Oleh :
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1
1.2 Tujuan.................................................................................................................... 3
BAB II ANALISIS HIDROLOGI .......................................................................................... 4
2.1 Tahapan Analisis Hidrologi .................................................................................. 4
2.2 Penyiapan Data Curah Hujan ................................................................................ 4
2.2.1 Penentuan Stasiun Utama ........................................................................... 4
2.2.2 Koreksi Kualitas dan Kuantitas Data .......................................................... 5
2.2.3 Analisis Curah Hujan Maksimum ............................................................. 15
2.2.4. Penentuan Perhitungan Metode Intensitas Hujan .................................... 28
BAB III TEKNIS PERENCANAAN .................................................................................... 40
3.1. Usulan Perencanaan Sistem Drainase ................................................................ 40
3.1.1. Prinsip Pengaliran Saluran ....................................................................... 40
3.1.2. Cara Penyaluran ....................................................................................... 40
3.2. Penentuan Alternatif Jalur Saluran ..................................................................... 41
3.3. Debit Banjir ....................................................................................................... 43
3.4. Penentuan Dimensi Saluran Drainase ................................................................ 44
3.5. Usaha Konservasi Sumber Daya Air .................................................................. 44
3.5.1. Sumur Resapan ........................................................................................ 44
3.5.2. Kolam Retensi .......................................................................................... 46
3.6. Waktu Konsentrasi ........................................................................................... 46
3.6.1. Waktu Penyerapan ................................................................................... 47
3.6.2. Waktu Mengalir ....................................................................................... 47
3.7. Koefisien Limpasan............................................................................................ 48
3.8. Koefisien Storage ................................................................................................ 48
BAB IV KESIMPULAN ............................................................................................................... 53
4.1. Kesimpulan .................................................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 54
1
BAB I
PENDAHULUAN
Hujan adalah sebuah presipitasi berwujud cairan, berbeda dengan presipitasi non-cair
seperti salju, batu es dan slit. Hujan memerlukan keberadaan lapisan atmosfer tebal agar
dapat menemui suhu di atas titik leleh es di dekat dan di atas permukaan Bumi. Turunya
hujan ke bumi bervariasi disebabkan oleh banyak faktor salah satunya yaitu tekanan udara
yang mempengaruhi, dengan begitu data curah hujan berbeda-beda dan dibutuhkan teknologi
untuk bisa mengakumulasi.
Data curah hujan yang bervariasi dapat direkam serta dicatat dengan bantuan stasiun
pemantau curah hujan yang dipasang oleh Institusi yang bersangkutan di beberapa wilayah
strategis sebagai titik acuan untuk didapatkan data tersebut. Maka hasil data yang didapat dari
stasiun tersebut berjumlah sangat banyak, Data tersebut akan digunakan untuk keperluan lain
seperti pembuatan bangunan pelimpah air, bendungan, drainase, sumur resapan dan lain-lain.
Dari tahun ke tahun teknologi pemantau curah hujan semakin banyak yang
memperdulikan bahkan mendapat antusias dari penduduk setempat untuk bisa mengetahui
curah hujan yang akan turun ke bumi, sehingga mereka mengantisipasi akankah terjadi
kebanjiran pada wilayah yang mempunyai dataran rendah atau tidak. Dengan begitu sistem
untuk menganalisis siklus hidrologi perlu dilakukan agar tidak terjadi hal yang tidak
diinginkan serta mengelola dengan baik dan benar guna untuk membuat sistem pengelolaan
air hujan yang perlu dilaksanakan, seperti mengalirkan air hujan ke drainase terdekat secara
cepat dan tepat. Drainase merupakan fasilitas dasar sebagai penyalur air dalam perkotaan
yang saling berhubungan dari satu ke satu lainya hingga bermuara pada lautan. Tanpa sistem
drainase, kota akan tidak sehat karena tidak ada penyaluran air buangan maupun air hujan
sehingga akan tergenang dan menyebabkan penyakit.
2
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari perencanaan sistem drainase di Kabupaten Kulonprogo adalah sebagai berikut.
1. Menentukan jalur drainase yang akan digunakan pada rancangan, serta alternatif yang
akan disediakan.
2. Mengetahui hubungan antara debit curah hujan dengan laju kecepatan pada drainase.
3
BAB II
ANALISIS HIDROLOGI
Keterangan:
n : jumlah stasiun pembanding
rx : tinggi curah hujan yang dicari
rn : tinggi curah hujan pada tahan yang sama dengan rx pada setiap stasiun
pembanding
Rx : harga rata-rata tinggi curah hujan pada stasiun pengukur yang salah satu
curah hujannya sedang dicari
Rn : harga rata-rata tinggi curah hujan pada setiap stasiun pembanding selama
5
kurun waktu yang sama
Perhitungan perbedaan curah hujan antara stasiun pembanding dan stasiun yang
kehilangan data dilakukan dengan persamaan :
Keterangan:
∆ : Persen perbedaan curah hujan antara stasiun pembanding dan stasiun yang
kehilangan data
Ri : Nilai rata-rata curah hujan selama pengamatan tiap stasiun
R : Rata-rata curah hujan dari n jumlah stasiun pengamat
n : jumlah stasiun pengamat
Berikut merupakan hasil perhitungan untuk menentukan metode yang akan digunakan
dalam melengkapi data curah hujan yang kosong.
Tabel 2.1. Tabel Perhitungan Data Curah Hujan yang Hilang Menggunakan Metode
Stasiun
Tahun Utama Stasiun Pembanding
P1 P2 P3
1990 146.736
1991 151.858 160.240 152.028
1992 138.439 144.344
1993 126.818 137.740 173.575
1994 157.044
1995 130.057 139.645 165.744
1996 128.025 134.290 182.783
1997 150.419 160.219 151.245
1998 157.658 160.579
1999 159.690 163.500 151.922
7
Kemudian dihitung besar persen perbedaan curah hujan antara stasiun pembanding
dan stasiun yang kehilangan data.
Persentase curah hujan antara stasiun pembanding dan stasiun yang kehilangan data
didapatkan sebesar 12,32%. Karena nilainya lebih besar dari 10%, maka dipilih metode
perbandingan normal untuk melengkapi data yang kosong.
b. Uji Konsistensi
Uji konsistensi curah hujan diperlukan untuk mengetahui tingkat konsistensi
intensitas suatu hujan di suatu area. Konsistensi curah hujan dapat dipenagruhi oleh beberapa
hal, diantaranya adalah :
• Terjadi perubahan pada lingkungan hidrologis
• Terjadi pemindahan tempat stasiun pengukur hujan atau pemindahan alat pengukur
• Terjadi perubahan cara pengukuran
Pengerjaan uji konsistensi dapat dilakukan dengan Teknik Kurva Massa-Ganda
(Double Mass Curve Technique) dengan langkah umum sebagai berikut :
• Mengakumulasi rata‐rata hujan stasiun dasar/pembanding dan stasiun utama mulai
dengan pengamatan kalender terakhir,kemudian diplotkan sebagai sumbu x dan y pada
suatu grafik
• Jika terjadi perubahan slope, maka data harus dikalibrasi dengan suatu faktor koreksi
Berikut ini adalah nilai koreksi untuk data yang tidak konsisten:
Hz = (tgα/ tgα0) Ho
8
tgα/ tgα0 = faktor koreksi
Berikut merupakan Uji Konsistensi yang dilakukan untuk Stasiun 1 dengan stasiun
pembanding 2, dan 3. Data curah hujan yang digunakan adalah data curah hujan yang sudah
dilengkapi dalam 30 tahun terakhir.
Tabel 2.2. Data Curah Hujan 30 Tahun
Tahun Stasiun Pembanding Rerata Akumulatif dari Bawah
Stasiun Utama Stasiun
P2 P3 Rerata Stasiun Dasar Stasiun Dasar Utama
1990 146.736 146.736 146.736 146.736 4720.341 4518.775
1991 151.858 160.240 152.028 156.134 4573.605 4518.775
1992 138.439 144.344 141.391 142.868 4417.471 4372.039
1993 126.818 137.740 173.575 155.658 4274.604 4220.180
1994 157.044 157.044 157.044 157.044 4118.946 4081.742
1995 130.057 139.645 165.744 152.694 3961.902 3954.924
1996 128.025 134.290 182.783 158.536 3809.207 3797.879
1997 150.419 160.219 151.245 155.732 3650.671 3667.823
1998 157.658 160.579 159.119 159.849 3494.939 3539.798
1999 159.690 163.500 151.922 157.711 3335.090 3389.379
9
2019 134.036 143.434 151.160 147.297 299.566 289.345
Ri 150.626 154.524 150.014 152.269 152.269 134.036
R 151.721
S 2.447
Δ 1.613
Setelah itu, dibuat grafik perbandingan antara data curah hujan kumulatif stasiun pembanding
terhadap data curah hujan stasiun utama. Berikut hasil grafik dari contoh perhitungan sebelumnya.
Kurva Konsistensi
5000.000
4500.000
4000.000
3500.000
3000.000
Axis Title
2500.000
2000.000 Linear (Series1)
1500.000
1000.000
500.000
0.000
0.000 1000.000 2000.000 3000.000 4000.000 5000.000
Axis Title
Uji Homogenitas
Data curah hujan yang telah konsisten kemudian perlu dites kehomogenannya. Pentingnya pengujian
homogenitas ditunjukkan oleh Hosking (1985) dan Wiltshire (1986). Kehomogenitasan
menunjukkan suatu daerah memiliki mekanisme produksi air yang sama. Suatu daerah yang
dinyatakan homogen berarti setiap area di daerah tersebut dapat dikatakan memiliki standar distribusi
frekuensi curah hujan yang cenderung sama. Adapun ketidakhomogenan data hujan yang didapatkan
dapat dikarenakan berbagai gangguan yang terjdi pada atmosfer.
Untuk menguji kehomogenitasan data curah hujan digunakan beberapa cara yaitu
(Sudira, 1999):
1. Plotting data
Cara ini merupakan cara paling sederhana akan tetapi kurang terpercaya. Analisis ini
dengan membuat grafik curah hujan terhadap waktu. Dari grafik yang terbentuk akan
terlihat bentuk pola hujan musiman apakah reguler atau tidak. Apabila tidak reguler,
maka perlu diperbaiki.
2. Run test
Run test dapat digunakan untuk menentukan tingkat dan periode data untuk data yang
tidak homogen.
3. Analisis kurva massa ganda
Uji Homogenitas dilakukan dengan memplot harga (TR,N) pada Grafik Uji
Homogenitas. Cara ini adalah cara yang paling sering digunakan. Berikut Grafik Uji
Homogenitas
11
Grafik Uji Homogenitas Data Curah Hujan
TR = ( R10 / R ) Tr
R10 = curah hujan tahunan dengan PUH 10 tahun
R = curah hujan tahunan rata-rata dalam suatu array data
Tr = PUH untuk curah hujan tahunan rata-rata (2,33 tahun)
2 1/2
SD = (Σ [ Ri – R ] / [ n – 1 ] )
SD = standar deviasi
n = jumlah data
R = curah hujan tahunan rata-rata dalam suatu array data
Ri = curah hujan tahunan dalam suatu array data
Rt = R – [0.78 { Ln ( Ln [ TR / { TR – 1 } ] ) } + 0.45 ] SD
SD = standar deviasi
R = curah hujan tahunan rata‐ rata dalam suatu array data
12
Tr = PUH untuk curah hujan tahunan rata-rata (2,33 tahun)
Berikut contoh Uji Homogenitas yang dilakukan untuk stasiun 1 dengan stasiun
pembanding 2 dan 3. Data curah hujan yang digunakan adalah data curah hujan yang sudah
dilengkapi dalam 30 tahun terakhir yang juga telah diuji kekonsistenannya sehingga telah
didapatkan hasil curah hujan terkoreksi seperti data tabel berikut.
14
Grafik Hasil Analisis Uji Konsistensi Data Curah Hujan
Hasil yang didapat dari penghitungan terlihat pada tabel diatas yang menunjukkan
Kurva Konsistensi
5000.000
4500.000
4000.000
3500.000
3000.000
Axis Title
2500.000
2000.000 Linear (Series1)
1500.000
1000.000
500.000
0.000
0.000 1000.000 2000.000 3000.000 4000.000 5000.000
Axis Title
titik berada diluar kurva, sehingga dapat disimpulkan data yang diolah sudah HOMOGEN.
Namun tetap dilakukan uji homogenitas dengan data yang telah dikurangi 10 tahun.
Curah Hujan
total 1513.231 1557.424 1502.461
Jumlah Data 10 10 10
Ri 151.323 155.742 150.246
R 152.437
S 2.913
15
RT 156.239
TR 2.388
frekuensi ini didasarkan pada sifat statistik data kejadian yang telah lalu untuk memperoleh
probabilitas besaran hujan di masa yang akan datang dengan anggapan bahwa sifat statistik
kejadian hujan di masa akan datang akan masih sama dengan sifat statistik kejadian hujan
masa lalu.
1. Distribusi Normal
Metode disrtibusi normal disebut juga distribusi Gauss.
XT X
KT
S
X T X KT S
1 n
R
rata−rata = ∑ Ri
n
i=1
17
Σ(𝑆𝑆 − 𝑆)
𝑆=( )
𝑆−1
Keterangan :
XT = perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T (Curah
Hujan Maksimum)
log R
log R n1
n
3. Hitung harga simpangan baku
0.5
n
log R log R
2
S n1
n 1
4. Hitung koefisien kemencengan
n
n log R T log R
3
G
n1
n 1n 2S 3
5. Hitung logaritma hujan dengan periode ulang T dengan rumus :
log RT log R KS
6. Hitung curah hujan dengan menghitung antilog dari log RT
Keterangan :
n= jumlah data
S = standar deviasi
G = koefisien kemencengan
RT = curah hujan maksimum dalam PUH T
K = Nilai variabel standar untuk R yang besarnya tergantung G. Nilai K dihitung
18
berdasarkan koefisien skew (G) dan periode ulang (T)
3. Distribusi Gumbel
Metode Gumbel Modifikasi digunakan untuk analisis suatu peluang kejadian
telah dijelaskan sebelumnya.
Tr
YTr ln ln
Tr 1
0.5
n 2
Ri R
S n1
n 1
YTr Yn
X XS
Tr
Sn
Keterangan :
YTr = reduced variable
Yn = reduced mean
S = standar deviasi
Sn = reduce standar deviation
19
n = jumlah data
Tr = periode ulang
Nilai Yn dan Sn dapat dilihat melalui table berikut:
21
50 221.494 203.63 195.418
Perhitungan
1
1. Rrata−rata = ∑n Ri
n i=1
22
2 0.5
Σ(𝑆𝑆 − 𝑆)
𝑆=( ) = 30.283
𝑆−1
6. Curah Hujan Harian Maksimum untuk PUH 2
YTr −Yn
XTr = X + S ( )
Sn
23
PUH log R K K*S log RT RT
2 2.18 -0.066 -0.003762121 2.17619 150.034
5 2.18 0.816 0.046513498 2.226465 168.4478
10 2.18 1.317 0.075071417 2.255023 179.8967
25 2.18 1.88 0.107163451 2.287115 193.6936
50 2.18 2.261 0.12888115 2.308833 203.6259
100 2.18 2.615 0.1490598 2.329012 213.3102
Perhitungan
1. Ubah data ke dalam bentuk logaritmis
Ri log Ri
2. Harga rata-rata
∑n log Ri
i=1
log R =
n
3. Simpangan Baku
1/2
𝑆𝑆𝑆𝑆)−
2
∑𝑆 (𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆
=1
𝑆 =[ ]
𝑆−1
4. Koefisien kemencengan
n∑n (logRi − logR) 3
i=1
G=
(n − 1)(n − 2)S3
5. Logaritma hujan dengan periode ulang T
log 𝑆𝑆 = log 𝑆 + 𝑆𝑆
Untuk PUH = 2
6. Curah Hujan Harian Maksimum untuk PUH = 2
𝑆𝑆 =60.70
24
1
1. Rrata−rata = ∑n Ri
n i=1
𝑆𝑆𝑆𝑆 = 𝑆 + 𝑆𝑆
Uji Kecocokan
Uji Kecocokan digunakan untuk mengetes kecocokan distribusi frekuensi sampel data
terhadap fungsi distribusi peluang, yang diperkirakan dapat mewakili distribusi frekuensi
tersebut. Pengujian yang sering dipakai adalah Chi Kuadrat.
Dengan menggunakan Uji chi-kuadrat, suatu persamaan distribusi untuk menentukan
apakah persamaan distribusi yang telah dipilih dapat mewakili distribusi statistic sampel data
yang dianalisis. Pengambilan keputusan uji ini menggunakan parameter X2, yang dapat
dihitung dengan rumus berikut.
𝑆(𝑆𝑆 − 𝑆𝑆)2
𝑆ℎ = ∑
2
𝑆=1 𝑆
𝑆
Xh2 :
parameter chi-kuadrat terhitung,
G : jumlah sub kelompok
Oi : jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok i
Ei : jumlah nilai teoritis pada sub kelompok i
Prosedur uji Chi Kuadrat :
1. Urutkan data dari pengamatan (dari besar ke kecil atau sebaliknya)
2. Tentukan range nilai peluang (P) yang akan diambil
3. Dicari nilai K, yaitu nilai variabel reduksi Gauss, untuk setiap nilai peluang
4. Nilai K tersebut kemudian dimasukkan ke dalam persamaan
X T X KT S
5. Jumlahkan data pengamatan sebesar Oi tiap-tiap sub-grup
6. Jumlahkan data dari persamaan distribusi yang digunakan sebesar Ei
N 20
Ei 4
jumlahgrup 5
25
O E 2
i i
7. Jumlahkan nilai dari seluruh G sub-grup nilai untuk menentukan nilai Chi
Ei
Kuadrat hitung
8. Tentukan derajat kebebasan dk = G – R –1 (nilai R = 2 untuk distribusi normal dan
binomial)
dk = 5 – 2 – 1 = 2
Tabel 2.9. Uji Kecocokan
peringkat R LOG R
1 195.208 2.290497612
2 181.894 2.259818374
3 179.82 2.254837993
4 160.653 2.20588884
5 155.965 2.19302715
6 155.309 2.191196623
7 155.16 2.190779771
8 152.366 2.182888066
9 148.26 2.171023996
10 147.646 2.169221686
11 137.246 2.137499696
12 134.036 2.127221459
13 130.459 2.115474045
14 127.601 2.105854078
15 127.072 2.104049865
peluang k nilai x
0.8 -0.84 135.342633
0.6 -0.25 147.4495971
0.4 0.25 157.7097362
0.2 0.84 169.8167003
26
Jumlah
No Nilai Batas Data Ei Oi - Ei (Oi-Ei)^2/Ei
Sub Grup (Oi)
1 <135.343 4 4 0 0
135.343-
2 <147.450 1 4 -3 2.25
147.450 -
3 <157.709 6 4 2 1
157.709 -
4 <169.817 1 4 -3 2.25
5 >169.817 3 4 -1 0.25
Jumlah 15 Chi Kuadrat 5.75
Jumlah
No Nilai Batas Data Ei Oi - Ei (Oi-Ei)^2/Ei
Sub Grup (Oi)
1 <2.1321 4 4 0 0
2 2.1321- <2.1657 1 4 -3 2.25
3 2.1657 - <2.1942 6 4 2 1
4 2.1942 - <2.2278 1 4 -3 2.25
5 >2.2278 3 4 -1 0.25
Jumlah 15 Chi Kuadrat 5.75
peluang k nilai x
0.8 -0.84 135.342633
0.6 -0.25 147.4495971
0.4 0.25 157.7097362
0.2 0.84 169.8167003
27
Jumlah
No Ei Oi - Ei
Nilai Batas Data (Oi-Ei)^2/Ei
Sub Grup (Oi)
1 <135.343 4 4 0 0
135.343-
2 <147.450 1 4 -3 2.25
147.450 -
3 <157.709 6 4 2 1
157.709 -
4 <169.817 1 4 -3 2.25
5 >169.817 3 4 -1 0.25
Chi
Jumlah 15 Kuadrat 5.75
Cara Perhitungan
1. Rata-ratanya dihitung
Untuk metode Gumbel dan Distribusi Normal
Σ𝑆
𝑆𝑆 =
𝑆
Untuk metode Log Pearson
Σ𝑆
𝑆𝑆 =
𝑆
2. Dicari simpangan baku untuk setiap metode
Untuk metode Gumbel dan Distribusi Normal
Σ(𝑆𝑆 − 𝑆)2 0.5
𝑆𝑆 = ( )
𝑆−1
Untuk metode Log Pearson
0.5
𝑆𝑆
Σ(𝑆𝑆𝑆𝑆 −𝑆𝑆𝑆𝑆)2
( = 𝑆
𝑆−1
) ss
3. Menentukan persamaan
X = Ri + Sd.k
4. Nilai k disubstitusi ke persamaan untuk mendapatkan nilai x sebagai batas.
28
Tabel 2.13. Rangkuman Hasil Perhitungan
PUH GUMBEL PEARSON NORMAL
2 150.411 150.03 153.351
5 173.200 168.45 170.589
10 188.288 179.9 179.617
25 207.352 193.69 188.4
29
tersebut. Diperlukan data angka pendek, misalnya 5 menit, 10 menit, 30 menit, 60 menit, dan
jam-jaman untuk membentuk lengkung IDC. Data hujan jenis ini hanya dapat diperoleh dari
pos penakar hujan otomatis. Selanjutnya, berdasarkan hujan jangka pedek tersebut lengkung
IDC dapat dibuat dengan salah satu dari persamaan Waipahu, Waipi – O – Sugar, dan Field
62 OS.
Untuk mengelola data curah hujan menjadi intensitas hujan digunakan cara statistik dari
data pengamatan curah hujan yang terjadi. Dan bila tidak dijumai data untuk setia durasi
hujan, maka diperlukan pendekatan secara empiris dengan berpedoman kepada durasi 60
menit (1 jam) dan pada curah hujan harian maksimum yang terjadi setiap tahun. Cara lain
yang lazim digunakan adalah dengan mengambil pola intensitas hujan untuk kota lain yang
mempunyai kondisi yang hampir sama. Metode yang data digunakan antara lain adalah:
1. Metode Van Breen
Teori Dasar
Penurunan rumus yang dilakukan Van Breen didasarkan atas anggapan bahwa
lamanya durasi hujan yang ada dipulau jawa terkonsentrasi selama 4 jam dengan hujan
efektif sebesar 90% hujan total selama 24 jam.
Berikut adalah persamaan Van Breen untuk kota Jakarta:
90% 𝑆 𝑆𝑆 inch jam
𝑆𝑆 = ()
4 𝑆 25.4
Persamaan Van Breen untuk kota lainnya di Indonesia:
54𝑆𝑆 + 0.07 𝑆𝑆2
𝑆𝑆 =
𝑆𝑆 + 0.3 𝑆𝑆
Keterangan:
RT = curah hujan maksimum
tc = durasi hujan (dalam jam)
Dengan persamaan diatas dapat dibuat suatu kurva intensitas durasi hujan dimana Van
Breen mengambil kota Jakarta sebagai kurva basis bentuk kurva IDF. Kurva ini dapat
memberikan kecenderungan bentuk kurva untuk daerah daerah lain di Indonesia pada
umumnya. Berdasarkan pada kurva pola Van Breen kota Jakarta, besarnya intensitas hujan
dapat didekati dengan persamaan.
Pendekatan yang dipakai Breen dan kawan-kawan sebenarnya sederhana, yakni
mengendalikan aliran air dari hulu hingga hilir dengan membangun sejumlah saluran
pemecah. Tujuannya agar pada saat debit air sungai memuncak, aliran dari hulu tidak
serempak melimpas ke wilayah komersil kota. Aliran air, baik yang berasal dari batang
30
sungai maupun saluran buatan, akhirnya ditampung pada “sungai buatan” yang dibangun di
bagian tertentu kota.
Contoh Perhitungan
Contoh perhitungan intensitas hujan pada PUH 2 tahun pada durasi 5 menit
54𝑆𝑆+ 0.07 𝑆𝑆2 54(49,523)+ 0.07 (49,523)2
𝑆= = = 152,3367
𝑆 𝑆𝑆+ 0.3 𝑆𝑆 10+ 0.3 (49,523)
durasi INTENSITAS
(menit) 2 5 10 25 50 100
150.411 173.200 188.288 207.352 221.494 235.533
5 193.64 201.07 205.72 211.39 215.47 219.43
10 176.08 184.84 190.25 196.75 201.38 205.83
20 149.04 159.15 165.38 172.82 178.08 183.12
40 114.02 124.54 131.10 139.00 144.62 150.03
60 92.33 102.29 108.59 116.25 121.75 127.06
80 77.57 86.79 92.68 99.90 105.12 110.20
120 58.78 66.60 71.67 77.97 82.57 87.08
240 34.04 39.23 42.66 47.01 50.24 53.44
2. Metode Bell-Tanimoto
Teori Dasar
Data hujan dalam selang waktu yang panjang (paling sedikit 20 tahun) diperlukan
dalam analisis data frekuensi hujan. Bila data ini tidak tersedia dan besarnya curah hujan
selama enam puluh menit dengan periode ulang 10 tahun diketahui sebagai dasar, maka suatu
rumus empiris yang disusun Bell dapat digunakan untuk menentukan curah hujan dengan
durasi 5-120 menit dan periode ulang 2-100 tahun. Rumus Bell dapat dinyatakan dalam
persamaan (Subarkah. Hidrologi untuk Perencanaan Bangunan Air. 1980) :
Keterangan:
R = curah hujan
31
T = periode ulang tahun (PUH)
t = durasi hujan (menit)
R1 = besarnya curah hujan pada distribusi jam ke 1
R2 = besarnya curah hujan pada distribusi jam ke 2
Data curah hujan maksimum untuk PUH sepuluh tahun dalam penggunaannya untuk
Metode Bell di atas, digunakan harga rata-rata distribusi hujan dua jam pertama. Intensitas
hujan (mm/jam) menurut Bell dihitung dengan persamaan berikut :
Contoh Perhitungan
Nilai 10R60 untuk PUH 2 tahun dan durasi 10 menit adalah
122.5441 87+28
𝑆60 = ( )
10
170 2
Mencari nilai RT untuk PUH 2 tahun dan durasi 10 menit
𝑆
𝑆𝑆 = (0.21 (ln2) + 0.52)(0.54(10)0.25 − 0.5) 41.4873
Mencari Nilai IT untuk PUH 2 tahun dan durasi 10 menit
60
= 12.69733
𝑆
10
PUH Durasi
X10 10R60 RT' I't
(tahun) (menit)
5 13.03341 156.4009
10 19.50935 117.0561
20 27.21059 81.63178
40 36.36896 54.55344
2 150.411 63.68565
60 42.50982 42.50982
80 47.26016 35.44512
120 54.56291 27.28145
240 68.89653 17.22413
5 16.80151 201.6181
10 25.14972 150.8983
5 20 173.200 63.68565 35.07748 105.2324
40 46.88363 70.32545
60 54.79988 54.79988
32
80 60.92359 45.69269
120 70.33765 35.16882
240 88.81528 22.20382
5 19.65197 235.8237
10 29.4165 176.499
20 41.02855 123.0856
40 54.83767 82.25651
10 188.288 63.68565
60 64.09695 64.09695
80 71.25958 53.44469
120 82.27078 41.13539
240 103.8832 25.97081
5 23.42008 281.0409
10 35.05687 210.3412
20 48.89543 146.6863
40 65.35234 98.02851
25 207.352 63.68565
60 76.38701 76.38701
80 84.92302 63.69227
120 98.04552 49.02276
240 123.802 30.9505
5 26.27054 315.2464
10 39.32365 235.9419
20 54.8465 164.5395
40 73.30638 109.9596
50 221.494 63.68565
60 85.68408 85.68408
80 95.25901 71.44426
120 109.9787 54.98933
240 138.8699 34.71748
5 29.121 349.452
10 43.59042 261.5425
20 60.79757 182.3927
40 81.26042 121.8906
100 235.533 63.68565
60 94.98115 94.98115
80 105.595 79.19625
120 121.9118 60.95589
240 153.9379 38.48447
33
Tabel 2.16. Hasil Perhitungan Intensitas Hujan Menggunakan Metode Bell-Tadimoto
durasi INTENSITAS
(menit) 2 5 10 25 50 100
150.411 173.200 188.288 207.352 221.494 235.533
5 156.40 201.62 235.82 281.04 315.25 349.45
10 117.06 150.90 176.50 210.34 235.94 261.54
20 81.63 105.23 123.09 146.69 164.54 182.39
40 54.55 70.33 82.26 98.03 109.96 121.89
60 42.51 54.80 64.10 76.39 85.68 94.98
80 35.45 45.69 53.44 63.69 71.44 79.20
120 27.28 35.45 41.14 49.02 54.99 60.96
240 17.22 22.20 25.97 30.95 34.72 38.48
Keterangan:
Xt = curah hujan harian maksimum
t = durasi hujan (dalam jam)
Untuk 0 < t < 1 jam
34
Tabel 2.17. Perhitungan Menggunakan Metode Hasper- Der Weduwen
durasi
PUH Xt Ri R I
(jam)
36
Tabel 2.18. Hasil Perhitungan Intensitas Menggunakan Metode Hasper- Der Weduwen
durasi INTENSITAS
(menit) 2 5 10 25 50 100
150.411 173.200 188.288 207.352 221.494 235.533
5 197.32 724.99 749.02 2167.96 794.33 810.91
10 164.58 439.48 461.48 884.34 403.14 521.61
20 130.76 253.44 270.48 386.05 226.48 320.01
40 97.03 135.70 146.70 173.51 118.84 180.39
60 78.77 31.64 32.69 94.62 34.67 35.39
80 66.90 26.36 70.63 78.81 28.88 29.48
120 51.98 20.07 53.79 60.02 21.99 22.45
240 31.83 12.03 32.25 35.99 13.19 13.46
37
dilihat pada tiga metode untuk mengetahui intensitas curah hujan, yaitu Metode Van Breen,
Mononobe, serta Haspers dan Der Weduwen. Untuk menentukan metode perhitungan
intensitas curah hujan tersebut secara tepat maka digunakan persamaan tetapan yang umum
digunakan yaitu Persamaan Talbot, Sherman, dan Ishiguro. Langkah pendekatan yang perlu
dilakukan adalah :
Perhitungan tetapan dapat dilakukan dengan beberapa persamaan sebagai berikut.
a. Rumus Talbot
Persamaan ini banyak digunakan karena mudah diterapkan dan tetapan-tetapan a dan
b ditentukan dengan harga yang terukur.
𝑆
𝑆=
𝑆+𝑆
Dimana :
I : intensitas curah hujan (mm/jam)
t : lamanya curah hujan / durasi curah hujan (jam)
a,b: konstanta yang tergantung pada lamanya curah hujan yang terjadi di
suatu wilayah
N : jumlah durasi curah hujan sampel
Dimana perhitungan a dan b adalah sebagai berikut :
∑[𝑆.𝑆] ∑[𝑆2]− ∑[𝑆2.𝑆] ∑[𝑆]
𝑆=
𝑆 ∑[𝑆2 ]−(∑ 𝑆 )2
∑[𝑆] ∑[𝑆.𝑆]−𝑆 ∑[𝑆2.𝑆]
𝑆=
𝑆 ∑[𝑆2]−( ∑ 𝑆 )2
b. Rumus Sherman
Persamaan ini mungkin cocok untuk jangka waktu curah hujan yang lamanya lebih
dari 2 jam.
𝑆
𝑆=
𝑆𝑆
Dimana :
I : intensitas curah hujan (mm/jam)
t : lamanya curah hujan / durasi curah hujan (jam)
a,n: konstanta
N : jumlah durasi curah hujan sampel
∑log𝑆 ∑(log𝑆)2 − ∑(log𝑆.log𝑆) ∑log𝑆
log𝑆 =
𝑆 ∑(log 𝑆)2 − (∑ log 𝑆)2
38
∑ log 𝑆 ∑ log 𝑆 − 𝑆 ∑(log 𝑆. log 𝑆)
𝑆=
𝑆 ∑(log 𝑆)2 − (∑ log 𝑆)2
c. Rumus Ishiguro
𝑆
𝑆=
𝑆 + √𝑆
Dimana :
I : intensitas curah hujan (mm/jam)
t : lamanya curah hujan / durasi curah hujan (jam)
a,b: konstanta
N : jumlah durasi curah hujan sampel
∑(𝑆√𝑆) ∑ 𝑆2 − ∑(𝑆2√𝑆) ∑ 𝑆
𝑆=
𝑆 ∑ 𝑆2 − (∑ 𝑆)2
∑(𝑆√𝑆)∑𝑆 − 𝑆 ∑(𝑆2√𝑆)
𝑆=
𝑆 ∑ 𝑆2 − (∑𝑆)2
Hasil perhitungan :
Dengan mencari standar deviasi terkecil dari hasil perhitungan
diatas, maka metode terpilih yang digunakan untuk mencari intensitas
hujan adalah Van Breen – Talbot yaitu nol.
Tabel 2.19. Data Intensitas Hujan dengan Metode Van Breen dan Persamaan
Talbot
durasi INTENSITAS
(menit) 2 5 10 25 50 100
39
Penggambaran Kurva IDF Berdasarkan Hasil Perhitungan Dengan Metode Terpilih
40
BAB III
TEKNIS PERENCANAAN
41
Maksud dari pemisahan cara penyaluran ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk keamanan bagi kesehatan masyarakat.
2. Untuk memudahkan proses konstruksi, operasi, dan pemeliharaan saluran drainase.
3. Untuk memperoleh sisi ekonomis karena dimensi saluran drainase pada sistem yang
terpisah lebih kecil daripada sistem yang tercampur.
42
Gambar 3.1. Alternatif Jalur 1
43
Tabel 3.2.1. Perbandingan Alternatif Jalur 1 dan Jalur 2
Sumur Kolam
Jalur Panjang Total Gorong-gorong
Resapan Retensi
1 23815 m 30 - 2
2 26955 m
44
3.4. Penentuan Dimensi Saluran Drainase
Kriteria-kriteria desain dan asumsi yang digunakan, yaitu:
1. Perhitungan kecepatan aliran dalam saluran menggunakan rumus Manning:
1
v = . R2/3.S1/2
𝑆
Nilai koefisien kekasaran manning yang digunakan sebesar 0,015 (untuk beton).
2. Penentuan kecepatan awal yaitu menggunakan pendekatan kecepatan trial berdasarkan
kemiringan saluran.
3. Dimensi saluran dihitung berdasarkan penampang hidrolis optimum untuk saluran
segi empat.
4. Perhitungan dimensi freeboard menggunakan rumus berikut.
f = √𝑆𝑆. 𝑆
5. Dimensi saluran drainase dihitung dengan asumsi bahwa tidak ada pengurangan
beban saluran drainase oleh sumur resapan dan kolam retensi.
45
yang masuk ke dalam sumur dan air yang meresap ke dalam tanah (Sunjoto, 1988).
Rumus dapat ditulis sebagai berikut.
Q −Fkt
H= (1 – e nr2 )
F.K
Keterangan:
H : Tinggi muka air dalam sumur (m)
F : Faktor geometrik (m)
Q : Debit air masuk (m3/s)
T : Waktu pengaliran (s)
K : Koefisien permeabilitas tanah (m/s)
R : Jari-jari sumur (m)
Nilai F tergantung dari berbagai keadaan. Keadaan lapisan tanah serta konstruksi
sumur akan berpengaruh besar terhadap besar nilai faktor geometrik sumur (F). Untuk
menghitung debit limpasan (Q), formula yang digunakan adalah sebagai berikut.
Q = C.I.A
Keterangan:
Q : Debit air masuk dari atap / lahan (m3/s)
C : Koefisien aliran permukaan atap atau lahan
I : Intensita hujan (m/s)
A : Luas atap / lahan (m2)
b. Metode Departemen Pekerjaan Umum
Standar perencanaan teknis sumur resapan dengan formula ini ditetapkan oleh
Departemen Pekerjaan Umum melalui SK SNI T-12-1990 F. Persamaan yang
digunakan untuk penentuan dimensi sumur resapan adalah sebagai berikut.
D.i.At−D.k.As
H=
As+D.k.L
Keterangan:
i : Intensitas hujan (m/jam)
At : Luas tadah hujan (m2) K
: Permeabilitas (m/jam)
L : Keliling penampang sumur (m)
As : Luas penampang sumur (m2)
D : Durasi hujan (jam)
H : Kedalaman sumur (m)
46
3.5.2. Kolam Retensi
Kolam retensi merupakan bangunan pengontrol aliran yang digunakan untuk
menampung air hujan dalam jangka waktu tertentu untuk kemudian dikeluarkan perlahan-
lahan saat muka air pada badan air penerima telah surut. Bangunan ini berfungsi melindungi
daerah hilir dari bencana banjir yang disebabkan oleh limpasan air hujan dari daerah hulu.
Pada umumnya, kondisi kolam retensi kering saat musim hujan. Kondisi kering tersebut bisa
digunakan untuk beberapa keperluan, salah satunya adalah sebagai lahan untuk bermain.
Kolam retensi memiliki beberapa fungsi, antara lain:
1. Perbaikan kualitas air
Pengendapan air pada kolam retensi dapat meningkatkan kualitas air hujan yang
meresap pada kolam retensi tersebut. Pengendapan yang terjadi adalah secara
gravitasi. Namun, apabila kecepatan air yang masuk meresap ke dalam tanah cukup
tinggi, polutan yang sebelumnya telah terendapkan di dasar kolam dapat terlarut
kembali.
2. Pengendalian Banjir
Kolam retensi dapat dirancang untuk pengendalian banjir dengan penambahan
penampungan di atas penampungan inti dan mengurangi tingkat aliran puncak dari
drainase. Rancangan untuk pengendalian banjir ini biasanya disesuaikan dengan
peraturan dari pemerintah atau berdasarkan kondisi spesifik aliran air. Dengan
mengatur beberapa periode hujan, pengendalian banjir yang sesuai dapat dilakukan
untuk kisaran waktu tertentu.
3. Pengendalian Erosi Saluran
Erosi terjadi karena terkikisnya dinding atau dasar saluran. Pengendalian dilakukan
untuk mengurangi debit agar kecepatan kritis dari saluran adalah kecepatan aliran
yang dapat menyebabkan saluran tidak mampu menampung aliran sehingga
mengakibatkan badan saluran terkikis.
47
R1,92
te=
1,11 R
Keterangan :
te : Waktu durasi hujan
R : Tinggi hujan harian maksimum
Pada umumnya, drainase perkotaan merupakan penjumlahan dua komponen, yaitu
waktu merayap dan waktu mengalir.
3.6.1. Waktu Merayap
Waktu merayap (to) yaitu waktu yang diperlukan untuk titik air yang terjauh dalam
DPS mengalir pada permukaan tanah menuju ke alur saluran permulaan yang terdekat.
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.
6,33 (n.Lo)0,6
to=
(Co Ie)0,4(So)0,3
Keterangan:
to : Waktu merayap (menit)
n : Koefisien kekasaran Manning
Lo : Panjang rayapan (m)
Co : Koefisien limpasan
Ie : Intensitas hujan (m/jam)
So : Kemiringan tanah rayapan
Jika panjang rayapan (L) > 300 m, perhitungan to harus menggunakan rumus berikut
ini.
108.n.Lo 1/3
to=
S1/5
Keterangan:
n : Kekasaran Manning
Lo : Panjang limpasan
S : Kemiringan medan limpasan rata-rata
48
4,762 Lda
t =d
(R.Ld) .(A.Cr)0,1.(Sr)0,2
0,5
Ld = 88.33 (A)0,6
Keterangan:
Lda : Panjang saluran aktual (m)
Ld : Panjang saluran ideal (m)
vd : Kecepatan rata-rata dalam saluran (m/s)
Cr : Koefisien limpasan rata-rata
R : Tinggi hujan
A : Luas DPS
Sr : Kemiringan DPS searah alur saluran
Perhitungan tc menjadi:
tc = to + td
3.7. Koefisien Limpasan
Koefisien limpasan merupakan variabel metode rasional yang ketetapannya
tergantung kepekaan designer. Nilai koefisien limpasan diambil berdasarkan periode ulang
hujan (PUH) 5 sampai 10 tahun. Nilai-nilai C yang digunakan dalam desain harus
berdasarkan tata guna lahan menurut Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota. Koefisien
limpasan diperoleh dari hasil perbandingan antara jumlah hujan yang jatuh dengan yang
mengalir sebagai limpasan dalam permukaan tanah tertentu. Rumus koefisien rata-rata
limpasan adalah sebagai berikut.
∑CiAi
Cr =
∑Ai
Keterangan:
Cr : Rata-rata limpasan
Ci : Koefisien limpasan pada tiap-tiap daerah
Ai : Luas pada masing-masing daerah
49
Contoh Perhitungan :
4,762 Lda
td =
RLd1/2 AC0,1 S0,2
50
o Tcd
Bandingkan antara te dengan tc lalu ambil yang paling besar
tcd = tc = 70.33
1
= 360 𝑥 0.8440 𝑥 0.9 𝑥 87.6851 𝑥 99.7423
= 52.6111
51
o Kedalaman Basah (Y)
𝑄 3 𝑥 𝑛3
Y = 𝑠3
52.61113 𝑥 0.0143
= 3 1
(0.0106 2 𝑥 2 ) /2
= 1.92 m
o Lebar Saluran (B)
B =2y
= 2. 1.92
= 3.82 m
o Keliling Basah (Rh)
Rh = B + (2.y)
= 3.82 + (2. 1.92)
= 7.67
o Freeboard (F)
F = (2.5 x y)^1/2
= (2.5 x 3. 1.92)^1/2
= 2.19 m
52
BAB IV
KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan
Dengan menggunakan persamaan dasar metode Talbot, Sherman, dan Ishiguro, kejadian
hujan menurut durasi dan ketebalannya dapat dirumuskan polanya dalam bentuk persamaan-
persamaan.
Rumusan pola intensitas hujan (persamaan) ketiga metode tersebut digunakan untuk memprediksi
besarnya intensitas hujan untuk suatu durasi hujan tertentu pada peluang (periode ulang) ketika
hujan tertentu pula.
Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa pola intensitas hujan menurut metode Van Breen
dengan persamaan Talbot paling baik digunakan untuk memprediksi intensitas hujan pada stasiun
satu (I).
53
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2014. http://kumpulengineer.blogspot.com/2014/03/langkah-langkah-perencanaan-
drainase.html diakses pada tanggal 31 April 2016.
Anonim.2015.http://blorastudio.blogspot.com/2015/03/prinsip-dasar-sistem-drainase-
perkotaan.html diakses pada tanggal 30 April 2016.
Bisca, Patiarma Clara.dkk. 2011. Laporan Tugas Akhir Hidrologi. Bandung: Institut
Teknologi
Moduto. 1998. Drainase Perkotaan Volume I. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
54