Anda di halaman 1dari 4

Sistem Zonasi, Sudah Efektifkah?

Pendidikan merupakan hal terpenting dalam kehidupan. Maju tidaknya suatu bangsa,
dinilai dari tingkat pendidikan generasi mudanya. Semakin baik sistem dan kualitas
pendidikan, maka semakin maju pula bangsa tersebut seiring tingginya tingkat kecerdasan
para penduduknya. Saking pentingnya pendidikan, bahkan pemerintah pun dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 31 menjamin hak mendapatkan
pendidikan bagi setiap warga negara.

Berbicara tentang pendidikan, pemerintah selalu berupaya meningkatan mutu dan


pembaharuan sistem pendidikan di Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah
adalah pemerataan pendidikan. Untuk pemerataan pendidikan, pemerintah sejak tahun 2017
telah melakukan perubahan terkait dengan sistem pendidikan, yaitu dengan menerapkan
sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

Lantas bagaimana kebijakan sistem zonasi sekolah sekarang? Apa yang ingin dicapai
pemerintah dari sistem yang baru ini? Bagaimana dampaknya terhadap peserta didik? Apakah
dengan sistem zonasi, pasti bisa memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia secara efektif?

Sistem zonasi dalam dunia pendidikan adalah sistem penerimaan peserta didik baru
yang mempertimbangkan jarak tempat tinggal dengan sekolah yang didaftar. Semakin dekat
jarak rumah dengan sekolah, maka semakin besar pula peluang diterimanya. Kebijakan ini
mulai disahkan pada bulan Mei 2017 dan untuk pertama kalinya diterapkan pada PPDB
tahun ajaran 2017/2018.

Pada awal penerapan zonasi yang diatur dalam Peraturan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 14 tahun 2017, masih agak luwes. Misalnya, dalam
PPDB SMA tahun 2017, pada satu kota terdapat beberapa kecamatan, setiap kecamatan
terbagi atas beberapa zona yang berbeda. Calon peserta didik memilih dua sekolah, di mana
salah satunya masih bisa memilih sekolah di luar zonanya. Jadi, masih memungkinkan
peserta didik untuk memilih sekolah di tempat yang jauh dari rumahnya, dengan syarat nilai
UN tinggi dan berani bersaing dengan nilai lainnya.
Seiring berjalannya waktu, kebijakan tersebut makin disempurnakan. Kini kebijakan
zonasi diatur dalam Permendikbud Nomor 51 tahun 2018, di mana penerapan zonasi dirasa
semakin ketat.

Dalam keterangan pers, di kantor Kemendikbud, Jakarta, Selasa (15/1), Menteri


Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan, "Pada tahun ajaran
baru mendatang, PPDB dilaksanakan melalui tiga jalur, yakni zonasi (kuota minimal 90
persen), prestasi (kuota maksimal 5 persen), dan perpindahan orang tua peserta didik (kuota
maksimal 5 persen)".

Menurutnya, yang jadi pertimbangan bukan lagi nilai UN yang diutamakan.

“Yang menjadi pertimbangan utama dari penerimaan peserta didik baru bukanlah
kualifikasi akademik. Walaupun itu juga dimungkinkan, tetapi pertimbangan yang utama itu
adalah domisili peserta didik dengan sekolah,” jelas Mendikbud.

Tadi, kita ketahui bahwa pada awal penerapannya masih bisa lintas zona, dalam artian
memilih dua sekolah yang salah satunya di luar zona. Kini, di PPDB 2019, alternatif tersebut
dihapus, calon peserta didik tidak bisa lagi memilih sekolah di luar zonanya. Seperti yang
disampaikan oleh K epala Cabang Dinas Pendidikan Pemprov Wilayah Kabupaten
Nganjuk, Edy Sukarno, "Untuk pilihan sekolah di luar zona, tidak ada,"

Lalu, untuk siswa yang ingin mendaftar ke luar zona, menurut Edy, mereka bisa
mendaftar melalui jalur nilai ujian nasional(NUN). Meskipun demikian, di petunjuk
teknis(juknis) PPDB, pemprov nanti tetap memprioritaskan jarak rumah ke sekolah.

Menurut Mendikbud, kebijakan zonasi diambil untuk menghapus terjadinya “kasta”


dalam sistem pendidikan yang selama ini ada karena dilakukannya seleksi kualitas calon
peserta didik dalam penerimaan peserta didik baru malalui nilai UN. Menurutnya, setiap
sekolah, semua sekolah nanti harus bagus, harus favorit, standar pelayanan minimum harus
terpenuhi. Dengan begitu, stigma "sekolah favorit" bisa dihilangkan.

Selain itu, melalui sistem zonasi, diharapkan terciptanya pemerataan kualitas


pendidikian, sehingga anak-anak Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk
mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Tidak hanya anak dari keluarga mapan saja yang
bisa masuk ke sekolah favorit, namun, anak dari keluarga yang kekurangan secara ekonomi
juga berhak mendapat pendidikan yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian, proses
penerimaaan akan lebih transparan, objektif, dan tidak bersifat diskriminatif. Karena
bagaimanapun, setiap orang memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pelayanan
pendidikan.

Meskipun bagi pemerintah kebijakan ini dianggap paling tepat untuk peningkatan
kualitas dan pemerataan pendidikan, tidak semua pihak bisa menerimanya. Kebijakan ini
menuai polemik dan memicu kontroversi di tengah masyarakat. Bagi sebagian orang yang
pro, mereka dianggap sebagai pihak yang diuntungkan dari kebijakan ini. Misalnya, siswa
yang kurang dalam hal akademik bisa masuk ke sekolah yang dianggap favorit, yang dekat
dengan rumahnya, di mana sekolah tersebut memiliki fasilitas yang lebih unggul. Memang,
tidak ada salahnya apabila seorang anak yang kurang dalam hal akademik masuk ke sekolah
favorit, selama anak tersebut memiliki semangat belajar lebih baik lagi dengan kesempatan
ini.

Di sisi lain, pihak yang kontra dengan kebijakan ini dianggap sebagai pihak yang
dirugikan. Misalnya, seorang anak yang unggul dalam hal akademik tidak lolos mendaftar ke
sekolah favorit dikarenakan jarak rumahnya lebih jauh dibandingkan dengan anak lain yang
jarak rumahnya lebih dekat dengan sekolah tersebut, meskipun dalam hal akademik
sebenarnya anak itu mampu. Tentunya hal ini dianggap merugikan. Karena bagaimanapun,
setiap calon peserta didik akan lebih mengincar sekolah favorit yang berakreditasi A dan
memiliki fasilitas lebih unggul.

Memang pada dasarnya, setiap orang memiliki hak yang sama dalam mendapatkan
pelayanan pendidikan. Namun, bila kita lihat kenyataannya, tidak semua anak memiliki
antusias belajar tinggi. Di satu sisi, ada anak yang belajar hanya sekadarnya, di sisi lain, ada
anak yang belajar mati-matian. Bila keduanya diaatukan, pasti salahbsatunya akan condong
ke sisi yang lain. Jika tidak ke arah yang baik, pasti ke arah yang buruk. Masih baik jika yang
buruk berubah menjadj baik. Namun, bagaimana jika yang baik malah ikut-ikutan menjadi
buruk?

Dengan sistem zonasi, memungkinkan siswa yang berprestasi dan tidak berprestasi
berada dalam satu rombongan belajar. Tentunya hal ini akan berpengaruh terhadap minat
belajar siswa. Faktor lingkungan memiliki potensi yang cukup besar dalam pengaruhnya
terhadap proses belajar anak. Apabila lingkungan mendukung proses belajar, pasti kegiatan
belajar akan berlangsung dengan baik. Namun, jika kelas tidak mendukung iklim intelektual,
proses belajar siswa berprestasi pun akan terhambat. Secara tidak langsung, hal ini bukannya
meningkatkan kualitas pendidikan, malah menurunkan.

Selain itu, bila sekolah favorit dihapus, kemungkinan kedepannya akan mengurangi
daya kompetisi di antara peserta didik untuk mendapatkan sekolah terbaik. Hal ini
disebabkan karena nilai ujian nasional yang selama ini menjadi bahan kompetisi sudah tidak
lagi diprioritaskan.

Sebenarnya, pandangan "sekolah favorit" berasal dari masyarakat sendiri. Orang tua
menginginkan pendidikan yang terbaik untuk anaknya. Sekolah yang terbaik dianggap
sebagai sekolah yang memiliki fasilitas memadai, tenaga pendidik yang unggul, serta
akreditasi sekolah yang tinggi, dari situlah muncul stigma "sekolah favorit". Bila pemerintah
menyadari bahwa stigma "sekolah favorit" menandakan terdapat pandangan yang berbeda
oleh masyarakat terhadap sekolah, seharusnya pemerintah menyadari pula bahwa kualitas
sekolah yang dianggap "kurang" atau "tidak favorit" perlu ditingkatkan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan sistem zonasi di Indonesia
dirasa belum efektif untuk meratakan pendidikan di Indonesia, karena masih ada syarat-syarat
yang belum terpenuhi, seperti fasilitas dan tenaga pendidik. Semua akan sia-sia jika siswanya
saja yang diratakan, sedangkan fasilitas, sarana prasarana, dan tenaga pendidik, belum
memenuhi kriteria untuk menjadikan siswanya berprestasi.

Dengan sistem zonasi ini, diharapkan semua sekolah dapat berpacu dan saling
bersaing untuk meningkatkan kualitas, serta diharapkan pula peserta didik yang dari keluarga
tidak mampu memperoleh pendidikan yang sama, di sekolah yang mereka inginkan. Tentu
saja, program peningkatan kualitas pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah tidak akan
berjalan lancar tanpa adanya dukungan dari masyarakat. Maka dari itu, masyarakat harus
mendukung program tersebut dan mengkritisinya jika dirasa kurang tepat.

Bukan berarti kebijakan ini salah sepenuhnya, melainkan kebijakan ini dirasa perlu
untuk dikaji ulang dan dievaluasi. Kebijakan ini masih bisa terus dilaksanakan dengan selalu
melakukan perbaikan, jika ada kekurangan tentu harus segera dibenahi. Jangan sampai sistem
ini malah menghambat pendidikan di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai