Anda di halaman 1dari 23

ANALISIS PERBEDAAN METADATA MARC DAN DUBLIN CORE

Riyan Sanjaya

Pendahuluan

Perpustakaan berfungsi sebagai pusat penyimpanan informasi tercetak maupun non cetak.
Koleksi perpustakaan akan sulit dan bahkan tidak dapat ditemukan jika tidak ditata secara
sistematis menurut sitem tertentu. Proses tersebut dikenal dengan istilah temu balik informasi
atau biasa disebut information retrieval. Dalam proses temu kembali informasi para pemustaka
biasa menggunakan catalog sebagai media temu balik informasinya. Catalog pada mulanya
hanya menggunakan sistem manual, namun seiring perkembangan zaman lahirlah catalog dalam
bentuk online. Perubahan ini muncul sebagai alternative dalam proses temu balik informasi pada
era komputerisasi.

Menurut putu laxman pendit dalam buku perpustakaan digital dari A sampai Z (2008:166)
mengatakan; Metadata dapat diartikan sebagai sesuatu yang lebih tinggi dari data atau superior
dari data. Ketika pada tahun 1960-an, kira-kira bersamaan dengan mulai digunakannya konsep
metadata dalam dunia komputer, kalangan perpustakaan juga mulai menggunakan komputer
untuk pengkatalogan. Kalangan perpustakaan tetapi tidak memakai istilah metadata melainkan
membuat konsep dan aplikasi baru yang bernama Machine Readable Cataloging alias MARC.
MARC adalah standar untuk kounikasi data katalog di dunia perpustakaan dan informasi, pada
dasarnya MARC adalah format data ( atau lebih tebatnya:sekumpulan foramt data) yang
memungkinkan pertukaran data katalog atau data lainnya yang terkait antara sistem-sistem
perpustakaan yang memakai komputer. Kemunculan metadata yang dalam dunia perpustakaan
disebut MARC tersebut secara langsung mempunyai peran penting dalam dunia perpustakaan
dalam retrieval information repositori Perpustakaan digital, yang mana dapat memberpermudah
dalam pengelolaan informasi yang semakin banyak dan semakin melimpah.

Metadata

Pengertian Metadata

Metadata adalah informasi terstruktur yang mendeskripsikan, menjelaskan, menemukan, atau


setidaknya membuat menjadikan suatu informasi mudah untuk ditemukan kembali, digunakan,
atau dikelola. Metadata sering disebut sebagai data tentang data atau informasi tentang informasi.
Metadata ini mengandung informasi mengenai isi dari suatu data yang dipakai untuk keperluan
manajemen file/data itu nantinya dalam suatu basis data. Jika data tersebut dalam bentuk teks,
metadatanya biasanya berupa keterangan mengenai nama ruas (field), panjang field, dan tipe
fieldnya: integer, character, date, dll. Untuk jenis data gambar (image), metadata mengandung
informasi mengenai siapa pemotretnya, kapan pemotretannya, dan setting kamera pada saat
dilakukan pemotretan. Satu lagi untuk jenis data berupakumpulan file, metadatanya adalah
nama-nama file, tipe file, dan nama pengelola (administrator) dari file-file tersebut.
Metadata pada prinsipnya memiliki fungsi yang hampir sama dengan katalog di perpustakaan
yakni :
a. Merupakan perwakilan atau reperesentasi dari sebuah dokumen atau sumber informasi.
b. Fasilitator agar sumber informasi mudah di temukan dengan menggunakan kriteria yang
relevan.
c. Mengidentifikasi sumber.
d. Mengelompokkan sumber yang memiliki kemiripan.
e. Membedakan sumber yang tidak memiliki kemiripan.
f. Memberikan informasi tentang lokasi sumber.

Sumber : www.esri.com
Metadata sebenarnya digunakan untuk menyimpan data dan mempermudah dalam penyimpanan
dan pencarian data. Sebenarnya metadata sudah di gunakan semenjak dulu ketika perpustakaan
masih non-digital, tetapi masih dengan menggunakan sistem yang sederhana dan kuno, sekarang
dengan perkembangan zaman yang semakin maju dan teknologi sudah mulai berkembang
metadata yang digunakan sudah berkembang juga seperti contoh metadata dengan menggunakan
digital di perpustakaan di terapkan dalam MARC dan AACR. Metadata yang sekarang sudah
semakin maju dan berkembang dan sudah bisa menggambarkan data yang berbentuk lebih
banyak tidak hanya data-data saja akan tetapi berbentuk gambar, objek dan non-elektronik
lainnya.
Metadata di bagi menjadi tiga jenis utama, yaitu:

• Metadata deskriptif yaitu menggambarkan sumber daya untuk tujuan seperti penemuan dan
identifikasi. Metadata deskriptif dapat mencakup unsur-unsur seperti judul, abstrak, penulis, dan
kata kunci.

• Metadata struktural yaitu menunjukkan bagaimana benda-benda sejenis diletakkan bersama-


sama, misalnya, bagaimana halaman diperintahkan untuk membentuk secara bersamaan.
• Metadata Administrasi yaitu menyediakan informasi untuk membantu mengelola sumber
daya, seperti kapan dan bagaimana ia diciptakan, berkas jenis dan teknis lainnya informasi, dan
siapa yang dapat mengakses itu hal ini lebih di tunjukkan kepada pengguna.
Metadata merupakan kunci dari suatu perusahaan atau dalam hal ini adalah perpustakaan karena
semua kegiatan dan data-data perpustakaan dapat di berjalan dengan baik jika memiliki metadata
yang baik. Kegiatan perpustakaan ke depannya bergantung kepada metadata yang baik agar
dalam mengakses data di masa depan tidak mengalami kesulitan.

Data yang tersimpan di dalam metadata biasanya bisa tersimpan secara terpisah. Jenis metada di
bedakan menjadi dua yaitu manajemen metada yang biasanya menyimpan atau berisi data-data
penting seperti, data pegawai, data keuangan dan data lainnya. Sedangkan data pelestarian
metadata yaitu berisi informasi yang dibutuhkan untuk arsip dan melestarikan sumber daya.

Bagi dunia perpustakaan dan informasi dasawarsa terakhir abad ke-20 adalah suatu periode luar
biasa, karena penuh gejolak, kreativitas dan perubahan. Ada World Wide Web (WWW), ada
perpustakaan digital dan ada metadata. Kata “metadata” pada tahun 1990-an menjadi salah satu
kata paling top dalam literatur dan diskusi kalangan pustakawan dan profesional informasi lain.
Waktu itu kata ini punya semacam aura misterius. Dulu, kalau seorang bisa bicara tentang
metadata dia dikagumi karena itu bisa berarti dia mendalami bidang filsafat. Tahun 90-an bisa
berarti dia orang TI (teknologi informasi), pintar dan canggih. Apalagi kalau dia bilang bahwa
pekerjaannya adalah membuat metadata. Berarti dia istimewa, bikan pustakawan biasa, gajinya
juga bukan gaji pustakawan biasa.

“Kita hidup di tengah-tengah suatu revolusi representase pengetahuan, demikian Dillon (2001)
menegaskan ketika sedang berbicara pada konperensi khusus tentang pengawasan bibliografi
untuk abad ke-21. “Kertas dan tinta setelah evolusi yang pelan-pelan dan mencakup kurun waktu
yang cukup lama menjadi bentuk terpenting untuk representasi pengetahuan. Sekarang kita
sedang bergeser ke bentuk-bentuk digital untuk representasi pengetahuan, dan Web sebagai
saluran distribusi utama”. Apa dampak pergeseran ini pada perpustakaan? Dan pada katalog
perpustakaan? Apakah masih akan ada tempat bagi keduanya? Dan seperti apa wujud dan isi
keduanya kelak? Tidak ada yang dapat menjadi dengan pasti. Ada banyak dugaan, perkiraan dan
ramalan. Dari yang cukup rasional hingga ke yang futuristik. Bab ini akan bertolak dari apa yang
dikemukakan Dillon (2001), yaitu bahwa : The library has to be reconceived as a unified
cooperative, and cataloging has to be redefined as a function within that cooperative. Maka, jika
dulu, pada zaman kertas dan tinta, tugas pustakawan adalah membuat cantuman bibliografi untuk
disusun dalam katalog lokal, sekarang tugasnya ialah membuat cantuman yang cocok untuk
suatu katalog universal untuk sumber-sumber berbasis web. Lagipula, katalog ini harus dapat
bekerjasama dengan mulus dengan katalog dan sarana bibliografi lain dari dunia kertas, yang
dimasa depan tidak serta merta lenyap. Pandangan inilah yang menjadi konteks tulisan ini.

penulis akan memperkenalkan tiga skema metadata terpenting untuk kalangan pustakawan yaitu
Dublin Core, MODS (Metadata Object Description Schema) dan METS (Metadata Encoding and
Transmission Standard). Asumsi penulis ialah pembaca adalah praktisi yang sudah mengenal
MARC (Machine Readable Cataloguing), maka tidak perlu ada bagian yang memperkenalkan
MARC. Cukup penjelasan mengenai masa depan MARC. Sesuatu itu masalah standardisasi
skema metadata, pengawasan bibliografi, metadata interoperability menyusul, dan sebagai
penutup beberapa petunjuk praktis untuk membuat metadata yang baik.

