Anda di halaman 1dari 41

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2018


UNIVERSITAS PATTIMURA

HIPERTIROIDISME DAN PENYAKIT JANTUNG TIROID

Oleh

Teisha Jediya Videlia Marantika


2017-84-029

Pembimbing:
Dr. dr. Yusuf Huningkor, Sp. PD, FINASIM

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2018
BAB I
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
a. Nama : Tn RS
b. Tanggal lahir : 25-03-1983
c. Umur : 35 tahun
d. Alamat : Masohi
e. Agama : Islam
f. Pekerjaan : Buruh
g. No. RM : 13 10 27
h. Tanggal Masuk Rumah Sakit : 11/05/2018
i. Jam Masuk Rumah Sakit : 18.30 WIT
j. Ruang Perawatan : Ruang Interna Laki-Laki RSUD Dr.
M. Haulussy Ambon

2. SUBJEKTIF
ANAMNESIS (Autoanamnesis)
a. Keluhan Utama:
BAB encer sejak sekitar 3 bulan SMRS
b. Keluhan Tambahan:Mual muntah, nyeri ulu hati, Demam, Nyeri kepala,
jantung berdebar-debar, keringat banyak, mudah kepanasan dan lebih suka
dingin, mudah cemas, sulit tidur, sesak, tangan sering gemetaran, mudah
lelah saat bekerja, peningkatan nafsu makan, penurunan BB, batuk,
benjolan pada leher yang bertambah besar.
c. Anamnesis Terpimpin:
Pasien datang dengan keluhan BAB encer sejak ± 3 bulan SMRS setiap
setelah makan, warna kuning, lendir (-), darah (-). Mual (+) muntah sejak
2 hari SMRS isi makanan, darah (-). Nyeri ulu hati (+) Demam (+) sejak 2

2
hari SMRS. Nyeri kepala bagian belakang (+) sejak 4 hari SMRS. BAK
normal lancar. Pasien juga mengeluhkan jantung berdebar-debar sejak 2
bulan yang lalu, disertai keringat yang berlebihan, mudah kepanasan dan
lebih suka dingin, mudah cemas, sulit tidur, sesak kalau aktivitas seperti
jalan jauh, kadang disertai bunyi, nyeri dada (-),tangan sering gemetaran,
mudah lelah saat bekerja, peningkatan nafsu makan, serta penurunan BB
yang signifikan dalam 6 bulan terakhir (sekitar 15 kg). Batuk (+) sejak 4
bulan SMRS, lendir kekuningan (+) darah (-). Sulit menelan (-).
Perubahan suara (-). Pasien juga mengeluhkan adanya benjolan di
lehernya yang bertambah besar dalam 4 bulan terakhir.
d. Riwayat kebiasaan: merokok (+) sudah sekitar 20 tahun bias hingga 1
bungkus/hari
e. Riwayat penyakit dahulu: hipertensi (-), diabetes mellitus (-)
f. Riwayat keluarga:
Kanker (-), penyakit tiroid/gondok (-)

3. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Fisik dilakukan pada tanggal19-05-2018
a. Keadaan Umum: Sakit ringan
b. Status Gizi: Kurang (BB 54 kg, PB175 cm) IMT : 17,36
c. Kesadaran: Compos Mentis
d. Tanda Vital:
- Tekanan Darah : 110/70 mmHg
- Nadi : 63x/menit, iregular. Pulsus deficit (-)
- Pernapasan : 20 x/menit
- Suhu : 36,9° Celcius
e. Kepala:
- Bentuk kepala : Normocephali
- Wajah : Simetris

3
- Rambut : Hitam, ikal, tidak mudah tercabut
f. Mata:
- Bola mata: eksoftalmus/endoftalmus (-/-)
- Gerakan: ke segala arah normal
- Kelopak mata: lid lag (-/-), retraksi (-/-), edema (-/-)
- Konjungtiva: Anemis (-/-)
- Sklera: ikterik (-/-)
- Kornea: ulkus (-/-), reflex (+/+)
- Pupil: isokor (3 mm/3 mm), refleks cahaya langsung (+/+), refleks
cahaya tidak langsung (+/+)
g. Telinga:
- Aurikula: tofus (-/-), sekret (-/-), nyeri tarik aurikula (-/-)
- Pendengaran: kesan normal
- Prosesus mastoideus: nyeri tekan (-/-)
h. Hidung:
- Cavum nasi: lapang (-/-), sekret (-/-), darah (-/-)
i. Mulut:
- Bibir: bibir tampak pecah-pecah, sianosis (-), stomatitis (-), perdarahan
(-),
- Tonsil: T1/T1 tenang, hiperemis (-)
- Gigi: caries (-)
- Faring: dalam batas normal
- Gusi: perdarahan (-), hiperemis (-)
- Lidah: kandidiasis oral (-), lidah kotor (-)
j. Leher:
- Kelenjar getah bening: pembesaran (-)
- Kelenjar tiroid: pembesaran (+) difus, permukaan licin, konsistensi
kenyal, nyeri tekan (-), bruit (-)
- DVS: JVP = 5+2 cmH2O

4
- Pembuluh darah: Venektasi (-), pulsasi abnormal (-)
- Kaku kuduk: negatif
- Tumor: tidak ada
k. Dada:
- Inspeksi: simetris kiri-kanan
- Bentuk: normochest
- Pembuluh darah: venektasi (-), spider naevi (-),
- Buah dada: simetris ki = ka, tanda radang (-), massa (-)
- Sela iga: pelebaran (+), retraksi (-)

l. Paru:
- Palpasi: Fremitus raba simetris kiri-kanan, nyeri tekan (-)
- Perkusi: Paru kanan dan kiri sonor, batas paru hepar di ICS V, batas
belakang paru kanan di vertebra torakalis X, batas belakang paru kiri
di vertebra torakalis XI
- Auskultasi: bunyi pernapasan vesikuler, bunyi tambahan ronki (-/-),
Wheezing (-/-)

m. Jantung:
- Inspeksi: ictus cordis tampak
- Palpasi: ictus cordis teraba di ICS V 1 cm di lateral linea
midclavicularis sinistra

5
- Perkusi: redup, batas kanan jantung di ICS III-IV linea parasternalis
dextra, pinggang jantung di ICS III sinistra (4-5 cm dari mid sternum),
batas kiri jantung di ICS V linea axillaris anterior sinistra.
- Auskultasi: bunyi jantung I, II regular murni, murmur sistolik grade III
pada area mitral, gallop (-)
n. Abdomen:
- Inspeksi: datar, striae (-), caput medusae (-)
- Auskultasi: bising usus (+)
- Palpasi: Nyeri tekan (-),
o Hepar:teraba 2 jari di bawah arcus costae, 4 jari di bawah proc.
Xiphoideus, nyeri tekan (+)
o Limpa: tidak teraba
o Ginjal: tidak teraba
o Lain-lain: massa (-), tumor (-)
- Perkusi: timpani, undulasi (-), shifting dullness (-)
o. Punggung:
- Palpasi: Nyeri tekan (-), Nyeri ketok CVA (-/-), bintik-bintik
kemerahan (-)

p. Alat kelamin:
Tidak dilakukan pemeriksaan

q. Anus dan rectum:


Tidak dilakukan pemeriksaan
r. Ekstremitas:
- Tremor (+)
- Palmar erythema (-), tangan teraba basah dan lembab
- Pitting edema
- -
+ +

6
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium:
- Hematologi rutin (12/5/2018)
Eritrosit: 4,24 x 106/mm3
Hb: 9,8 g/dL
Hematokrit: 29,3%
MCV: 69µm3
MCH: 23,1pg
MCHC: 33,5 g/dL
Trombosit: 194 x 103/mm3
Leukosit: 8,7 x 103/mm3
Hitung jenis:
Neutrofil: 70,7 %
Limfosit: 17,9%
Monosit: 9,5 %
Eosinofil: 1,6%
Basofil: 0,3%

- Kimia Klinik (12/5/2018)


GDP: 92 mg/dL
Ureum: 19 mg/dL
Kreatinin: 0,6 mg/dL
Asam Urat: 6,8 mg/dL
Kolesterol: 54 mg/dL
SGOT: 95 u/L
SGPT: 94 u/L
Bilirubin total 0,2 mg/dL
Bilirubin direk 0,1 mg/dL
Bilirubin indirek 0,1 mg/dL

7
- Pemeriksaan Endokrinologi
Nama Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
FT4 6,55 0,82-1,51 ng/dl
TSHs 0,008 0,27-4,70 uIU/ml

b. EKG:
(11/5/2018)

(15/5/2018)

8
c. Foto Thorax PA:

9
d. USG Abdomen:

Gambaran liver dengan ukuran mengecil, parenkima kasar, sudut lobus kiri tumpul,
tidak tampak kista nodul abses. Sistem vaskuler dan bilier normal. Asites (+)
Kesimpulan: Sirosis hepatis, asites

10
5. RESUME
Seorang laki-laki berusia 35 tahun datang dengan keluhan BAB encer sejak ± 3
bulan SMRS setiap setelah makan, warna kuning, lendir (-), darah (-). Mual (+)
muntah sejak 2 hari SMRS isi makanan, darah (-). Nyeri ulu hati (+) Demam (+)
sejak 2 hari SMRS. Nyeri kepala bagian belakang (+) sejak 4 hari SMRS. BAK
normal lancar. Pasien juga mengeluhkan jantung berdebar-debar sejak 2 bulan
yang lalu, disertai keringat yang berlebihan, mudah kepanasan dan lebih suka
dingin, mudah cemas, sulit tidur, sesak kalau aktivitas seperti jalan jauh,kadang
disertai bunyi, nyeri dada (-), tangan sering gemetaran, mudah lelah saat bekerja,
peningkatan nafsu makan, serta penurunan BB yang signifikan dalam 6 bulan
terakhir (sekitar 15 kg). Batuk (+) sejak 4 bulan SMRS, lendir kekuningan (+)
darah (-). Sulit menelan (-). Perubahan suara (-). Pasien juga mengeluhkan
adanya benjolan di lehernya yang bertambah besar dalam 4 bulan terakhir.
Keluhan baru dirasakan pertama kali. Riwayat merokok (+). Riwayat kanker (-).
Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan pasien memiliki berat badan kurang,
nadi 63x/m, ireguler, eksoftalmus (-), gerakan bola mata dalam batas normal, lid
lag (-/-), pembesaran kelenjar tiroid difus, permukaan licin, konsistensi kenyal,
nyeri tekan (-), JVP 5+2 cmH2O, pelebaran sela iga, iktus kordis terlihat, pada
auskultasi jantung ditemukan murmur sistolik grade III pada area mitral. Pada
pemeriksaan abdomen hepar teraba 2 jari di bawah arcus costae, dan 4 jari di
bawah proc xiphoideus disertai nyeri tekan, asites (-). Tremor (+), tangan teraba
basah dan lembab. Pitting edema (+) pada kedua tungkai bawah.
Pemeriksaan penunjang: anemia mikrositik hipokrom, peningkatan SGOT SGPT
(95 dan 94 u/L), FT4 meningkat (6,55 ng/dL), TSHs menurun (0,008). Pada
pemeriksaan EKG hari rawat keempat dijumpai atrial fibrilasi.

11
6. ASSESSMENT
- Graves Disease
- Penyakit Jantung Tiroid
- PPOK

7. PENATALAKSANAAN
1. Diet TKTP 6. Inj Furosemid 40 mg/12 jam/iv
2. IVFD RL 10 tpm 7. Inj Dexamethasone 4 mg/8 jam/iv
3. Inj Ranitidin 50 mg/12 jam/iv 8. Nebulizer Combivent 1 amp/8 jam
4. Inj Ketorolac 30 mg/8 jam/iv 9. PTU 4x200 mg po
5. Inj Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv 10. Propanolol 2x10 mg po

8. FOLLOW UP

Tanggal S O A P
19-05-2018 Lemas (-), sesak (-), TTV: - Graves Disease 1. Diet TKTP
batuk masih ada, nyeri TD: 110/70 mmHg - Penyakit 2. IVFD RL 10 tpm
perut kanan atas N: 63 x/m ireguler
Jantung Tiroid 3. Inj Ranitidin 50 mg/12
berkurang, diare (-) P: 20x/m
kaki bengkak belum T: 36,9 - PPOK jam/iv
turun PF: 4. Inj Ketorolac 30 mg/8
Thorax: Rh -/- Wh-/-
jam/iv
Abd: Hepar teraba 2
jari di bawah arcus 5. Inj Ceftriaxone 1 gr/12
costae, 4 jari di jam/iv
bawah proc.
6. Inj Furosemid 40 mg/12
Xiphoideus, nyeri
tekan (+) jam/iv
Pitting edema 7. Inj Dexamethasone 4
(--/++) mg/8 jam/iv
8. Nebulizer Combivent 1
amp/8 jam
9. PTU 4x200 mg po
10. Propanolol 2x10 mg po

12
20-05-2018 Lemas (-), sesak (-), TTV: - Graves Disease 1. Diet TKTP
batuk berkurang, nyeri TD: 100/70 mmHg - Penyakit 2. IVFD RL 10 tpm
perut berkurang, kaki N: 65 x/m ireguler
Jantung Tiroid 3. Inj Ranitidin 50 mg/12
bengkak mulai turun P: 20x/m
T: 36,5 - PPOK jam/iv
PF: 4. Inj Ketorolac 30 mg/8
Abd: Hepar teraba 2
jam/iv
jari di bawah arcus
costae, 3 jari di 5. Inj Ceftriaxone 1 gr/12
bawah proc. jam/iv
Xiphoideus, nyeri
6. Inj Furosemid 40 mg/12
tekan (+)
Pitting edema jam/iv
(--/++) 7. Inj Dexamethasone 4
mg/8 jam/iv
8. Nebulizer Combivent 1
amp/8 jam
9. PTU 4x200 mg po
10. Propanolol 2x10 mg po
21-05-2018 Batuk (-), nyeri perut (- TTV: - Graves Disease Terapi lanjut
), kaki bengkak turun TD: 100/80 mmHg - Penyakit
N: 56 x/m ireguler
Jantung Tiroid
P: 20x/m
T: 36,8 - PPOK
PF:
Abd: Hepar teraba 2
jari di bawah arcus
costae, 1 jari di
bawah proc.
Xiphoideus, nyeri
tekan (-)
Pitting edema
pretibial
(--/++)

22-05-2018 Tidak ada keluhan TTV: - Graves Disease - Boleh Pulang


TD: 110/70 mmHg - PTU 4x200 mg po
- Penyakit
N: 58 x/m ireguler - Spironolakton
Jantung Tiroid 1x100mg po
P: 20x/m
T: 36,4 - PPOK
PF:
Abd: Hepar teraba 2

13
jari di bawah arcus
costae, nyeri tekan (-
)
Pitting edema
(--/++)

14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. GRAVES DISEASE
a. Definisi
Graves disease merupakan suatu penyakit autoimun yang menyebabkan
tiroid terlalu aktif menghasilkan hormon tiroid dalam jumlah banyak
(hipertiroidisme dan tirotoksikosis), sehingga dapat bermanifestasi
sebagakelainan mata dan kulit.1,2

Gambar 1. Exophtalmus pada Penyakit Graves sebelum dan sesudah dilakukan koreksi dekompresi
orbital.1

b. Etiologi dan Faktor Predisposisi


Penyakit Gravesdisebabkan oleh adanyathyroid-stimulating antibodies
(TSAb) yang berikatan dan mengaktifkan thyrotropin receptor (TSHR) pada sel
tiroid yang mensintesis dan melepaskan hormon tiroid.Saat ini diidentifikasi
adanya antibodi IgG sebagai thryoid stimulating antibodies pada penderita GD

15
yang berikatan dan mengaktifkan reseptor tirotropinpada sel tiroid yang
menginduksi sintesa dan pelepasan hormon tiroid.1,2,3
Selain mekanisme yang mungkin di balik patogenesis penyakit seseorang
harus mempertimbangkan penyebab pencetusnya. Meskipun penyebab penyakit
mungkin masih tidak dapat dijelaskan, sejumlah faktor telah terbukti
meningkatkan atau mengurangi risiko pengembangan penyakit Graves. Selain
asosiasi yang telah diketahui, seperti riwayat keluarga penyakit tiroid autoimun
dan jenis kelamin perempuan, peningkatan risiko telah diamati pada orang yang
merokok; Penyakit Graves juga lebih umum selama periode postpartum dan
setelah terapi radioiodine untuk struma nontoksik. Selain itu, sejumlah obat
imunomodulasi dapat meningkatkan risiko, dan stres psikologis dapat pula
memainkan peran. Di sisi lain, konsumsi alkohol moderat dikaitkan dengan
penurunan risiko beberapa kali lipat dibandingkan dengan orang yang tidak
minum alkohol.1,2,3
1. Faktor Genetik
Riwayat keluarga dikatakan 15 kali lebih besar dibandingkan
populasiumum untuk menderita penyakit ini. Gen HLAyang berada pada
rangkaiankromosom ke-6 ekspresinya mempengaruhi perkembangan
penyakit autoimun ini. Molekul HLA terutama kelas II yang berada pada sel
T di timus memodulasi respons imun sel T terhadap reseptor limfosit T
selama terdapat antigen. Interaksi ini merangsang aktivasi T helper limfosit
untuk membentuk antibodi. T supresor limfosit atau faktor supresi yang
tidak spesifik mempunyai aktifitas yang rendah pada penyakit autoimun
kadang tidakdapat membedakan mana T helper mana yang disupresi
sehingga T helper yang membentuk antibodi yang melawan sel induk akan
eksis danmeningkatkan proses autoimun.1,2

16
2. Infeksi
BakteriYersinia enterocolitica yangmempunyai protein antigen pada
membran selnya yang sama dengan TSHR pada sel folikuler kelenjar tiroid
diduga dapat mempromositimbulnya penyakit Graves terutama pada
penderita yang mempunyaifaktor genetic. Namun, hingga saat ini belum ada
penelitian yang menunjukkan hubungannya secara bermakna.1,2

3. Faktor Stres
Penyakit Graves dapat menjadi jelas baik setelah stres emosional yang
berat. Banyak pengalaman dan laporan klinis telah menghubungkan stres
utama dengan onset penyakit ini, termasuk data tentang tingginya insiden
tirotoksikosis di kalangan pengungsi dari kamp penjara Nazi, meskipun ini
mungkin lebih terkait langsung dengan penggantian yodium setelah mereka
dibebaskan. Beberapa data menunjukkan bahwa stres menginduksi
keseluruhan keadaan penekanan kekebalan oleh mekanisme nonspesifik,
mungkin timbul secara sekunder akibat efek aksi hormon cortisol dan
corticotropin-releasing pada tingkat sel imun. Setelah penekanan kekebalan
akut oleh stres, mungkin ada kelebihan kompensasi oleh sistem kekebalan
ketika supresi dilepaskan. Reaksi ini kemudian akan memicu penyakit tiroid
autoimun, seperti yang terlihat setelah pelepasan dari imunosupresi
kehamilan pada periode postpartum ketika penyakit tiroiditis atau Graves
mungkin berkembang. Fenomena rebound akan menghasilkan aktivitas
kekebalan yang lebih besar daripada normal dan akan memulai penyakit
hanya jika individu itu rentan secara genetis.1,2

4. Faktor Jenis Kelamin


Wanita lebih sering terkena penyakit ini karena modulasi respons
imunoleh estrogen. Hal ini disebabkan karena epitope ekstraseluler

17
TSHRhomolog dengan fragmen pada reseptor LH dan homolog dengan
fragmen pada reseptor FSH.1,2

5. Faktor Postpartum
Penyakit Graves berat jarang terjadi selama kehamilan karena
hipertiroidisme dikaitkan dengan penurunan kesuburan. Bagi para wanita
dengan penyakit ringan yang berhasil hamil, hipertiroidisme berhubungan
dengan peningkatan risiko kehilangan kehamilan dan komplikasi
kehamilan, seperti yang dicontohkan oleh pengaruh kadar hormon tiroid
yang tinggi pada kehamilan normal yang terlihat pada resistensi hormon
tiroid. Data tersebut menunjukkan bahwa kelebihan hormon tiroid sendiri
memiliki efek toksik langsung pada janin. Namun, kehamilan adalah suatu
kondisi imunosupresi, sehingga penyakit ini cenderung membaik seiring
dengan kehamilan yang berkembang. Fungsi sel-T dan sel-B berkurang saat
kehamilan berlangsung di bawah pengaruh kedua faktor plasenta lokal dan
sel T regulator. Rebound dari imunosupresi ini setelah melahirkan dapat
berkontribusi pada perkembangan penyakit tiroid pascamelahirkan. Dalam
penelitian Swedia retrospektif, 30% wanita muda memiliki riwayat
kehamilan dalam 12 bulan sebelum onset penyakit Graves, menunjukkan
bahwa penyakit Graves pascapartum adalah presentasi umum yang
mengejutkan dan bahwa kehamilan merupakan faktor risiko utama bagi
wanita yang rentan. Konsisten dengan pengamatan ini adalah tingkat
kekambuhan penyakit Graves yang lebih tinggi yang terjadi pada wanita
postpartum yang sebelumnya mengalami remisi.1,2

c. Patogenesis
Penyakit tiroid autoimun ditandai dengan adanya serum antibodi terhadap
tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R).
Disamping itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada

18
permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam
proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita
penyakit Graves. Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan
antigen diatas dan bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon
gamma) akan mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC
kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T.
Autoimun yang dimediasi sel T juga dapat ditunjukkan terhadap tiga antigen
tiroid primer. Seperti disebutkan sebelumnya, penyakit tiroid autoimun juga
ditandai oleh infiltrasi limfositik kelenjar tiroid, seperti yang ditunjukkan pada
1,5,6
tiroiditis autoimun dan penyakit Graves.
Limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada
didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk
mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. TSAb yang disintesis akan
bereaksi TSHR didalam membran sel tiroid mengaktifkan kompleks sinyal Gsα
dan Gq dan menginduksi pertumbuhan tiroid, meningkatkan vaskularisasi, dan
menyebabkan peningkatan produksi hormon tiroid dan sekresi.Adanya antibodi
didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan
kekambuhan penyakit. Mekanisme autoimunitas merupakan faktor penting
dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada
penyakit Graves.1,5,6
TSHR memiliki tujuh domain transmembran dan menggunakan beberapa
protein G untuk transduksi sinyal. TSHR manusia (hTSHR) adalah autoantigen
utama penyakit Graves, seperti yang ditunjukkan oleh perkembangan
hipertiroidisme pada tikus dan hamster setelah terpapar antigen hTSHR normal.
Perlu dicatat bahwa ekspresi TSHR di ekstratiroid telah dilaporkan di banyak
jaringan, termasuk fibroblas, fibrosit, adiposit, limfosit, osteoklas dan osteoblas,
dan sel hipofisis. Meskipun peran fisiologis TSHR di situs ini perlahan-lahan
terungkap, peran mereka dalam penyakit tiroid autoimun tetap tidak jelas.1,5,6

19
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells)
dan antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang
berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola
mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan
menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan
pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia. Dermopati Graves
(miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam jaringan
fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya akumulasi
glikosaminoglikans, Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan
perangsangan katekolamin, seperti takhikardi, tremor, dan keringat banyak.
Adanya hiperreaktivitas katekolamin, terutama epinefrin diduga disebabkan
karena terjadinya peningkatan reseptor katekolamin didalam otot jantung.4,6

Gambar 2. Patogenesis kejadian autoimun pada Penyakit Graves1

Kelebihan hormon tiroid akan menyebabkan kondisi hipermetabolik


yangdisertai peningkatan aktivitas simpatis, sehingga menyebabkan
a. peningkatan cardiac output

20
b. peningkatan konsumsi oksigen
c. Peningkatan aliran darah tepid.
d. Peningkatan suhu tubuh.
Kelebihan tiroid juga mempengaruhi metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein:
a. Pemecahan protein melebihi sintesis
b. Penurunan toleransi glukosac.
c. Peningkatan pemecahan trigliserida (Kekurangan lipid)
d. Defisiensi nutrisi dan kalori.
e. Bila hipertiroid terjadi sebelum dewasa kelambatan pertumbuhan seksual.
f. Jika terjadi setelah pubertas: menstruasi tidak teratur, infertility, penurunan
libido.

Gambar 3. Patogensis Penyakit Graves6

21
Gambar 4. Patofisiologi Hipertiroidisme4

22
d. Diagnosis
1. Manifestasi Klinis
Pada individu yang lebih muda manifestasi yang umum termasuk
palpitasi,kegelisahan, mudah lelah dan diare, banyak keringat, tidak tahan
panas, dan senangdingin. Sering terjadi penurunan berat badan jelas, tanpa
penurunan nafsu makan.Pembesaran tiroid, tanda-tanda tirotoksikosis pada
mata, dan takikardi ringanumumnya terjadi. Kelemahan otot dan
berkurangnya massa otot dapat sangat beratsehingga pasien tidak dapat berdiri
dari kursi tanpa bantuan. Pada anak-anak terdapat pertumbuhan cepat dengan
pematangan tulang yang lebih cepat. Pada pasien diatas 60tahun, manifestasi
kardiovaskuler dan miopati sering lebih menonjol. Keluhan yang paling
menonjol adalah palpitasi, dispneu d`effort, tremor, nervous dan penurunan
berat badan.1,5
Terjadinya hipertiroidisme biasanya perlahan-lahan dalam beberapa
bulansampai beberapa tahun, namun dapat juga timbul secara dramatik.
Manifestasi klinisyang paling sering adalah penurunan berat badan, kelelahan,
tremor, gugup, berkeringat banyak, tidak tahan panas, palpitasi, dan
pembesaran tiroid. Penurunan berat badanmeskipun nafsu makan bertambah
dan tidak tahan panas adalah sangat spesifik,sehingga segera dipikirkan
adanya hipertiroidisme.1,5
Penderita hipertiroidisme memiliki bola mata yang menonjol yang
disebutdengan eksoftalmus, yang disebabkan oleh edema daerah retro-orbita
dan degenerasiotot-otot ekstraokuli. Penyebabnya juga diduga akibat proses
autoimun. Eksoftalmus berat dapat menyebabkan teregangnya N. Optikus
sehingga penglihatan akan rusak.Eksoftalmus sering menyebabkan mata tidak
bisa menutup sempurna sehingga permukaan epithel menjadi kering dan
sering terinfeksi dan menimbulkan ulkuskornea.1,5

23
Hipertiroidisme pada usia lanjut memerlukan perhatian khusus sebab
gejala dantanda sistem kardiovaskular sangat menonjol dan kadang-kadang
berdiri sendiri. Pada beberapa kasus ditemukan payah jantung, sedangkan
tanda-tanda kelainan tiroidsebagai penyebab hanya sedikit. Payah jantung
yang tidak dapat diterangkan pada umur pertengahan harus dipikirkan
hipertiroidisme, terutama bila ditemukan juga curah jantung yang tinggi atau
atrium fibrilasi yang tidak dapat diterangkan. Pada usia lanjutada baiknya
dilakukan pemeriksaan rutin secara berkala kadar tiroksin dalam darahuntuk
mendapatkan hipertiroidisme dengan gejala klinik justru kebalikan dari gejala-
gejala klasik seperti pasien tampak tenang, apatis, depresi dan struma yang
kecil.1,5

Tabel 1. Gejala Serta Tanda Hipertiroidisme Umumnya dan pada Penyakit Graves
Sistem Gejala dan Tanda Sistem Gejala dan Tanda
Umum Tak tahan hawa panas, Psikis dan saraf Labil. Iritabel,
hiperkinesis, capek, tremor, psikosis,
BB turun, tumbuh nervositas, paralisis
cepat, toleransi obat, periodik dispneu
youth fullness
Gastrointestinal Hiferdefekasi, lapar, Jantung hipertensi, aritmia,
makan banyak, haus, palpitasi, gagal
muntah, disfagia, jantung
splenomegali
Muskular Rasa lemah Darah dan limfatik Limfositosis,
anemia,
splenomegali, leher
membesar
Genitourinaria Oligomenorea, Skelet Osteoporosis,
amenorea, libido turun, epifisis cepat
infertil, ginekomastia menutup dan nyeri
tulang
Kulit Rambut rontok,
berkeringat, kulit
basah, silky hair dan
onikolisis

24
Tabel 2. Indeks Wayne
Indeks Wayne
Gejala Yang Baru Timbul Dan Atau
No Nilai
Bertambah Berat
1 Sesak saat kerja +1
2 Berdebar +2
3 Kelelahan +2
4 Suka udara panas -5
5 Suka udara dingin +5
6 Keringat berlebihan +3
7 Gugup +2
8 Nafsu makan naik +3
9 Nafsu makan turun -3
10 Berat badan naik -3
11 Berat badan turun +3

No Tanda Ada Tidak Ada


1 Tyroid teraba +3 -3
2 Bising tyroid +2 -2
3 Exoptalmus +2 -
4 Kelopak mata tertinggal gerak bola mata +1 -
5 Hiperkinetik +4 -2
6 Tremor jari +1 -
7 Tangan panas +2 -2
8 Tangan basah +1 -1
9 Fibrilasi atrial +4 -
Nadi teratur
< 80x per menit - -3
10
80 – 90x per menit - -
> 90x per menit +3 -

25
2. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves
dan hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik
pada hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam
keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-
iodo-tironin (T-3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating
hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4 rendah, maka produksi TSH akan
meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi
TSH akan menurun 1,5
Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di
membran sel folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon
tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi.
Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar
hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang
tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan
penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut
TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka
mendekati 0,05 mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T-
4 bebas (free T-4/FT-4).1,5

3. Pemeriksaan RAIU
Pemeriksaan radioaktif yodium uptake leher dalam 24 jam akan
menunjukkan nilai lebih tinggi dari normal, lebih-lebih di daerah dengan
defisiensi yodium. Kini karena pemeriksaan T4, FT4 dan TSH-s mudah dan
dijalankan dimana-mana maka RAIU jarang digunakan. Pemeriksaan ini
dianjurkan pada : kasus dengan dugaan toksik namun tanpa gejala khas
(timbul dalam jangka pendek, gondok kecil, tanpa oftalmopati, tanpa riwayat
keluarga, dan test antibodi negatif). Dengan uji tangkap tiroid, dapat
dibedakan etiologi tirotoksikosis apakah morbus graves atau sebab lain.1,5

26
Gambar 5. Algoritma Evaluasi Tirotoksikosis

e. Diagnosis Banding
- Hipertiroidsme primer: penyakit Graves, struma multinodosa toksik,
adenoma toksik, metastasis karsinoma tiroid fungsional, struma oavarii,
mutasi reseptor TSH, obat : kelebihan iodium (fenomena Jod Basedow)
- Tiroroksikosis tanpa hipertiroidsme : tiroiditis subakut, tiroiditis silent,
destruksi tiroid (karena amiodarone, radiasi, infark adenoma), asupan
hormon tiroid berlebihan (tirotoksikosis factitia)

27
- Hipertiroidsime sekunder : adenoma hipofisis yang mensekresi TSH,
sindrom reisistensi hormon tiroid, tumor yang mensekresi HCG,
tirotoksigosis gestasional

f. Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengobatan penderita hipertiroid meliputi:
- Pengobatan umum/Istirahat Hal ini diperlukan agar hipermetabolisme pada
penderita tidak makin meningkat. Penderita dianjurkan tidak melakukan
pekerjaan yang melelahkan dan mengganggu pikiran baik di rumah atau di
tempat bekerja, dan dalam keadaan berat dianjurkan bed rest total di rumah
sakit.2
- Diet harus tinggi kalor, protein, multivitamin serta mineral. Hal ini antaralain
karena terjadinya peningkatan metabolism, keseimbangan nitrogenyang negatif
dan keseimbangan kalsium yang negatif2
- Terapi Medikamentosa
Obat Antitiroid
Obat yang termasuk golongan ini adalah thionamide, yodium, lithium,
perchlorat dan thiocyanat. Cbat yang sering dipakai dari golongan thionammide
adalah propylthiouracyl (PTU), 1-methyl-2-mercaptoimidazole (methimazole,
tapazole, MMI), carbimazole. Cbat ini bekerja menghambat sintesis hormon
tetapi tidak menghambat sekresinya,yaitu dengan menghambat terbentuknya
monoiodotyrosine dan diiodotyrosine, serta menghambat coupling
diiodotyrosine sehingga menjadi hormon yang aktif. PTU juga menghambat
perubahan T4 menjadi T3 di jaringan tepi, serta harganya lebih murah sehingga
pada saat inidianggap sebagai obat pilihan.1,7
Obat antitiroid diakumulasi dan dimetabolisme di kelenjar gondok
sehingga pengaruh pengobatan lebih tergantung pada konsentrasi obatdalam

28
kelenjar dari pada di plasma. MMI dan carbimazole sepuluh kalilebih kuat
daripadaPTU sehingga dosis yang diperlukan hanya satu persepuluhnya. 1,7
Dosis obat antitiroid dimulai dengan 300-600 mg perhari, yaitu 100-200
mg tiap 8 jam. Dosis kemudian dapat diurunkan 50-100 mg 2-3 kali per
hari.30-60 mg per hari untuk MMI/carbimazole, terbagi setiap 8 atau 12 jam
atau sebagai dosis tunggal setiap 24 jam. 1,7

Penyekat Beta (Beta-blocker)


Terjadinya keluhan dan gejala hipertiroid diakibatkan oleh adanya
hipersensitivitas pada sistem simpatis. Meningkatnya rangsangan system
simpatis ini diduga akibat meningkatnya kepekaan reseptor
terhadapkatekolamin. Penggunaan obat/obatan golongan simpatolitik
diperkirakanakan menghambat pengaruh hati. Reserpin, guanetidin dan
penyekat beta(propranolol) merupakan obat yang masih digunakan. Berbeda
dengan reserpine, guanetidin, propranolol lebih efektif terutama dalam kasus-
kasus yang berat. Biasanya dalam 24-36 jam setelah pemberian akan tampak
penurunan gejala. Efek dari propranolol misalnya penurunan denyut jantung
permenit, penurunan cardiac output, pengurangan nervositas, pengurangan
produksi keringat,pengurangan tremor.1,7
Di samping pengaruh pada reseptor beta, propranolol dapat menghambat
konversi T4 ke T3 di perifer. Penggunaan propranolol antara lain sebagai
persiapan tindakan pembedahan atau pemberian yodium radioaktif, mengatasi
kasus yang berat dan krisis tiroid.1,7

- Ablasi kelenjar gondok dengan pembedahan atau pemberian I131


- Tindakan pembedahan. Indikasi utama untuk melakukan tindakan
pembedahan adalahmereka yang berusia muda dan gagal atau alergi terhadap
obat/obatantitiroid. Tindakan pembedahan berupa tiroidektomi subtotal
jugadianjurkan pada penderita dengan keadaan yang tidak mungkin diberi

29
pengobatan dengan I131 (wanita hamil atau yang merencanakan kehamilandalam
waktu dekat). Indikasi lain adalah mereka yang sulit dievaluasi pengobatannya,
penderita yang keteraturannya minum obat tidak terjaminatau mereka dengan
struma yang sangat besar dan mereka yang ingin cepateutiroid atau bila
strumanya diduga mengalami keganasan,danalas an kosmetik. Untuk persiapan
pembedahan dapat diberikan kombinasi antarathionamid, yodium atau
propanolol guna mencapai keadaan eutiroid. Thionamid biasanya diberikan 6-8
minggu sebelum operasi, kemudiandilanjutkan dengan pemberian larutan Lugol
selama 10-14 hari sebelumoperasi. Propranolol dapat diberikan beberapa
minggu sebelum operasi, kombinasi obat ini dengan Yodium dapat diberikan 10
hari sebelum operasi. Tujuan pembedahan yaitu untuk mencapai keadaan
eutiroid yang permanen.1

g. Komplikasi
Krisis Tiroid
Krisis tiroid merupakan suatu keadaan tirotoksikosis menjadi hebatdan
disertai antara lain adanya panas badan, delirium, takikardi, dehidrasi berat dan
dapat dicetuskan oleh antara lain: infeksi dan tindakan pembedahan. Prnsip
pengelolaan hampir sama yakni mengendalikantirotoksikosis dan mengatasi
komplikasi yang terjadi. Untuk mengendalikan tirotoksikosis dapat digunakan
terapi kombinasi dengandosis tinggi misalnya PTU 300 mg tiap 6 jam,
propranolol 80 mg tiap 6 jam (IV 2-4 mg tiap 4 jam) dan dapat diberikan
glukokortikoid(hidrokortison 300 mg). Sedangkan untuk mengatasi
komplikasinyatergantung kondisi penderita dan gejala yang ada. Tindakan
harussecepatnya karena angka kematian penderita ini cukup besar. 1

30
B. PENYAKIT JANTUNG TIROID
a. Definisi dan Insidensi
Penyakit jantung tiroid (PJT) adalah penyakit jantung yang disebabkan
oleh pengaruh hormon tiroid. Pengaruh biokimiawi hormon tiroid pada jantung
terjadi terutama pada hipertirodisme. Hipertiroidisme adalah hiperfungsi tiroid,
yaitu peningkatan biosintesis dan sekresi hormon oleh kelenjar tiroid. Konsep
PJT diperkenalkan oleh Samuel Levine tahun 1924, yang menerangkan tentang
adanya aritmia atrium, gagal jantung kongestif dan pembesaran jantung pada
hipertiroidisme. Dengan demikian, maka dapat dikatakan PJT ialah suatu
keadaan kelainan fungsi dan atau structural jantung menetap yang murni terjadi
akibat gangguan fungsi tiroid dan tidak didapatkan penyebab atau etiologi lain
dari kelainan jantung tersebut.8
Insiden penyakit jantung tiroid cukup tinggi di masyarakat dan dapat
mengenai segala usia. Insiden diperkirakan 0,4 per 1000 wanita per tahun, lebih
sering pada wanita dibandingkan pria dengan perban-dingan 4:1, terutama pada
usia 30-50 tahun; 15% terjadi pada usia diatas 60 tahun dan 70% disebabkan
oleh penyakit Graves yang berakibat meningkatnya angka kematian dan angka
kesakitan kardiovaskuler.9

b. Etiopatogenesis
Prevalensi data dari Whickham Survey pada pemeriksaan penyaring
dengan meng-gunakan free thyroxine index (FT4I) me-nunjukkan
hipertiroidisme pada masyarakat sebanyak 2%. Pada wanita ditemukan 20-27
kasus per 1.000 wanita, sedang pria 1-5 per 1.000 pria. Umumnya usiapenderita
antara 20-50 tahun. Penyebab terbanyak ialah struma difus toksik (penyakit
Graves), biasanya mengenai usia 20-40 tahun. Penyebab lainnya ialah adenoma
toksik dan struma multinodosa toksik. Prevalensi struma multinodosa toksik
meningkat dengan usia dan menjadi penyebab utama hipertiroidisme pada
orang tua.10

31
Hormon tiroid sangat memengaruhi sistem kardiovaskular dengan
beberapa mekanisme, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hormon
tiroid meningkat-kan metabolisme tubuh total dan konsumsi oksigen yang
secara tidak langsung me-ningkatkan beban kerja jantung. Mekanis-me secara
pasti belum diketahui namun diketahui bahwa hormon tiroid menyebab-kan
efek inotropik, kronotropik, dan dromotropik yang mirip dengan efek stimulasi
adrenergik.10
Efek hormon tiroid terhadap sel nuklear terutama dijembatani melalui
perubahan penampilan gen yang responsif. Proses ini dimulai dengan difusi T4
dan T3 melintasi membran plasma karena mudah larut dalam lemak. Di dalam
sitoplasma, T4 dirubah menjadi T3 oleh 5-mono-delodinase, konsentrasinya
bervariasi dari jaringan ke jaringan, yang merupakan hubungan tidak langsung
sebagai respons jaringan terhadap hormon tiroid. Selanjut-nya, T3 sirkulasi dan
T3 yang baru disintesis melalui membran nukleus untuk berikatan dengan
reseptor hormon tiroid spesifik (THRs).10
Secara anatomis, hormon tiroid dapat mengakibatkan hipertrofi jantung
sebagai akibat meningkatnya sintesis protein. Peningkatan isi semenit
disebabkan olehpeningkatan frekuensi denyut jantung dan isi sekuncup,
penurunan resistensi perifer, dan adanya vasodilatasi perifer akibat pemanasan
karena peningkatan metabolis-me jaringan. Pengaruh hormon tiroid pada
hemodinamik jantung dapat juga terjadi akibat meningkatnya kontraktilitas otot
jantung. Pada tirotoksikosis, sirkulasi yang meningkat mirip dengan keadaan
mening-katnya kegiatan adrenergik. Hal ini bukan disebabkan oleh
meningkatnya sekresi katekolamin, karena kadar katekolamin justru turun pada
tirotoksikosis. Keadaan ini disebabkan oleh meningkatnya kepeka-an jaringan
terhadap katekolamin. Pada sistem hantaran, hormon tiroid menyebab-kan
meningkatnya kecepatan hantaran atrium dan memendeknya masa refrakter
yang tak dapat dipengaruhi oleh katekol-amin. Sinus takikardia terjadi 40%

32
pasien dengan hipertiroidisme dan 10 - 15% dapat terjadi fibrilasi atrial
persisten.10
Pada penyakit jantung akibat hiper-tiroidisme tidak dijumpai kelainan
histo-patologik yang nyata, kecuali adanya dilatasi dan hipertrofi ventrikel.
Umumnya, gagal jantung pada pasien hipertiroidisme terjadi pada dekade akhir
kehidupan dengan insiden tinggi terjadinya penyakit jantung koroner.
Kemungkinan peran hormon tiroid dalam mengakibatkan gagal jantung melalui
peningkatan kebutuhan oksigen pada pasien yang sudah mengalami kekurangan
penyediaan oksigen akibat penyakit jantung koroner. Keadaan pasien yang
berat biasanya dihubungkan dengan hipertiroidisme yang telah berlangsung
lama dengan kontraktilitas otot jantung yang buruk, isi semenit yang rendah,
dan gejala serta tanda gagal jantung.10

c. Manifestasi Klinis
Parry dan Graves menemukan bahwa hiperfungsi kelenjar tiroid
didominasi oleh gejala-gejala kardiovaskular. Studi pada binatang percobaan
dan manusia memper-lihatkan bahwa pengaruh kelebihan hormon tiroid
mengakibatkan meningkatnya kebu-tuhan oksigen, kerja inotropik, kerja
kronotropik, dan pintas arteri-vena perifer. Dengan kateterisasi jantung dapat
dibuktikan bahwa peningkatan hormon tiroid ini mengakibatkan peningkatan
frekuensi denyut jantung, isi semenit, waktu curah rata-rata ventrikel kiri, aliran
darah koroner, dan meningkatnya kebutuhan oksigen.10
Pasien dengan penyakit jantung tiroid sering mengeluhkan gejala-gejala
yang berkaitan dengan perubahan kronotropik. Pasien sering mengalami
palpitasi, irama jantung yang tidak teratur, dan dispnea saat beraktivitas. Pada
pasien lanjut usia yang memiliki dasar penyakit arteri koroner, angina pektoris
dapat terjadi bersamaan dengan onset hipertiroidisme. Selain itu, pasien dengan
hipertiroidisme dapat menunjukkan tanda-tanda gagal jantung kongestif tanpa
kelainan jantung sebelumnya.10

33
Masalah irama jantung yang paling sering ditemukan pada
hipertiroidisme ialah sinus takikardia. Peningkatan denyut jantung >90 x/menit
terjadi pada saat istirahat atau selama tidur dan respon berlebihan jantung
ditemukan selama berolahraga. Masalah berat ditemukan pada pasien dengan
hipertiroidisme dan atrial fibrillation (AF) rapid ventricular response karena
dapat menyebabkan kardiomiopati. Pemeriksaan fungsi tiroid harus secepatnya
dilakukan pada pasien dengan onset baru AF meskipun hanya <1% dari pasien
tersebut yang memiliki bentuk subklinis atau klinis hipertiroidisme.10
Umumnya pasien dengan hipertiroidisme dan AF bisa dikonversi ke
irama sinus dalam waktu 8 sampai 10 minggu setelah dimulai pengobatan.
Bentuk lain dari aritmia jarang terjadi. Pasien yang mengalami keterlambatan
dalam konduksi intraventrikular insidennya <15%. Blok atrioventrikular
mungkin terjadi, tetapi sangat jarang ditemukan.10

d. Diagnosis
Pemeriksaan laboratorium yang sering dilakukan untuk mendiagnosis
hipertioridisme ialah pemeriksaan TSHs, kadar FT4, dan FT3. Pemeriksaan
TSHs serum merupakan penunjang diagnosis hiper-tiroidisme yang paling
handal saat ini dimana kadar TSHs pada hipertiroidisme rendah atau tidak
terdeteksi, dengan FT4 yang tinggi diatas normal. Bila kadar FT4 normal maka
harus diperiksa FT3 untuk menentukan tirotoksikosis T3. Bila T3 normal maka
keadaan ini yang disebut dengan hipertiroidisme subklinis. Indeks klinis Wayne
sudah dikenal sejak lama dan sangat membantu mendiagnosis hiper-tiroidisme
dengan tingkat akurasi sebesar 85%.10
Pemeriksaan penunjang yang diper-lukan untuk menegakkan diagnosis
ialah pemeriksaan foto toraks postero-anterior, elektrokardiografi, dan
ekokardiografi. Gambaran radiologik umumnya normal, kadang- kadang
dijumpai pembesaran aorta asenden dan desenden, penonjolan segmen
pulmonal, dan pada kasus yang berat dijumpai pula pembesaran jantung. Pada

34
pemeriksaan elektrokardiografi sering dijumpai gangguan irama dan kadang-
kadang juga ditemukan gangguan hantaran. Pada kasus yang berat dapat
dijumpai pembesaran ventrikel kiri yang menghilang setelah pengobatan.
Pemeriksaan eko-kardiografi dapat menunjukkan insufisiensi mitral dan
trikuspid.10
Diagnosis penyakit jantung tiroid dapat ditegakkan dan dipastikan dengan
pemeriksaan kadar hormon tiroid bebas, yaitu kadar FT4 yang tinggi dan TSHs
yang sangat rendah. Menurut Bayer MF, kombinasi hasil pemeriksaan
laboratorium TSHs yang tak terukur atau subnormal dan FT4 yang meningkat
jelas menunjukkan hipertirodisme. Gagal jantung sebagai akibat komplikasi
hipertiroidisme dapat ditegakkan dengan menggunakan kriteria Framingham,
yaitu bila gejala dan tanda gagal jantung memenuhi 2 kriteria mayor atau 1
kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor.10

e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipertiroidisme de-ngan komplikasi kardiovaskular
memerlukan pendekatan yang berbeda, yaitu dengan mempertimbangkan faktor
kardiovaskular tersebut. Tujuan pengobatan ialah secepatnya menurunkan
keadaan hiper-metabolik dan kadar hormon tiroid yang berada dalam sirkulasi.
Keadaan sirkulasi hiperdinamik dan aritma atrial akan memberikan respon baik
dengan pemberian obat penyekat beta. Dalam hal ini, propanolol merupakan
obat pilihan karena bekerja cepat dan mempunyai keampuhan yang sangat besar
dalam menurunkan frekuensi denyut jantung. Selain itu, penghambat beta dapat
menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer. Pada pasien dengan gagal
jantung berat, peng-gunaan obat penyekat beta harus dengan sangat hati-hati
karena dapat memperburuk fungsi miokard, meskipun beberapa penulis
mendapat hasil baik pada pengobatan pasien gagal jantung akibat tirotoksikosis.
Bahaya lain dari obat penyekat beta ialah dapat menimbulkan spasme bronkial,

35
terutama pada pasien dengan asma bronkial. Dosis yang diberikan berkisar
antara 40-160 mg per hari dibagi 3-4 kali pemberian.10
Pada pasien dengan hipertiroidisme dan AF, terapi awal harus difokuskan
pada kontrol irama jantung dengan menggu-nakan penyekat beta (propanolol,
atenolol, bisoprolol), tetapi konversi ke irama sinus sering terjadi secara
spontan bersamaan dengan pengobatan hipertiroidisme. Pemberian penyekat
beta pada kasus hipertiroidisme terkait dengan gagal jantung, harus diberikan
sedini mungkin. Golongan obat penyekat beta dapat mengontrol takikardia,
palpitasi, tremor, kecemasan, dan mengurangi aliran darah ke kelenjar tiroid.
Tujuan terapi dengan penyekat beta ialah menurunkan denyut jantung ke
tingkat mendekati normal dan kemudian meningkatkan perbaikan kom-ponen
disfungsi ventrikel kiri (LV). Penggunaan bisoprolol memiliki efek
menguntungkan pada kasus gagal jantung dengan AF karena berhubungan
dengan remodeling dari ventrikel kiri dan terdapat peningkatan signifikan left
ventricle ejection fraction (LVEF). Jika AF berlanjut, pertimbangan harus
diberikan untuk antikoagulasi, terutama pada pasien yang berisiko tinggi
terhadap emboli. Terapi antikoagulan pada pasien hipertiroidisme dengan AF
masih kontro-versial. Frekuensi rata-rata insiden trombo-emboli pada pasien
hipertiroidisme sekitar 19%. Beberapa peneliti tidak merekomen-dasikan
pemberian obat antikoagulan pada pasien usia muda dengan durasi AF yang
pendek (kurang dari 3 bulan) dan tanpa kelainan jantung oleh karena konversi
ke irama sinus akan terjadi setelah diterapi dengan obat antitiroid. Pasien
dengan AF kronik dan mempunyai kelainan jantung organik, berisiko tinggi
terjadinya emboli sehingga merupakan indikasi pemberian antikoagulan. Jika
AF belum teratasi, perlu dilakukan kardioversi setelah 16 minggu telah menjadi
eutiroidisme. Perlindungan antikoagulan terus diberikan sampai 4 minggu
setelah konversi.1 Risiko kejadian tromboemboli dan strok pada pasien dengan
AF tidaklah sama. Terdapat berbagai faktor klinis lain yang turut berkontribusi
terhadap risiko tersebut. Salah satu model yang paling populer dan sukses

36
dalam identifikasi pen-cegahan primer pasien dengan risiko tinggi strok ialah
indeks risiko CHA2DS2-VASc (Congestive heart failure, Hypertension, Age
>75 years, Diabetes mellitus, and prior Stroke or transient ischaemic
attack/TIA, Vascular disease, Age 65-74, Sex category). Indeks risiko
CHA2DS2-VASc merupakan suatu sistem skoring kumulatif yang memrediksi
risiko strok pada pasien dengan AF. Antikoagulan diperlukan untuk skor
CHA2DS2-VASc lebih dari atau sama dengan 2, dengan mempertimbangkan
risiko perdarahan.10

37
BAB III
DISKUSI

Seorang pasien laki-laki berusia 35 tahun datang dengan keluhan BAB encer
sejak ± 3 bulan SMRS setiap setelah makan, warna kuning, lendir (-), darah (-). Mual
(+) muntah sejak 2 hari SMRS isi makanan, darah (-). Nyeri ulu hati (+) Demam (+)
sejak 2 hari SMRS. Nyeri kepala bagian belakang (+) sejak 4 hari SMRS. BAK
normal lancar. Pasien juga mengeluhkan jantung berdebar-debar sejak 2 bulan yang
lalu, disertai keringat yang berlebihan, mudah kepanasan dan lebih suka dingin,
mudah cemas, sulit tidur, sesak kalau aktivitas seperti jalan jauh, nyeri dada (-),
tangan sering gemetaran, mudah lelah saat bekerja, peningkatan nafsu makan, serta
penurunan BB yang signifikan dalam 6 bulan terakhir (sekitar 15 kg). Batuk (+) sejak
4 bulan SMRS, lendir kekuningan (+) darah (-). Sulit menelan (-). Perubahan suara (-
). Pasien juga mengeluhkan adanya benjolan di lehernya yang bertambah besar dalam
4 bulan terakhir. Keluhan baru dirasakan pertama kali. Riwayat merokok (+).
Riwayat kanker (-).
Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan pasien memiliki berat badan
kurang, nadi 63x/m, ireguler, eksoftalmus (-), gerakan bola mata dalam batas normal,
lid lag (-/-), pembesaran kelenjar tiroid difus, permukaan licin, konsistensi kenyal,
nyeri tekan (-), JVP 5+2 cmH2O, pelebaran sela iga, iktus kordis terlihat, pada
auskultasi jantung ditemukan murmur sistolik grade III pada area mitral. Pada
pemeriksaan abdomen hepar teraba 2 jari di bawah arcus costae, dan 4 jari di bawah
proc xiphoideus disertai nyeri tekan, asites (-). Pitting edema (+) pada kedua tungkai
bawah
Gejala-gejala yang ditunjukkan pada pasien ini cenderung sesuai dengan gejala-
gejala yang ditemukan pada kondisi hipertiroid. Apabila di sesuaikan dengan indeks
Wayne, maka diperoleh nilai sebesar 31. Nilai 31 menandakan adanya suatu kondisi
hipertiroidisme.1

38
Pada hipertiroidisme, metabolism dan produksi panas akan meningkat. Di
berbagai jaringan, hormone tiroid akan meningkatkan sintesis enzim, akitivitas Na/K-
ATPase dan penggunaan oksigen. Di saluran pencernaan, hormon tiroid akan
meningkatkan motilitas usus dan merangsang proses transport di usus sehingga
bermanifestasi sebagai suatu diare, yang dapat disertai mual hingga muntah.1,4
Metabolism basal pada pasien hipertiroidisme hampir mendekati dua kalinya,
serta suhu tubuh pasien akan meningkat (hipertermia), dan berkeringat lebih banyak.
Kebutuhan oksigen akan meningkat sehingga timbul hiperventilasi dan mudah sesak.
Pada satu sisi, peningkatan lipolysis menyebabkan penurunan berat badan, dan pada
sisi yang lain menyebabkan hiperlipidasidemia, sementara konsentras kolesterol total
akan berkurang. Selain lipolysis, hipertiroidisme juga akan meningkatkan proteolysis
yang menyebabkan penurunan masa otot dan kelemahan otot, sebagaimana yang
dijumpai pada pasien ini dengan IMT 17,36.1,4
Pada pasien dengan kondisi hipertiroid juga sering dijumpai sulit tidur dan
mudah cemas, dimana hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan eksitabilitas
neuromuskuler. Peningkatan tersebut juga menyebabkan hiperrefleksia, dan tremor.1,4
Pada pemeriksaan fisik dijumpai adanya nadi yang ireguler yang juga ditunjang
oleh pemeriksaan EKG dan dijumpai kondisi atrial fibrilasi. Hormon tiroid akan
meningkatkan sensitivitas jantung terhadap katekolamin sehingga meningkatkan
kontraktilitas jantung dan frekuensi denyut jantung. Kondisi takikardia selanjutnya
berubah menjadi atrial fibrilasi. Eksitasi pada jantung juga menimbulkan manifestasi
seperti palpitasi.8.10
Anemia yang dijumpai pada pasien adalah jenis anemia mikrositik hipokrom.
Anemia mikrositik hipokrom dapat disebabkan oleh adanya defisiensi besi. Defisiensi
besi pada pasien dengan autoimmune thyroid disease, salah satunya ialah Graves
disease, dicurigai disebabkan oleh kondisi gastritis autoimun atau atrophic body
gastritis. Atrophic body gastritis menyebabkan hilangnya sel-sel parietal sehingga
sekresi asam lambung akan menurun dan proses penyerapan ion menjadi terganggu.11

39
Untuk menegakkan diagnosis Graves disease berdasarkan algoritme yang telah
ditunjukkan sebelumnya, maka perlu dilakukan pemeriksaan FT4 dan TSHs. Pada
pasien ini dijumpai peningkatan FT4 disertai penurunan TSHs, sehingga sesuai
dengan diagnosis Graves disease.
Pasien ini juga mengalami kondisi gagal jantung akut akibat hipertiroidisme.
Gejala dan tanda gagal jantung yang dijumpai pada pasien ini meliputi sesak nafas
terutama pada malam hari, batuk malam hari, sesak saat beraktivitas, distensi vena
leher, murmur sistolik, edema ekstremitas, dan hepatomegali. Adanya AF pada pasien
hipertiroidisme dapat berakhir dengan disfungsi ventrikel kiri terkait-laju ventrikel
dan gagal jantung, karena tidak mampu lagi menaikkan frekuensi nadi dan
menurunkan tekanan vascular sistemik pada saat aktivitas. Pada pasien ini juga
ditemukan adanya murmur sistolik di area mitral yang mengindikasikan adanya suatu
regurgitasi mitral. Prevalensi prolapse katup mitral juga meningkat pada penyakit
Graves. PKM dengan regurgitasi mitral pada akhirnya juga bias mengakibatkan
pembesaran atrium kiri dan AF.8.10
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pasien dengan hipertiroidisme
mengalami peningkatan metabolisme. Oleh karena itu, jenis diet yang lebih tepat
untuk diberikan pada pasien ini ialah diet tinggi kalori tinggi protein. Pemberian
ranitidin pada pasien ini sebenarnya tidak diperlukan, oleh karena adanya kecurigaan
gastritis autoimun, dimana produksi asam lambung sendiri sudah mengalami
penurunan. Apabila diberikan ranitidin akan memperberat penyerapan besi pada
pasien. Ketorolac diberikan pada pasien oleh karena adanya keluhan berupa nyeri
perut hingga pasien kesulitan tidur dihari sebelum pemeriksaan. Pemberian antibiotic
pun dirasa tidak perlu oleh karena tidak adanya tanda-tanda infeksi bakteri pada
pasien ini. Pemberian furosemide merupakan suatu penatalaksanaan terhadap gejala
gagal jantung yang timbul pada pasien ini. Untuk pengobatan terhadap hipertiroidnya,
diberikan obat antitiroid berupa PTU, dan propranolol. Namun, propranolol
sebaiknya dihentikan bila frekuensi jantung sudah mengalami perbaikan.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Melmed, Shlomo; Williams, Robert Hardin.12th ed. / Shlomo Melmed ... [et al.].
Philadelphia : Elsevier/Saunders, c2011
2. Shahab A. Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan
Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli

2002. Jakarta: PIKKI; 2002.
3. Weetman PA. Graves’s Disease. The New England Journal of Medicine:
Massachusetts Medical Society; 2000.
4. Silbernagl S, Lang F. Teks & atlas berwarna patofisiologi. Jakarta: EGC; 2017.
5. Kasper DL, et all. Harrison: Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi 19, Vol.5.
Jakarta: EGC; 2015.
6. Paulev, Zubieta. Thyroid hormones and disorders. [online] 2012 (cited on 1 Juni
2018). Available from: http://www.zuniv.net/physiology/book/chapter28.html
7. Ross DS, Burch HB, Cooper DS, et al. 2016 American Thyroid Association
Guidelines for Diagnosis and Management of Hyperthyroidism and Other Causes
of Thyrotoxicosis. Thyroid. 2016 Oct. 26 (10):1343-1421
8. Setiati S, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing, 2014
9. Pittas A, Lee S. Evaluation of thyroid function. In: Hall J, Nieman L, editors.
Handbook of Diagnostic Endocrinology. New Jersey: Humana Press, 2003.
10. Dillmann W. Cardiac function in thyroid disease: clinical features and
management considerations. Annals Thoracic Surgery. 2000;56:S9-15.
11. Centanni M, Marignani M, Gargano L, et al. Atrophic Body Gastritis in Patients
With Autoimmune Thyroid DiseaseAn Underdiagnosed Association. Arch Intern
Med. 1999;159(15):1726–1730. doi:10.1001/archinte.159.15.1726

41

Anda mungkin juga menyukai