliki tingkat risiko yang rendah dengan pembayaran
premi yang lancar
Adapun perubahan jumlah Premi Asuransi Jasindo dapat dilihat pada tabel 1.2 berikut :

Tabel 1.2
Jumlah Premi Asuransi Jasindo Tahun 2008 - 2012
(dalam miliar rupiah)
Premi Bruto Premi Netto Rasio PN/PB
2008 2,597,531 806,503 31.05%
2009 2,814,727 926,404 32.91%
2010 2,860,463 1,074,312 37.56%
2011 3,346,255 1,226,255 36.65%
2012 3,839,824 1,254,011 32.66%
Sumber : Laporan Tahunan Asuransi Jasindo (2012)
13

Berdasarkan tabel 1.2 di atas menunjukkan adanya penurunan nilai rasio premi
netto terhadap premi bruto selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, yang dapat diartikan
bahwa PT Jasindo seharusnya meningkatkan perolehan premi dari sektor ritel baik dengan
penambahan bisnis baru dan mempertahankan pelanggan lama, mengingat pada sektor
tersebut memiliki tingkat risiko yang lebih rendah, dengan demikian hasil usaha
(Underwriting Result) dapat lebih besar.
Penurunan hasil usaha dan rasio hasil usaha yang signifikan pada tahun 2010 –
2012, hal ini dapat berarti bahwa Asuransi Jasindo belum dapat mengoptimalkan
perolehan premi dari sektor ritel. Selain itu, penurunan perolehan premi juga didukung
dengan data tentang posisi rating perusahaan-perusahaan asuransi terkemuka di Indonesia,
hal tersebut dapat dilihat pada tabel 1.3 berikut:
Tabel 1.3
Peringkat asuransi terbaik di Indonesia
berdasarkan Asset diatas 500 milyar tahun 2012
Total Aset Modal
Nama Perusahaan RBC % PREDIKAT
(Jt) Sendiri (Jt)
1 Asuransi Raksa Pattikara 145,152 132.36 SANGAT BAGUS
2 Asuransi Adira Dinamika 2,637,893 956,698 337.00 SANGAT BAGUS
3 Asuransi Jaya Proteksi 1,039,059 365,098 197.29 SANGAT BAGUS
4 Asuransi Multi Artha Guna 1,051,934 636,405 302.00 SANGAT BAGUS
5 Tugu Pratama Indonesia 2,808,179 1,789,020 336.00 SANGAT BAGUS
6 Asuransi Wahana Tata 1,291,310 532,520 230.00 SANGAT BAGUS
7 Jasa Raharja Putera 803,167 387,950 308.00 SANGAT BAGUS
8 Asuransi Binda Dana Artha 1,106,155 404,626 283.53 SANGAT BAGUS
9 Asuransi Astra Buana 5,845,058 2,063,896 214.00 SANGAT BAGUS
10 Asuransi Ekspor Indonesia 967,459 692,884 782.00 SANGAT BAGUS
Sumber: Akademi Asuransi, Written By Afrianto Budi on Sabtu, 01 September 2012

Pada tabel tersebut diatas dapat terlihat bahwa PT Asuransi Jasa Indonesia tidak
mampu menembus daftar 10 Perusahaan Asuransi terbaik di Indonesia.
14

Tabel 1.4
Peringkat Asuransi Terbaik
dengan kriteria premi Rp 500 miliar keatas Tahun 2012

Peringkat Perusahaan Predikat

1 Asuransi Bangun Askrida Sangat Bagus

2 Raksa Pratikara Sangat Bagus

3 Jasaraharja Putera Sangat Bagus

4 Asuransi Adira Dinamika Sangat Bagus

5 Asuransi Indrapura Sangat Bagus

Sumber: Biro Riset Infobank, 14 July 2013 12:57 WIB

Dari tabel 1.4 diatas, dapat terlihat bahwa belum bisa menduduki posisi 5 besar
asuransi terbaik Indonesia berdasarkan perolehan premi diatas Rp. 500 miliar dalam
hal pengelolaan asset nya. Bahkan Asuransi Bina Dana Artha dan Asuransi Indrapura
yang terlihat kurang dikenal masyarakat dibandingkan Asuransi Jasindo mampu masuk
kedalam peringkat 10 besar. Pemeringkatan berdasarkan pendekatan terhadap laporan
keuangan publikasi misalnya untuk perusahaan asuransi umum di Indonesia dengan 10
kriteria, yaitu RBC, rasio likuiditas, dana jaminan/cadangan teknis, investasi/cadangan
teknis plus utang klaim, aktiva tetap/modal sendiri, pendapatan investasi netto/rata-rata
investasi, rasio beban klaim neto/pendapatan premi neto, rasio laba dengan rata-rata
modal sendiri (Biro Riset Info Bank, 2012)
Masyarakat sebagai pengguna jasa kini semakin selektif dalam memilih asuransi
untuk menjamin kemanan aset yang dimilikinya dari risiko-risiko kerugian akibat bencana
atau kecelakaan yang mungkin dialaminya. Dalam hal ini unsur loyalitas menjadi faktor
kunci bagi asuransi untuk memenangkan persaingan (Bloemer, 1997; Andreassen, 1994;
15

Caruana, 2002; Kandampully and Dudy, 1999; Mital et al., 1998). Bisnis asuransi
merupakan bisnis jasa yang berdasar pada azas kepercayaan yang didukung kualitas jasa
(service quality) yang diberikan (Parasuraman, et al., 1985, 1988; Zeithaml, 1996; Saha
and Zhao, 2005; Cronin and Taylor, 1992), Nilai Konsumen (Customer Value) (Chua,
2002; Widdis, 2001; Kandampully, 2009; Kotler dan Kertajaya, 2010; Woodruff, 1997;
Holbrook, 1994; Zeithaml, 1987), citra perusahaan (Corporate Image) (Aaker and Keller,
1990; Bloemer and Ruyter, 1998; Bontis and Booker, 2007; Fornel, 1992), Switching Cost
(Parves, 2005; Dick and Basu, 1994; Burnham, 2003; Fornell, 1992), Experiential
Marketing (Holbrook and Hirschman (1982); Schmitt, B., 1999, 2003; Kertajaya, 2004,
2005, 2006; Same and Larimo, 2012; Yang and He, 2011).
Begitu banyak hal yang ditawarkan pada konsumen, hal ini tentu membuat para
konsumen menjadi lebih leluasa dalam menentukan pilihannya. Sementara dampaknya
bagi produsen, hal ini menjadi tantangan yang membuat mereka harus bekerja lebih keras
untuk mempertahankan loyalitas konsumennya. Para ahli pemasaran sepakat bahwa
mempertahankan konsumen yang loyal lebih efisien daripada mencari pelanggan baru.
Karena itulah, upaya menjaga loyalitas konsumen merupakan hal penting yang harus
selalu dilakukan oleh produsen (Fajrianthi dan Farrah, 2005). Namun salah satu yang
sering dijumpai dalam praktik adalah fakta bahwa kendati pelayanan yang diberikan
perusahaan sudah cukup tinggi, namun tetap saja perusahaan tersebut kehilangan
pelanggan, salah satu penyebab adalah sebagaian besar riset/studi pemasaran berfokus
pada upaya mengetahui apakah kebutuhan saat ini terpenuhi atau tidak, namun tidak
meneliti lebih jauh mengenai kebutuhan pelanggan di masa yang akan datang, karena
kebutuhan pelanggan berubah dengan cepat dan kerapkali dramatis, maka mereka akan
mencari perusahaan yang dianggap paling bisa memenuhi kebutuhan baru tersebut.
Konsekuensinya, perusahaan jasa yang progresif harus secara proaktif mengidentifikan
kebutuhan pelanggan di masa datang (Tjiptono, 2014:386) sehingga dibutuhkan suatu
strategi pemasaran yang berorientasi pada nilai-nilai, pemasar yang tidak hanya
menganggap konsumen sebagai objek tapi melakukan pendekatan dengan memandang
mereka sebagai manusia seutuhnya, lengkap dengan pikiran, hati, dan spirit. Semakin
banyak konsumen yang berusaha mencari solusi terhadap kegelisahan mereka untuk
16

menciptakan dunia yang lebih baik. Dalam dunia yang penuh dengan kebingungan,
konsumen mencari perusahaan yang dapat memenuhi kebutuhan terdalam mereka dalam
bidang sosial, ekonomi, dan keadilan lingkungan pada misi, visi, dan nilai-nilainya.
Dalam produk yang dipilihnya, konsumen tidak hanya mencari pemenuhan fungsional
dan emosional namun juga pemenuhan spirit (Kotler dan Kertajaya, 2010:4).
Melalui Experiental Marketing, pemasar berusaha untuk mengerti, berinteraksi
dengan konsumen dan berempati terhadap kebutuhan mereka. Dengan strategi ini
diharapkan konsumen akan menjadi loyal, bersedia melakukan hubungan jangka panjang,
menggunakan produk dan jasa perusahaan secara terus menerus dan merekomendasikanya
kepada orang-orang terdekat mereka. Loyalitas ini akan diperoleh bila konsumen merasa
mereka mendapatkan sesuatu yang lebih bernilai dibanding dengan bila mereka berpindah
ke merek lain (Schmitt, 1999). Keuntungan lain yang diperoleh perusahaan dari
konsumen yang loyal adalah bahwa mereka akan merekomendasikan merek, produk
perusahan atau produsen secara sukarela, sehingga dapat menghemat pengeluaran
perusahaan untuk aktivitas tersebut. Studi yang dilakukan Shaw and Ivens (2005) dalam
Yang and He (2011) menunjukkan bahwa 85% dari senior bisnis manajer percaya bahwa
diferensiasi semata-mata pada unsur-unsur tradisional, seperti harga, produk dan kualitas,
tidak lagi menjadi keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, dan bahkan, banyak dari
senior manajer memegang Customer Experience sebagai medan pertempuran kompetitif
berikutnya.
Hal ini yang menjadi alasan dilakukan penelitian mengenai experiental marketing
pada PT. Asuransi Jasindo, dimana Asuransi Jasindo selalu berusaha dalam membuat
terobosan-terobosan baru baik dalam hal peluncuran produk baru, image perusahaan,
bahkan promosi baik di televisi maupun di media massa yang dimaksudkan untuk
menambah bisnis baru dan mempertahankan pelanggan lama ternyata belum dirasa
optimal untuk membuat para konsumennya menjadi loyal, selain itu penelitian mengenai
experiential marketing di Asuransi Jasindo belum pernah diteliti sebelumnya.

1.2 Perumusan Masalah


Permasalahan dalam penelitian ini adalah adanya penurunan baik peringkat
17

maupun jumlah perolehan premi pada sektor ritel yang dicapai Asuransi Jasindo dan
turunnya peringkat posisi perusahaan dalam hal kualitas layanan yang berdampak pada
loyalitas konsumen PT Asuransi Jasindo. Data-data tersebut juga didukung oleh data
belum mampunya Asuransi Jasindo menduduki peringkat sepuluh besar perusahaan
asuransi terbaik pada tahun 2013. Hal ini memberikan gambaran
bahwa tingkat Loyalitas konsumen PT. Asuransi Jasindo belum cukup tinggi.
Sehingga, PT. Asuransi Jasindo diharapkan agar lebih memperhatikan experiential
marketing, service quality, customer value, citra perusahaan dan switching cost untuk
membantu meningkatkan loyalitas para konsumennya. Berdasarkan permasalahan
tersebut, maka pertanyaan penelitian (research question) dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Apa pengaruh service quality terhadap experiential marketing di PT Asuransi Jasa
Indonesia?
2. Apa pengaruh customer value terhadap experiential marketing di PT Asuransi Jasa
Indonesia?
3. Apa pengaruh citra perusahaan terhadap experiential marketing di PT Asuransi Jasa
Indonesia?
4. Apa pengaruh service quality terhadap loyalitas konsumen di PT Asuransi Jasa
Indonesia?
5. Apa pengaruh Customer value terhadap Loyalitas Konsumen di PT Asuransi Jasa
Indonesia?
6. Apa pengaruh Citra Perusahaan terhadap Loyalitas Konsumen di PT Asuransi Jasa
Indonesia?
7. Apa pengaruh Switching cost terhadap loyalitas konsumen di PT Asuransi Jasa
Indonesia?
8. Apa pengaruh experiential marketing terhadap loyalitas konsumen di PT Asuransi
Jasa Indonesia?
18

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a) Untuk menganalisis pengaruh service quality terhadap experiential marketing
di PT Asuransi Jasa Indonesia.
b) Untuk menganalisis pengaruh customer value terhadap experiential marketing
PT Asuransi Jasa Indonesia.
c) Untuk menganalisis pengaruh citra perusahaan terhadap experiential
marketing PT Asuransi Jasa Indonesia.
d) Untuk menganalisis pengaruh keunggulan service quality terhadap loyalitas
konsumen PT Asuransi Jasa Indonesia.
e) Untuk menganalisis pengaruh customer value terhadap loyalitas konsumen PT
Asuransi Jasa Indonesia.
f) Untuk menganalisis pengaruh citra perusahaan terhadap loyalitas konsumen
PT Asuransi Jasa Indonesia.
g) Untuk menganalisis pengaruh Switching cost terhadap loyalitas konsumen PT
Asuransi Jasa Indonesia.
h) Untuk menganalisis pengaruh experiential marketing terhadap loyalitas
konsumen PT Asuransi Jasa Indonesia.

1.3.2 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dari penelitian ini;
1. Manfaat teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif bagi
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang Marketing mengenai
pentingnya pengelolaan terhadap variabel-variabel yang dapat mempengaruhi
Loyalitas Konsumen dan Experiential Marketing melalui Service Quality, Customer
value, Citra Perusahaan, Switching Cost dan dapat dijadikan sebagai tambahan
referensi atau bahan pembanding bagi penelitian sejenis selanjutnya
2. Manfaat praktis, yaitu dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui faktor mana
yang dominan dalam mempengaruhi loyalitas konsumen PT Asuransi Jasindo
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Kualitas Pelayanan (Service Quality)
Jasa bersifat intangible dan lebih merupakan proses yang dialami
pelanggan secara subyektif, di mana aktivitas produksi dan konsumsi berlangsung
pada saat bersamaan. Selama proses tersebut berlangsung, terjadi interaksi yang
meliputi serangkaian moment of truth antara pelaggan dan penyedia jasa
(Tjiptono, 2014:267) Dalam dimensi pemasaran jasa, konsep kualitas pelayanan
pertama kali diperkenalkan oleh Gronroos (1984) yaitu konsep Perceived Service
Quality dan Total Service Quality Models. Definisi kualitas pelayanan berfokus
pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan
penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan (Tjiptono, 2014; 266).
Dalam menghadapi persaingan antar perusahaan yang semakin ketat, maka
perusahaan bersaing untuk memikat agar para konsumennya tetap loyal dalam
memanfaatkan pelayanan yang diberikannya. Rust (1996) penyedia jasa harus
memperhatikan apa yang konsumen persepsikan atas jasa yang diberikan, tetapi
juga bagaimana mereka dapat merasakan kepuasan. Kedalaman dari perasaan ini
merupakan hasil dari seberapa jauh tingkat persepsi konsumen dapat sesuai
dengan apa yang mereka harapkan. Menurut Keller (2001 dan 2006) dan Aaker
and Keller (1990), persepsi kualitas dapat didefinisikan sebagai persepsi
konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan dari sebuah produk
atau jasa relatif terhadap alternatif-alternatif yang relevan dan sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai. Jadi kualitas yang dipersepsikan tidak dapat ditetapkan
secara obyektif karena kualitas yang dipersepsikan ini merupakan persepsi-
persepsi dan juga karena melibatkan apa yang penting bagi pelanggan (Aaker and
Keller, 1990). Oleh sebab itu, persepsi kualitas merupakan suatu penilaian global
yang berdasarkan pada persepsi konsumen akan apa yang mereka pikir dapat
membentuk suatu kualitas produk dan seberapa baik tingkat merek dalam
dimensi tersebut (Aaker and Keller, 1990).
19
20

Menurut Zeithaml (1996), persepsi kualitas (perceived quality) dapat


didefinisikan sebagai pendapat seseorang mengenai seluruh keunggulan produk
atau jasa. Persepsi kualitas adalah (1) berbeda dari kualitas sesungguhnya, (2)
memiliki tingkat keabstrakan yang lebih tinggi dibandingkan atribut spesifik dari
produk atau jasa, (3) sebuah penilaian yang global dimana pada beberapa kasus
menyerupai sikap, dan (4) penilaian yang berasal dari diri konsumen berdasarkan
apa yang ada dalam ingatannya. Dalam studinya mengenai pelanggan di Swedia,
Fornell (1992) membuktikan bahwa terdapat hubungan antara kualitas yang
dirasakan (kinerja) dan kepuasan. Cronin dan Taylor (1992) menemukan adanya
hubungan kausal yang kuat dan positif antara kualitas layanan keseluruhan dan
kepuasan. Parasuraman, et al., (1988) mendefinisikan kualitas layanan sebagai
suatu bentuk sikap, berkaitan tetapi tidak sama dengan kepuasan, sebagai hasil
dari pembandingan antara harapan dengan kinerja.
Salah satu aspek yang perlu mendapatkan perhatian penting adalah
kualitas pelayanan yang diberikan oleh perusahaan. Kualitas pelayanan berpusat
pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan serta ketepatan
penyempaiannya untuk mengimbangi harapan konsumen. Ada dua factor yang
mempengaruhi service quality yaitu expected service dan perceived service
(Parasuraman, et al., 1985) Kualitas harus dimulai dari kebutuhan konsumen dan
berakhir pada persepsi konsumen. Hal ini berarti citra kualitas yang baik
bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi penyedia jasa melainkan
berdasarkan sudut pandang atau persepsi konsumen. Rust, et al., 1996 (dalam
Tjiptono, 2014: 268) membagi harapan pelanggan menjadi 3 tipe, pertama, will
expectation, yaitu tingkat kinerja yang diprediksi atau diperkirakan konsumen
akan diterimanya, berdasarkan semua informasi yang diketahuinya. Tipe ini
merupakan tingkat harapan yang paling sering dimaksudkan oleh konsumen
sewaktu menilai service quality tertentu. Kedua, should expectation yaitu tingkat
kinerja yang dianggap sudah sepantasnya diterima konsumen. Biasanya tuntutan
dari apa yang seharusnya diterima jauh lebih besar daripada apa yang
diperkirakan bahkan diterima. Ketiga, ideal expectation yaitu tingkat kinerja
optimum atau terbaik yang diharapkan dapat diterima konsumen.
21

Menurut Asubonteng (1996) kualitas pelayanan dapat didefinisikan


sebagai perbedaan antara perkiraan konsumen atas performa pelayanan yang
utama dari pelayanan yang ditemukan dengan persepsi akan pelayanan yang
diterima. Parasuraman (1988), kualitas pelayanan ditentukan oleh perbedaan
antara perkiraan konsumen dari service yang disediakan dengan evaluasinya atas
pelayanan yang diterima. Sehingga dapat disimpulkan definisi kualitas pelayanan
adalah hasil perbandingan konsumen antara perkiraannya tentang pelayanan dan
persepsinya atas pelayanan yang di dapat.
Parasuraman, et al. (1985) mengidentifikasi faktor penentu dari kualitas
pelayanan yaitu access, communication, competence, courtesy, credibility,
reliability, responsiveness, security, tangibles, understanding/knowledge of
customer. Kemudian 10 dimensi ini dikembangkan dan disederhanakan menjadi
5 dimensi yang disebut SERVQUAL yaitu: tangibles, reliability, responsiveness,
assurance dan empathy untuk mengukur kualitas pelayanan (Parasuraman, et al.,
1988). (1) Tangible, yaitu fasilitas fisik yang ditawarkan kepada konsumen dan
materi komunikasi; (2) Empathy, yaitu kesediaan untuk peduli, memberikan
perhatian pribadi kepada konsumen, kemudahan untuk melakukan hubungan dan
pemantauan terhadap keinginan konsumen; (3) responsiveness yaitu kemauan
untuk membantu konsumen dan memberikan jasa dengan cepat; (4) reliability
yaitu konsistensi dari penampilan pelayanan dan keandalan pelayanan; dan (5)
assurance yaitu kemampuan, keterampilan, keramahan, kepercayaan dan
keamanan dari para petugas.
Kualitas layanan mendorong pelanggan untuk memberikan komitmen
kepada produk dan layanan suatu perusahaan sehingga berdampak kepada
peningkatan market share suatu produk (Aryani, et al., 2010). Kualitas layanan
sangat krusial dalam mempertahankan pelanggan dalam waktu yang lama.
Perusahaan yang memiliki layanan yang superior akan dapat memaksimalkan
performa keuangan perusahaan (Zeithaml, et al., 2006). Penelitian Goodman
(2005) menyebutkan bahwa dengan memelihara pelayanan yang baik bagi
konsumen, sehingga memberikan pengalaman yang baik bagi konsumen, dapat
meningkatkan rekomendasi positif bagi calon konsumen lain (Word of mouth)
22

sebesar 25-35%. Pelayanan baik yang konsisten meningkatkan kesediaan


merekomendasikan sebesar 32%, memberikan informasi secara proaktif
meningkatkan kesediaan merekomendasi sebesar 32%, hubungan personal di luar
jam kerja sebesar 26%, interaksi yang ramah 25%, dan kejutan yang
menyenangkan 22%, dimana hal tersebut mampu meningkatkan experiential
marketing.
Service quality jauh lebih sukar didefinisikan, dijabarkan, dan diukur bila
dibandingkan dengan kualitas barang. Bila ukuran kualitas dan pengendalian
kualitas telah lama dikembangkan dan diterapkan pada barang-barang berwujud
(tangible goods), maka untuk jasa berbagai upaya justru sedang dikembangkan
untuk merumuskan ukuran-ukuran semacam itu (Tjiptono, 2014: 266). Secara
garis besar dari sejumlah studi dapat disimpulkan bahwa kualitas layanan
berkaitan dan menentukan loyalitas pelanggan secara signifikan (Parasuraman, et
al,. 1985; 1988; Tumpal, 2012; Aryani dan Rosinta, 2010; Rozikin, 2013; Taufiq
dan Suryadi, 2009; Caruana, 2002; Taylor and Baker, 1994; Sivadas and Baker-
Prewitt, 2000; Kandampuly and Dudy, 1999; Zeithaml, et al., 1996). Allred and
Adams (2000) mendapatkan hasil bahwa sebanyak 72 responden nya atau sekitar
27% menyatakan berpindah kepada provider lain apabila mereka mendapatkan
pelayanan yang buruk dan menyimpulkan bahwa secara signifikan Service quality
berpengaruh terhadap Loyalitas Konsumen, lebih lanjut lagi, Allred and Adams
(2000) mengatakan bahwa tidak mudah untuk memberikan pelayanan prima
namun hasilnya sangat luar biasa, pelayanan prima sangat penting untuk
melakukan diferensiasi bagi perusahaan terhadap kompetitornya, untuk
membangun hubungan jangka panjang dengan para karyawan dan para
konsumennya, untuk menciptkan nilai didalam harga yang bersaing, sebagai
inspirasi bagi para karyawan untuk melakukan sesuatu yang lebih baik, dan untuk
meningkatkan profit secara substansi. Penelitian yang dilakukan oleh Caruana
(2002) menghasilkan bahwa Service Quality berpengaruh signifikan terhadap
Kepuasan dan Loyalitas konsumen.
23

2.1.2 Customer value


Kepuasan pelanggan, service quality/layanan, dan customer value
berkaitan erat. Meskipun para manajer kerapkali memperlakukan ketiga konsep
ini sebagai hal yang sama, berbagai riset terakhir menunjukkan bahwa ketiganya
berkaitan erat namun berbeda (Tjiptono, 2014:308). Kepuasan pelanggan
merupakan reaksi kognifit dan afektif terhadap insiden jasa/layanan atau
kadangkala terhadap relasi jasa jangka panjang (Rust and Zahorik, 1993).
Kepuasan (atau ketidakpuasan) dihasilkan dari pengalaman dalam interaksi
service quality dan membandingkan interaksi tesebut dengan apa yang
diharapkan (Oliver, 1980).
Istilah nilai (value) digunakan dalam berbagai konteks berbeda, salah
satunya dari Slywotzky (1996) dalam Woodruff (1999) menegaskan bahwa
menciptakan dan memberikan nilai pelanggan (customer value) superior kepada
high-value customers bisa meningkatkan nilai sebuah organisasi (value of an
organization). Dalam hal ini, high-value customers dan value of an organization
mencerminkan nilai dari sudut pandang organisasi. High-value customers
mengukur nilai moneter pelanggan individual bagi organisasi, sedangkan value of
an organization mengukur nilai moneter sebuah organisasi bagi para pemiliknya.
Sebaliknya, customer value didasarkan pada perspektif pelanggan organisasi
bersangkutan, dengan mempertimbangkan apa yang mereka inginkan dan yakini
bahwa mereka dapatkan dari pembelian dan penggunaan produk tertentu.
Dalam literatur pemasaran beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh beberapa peneliti diperoleh definisi tentang customer value. Customer value
merupakan keseluruhan penilaian konsumen tentang kegunaan atau utilitas suatu
produk yang berdasar pada persepsi tentang apa yang diterima dan apa yang
diberikan (Zeithaml, 1988). Anderson, et al., (1993) menyatakan bahwa nilai
pelanggan merupakan perceived worth dalam unit moneter atas serangkaian
manfaat ekonomik, teknis, layanan, dan sosial sebagai pertukaran atas harga yang
dibayarkan untuk suatu produk, dengan mempertimbangkan penawaran dan
harga dari pemasok yang tersedia. Monroe (1990) mengemukakan bahwa nilai
pelanggan adalah tradeoff antara persepsi pelanggan terhadap kualitas atau
24

manfaat produk dan pengorbanan yang dilakukan lewat harga yang dibayarkan.
Woodruff (1997) mendefinisikan nilai pelanggan sebagai preferensi perseptual
dan evaluasi pelanggan terhadap atribut produk, kinerja atribut, dan konsekuensi
yang didapatkan dari pemakaian produk yang memfasilitasi (atau menghambat)
pencapaian tujuan dan sasaran pelanggan dalam situasi pemakaian.
Konsep customer value memberikan gambaran tentang konsumen suatu
perusahaan, mempertimbangkan apa yang mereka inginkan, dan percaya bahwa
mereka memperoleh manfaat dari suatu produk (Woodruff, 1997). Kendati
demikian menurut Holbrook (1994) Perusahaan perlu memahami dan memenuhi
kebutuhan serta keinginan nasabah, manajemen perlu memberikan value yang
lebih kepada para nasabah sebagai bentuk keunggulan dan keunikan yang
dimiliki. Jika nasabah merasa memperoleh nilai (value) yang lebih dibandingkan
dengan pesaing, maka diharapkan mereka tidak akan beralih ke perusahaan lain
tetapi akan tetap menjadi nasabah yang loyal. Disamping itu nasabah akan
cenderung melakukan word of mouth communication kepada relasi-relasi
terdekatnya, agar mereka melakukan hal yang sama dengan dirinya, yaitu
menjadi nasabah pada perusahaan yang sama. Nasabah yang merasa
diperhatikan, mendapatkan manfaat sesuai yang dibutuhkan, serta yakin bahwa
perusahaan tersebut dapat dipercaya akan menjadi semakin loyal (Soegoto,
2011).
Customer value merupakan kualitas yang dirasakan konsumen yang
disesuaikan dengan harga relatif dari produk yang dihasilkan oleh suatu
perusahaan (Tjiptono, 2014:308). Dari konsep dan beberapa definisi tentang
customer value diatas dapatlah kita kembangkan secara komprehensif, bahwa
secara garis besar “customer value” merupakan perbandingan antara manfaat
(benefits) yang dirasakan oleh konsumen dengan apa yang konsumen keluarkan
(costs) untuk mendapatkan atau menkonsumsi produk tersebut. Sehingga
customer value merupakan suatu preferensi yang dirasakan oleh konsumen dan
evaluasi terhadap atribut-atribut produk serta berbagai konsekuensi yang timbul
dari penggunaan suatu produk untuk mencapai tujuan dan maksud konsumen
(Wooddruff, 1997).
25

Di dalam bisnis mencintai pelanggan berarti meraih loyalitas mereka


dengan cara memberikan nilai yang tinggi dan menyentuh perasahaan dan jiwa
mereka. Donald Calne mengatakan bahwa perbedaan mendasar antara perasaan
dan akal adalah perasaan akan menghasilkan tindakan, sedangkan akal akan
menghasilkan sebuah kesimpulan, keputusan konsumen untuk membeli atau
menjadi pelanggan setia kepada suatu merek sangat dipengaruhi oleh perasaan
(Kotler, et al., 2010:180). Konsep customer value mengindikasikan suatu
hubungan yang kuat terhadap experiential marketing dari konsumen. Dimana
konsep tersebut menggambarkan pertimbangan yang evaluatif konsumen tentang
produk yang mereka konsumsi. Nilai yang diinginkan konsumen terbentuk ketika
mereka membentuk persepsi bagaimana baik buruknya suatu produk dimainkan
dalam situasi penggunaan (Widdis, 2001). Mereka mengevaluasi pengalaman
penggunaan pada atribut yang sama, seperti telah dijelaskan diatas bahwa atribut
yang dimaksud disini adalah merk dan keunggulan layanan atas produk. Nilai
yang diterima bisa mengarahkan secara langsung pada experiential marketing.
Experiential marketing sebenarnya lebih dari sekedar memberi peluang pada
konsumen untuk memperoleh pengalaman emosional dan rasional dalam
memberikan penilaian atas manfaat produk atau jasa yang dirasakannya (Widdis,
2001).
Dalam penelitian Kandampully, et al., (2009) menemukan bahwa
Customer value bersama dengan service quality dan citra perusahaan secara
signifikan berhubungan dan mempengaruhi loyalitas konsumen melalui kepuasan
konsumen, lebih lanjut lagi Kandampully menyimpulkan bahwa saat ini didalam
kompetisi global yang intens, memberikan kepuasan konsumen saja mungkin
tidak lagi efektif, manajemen seharusnya tidak hanya terfokus pada peningkatan
kepuasan konsumen tetapi juga pada meningkatkan harapan konsumen secara
luas termasuk pada service quality dan customer value. Kompetisi yang besar
akan selalu terhubung dengan level kualitas layanan dan customer value yang
lebih tinggi, harapan konsumen yang lebih besar lagi dan kepuasan konsumen
membentuk citra perusahan serta meningkatkan retensi konsumen. Oleh karena
itu, penyedia jasa seharusnya terus melakukan perbaikan baik dari service quality
26

maupun customer value. Manajer harus menentukan standar kualitas yang dapat
menjadi jaminan pelayanan yang diberikan. Proses dari keduanya yang
ditawarkan kepada konsumen seharusnya terus menerus di monitor bahwa
konsumen memiliki akses pada pelayanan jasa secara langsung. Juga, dalam
rangka untuk membedakan penawaran dari pesaing, manajemen harus
memastikan bahwa manfaat yang diperoleh dari konsumsi layanan terus
dipromosikan kepada pelanggan.
Riset yang dilakukan dua pakar pemasaran dari University of Western
Australia, Sweeny and Soutar (2001) dalam Fandy Tjiptono, (2014:310)
mengembangkan 19 item ukuran customer perceived value yang dikenal dengan
nama PERVAL (perceived value) yang dimaksudkan untuk menilai persepsi
pelanggan terhadap nilai (value) produk konsumen tahan lama pada level merk.
Skala ini dikembangkan berdasarkan konteks situasi pembelian ritel untuk
menentukan nilai-nilai konsumsi yang mengarah pada sikap dan perilaku
pembelian. Chua (2002) dalam Fandy Tjiptono (2014:311) mengadaptasi model
PERVAL ke dalam konteks jasa, dengan dimensi; 1) Nilai Fungsional
(Kinerja/Kualitas) yaitu kualitas hasil fisik dari menggunakan suatu produk atau
jasa. Nilai ini mencerminkan kemampuan produk/jasa melaksanakan fungsi
utamanya secara konsisten; 2) Nilai Sosial, manfaat produk/jasa yang ditujukan
untuk memuaskan keinginan seseorang dalam mendapatkan pengakuan atau
kebanggaan sosial; 3) Nilai Emosional, adalah kesenangan atau kepuasan
emosional yang didapatkan user dari suatu produk/jasa; 4) Nilai Interaksi Sosial,
manfaat produk/jasa yang membuat user/pengguna lebih memiliki kesempatan
untuk berinteraksi dan diterima di lingkungan sosial; 5) Nilai Fungsional (Harga),
adalah harga yang fair dan biaya-biaya finansial lainnya yang terkait dengan
upaya mendapatkan produk/jasa

2.1.3 Citra Perusahaan


Citra perusahaan didefinisikan sebagai sebuah persepsi mengenai kualitas
yang digabungkan dengan nama. Fungsi utama dari citra perusahaan adalah
menjadi fasilitas pilihan ketika pedoman instrinsik atau atribut-atribut tampak
27

sulit atau tidak mungkin untuk dilakukan. Pedoman instrinsik meliputi komposisi
fisik atau teknikal dari produk. Nama merk telah didefinisikan sebagai sebuah
pedoman ekstrinsik, sehingga menjadi sebuah atribut yang digabungkan dengan
jasa tetapi tidak menjadi bagian fisik jasa itu sendiri. Citra perusahaan dapat
menjadi informasi ekstrinsik petunjuk bagi pembeli baik yang ada dan potensi
yang mungkin atau tidak dapat mempengaruhi loyalitas pelanggan (misalnya
kesediaan untuk memberikan kata positif dari mulut ke mulut) (Aaker and Keller,
1990). Citra Perusahaan diasumsikan berdampak pada pilihan pelanggan
perusahaan ketika atribut pelayanan sulit untuk dievaluasi, maka citra perusahaan
didirikan dan dikembangkan di benak konsumen melalui komunikasi dan
pengalaman, citra perusahaan diyakini dapat menciptakan efek halo pada
penilaian kepuasan pelanggan (Andreassen et al., 1997). Keberhasilan suatu
brand sering tergantung pada asumsi-asumsi tertentu tentang perilaku konsumen,
seperti (1) konsumen memegang keyakinan positif dan sikap yang
menguntungkan terhadap merek asli dalam memori mereka, (2) asosiasi positif
ini memfasilitasi pembentukan keyakinan positif dan sikap yang menguntungkan
terhadap brand, dan (3) asosiasi negatif tidak ditransfer ke atau diciptakan oleh
brand (Aaker dan Keller, 1990).
Citra perusahaan merupakan persepsi masyarakat terhadap perusahaan
yang dibentuk melalui proses komunikasi informasi baik yang disengaja maupun
tidak disengaja, yang dilakukan maupun tidak dilakukan oleh perusahaan.
(Prihastiti, 2012). Persepsi tersebut mungkin tidak selalu menggambarkan profil
perusahaan yang sebenarnya, apabila persepsi yang timbul positif maka dengan
sendirinya akan mendukung aktivitas perusahaan, demikian juga sebaliknya.
Dalam pemasaran, kesadaran dan image sebuah merek dan reputasi jasa
mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli. Pada konteks ini,
reputasi atau merek menjadi sebuah masalah dari sikap dan kepercayaan
terhadap kesadaran pada merek dan image, keputusan konsumen dan kesetiaan
konsumen (Fornel, 1992). Citra perusahaan yang melekat pada benak konsumen
akan menambah pengalaman konsumen dalam memanfaatkan produk atau jasa
yang meningkatkan experiential marketing dan mengakibatkan loyalitas
28

konsumen terhadap produk perusahaan (Hazlet, 2003).


Dalam diferensiasi citra, penelitian yang dilakukan Fajrianti dan Farrah
(2005) menyatakan bahwa diferensiasi citra diperoleh dari suatu cara pemasaran
yang berbeda. Citra merupakan arti penting dalam bisnis. Citra yang penting bagi
seorang pelanggan adalah citra yang dirasakan memiliki perbedaan dari citra
pesaing, dalam hal ini, citra yang dimaksud berupa image dari produk dan
perusahaan, pelanggan merasakan adanya pengalaman yang berbeda terhadap
produk yang digunakan. Pembentukan citra yang unik melalui kegiatan
periklanan dan pensponsoran terbukti lebih efektif dalam mencapai penciptaan
image perusahaan. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, keberadaan citra
perusahaan bersumber dari pengalaman dan atau upaya komunikasi sehingga
penilaian maupun pengembangannya terjadi pada salah satu atau kedua hal
tersebut. Citra perusahaan yang bersumber dari pengalaman memberikan
gambaran telah terjadi keterlibatan antara konsumen dengan perusahaan.
Keterlibatan tersebut, belum terjadi dalam citra perusahaan yang bersumber dari
upaya komunikasi perusahaan (Suwandi, 2007).
Aaker dan Keller (1990) dalam penelitiannya menguji pengaruh citra
perusahaan dan ekuitas merek terhadap kepuasan nasabah dan pengaruh
kepuasan nasabah terhadap loyalitas nasabah, dimana hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa citra yang baik dari perusahaan mampu meningkatkan
kepuasan dari konsumen akan produk perusahaan yang kemudian berdampak
pada loyalitasnya.

2.1.4 Switching Cost


Perilaku beralih merek terkait erat dengan biaya beralih (switching cost).
Porter, 1980 (dalam Burnham et al., 2003) mengemukakan bahwa switching cost
merupakan biaya satu waktu (one-time cost) dan bukan ongoing costs atau biaya
yang sewaktu-waktu dikeluarkan oleh konsumen pada waktu tertentu yang
berkaitan saat pelanggan melakukan proses beralih dari satu penyedia ke
penyedia lain. Berdasarkan perspektif ini, Burnham, et al., (2003) memberikan
definisi bahwa biaya beralih sebagai one-time costs yang dipersepsikan atau
29

diasosiasikan pelanggan dengan proses beralih dari penyedia jasa/produk yang


satu ke penyedia jasa/produk yang lain. Selanjutnya, switching cost tidak dibatasi
terhadap biaya obyektif maupun ‘ekonomis, namun bisa meliputi berbagai
macam biaya, seperti emosional, usah kognitif, risiko finansial, risiko sosial, dan
risiko psikologis (Fornell, 1992). Dick and Basu (1994) mendefinisikan bahwa
Switching cost adalah jumlah dari biaya ekonomi, biaya psikis, dan biaya fisik.
Pemahaman mengenai switching costs sangat penting dikarenakan dampak
signifikannya pada perilaku pembelian ulang, strategi pemasaran yang
diterapkan, dan struktur industri dan persaingan (Tjiptono, 2014:383). Selain itu,
switching costs juga berkonstribusi pada laba yang lebih besar, respon inelastis
terhadap harga, hambatan masuk bagi para pendatang baru maupun pesaing lain,
dan terciptanya keunggulan strategik berkesinambungan (Kerin, et al.,1992,
Porter, 1980 dalam Tjiptono, 2014:383)
Patterson and Smith (2003) menjelaskan bahwa dalam konteks pemasaran
jasa, terdapat beberapa jenis switching cost yang mempengaruhi keputusan
konsumen untuk beralih pemasok jasa: 1) continuity costs, dapat berupa
kehilangan perlakuan khusus seperti manfaat khusus, perlakuan spesial, perhatian
istimewa, dan sejenisnya. Sebagai pelanggan rutin biasanya seorang konsumen
mendapatkan sejumlah keistimewaan, seperti diskon harga, waktu menunggu
atau mengantri lebih singkat, periode membayar lebih panjang. Continuity costs
juga dapat berupa persepsi terhadap risiko atau ketidakpastian berkaitan dengan
tingkat kinerja penyedia jasa yang baru. Konsumen belum tentu yakin bahwa
penyedia jasa alternatif bisa lebih baik dibandingkan penyedia saat ini. 2)
Learning costs (setup costs) dapat berupa biaya pencarian (waktu, tenaga
termasuk biaya yang dikeluarkan untuk mencari dan mendapatkan penyedia jasa
alternatif yang handal), daya tarik alternatif yaitu estimasi pelanggan terhadap
kemungkinan kepuasan yang didapatkan dari relasi alternatif (maksudnya,
apabila pelanggan mempersepsikan bahwa penyedia jasa alternatif tidak lebih
atraktif dibandingkan penyedia jasa saat ini, maka kemungkinan besar pelanggan
tersebut tidak akan berganti pemasok, bahkan sekalipun ia tidak puas terhadap
penyedia jasa saat ini, Keharusan untuk menjelaskan ulang preferensi dan kondisi
30

pelanggan kepada penyedia jasa baru (pelanggan harus mengedukasi penyedia


jasa baru agar bisa memahami dengan jelas keinginannya). 3) sunk costs yaitu
persepsi konsumen terhadap waktu dan usaha emosional yang telah susah payah
dicurahkan untuk membangun dan mempertahankan relasi yang akrab dengan
penyedia jasa (termasuk didalamnya adalah psychological discomfort
dikarenakan memutuskan hubungan interpersonal yang sudah bagus dengan
karyawan-karyawan atau penyedia jasa tertentu.
Burnham, et al. (2003) menyebutkan bahwa switching cost terbukti
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perilaku pembelian kembali.
Mereka mendefinisikan switching cost sebagai ”one time cost that consumer pay
to switch from one provider to another” atau biaya yang dikeluarkan sekali ketika
berpindah dari satu provider ke provider yang lain. Burnham, et al. (2003) dalam
penelitiannya merumuskan delapan segi dari switching cost dari penelitian-
penelitian sebelumnya dan kemudian mengelompokan menjadi tiga komponen
utama yang menjelaskan masing-masing tipe dari switching cost, yakni:
a. Procedural switching cost, yaitu tipe switching cost yang melibatkan
pengeluaran waktu dan usaha, terdiri dari:
1) Economic risk cost, adalah biaya untuk menerima ketidakpastian dari
sesuatu yang berpotensi menjadi hasil yang negatif ketika mengadopsi
penyedia jasa baru di mana konsumen yang bersangkutan tidak memiliki
informasi yang cukup mengenai provider baru tersebut (Klemperer, 1995;
Burnham, et al., 2003).
2) Evaluation cost, adalah waktu dan usaha yang dikeluarkan dalam
mengumpulkan informasi yang dibutuhkan untuk mengevaluasi alternatif
provider potensial sehingga konsumen tersebut dapat membuat keputusan
untuk beralih provider. (Samuelson and Zeckhauser 1988, Burnham, et al.,
2003).
3) Learning cost adalah waktu dan usaha yang dikeluarkan untuk
mendapatkan keahlian atau keterampilan baru dalam rangka agar dapat
menggunakan produk atau jasa baru secara efektif (Alba and Hutcinson
1987; Eliashberg and Robertson 1988; Wernerfelt 1985).
31

4) Setup cost adalah waktu dan usaha yang dikeluarkan yang disebabkan
oleh proses memulai hubungan dengan penyedia jasa baru atau mengatur
produk baru pada penggunaan awal (Burnham, et al., 2003; Klemperer,
1995). Setup cost untuk jasa didominasi oleh pertukaran informasi yang
dibutuhkan oleh penyedia jasa baru untuk menurunkan risiko penjualannya
dan untuk memahami kebutuhan spesifik konsumen..
b. Financial switching cost, yaitu tipe switching cost yang melibatkan kehilangan
sumber daya finansial yang dapat dihitung, terdiri dari:
1) Benefit loss cost adalah biaya kehilangan benefit dari provider yang
digunakan konsumen sekarang, misalnya kehilangan bonus-bonus dan
diskon-diskon yang tidak akan diberikan provider kepada pelanggan-
pelanggan baru (Guiltinan, 1989).
2) Monetary loss cost adalah pengeluaran finansial satu-kali yang terjadi
untuk berpindah provider di luar dari pengeluaran yang dibutuhkan untuk
membeli produk/jasa tersebut (Klemperer, 1995). Contohnya seperti
deposit atau initiation fees bagi konsumen baru (Guiltinan, 1989). Pada
tesis ini, sub dimensi monetary loss cost tidak diteliti karena tidak ada
deposit atau initiation fee yang harus dibayar oleh konsumen baru.
c. Relational switching cost yaitu tipe switching cost yang melibatkan
ketidaknyamanan psikologis dan emosi yang menyebabkan kehilangan
identitas dan memutuskan ikatan, dan terdiri dari:
1) Personal relationship loss cost adalah kehilangan yang disebabkan karena
memutuskan hubungan yang telah terbentuk dengan personel yang
berinteraksi dengan konsumen (Guiltinan 1989; Klemperer 1995).
2) Brand relationship loss cost adalah kecenderungan kehilangan yang
disebabkan karena memutuskan ikatan yang telah terbentuk dengan merek
atau perusahaan yang mana sebelumnya konsumen telah lama
berhubungan dengan merek dan perusahaan tersebut (Aaker, 1992).