Salah satu definisi metadata yang lebih rinci berbunyi: “Metadata are structured, encoded data
that describe characteristics of information bearing entities to aid in the identification,
discovery, assessment and management of the described entities.” Definisi ini disepakati oleh
Task Force on Metadata CC:DA (Committee on Cataloging: Description and Access) dari ALA
(American Library Association), setelah mempelajari lebih dari 40 definisi. Definisi ini
menunjukkan bahwa metadata adalah data yang (1) terstruktur, (2) ditandai dengan kode agar
dapat diproses oleh komputer, (3) mendeskripsikan ciri-ciri satuan-satuan pembawa informasi,
dan (4) membantu identifikasi, penemuan, penelitian, dan pengelolaan satuan pembawa
informasi tersebut. Definisi ini tidak membatasi metadata pada data tentang yang diciptakan dan
harus diproses dengan bantuan komputer, atau pada data yang mendeskripsikan sumber-sumber
digital saja, seperti beberapa definisi lain.

Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya metadata hanya istilah baru,
bukan konsep yang 100% baru. Suatu kartu katalog atau entri dalam bibliografi adalah metadata,
cantuman bibliografi berformat MARC adalah metadata,. Begitu pula suatu finding aid bahan
kearsipan yang disusun sesuai EAD (Encoded Archival Description). Memang sejak dulu
pustakawan dan arsiparis, dan juga kurator museum, telah menciptakan apa yang sekarang
disebut metadata untuk memungkinkan pengelolaan dan temu balik berbagai obyek warisan
budaya yang dipercayakan pada mereka. Yang baru adalah bahwa kini beragam komunitas mulai
merasakan perlunya format yang tersetruktur dan standar untuk data yang mendeskripsikan
obyek-obyek yang dikelola kemampuan komputer untuk memproses data semakin besar dan
canggih. Komunitas yang sibuk merancang format atau skema metadata punya latar belakang
dan profesi yang berbeda-beda, mencakup berbagai disiplin ilmu, dan melibatkan praktisi dari
berbagai bidang seperti penerbit, perancang dan produsen media interaktif dan perangkat lunak,
ahli teknologi informasi. Ada yang punya tujuan komersial, ada yang murni pelayanan, ada
kombinasi. Jadi tidak terbatas pada lingkugan perpustakaan, kerasipan, dan musium. Bahkan
ketika istilah metadata pada tahun 1990-an pertama-tama mulai digunakan dalam arti
sekelompok data yang mendeskripsikan suatu obyek, istilah ini digunakan untuk suatu standar
data geospatial, yaitu CSDGM (Content Standar for Digital Geospatial Metadata). Mari
Berkenalan Dengan Keluarga Besar Metadata
Secara garis besar metadata dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis:

1. Metadata Deskriptif
Data ini mengidentifikasi sumber informasi sehingga memperlancar proses penemuan (discovert)
dan seleksi. Data ini mencakup unsur-unsur seperti pengarang, judul, tahun terbit, tajuk subyek
atau kata kunci dan informasi lain yang lazimnya dicatat dalam proses pengatalogan tradisional.
Di lingkungan perpustakaan dilakukan pembuatan cantuman bibliografi berdasarkan ISBD
(Internatioanl Standar Biblographic Description), AACR, bagan klasifikasi seperti DDC (Dewey
Decimal Classification), UDC (Universal Decimal Representation atau document surrogate)
standar yang berfungsi sebagai cantuman biblografi. Dunia arsip menciptakan finding aids.

2. Metadata Administratif
Data yang memberikan informasi utnuk pengelolaan sumber informasi seperti kapan dan
bagaimana diciptakan, tipe berkas (File), data teknis lain, dan siapa pemiliknya, serta siapa saja
yang berhak mengaksesnya. Metadata administratif mencakup pula data berkenaan dengan hak
kekayaan intelektual dan seluk-beluknya (rights management metadata), penyimpanan
(archiving) dan pelestarian sumber informasi (preservation metadata).

3. Metadata Struktural
Data ini menjelaskan bagaimana suatu obyek digital terstruktur sehingga dapat digabungkan
menjadi satu kesatuan logis. Sumber digital berupa buku misalnya, terdiri dari atas beberapa bab,
dan tiap bab terdiri atas halaman-halaman yang masing-masing merupakan suatu berkas digital
tersendiri. Metadata struktural diperlukan untuk mengetahui hubungan antara berkas fisik dan
halaman, halaman dan bab, dan bab dengan buku sebagai produk akhir. Inilah kemudian
memungkinkan perangkat lunak menampilkan daftar isi buku lalu langsung memunculkan bab
yang dipilih (dengan click) oleh pengguna, atau bernavigasi ke bagian (halaman) lain dari
“buku”. Contoh lain: Obyek multimedia yang terdiri atas komponen audio dan teks perlu
sinkronasasi, dan untuk ini harus ada metadata struktural.

Ketika sumber-sumber informasi (information resources) yang tersimpan di perpustakaan dan


lembaga serupa tidak lagi terbatas pada monograf, terbitan berseri, bahan audio-visual, dan
format lain yang masih analog, “pra-komputer” atau “nir-komputer”, sistem-sistem dan praktek-
praktek pengatalogan yang asal mulanya didesain dan dikembangkan untuk pengatalogan buku,
harus disesuaikan dengan drastis. “…… these system were jolted in the twentith century by
information explosions, the computer revaluation, the proliferation of new media, and the drive
toward universal bibliographic control,” demikian kata Elaine Svenonius (2000). Metadata
diharapkan bisa menjadi salah satu sarana untuk menjinakkan pertumbuhan liar akibat eksplosi,
revolusi dan proliferasi ini. Pengatalogan tradisional saja tidak cukup. Pengantalogan tradisional
menghasilkan data deskriptif yang masih tetap diperlukan, khususnya untuk proses resource
discovery, namun pengatalogan ini tidak dapat menampung berbagai data lain yang amat
penting. Peralihan dari sumber yang tangible, yaitu sumber yang mempunyai wujud fisik, yang
dapat disentuh, dibawa-bawa, ditaruh di rak, ke sumber yang intangible, seperti sumber digital,
dengan sendirinya mempengaruhi metode pengumpulan, pengelolaan dan temu kembali. Apa
yang cocok untuk sumber yang statis seperti buku atau jurnal tercetak tidak cocok untuk sumber
yang dinamis seperti situs web. Ada pula peralihan dari ownership ke access, peralihan dari
koleksi yang berada dalam batas-batas dinding gedung perpustakaan ke koleksi yang tersebar
sampai ribuan kilometer jauhnya dari lokasi perpustakaan dimana kita sampai ribuan kilometer
jauhnya dari lokasi perpustakaan di mana kita sedang berada, tapi dapat diakses lewat berbagai
jaringan. Semua ini adalah realitas baru. Era internet menghadirkan arena baru yang penuh
tantangan untuk para profesional informasi. Metadata dibuat berdasarkan suatu skema metadata,
yaitu sekelompok unsur metadata beserta peraturan untuk menggunakannya, yang dirancang
utnuk suatu tujuan spesifik, misalnya untuk lingkungan tertentu atau untuk deskripsi sejenis
sumber informasi tertentu.

Suatu skema metadata memiliki 3 aspek: (1) Semantik, (2) Isi, dan (3) Sintaksis.
• Semantik (semantics), yaitu definisi makna unsur-unsur skema bersangkutan. Tiap unsur diberi
nama dan definisi. Biasanya disertai keterangan status unsur tersebut: apakah wajib (mandatory),
pilihan (optional), atau wajib pada kondisi tertentu (mandatory if applicable). Juga disebutkan
unsur mana boleh diulang (repeatable).
• Isi (content), yaitu peraturan untuk nilai unsur-unsur, atau peraturan untuk mengisi unsur
skema. Skema Semantik misalnya menentukan bahwa ada unsur yang diberi nama “Pengarang”,
lalu peraturan untuk isi menetapkan kriteria untuk menentukan siapa yang “Pengarang” dan
bagaimana nama orang terpilih harus dicantumkan. Apakah nama sesuai dengan bentuk yang
ditemukan pada halaman judul buku ? Atau menurut format tertentu, misalnya: Nama Keluarga,
Nama Kecil? Atau bentuk tajuk nama (name authority list)? Apakah untuk subyek harus dipakai
daftar tajuk subyek? Peraturan is sangat penting karena membantu menjamin keseragaman dan
konsistensi pengisian unsur-unsur, dan ini mempermudah tercapainya kecocokan atau match
dalam proses temu kembali.
• Sintaksis, yaitu peraturan untuk encoding, bagaimana unsur-unsur skema itu dialihkan ke
dalam bentuk machine-readable (terbacakan mesin), alias dapat dibaca dan diproses oleh
komputer.untuk itu biasanya digunakan SGML (Standars Generalized Mark-up Language) atau
XML, yang dikembangkan oleh W3C (Worid Wide Web Consortium), adalah sautu subset dari
SGML. XML lebih mudah daripada SGML karena punya peraturan yang jelas dan konsisten,
tidak begitu banyak feature dan pilihan yang justru bisa membuat bingung. Beberapa ciri lain
yang menunjang popularitas XML sebagai sarana encoding ialah kebebasan untuk menetapkan
sendiri tengara (tag) yang cocok serta human-readable (musah dimengerti awam), dan
kemudahan dalam pertukaran data terstruktur. Maka bisa dikatakan bahwa XML telah menjadi
standar de-facto untuk representasi metadata, khususnya untuk sumber-sumber internet (internet
resources). Contoh berikut memperlihatkan cantuman yang dibuat dengan MODS (Metadata
Object Description Standard) menggunakan XML.
Contoh skema metadata (disusun menurut abjad) :

1. CDWA (Categories for Descriptions of Works of Art) : skema untuk deskripsi karya seni.
2. DCMES (Dublin Core Metadata Element Set) : skema umum untuk deskripsi beraneka ragam
sumber digital.
3. EAD (Encoded Archival Description) : skema untuk menciptakan sarana temu kembali bahan
kearsipan (archival finding aids) dalam bentuk elektronik.
4. GEM (Gateway to Educational Materials) : skema untuk bahan pendidikan dan pengajaran.
5. MARC (Machine Readable Cataloguing) : skema yang digunakan di lingkungan perpustakaan
sejak tahun 1960-an untuk membuat cantuman bibliografi elektronik standar.
6. METS (Metadata Encoding and Transmission Standard) : skema metadata untuk objek digital
kompleks yang tersimpan dalam koleksi perpustakaan.
7. MODS (Metadata Object Description Standard) skema untuk deskripsi rinci sumber-sumber
elektronik.
8. MPEG (Moving Pictures Experts Group) MPEG-7 dan MPEG-21 : standar untuk rekaman
audio dan video dalam bentuk digital.
9. ONIX (Online Information Exchange), untuk data bibliografi lingkungan penerbit dan
pedagang buku.
10. TEI (Text Encoding Initiative : panduan untuk encoding teks dalam bentuk elektronik
menggunakan SGML dan XML khususnya untuk kalangan peneliti teks bidang humaniora.
11. VRA (Visual Resources Association) core : skema untuk deskripsi karya visual dan
representasinya.
Skema metadata bisa bersifat khusus, artinya community specific atau domain-specific, misalnya
CDWA, GEM, VRA, CSDGM. Skema juga bisa dirancang untuk umum yang memperlancar
pencarian dan pertukaran informasi antar domain yang berbeda (cross-domain discovery), seperti
DCMES. Unsur-unsur Dublin Core sengaja dibatasi pada 15 unsur saja, yang semuanya boleh
diulang dan dapat dipilih (optional). Sejak awal Dublin Core dimaksudkan sebagai skema yang
dapat dipakai di semua negara, oleh semua jenis komunitas, institusi, dan untuk semua jenis
informasi.
Sedikit Cerita Tentang DCMES Kisah DCMES (Dublin Core Metadata Element Set) berawal
dengan serangkaian diskusi pada bulan Oktober 1994 di Chicago. Ketika itu di sana sedang
berlangsung Internasional Word Wids Web Conference ke-2 yang dihadiri juga oleh tukoh dari
lingkungan perpustakaan, khususnya dari OCLC (Online Computer Libraty Center) salah satu
topik yang ramai dibicarakan adalah publikasi ilmiah lewat WWW, dan masalah temu balik
sumber informasi di WWW yang bukan semakin mudah tetapi semakin kompleks. Disepakati
bahwa perlu diadakan suatu lokakarya untuk membahas kemungkinan menciptakan suatu format
metadata yang dapat mempermudah recource discovery dari web recources. NCSA (National
Computational Science Alience dari Amerika Serikat) dan OCLC menjadi pemakarsa lokakarya
ini yang diadakan di lokasi OCLC, di Doublin, Ohio, pada tahun 1995. Hasil dari lokakarya ini
adalah Doblin Core. Lokakarya pertama ini diusul serangkaian lokakarya internasional yang
bertujuan mengembangkan dan menyebarluaskan penerapan Doublin Core khususnya, dan
standar metadata lain yang dapat meningkatkan resource Discovery umumnya. DCMI adalah
organisasi yang berada di belakang kegiatan ini.

Metadata dapat dijadikan bagian dari suatu resource, dapat juga disimpan dan ditampilkan
terpisah dari yang dideskripsikan. KDT (Katalog dalam Terbitan) atau CIP (Cataloging in
Publication) pada verso halaman judul buku adalah contoh dari metode pertama, sedangkan kartu
katalog atau cantuman OPAC adalah contoh dari yang kedua. Metadata Dublin Core dapat
menjadi bagian dari resource, disusun oleh pecipta resource atau oleh orang lain, atau terpisah
dari resource sebagai entri katalog atau pangkalan data. Di bawah ini diperhatikan contoh
metadata Dublin Core yang “tertanam” (embedded) dalam resource sebagai bagian dari header.
Sedikit Cerita Tentang MODS MODS (Metadata Object Description Schema), yang resmi
diperkenalkan pada tahun 2002, merupakan hasil kerjasama Network Development and MARC
Standards Office dari Library of Congress, dibantu pakar-pakar bidang pengawasan bibliografi.
Skema ini dikembangkan sebagai respons terhadap keluhan bahwa skema Dublin Core terlampau
sederhana untuk lingkungan perpusatakaan, sedangkan format MARC 21 yang lengkap terlalu
kompleks dan kurang user-friendly untuk pengguna di luar sistem perpustakaan. Hasilnya ialah
suatu skema XML untuk metadata deskripsif ayng dapat digunakan untuk berbagai tujuan, tetapi
khususnya cocok untuk aplikasi perpustakaan. Skema terdiri atas ruas-ruas MARC 21 terpilih
yang dikelompokkan kembali agar lebih cocok untuk deskripsi obyek digital. Berbeda dengan
MARC yang menggunakan tengara (tags) numerik, MODS menggunakan tengara kata-kata.
Salah satu keuntungan besar tentu saja kompatibalitas antara cantuman MODS dan cantuman
MARC. MODS dapat menampung data dari cantuman MARC untuk konversi atau dapat dipakai
untuk resource description baru.

Dalam penjabaran rencana strategi Cataloging Derectorate Library of Congress (2004) yang
berisi rekomendasi untuk cara-cara mengatalog sumber-sumber elektronik dijelaskan bahwa
dengan menggunakan MODS sebagai sarana pengawasan bibliografi dan akses, perpustakaan
akan mendapatkan banyak keuntungan dan kemudahan, antara lain :

1. MODS adalah skema XML, dan XML adalah bahasa yang dikembangkan W3C maka dengan
demikian pengguna MODS akan dapat dengan lebih mudah memanfaatkan semua sarana dan
jasa yang sudah dan akan dikembangkan dengan XML.
2. Skema memakai tengara (tag) XML yang memonik dan mudah dimengerti oleh spesialis
maupun non-spesialis.
3. Tampilan cantuman MODS fleksibel sebab dibuat dan diganti dengan mudah dengan style
sheets.
4. Pembuatan metadata mudah dilakukan dengan menggunakan templates.
5. Struktur XML menjadikan MODS kompatibel dengan standar lain yang berbasis XML
sehingga data deskriptif MODS dapat dikemas menjadi satu dengan jenis metadata lain
(misalnya metadata pelestarian, administratif, struktural).
6. Skema XML extensible dapat diperluas, misalnya dengan unsur dari skema metadata lain,
atau unsur khusus untuk keperluan local.
7. MODS tidak terikat pada skema tertentu untuk deskripsi isi (tidak terikat AACR2, pungtuasi
ISBD). Pengguna MODS dapat menetapkan peraturan isi yang berlaku di institusi masing-
masing untuk menjaga kualitas data dan konsistensi.

Tabel 8 : Skema MODS terdiri atas Top Level Elements titleInfo Abstract Identifier
Name Table of contents Location Type of resourc Target audience Access condition
Genre Note Part Origin info Subject Extension Language Classification Record info Physical
description Related item Satu unsur dapat terdiri atas beberapa sub-unsur, dan unsur maupun
sub-unsur perlu disertai atribut yang memberi informasi lebih khusus mengenai unsur atau sub-
unsur. Misalnya mempunyai sub unsur : title, sub-title, partNumber, partName, nonSort,
sedangkan atribut bisa berupa : ID, type (judul yang disingkat, terjemahan, alternatif, seragam),
authority (authority list/file atau daftar kendali yang dipakai), displayLabel (jika ada keterangan
tambahan tentang judul yang harus ditampilkan), xlink (link eksternal), lang (bahasa), xml : lang
(bahasa suatu unsur, dinyatakan dengan menggunakan kode 2 karakter dari ISO 639-1), script
(aksara), transliteration. Metadata yang dibuat dengan MODS terstruktur, lengkap dan rinci,
dengan granularity yang baik. Dalam konteks metadata, granularity mengacu ke halus atau
kasarnya butir-butir (data). Jika misalnya sesuai peraturan skema unsur nama pengarang dicatat
sebagai berikut : William Shakespeare maka metadata ini disebut kurang granular dibandingkan
dengan metadata berikut :
Hillman Diane Contoh metadata kedua memungkinkan penyusunan daftar nama pengarang
menurut abjad nama keluarga, maupun abjad nama kecil apabila dikehendaki, sedangkan yang
pertama tidak. Skema yang membagi keterangan tentang publikasi menjadi tiga unsur atau tiga
ruas/subruas dengan tag masing-masing lebih granular daripada skema yang menjadikannya satu
unsur. Butir-butir yang lebih halus meningkatkan fleksibilitas. Unsur resource discovery tentu ini
lebih menguntungkan, namun di sisi lain untuk pembuatan metadata yang lebih granular
diperlukan lebih banyak waktu dan juga tenaga yang mampu mengidentifikasi butir demi butir,
lalu melakukan encoding yang tepat. Seperti biasa, yang paling baik ialah tetapkan yang
ditengah-tengah : tidak terlalu halus, tidak kurang, dapat ditangani oleh staf, dan sesuai
kebutuhan pencari informasi.