2.1.5 Experiential Marketing


Schmitt (1999 dan 2003) telah menciptakan istilah baru, bukan
32

merupakan pemasaran tradisional yang disebut Experiential Marketing dan


memberikan kerangka strategis untuk Experiential Marketing. Pemasaran
tradisional tidak melihat konsumen sebagai pembuat keputusan rasional yang
peduli tentang fitur fungsional dan manfaat. Sebaliknya, Experiential Marketers
melihat konsumen sebagai manusia yang rasional dan emosional yang peduli
dengan terciptanya pengalaman yang menyenangkan (pleasurable experiences).
Dalam berbagai industri, banyak perusahaan sudah beralih dari sistem pemasaran
tradisional “features-and-benefits” dalam menciptakan pengalaman bagi para
pelanggan mereka. Perubahan kearah experiential marketing telah terjadi sebagai
akibat dari perkembangan simultan dalam lingkungan bisnis yang lebih luas.
Experiential Marketer mampu merubah konsumen mereka dari pembeli (yang
bisa tidak setia pada waktu dan dengan pilihan merek mereka yang kacau)
menjadi pengisah merek (word of mouth) yang menceritakan merek, kepribadian
dan pesan inti atau fitur kepada teman-teman mereka, keluarga, rekan kerja dan
masyarakat (Smilansky, 2009: 5).
Experiential marketing merupakan pendekatan pemasaran yang
melibatkan emosi dan perasaan konsumen dengan menciptakan pengalaman-
pengalaman positif yang tidak terlupakan sehingga konsumen mengkonsumsi dan
fanatik terhadap produk tertentu (Schmitt, 1999). Dapat dikatakan experiential
marketing merujuk pada pengalaman nyata pelanggan terhadap
brand/product/service untuk meningkatkan penjualan/sales dan brand
image/awareness. Experiential marketing lebih dari sekedar memberikan
informasi dan peluang pada pelanggan untuk memperoleh pengalaman atas
keuntungan yang didapat dari produk atau jasa itu sendiri tetapi juga
membangkitkan emosi dan perasaan yang berdampak terhadap pemasaran,
khususnya penjualan (Fransisca, 2007). Experiential marketing merupakan
sebuah pendekatan baru untuk memberikan informasi mengenai merek dan
produk. Hal ini terkait erat dengan pengalaman pelanggan dan sangat berbeda
dengan sistem pemasaran tradisional yang berfokus pada fungsi dan keuntungan
sebuah produk. Experiential marketing merupakan perpaduan praktek antara
pemasaran non tradisional yang terintegrasi untuk meningkatkan pengalaman
33

pribadi dan emosional yang berkaitan dengan merek. Inti experiential marketing
sangat penting dalam merefleksikan adanya bias dari otak kanan karena
menyangkut aspirasi pelanggan untuk memperoleh pengalaman yang berkaitan
dengan perasaan tertentu, kenyamanan dan kesenangan di satu pihak dan
penolakan atas ketidaknyaman dan ketidaksenangan di lain pihak (Wolfes, 2005).
Dalam studinya (berdasarkan dari lima dimensi experiential marketing
oleh Schmitt yaitu sense, feel, think, act, relate) Yang and He (2011) membagi
experiential marketing menjadi tiga dimensi pengalaman pelanggan yaitu,
Sensory Experience, Emotional Experience, dan Social Experience. Sensory
Experience mengacu pada estetika dan persepsi sensorik tentang lingkungan
belanja, suasana, produk dan layanan. Emotional Experience meliputi suasana
hati dan emosi yang dihasilkan selama perjalanan belanja. Social Experience
menekankan hubungan dengan orang lain dan masyarakat. Pada penelitian ini
mengungkapkan bahwa, selain mengejar kebahagiaan dan relaksasi, konsumen
melihat belanja dengan keluarga dan teman-teman sebagai bagian penting untuk
membangun hubungan sosial. Keterlibatan pelanggan pada tahap ini mencakup
lima hal yang di sebut sebagai Strategic Experiential Modules (SEMs)
dikembangkan oleh Schmitt (1999), yaitu merupakan modul yang dapat
digunakan untuk menciptakan berbagai jenis pengalaman bagi konsumen sense
(panca indera), feel (perasaan), think (pikiran), act (kebiasaan), relate (pertalian).

a. Sense (Sensory Experience)


Pada dasarnya sense marketing yang diciptakan oleh produsen dapat
berpengaruh positif maupun negatif terhadap kepuasaan. Mungkin saja suatu
produk dan jasa yang ditawarkan oleh produsen tidak sesuai dengan selera
konsumen atau mungkin juga konsumen menjadi sangat puas, dan akhirnya harga
yang ditawarkan oleh produsen tidak menjadi masalah bagi konsumen. Sense
marketing merupakan salah satu cara untuk menyentuh emosi konsumen melalui
pengalaman yang dapat diperoleh konsumen lewat panca indra (mata, telinga,
lidah, kulit, dan hidung) (Schmitt, 1999) yang mereka miliki melalui produk dan
service (Kertajaya, 2005). Sense mungkin digunakan perusahaan untuk
34

memberikan diferensiasi produk yang pada intinya digunakan untuk


meningkatkan nilai pada produknya (Schmitt, 1999) Dengan kata lain,
pengalaman logika memungkinkan konsumen untuk menggabungkan emosional
dan unsur rasional dalam otak untuk membantu dirinya sendiri dalam membentuk
pengalaman indrawi terhadap sebuah merek. (Alkilani, et al., 2013). Sense
marketing memberikan arti sebenarnya dari nilai barang atau jasa dengan bantuan
pengalaman sensorik yaitu visual, akustik, sentuhan, rasa dan bau. Pendorong
utama di balik sense marketing adalah daya tahan kognitif dan ini membantu
untuk menambah nilai barang dan jasa estetis (Sharma and Sharma, 2011).
Dalam sense marketing terdapat tiga kunci strategi yang dapat digunakan untuk
menstimulasi sense marketing, yaitu :

1) Sense as Differentiator
Pengalaman yang diperoleh dari sense (panca indra) mungkin melekat pada
konsumen karena tampil dengan cara yang unik dan spesial. Cara yang
dilakukan untuk menarik konsumen melebihi batas normal sehingga produk
dan jasa tersebut sudah memiliki cara khusus yang sudah ada di benak
konsumen.

2) Sense as Motivator
Sense yang dapat memotivasi konsumen dengan tidak terlalu memaksa
konsumen tetapi juga jangan terlalu acuh terhadap keinginan konsumen.

3) Sense as Value provider


Sense sebagai nilai tambah dapat memberikan nilai unik kepada konsumen,
sense dipengaruhi oleh panca indra melalui panca indra konsumen dapat
menentukan nilai suatu produk.

b. Feel
Feel Marketing ditunjukan terhadap perasaan dan emosi konsumen
dengan tujuan mempengaruhi pengalaman yang dimulai dari suasana hati yang
lembut sampai dengan emosi yang kuat terhadap kesenangan dan kebanggaan
(Schmitt, 1999). Yang and He (2011) menegaskan bahwa pengalaman emosional
35

termasuk suasana hati dan perasaan dengan tujuan menciptakan pengalaman


afektif yang beragam mulai dari suasana hati kecil yang positif yang melekat
pada merek sampai pada emosi yang kuat pada sukacita dan kepuasan. Perasaan
yang paling kuat terjadi pada saat konsumen mengkonsumsi produk, Perasaan
tersebut muncul dari hasil kontak dan interaksi, dan mereka mengembangkan nya
dari waktu ke waktu, disertai dengan perasaan positif dalam situasi konsumsi,
konsumen menerima emosi positif (Schmitt, 1999). Feel adalah suatu perhatian-
perhatian kecil yang ditunjukkan kepada konsumen dengan tujuan untuk
menyentuh emosi pelanggan secara luar biasa (Kartajaya, 2004: 164). Feel
Marketing merupakan bagian yang sangat penting dalam strategi experiential
marekting, feel dapat dilakukan dengan service dan layanan yang bagus serta
keramahan pelayanan.
Affective experience (Feel Marketing) adalah tingkat pengalaman yang
merupakan perasaan yang bervariasi dalam intensitas, mulai dari perasaan yang
positif atau pernyataan mood yang negatif sampai emosi yang kuat (Schmitt,
1999). Jika pemasar bermaksud untuk menggunakan affective experience sebagai
bagian dari strategi pemasaran, maka ada dua hal yang harus diperhatikan dan
dipahami, yaitu :
1) Suasana hati (inner feelings/moods), merupakan affective yang tidak spesifik.
Suasana hati dapat dibangkitkan dengan cara memberikan stimuli yang
spesifik (Schmitt, 1999). Suasana hati merupakan keadaan afektif yang positif
atau negatif. Suasana hati seringkali mempunyai dampak yang kuat terhadap
apa yang diingat konsumen dan merek apa yang mereka pilih.
2) Emosi (emotion), lebih kuat dibandingkan suasana hati dan merupakan
pernyataan afektif dari stimulus yang spesifik, misalnya marah, irihati, dan
cinta. Emosi-emosi tersebut selalu disebabkan oleh sesuatu atau seseorang
(orang, peristiwa, perusahaan, produk, atau komunikasi).
Sasaran dari kedual hal tersebut diatas adalah membangkitkan pengalaman afektif
sehingga ada rasa gembira dan bangga (Schmitt, 1999) ketika konsumen
memakai/menggunakan produk kita. Feel berhubungan dengan perasaan yang
paling dalam pada emosi pelanggan
36

c. Think
Think marketing merupakan tipe experience yang bertujuan untuk
menciptakan kognitif, pemecahan masalah yang mengajak konsumen untuk berfikir
kreatif (Schmitt, 1999). Think marketing adalah salah satu cara yang dilakukan oleh
perusahaan untuk membawa komoditi menjadi pengalaman (experience) dengan
melakukan customization secara terus-menerus (Kertajaya, 2004:165). Tujuan dari
think marketing adalah untuk mempengaruhi pelanggan agar terlibat dalam
pemikiran yang kreatif dan dapat menciptakan kesadaran melalui proses berfikir
yang berdampak pada evaluasi ulang terhadap perusahaan, produk dan jasanya.
Think ini mengikutsertakan pikiran yang terfokus maupun yang menyebar dari
customer melalui kejutan, intrik dan provokasi. Kampanye Think biasa digunakan
untuk produk-produk teknologi baru, sebuah contoh adalah kampanye Microsoft
“ kemana Anda Ingin Pergi Hari ini?" Tapi Think marketing tidak dibatasi hanya
untuk produk teknologi tinggi. Think marketing juga telah banyak digunakan
dalam desain produk ritel dan komunikasi di banyak industri lainnya (Schmitt,
1999).

d. Act
Act Marketing adalah salah satu cara untuk membentuk persepsi
pelanggan terhadap produk dan jasa yang bersangkutan (Schmitt, 1999). Act
marketing didesain untuk menciptakan pengalaman konsumen dalam
hubungannya dengan Physical body, lifestyle, dan interaksi dengan orang lain.
Act marketing ini memberikan pengaruh positif terhadap kepuasaan konsumen.
Ketika act marketing mampu mempengaruhi perilaku dan gaya hidup pelanggan
maka akan berdampak positif terhadap kepuasan konsumen karena pelanggan
merasa bahwa produk atau jasa tersebut sudah sesuai dengan gaya hidupnya.
Pendekatan rasional untuk perubahan perilaku (yaitu, theories of reasoned
actions) hanyalah salah satu dari banyak pilihan perubahan perilaku. Perubahan
gaya hidup dan perilaku cenderung lebih memotivasi, inspirasional dan
emosional secara alami dan sering termotivasi oleh panutan (seperti bintang film
atau atlet). Iklan Nike "Just do it" sudah menjadi sesuatu yang klasik dalam act
marketing.
37

e. Relate
Relate berkaitan dengan budaya seseorang dan kelompok referensinya
yang dapat menciptakan identitas sosial. Seorang pemasar harus mampu
menciptakan identitas sosial (generasi, kebangsaan, etnis) bagi pelanggannya
dengan produk atau jasa yang ditawarkan. Pemasar dapat menggunakan simbol
budaya dalam kampanye iklan dan desain Web yang mampu mengidentifikasikan
kelompok pelanggan tertentu. Harley-Davidson merupakan contoh kampanye
Relate yang mampu menarik beribu-ribu pengendara motor besar di Amerika
dalam rally di penjuru negara itu. Pelanggannya kebanyakan mempunyai tattoo
berupa logo Harley-Davidson di lengan atau bahkan di seluruh tubuhnya. Mereka
menunjukkan kelompok referensi tertentu dengan apa yang dimilikinya
Relate marketing adalah salah satu cara membentuk atau menciptakan
komunitas pelanggan dengan komunikasi. Relate marketing menggabungkan
aspek sense, feel, think, dan act dengan maksud untuk mengkaitkan individu
dengan apa yang diluar dirinya dan mengimplementasikan hubungan antara other
people dan other social group sehingga mereka bisa merasa bangga dan diterima
di komunitasnya (Schmitt, 1999).

2.1.6 Loyalitas konsumen


Orientasi perusahaan kelas dunia mengalami pergeseran dari pendekatan
konvensional ke arah pendekatan kontemporer dalam dekade terakhir ini.
Pendekatan konvensional menekankan kepuasan pelanggan, reduksi biaya,
pangsa pasar, dan riset pasar. Sedangkan pendekatan kontemporer berfokus pada
loyalitas pelanggan, retensi pelanggan, zero defections, lifelong customers, oleh
sebab itu kepuasan konsumen harus dibarengi dengan loyalitas konsumen.
Konsumen yang benar-benar loyal bukan saja sangat potensial menjadi word-of-
mouth advertiser, namun juga kemungkinan besar loyal pada portofolio produk
dan jasa perusahaan selama bertahun-tahun (Tjiptono, 2014:391).
Menurut Bloemer et al. (1997) loyalitas adalah perilaku yang ditunjukkan
dengan pembelian rutin yang didasarkan pada unit pengambilan keputusan.
Banyak manfaat yang diterima oleh perusahaan dengan tercapainya tingkat
38

kepuasan pelanggan yang tinggi, yakni selain dapat meningkatkan loyalitas


pelanggan tapi juga dapat mencegah terjadinya perputaran pelanggan,
mengurangi sensitivitas pelanggan terhadap harga, mengurangi biaya kegagalan
pemasaran, mengurangi biaya operasi yang diakibatkan oleh meningkatnya
jumlah pelanggan, meningkatkan efektivitas iklan, dan meningkatkan reputasi
bisnis (Fornell, 1992). Loyalitas merupakan konsep multi-dimensional yang
kompleks, salah satu penyebabnya adalah beragamnya definisi dan
operasionalisasi konsep ini. Fandy Tjiptono (2014:392) dalam bukunya
“Pemasaran Jasa: Prinsip, Penerapan dan Penelitian” mengutip beberapa definisi
loyalitas antara lain, Seth (1968) mendefinisikan loyalitas merek sebagai fungsi
dari frekuensi pembelian relatif suatu merek dalam situasi yang tergantung waktu
dan independen terhadap waktu. Reynolds, et al., (1974) merumuskan loyalitas
merek sebagai kecenderungan seseorang untuk selalu menunjukkan sikap yang
sama dalam situasi yang sama terhadap merek-merek yang sebelumnya dibeli.
Definisi Seth (1968) menekankan loyalitas merek dari sudut bandang behavioral,
sementara definisi Reynolds (1974) berfokus pada loyalitas sebagai sikap. Wilkie
(1994) berusaha mengintegrasikan perspektif sikap dan behavioral ke dalam
definisinya yaitu loyalitas merek adalah sikap yang favorable. Oliver (1999)
mengemukakan bahwa loyalitas merek adalah komitmen yang dipegang teguh
untuk membeli ulang atau berlangganan dengan produk/jasa yang disukai secara
konsisten di masa datang, sehingga menimbulkan pembelian merek atau
rangkaian merek yang sama secara berulang. Definisi serupa dirumuskan Sheth,
et al. (1999) dalam cakupan yang lebih luas, yaitu loyalitas pelanggan (customer
loyalty). Sheth and Mittal (2004), loyalitas pelanggan adalah komitmen
pelanggan terhadap suatu merek, toko, atau pemasok, berdasarkan sikap yang
sangat positif dan tercermin dalam pembelian ulang yang konsisten. Sementara
itu, loyalitas pelanggan dalam konteks pemasaran jasa didefinisikan oleh
Bendapudi and Berry (1997) sebagai respon yang terkait erat dengan ikrar atau
janji untuk memegang teguh komitmen yang mendasari kontinuitas relasi, dan
biasanya tercermin dalam pembelian berkelanjutan dari penyedia jasa yang sama
atas dasar dedikasi maupun kendala pragmatis. Selnes (1993) mengatakan bahwa
39

kepuasan konsumen mempengaruhi perilaku pembeli dimana konsumen yang


puas cenderung menjadi loyal. Pendapat lainnya juga mendukung bahwa
kepuasan konsumen memiliki hubungan dengan loyalitas, diantaranya adalah
Andreassen (1994).
Dalam penelitian yang dilakukan Crosby and Stephens (1987) pada
industri jasa menyebutkan bahwa ketidakpuasan merupakan salah satu penyebab
beralihnya konsumen. Loyalitas dapat terbentuk apabila konsumen merasa puas
dengan mereka atau tingkat layanan yang diterima dan berniat untuk terus
melanjutkan hubungan (Selnes, 1993). Sehingga loyalitas konsumen merupakan
fungsi dari kepuasan konsumen, rintangan pengalihan dan keluhan konsumen
(Fornel, 1992). Perusahaan yang berusaha mempertahankan konsumennya adalah
perusahaan yang menjaga hubungan baik dengan konsumen yang loyal dengan
memberikan nilai yang superior sehingga dapat meningkatkan loyalitas (Bloemer
1997). Selanjutnya, menyatakan bahwa untuk mempertahankan loyalitas
konsumen dan keuntungan maka perusahaan wajib untuk mengetahui produk
atau jasa apa yang diharapkan oleh konsumen. Dick and Basu (1999) menyatakan
bahwa loyalitas hubungan konsumen yang paling ideal untuk dicapai oleh
perusahaan adalah loyalitas tindakan, karena konsumen telah menjadi tahan
terhadap provokasi pesaing dan produk lainnya, sehingga usaha pesaing tidak
akan mudah mendapat perhatian dari konsumen. konsumen yang loyal akan
sangat mungkin tetap mempertahankan loyalitasnya pada merek/ produk tertentu
karena adanya pemahaman konsumen terhadap produk itu (citranya) dan
penguatan atau dukungan dari berbagai faktor yang berasal dari produk antara
lain: kualitas, biaya, manfaat, kepuasan, keterlibatan, kesukaan, konsistensi-
kognitif, komitmen dan tindakan.
Ada beberapa indikator dalam mengukur loyalitas konsumen yaitu rebuy,
recention dan referral, indikator-indikator dalam penelitian ini diacu dari
penelitian Selnes (1993); Bloemer (1997); Tjiptono (2014:391), Dick and Basu
(1999) dan Fornell (1992) yaitu pembelian ulang, rekomendasi dan komitmen.
Pembelian ulang adalah kemauan konsumen untuk melakukan transaksi ulang
yaitu dengan memanfaatkan layanan yang disediakan (Bloemer, 1997; Selnes,
40

1993). Rekomendasi adalah pengkomunikasian secara lisan mengenai


pengalaman transaksi konsumen yang baik kepada orang lain (Selnes, 1993).
Sedangkan komitmen adalah kemauan konsumen untuk tetap memanfaatkan
pelayanan yang disediakan oleh perusahaan dimasa datang dan enggan untuk
berhenti sebagai konsumen (Fornell, 1992; Dick & Basu, 1999).

2.2 Penelitian Terdahulu


Penelitian yang berhubungan dengan experiential marketing telah banyak
dilakukan oleh peneliti - peneliti sebelumnya. Penelitian - penelitian tersebut
banyak memberikan masukan serta kontribusi tambahan bagi pihak-pihak lain
yang berkepentingan untuk melakukan pendekatan-pendekatan apa saja sehingga
penelitian tersebut dapat dikembangkan dan diaplikasikan dengan baik. Penjelasan
tentang penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Peneliti Tahun Judul Variabel yg Diteliti Metodologi Penelitian Hasil Penelitian
1 Fred Selnes 1993 an examination of the effect Brand Reputation, Satisfaction, Uji regresi dan Korelasi Performance Quality secara signifikan berpengaruh positif
of product performance Loyalty & Performance Quality terhadap Satisfaction (All Models), Performance Quality
brand reputation, secara signifikan berpengaruh positif (secara parsial/model
satisfaction and loyalty tertentu) terhadap Brand Reputation, Satisfaction secara
signifikan berpengaruh positif (hanya untuk insurance
model), dan secara signifikan seluruh model berpengaru
terhadap loyalitas konsumen

2 Andreassen 1994 Satisfaction, Loyalty and Reputation, Satisfaction & Uji Korelasi Terdapat hubungan yang kuat antara satisfaction dan
Reputation as Indicators of Loyalty loyalty, peran reputation adalah semakin memperkuat
Customer Orientation in the loyalty, Reputation, Satisfaction & Loyalty adalah indikator
public sector peting pada orientasi pasar
3 P Asubonteng, K J 1996 SERVQUAL Revisited: a Expectations, performance, analysis factor bahwa dibutuhkan lebih dari adaptasi sederhana dari item
McCleary, J E Swan critical review of service SERVQUAL untuk mengatasi kualitas pelayanan secara
quality efektif dalam beberapa situasi. manajer disarankan untuk
mempertimbangkan isu-isu yang sangat penting bagi
kualitas pelayanan di lingkungan khusus mereka dan
memodifikasi skala sesuai kebutuhan

4 J Bloemer, K D Ruyter 1997 On the relationship between Satisfaction, Involvement, Pearson correlation, terdapat korelasi antara store satisfaction, involvement,
store image, store deliberation, store image, store Regression analysis deliberation, store image dan store lolyalty, variabel
satisfaction and store loyalty loyalty satisfaction terbukti dapat menjadi variabel mediasi antara
store satisfaction dan brand loyalty, pengaruh kepuasan
konsumen adalah positive, semakin tinggi kepuasan maka
loyalitas semakin tinggi,store image tidak terbukti
berpengaruh positif terhadap store loyalty,store image
memiliki pengaruh tidak langsung terhadap store loyalty
yaitu melalui store satisfaction

5 A Parasuraman 1997 Reflections on Gaining customer value deskriptif analysis, cross hubungan antara nilai pelanggan dan nilai dari perspektif
Competitive Advantage section analysis organisasi perlu diteliti secara sistematis baik lintas-bagian
Through Customer Value antar perusahaan maupun dalam perusahaan masing-
masing dari waktu ke waktu. sebagaimana penelitian
Woodruff yang akurat, perusahaan mungkin menghadapi
banyak hambatan organisasi untuk bersaing dalam hal
penyampaian nilai pelanggan. beberapa hambatan ini
berasal dari skeptisisme manajemen tentang nilai bersaing
atas dasar nilai pelanggan. dengan demikian, bukti empiris
yang sistematis, hubungan positif antara nilai pelanggan dan
nilai organisasi dapat memberikan dorongan untuk
menerapkan strategi berbasis nilai dalam perusahaan yang
mungkin enggan untuk melakukannya
Peneliti Tahun Judul Variabel yg Diteliti Metodologi Penelitian Hasil Penelitian
6 Burnham, et All. 2003 Consumer switching cost A Market characteristic (indi: exploratory factor, First, it provides a typology of the switching costs that
Typology, antecedents, and product complexity, provider Cronbach's alpha, and consumers perceive as well as validated scales for
consequences heteroginity), Consumer confirmatory factor measuring those costs. second, this research provides a
Investment (breadth of use, analyses (CFAs) theoretical framework of the antecedents that drive
extent of modification), domain consumer switching cost perceptions. third, this research
expertise (indi: alternative adds to recent research on switching cost consequences by
experience, switching finding significant effects for three types of consumer
experience), Procedural switching costs. Even within industries where objective
Switching cost (indi: economic switching costs are low, we find that the level and types of
risk costs, evaluation cost, costs that consumers associate with switching explain their
learning costs, set-up cost), intentions better than their satisfaction does. While this
Financial Switching cost (indi: does not suggest that firms should abandon the pursuit of
benefit loss costs, monetary lost customer satisfaction, it does highlight the need to
cost), relational switching cost understand, measure, and manage switching cost
(indi: personal relationship loss perceptions
cost, brand relational loss cost),
Loyalty (intention to stay with
incumbent provider),
Satisfaction

7 Taufik Abdurrahman, 2008 Pengaruh Service Quality, service quality (reliability, analysis, Cronbach's alpha, service quality, satisfactin dan switching cost secara
Nanang Suryadi Customer Satisfaction, dan responsiveness, assurance, and confirmatory factor signifikan mempengaruhi terciptanya customer loyalty dan
Switching Cost terhadap empathy, tangibles), customer variabel satisfaction memberikan pengaruh yang terbesar
Customer Loyalty (studi pada satisfaction, switching cost dalam terbentuknya loyalty,
pelanggan Telepon Bergerak (economic risk cost, evaluation
di Kota Malang) cost, learning cost, setup cost,
benefit loss cost, personal
relationship loss cost, brand
relationship loss cost),
Customer Loyalty (cognitive
loyalty, affective loyalty,
conative loyalty, action loyalty)

8 Herman Soegoto 2011 Pengaruh Nilai dan Nilai Nasabah, kepercayaan analyses (CFAs) Nilai dan Kepercayaan Nasabah secara simultan dan parsial
kepercayaan Terhadap Nasabah dan Loyalitas Nasabah berpengaruh signifikan terhadap Loyalitas Nasabah Prioritas
Loyalitas Nasabah Prioritas

9 Bagus Aji indrakusuma, 2011 Analisis Pengaruh Experiential marketing (sense, Analisis Regresi Berganda Tidak seluruh variabel experiential marketing (sense, feel,
ismi Darmastuti Pendekatan Experiential feel, think, act, relate), think, act, relate) berpengaruh positif dan signifikan
Marketing yang Kepuasan Konsumen terhadap kepuasan konsumen, secara parsial variabel think,
Menciptakan Kepuasan act, relate mempunyai pengaruh positif dan signifikan
Konsumen Pada Pengguna terhadap kepuasan konsumen
Blackberry Smartphone
Peneliti Tahun Judul Variabel yg Diteliti Metodologi Penelitian Hasil Penelitian
10 Aries Susanty dan Arief 2011 Atribut-Atribut Yang Menjadi SERVQUAL (Tangibles, Uji validitas, Uji Reliabilitas, Kesenjangan antara Perceived service dan expected service
Chandra P B Prioritas untuk Peningkatan Reliability, Rerponsiveness, SERVQUAL, IPM, QFD berpengaruh terhadap peningkatan kepuasan pelanggan.
Kualitas Layanan Assurance, Empathy), Perceived Atribut kualitas layanan yang harus ditingkatkan adalah :
service, expected service tangibles (kondisi fisik fasilitas komuniskasi, kebersihan,
area parkir), Reliability (pelayanan informasi), responsivness
(kecepatan dalam menanggapi keluhan)

11 Hendro Tumpal P 2012 Pengaruh Citra Perusahaan Citra Perusahaan, Kualitas deskriptif presentase dan ada pengaruh yang positif dan signifikan variabel citra
dan Kualitas Pelayanan Pelayanan, Kepuasan Konsumen regresi linear berganda perusahaan dan kualitas pelayanan terhadap kepuasan
Terhadap Kepuasan konsumen
Konsumen
12 Nurdini Prihastiti, Yatri 2012 Corporate Image Analysis on community relations, Proses Uji Korelasi Rank Spearman keterlibatan dalam program tidak memperlihatkan adanya
Indah Kusumastuti The Implementation of pembentukan citra, Citra hubungan dengan proses pembentukan citra, manfaat
Community Relations Perusahaan program memiliki hubungan dengan proses pembentukan
Programs by PLN citra, proses pembentukan citra pada sasaran program
secara signifikan mempengaruhi citra perusahaan

13 Lia Wita Kumala et al. 2013 Pengaruh Experiential Experiential Marketing Analisis Deskriptif, Analisis Experiential marketing terbukti secara signifikan
Marketing Terhadap (Communications, visual Regresi Linear berganda berpengaruh terhadap loyalitas konsumen baik secara
Kepuasan Pelanggan (survey identity, product presence, Co- bersama sama maupun parsial dan variabel people memiliki
pada pelanggan KFC malang) Branding, Spatial Environment, pengaruh paling dominan
Web sites, People dan Act),
Kepuasan Pelanggan

14 Zahrina Razanah et al. 2013 Penerapan Experiential Experiential marketing, Path Analysis Experiential marketing terbukti memiliki pengaruh signifikan
Marketing Strategy dan Kepuasan Pelanggan, Loyalitas terhadap kepuasan pelanggan, Kepuasan pelanggan terbukti
Pengaruhnya Terhadap Pelanggan memiliki pengaruh signifikan terhadap loyalitas pelanggan,
Kepuasan dan Loyalitas experiential marketing terbukti memiliki pengaruh signifikan
(studi pada pelanggan Bakso terhadap loyalitas pelanggan
Cak Kar Malang)
Peneliti Tahun Judul Variabel yg Diteliti Metodologi Penelitian Hasil Penelitian
15 Lapido Patrick k A, Rahim 2013 Experiential Marketing: An Sensory Experience, Emotional Descriptive/Explanatory untuk mengelola secara menyeluruh pengalaman
Ajao Ganiyu Insight into the Mind of the Experience, Thinking Method pelanggan, organisasi harus berusaha untuk secara efektif
Consumer Experience, Action Experience, mengelola komponen afektif dari pelanggan, dengan
Related Experience menggunakan pendekatan serupa merancang dalam
mengelola aspek fungsional dari produk / jasa. Juga, karena
belanja adalah pengalaman, nilai uang adalah faktor yang
sangat penting bagi sebagian besar pembeli; Oleh karena itu
peritel harus berusaha untuk mengaktifkan perasaan
pelanggan dimana mereka mendapatkan nilai dari uang nya.
Pengecer juga perlu fokus lebih banyak pada barang
dagangan dan berbagai produk di rak-rak mereka. Toko
harus terlihat, dan fasilitas dasar di dalam mal (misalnya
toilet, slot parkir, dll) harus dijaga dengan baik. Aspek
layanan pelanggan seperti kesopanan staf, pelayanan dari
pelayan toko, respons terhadap keluhan dapat benar-benar
membuat pengalaman berbelanja yang menyenangkan dan
merupakan faktor penting yang menentukan keputusan
pelanggan untuk mengunjungi dan melakukana kunjungan
ulang ke toko

16 Moh Rozikin 2013 Meningkatkan loyalitas Kualitas Pelayanan, Nilai Analisis Regresi Linier Kualitas pelayanan berpengaruh positif terhadap kepuasan
pelanggan melalui kualitas Pelanggan, Kepuasan Pelanggan, Berganda dan loyalitas konsumen, Nilai pelanggan berpengaruh positif
pelayanan, nilai pelanggan dan Loyalitas Pelanggan terhadap kepausan dan loyalitas konsumen, Kepuasan
dan kepuasan pelanggan pelanggan berpengaruh positif terhadap loyalitas
pada pt. Adi sarana armada, konsumen,
tbk
17 K Alkilani, K C Ling, Anas 2013 The Impact of Experiential sense, feel, think, act, relate, Multiple Regression sense dan feel secara signifikan memiliki hubungan positif
Ahmad A Marketing and Customer customer satisfaction, Analysis dengan customer satisfaction sebagaimana customer
Satisfaction on Customer commitment satisfaction berhubungan positif dengan commitment,
Commitment in The World penelitian ini menolak variabel think, act dan relate bahwa
of Social Network variabel tersebut tidak mempunyai hubungan dengan
customer satisfaction
18 Syafri, Sefnedi, Rika 2014 Peranan Switching Cost Kualitas Pelayanan, Kepuasan Hierarchical Regression ada pengaruh positif dan signifikan variabel kualitas
Memoderasi Hubungan Nasabah, Switching Cost, pelayanan, kepuasan nasabah dan switching cost terhadap
Kualitas Pelayanan dan Loyalitas Nasabah loyalitas nasabah dan variabel switching cost terbukti dapat
Kepuasan Konsumen memperkuat pengaruh kualitas pelayanan dan kepuasan
terhadap Loyalitas Nasabah nasabah terhadap loyalitas nasabah
Deposito Bank BNI Cabang
Sungai Penuh
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konseptual


Dari uraian dalam latar belakang, rumusan masalah serta tujuan dan
manfaat studi dapat disimpulkan bahwa penelitian ini dilakukan untuk mengkaji
dan menganalisa 6 (enam) hubungan variabel penting yaitu: Service Quality
(SERVQUAL), Customer value (PERVAL), Citra Perusahaan, Switching Cost,
Experiential Marketing (SEMs) dan Loyalitas Konsumen.
Sebelum menyusun kerangka konseptual, studi ini dimulai dari kajian
teori tentang Loyalitas Konsumen yang mengulas tentang karakteristik pasar saat
ini dimana konsumen lebih cerdas, sadar harga, banyak menuntut, kurang
memaafkan dan didekati banyak produk. Teknologi informasi juga semakin
memberikan peran yang cukup besar dan memudahkan konsumen dalam
menentukan pilihan untuk berbagai macam produk yang dapat dipilih untuk
membelanjakan uangnya. Produk asuransi baik kerugian maupun jiwa, antara
satu asuransi dengan yang lain, sebagian besar memiliki fitur-fitur yang serupa.
Oleh karena itu tiap perusahaan penerbit produk harus jeli dalam menjual produk
jasa mereka. Mereka harus dapat menciptakan keunggulan dari produk mereka
dibandingkan dengan produk lainnya, mereka harus mendeferensiasikan produk
nya. Kualitas layanan merupakan salah satu faktor penting yang dapat
menunjang loyalitas dari konsumen dan sudah menjadi tanggung jawab semua
orang dalam organisasi dalam rangka menciptakan kualitas pelayanan, sehingga
pada akhirnya konsumen akan memperoleh tawaran pelayanan dengan kualitas
yang tinggi. Dalam pemasaran, kesadaran dan image sebuah merek dan reputasi
jasa mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli. Pada konteks ini, citra
atau reputasi atau merek menjadi sebuah masalah dari sikap dan kepercayaan
terhadap kesadaran pada merek dan image, keputusan konsumen dan kesetiaan
konsumen. Perusahaan perlu memahami dan memenuhi kebutuhan serta
keinginan konsumen, manajemen perlu memberikan value yang lebih kepada
para konsumennya sebagai bentuk keunggulan dan keunikan yang dimiliki,
46
47

meskipun demikian, perpindahan konsumen dari penyedia jasa ke penyedia jasa


lainnya terkadang sulit dihindari sehingga diperlukan suatu rintangan (barriers)
untuk mencegahnya. selain itu diperlukan faktor kreativitas yang menjelaskan
tentang penciptaan gagasan atau ide-ide baru mencakup produk, proses produksi
sampai pada cara-cara pemasaran baru yaitu: experiential marketing.
Experiential marketing lebih menitikberatkan pada bagaimana perusahaan dapat
memberikan informasi yang lebih dari sekedar informasi mengenai sebuah
produk atau jasa yang dihasilkannya Pada saat tahapan pelanggan
mengkonsumsi produk, tedapat interaksi antara pelanggan dengan pemasar.
Artinya, pelanggan akan mampu membedakan produk dan jasa yang satu dengan
lainnya karena mereka dapat merasakan dan memperoleh pengalaman secara
langsung melalui lima pendekatan (sense, feel, think, act, relate), baik sebelum
maupun ketika mereka mengkonsumsi sebuah produk atau jasa. Experiential
marketing sangat efektif bagi pemasar untuk membangun brand awareness,
brand perception, brand equity, maupun brand loyalty hingga purchasing
decision dari pelanggan. Teori-teori tersebut menuntun untuk berpikir secara
deduktif karena teori bersifat universal artinya berlaku umum dan di mana saja,
tetapi dapat diterapkan untuk kasus-kasus spesifik. Selanjutnya studi empirik
yang dikaji dalam penelitian ini dimaksudkan untuk melengkapi wawasan dalam
menyusun tesis ini. Studi empirik merupakan suatu proses generalisasi dari
hal-hal yang bersifat umum. Ini berarti kajian atau studi empirik memberi
inspirasi untuk, berpikir induktif.
Proses berpikir merupakan interaksi antara proses berpikir deduktif dan
induktif, bukan dari salah satunya. Dari proses interaksi tersebut disusun
hipotesis. Hipotesis ini merupakan solusi sementara atas rumusan masalah yang
perlu dikaji kebenarannya, sehingga hipotesis memerlukan pengujian secara
statistik yang relevan sehingga menghasilkan konsep tesis. Konsep tesis di
dalamnya akan menghasilkan temuan-temuan yang mendukung teori atau
penelitian sebelumnya yang sudah ada. Secara rinci uraian tersebut dijelaskan
pada Gambar 3.1 berikut ini:
48
49

Kerangka konseptual disusun setelah adanya kerangka proses berpikir dengan


tujuan untuk menjelaskan variabel-variabel mana yang berkedudukan sebagai
variabel eksogen, variabel intervening dan variabel endogen terikat. Dengan
persepsi yang telah dibentuk melalui studi teoritik dan studi empirik akan lebih
jelas berapa banyak hipotesis yang harus disusun, variabel-variabel yang
terkandung dalam masing-masing hipotesis dan bagaimana hubungan pengaruh
antar variabelnya.
Pada kerangka konseptual ini akan terlihat secara keseluruhan pengaruh
langsung antara variabel Service quality (X1), Customer value (X2), Citra
Perusahaan (X3) terhadap Experiential Marketing (Y1) dan Loyalitas Konsumen
(Y2), Pengaruh langsung Variabel Switching Cost (X4) terhadap Loyalitas
Konsumen (Y2) dan Pengaruh langsung variabel Experiential Marketing (Y1)
terhadap Loyalitas Konsumen (Y2). Hubungan antar variabel ini lebih jelas dapat
digambarkan pada Gambar 3.2 berikut:
50

X1.4 X1.5
X1.3
Y1.1 Y1.2
X1.2
Y1.3
Y1.4
X1.1 Service
Quality (X1)
H1
Experiential Y1.5
Marketing (Y2)
X2.1 H4

X2.2 H2
Customer
X2.3 Value (X2) H8
H5
X2.4
X2.5 Y2.1

H3
Loyalitas
Nasabah Y2.2

X3.1
Citra (Y2)
Perusahaan H6
(X3)
Y2.3
H7
X3.2

X3.3
Switching
Cost (X4)
X4.1
X4.7
X4.2
X4.6
X4.3 X4.5
X4.4

Sumber : Alkilani, et al. (2012);Tumpal (2012); Caruana (2002); Widdis (2001); Soegoto (2011); Syafri,
et al. (2014); Goodman (2005); Smilansky (2009); Bloemer and Ruyter (1998); Selnes (1993);
Goodman, et al., (1995); Geykens, et al., (1999); Febiana (2009); Hazlet (2005); Aaker and
Keller (1990); Zeithaml, et al. (1996); Parasuraman (1985, 1988 dan 1996)

Gambar 3.2
kerangka konseptual
Keterangan gambar:
X1.1 : Reliabilitas X4.1 : Biaya risiko ekonomik Y2.1 : Pembelian ulang
X1.2 : Daya Tanggap X4.2 : Biaya evaluasi Y2.2 : Rekomendasi
X1.3 : Jaminan X4.3 : Set-up cost Y2.3 : komitmen
X1.4 : Empati X4.4 : Biaya belajar X1 : Service Quality
X1.5 : Bukti Fisik X4.5 : Benefit lost costs X2 : Customer Value
X2.1 : Nilai Fungsional X4.6 : Personal relationship loss cost X3 : Citra Perusahaan
X2.2 : Nilai Sosial X4.7 : Brand relationship loss costs X4 : Switching Cost
X2.3 : Nilai Emosional Y1.1 : sense (panca indera) Y1 : Experiential Marketing
X2.4 : Nilai Interaksi Sosial Y1.2 : feel (perasaan) Y2 : Loyalitas Konsumen
X2.5 : Nilai Fungsional Y1.3 : think (pikiran) Hi : Hipotesis
X3.1 : Citra perusahaan dibanding Y1.4 : act (kebiasaan) : Garis Hubungan
pesaing
X3.2 : Citra produk dimata Y1.5 : relate (pertalian)
konsumen
X3.3 : Citra pelayanan yang memuaskan
51

Sedangkan hubungan pengaruh antar variabel dapat dijelaskan sebagai


berikut:
1. Penelitian Goodman (2005) menyebutkan bahwa dengan memelihara
pelayanan yang baik bagi konsumen dapat menanamkan suatu pengalaman
positif di benak konsumen, dalam studinya menyebutkan bahwa
keunggulan atribut pelayanan, dapat meningkatkan kesediaan konsumen
untuk merekomendasikan kepada konsumen lain. Quality service yang
konsisten meningkatkan kesediaan merekomendasikan sebesar 32%,
memberikan informasi secara proaktif meningkatkan kesediaan
merekomendasi sebesar 32%, hubungan personal di luar jam kerja sebesar
26%, interaksi yang ramah 25%, dan kejutan yang menyenangkan 22%,
dimana hal tersebut mampu meningkatkan experiental marketing. Allred and
Adams (2000) dalam penelitiannya mendapatkan hasil bahwa sebanyak 72
responden nya atau sekitar 27% menyatakan berpindah kepada provider lain
apabila mereka mengalami pelayanan yang buruk dan menyimpulkan bahwa
secara signifikan Service quality berpengaruh terhadap Loyalitas Konsumen
sedangkan Febiana (2009) menyimpulkan bahwa kualitas layanan
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap loyalitas konsumen melalui
experiential marketing.
2. Konsep Customer value mengindikasikan suatu hubungan yang kuat
terhadap experiential marketing dari konsumen (Schmitt, 1999). Dimana
konsep tersebut menggambarkan pertimbangan yang evaluatif konsumen
tentang produk yang mereka konsumsi. Nilai yang diinginkan konsumen
terbentuk ketika mereka membentuk persepsi bagaimana baik buruknya
suatu produk dimainkan dalam situasi penggunaan. Mereka mengevaluasi
pengalaman penggunaan pada atribut yang sama, seperti telah dijelaskan
diatas bahwa atribut yang dimaksud disini adalah merk dan keunggulan
layanan atas produk. Nilai yang diterima bisa mengarahkan secara langsung
pada experiential marketing. Experiential marketing sebenarnya lebih dari
sekedar memberi peluang pada konsumen untuk memperoleh pengalaman
emosional dan rasional dalam memberikan penilaian atas manfaat produk
52

atau jasa yang dirasakannya (Widdis, 2001). Hasil penelitian Smilansky


(2009) menyebutkan adanya pengaruh Customer value terhadap Experiential
Marketing.
3. Citra Perusahaan diasumsikan berdampak pada pilihan pelanggan
perusahaan ketika atribut pelayanan sulit untuk dievaluasi, maka citra
perusahaan didirikan dan dikembangkan di benak konsumen melalui
komunikasi dan pengalaman, citra perusahaan diyakini dapat menciptakan
efek halo pada penilaian kepuasan pelanggan (Andreassen et al., 1997). Citra
perusahaan yang melekat pada benak konsumen akan menambah
pengalaman konsumen dalam memanfaatkan produk atau jasa yang
meningkatkan experiential marketing dan mengakibatkan loyalitas konsumen
terhadap produk perusahaan (Hazlet, 2003). Citra perusahaan didefinisikan
sebagai sebuah persepsi mengenai kualitas yang digabungkan dengan nama
(Aaker and Keller, 1990). Fungsi utama dari citra perusahaan adalah menjadi
fasilitas pilihan ketika pedoman instrinsik atau atribut-atribut tampak sulit
atau tidak mungkin untuk dilakukan. Pedoman instrinsik meliputi komposisi
fisik atau teknikal dari produk. Nama merek telah didefinisikan sebagai
sebuah pedoman ekstrinsik, sehingga menjadi sebuah atribut yang
digabungkan dengan jasa tetapi tidak menjadi bagian fisik jasa itu sendiri.
Menurut Sutisna (2001:332) Citra perusahaan tidak bisa direkayasa, artinya
citra tidak datang dengan sendirinya melainkan dibentuk oleh masyarakat,
dari upaya komunikasi dan keterbukaan perusahaan dalam usaha
membangun citra positif yang diharapkan. Upaya membangun citra tidak
bisa dilakukan secara serampangan pada saat tertentu saja, tetapi merupakan
suatu proses yang panjang. Karena citra merupakan semua persepsi atas
objek yang dibentuk oleh konsumen dengan cara memproses informasi dari
berbagai sumber sepanjang waktu. Sumber informasi dapat berasal dari
perusahaan secara langsung dan atau pihak pihak lain secara tidak langsung.
Citra perusahaan menunjukan kesan obyek terhadap perusahaan yang
terbentuk dengan memproses informasi setiap waktu dari berbagai sumber
informasi terpercaya. Perasaan puas atau tidaknya konsumen terjadi setelah
53

mempunyai pengalaman dengan produk maupun perusahaan yang diawali


adanya keputusan pembeli. Sehingga dapat disimpulkan keberadaan citra
perusahaan yang baik penting sebagai sumber daya internal obyek dalam
menentukan hubunganya dengan perusahaan.
4. Tumpal (2012); Aryani dan Rosinta (2010); Rozikin (2013); Taufiq dan
Suryadi (2009); Caruana (2002); Taylor and Baker (1994); Sivadas and
Baker-Prewitt (2000) menyimpulkan bahwa Kualitas Layanan berpengaruh
signifikan terhadap Loyalitas Konsumen. Studi yang dilakukan oleh
Parasuraman (1985, 1988 dan 1996) menyatakan bahwa salah satu aspek yang
perlu mendapatkan perhatian penting adalah service quality yang diberikan oleh
perusahaan dalam menghadapi persaingan antar perusahaan yang semakin ketat,
maka perusahaan bersaing untuk memikat agar para konsumennya tetap loyal
dalam memanfaatkan pelayanan yang diberikannya. Kualitas pelayanan
berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan serta ketepatan
penympaiannya untuk mengimbangi harapan konsumen. Sementara kualitas
layanan telah terbukti sebagai unsur penting dalam meyakinkan pelanggan
untuk memilih salah satu organisasi daripada yang lainnya, banyak organisasi
telah menyadari bahwa mempertahankan keunggulan secara konsisten sangat
penting jika mereka ingin mendapatkan loyalitas pelanggan (Kandampuly and
Dudy, 1999)
5. Penelitian mengenai Customer value dilakukan oleh Soegoto (2011); Atmojo
(2010); Susanti (2012), dengan hasil bahwa Customer value berpengaruh
secara signifikan terhadap Loyalitas Konsumen. Sejalan dengan penelitian
dari Kandampuly and Dudy (1999) bahwa perusahaan perlu memahami dan
memenuhi kebutuhan serta keinginan konsumen, manajemen perlu
memberikan value yang lebih kepada para konsumen sebagai bentuk
keunggulan dan keunikan yang dimiliki. Jika konsumen merasa memperoleh
nilai (value) yang lebih dibandingkan dengan pesaing, maka diharapkan
mereka tidak akan beralih ke perusahaan lain tetapi akan tetap menjadi
konsumen yang loyal. Disamping itu konsumen akan cenderung melakukan
word of mouth communication kepada relasi-relasi terdekatnya, agar mereka
54

melakukan hal yang sama dengan dirinya, yaitu menjadi konsumen pada
perusahaan yang sama. Konsumen yang merasa diperhatikan, mendapatkan
manfaat sesuai yang dibutuhkan, serta yakin bahwa perusahaan tersebut
dapat dipercaya akan menjadi semakin loyal (Herman Soegoto, 2011).
6. Hasil penelitian dari Bontis and Booker (2007); Prihastiti dan Kusumastuti
(2012); Bloemer and Ruyter (1998); Tumpal (2012); Abd-El-Salam, et al.
(2013); Schmitt, et al., (2009) menyimpulkan bahwa Citra Perusahaan
berpengaruh signifikan terhadap Loyalitas Konsumen. Menurut Philip Kotler
(1997: 259) citra adalah seperangkat keyakinan, ide, dan kesan yang dimiliki
seseorang terhadap suatu obyek. Sutisna (2001:83) mengemukakan, citra
adalah total persepsi terhadap suatu obyek yang dibentuk dengan memproses
informasi dan berbagai sumber setiap waktu. Dalam pemasaran, kesadaran
dan image sebuah merek dan reputasi jasa mempengaruhi keputusan
konsumen untuk membeli. Pada konteks ini, reputasi atau merek menjadi
sebuah masalah dari sikap dan kepercayaan terhadap kesadaran pada merek
dan image, keputusan konsumen dan kesetiaan konsumen (Fornel, 1992).
Hasil penelitian ini sejalan dengan Hu, Kandampully and Juwaheer (2009)
yang menyatakan bahwa Citra (image) perusahaan berpengaruh positif
terhadap behavioral intentions atau loyalitas. Penelitian Hart dan
Rosenberger III (2004) menyatakan bahwa Citra (image) perusahaan
berpengaruh signifikan terhadap loyalitas pelanggan.
7. Hasil penelitian Syafri, et al. (2014); Taufiq dan Suryadi (2009); Rangga (2011)
menyimpulkan bahwa variabel Switching Cost berpengaruh secara signifikan
terhadap Loyalitas Konsumen. Switching cost mendorong konsumen untuk
merekomendasikan pada konsumen yang lain (Lee, 2004). Lebih jauh lagi
Jonathan Lee menyatakan bahwa semakin kecil biaya beralih akan semakin
memudahkan para konsumen untuk beralih. Perubahan teknologi dan strategi
diferensiasi dari perusahaan menyebabkan switching cost menjadi faktor penting
bagi customer loyalty. Dalam penelitian Cheng, et al. (2008) juga menemukan
pengaruh positif antara switching cost terhadap loyalitas konsumen. Hasil
penelitian sejalan dengan temuan Burnham, et al. (2003) yang menyebutkan
55

bahwa switching cost terbukti mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap


perilaku pembelian kembali
8. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Razanah, et al. (2010); Kumala, et al.
(2010); Alkilani, et al. (2012); Kusumawati (2011); Musfar dan Novia (2012);
Febian (2009), menyimpulkan bahwa Experiential Marketing berpengaruh
terhadap terciptanya Loyalitas Konsumen. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Bernard Schmitt (1999) dalam studinya menyimpulkan bahwa
Experiential marketing bukan sekedar memberikan informasi dan peluang pada
konsumen untuk memperoleh pengalaman atas keuntungan yang didapat dari
produk atau jasa itu sendiri tetapi juga membangkitkan emosi dan perasaan yang
berdampak pada loyalitas konsumen.

3.2 HIPOTESIS
Berdasarkan telaah teori dan kerangka konseptual di atas, maka pada
studi ini dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:
1. Service quality berpengaruh signifikan terhadap Experiential Marketing di
PT Asuransi Jasa Indonesia Cabang Jember;
2. Customer value berpengaruh signifikan terhadap Experiential Marketing di
PT Asuransi Jasa Indonesia Cabang Jember;
3. Citra Perusahaan berpengaruh signifikan terhadap Experiential Marketing di
PT Asuransi Jasa Indonesia Cabang Jember;
4. Service quality berpengaruh signifikan terhadap Loyalitas Konsumen di PT
Asuransi Jasa Indonesia Cabang Jember;
5. Customer value berpengaruh signifikan terhadap Loyalitas Konsumen di PT
Asuransi Jasa Indonesia Cabang Jember;
6. Citra Perusahaan berpengaruh signifikan terhadap Loyalitas Konsumen di PT
Asuransi Jasa Indonesia Cabang Jember;
7. Switching Cost berpengaruh signifikan terhadap Loyalitas Konsumen di PT
Asuransi Jasa Indonesia Cabang Jember;
8. Experiential Marketing berpengaruh signifikan terhadap Loyalitas
Konsumen di PT Asuransi Jasa Indonesia Cabang Jember.
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian


Rancangan atau desain penelitian dalam arti sempit dimaknai sebagai
suatu proses pengumpulan dan analisis data penelitian. Dalam arti luas rancangan
penelitian meliputi proses perencanaan dan pelaksanaan penelitian. Suatu desain
penelitian menyatakan struktur masalah penelitian maupun rencana penyelidikan
yang akan dipakai untuk memperoleh bukti empiris mengenai
hubungan-hubungan dalam masalah. Dalam penelitian ini mendiskripsikan
fakta-fakta dan melakukan uji hipotesa untuk melihat hubungan antar variable,
maka penelitian ini menggunakan desain penelitian penjelasan (explanatory
research/confirmatory research).
Penelitian ini mencoba untuk mendeskripsikan hubungan antara variabel
eksogen (independen), variable intervening (antara), dan variabel endogen
(dependen). Variabel Eksogen atau independent variable yang terdiri dari :
service quality (X1); Customer Value (X2); Citra Perusahaan (X3); Switching Cost
(X4). Variabel Endogen atau dependent variabel, terdiri dari : Experiential
Marketing (Y1) sebagai endogen intervening dan Loyalitas Konsumen (Y2)
sebagai endogen terikat. Hubungan-hubungan dijelaskan dalam suatu hubungan
struktual, dimana terjadi saling hubungan antara variabel-variabel tersebut baik
secara parsial, simultan, langsung dan tidak langsung.

4.2 Jenis dan Sumber Data


4.2.1 Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber
aslinya. Data ini diperoleh dengan cara melakukan wawancara atau menyebarkan
kuesioner kepada responden. Pada penelitian ini data primer meliputi data hasil
penyebaran kuesioner kepada responden.

56
57

4.2.2 Data Sekunder


Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung atau melalui
pihak lain, atau laporan historis yang telah disusun dalam arsip yang
dipublikasikan atau tidak. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
berupa studi kepustakaan, jurnal, literatur-literatur yang berkaitan dengan
permasalahan, majalah-majalah perekonomian, laporan tahunan PT Jasindo dan
informasi dokumentasi lain yang dapat diambil melalui sistem on-line (internet).

4.3 Teknik Pengumpulan Data


Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan metode
survey, yaitu dengan menyebarkan kuesioner pada sampel yang akan diteliti.
Penyebaran kuesioner dilakukan dengan cara bertemu langsung dengan para
responden. Pertanyaan kuesioner dalam penelitian ini berupa pertanyaan tertutup
dan terbuka yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi data responden
yang merupakan gambaran umum responden secara demografis, dan bagian kedua
berisi daftar pertanyaan yang mewakili variabel penelitian.

4.4 Populasi dan Sampel


Populasi menurut Masri Singarimbun (1989:3) adalah jumlah
keseluruhan dari analisa yang cirinya dapat diduga. Populasi pada penelitian ini
dibatasi untuk segmen konsumen ritel yaitu pengguna jasa asuransi PT. Asuransi
Jasindo Kantor Cabang Jember pemegang polis asuransi kebakaran, asuransi
kendaraan dan asuransi aneka tahun 2013 yang yang berjumlah 986 orang.
Sampel merupakan bagian dari populasi yang ingin diteliti; dipandang
sebagai suatu pendugaan terhadap populasi, namun bukan populasi itu sendiri.
Sampel dianggap sebagai perwakilan dari populasi yang hasilnya mewakili
keseluruhan gejala yang diamati. Bentler dan Chou (1987:91) dalam Latan
(2013:44) merekomendasikan jumlah sampel yang harus dipenuhi untuk estimasi
SEM adalah 5 kali (5:1) parameter yang diestimasi, lebih lanjut Schumacker dan
Lomax (2010) melakukan survey literatur dan menemukan bahwa ukuran sampel
antara 250-500 paling banyak digunakan pada berbagai jurnal dan artikel SEM.
58

Latan (2013:44) merekomendasikan ukuran sampel untuk pengujian model


menggunakan SEM adalah antara 100-200 apabila variabel laten yang digunakan ≥
6. Kline (2010) dalam Latan (2013:45) menyebutkan bahwa ukuran sampel yang
disarankan untuk penggunaan estimasi maximum likelihood (ML) adalah sebesar 200.
Penelitian ini menggunakan 29 indikator sehingga dengan menggunakan estimasi
berdasarkan jumlah parameter diperoleh ukuran sampel sebesar 145 responden.
Sesuai dengan pendapat Kline (2010) diatas penulis mengambil sampel sebanyak 200
dengan landasan bahwa model estimasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
maximum likelihood (ML).
Teknik penentuan sampel yang dipakai dalam penelitian ini adalah
purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampling
dimana sampel dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa yang dipilih adalah pihak
yang tepat untuk dijadikan sampel penelitiannya yaitu konsumen PT Jasindo yang
yang sudah merasakan jasa pelayanan (membeli polis Jasindo) minimal 2 tahun
secara berturut-turut untuk polis yang sama (Renewal), merupakan konsumen
perorangan (bukan konsumen korporasi) dan sudah pernah mengajukan klaim.
Selanjutnya distribusi sampel dilakukan secara proporsional untuk masing-masing
Class of Business konsumen Jasindo, dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini:
Tabel 4.1
Distribusi Sampel berdasarkan Class of Business
Class Of Business Populasi Proportional Sampel
Asuransi Kebakaran 310 (310/986)*200 63
Asuransi Kendaraan Bermotor 626 (626/986)*200 127
Asuransi Aneka 50 (50/986)*200 10
Jumlah 986 200
Sumber: data sekunder dikembangkan pada penelitian ini

4.5 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel


4.5.1 Identifikasi Variabel
Berdasarkan dengan kerangka konseptual (Gambar 3.2, Bab III halaman
50), maka variabel-variabel di dalam penelitian ini dapat diklasifikasikan sebagai
59

berikut:
1. Variabel eksogen (independen)
Variabel eksogen (independen) yaitu variabel yang hanya bertindak sebagai
predictor atau penyebab bagi variabel lain yang didalam model dan tidak
diprediksikan oleh variabel lain. Variabel eksogen (independen) dalam
penelitian ini terdiri dari : service quality (X1); Customer Value (X2); Citra
Perusahaan (X3); Switching Cost (X4).
2. Variabel intervening (antara)
Variabel intervening (antara) adalah variabel yang bertindak sebagai antara
bagi variabel eksogen dn variabel endogen. Variabel intervening digunakan
untuk melihat pengaruh tidak langsung antar suatu variabel terhadap variabel
lain. Variabel intervening (antara) penelitian ini adalah Experiential
Marketing (Y1)
3. Variabel endogen (dependen)
Variabel endogen (dependen) adalah variabel hasil dalam hubungan sebab
akibat atau suatu variabel yang menjadi pusat perhatian peneliti,
keragamannya ditentukan oleh variabel lain. Variabel endogen (dependen)
dalam penelitian ini adalah Loyalitas Konsumen (Y2)

4.5.2 Definisi Operasional Variabel


Definisi operasional variabel dalam penelitian ini dapat dijelaskan
sebagai berikut:

a. Service Quality (X1)


Service Quality merupakan upaya PT Jasindo untuk memenuhi
kebutuhan dan keinginan konsumen serta ketepatan dalam penyampaiannya yang
ditujukan untuk mengimbangi harapan konsumen. Dalam kualitas jasa ini kita
berbicara mengenai pencapaian momment of thruth, bagaimana mendapatkan
perhatian konsumen agar dapat mengkomunikasikan benefit-benefit dari produk
Jasindo yang ditawarkan dan menyediakan peralatan yang dibutuhkan oleh
konsumen untuk dapat mengalami benefit-benefit ini ketika mereka menggunakan
60

produk Jasindo. Dalam penelitian ini, pengukuran untuk kualitas jasa terbagi
menjadi 5 (lima) dimensi yaitu:

1. Reliabilitas (X1.1), yaitu kemampuan staf Jasindo dalam memberikan jasa


yang dijanjikan secara akurat dan andal;

2. Daya Tanggap (X1.2), yaitu kesediaan para staf Jasindo untuk membantu para
konsumen dan memberikan jasa secara cepat;

3. Jaminan (X1.3), mencakup pengetahuan, kompetensi, kesopanan, dan sifat


dapat dipercaya yang dimiliki staf Jasindo; bebas dari bahaya, risiko atau
keragu-raguan;

4. Empati (X1.4), meliputi kemudahan dalam menjalin komunikasi yang baik


termasuk perhatian pribadi dan pemahaman atas kebutuhan spesifik para
pelanggan dengan staf Jasindo;

5. Bukti Fisik (X1.5), meliputi fasilitas fisik sesuai dengan jasa yang ditawarkan.

b. Customer Value (X2)


Nilai konsumen merupakan keseluruhan penilaian konsumen tentang
kegunaan produk Asuransi Jasindo yang berdasar pada persepsi tentang apa yang
diterima dan apa yang diberikan (dikorbankan). Skala pengukuran variabel ini
dikembangkan berdasarkan konteks situasi pembelian ritel untuk menentukan
nilai-nilai konsumsi yang mengarah pada sikap dan perilaku pembelian konsumen
Asuransi Jasindo. Dalam penelitian ini model PERVAL diadaptasi ke dalam
konteks industri jasa (Chua, 2002 dalam Fandy Tjiptono, 2014:311), dengan
dimensi pengukuran sebagai berikut:

1. Nilai Fungsional (Kinerja/Kualitas) (X2.1), adalah kualitas hasil dari


menggunakan produk Jasindo. Nilai ini mencerminkan kemampuan produk
Jasindo dalam melaksanakan fungsi utamanya secara konsisten;

2. Nilai Sosial (X2.2), manfaat produk Asuransi Jasindo yang ditujukan untuk
memuaskan keinginan seseorang dalam mendapatkan pengakuan atau
kebanggaan sosial;
61

3. Nilai Emosional (X2.3), adalah kesenangan atau kepuasan emosional yang


didapatkan konsumen dari suatu produk Asuransi Jasindo;

4. Nilai Interaksi Sosial (X2.4), merupakan manfaat produk Jasindo yang


membuat konsumen merasa lebih memiliki kesempatan untuk berinteraksi
dengan lingkungan sosial yang lebih luas;

5. Nilai Fungsional (Harga) (X2.5), adalah harga yang fair dan biaya-biaya
finansial lainnya yang terkait dengan upaya mendapatkan produk Jasindo.

c. Citra Perusahaan (X3)


Citra perusahaan adalah kesan yang diperoleh konsumen sesuai dengan
pengetahuan dan pengalaman seseorang tentang PT Asuransi Jasindo, citra yang
dimaksud adalah Citra Asuransi Jasindo yang melekat pada benak konsumen yang
akan menambah pengalaman konsumen dalam memanfaatkan produk Jasindo
sehingga meningkatkan experiential marketing dan mengakibatkan semakin
tingginya loyalitas konsumen terhadap produk Jasindo, Variabel ini diukur dari
jawaban kuesioner mengenai;
1. Citra perusahaan dibanding pesaing (X3.1), didefinisikan bahwa Asuransi
Jasindo memililki reputasi yang lebih mengesankan di benak konsumen
dibanding asuransi lain;
2. Citra produk dimata konsumen (X3.2), didefinisikan bahwa produk Jasindo
lebih dapat dipercaya dan lebih dapat memenuhi kebutuhan konsumen
dibanding asuransi lain;
3. Citra pelayanan yang memuaskan (X3.3), didefinisikan bahwa pelayanan
Jasindo lebih baik daripada asuransi lain.

d. Switching Cost (X4)


Biaya beralih dipersepsikan atau diasosiasikan oleh konsumen Jasindo
sebagai biaya yang sewaktu waktu harus mereka tanggung apabila beralih ke
penyedia jasa lainnya. Biaya ini tidak terbatas pada biaya ekonomik, namun
meliputi berbagai macam biaya, seperti biaya pencarian, biaya transaksi, biaya
belajar, diskon pelanggan loyal, kebiasaan pelanggan, biaya emosional, usaha
kognitif, risiko finansial, risiko sosial dan risiko psikologis. Mengacu pada
62

penelitian Burnham, et al. (2003) yang merumuskan delapan segi dari switching
cost, yakni:

1. Biaya risiko ekonomik (X4.1), adalah biaya-biaya berkenaan dengan


ketidakpastian dan kemungkinan hasil negatif dikarenakan menggunakan
penyedia jasa baru yang tidak terlalu dipahami konsumen. Ketidakpastian
tersebut dapat berupa risiko kinerja, risiko finansial (klaim tidak terbayar),
maupun risiko kenyamanan (convenience risk);

2. Biaya evaluasi (X4.2), meliputi biaya waktu dan tenaga berkaitan dengan
usaha pencarian dan analisis yang diperlukan untuk membuat keputusan
beralih penyedia jasa;

3. Set-up cost (X4.3), merupakan biaya waktu dan tenaga berkaitan dengan
proses memulai relasi dengan penyedia jasa baru. Dalam konteks jasa
asuransi, biaya ini meliputi pertukaran informasi yang dibutuhkan agar
penyedia jasa baru mampu memahami kebutuhan spesifik konsumen
termasuk didalamnya resurvey dan pembaruan data/dokumen;

4. Biaya belajar (X4.4), adalah biaya waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk
memahami jaminan dari produk atau jasa asuransi yang baru secara efektif
dan benar;

5. Benefit lost costs (X4.5), adalah biaya-biaya berkenaan dengan hubungan


kontraktual yang menciptakan manfaat-manfaat ekonomik untuk tetap setia
pada Asuransi Jasindo. Bila beralih ke asuransi lain, pelanggan bisa
kehilangan point yang telah dikumpulkan, diskon, no claim bonus atau
manfaat–manfaat lain yang tidak diberikan kepada konsumen baru;

6. Personal relationship loss cost (X4.6), merupakan biaya psikologis berkenaan


dengan pemutusan ikatan emosional yang telah dibina dengan staff Jasindo
yang biasanya berinteraksi dengan konsumen. Familiaritas pelanggan dengan
karyawan Jasindo biasanya menciptakan perasaan nyaman tertentu yang
tidak bisa langsung didapatkan dari asuransi lain;

7. Brand relationship loss costs (X4.7), merupakan biaya psikologis berkaitan


63

dengan pemutusan ikatan emosional yang telah dibina dengan merek


Jasindo. Konsumen kerapkali memberikan makna khusus pada pembelian
yang dilakukan dan membentuk presepsi atau asosiasi yang menjadi bagian
dari sense of identity dirinya. Ikatan relasi berbasis merek atau perusahaan
ini akan hilang bila beralih penyedia jasa.

e. Experiential Marketing (Y1)


Experiential marketing merupakan pendekatan relasional dilakukan oleh
karyawan Jasindo yang melibatkan emosi dan perasaan konsumen dengan
menciptakan pengalaman-pengalaman positif yang tidak terlupakan, sehingga
konsumen mengkonsumsi dan fanatik terhadap produk Jasindo. Keterlibatan
pelanggan pada tahap ini mencakup lima hal yang di sebut sebagai Strategic
Experiential Modules (SEMs), yang dikembangkan oleh Schmitt (1999) yaitu
merupakan modul yang dapat digunakan untuk menciptakan berbagai jenis
pengalaman bagi konsumen, meliputi;

1. sense (panca indera) (Y1.1) , merupakan salah satu cara pendekatan yang
dilakukan oleh karyawan Jasindo untuk menyentuh emosi konsumen dengan
cara-cara yang unik, memotivasi konsumen dengan tidak terlalu memaksa
konsumen tetapi juga tidak terlalu acuh terhadap keinginan konsumen sehingga
konsumen mendapatkan suatu pengalaman yang tidak terlupakan. Pengalaman
ini dapat diperoleh konsumen melalui panca indra (mata, telinga, lidah, kulit,
dan hidung);

2. feel (perasaan) (Y1.2), adalah suatu perhatian-perhatian kecil yang ditunjukkan


karyawan Jasindo kepada konsumen untuk menyentuh emosi pelanggan secara
luar biasa, dimulai dari suasana hati yang lembut sampai dengan emosi yang
kuat terhadap kesenangan dan kebanggaan ketika mengkonsumsi produk
Jasindo;

3. think (pikiran) (Y1.3), konsep marketing ini bertujuan untuk mempengaruhi


pelanggan agar terlibat dalam pemikiran yang kreatif dan dapat menciptakan
kesadaran melalui proses berfikir yang berdampak pada evaluasi ulang terhadap
perusahaan, produk dan jasa asuransi Jasindo;
64

4. act (kebiasaan) (Y1.4), adalah salah satu cara untuk membentuk persepsi
pelanggan Jasindo terhadap produk dan jasa yang bersangkutan.

5. relate (pertalian) (Y1.5), bertujuan untuk mempengaruhi konsumen dan


menggabungkan seluruh aspek sense, feel, think, act serta menitikberatkan
pada penciptaan persepsi positif Asuransi Jasindo di mata konsumen

f. Loyalitas Konsumen (Y2)


Asuransi Jasindo berusaha untuk mengerti, berinteraksi dengan
konsumen dan berempati terhadap kebutuhan mereka. Dengan strategi ini
diharapkan konsumen akan menjadi loyal, bersedia melakukan hubungan jangka
panjang, menggunakan produk dan jasa perusahaan secara terus menerus dan
merekomendasikanya kepada teman-teman dan orang terdekat mereka, meliputi:
1. Pembelian ulang (Y2.1), adalah kemauan konsumen untuk melakukan
transaksi ulang yaitu dengan memanfaatkan layanan yang disediakan;
2. Rekomendasi (Y2.2), adalah komunikasi secara lisan yang dilakukan
konsumen Jasindo mengenai pengalaman transaksi nya yang baik kepada
orang lain (word of mouth);
3. Komitmen (Y2.3), adalah kemauan konsumen untuk tetap memanfaatkan
pelayanan yang disediakan oleh asuransi Jasindo dimasa datang dan enggan
untuk berhenti sebagai konsumen.

4.6 Skala Pengukuran


Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data berupa kuesioner
yang terdiri atas sekumpulan pernyataan untuk mengukur variabel yang telah
ditentukan. Pengumpulan data akan dilakukan melalui kuesioner yang diserahkan
kepada masing-masing responden terpilih. Pengumpulan data dengan menggunakan
pernyataan tertutup yang diberikan kepada responden secara langsung. Pernyataan
tertutup sudah menggiring ke jawaban yang altenatifnya sudah ditemukan.
Skala Likert adalah suatu skala psikometrik yang umum digunakan dalam
kuesioner, dan merupakan skala yang paling banyak digunakan dalam riset berupa
survei. Nama skala ini diambil dari nama Rensis Likert, yang menerbitkan suatu
65

laporan yang menjelaskan penggunaannya (Likert, 1932). Sewaktu menanggapi


pertanyaan dalam skala Likert, responden menentukan tingkat persetujuan mereka
terhadap suatu pernyataan dengan memilih salah satu dari pilihan yang tersedia.
Dalam penelitian ini skala Likert diukur dengan pemberian skor dari 1 sampai 5.
Jawaban setiap instrumen yang menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari
sangat negatif sampai sangat positif, sebagai berikut:
1 = Sangat tidak setuju
2 = Tidak setuju
3 = Netral
4 = Setuju
5 = Sangat setuju

4.7 Teknik Analisis

4.7.1 Pengujian Reliabilitas dan Validitas


Model pengukuran menunjukkan bagaimana variabel manifest atau
observed variabel merepresentasi kontstruk laten untuk diukur yaitu dengan
menguji validitas dan reliabilitas konstruk laten tersebut melalui confirmatory
factor analysis (CFA). Untuk menguji validitas dapat menggunakan pendekatan
MTMM (MultiTrait-MultiMethod) yaitu menguji validitas konvergen dan
diskriminan (Campbell and Fiske, 1959 dalam Latan, 2013: 46). Validitas
konvergen berhubungan dengan prinsip bahwa pengukur-pengukur (manifest
variabel) dari suatu konstruk seharusnya berkorelasi tinggi, uji ini dapat dilihat
dari nilai loading faktor untuk tiap indikator konstruk. Nilai loading faktor yang
tinggi menunjukkan bahwa tiap indikator konstruk converge pada satu titik. Rule
of thumb yang biasanya digunakan untuk menilai validitas konvergen yaitu nilai
faktor harus > 0.7 dengan tujuan untuk mengkonfirmasi teori dan nilai average
variance extracted (AVE) harus lebih besar dari 0.5 (Latan, 2013: 46).
Lebih lanjut validitas diskriminan atau sering disebut juga divergent
validity berhubungan dengan prinsip bahwa pengukur-pengukur konstruk yang
berbeda seharusnya tidak berkorelasi dengan tinggi. Nilai validitas diskriminan
66

yang tinggi menunjukkan bahwa suatu konstruk adalah unik (Latan, 2013:47).
Cara untuk menguji validitas diskriminan yaitu dengan membandingkan akar
kuadrat dari AVE untuk setiap konstruk dengan nilai korelasi antar konstruk
dalam model. Validitas diskriminan yang baik akan ditunjukkan dari akar kuadrat
AVE untuk tiap konstruk lebih besar dari korelasi antar konstruk dalam model
(Fornell and Larcker, 1981), dengan rumus sebagai berikut:

Dimana:
λi = loading factor
var = variance
εi = error variance
Fornell dan Larcker (1981), menyatakan bahwa pengukuran ini dapat
digunakan untuk mengukur reliabilitas component score variabel laten dan
hasilnya lebih konservatif dibandingkan dengan composite reliability. Nilai AVE
direkomendasikan harus lebih besar dari 0.50 mempunyai arti bahwa 50% atau
lebih variance dari indikator dapat dijelaskan (Latan, 2013:47)
Selain uji validitas, pengukuran model juga dilakukan untuk menguji
reliabilitas suatu konstruk. Reliabilitas dilakukan untuk membuktikan akurasi,
konsistensi dan ketepatan instrumen dalam mengukur konstruk. Latan (2013:48)
untuk mengukur reliabilitas konstruk dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
dengan Cronbach’s Alpha dan Composite Reliability atau sering disebut
reliability rho. Namun demikian penggunaan Cronbach’s Alpha untuk menguji
reliabilitas konstruk akan memberikan nilai yang lebih rendah (under estimate)
sehingga lebih disarankan untuk menggunakan Composite Reliability dalam
menguji reliabilitas suatu konstruk (Raykov, 1998 dalam Latan, 2013:48). Rule of
Thumb biasanya digunakan untuk menilai reliabilitas konstruk yaitu nilai
Composite Reliability harus lebih besar dari 0.7 merupakan nilai cut-off yang
umumnya diterima. Untuk menghitung nilai Composite Reliability digunakan
rumus yang dikembangkan oleh Werts, et al. (1974) dalam Latan, (2013:48) di
67

bawah ini:

Dimana : λi = loading factor; var = variance; εi = error variance

4.7.2 Uji Asumsi Structural Equation Model (SEM)


Setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas pada masing-masing
variabel laten, maka selanjutnya dilakukan uji asumsi Normalitas data,
Multikolinieritas data atau singularitas sebagai prasyarat yang harus dipenuthi
dalam permodelan SEM , sebagai berikut:.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah dalam suatu model
regresi, variabel dependen, variabel independen atau keduanya memiliki distribusi
normal atau tidak. Distribusi data yang baik adalah data yang mempunyai pola
seperti distribusi normal tidak mengarah ke kiri atau ke kanan (singgih, 2001:34).
Pengujian asumsi normalitas dapat dilakukan dengan menggunakan nilai statistic
z untuk skewness dn kurtosisnya dan secara empiric dapat dilihat Critical Ratio
(CR). Jika digunakan tingkat signifikan 5,00% maka nilai CR yang berada
diantara -1,96 s/d 1,96 (-1,96 ≤ CR ≤ 1,96) dikatakan data berdistribusi normal,
baik secara univariat maupun secara mulruvariat (Ghozali, 2005:128).
b. Uji Multikoliearitas
Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi
ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Untuk mendeteksi
ada tidaknya multikolinieritas dalam model regresi dapat dilakukan dengan
melihat cara-cara sebagai berikut : (Sulistyo, 2010; 38)
1) Nilai R2 yang dihasilkan dalam model regresi sangat tinggi, tetapi secara
individual variabel independen banyak yang tidak signifikan mempengaruhi
variabel dependen.
2) Dengan melihat nilai Variance Inflation Faktor (VIF) di sekitar angka 1 atau
memiliki toleransi mendekati 1, maka dikatakan tidak terdapat masalah
multikolinearitas.
68

4.7.3 Analisis Data


Analisis data dan interpretasi untuk penelitian yang ditujukan untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian dalam rangka mengungkap fenomena
sosial tertentu. Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk
yang lebih mudah dibaca dan diimplementasikan. Metode yang dipilih untuk
menganalisis data harus sesuai dengan pola penelitian dan variabel yang akan
diteliti. Tampilnya model yang rumit membawa dampak bahwa dalam
kenyataannya proses pengambilan keputusan manajemen adalah sebuah proses
yang rumit atau merupakan sebuah proses yang multidimensional dengan
berbagai pola hubungan kausalitas yang berjenjang. Oleh karenanya dibutuhkan
sebuah model sekaligus alat analisis yang mampu mengakomodasi penelitian
multidimensional itu. Berbagai alat analisis untuk penelitian multidimensional
telah banyak dikenal diantaranya 1) Analisis faktor eksplaratori, 2) Analisis
regresi berganda, 3) Analisis diskriminan. Alat-alat analisis ini dapat digunakan
untuk penelitian multidimensi, akan tetapi kelemahan utama dari teknik-teknik itu
adalah pada keterbatasannya hanya dapat menganalisis satu hubungan pada waktu
tertentu. Dalam bahasa penelitian dapat dinyatakan bahwa teknik-teknik itu hanya
dapat menguji satu variable dependen melalui beberapa variable independen.
Padahal dalam kenyataannya manajemen dihadapkan pada situasi bahwa ada
lebih dari satu variable dependen yang harus dihubungkan untuk diketahui derajat
interelasinya. Keunggulan aplikasi SEM dalam penelitian manajemen adalah
karena kemampuannya untuk mengkonfirmasi dimensi-dimensi dari sebuah
konsep atau factor yang sangat lazim digunakan dalam manajemen serta
kemempuannya untuk mengukur pengaruh hubungan-hubungan yang secara
teoritis ada (Latan, 2013:1).
Untuk menganalisis data digunakan The Structural Equation Modeling
(SEM) dari paket software statistik AMOS dalam model dan pengkajian hipotesis.
Model persamaan struktural, Structural Equation Model (SEM) merupakan suatu
teknik analisis multivariat generasi kedua yang menggabungkan antara analisis
faktor (Factor analysis) dan analisis jalur (path analysis) sehingga
memungkinakan peneliti untuk menguji dan mengestimasi secara simultan
69

hubungan antara multiple laten variabel independen dan multiple laten variabel
dependen dengan banyak indikator serta dapat menguji model dengan efek
mediator maupun moderator, model dalam bentuk non-linear dan kesalahan
pengukuran (Chin, 1998; Gefen et al., 2011; Garson, 2012 dalam Latan, 2013:1).
Untuk membuat pemodelan yang lengkap, perlu dilakukan
langkah-langkah sebagai berikut:

a) Langkah Pertama, Merancang model berbasis teori


Langkah pertama dalam pengembangan model SEM adalah pencarian
atau pengembangan model yang mempunyai justifikasi teoritis yang kuat, di
dalam penelitian ni telah dinyatakan bahwa:
1) Variabel service quality (X1) berpengaruh terhadap Experiential Marketing
(Y1). Goodman (2005); Smilansky (2009); Febiana (2009). Allred and Adams
(2000) dalam penelitiannya mendapatkan hasil bahwa sebanyak 72 responden
nya atau sekitar 27% menyatakan berpindah kepada provider lain apabila
mereka mengalami pelayanan yang buruk dan menyimpulkan bahwa secara
signifikan Service quality berpengaruh terhadap Loyalitas Konsumen.
Penelitian Goodman (2005) menyebutkan bahwa keunggulan atribut
pelayanan, dapat meningkatkan kesediaan konsumen untuk
merekomendasikan kepada konsumen lain. Pelayanan baik yang konsisten
meningkatkan kesediaan merekomendasikan sebesar 32%, memberikan
informasi secara proaktif meningkatkan kesediaan merekomendasi sebesar
32%, hubungan personal di luar jam kerja sebesar 26%, interaksi yang ramah
25%, dan kejutan yang menyenangkan 22%, dimana hal tersebut mampu
meningkatkan experiental marketing.
2) Variabel Customer Value (X2) mengindikasikan suatu hubungan yang kuat
terhadap experiential marketing (Y2). (Widdis, 2001; Smilansky, 2009;
Schmitt, 1999). Dimana konsep tersebut menggambarkan pertimbangan yang
evaluatif konsumen tentang produk yang mereka konsumsi. Nilai yang
diinginkan konsumen terbentuk ketika mereka membentuk persepsi
bagaimana baik buruknya suatu produk dimainkan dalam situasi penggunaan.
70

Mereka mengevaluasi pengalaman penggunaan pada atribut yang sama,


seperti telah dijelaskan diatas bahwa atribut yang dimaksud disini adalah merk
dan keunggulan layanan atas produk. Nilai yang diterima bisa mengarahkan
secara langsung pada experiential marketing
3) Variabel Citra Perusahaan (X3) berpengaruh terhadap Experiential Marketing
(Y2). (Hazlet, 2005; Andreassen et al., 1997; Aaker and Keller, 1990). Fungsi
utama dari citra perusahaan adalah menjadi fasilitas pilihan ketika pedoman
instrinsik atau atribut-atribut tampak sulit atau tidak mungkin untuk
dilakukan. Pedoman instrinsik meliputi komposisi fisik atau teknikal dari
produk. Nama merek telah didefinisikan sebagai sebuah pedoman ekstrinsik,
sehingga menjadi sebuah atribut yang digabungkan dengan jasa tetapi tidak
menjadi bagian fisik jasa itu sendiri. Upaya membangun citra tidak bisa
dilakukan secara serampangan pada saat tertentu saja, tetapi merupakan suatu
proses yang panjang. Karena citra merupakan semua persepsi atas objek yang
dibentuk oleh konsumen dengan cara memproses informasi dari berbagai
sumber sepanjang waktu.
4) Variabel Service Quality (X1) berpengaruh signifikan terhadap Loyalitas
Konsumen (Y2). Tumpal (2012); Aryani dan Rosinta (2010); Rozikin (2013);
Taufiq dan Suryadi (2009); Caruana (2002); Taylor and Baker (1994); Sivadas
and Baker-Prewitt (2000). Studi yang dilakukan oleh Parasuraman (1985,
1988 dan 1996) Salah satu aspek yang perlu mendapatkan perhatian penting
adalah kualitas pelayanan yang diberikan oleh perusahaan dalam menghadapi
persaingan antar perusahaan yang semakin ketat, maka perusahaan bersaing
untuk memikat agar para konsumennya tetap loyal dalam memanfaatkan
pelayanan yang diberikannya. Kualitas pelayanan berpusat pada upaya
pemenuhan kebutuhan dan keinginan serta ketepatan penyempaiannya untuk
mengimbangi harapan konsumen. Sementara kualitas layanan telah terbukti
sebagai unsur penting dalam meyakinkan pelanggan untuk memilih salah satu
organisasi daripada yang lainnya, banyak organisasi telah menyadari bahwa
mempertahankan keunggulan secara konsisten sangat penting jika mereka
ingin mendapatkan loyalitas pelanggan.
71

5) Variabel Customer Value (X3) berpengaruh secara signifikan terhadap


Loyalitas Konsumen (Y2). (Kandampuly and Dudy, 1999; Soegoto, 2011;
Atmojo, 2010; Susanti, 2012). Perusahaan perlu memahami dan memenuhi
kebutuhan serta keinginan nasabah, manajemen perlu memberikan value yang
lebih kepada para nasabah sebagai bentuk keunggulan dan keunikan yang
dimiliki. Jika nasabah merasa memperoleh nilai (value) yang lebih
dibandingkan dengan pesaing, maka diharapkan mereka tidak akan beralih ke
perusahaan lain tetapi akan tetap menjadi nasabah yang loyal. Disamping itu
nasabah akan cenderung melakukan word of mouth communication kepada
relasi-relasi terdekatnya, agar mereka melakukan hal yang sama dengan
dirinya, yaitu menjadi nasabah pada perusahaan yang sama. Nasabah yang
merasa diperhatikan, mendapatkan manfaat sesuai yang dibutuhkan, serta
yakin bahwa perusahaan tersebut dapat dipercaya akan menjadi semakin loyal
6) Variabel Citra Perusahaan (X2) berpengaruh signifikan terhadap Loyalitas
Konsumen (Y2). Bontis and Booker (2007); Prihastiti dan Kusumastuti
(2012); Bloemer and Ruyter (1998); Tumpal (2012); Abd-El-Salam, et al.
(2013); Schmitt, et al., (2009); (Fornel, 1992); Hu, Kandampully and
Juwaheer (2009); Hart dan Rosenberger III (2004). Citra merupakan total
persepsi terhadap suatu obyek yang dibentuk dengan memproses informasi
dan berbagai sumber setiap waktu. Dalam pemasaran, kesadaran dan image
sebuah merek dan reputasi jasa mempengaruhi keputusan konsumen untuk
membeli. Pada konteks ini, reputasi atau merek menjadi sebuah masalah dari
sikap dan kepercayaan terhadap kesadaran pada merek dan image, keputusan
konsumen dan kesetiaan konsumen.
7) Variabel Switching Cost (X4) berpengaruh secara signifikan terhadap
Loyalitas Konsumen (Y2). (Syafri, et al., 2014; Taufiq dan Suryadi, 2009;
Rangga, 2011; Cheng et al., 2008; Burnham, et al. (2003); Lee (2004).
Switching cost adalah biaya yang dikeluarkan sekali ketika berpindah dari satu
provider ke provider yang lain. Switching cost mendorong konsumen untuk
merekomendasikan pada konsumen yang lain Perubahan teknologi dan
strategi diferensiasi dari perusahaan menyebabkan switching cost menjadi
72

faktor penting bagi Loyalitas Konsumen (Burnham, et al., 2003).


8) Variabel Experiential Marketing (Y1) berpengaruh terhadap terciptanya
Loyalitas Konsumen (Y2). Razanah, et al. (2010); Kumala, et al. (2010);
Alkilani, et al. (2012); Kusumawati (2011); Musfar dan Novia (2012); Febrian
(2009); Schmitt (1999). Experiential marketing merupakan pendekatan
pemasaran yang melibatkan emosi dan perasaan konsumen dengan
menciptakan pengalaman-pengalaman positif untuk membangkitkan emosi
dan perasaan yang tidak terlupakan sehingga konsumen mengkonsumsi dan
fanatik terhadap produk tertentu dan berdampak pada loyalitas nasabah.

b) Langkah Kedua, Pengembangan diagram alur untuk menunjukkan


hubungan kausalitas
Berdasarkan pengaruh antar variabel teoritis tersebut di atas, maka dapat
dibuat model di dalam bentuk diagram path untuk mempermudah peneliti melihat
hubungan-hubungan kausalitas yang ingin diuji. Konstruk-konstruk yang
dibangun dalam diagram alur dibagi menjadi dua kelompok, yaitu konstruk
eksogen dan konstruk endogen. Konstruk eksogen dikenal sebagai “source
variables” atau “independent variables” yang tidak diprediksi oleh variable yang
lain dalam model. Konstruk endogen adalah faktor-faktor yang diprediksi oleh
satu atau beberapa konstruk endogen lainnya, tetapi konstruk eksogen hanya
dapat berhubungan kausal dengan konstruk endogen

c) Langkah Ketiga: Konversi diagram alur kedalam serangkaian


persamaan struktural dan spesifikasi model pengukuran
Setelah teori/model teoritis dikembangkan dan digambarkan dalam
sebuah diagram alur, maka rangkaian persamaan dapat dibentuk untuk
mengkonversi spesifikasi model sebagai berikut:
1) Experiential Marketing (Y1) = λ0 + λ1X1 + λ2X2+ λ3X3+ Ɛ 1
2) Loyalitas Konsumen (Y2) = λ0 + λ1X1 + λ2X2 + λ3X3 + λ4X4 + β1Y1 + Ɛ 2
Mengingat model tersebut dikembangkan untuk menjawab
permasalahan penelitian dan berbasis teori, maka dinamakan model hipotetik
penelitian.
73

Persamaan spesifikasi model pengukuran (measurement model)


Menentukan pengukuran variabel terhadap konstruk serta menentukan
serangkaian matriks yang menunjukkan pengaruh langsung yang dihipotesakan
antar konstruk atau variabel Spesifikasi model pengukuran konstruk pada
penelitian ini, sebagai berikut :

d) Langkah Keempat: Pemilihan matriks input dan teknik estimasi atas


model yang dibangun
Perbedaan SEM dengan teknik-teknik multivariat lainnya adalah pada
input data yang digunakan untuk pemodelan dan estimasinya. SEM hanya
menggunakan matriks varians/kovarians atau matriks korelasi sebagai data input
untuk keseluruhan estimasi yang dilakukannya. Matriks kovarians digunakan
karena ia memiliki keunggulan dalam menyajikan perbandingan yang valid antara
populasi yang berbeda atau sampel yang berbeda, dimana tidak dapat disajikan
oleh korelasi. Penelitian ini menggunakan teknik estimasinya maximum likelihood
estimation (ML). Maximum Likelihood merupakan metode estimasi yang
dikembangkan oleh Lawley (194), ML akan menghasilkan estimasi parameter
yang terbaik (unbiased) apabila data yang digunakan memenuhi asumsi
multivariate normality dan akan bias jika dilanggarnya asumsi multivariate
normality. Ukuran sampel yang disarankan untuk penggunaan estimasi ML ini
adalah sebesar 200 (Kline, 2010) dalam Latan, 2013:45). ML juga mensyaratkan
spesifikasi model yang valid, serta menggunakan data dengan skala continous-
interval. ML tidak reboust jika menggunakan data ordinal atau non-normal. Jika
data mengandung missing value lebih dianjurkan untuk menggunakan FIML (Full
Information Maximum Likelihood). Kelemahan dari metode estimasi ini adalah
akan menjadi sangat sensitif dan menghasilkan goodnes of fit model yang tidak
stabil apabila data yang digunakan untuk estimasi model lebih besar dari 400
(Latan, 2013:45)

e) Langkah Kelima: Menilai Problem identifikasi


Pada prinsipnya adalah problem mengenai ketidakmampuan dari model
yang dikembangkan untuk menghasilkan estimasi yang unik. Problem identifikasi
74

dapat muncul melalui gejala-gejala berikut ini :


1) Standard error untuk satu atau beberapa koefisien adalah sangat besar
2) Program tidak mampu menghasilkan matrik informasi yang seharusnya
disajikan.
3) Muncul angka-angka yang aneh seperti adanya varians error yang negatif.
4) Munculnya korelasi yang sangat tinggi antar koefisien estimasi yang didapat
(missal ≥ 0.9)
Apabila problem identifikasi ini muncul pada saat estimasi maka
sebaiknya model tersebut dipertimbangkan ulang, antara lain dengan
mengembangkan lebih banyak konstruk.

f) Langkah Keenam: Evaluasi model


Pada langkah ini kesesuaian model dievaluasi, melalui telaah terhadap
berbagai kriteria goodness-of-fit. Latan (2013:51-68) mengutip dari berbagai
penelitian, beberapa indeks kesesuaian dan cut off value yang digunakan dalam
pengujian apakah sebuah model dapat diterima atau ditolak.
1) χ2 (Chi-Square Statistic) Model yang diuji akan dipandang baik atau
memuaskan bila nilai chis-quare nya rendah. Semakin kecil nilai χ2 semakin
baik model itu (karena dalam uji beda chi-square, χ2 = 0, model dikatakan fit
jika mempunyai nilai chi-square sebesar p > 0.05, yang berarti benar-benar
tidak ada perbedaan antara input matriks kovarian yang diobservasi dengan
model yang diprediksi, H0 diterima (Latan, 2013:50).
2) CMIN/DF (χ2/df) atau sering disebut “nomal chi-square” merupakan kriteria
fit indicies yang dikembangkan oleh Wheaton et al. (1977). CMIN/DF adalah
ukuran yang diperoleh dari nilai chi-square dibagi dengan degree of freedom.
Carmines dan McIver (1981) menyatakan jika nilai CMIN/DF ≤ 3 dan ≥ 2
maka model dapat diterima. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Schumacker
dan Lomax (2010) bahwa nilai CMIN/DF yang dapat diterima adalah ≤ 2 dan
jika < 1 maka dapat disimpulkan bahwa model sangat fit.
3) GFI (Goodness of Fit Index), merupakan kriteria fit indices yang
dikembangkan oleh Joreskog dan Sorbom (1984) untuk metode estimasi
75

ML dan ULS dan dikembangkan lebih lanjut oleh Tanaka dan Huba (1985)
untuk metode estimasi GLS. GFI merupakan tingkat kesesuaian model
secara keseluruhan yang dihitung dari residual kuadrat model yang
diprediksi dibandingkan dengan data observasi yang sebenarnya. Nilai GFI
dapat dihitung dari 1 – chi-squares untuk default model dibagi dengan
chi-squares utuk null model. Nilai GFI akan berkisar antara 0 (poor fit)
sampai dengan 1,0 (perfect fit). Nilai yang tinggi dalam indeks ini
menunjukkan sebuah “better fit.” Nilai yang dianjurkan sebagai ukuran fit
model adalah > 0.09. Namun nilai GFI cenderung bias, akan overestimates jika
sampel yang digunakan besar dan akan underestimate jika sampel yang
digunakan kecil.
4) RMSEA (The Root Mean Square Error of Approximation) atau awalnya
disebut RMS merupakan kriteria fit indices yang dikembangkan oleh Steiger
and Lind (1980). RMSEA merupakan ukuran fit yang paling popular dan
banyak digunakan oleh peneliti di bidang SEM. Hal ini dikarenakan nilai
RMSE tidak overestimate atau underestimate dan tidak tergantung dari
besarnya jumlah sampel. RMSEA mengukur penyimpangan nilai parameter
suatu model dengan matriks kovarians populasinya (Browne and Cudeck,
1993). Nilai RMSE yang menunjukkan goodness of fit yang dapat diharapkan
bila model diestimasi dalam populasi. Nilai RMSEA yang ≤ 0.05
mengindikasikan fit model sangat baik (schumacker and Lomax, 2010;
Williams and Boyle, 2011), nilai RMSEA ≤ 0.06 - 0,08 mengindikasikan
goodness of fit model cukup baik (Chen et al., 2008; Hu and Bentler, 1999)
dan nilai RMSEA ≥ 1.00 mengindikasikan model perlu untuk diperbaiki
(Browne and Cudeck, 1993).
5) AGFI (Adjusted Goodness of Fit Index), fit indices ini dikembangkan oleh
Joreskog dan Sorbom (1984). AGFI merupakan pengembangan dari GFI yang
disesuaikan dengan ratio degree of freedom ntuk proposed model dengan degree of
freedom untuk null model. Tingkat penerimaan yang direkomendasikan adalah bila
AGFI ≥ 0,90 (Schumacker and Lomax, 2010). Jika nilai AGFI > 1.0
mengindikasikan bahwa model just-identified dan jika < 0 mengindikasikan bahwa
76

model mempunyai fit yang buruk.


6) TLI (Tucker Lewis Index) atau sering disebut rho2, merupakan incremental
index yang membandingkan sebuah model yang diuji terhadap sebuah
baseline model. TLI mirip dengan non-normed fit index (NNFI) pada
software. TLI merupakan salah satu fit index yang tidak terpengaruh ukuran
sampel, dimana nilai yang direkomendasikan sebagai acuan untuk diterimanya
sebuah model adalah > 0,90 (Schumacker and Lomax, 2010) namun oleh
beberapa peneliti disarankan mempunyai nilai >0.95 (Hu and Bentler, 1995)
dan nilai yang mendekati 1 menunjukkan a very good fit.
7) CFI (Comparative Fit Index), merupakan kriteria fit indices yang
dikembangkan oleh Bentler (1990) sehingga CFI juga dikenal dengan Bentler
Fit Index (BFI). CFI juga merupakan ukuran perbandingan antara model yang
dihipotesiskan dengan null model. CFI merupakan perbaikan dari NFI
sehinggat tidak dipengaruhi oleh ukuran sampel dan merupakan ukuran fit
yang sangat baik untuk mengukur kesesuaian sebuah model. Nilai CFI
direkomendasikan untuk indikasi model fit adalah >0.90 (Schumacker and
Lomax, 2010) dan beberapa penaliti menyarankan nilai CFI yang
direkomendasikan adalah > 0.95 (Brown, 2006; Hu and Bentler, 1999).
Sebuah model dinyatakan layak jika masing-masing indeks tersebut mempunyai
cut of value seperti ditunjukkan pada tabel 3.1 berikut:
Tabel 4.2. Ringkasan Goodness of-fit Indices Model pada AMOS
Goodness of-fit index Cut-off Value
χ2 – Chi-square hitung < χ2 – Chi-square table
CMIN/DF 2.00 ≥ CMIN/DF < 5
Significance Probability 0.05 ≤ P < 1
GFI 0.90 ≤ GFI < 1
RMSEA 0.08 ≤ RMSEA < 1
AGFI 0.90 ≤ AGFI < 1
TLI 0.95 ≤ TLI < 1
CFI 0.95 ≤ CFI < 1
Sumber: Data sekunder dikembangkan untuk penelitian ini
Evaluasi model struktural bertujuan untuk mengetahui besarnya
77

persentase variance setiap variabel endogen dalam model yang dijelaskan oleh
variabel eksogen dengan melihat nilai R-squares. Nilai R-squares yang
direkomendasikan sebesar 0.25, 0.45 dan 0.65 (Latan, 2013:68) yang
menunjukkan bahwa model kuat, moderate dan lemah. Nilai R-squares > 0.85
mengindikasikan bahwa terjadi problem multikolinearitas antar variabel eksogen
atau independen.
Selanjutnya evaluasi model struktural juga dilakukan dengan melihat
signifikansi P-value sebagai dasar untuk menerima atau menolak hipotesis nol.
Nilai signifikansi yang digunakan (two-tailed) P-value 0.10 (significance level =
10%), 0.05 (significance level = 5%), dan 0.01 (significance level = 1%).

g) Langkah Ketujuh : Mengintepretasikan dan memodifikasi model


Setelah melakukan evaluasi model secara keseluruhan serta penilaian
goodness of fit dan didapatkan model yang diuji ternyata tidak fit maka perlu
dilakukan modifikasi atau respesifikasi model. Modifikasi model harus didukung
oleh teori karena tujuan dari SEM adalah untuk mengkonfirmasi teori. Modifikasi
model tidak dianjurkan hanya untuk mendapatkan model yang fit tanpa ada
justifikasi teoritis (Latan, 2013:68). Modifikasi model pada program AMOS dapat
dilakukan dengan melihat output modification index (MI). Output MI pada
covariances yang mempunyai nilai terbesar harus saling dikorelasikan. Sebagai
catatan otupun MI mensyaratkan data harus bebas missing value. Jika model telah
dimodifikasi maka model yang baru harus di cross-validated dengan data yang
baru. Jumlah sampel yang direkomendasikan untuk modifikasi model harus < 800
atau berkisar antara 200-400 (MacCallum et al., 1992 dalam Latan, 2013:69)
DAFTAR PUSTAKA

Aaker, David A. and Keller, Kevin Lane, 1990, Consumer Evaluations of Brand
Extensions, Journal of Marketing, Vol. 54, No. 1 (Jan., 1990), pp. 27-41,
Published by: American Marketing Association, Article Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/1252171
Abd-El-Salam, Eman Mohamed, Yehia Shawky, Ayman And El-Nahas, Tawfik,
2013, The impact of corporate image and reputation on service quality, customer
satisfaction and customer loyalty: testing the mediating role. Case analysis in an
international service company, The Business & Management Review, Vol.3
Number-2, January 2013
Adeosun, Ladipo Patrick Kunle, and Ganiyu, Rahim Ajao, 2013, Experiential
Marketing: An Insight into the Mind of the Consumer, Asian Journal of
Business and Management Sciences, www.ajbms.org, ISSN: 2047-2528
Vol. 2 No. 7 [21-26]
Adriani Kusumawati, 2011, Analysing The Influence Of Experiential Marketing On
Customer Satisfaction And Loyalty: The Case Of Hypermart Malang
Town Square (Matos), Jurnal Manajemen Pemasaran Modern Vol. 3 No.1
Januari - Juni 2011 Issn 2085-0972
Alba, Joseph W. and Hutchinson, J. Wesley, 1987, Dimensions of Consumer
Expertise, The Journal of Consumer Research, Vol. 13, No. 4. (Mar.,
1987), pp. 411-454.
Alkilani, Khaled., Ling, Kwek Choon., & Abzakh, Anas Ahmad., 2013, The Impact
of Experiential Marketing and Customer Satisfaction on Customer
Commitment in the World of Social Networks, Asian Social Science , Vol.
9, No. 1 , January 2013
Allred, Anthony T., & Addams, H. Lon., 2000, Service quality at banks and credit
unions: What do their customers say, Managing Service Quality Volume
10 . Number 1 . 2000 . pp. 52±60, # MCB University Press . ISSN
0960-4529
Anderson, Eugene W., & Sullivan, Mary W., 1993, The antecedents and
consequences of customer satisfaction for firms. Marketing Science, Vol.
12, No. 2 (Spring, 1993), pp. 125-143.
Andreassen, Tor Wallin. & Lindestad, Bodil., 1998, The Effect of Corporate Image in
the Formation of Customer Loyalty, Journal of Service Research, August
1998 1: 82-92

i
Andreassen, Tor Wallin., 1994, Satisfaction Loyalty and Reputation as Indicators of
Customer Orientation in The Public Sector, International Journal of
Public Sector Management, Vol. 7 No. 2 1994, pp. 16-34
Asubonteng, Patrick., McCleary, Karl J. and Swan, John E., 1996, SERVQUAL
revisited: a critical review: of service quality, The Journal Of Services
Marketing, Vol. 10 No. 6 1996, Pp. 62-81 © MCB University Press,
0887-6045
Barrett, J., Lye, A., & Venkateswarlu, P., 1999, Consumer Perceptions of Brand
Extensions: Generalising Aaker & Keller’s Model, Journal of Empirical
Generalisations in Marketing Science, Volume Four
Bendapudy, Nelli. And Berry, Leornard L., 1997, Customers’ Motivations For
Maintaining Relationships With Service Providers, Journal of Retailing,
Volume 73 (1), pp. 15-37, ISSN: 0022-4359, Copyright © 1997 by New
York University
Bloemer, Josée., & Ruyter, Ko de., 1997, On the relationship between store image,
store satisfaction and store loyalty. Eur. J. Mark., 32(5/6), 499-513.
Bloemer, Josée., Ruyter, Ko de., & Peeters, Pascal., 1998, Investigating Drivers of
Loyalty: the Complex Relationship Between Image, Service Quality and
Satisfaction, International journal of marketing, Vol.17, No.7.
Bontis, Nick., Booker, Lorne D., & Serenko, Alexander, 2007, The mediating effect
of organizational reputation on customer loyalty and service
recommendation in the banking industry, Management Decision,
45(9),1425-1445.
Bouchet, Dominique., 2003, What is ”Corporate Image” and “Corporate Identity” –
and why do people talk so much about it?, Article, Department of
Marketing, University of Southern Denmark, Campusvej 55, DK-5230
Odense M, Denmark, www.bouchet.dk
Brakus, J. Jo˘sko, Schmitt, Bernd H., and Zarantonello, Lia, Brand Experience: What
Is It? How Is It Measured? Does It Affect Loyalty?, Journal of Marketing,
Vol. 73 (May 2009), 52–68 © 2009, American Marketing Association
ISSN: 0022-2429 (print), 1547-7185 (electronic)
Budi W Soetjipto, 1997, Service Quality : Alternatif Pendekatan dan Berbagai
Persoalan di Indonesia, Manajemen Usahawan Indonesia vol. 26 no. 1
(Jan. 1997), page 18-24.
Burnham, Thoma A., Frels, Judy K., & Mahajan, Vijay., 2003, Consumer switching
cost: A Typology, antecedents, and consequences, Journal of the Academy
of Marketing Science, Vol. 31, No.2, pp. 109-126

ii
Buttle, Francis., 1996, SERVQUAL: review, critique, research agenda, European
Journal of Marketing, Vol. 30 No. 1, 1996, pp. 8-32. © MCB University
Press, 0309-0566
Caruana, Albert., 2002, Service loyalty: the effects of service quality and the
mediating role of customer satisfaction. Eur. J. Mark., 36(7/8), 28-811.
Chakravarty, Sugato., Feinberg, Richard., and Rhee, Eun-Youn., 2004, Relationships
and individuals bank switching behavior, Journal of Economic Psychology
25 (2004) 507–527
Chow, Simeon., and Holden, Reed., 1997, Toward An Understanding Of Loyalty The
moderating role of Trust, Journal of Managerial Issues, Vol. IX, No.3.
Clarke, Ken., 2001, What Price on Loyalty When a Brand Switch is Just a Click
Away?,. Qualitative Market Research: An International Journal, 4 (3),
160-168.
Cronin, J. Joseph, Jr. and Taylor Steven A., 1992, Measuring service quality: a
re-examination and extension. Journal of Marketing, Vol. 58, No. 1 (Jan.,
1994), pp. 125-131
_________, 1994, SERVPERF versus SERVQUAL: Reconciling Performance-Based
and Perceptions Minus Expectations Measurement of Service Quality,
Journal of Marketing, Vol. 58, No. 1 (Jan., 1994), pp. 125-131Published
Crosby, Lawrence A. and Stephens, Nancy., 1987, Effects of Relationship Marketing
on Satisfaction, Retention, and Prices in the Life Insurance Industry,
Source: Journal of Marketing Research, Vol. 24, No. 4 (Nov., 1987), pp.
404-411 Published by: American Marketing Association, Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/3151388
David harianto dan dr. Hartono subagio, s.e., m.m., 2013, analisa pengaruh kualitas
layanan, brand image, dan atmosfer terhadap loyalitas konsumen dengan
kepuasan konsumen sebagai variabel intervening konsumen kedai deja- vu
surabaya, jurnal manajemen pemasaran vol. 1, no. 1, (2013) 1-8
Dick, Alan S., and Basu, Kunal., 1994, Customer loyalty: Toward an integrated
conceptual framework, Journal of the Academy of Marketing Science,
Spring 1994, Volume 22, Issue 2, pp 99-113
Dwi Aryani dan Febrina Rosinta, 2010, Pengaruh Kualitas Layanan Terhadap
Kepuasan Pelanggan Dalam Membentuk Loyalitas Pelanggan, Bisnis &
Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi Dan Organisasi, Volume 17, Nomor
2, Mei—Agus 2010, Hlm. 114-126, Issn 0854-3844,
Eliashberg, J. and Robertson, T. S., 1988, New Product Preannouncing Behavior: A
Market Signaling Study, Journal of Marketing Research, Vol. 25, No. 3
(Aug., 1988), pp. 282-292
iii
Faisal Rangga Buana dan Drs. H Mudiantono, Msc, 2011, Pengaruh Kepercayaan
Merek, Persepsi Switching Cost Dan Kepuasan Konsumen Terhadap
Loyalitas (Studi Kasus Pada Konsumen Pertamax Di Semarang), Jurnal
Fajrianthi dan Zatul Farrah, 2005, Strategi Perluasan Merek dan Loyalitas Konsumen,
INSAN Vol. 7 No. 3, Desember 2005
Fandy Tjiptono, Ph.D., 2014, Pemasaran Jasa – Prinsip, Penerapan dan Penelitian,
CV. Andi Offset, Yogyakarta
Fornel, Claes. dan Wernerfelt, Birger., 1987, Defensif Marketing Strategy by
Customer Complaint management: A Thoritycal Analisys, Journal of
Marketing Research, Vol. 24, No. 4 (Nov., 1987), pp. 337-346
Fornell, Claes., 1992, A national customer satisfaction barometer: the Swedish
experience. Journal of Marketing Research, 56, 6-21.
Fransisca Andreani, 2007, Experiential Marketing (Sebuah Pendekatan Pemasaran),
Jurnal Manajemen Pemasaran, Vol.2, No.1, April, pp.1-8
Geykens, Inge., Steenkamp, Jan-Benedict E. M., and Kumar, Nirmalya., 1999, A
Meta – Analisys of Satisfaction in Marketing Channel Relationships,
Journal of Marketing Research, Vol. 36, No. 2 (May, 1999), pp. 223-238.
Goodman, Paul S., Fichman, Mark., Lerch, F. Javier and Snyder, Pamela R., 1995,
Customer Firm Relationships, Involment, and Customer Satisfactions,
Academy of Management Journal, Vol. 38, No.5.
Grönroos, C., 1984, "A Service Quality Model and its Marketing Implications",
European Journal of Marketing, Vol. 18 Iss: 4, pp.36 – 44
Grozeva, Vesela Dimitrova., 2010, Dynamic Competition With Customer Recognition
And Switching Costs: Theory And Application, Dissertation Directed By:
Professor Daniel R. Vincent, Department Of Economics
Guiltinan, Joseph P. 1989. "A Classification of Switching Costs With Implications for
Relationship Marketing." In 1989 AMA Winter Educators' Conference:
Marketing Theory and Practice. Eds. Terry L. Childers, Richard P.
Bagozzi, and J. Paul Peter. Chicago: American Marketing Association,
216-220
Handro Tumpal P., 2012, Pengaruh Citra Perusahaan Dan Kualitas Pelayanan
Terhadap Kepuasan Konsumen, Management Analysis Journal 1 (1)
(2012), http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/maj
Hart, Allison E. & Rosenberger III, Philip J., 2004, The Effect of Corporate Image in
the Formation of Customer Loyalty: An Australian Replication.
Australiasian Marketing Journal. 12 (3), 2004.

iv
Hazlett, C,. 2003, Coming to a store near you: Experiential Marketing, Retail
Traffic; May 2003, Vol. 32 Issue 5, p50, http:// www.retailtraficmag.com
Hengky Latan, 2013, Model Persamaan Struktural: Teori dan Implementasi AMOS
21.0, Alfabeta, Bandung
Herman Soegoto, Pengaruh Nilai Dan Kepercayaan Terhadap Loyalitas Nasabah
Prioritas, Majalah Ilmiah Unikom Vol.7, No. 2
Hermawan Kertajaya, 2004, Marketing In Venus. Jakarta : Gramedia
_________, 2005, Empathy Has Significant Contribution In Service Studi Kasus pada
Spa Martha Tilaar. Jurnal Martha Tilaar Group. h. 27-28
_________, 2006, Hermawan Kertajaya On Marketing. PT Gramedia. Jakarta.
Holbrook, Morris B., and Hirschman, Elizabeth C., 1982, The experiential aspects of
consumption: Consumer fantasies, feeling and fun. Journal of Consumer
Research, 9(2), 132-140. http://dx.doi.org/10.1086/208906
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/11/20/1433369/Industri.Asuransi.Indon
esia.Berkembang
Hu, Hsin-Hui (Sunny), Kandampully, Jay., Juwaheer , Thanika Devi., 2009,
Relationships and impacts of service quality, perceived value, customer
satisfaction, and image: an empirical study, The Service Industries
Journal, Vol. 29, No. 2, February 2009, 111–125
Iman Mulyana Dwi Suwandi, 2007, Citra Perusahaan, Seri Manajemen Pemasaran,
http://oeconomicus.files.wordpress.com/2007/07/citra-perusahaan.pdf
Kandampully, J., & Duffy, R., 1999, Competitive Advantage through Anticipation,
Innovation and Relationships. Management Decision, 37 (1), 51-56.
Keller, Kevin Lane, Prof., 2001, Building Customer-Based Brand Equity: A Blueprint
for Creating Strong Brands, Journal of Marketing Science Institute, Report
Summary # 01-107
_________, 2006, Building Strong Brands: Three Models for Developing and
Implementing Brand Plans, Institute for Research in Marketing’s Carlson
on Branding, May 19-20, 2006
Kerin, Roger A.,Varadarajan, P. Rajan, and Peterson, Robert A., 1992. "First-Mover
Advantage: A Synthesis, Conceptual Framework, and Research
Propositions." Journal of Marketing 56 (October): 33-52
Klemperer, Paul. 1987. "Markets With Consumer Switching Costs." The Quarterly
Journal of Economics 102 (May): 375-394.

v
_________, 1995. "Competition When Consumers Have Switching Costs: An
Overview With Applications to Industrial Organization, Macroeconomics,
and International Trade" Review of Economic Studies 62:515-539.
Kotler, Philip and Keller, Kevin Lane., 2009, Manajemen Pemasaran, Edisi 13, Jilid
1, Erlangga, Jakarta.
Kotler, Philip, 2003, Marketing Insights From A to Z: 80 Konsep Yang Harus
Dipahami Oleh Setiap Manajer, Erlangga, Jakarta
Kotler, Philip, Hermawan Kertajaya, dan Iwan Setiawan, 2010, Marketing 3.0: Mulai
dari Produk ke Pelanggan ke Human Spirit, Erlangga, Jakarta.
Lee, Jonathan and Lee, Janghyuk, 1999, The Influence of Switching Costs on
Customer Retention: a Study of the Cell Phone Market in France, in E -
European Advances in Consumer Research Volume 4, eds. Bernard
Dubois, Tina M. Lowrey, and L. J. Shrum, Marc Vanhuele, Provo, UT :
Association for Consumer Research, Pages: 277-283.
Lia Wita Kumala, Zainul Arifin dan Sunarti Kumala, 2013, Pengaruh Experiential
Marketing Terhadap Kepuasan Pelanggan (Survei Pada Pelanggan KFC
Warga Jl. Jendral Basuki Rachmad Rw. 02 Kelurahan Kauman Kecamatan
Klojen Kota Malang), Jurnal, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas
Brawijaya Malang
Likert, Rensis., 1932, A Technique for the Measurement of Attitudes, Archives of
Psychology No. 140: 1–55, Volume 22 (1932-1933)
Masri Singarimbun dan S. Effendi, 1989, Metode Penelitian Survei, Pustaka LP3ES,
Jakarta
Mittal, Vikas., Ross, William T. Jr., and Baldasare, Patrick M., 1998, The
Asymmetric Impact of Negative and Positive Attribute-Level Performance
on Overall Satisfaction and Repurchase Intentions, Journal of Marketing,
Vol. 62, No. 1 (Jan., 1998), pp. 33-47
Moh Rozikin, 2013, Meningkatkan Loyalitas Pelanggan Melalui Kualitas Pelayanan,
Nilai Pelanggan Dan Kepuasan Pelanggan Pada PT. Adi Sarana Armada,
Tbk., Tesis, Fakultas Ekonomi Universitas Semarang
Muthiah, Krishnaveni, Dr. and Suja, S., 2013, Experiential Marketing – A
Designer of Pleasurable and Memorable Experiences, Journal of Business
Management & Social Sciences Research (JBM&SSR) ISSN No:
2319-5614, Volume 2, No.3, March 2013
Newman, Karin., 2001, Interrogating SERVQUAL: a critical assessment of service
quality measurement in a high street retail bank. Int. J. Bank. Mark., 19(3),
126-139.

vi
Nurdini Prihastiti dan Yatri Indah Kusumastuti, 2012, Coprorate Image Analysis on
The Implementation of Community Relations Programs by PLN, Sodality:
Jurnal Sosiologi Pedesaan | April 2012, hlm. 106-124 , Vol. 06 No. 01,
ISSN : 1978-4333
Oliver, Richard L., 1980, A cognitive model of the antecedent and consequences of
satisfaction decisions. J. Mark., 17(10), 460-469.
Paramita Mega Susanti, 2012, Analisis Pengaruh Persepsi Kualitas Layanan, Nilai
Pelanggan Terhadap Kepuasan Pelanggan Di PT. PLN (Persero) Area
Pelayanan Jaringan Semarang (Studi Kasus Di PT. PLN (Persero) UPJ
Semarang Selatan), Jurnal, Fakultas Ekonomi Universitas Semarang
Parasuraman, A, 1997, Reflections on Gaining Competitive Advantage Through
Customer Value, Journal of The Academy of Marketing Science, vol.25,
No.2, p.154-161
Parasuraman, A., Zeithaml, Valarie A., and Berry, Leonard L., 1985, A Conceptual
Model of Service Quality and Its Implications for Future Research,
Journal of Marketing, Vol. 49 (Fall 1985), p. 41-50.
_________, 1988, A Multiple-Item Scale for Measuring Consumer Consumer
Perceptions of Service Quality, Journal of Retailing, vol.64, p.12-40
Patterson, Paul G., & Smith, Tasman., 2003, A cross-cultural study of switching
barriers and propensity to stay with service providers, Original Research
Article, Journal of Retailing, Volume 79, Issue 2, 2003, Pages 107-120
Rhenald Kasali, Cracking Value: Bersih, Bersinar dan Kompetitif, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
Rust, Roland T., & Zahorik, Anthoni J., 1993, Customer satisfaction, customer
retention, and market share, Journal of Retailing , Volume 69 Number 2
summer 1993,p. 193-215.
Saha, Parmita. And Zhao, Yanni.2005, Relationship between online service quality
and customer satisfaction: A Study in Internet Banking, Master’s Thesis,
Department of Business Administration and Social Schiences , Division of
Industrial Marketing and e-Commerce, 2005:083 SHU-ISSN: 1404-5508
Same, Siiri And Larimo, Jorma, 2012, Marketing Theory: Experience Marketing And
Experiential Marketing, 7th International Scientific Conference “Business
And Management 2012” May 10-11, 2012, Vilnius, Lithuania © Vilnius
Gediminas Technical University, 2012
Samuelson, William and Zeckhauser, Richard, 1988. "Status Quo Bias in Decision
Making?', Journal of Risk and Uncertainty 1:7-59, Kluwer Academic
Publisher

vii
Schmitt, Bernd, 1999, “Experiential Marketing”, Journal of Marketing Management,
15:1-3, 53-67.
_________, 1999, Experiential Marketing: How to Get Customers to Sense, Feel,
Think, Act, Relate to Your Company and Brands. New York: The Free
Press.
_________, 2010, Experience Marketing: Concepts, Frameworks and Consumer
Insights, Foundations and Trends ®_ in Marketing, Vol. 5, No. 2 (2010)
55–112_c 2011 B. Schmitt DOI: 10.1561/1700000027
Selnes, Fred., 1993, An Examination of the Effect of Product Performance on Brand
Reputation, Satisfaction and Loyalty, European Journal of Marketing 27
(9), 19-35
Shara Fajar Febiana, 2009, Studi Tentang Experiential Marketing Untuk
Meningkatkan Loyalitas Nasabah Tesis, Magister Manajemen Program
Studi Magister Manajemen Universitas Diponegoro
Sharma, Rachma and Sharma, Vishal, 2011, Experiential Marketing: A
Contemporary Marketing Mix, International Journal Of Management And
Strategy Issn: 2231-0703, Vol. No.Ii, Issue 3, July-Dec 2011 Issn:
2231-0703
Sivadass, Eugene, and Prewitt, Jamie L. Baker, 2000, An Examination of the
Relationship between Service Quality, Customer Satisfaction, and Store
Loyalty. International Journal of Retail & Distribution Management, 28
(2), 73-82.
Smilansky, Shaz, 2009, Experiential marketing : a practical guide to interactive
brand experiences, Kogan Page Limited, London and Philadelphia
Swasta Basu D., 1999, Loyalitas konsumen Sebuah Kajian Konseptual Sebagai
Paduan Bagi Peneliti, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol 14 no.3,
pp. 73-88
Syafri Antoni, 2014, Peranan Switching Costs Memoderasi Hubungan Kualitas
Pelayanan dan Kepuasan Terhadap Loyalitas Nasabah Deposito Bank BNI
Cabang Sungai Penuh, Jurnal Pemasaran, Syafri Antoni – Univ. Bung
Hatta, Padang-2014
Taufiq Abdurrahman dan Nanang Suryadi, SE., MM., 2009, Pengaruh Service
Quality, Customer Satisfaction Dan Switching Cost Terhadap Customer
Loyalty (Studi Pada Pelanggan Telepon Bergerak Di Kota Malang),
Jurnal Aplikasi Manajemen, Volume 7, Nomor 1, Februari 2009,
Terakreditasi SK Dirjen Dikti No. 43/Dikti/Kep/2008 Issn: 1693-5241

viii
Taylor, Steven A. and Baker, Thomas L., 1994, An assessment of the relationship
between service quality and customer satisfaction in the formation of
consumers purchase intentions. J. Retailing., 70(2), 163-178.
Tengku Firli Musfar dan Vivi Novia, 2012, Pengaruh Experiential Marketing
Terhadap Customer Loyalty Pada Pelanggan Restoran Koki Sunda Di
Pekanbaru, Jurnal Ekonomi Volume 20, Nomor 4 Desember 2012
Verhoef, Peter C., Lemon, Katherine N., Parasuraman, A., Roggeveen, Anne, Tsiros,
Michael, Schlesinger, Leonard A., 2009, Customer Experience Creation:
Determinants, Dynamicsand Management Strategies, Journal of Retailing
85 (1, 2009) 31–41, 0022-4359/$ – see front matter © 2008 New York
University. Published by Elsevier Inc. All rights reserved.
doi:10.1016/j.jretai.2008.11.001
Wernerfelt, Birger. 1985. "Brand Loyalty and User Skills." Journal of Economic
Behavior and Organizations 6:381-385.
Widdis, P., 2001, Bringing brands to life: experiential marketing works by touching
customers hearts, Marketing Magazine
Wolves, D. B., 2005, Ageless Marketing Blog, http://agelessmarketing.typepad.com/
ageless_marketing/2005/01/exactly_what_is.html, January 12, 2005
Woodruff, Robert B., 1997, Customer value: The next source for competitive
advantage, Journal of the Academy of Marketing Science, Spring 1997,
Volume 25, Issue 2, pp 139-153
Yamamoto, Gonca Telli, Prof. Dr., 2000, Understanding Customer Value Concept:
Key To Success, Maltepe University, Faculty Of Economics And
Administrative Sciences
Yang, Zi-Ying and He, Ling-Yun, 2011, Goal, customer experience and purchase
intention in a retail context in China: An empirical study. African Journal
of Business Management, 5(16), 6738-6746.
Zahrina Razanah, Srikandi Kumadji dan Andriani Kusumawati, 2010, Penerapan
Experiential Marketing Strategy Dan Pengaruhnya Terhadap Kepuasan
Dan Loyalitas (Studi Pada Pelanggan Bakso Cak Kar Singosari – Malang),
Jurnal, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang
Zeithaml, Valarie A., 1988 Consumer Perceptions of Price, Quality, and Value: A
Means-End Model and Synthesis ofEvidence, Journal of Marketing, Vol.
52, No. 3 (Jul., 1988), pp. 2-22
Zeithaml, Valarie A., Parasuraman, A., and Berry, Leonard L., 1996, The
Behavioral Consequences of Service Quality, Journal of Marketing, Vol.
60, No. 2 (Apr., 1996), pp. 31-46

ix

Anda mungkin juga menyukai