Sedikit (Lagi!) Cerita Tentang METS Pada tahun 2001 Digital Library Federation (DLF)
mengadakan pertemuan yang dihadiri para pakar yang aktif dalam beberapa proyek perpustakaan
digital untuk bertukar pikiran tentang pengalaman mereka dengan metadata, dan untuk
memutuskan langkah-langkah ke depan. Hasil dari pertemuan itu adalah ide untuk METS
(Metadata Encoding and Transmission Standard), yaitu satu dokumen XML yang mengemas
metadata untuk sumber digital menjadi suatu “paket” yang sekaligus berisi metadata deskriptif,
administratif, struktural, legal, dan data lain yang dibutuhkan untuk menemukan, mengelola,
menampilkan, melestarikan sumber-sumber digital. Setahun kemudian skema METS sudah siap,
dan mulai digunakan dalam proyek-proyek eksperimental.

Di situs Web resmi METS tercantum : “The METS schema is a standard for encoding
descriptive, administrative, and structural metadata regarding objects within a digital library,
expressed using the XML schema language of the World Wide Web Consortium”.
METS adalah suatu open standard, atau non-proprietary (jadi bukan milik suatu institusi,
perusahaan atau individu), dikembangkan oleh komunitas perpustakaan, relatif sederhana, dapat
diperluas (extensible) dan moduler. Library of Congress bertindak sebagai maintenance agency.

Dokumen METS atau “paket” METS terdiri atas 7 section, atau (1) METS Header, (2)
Descriptive metadata, (3) Administrative metadata, (4) File section, (5) Structural map, (6)
Structural Links, (7) Behavior. Semua section, kecuali header dan peta struktur, adalah opsional.
Metadata deskriptif, administratif, dan perilaku bisa berada dalam dokumen METS (internal)
atau bisa eksternal. Eksternal berarti bahwa metadata tersebut tidak ada dalam dokumen METS,
melainkan di tempat lain. Di dalam dokumen METS hanya ada link ke metadata eksternal itu.
Metadata deskriptif eksternal misalnya, bisa saja ada dalam suatu entri katalog. Secara garis
besar isi dan fungsi masing-masing section ialah :
1. • Header memberi informasi tentang dokumen METS itu sendiri, seperti data identifikasi,
pencipta, tanggal penciptaan, pemutakhiran (update) dan status.
2. Descriptive metadata berisi data bibliografi atau data finding-aid bahan kearsipan, dan dapat
antara lain dibuat dengan skema MODS, dublin core, MARCXML, atau section ini “kosong”.
Maksudnya tidak ada metadata yang mendeskripsikan sumber tersebut, hanya ada pointer
atau link ke metadata deskriptif yang tersimpan di tempat lain (external descriptive metadata).
3. Administrative metadata berisi data yang sangat penting untuk penggunaan dan pelestarian
sumber digital. Terdiri atas (1) technical metadata, yaitu informasi tentang tanggal
penciptaan, format, ciri penggunaan, (2) Intellectual Property Rights metadata yaitu informasi
tentang hak cipta, lisensi, (3) Source metadata, yaitu metadata deskriptif dan administratif
tentang sumber analog asal suatu objek digital, (4) Digital Provenance metadata, yaitu
informasi tentang hubungan source/destination dan master/derivative antar satu berkas dengan
berkas lain, juga bisa berisi data tentang transformasi dan migrasi yang sangat perlu untuk
proses pelestarian.
4. File section mengidentifikasi berkas-berkas yang berhubungan seperti semua versi dari suatu
objek atau sumber digital, misalnya thumbnails, master archival version, text-encoded
version, pdf version.
5. Structural map mendefinisikan struktur hirarkis dokumen yang membantu pengguna
bernavigasi dari suatu bagian obyek digital ke bagian lain.
6. Structural links, yaitu pencatatan huperlinks yang terdapat dalam peta struktur.
7. Behavior berisi pointer ke program komputer atau aplikasi yang diperlukan untuk
menampilkan (display) objek digital. Dokumen METS memungkinkan penyimpanan,
pengemasan dan transmisi obyek digital yang kompleks secara efektif.

MODS dan METS merupakan kontribusi penting dari komunitas perpustakan. Sebagaimana
ditegaskan oleh Guenther dan McCallum (2003), tradisi deskripsi bibliografi komunitas
perpustakaan yang sudah dikembangkan dengan baik apabila disesuaikan sedikit untuk
mengakomodasi sumber-sumber digital, akan bermanfaat bagi masa depan digital. Contohnya
MODS. Sedangkan METS, dalam konteks metadata yang lebih besar, merupakan langkah besar
yang membawa stabilitas pada metadata non-deskriptif, dan stabilitas inilah diperlukan untuk
menciptakan suatu lingkungan internet yang beroperasi dengan mulus dimana sumber-sumber
elektronik mengalir lancar, tanpa hambatan, dari sistem ke sistem.
Metadata Interoperability Metadata pada dasarnya diciptakan untuk membantu pengelola dan
pencari informasi, namun benarkah metadata masih menjalankan fungsi ini ? Simaklah misalnya
apa yang dikatakan oleh Caplan (2001) :
“ …. The metadata environment is becoming increasingly complicated for both the information
provider and the information seeker. Not only are there more metadata schemes rely upon both
implementer’s agreements to restrict practice and upon local extensions to broaden it. In
addition,, metadata records created at different times by different agencies and located in
different pleaces may have to be integrated at various points of use”

Mari kita sekali lagi melihat masalah ini dari sudut pandang pengguna. Kita telah mengikuti
kisah si Badu (Bab 1) dengan happy ending-nya. Badu sebagai information seeker agaknya tidak
terganggu oleh adanya begitu banyak skema metadata. Ia berhasil mendapatkan cukup banyak
bahan yang relevan untuk karya tulis ilmiahnya dalam waktu yang relatif singkat. Ia pasti tidak
tahu metadata itu apa, tidak sadar bahwa metadata telah ikut memperlancar penelusurannya.
Badu beruntung sebab di perpustakaannya, seperti di kebanyakkan perpustakaan, berlaku boleh
dibuat repot kala melakukan penelusuran, dan tampaknya perpustakaan Badu berhasil
memberikan layanan penelusuran yang sungguh memuaskan.

Apa rahasia dibalik keberhasilan perpustakaan Badu ? Kata kuncinya ialah “interoperability”.
Apabila sistem-sistem dengan perangkat keras dan lunak, struktur data, antar muka yang
berbeda, dapat bertegur sapa dan tukar menukar informasi, sehingga tiap sistem dapat
memanfaatkan hasil pertukaran tanpa kesulitan, maka dikatakan bahwa diantara sistem tersebut
ada interoperability. Interoperability dalam konteks metadata berarti bahwa informasi (metadata)
yang berasal dari satu sistem dapat dimanfaatkan oleh atau di sistem lain. Metadata
interoperability mempunyai tiga dimensi, yaitu dimensi sematik, struktural, dan perhatian sangat
besar. Sudah tumbuh kesadaran bahwa “metadata interoperability has to be the underlying
principle of networked information management.” Hanya dengan metadata interoperability
sebagai landasan,pengelolaan informasi yang terhubung lewat jaringan dapat berjalan (Moen,
2004). Ada beberapa cara untuk mengupayakan metadata interoperability, namun disini hanya
akan dibahas satu saja, yaitu metadata crosswalks.
Metadata crosswalks Penyusunan suatu metadata crosswalks dimulai dengan menganalisis
skema metadata dan mencari persamaan (korelasi) dalam hal semantik, isi, dan sintaksis dengan
skema lain. Ini disebut metadata mapping atau semantic mapping. Crosswalks, yang harfiahnya
berarti jalan penyeberangan, adalah spesifikasi atau peta yang menunjukkan hubungan dan
persamaan-persamaan ini. Mapping ini antara lain dilakukan untuk proyek konversi dan untuk
memenuhi keinginan pengguna mendapatkan layanan “one-stop shopping” atau cross-domain
searching (Woodley, 2000). Metadata mapping adalah proses yang menuntut ketelitian yang
tertinggi. Masalahnya banyak sekali dan kadang-kadang tidak terpecahkan dengan memuaskan
(St. Pierre & LaPalnt, 1998). Beberapa contoh masalah : Unsur yang ada dalam satu sistem,
mungkin tidak ada dalam sistem lain; data yang dalam satu sistem dicatat di satu unsur dalam
sistem lain tersebar dalam dua atau lebih unsur atau sebaliknya, unsur yang boleh diulang dalam
satu sistem dalam sistem lain tidak dapat diulang. Lebih sulit lagi ialah merekonsiliasikan nilai
atau isi unsur. Misalnya nama (dibalik atau tidak), subyek (dengan atau tanpa kosa kata
terkendali? Bagaimana kalau daftar kosa kata terkendalinya beda?) Pendek kata, kebersihan
metadata mapping tergantung dari derajat persamaan antara skema, khususnya dalam tiga aspek
penting yaitu : (1) granularity, (2) kompatibilitas standar untuk isi unsur, dan (3) ke “aslian”
skema (masih asli atau sudah banyak modifikasi lokal?). Di bawah ini suatu contoh crosswalk:
Tabel 9 : Contoh Metadata Crosswalk Dublin Core EAD MARC 21 Title Element Title 245
00$a (Title Statement/Tetle proper) Author Element Creator 700 1#$A (Added Entry Personal
Name (with $e = author)
720$a (Added Entry Uncontrolled Name/Name) (with $e = author) Date Created Element Data
Created 260##$c (Data of publication, distribution, etc) Membuat metadata crosswalk tidaklah
mudah. Namun untuk perpustakaan digital tang hendak memberi layanan one-stop searching,
inilah untuk sementara masih jalan terbaik untuk mencapai metadata interoperability. Juga perlu
diingat bahwa pekerjaan ini praktis tidak pernah selesai karena setiap kali terjadi perubahan
dalam satu skema, semua crosswalk yang punya hubungan dengan skema tersebut harus juga di-
update. Oleh sebab itu suatu alternatif yang menarik ialah pemetaan ke semacam interoperable
core. Dengan demikian pemetaan dari semua skema ke semua skema lain tidak perlu. Ada
semacam skema inti dan semua skema lain dipetakan ke core ini. Hanya saja hingga sekrang
interoperable core baru menjadi wacana (Moen, 2004).

Metadata registries
Pengelola metadata dan penyususnan pemetaan antar skema sangat terbantu dengan adanya
metadata registries, yaitu sarana berupa semacam indeks berisi istilah dan unsur metadata,
lengkap dengan asal usul, definisi resmi, variasi lokal, dan daftar kode untuk nilai unsur. Selain
untuk perbandingan dan penerjemahan untuk crosswalk, registries ini juga bermanfaat sekali
untuk komunitas yang akan mendesain skema atau pangkalan data baru.

Menciptakan Metadata yang Baik Sembari membaca bab ini mungkin di antara pembaca ada
yang mengeluh bahwa bab ini seperti selalu halnya dengan bab rentang seluk beluk
pengatalogan, begitu teknis, sulit, berat, kering. Apalagi setelah pengatalogan bermetamorfosa
menjadi proses pembantuan metadata! Memang ada benarnya. Ibarat kita membangun gedung,
proses peletakan pondasi dan pembangunan kerangka kurang menarik dibandingkan dengan
tahap-tahap lanjutan yang memberi peluang untuk bermain secara kreatif dengan aneka macam
materi, bentuk, dan warna. Tetapi tugas yang teknis, sulit, berat, dan kering ini mempunyai
fungsi yang teramat penting, sebab : “It provides the underlying foundation upon which digital
asset management systems rely to provide fast, precise access to relavant rsources across
networks and between organizations” (hunter 2003). Bahkan, menurut Arms (2001), mungkin
yang membedakan perpustakaan digital dari sekedar sekelompok dokumen atau halaman web
adalah metadata: “…….. perhaps what distinguishes a digital library from a set of documents or
web pages is the exiztence of samo formalized, structured metadata (data about data) to provide
organized access to a body of resources.”

Mengingat teramat pentingnya matadata, pembuatan metadata harus dikerjakan dengan sungguh-
sungguh. Banyak faktor yang ikut menentukan kualitas metadata. Panduan berikut mencakup
prinsip-prinsip dari A Framework of Guidance for Building Good Doigital Collections dari
NISO (national Information Standards Organization dari Amerika Serikat) dan saran dari
sumber-sumber lain :
 Pilihlah skema yang cocok untuk bahan dalam koleksi, pengguna koleksi, dan penggunaan,
baik sekrang maupun di mada mendatang.
 Buatlah sistem metadata dengan levels of control, demi efisiensi biaya, waktu dan tenaga.
Dengan berkonsentrasi pada sumber penting saja,kualitas metadata lebih terjamin.
 Gunakan lebih dari satu skema bila perlu, misalnya MARC atau MODS untuk sumber-sumber
yang paling penting, dan Dublin Core yang sederhana untuk yang kurang penting.
 Utamakan kebutuhan dan kemudahan pengguna. Skema yang sederhana mungkin lebih
mudah bagi staf perpustakaan yang harus membuat metadata, tetapi pengguna dirugikan
karena recource discovery menjadi kurang lancar, rumit, dan hasilnya mengecewakan.
 Jangan terkecoh oelh kemudahan semu. Skema sederhana belum tentu lebih mudah
diaplikasikan daripada skema yang lebih kompleks. Untuk mengakomodasi data, pengatalog
sering terpaksa membuat modifikasi atau perluasan lokal. Ini akan menghambat atau bahkan
menuiadakan interoperability.
 Untuk memperlancar kerjasama dan jaminan interoperability dalam satu jaringan, susunlah
suatu application profile bersama.
 Skema terpilih harus menunjang interoperability semantik, struktural, dan sintaktik.
 Skema untuk perpustakaan perguruan tinggi hendaknya menghasilkan metadata yang cukup
granular.
 Gunakan kosa kata terkendali yang standar, daftar pengendali (authorty files) untuk nama
orang, badan korporasi, dan unsur lain yang dijadikan titik temu (access point) yang dapat
menjamin keseragaman dan konsistensi isi unsur-unsur.
 Buatlah metadata yang mampu menunjang pengelolaan sumber digital berjangka panjang.
 Cantuman berisi metadata merupakan sumber digital pula, dan sebab itu harus juga memenuhi
syarat archivability, persistence, unique identification.
 Manfaat sarana bantu untuk pembuatan metadata yang telah tersedia, misalnya: templates,
mark-up tools, extraction tools, conversion tools.
 Susunlah panduan penyusunan metadata yang menjelaskan How – What – Where – When –
Why bagi staf agar kebijakansanaan yang telah ditetapkan dilaksanakan dengan taat azas.
 Laksanakan quslity control metadata secara teratur.
 Metadata utnuk koleksi perpustakaan digital perguruan tinggi sebaiknya dibuat oleh staf
profesional yang dididik, dilatih, dan di retool secara bersinambungan.
 Perpustakaan perguruan tinggi di masa mendatang sebaiknya menunjukkan seorang staf
profesional untuk betindak sebagai “metadata manager” atau ”metadata intergratoe” yang
bertanggung jawab atas proses seamless access di perpustakaan tempat ia bekerja.

Definisi metadata secara sederhana dapat diartikan sebagai data tentang data (data about data).
Namun definisi tersebut masih belum lengkap karena metadata tidak sesederhana itu. Salah satu
ciri dari metadata adalah data tersebut harus terstruktur. Jadi definisi yang tepat untuk
menggambarkan metadata adalah data terstruktur tentang data (structured data about data).
Definisi tersebut masih sederhana dan belum sepenuhnya menjelaskan lebih detail tentang
metadata. Task Force on Metadata CC:DA (committee on cataloguing: description and access)
dari ALA (American library association) menjelaskan secara lebih detail tentang metadata yaitu
data yang terstruktur, ditandai dengan kode agar dapat diproses oleh komputer, mendeskripsikan
ciri-ciri satuan-satuan pembawa informasi, dan membantu identifikasi, penemuan, penilaian dan
pengelolaan satuan pembawa informasi tersebut.

Metadata terbagi dalam 3 jenis:


1. Metadata deskriptif
Data yang dapat mengidentifikasi sumber informasi sehingga dapat digunakan untuk
memperlancar proses penemuan dan seleksi. Cakupan yang ada pada data ini adalah pengarang,
judul, tahun terbit, tajuk subjek atau kata kunci dan informasi lain yang proses pengisian datanya
sama dengan katalog tradisional.
2. Metadata administratif
Data yang tidak hanya dapat mengidentifikasi sumber informasi tapi juga cara pengelolaanya.
Cakupan dari data ini adalah sama dengan data deskriptif hanya saja ditambah dengan pembuat
data, waktu pembuatan, tipe file, data teknis lain. Selain itu data ini juga mengandung informasi
tentang hak akses, hak kekayaan intelektual, penyimpanan dan pelestarian sumber informasi.
3. Metadata Struktural
Data yang dapat membuat antara data yang berkaitan dapat saling berhubungan satu sama lain.
Secara lebih jelas, Metadata ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara berkas fisik dan
halaman, halaman dan bab dan bab dengan buku sebagai produk akhir.
Koleksi digital dan koleksi fisik tentunya berbeda, untuk itu diperlukan metadata sebagai
pengganti katalog tradisional. alasannya adalah:
 Koleksi digital merupakan sumber yang intangible yang artinya tidak dapat disentuh seperti
koleksi fisik yang tangible sehingga secara tidak langsung ini akan mempengaruhi metode
pengumpulan data, pengelolaan dan temu kembali.
 Koleksi digital merupakan sumber informasi dinamis yang berbeda dengan koleksi fisik yang
statis.
 Koleksi digital berbeda dalam hal kepemilikan, bila koleksi fisik kepemilikannya adalah
perpustakaan sedangkan koleksi digital bisa saja yang memiliki adalah penyedia sumber
informasi dari tempat lain. jadi perpustakaan hanya menyediakan akses ke sumber informasi
digital tetapi yang memiliki sumber informasi tersebut adalah instansi atau lembaga lain.
Skema metadatan terdiri dari 3 komponen yaitu:
1. Semantic
Dalam kaitannya dengan metadata, semantik dapat diartikan sebagai makna kata. Lebih jelasnya
adalah kesepakatan untuk membuat istilah yang digunakan untuk mewakili suatu makna. Selain
itu, terkadang juga diberi keterangaan tentang status pada istilah tersebut.
2. Content
Dalam hal ini, konten bisa diartikan sebagai cara mengisi semantic. content tersebut bisa berupa
peraturan untuk kriteria pengisian unsur skema atau peraturan untuk nilai-nilai unsur.
3. Sintaksis
Sintaksis dalam skema metadata dapat berarti sebagai machine readible (dapat dibaca mesin)
atau dengan kata lain bahasa pemrogaman. Sehingga semantic dan content yang telah dibuat
dapat dibaca oleh mesin.
Contoh Metadata:
 CDWA (Categories for Descriptions of Works of Art), skema untuk deskripsi karya seni
 DCMES (Dublin Core Metadata Element Set), skema umum untuk deskripsi berbagai macam
sumber digital.
 EAD (Encoded Archival Description), skema untuk menciptakan sarana temu kembali pada
bahan kearsipan (archival finding aids)dalam bentuk elektronik.
 GEM (Gateway to Educational Materials), skema untuk bahan pendidikan dan pengajaran
 MARC (Machine Readable Cataloguing), skema yang digunakan di perpustakaan sejak tahun
1960-an untuk membuat standar cantuman bibliografi elektronik.
 METS (Metadata Encoding and Transmission Standard), skema metadata untuk obyek digital
yang kompleks dalam koleksi perpustakaan
 MODS (Metadata Object Description Standard), skema untuk deskripsi rinci sumber-sumber
elektronik
 MPEG (Moving Pictures Experts Group) MPEG-7 dan MPEG-21, skema untuk rekaman
audio dan video dalam bentuk digital
 ONIX (Online Information Exchange), skema untuk data bibliografi pada penerbit dan
pedagang buku
 TEI (Text Encoding Initiative): skema untuk encoding teks dalam bentuk elektronik
menggunakan SGML dan XML, khususnya untuk peneliti teks di bidang humaniora.
 VRA (Visual Resources Association ) Core, skema untuk deskripsi karya visual dan
representasinya.

Referensi:
Putu Laxman Pendit. 2007. Perpustakaan Digital: Perspektif Perpustakaan Perguruan Tinggi
Indonesia. Jakarta: Sagung Seto.

1. Marc
Machine-Readable Catataloguing atau MARC adalah standar untuk komunikasi data katalog
di dunia perpustakaan dan informasi. Pada dasarnya, MARC adalah format data (atau lebih
tepatnya: sekumpulan format data) yang memungkinkan pertukaran data katalog atau data
lainnya yang terkait antar sistem-sistem perpustakaan yang memakai komputer. Dibuat dan
digunakan pertama kali di tahun 1960an (jauh sebelum era Internet dan perpustakaan digital),
format MARC ini sudah “mendarah-daging” di bidang perpustakaan. Ketika memasuki era
perpustakaan digital, maka sudah terlalu banyak data perpustakaan yang dibuat berdasarkan
MARC. Itu sebabnya, setiap teknologi baru dalam bidang perpustakaan dan informasi pun
harus menyesuaikan diri dengan MARC. Ini akan menambah langgeng usia dan pengaruh
MARC di bidang perpustakaan.
Penggunaan MARC selalu berpasangan dengan penggunaan standar pengatalogan, misalnya
Anglo-American Cataloging Rules versi 2 atau AACR2, International Standard Bibliographic
Description (ISBD), Holdings Statements Summary Level (ISO 10324), dan sebagainya.
Setiap data pengatalogan dalam format MARC selalu terlebih dahulu ditetapkan dengan
mengikuti peraturan AACR2. Dengan kata lain, AARC2 mengatur isi data, sedangkan
MARC menjadi wadah yang menampung isi data tersebut. Jika dua sistem menggunakan
format MARC, maka isi data di kedua sistem tersebut dapat saling dipertukarkan. Prinsipnya
sesederhana itu, tetapi dalam praktiknya MARC adalah kegiatan membuat kode (coding)
yang amat rinci.
Sebagai sebuah format data, MARC mengandung tiga komponen, yaitu:
(1) Struktur data atau cantuman yang mengatur bagaimana data secara fisik diberlakukan,
(2) Serangkaian ruas (fields) lengkap dengan penanda (tags) dan elemen mark-up, dan
(3) Data yang termuat di ruas-ruas tersebut. Komponen pertama merupakan penerapan dari
standar untuk tukar-menukar informasi (American National Standard for Information
Interchange atau ANSI/NISO Z39.2) dan mematuhi aturan ISO 2709. Komponen kedua lebih
merupakan kesepakatan atau konvensi untuk menyeragamkan cara komputer membaca dan
memahami cantuman MARC. Komponen ketiga, sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
merupakan data yang sudah terlebih dahulu dikemas dengan mengikuti berbagai peraturan
pengatalogan. <p style=”text-align: justify;”> Sebagai data komputer, setiap cantuman
bibliografi yang disimpan dalam format MARC adalah sebuah rangkaian (string) karakter
yang berurutan, dan setiap karakter ini memiliki semacam “alamat” di dalam rangkaian itu.
Rangkaian karakter ini selanjutnya terbagi dalam tiga elemen, yaitu:
• Leader – elemen ini terletak di awal dan mengandung informasi yang dibutuhkan komputer
untuk mengolah data selanjutnya. Misalnya, di sini terdapat data tentang panjang cantuman,
status cantuman (apakah baru dibuat atau sudah mengalami perubahan), jenis bahan pustaka
yang diwakilinya (apakah buku, peta, rekaman suara, dan sebagainya), tingkatan bibliografi
(seberapa rinci data bibliografi yang dikandungnya). Pada umumnya, perangkat lunak yang
menggunakan MARC akan secara otomatis mengisi sebagian besar elemen ini dengan data
yang diperlukan.
• Record directory – semacam indeks atau petunjuk lokasi data di dalam cantuman MARC
yang juga secara otomatis dibuat oleh komputer (bukan diisi oleh seorang pengatalog).
• Data fields – ruas-ruas yang berisi data katalogisasi. Sebagian kecil dari ruas ini memiliki
panjang yang tetap (fixed) dan berisi kode-kode saja. Sebagian besar merupakan ruas yang
panjangnya bervariasi untuk menampung informasi yang beragam. Ruas-ruas ini memiliki
penanda (tags) agar komputer mengerti, di mana sebuah informasi bermula dan di mana
berakhir. <p style=”text-align: justify;”> Ada ruas-ruas yang dibagi-bagi lagi menjadi sub-
ruas, dan untuk menandainya digunakan pembatas (delimeter) berupa kode tertentu. MARC
pertama kali dikembangkan oleh Library of Congress pada tahun 1960 untuk keperluan
transfer data yang waktu itu masih dimuat dalam pita magnetik. Walaupun punya banyak
kelemahan teknis, dan praktis hanya dikenal di kalangan pustakawan, namun MARC
akhirnya memang satu-satunya standar yang ada untuk mengirim dan menerima data
bibilografi melalui jaringan komputer yang dipakai di berbagai negara. Setiap negara
mengembangkan sendiri format MARC berdasarkan format asli dari Library of Congress.
Berikut ini daftar keluarga besar MARC dan negara yang menggunakannya, diurut menurut
kronologi kelahirannya:
Keberagaman MARC di atas sempat menimbulkan kekuatiran, sehingga pada tahun 1970an
dibuatlah UNIMARC, semacam “bahasa persatuan” untuk para pengguna MARC. Setelah
semakin banyak negara menggunakan MARC, dan setelah penggunaan itu berlangsung
cukup lama, semakin berbeda pulalah “dialek” dari masing-masing negara. Negara yang rajin
menghimpun data dari negara-negara lain harus selalu melakukan konversi data MARC,
sehingga UNIMARC pun sempat dijadikan sebuah alat konversi atau semacam penerjemah
bahasa. Sebuah institusi yang menggunakan UNIMARC dapat membuat dua macam program
konversi; satu untuk konversi data mereka ke UNIMARC, dan satu lagi untuk konversi data
dari UNIMARC ke MARC lokal. Edisi pertama UNIMARC ini muncul tahun 1977, dan
edisi kedua tahun 1980. Edisi ini terus dikembangkan dan disempurnakan. Tahun 1991
dibentuk komite permanen yang mengurusi UNIMARC di bawah IFLA
(lihat:http://www.ifla.org/VI/8/puc.htm ). Pengguna UNIMARC ini pada umumnya adalah
perpustakaan-perpustakaan nasional yang berkepentingan dalam tukar menukar antar negara.

Ketika Internet semakin menjadi jaringan global dan landasan bagi perpustakaan digital,
MARC pun berkembang menjadi MARC 21 yang merupakan sebuah “keluarga MARC
dengan 5 anggota”, yaitu • MARC 21 Format for Authority Data untuk otorisasi atau
kepastian dalam hal penamaan orang, judul seragam, tajuk subjek. • MARC 21 Format for
Bibliographic Data untuk data bibliografi dari berbagai bentuk, baik buku maupun yang
lainnya. • MARC 21 Format for Classification Data untuk keterangan tentang sistem
klasifikasi yang digunakan. • MARC 21 Format for Community Information untuk data
tentang konteks pengguna dan pelaku yang berkaitan dengan koleksi, misalnya data tentang
keahlian (expertise), organisasi, program, acara, dan sebagainya. • MARC 21 Format for
Holdings Data untuk data tentang kepemilikan penerbitan berseri (serial) maupun non-serial,
termasuk data tentang koleksi ganda. Dengan lima format seperti di atas, MARC21 menjadi
sebuah format yang amat rinci dan rumit.

2. Dublin Core

Dublin Core adalah salah satu skema metadata yang digunakan untukweb resource description
and discovery. Gagasan membuat suatu standar baru agaknya dipengaruhi oleh rasa kurang puas
dengan standar lama seperti misalnya MARC yang dianggap terlampau sulit (hanya dimengerti
dan bisa diterapkan oleh pustakawan) dan kurang bisa digunakan untuk web resources. Untuk
menangani banjir web resources diperlukan cara dan format yang lebih sederhana. Ciri-ciri
Dublin Core yang diharapkan bisa membuatnya diterapkan secara luas oleh berbagai kalangan
adalah:
 Dublin Core dibuat sesederhana mungkin agar dapat digunakan baik oleh awam (bukan
pengatalog) maupun profesional. Diharapkan bahwa pencipta resource itu sendiri akan dapat
membuat metadata (deskripsi) karya mereka tanpa memerlukan pelatihan khusus.
 Semua unsur bersifat opsional dan dapat diulang apabila diperlukan
 Unsur-unsur diterima secara internasional, dan dapat diterapkan oleh semua disiplin ilmu
 Setiap unsur dapat diperluas agar data yang lebih khusus (misalnya untuk disiplin ilmu atau
aplikasi khusus) dapat tertampung
 Dapat ditempatkan di dalam Web page (embedded) biasanya sebagai bagian dari header,
sehingga dapat dideteksi oleh web robot atau spider

Dublin Core terdiri atas 15 unsur dasar:


Title, Creator, Subject, Description, Publisher, Contributor, Date, Type, Format, Identifier,
Source, Language, Relation, Coverage, Rights

Ketika Dublin Core kemudian berkembang menjadi skema dengan dua versi (Qualified dan
Unqualified), maka versi Qualified dilengkapi dengan tiga unsur tambahan: Audience,
Provenance, dan RightsHolder.

Dalam skema DC unsur-unsur diberi definisi, tetapi selain definisi tersebut tidak ada panduan
untuk pengisian unsur, tidak ada content rules. Pengguna dapat mengisi unsur tanpa terikat pada
ketentuan apapun, sehingga keseragaman dan konsistensi antar lembaga atau sistem pemakai
Dublin Core sulit tercapai, bahkan dalam satu sistem pun tidak ada keseragaman. Dublin Core
dengan 15 unsurnya sebenarnya hanya kerangka (framework) atau container, dan containerini
harus diisi dengan data yang dipilih berdasarkan standar untuk isi agar menghasilkan metadata
yang dapat berfungsi dengan baik dalam proses resource discovery dan description.

Aplikasi Dublin Core


Metadata dapat dijadikan bagian dari suatu resource, dapat juga disimpan dan ditampilkan
terpisah dari resource yang dideskripsikan. KDT (Katalog dalam Terbitan) atau CIP (Cataloging
in Publication) pada verso halaman judul buku adalah contoh dari metode pertama, sedangkan
kartu katalog atau cantuman OPAC adalah contoh dari yang kedua. Metadata Dublin Core dapat
menjadi bagian dariresource, disusun oleh pencipta resource atau oleh orang lain, atau terpisah
dari resource sebagai entri katalog atau pangkalan data. Di bawah ini diperlihatkan contoh
metadata Dublin Core yang “tertanam” (embedded) dalam resource sebagai bagian dari header:

<META NAME=DC.Creator CONTENT="Tony Gill">


<META NAME=DC.Title CONTENT="ADAM Quick Guide to Metadata">
<META NAME=DC.Subject CONTENT="ADAM, Dublin Core, internet cataloguing,
metadata">
<META NAME=DC.Description CONTENT="A short ADAM guide to metadata, particularly
Dublin Core.">
<META NAME=DC.Date CONTENT="1997-11-21">
<META NAME=DC.Identifier CONTENT="http://adam.ac.uk/adam/metadata.html">
<META NAME=DC.Language CONTENT="en-GB">
<META NAME=DC.Rights CONTENT="http://adam.ac.uk/adam/rights.html">

Contoh dalam format HTML (Hypertext Markup Language) di atas menggunakan tengara atau
tag <META>, dan metadata ini invisible, alias tidak terlihat oleh orang yang menyimak web
page ini lewatbrowser-nya. Tetapi metadata ini dapat dideteksi dan “dibaca” olehspider, crawler,
atau web robot (semuanya program komputer) yang menjelajahi WWW, mengumpulkan web
pages untuk dimasukkan dalam pangkalan data atau indeks yang nantinya akan digunakan oleh
search engine untuk menjawab permintaan penelusur. Apabila setiap pencipta web page
membuat metadata yang mendeskripsikan web page ciptaannya, dengan sendirinya ini nanti akan
membantu sekali upayadiscovery atau penemuan. Bertolak dari pemikiran inilah DCMI berupaya
membuat Dublin Core sederhana dan mudah diaplikasikan. Namun harapan bahwa semua
pencipta web resource mau dan sanggup membuat metadata kurang terpenuhi. Data yang dibuat
oleh pencipta cenderung kurang lengkap, tidak konsisten, sehingga tidak banyak manfaatnya
untuk temu kembali atau resource discovery. Hal ini tidak sepenuhnya kesalahan pencipta, tetapi
justru akibat kesederhanaan Dublin Core dan kurangnya panduan dan peraturan yang jelas dan
cukup mengikat yang harus ditaati sewaktu membuat metadata dengan format Dublin Core.

Qualified dan Unqualified Dublin Core


Kesederhanaan Dublin Core oleh fihak tertentu dianggap sebagai salah satu kekuatannya yang
harus dipertahankan (para minimalis), sedangkan fihak lain (strukturalis) berpendapat bahwa
kesederhanaan ini membuat resource description dan discovery dengan Dublin Core kurang
memuaskan. Library of Congress Cataloging Directorate(2004) misalnya berpendapat bahwa
versi Dublin Core standar (versi sederhana) adalah “inadequate for almost any specific
application or context apart from cross-domain discovery.” Maka kemudian diputuskan oleh
DCMI bahwa unsur tertentu dari Dublin Core dapat dilengkapi dengan qualifier. Ada dua
kelompok besarqualifier:

1. Element Refinements yang berfungsi mempersempit, yaitu membuat lebih spesifik suatu
unsur
2. Encoding Schemes yaitu skema yang membantu memperjelas nilai suatu unsur, seperti kosa
kata terkendali dan bagan klasifikasi dan daftar-daftar standar lain

Contoh Element Refinements:


• Title
Selain judul resmi judul lain dapat ditambah, misalnya judul alternatif, judul singkat, judul
terjemahan
• Date
Tanggal yang dapat dicatat adalah tanggal penciptaan, tanggal berlaku (validity), tanggal
dikeluarkan (issue), tanggal modifikasi

Contoh Encoding Schemes


• Subject
Diisi dengan menggunakan Library of Congress Subject Headings (LCSH), MeSH (Medical
Subject Headings), Dewey Decimal Classification (DDC), Library of Congress Classification
(LCC), Universal Decimal Classification (UDC)
• Date
Tanggal dicatat sesuai dengan daftar standar DCMI dan W3CDTF (World Wide Web
Consortium)
• Language
Bahasa dicatat dengan menggunakan kode dari daftar standar ISO639-2

Dublin Core, apabila diterapkan dengan berbagai qualifier, bisa menghasilkan metadata yang
lebih lengkap dan terstruktur, namun ironisnya ialah bahwa dengan demikian kesederhanaan
hilang, dan penyusunan deskripsi menjadi sama kompleksnya dengan deskripsi yang dibuat oleh
para pustakawan profesional dengan AACR2 dan MARC. Hampir tiap lembaga pengguna
Dublin Core membuat modifikasi untuk memenuhi kebutuhan setempat sehingga tukar menukar
metadata tidak dapat dilakukan dengan mudah lagi.

Tujuan Dublin Core


Bagi “pengatalog tradisional” yang melaksanakan tugasnya berdasarkan standar-standar baku
dan teruji seperti AACR, daftar-daftar tajuk subyek atau tesaurus, daftar pengendali untuk nama
(name authority files), dan lain sebagainya, Dublin Core, khususnya versi Unqualified, kurang
memuaskan. Kelompok pakar yang menjadi pelopor dan pendukung yang berkarya terus lewat
DCMI, menerima kritik terhadap skema Dublin Core, namun mereka mengingatkan bahwa
Dublin Core punya tujuan (goals) tertentu, dan penilaian terhadap skema ini dan produknya
(metadata) seharusnya dilakukan dengan memperhitungkan tujuan-tujuan ini. Tujuan Dublin
Core ialah:
1. Kesederhanaan dalam menciptakan dan memelihara metadata. Skema diupayakan tetap
ringkas dan sesederhana mungkin agar seorang yang bukan ahli dapat membuat cantuman
sederhana untuk sumber daya informasi dengan mudah dan murah, tetapi sekaligus cukup efektif
untuk temu kembali
2. Semantik yang bisa diterima dan dimengerti secara luas. Menemukan informasi relevan di
belantara internet sering terhambat oleh perbedaan dalam terminologi dan deskripsi antar bidang.
Dublin Core membantu “turis digital” -- penelusur awam atau non-profesional – dengan
menggunakan sekelompok unsur yang maknanya sudah dikenal luas dan mudah difahami. Unsur
“creator” misalnya, dapat diterima dan dimengerti oleh ilmuwan, peneliti, maupun penggubah
atau artis.
3. Cakupan internasional. Skema Dublin Core asli disusun dan dikembangkan dalam bahasa
Inggris, tapi versi bahasa asing tumbuh dan berkembang dengan pesat. Contoh: Bahasa
Finlandia, Norwegia, Thai, Jepang, Perancis, Portugis, Jerman, Yunani, Indonesia , dan Spanyol.
DCMI Localization and Internationalization Special Interest Group mengkoordinasikan upaya
untuk menghubung-hubungkan versi-versi ini lewat suatu sarana registrasi. Keikutsertaan wakil-
wakil dari berbagai penjuru dunia menjamin bahwa perkembangan selanjutnya akan sesuai
dengan sifat multilingual dan multikultural dunia informasi elektronik
4. Perluasan. Meskipun kesederhanaan penting dan perlu dipertahankan, kebutuhan akan temu
kembali yang tepat juga harus diperhatikan. Pengelola Dublin Core melihat bahwa perlu ada
mekanisme yang memungkinkan perluasan kelompok unsur Dublin Core sesuai dengn
kebutuhan yang timbul di lapangan. Komunitas lain menciptakan skema metadata yang cocok
untuk kebutuhan komunitas mereka. Unsur-unsur
metadata dari skema ini dapat digunakan berbarengan dengan metadata Dublin Core untuk
menunjang interoperability.
Perbedaan Marc dan Dublin Core adalah sebagai Berikut

Doublin Core adalah suatu skema metadata yang digunakan untuk web Resource Description and
discovery. Gagasasn membuat suatu standar baru agaknya dipengaruhi oleh rasa kurang puas
dengan standar lama seperti misalnya MARC yang dianggap terlampau sulit (hanya dimengerti
dan bisa diterapkan oleh pustakawan) dan kurang bisa digunakan oleh web resource. Untuk
menangani banjir web recource diperlukan cara dan format yang lebih sederhana. Ciri-ciri
doublin core yang diharapkan bisa membuatnya diterapkan secara luas oleh berbagai kalangan
adalah :
 Doublin core dibuat sesedarhana mungkin agar dapat digunakan baik oleh awam (bukan
pengatalog) maupun profesional. Diharapkan bahwa pencipta resource itu sendiri akan dapat
membuat metadata (deskripsi) karya mereka tanoa memerlukan pelatihan khusus.
 Semua unsur bersifat opsional dan dapat diulan apabila diperlukan.
 Unsur-unsur diterima secara internasional, dan dapat diterapkan oleh semua disiplin ilmu.
 Setiap unsur dapat diperluas agar data yang lebih khusus (misalnya untuk disiplin ilmu atau
aplikasi khusus) dapat tertampung.
 Dapat ditempatkan di dalam Web page (embedded) biasanya sebagai bagian dari header,
sehingga dapat dideteksi oleh web robot atau spider. Dublin Core terdiri atas 15 unsur, yaitu
Title, Creator, Subject, Description, Publisher, Contributor, Date, Type, Format, Identifier,
Source, Language, Relation, Coverage, dan Rights. Dalam skema DC (Dublin Core) unsur-
unsur diberi definisi, tetapi selain definisi tersebut tidak ada panduan untuk pengisian unsur,
tidak ada content rules. Pengguna dapat mengisi unsur tanpa terikat pada ketentuan apapun,
sehingga keserangaman dan konsistensi antar lembaga atau sistem pemakai Dublin Core sulit
tercapai. Bahkan dalam satu sistem pun tidak ada keseragaman. Dublin Core dengan 15
unsurnya sebenarnya hanya kerangka (framework) atau container, dan container ini harus
diisi dengan data yang dipilih berdasarkan standar untuk isi agar menghasilkan metadata yang
dapat berfungsi dengan baik dalam proses resource discovery dan description.
Dublin Core memiliki beberapa kekhususan dibandingkan dengan skema metadata
lainnya, yaitu :

 Arti kata yang mudah dipahami.


 Sistem yang bisa dikembangkan lebih lanjut.
 Karena dublin core dibuat sesederhana mungkin agar bisa digunakan oleh orang awam
atau masyarakat luas, tidak hanya pustakawan bagian katalog saja.
 Semua unsur sifatnya opsional dan dapat diulang jika diperlukan.
 Unsur-unsur yang terdapat di dublin core bisa diterima secara internasional dan dapat
diterapkan di semua disiplin ilmu.
 Unsur di dalamnya dapat diperluas agar data yang sifatnya lebih khusus dapat ditampung
(misalnya untuk disiplin ilmu atau aplikasi khusus).
 Bisa ditempatkan di web page.
(https://ramastablog.wordpress.com/2016/06/01/perbedaan-dublin-core-dan-marc/. Diakses pada
14 November 2018)

Unsur-unsur yang terdapat dalam dublin core ada 15, yaitu :

1. Contribut Yaitu orang Contoh : Contributor = “Universitas Kristen Duta Wacana”


or yang
menciptakan
informasi terseb
ut. Dapat
berupa nama
seseorang,
organisasi
maupun
pembuat data
yang
bersangkutan.

2. Coverage Mendeskripsika Contoh: Coverage="1995-1996"


n jangkauan Coverage="Boston, MA"
topik yang
mewakili objek.
3. Creator Entitas utama Contoh : Creator="Shakespeare, William"
yang Creator="Wen Lee"
bertanggung Creator="Hubble Telescope"
jawab atas Creator="Internal Revenue Service. Customer Complaints
objek tersebut. Unit"

4. Date Tanggal dimana Contoh : Date="1998-02-16" Date="1998-02" Date="1998


objek tersebut
dibuat.
5. Descripti Yaitu Contoh : Description="Panduan mengenai pelaksanaan
on penjelasan acara SI Creative Days, meliputi run down serta detail
mengenai objek penyelenggaraan acara."

6. Format Format dari Contoh : Title="Dublin Core icon"


objek yang Identifier="http://purl.org/metadata/dublin_core/images/dc2
dimaksud .gif& quot;
Type="Image"
Format="image/gif"
Format="4 kB"
Subject="Saturn" Type="Image"
Format="image/gif 6" Format="40 x 512 pixels"
Identifier="http://www.not.iac.es/newwww/photos/images/
satnot.gif "
7. Identifier Referensi yang Contoh :
mengarah pada Identifier="http://purl.oclc.org/metadata/dublin_core/”
objek yang Identifier="ISBN:0385424728
dapat membuat
objek tersebut
dapat dikenali.
Dapat berupa
URL atau URI.

8. Language Bahasa yang Contoh : Language="en"


digunakan Language="fr"
dalam objek. Language="en-US"

9. Publisher Entitas yang Contoh: Publisher="University of South Where"


bertanggung Publisher="Funky Websites, Inc." Publisher="Carmen
jawab untuk Miranda"
membuat objek
tersebut tersedia
10 Relation hubungan Contoh : Title="Reading Turgenev"
. antara satu Relation="Two Lives"
sumber Objek yang disebutkan, yaitu “Reading Turgenev” adalah
informasi salah satu dari novel yang terdiri dari dua seri, sehingga
dengan sumber merupakan sebagian dari keseluruhan objek yang ada.
informasi lainn
ya

11 Rights Informasi Contoh : Rights="Access limited to members"


. mengenai Rights="http://cs-
wewenang dan tr.cs.cornell.edu/Dienst/Repository/2.0/Terms&" .
undang-undang
yang terkait
dengan objek.
Dapat berupa
pernyataan
maupun URL
yang mengarah
pada pernyataan
tersebut
12 Source Sumber terkait Contoh : Source="Image from page 54 of the 1922 edition
. dimana objek of Romeo and Juliet"
tersebut berasal.
13 Subject Topik dari Contoh : Subject="Aircraft leasing and renting"
. objek yang Subject="Dogs"
biasanya Subject="Olympic skiing"
digunakan Subject="Street, Picabo"
sebagai kata
kunci yang
mendeskripsika
n topik dari
suatu objek.
Subject yang
terdiri lebih dari
1 kata
dipisahkan
menggunakan
tanda koma.
14 Title Nama dari Contoh : Title="A Pilot's Guide to Aircraft Insurance"
. objek
15 Type Jenis dari objek Contoh : Type="Image"
. yang diambil Type="Sound"
dari DCMI Type="Text"
Type Type="simulation"
Vocabulary

Kelimabelas elemen metadata yang ada tidak semuanya harus digunakan dan penggunaannya
dapat diulang dalam satu objek yang sama. Dengan memanfaatkan elemen-elemen metadata
tersebut untuk mendeskripsikan dan mengelompokkan suatu objek, maka pengguna aplikasi
dapat menemukan informasi yang tepat mengenai objek yang dicarinya melalui elemen-elemen
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai