TINJAUAN PUSTAKA
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 2.
Tanaman daun dewa : (a) tajuk tanaman, (b) tangkai dan mahkota bunga,
(c) akar tanaman, dan (d) umbi akar. (Sumber: Foto penelitian).
8
Daerah pertumbuhan daun dewa tersebar mulai dari dataran rendah sampai
dataran tinggi yang mencapai ketinggian 1-1200 meter di atas permukaan laut (dpl),
namun paling banyak ditemui pada ketinggian 500 m dpl. Daun dewa menghendaki
iklim pertumbuhan berupa curah hujan dengan kisaran 1500-3500 mm/tahun (iklim
sedang sampai basah), tanah agak lembab sampai lembab serta subur (Syukur dan
Hermani 2001).
Menurut Heyne (1987) daun dewa merupakan tanaman asli dari Birma dan
Cina, dan di Indonesia dikenal dengan nama beluntas cina (nama lokal). Di pulau
Jawa (Burkill 1935) tanaman ini banyak digunakan sebagai tanaman berkhasiat obat.
Hasil pengamatan habitat daun dewa oleh Hidayat (2000) di daerah Aceh, tanaman ini
tumbuh secara liar pada daerah dengan kisaran suhu 22-260C, kelembaban 67-90 %,
pH tanah 6.6-7 dan cahaya yang masuk 75-90 %, sedangkan di daerah Sulawesi
Tengah daun dewa tumbuh di ketinggian 840-1250 m dpl, suhu 25-300C, kelembaban
75-85 % dan cahaya yang masuk 50-75 %. Daun dewa tergolong tumbuhan lindung,
karena dapat tumbuh dan tahan pada tempat dengan intensitas cahaya rendah.
Daun dewa merupakan tanaman obat yang banyak dimanfaatkan karena banyak
khasiatnya antara lain untuk menurunkan kadar gula dalam darah, obat kulit,
menyembuhkan migraine, hepatitis B dan anti tumor atau anti kanker. Di samping itu
air perasan daun dewa dapat digunakan sebagai penurun panas dan menghilangkan
bengkak-bengkak (Gati dan Purnamaningsih 1996).
Secara tradisional daun dewa telah banyak digunakan sebagai obat anti kanker.
Pembuktian pada penelitian skala laboratorium menunjukkan bahwa ekstrak daun
dewa mampu menghambat perumbuhan tumor pada mencit (tikus) (Suharmiati dan
Maryani 2003). Pada habitat asalnya, tanaman ini digunakan sebagai sumber sayuran
sehat, sedangkan di pulau Jawa digunakan sebagai obat khususnya untuk penyakit
ginjal (Heyne 1987). Daun dan umbi tanaman ini mengandung bahan aktif seperti
flavonoid, terpenoid, saponin, tanin, alkaloid dan minyak atsiri (Ratnaningsih et al.
1985, Syamsuhidayat dan Hutapea 1991, Windono 2000, Nugroho et al. 2000, Siregar
dan Utami 2000). Hasil penelitian Soetarno et al. (2000) menunjukkan bahwa
senyawa flavonoid yang terkandung dalam daun dewa termasuk golongan glikosida
kuersetin. Pada penelitian ini juga ditemukan delapan asam fenolat diantaranya asam
klorogenat, asam kafeat, asam p-kumarat, asam p-hidroksi benzoat dan asam vanilat,
sedangkan tiga asam fenolat lainnya belum teridentifikasi. Hasil penelitian Agusta et
9
al. (1998) menunjukkan bahwa daun dewa mengandung 0,05 % minyak atsiri dari
bagian daunnya yang terdiri atas 22 komponen senyawa yang didominasi oleh
Seskuiterpena.
Senyawa Bioaktif Golongan Flavonoid
OH
OH
(b) Antosianin
Gambar 3. Sistem cincin dari senyawa flavonoid (a), struktur kimia kuersetin (b),
struktur kimia antosianin (c) (Vickery dan Vickery 1981).
pada jalur asam sikimat akan terbentuk fenilalanin yang merupakan salah satu
senyawa asam amino aromatik yang selanjutnya akan menghasilkan p-asam kumarat,
sedangkan pada jalur asetat malonat akan terbentuk asetil CoA yang akan
menghasilkan malonil CoA, setelah mengikat satu molekul CO2 (Gambar 4).
Fenilalanin
(asam amino aromatik)
FAL
b. Fenilalanin Asam sinamat
p-Asam kumarat
+ CO2
c. G-6-P Asetil CoA Malonil CoA
Fenilalanin
FAL
S4H, 4KL Asam hidroksisinamat
konjugasi
4-kumaroksil-CoA Jalur Fenilpropanoid
Dihidroflavonol
Flavonol DFR
Leukoantosianin
Proantosianidin ANS
Antosianidin
UFGT
Antosianin
Gambar 5. Jalur reaksi pembentukan kalkon dan golongan senyawa flavonoid lainnya
(Jaakola 2003).
antosianidin yang tidak stabil, senyawa-senyawa basa pada ion flavilium (Vickery
dan Vickery 1981). Pada Blueberries dimana terdapat sumber antosianin, diketahui
sangat menguntungkan bagi kesehatan (Kalt dan Dufour 1997, Smith et al. 2000).
Diketahui pula bahwa antosianin sebagai salah satu golongan senyawa flavonoid
dapat berfungsi sebagai obat anti kanker (Katsube et al. 2003).
Flavonoid merupakan salah satu senyawa antioksidan yang mempunyai
aktivitas antibakterial, anti-inflamatori, antialergi, antimutagenik, antiviral,
antineoplastik, anti-trombotik dan aktivitas vasodilatori (Miller 1996). Di samping
itu, flavonoid juga dapat mengurangi resiko penyakit kardiovaskuler pada manusia
(Yochum et al. 1999, Polagruto et al. 2003). Antosianin dan kuersetin sebagai bagian
dari golongan senyawa flavonoid telah dibuktikan dapat menghambat pertumbuhan
sel-sel kanker pada manusia (Lamson et al. 2000, Katsube et al. 2003, Zhang et al.
2005). Isolasi flavonoid dari tumbuhan telah banyak dilakukan diantaranya dari daun
teh hijau kering (Miller 1996), tanaman Bangle (Zingiber cassumunar) (Darusman et
al. 2001), dan bunga dari tanaman Vaccinium myrtillus L. (Jaakola 2003). Pada daun
dewa, flavonoid juga telah berhasil diisolasi (Ratnaningsih et al. 1985, Simanjuntak
1998, Nugroho et al. 2000, Zaini 2006).
Kultur in vitro menurut Gunawan (1992) adalah suatu metode untuk mengisolasi
bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ,
serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat
memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali. Berawal dari
teori totipotensi sel, teknik kultur jaringan kemudian berkembang menjadi sarana
penelitian di bidang fisiologi tanaman dan aspek-aspek biokimia, dan selanjutnya
teknik ini telah dipergunakan dalam industri tanaman.
Menurut Djuwita (2003) penggunaan teknik kultur in vitro memiliki beberapa
keuntungan diantaranya faktor fisiko-kimiawi lingkungan dapat dikontrol,
karakterisasi dan homogenitas sampel dan ekonomis (sampel dapat diuji dalam
jumlah sedikit). Perbedaan perbanyakan vegetatif secara in vitro dengan metode
konvensional yang lain adalah : a) dalam teknik in vitro, bahan tanaman yang
dipergunakan lebih kecil, sehingga tidak merusak pohon induk, b) lingkungan tumbuh
kultur in vitro harus aseptik dan terkendali, c) kecepatan perbanyakan yang tinggi, d)
dapat menghasilkan bibit bebas penyakit dari induk yang sudah mengandung patogen
13
internal, dan e) membutuhkan tempat yang relatif kecil untuk menghasilkan jumlah
bibit yang besar (Gunawan 1992).
Dalam pelaksanaan teknik kultur in vitro dengan tujuan untuk perbanyakan
vegetatif tanaman diperlukan beberapa langkah-langkah umum seperti penyiapan
eksplan, sterilisasi baik alat-alat yang digunakan maupun eksplan, pembuatan media,
penanaman dan regenerasi tanaman menjadi plantlet (Gunawan 1992, Gamborg dan
Phillips 1995, Smith, 2000). Seluruh langkah-langkah dalam teknik kultur jaringan
harus dilakukan dalam kondisi aseptis, karena kontaminasi oleh mikroorganisme
merupakan permasalahan sangat penting yang harus dihindari dalam kultur jaringan
(Boediono 2003). Selanjutnya disebutkan bahwa metode aseptis pada penanganan
kultur jaringan adalah upaya untuk memberikan batas antara mikroorganisme yang
banyak terdapat dalam lingkungan bebas dan lingkungan kultur yang tidak
terkontaminasi. Oleh karena itu semua bahan atau alat yang akan berkontak langsung
dengan lingkungan kultur harus dalam kondisi steril.
Di samping beberapa aspek penting dalam kultur jaringan, media tanam
merupakan salah satu aspek yang menarik dalam menentukan keberhasilan tujuan
penggunaan teknik kultur jaringan. Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur
jaringan, sangat bergantung pada media yang digunakan. Media kultur jaringan
tanaman menyediakan unsur hara makro dan mikro, tetapi juga karbohidrat yang pada
umumnya berupa gula untuk menggantikan karbon yang biasanya didapat dari
atmosfer melalui fotosintesis (Gunawan 1992). Di samping garam-garam inorganik,
penggunaan zat pengatur tumbuh, vitamin, asam-asam amino dan antibiotik juga
sangat penting dalam komposisi media (Smith 2000).
Diantara beberapa komponen media pada teknik kultur jaringan, peranan zat
pengatur tumbuh (ZPT) dalam proses regenerasi tanaman cukup penting. Zat
pengatur tumbuh digunakan untuk mendukung pertumbuhan awal, dan sangat penting
untuk mengarahkan respon pertumbuhan propagul (Hartman dan Kester 1983).
Auksin (IAA, NAA, 2,4-D, atau IBA) diserap oleh sel-sel tanaman untuk proses
pembelahan dan inisiasi akar. Pada konsentrasi yang tinggi, auksin dapat menekan
proses morfogenesis, sedangkan sitokinin (kinetin, BA, zeatin dan 2iP) berperan
dalam pembelahan sel, proliferasi pucuk dan morfogenesis pucuk (Smith 2000).
Secara fisiologis peranan auksin dalam tanaman adalah untuk mendukung proses
pemanjangan sel dan menghambat pertumbuhan pucuk lateral, sedangkan sitokinin
14
berperan penting pada proses pembelahan sel dan mendukung proses morfogenesis
(Taiz dan Zeiger 1991).
Penggunaan sukrosa pada media kultur dapat meningkatkan pigmentasi
antosianin dari plantlet. Hiratsuka et al. (2001) melaporkan penggunaan ABA 1 g/l
dan gula (fruktosa, sukrosa, glukosa dan ramnosa) 2.5 dan 10% dapat meningkatkan
pigmentasi antosianin pada kultur in vitro Vitis labruscana Bailey cv. Olympia.
Penggunaan GA3 1 mg/l dan sukrosa 30 g/l pada kultur in vitro Hyacinthus orientalis
menghasilkan glikosida antosianin yang berbeda dengan tanaman yang sama yang
ditumbuhkan di lapang (Hosokawa et al. 1996).
Kultur jaringan daun dewa sebelumnya telah dilakukan oleh beberapa peneliti.
Gati dan Purnamaningsih (1996) menggunakan komposisi media yang terdiri dari BA
dan IAA untuk menginisiasi pertumbuhan tunas dan akar. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pemakaian BA 2 mg/l dapat menghasilkan rata-rata jumlah tunas
tertinggi yaitu 20.1 dan pemakaian IAA 0.5 mg/l menghasilkan rata-rata jumlah akar
tertinggi yaitu 12.8. Pada penelitian yang dilakukan oleh Mufa`adi et al. (2003)
menunjukkan bahwa interaksi antara BAP 3 ppm dan IAA 0.5 ppm menghasilkan
jumlah tunas terbanyak yaitu 85.4 tunas per botol. Pada perlakuan pengakaran yang
dilakukan Anggirasti (2002), menunjukkan bahwa media MS-0 + IAA 0.5 mg/l
menghasilkan jumlah akar yang terbanyak.
Zeiger 1991). Tanaman daun dewa memiliki 1 lapis sel mesofil dan 1 lapis sel lapisan
palisade (Suharmiati dan Maryani 2003).
Meningkatkan proporsi
fotosintetik area Menghindari cahaya
Menghindari cahaya Menghindari
(4) yang
yang ditransmisikan pemborosan
direfleksikan
(6) cahaya
(5)
yang diabsorpsi
(7)
Hilangnya kutikula, lilin
dan rambut pada Hilangnya pigmen non
permukaan daun kloroplas (misalnya
(8) antosianin)
Meningkatnya kandungan (9)
kloroplas per sel mesofil
(12)
(2002) dan Tyas (2006) melaporkan bahwa ukuran butir pati kloroplas kedelai pada
intensitas cahaya rendah lebih banyak dibanding pada kloroplas cahaya penuh.
Meningkatnya deposit pati tersebut disebabkan karena penguraian pati menjadi gula
berlangsung pada intensitas yang rendah. Pada intensitas cahaya rendah kandungan
gula-pati kedelai toleran Ceneng lebih rendah dari Genotipe peka Godek (Lestari
2005), sedangkan kloroplas pada daun yang diberi perlakuan gelap 5 hari masih
terdapat butir pati. Rendahnya kandungan gula dan masih adanya butir pati pada
kondisi kekurangan cahaya menunjukkan laju respirasi yang rendah (Tyas 2006).
Gambar 7. Adaptasi tanaman melalui mekanisme toleran (tolerance) pada intensitas cahaya
rendah (Levitt 1980).
Asam aminolaevulinik
d-oksovalerat
-2H2O
Glutamat 1- Porfobilinogen
Glutamik semialdehid
fosfat
-NH3
Anporfirinogen
Protoklorofil
-4CO2
Mg2+ - adenosilmetionin
H2O Koporfirinogen
Mg-protoporfirin
Protokloro Protoporfirin Protoporfirinogen
monometilester
filid
-4H
-6H
-6H
Geranil-geranil pirofosfat
Cahaya
Klorofil a Klorofil b
H3C
CH2CH3
N N
H Mg H
H3C N N
H
H
O=CCH2CH2 H
HC C=O
O=C-OCH3
CH3
H H H
O-CH2-C=C-CH2-CH2-CH2-C-CH2-CH2-CH2-C-CH2-CH2-CH2-C-H
CH3 CH3 CH3
CH3
ekor fitol (C20 H39)
Sumber hara dalam tanah untuk pertumbuhan tanaman dapat berasal dari
pemberian pupuk organik yang bersumber dari bahan organik, dan pupuk anorganik
yang bersumber dari bahan-bahan anorganik, di samping kandungan hara asli tanah.
Pupuk organik yang telah digunakan pada budidaya tanaman adalah pupuk kandang.
Pupuk kandang dapat meningkatkan kandungan N, P, K, Ca, Mg, S, dan
meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK) dalam tanah (Pujianto 2004). Di
samping itu pupuk kandang sebagai sumber bahan organik tanah dapat mendorong
agregasi atau dispersi agregat. Peningkatan agregasi akibat aplikasi pupuk kandang
(pupuk organik) dapat terjadi melalui pengikatan oleh polisakarida dan mucilage yang
dihasilkan oleh bakteri, hifa jamur maupun melalui akar tanaman (Oades 1984).
Kotoran ayam memiliki kelebihan kandungan hara dibandingkan dengan jenis
kotoran hewan lainnya (Tabel 2). Persentase kandungan N, P, dan Mg dalam kotoran
ayam lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis kotoran hewan yang lain.
Sedangkan persentase K pada kotoran ayam masih lebih rendah dibandingkan dengan
kotoran domba. Kandungan N mencapai 5-8 % dan lebih tinggi dibandingkan dengan
kotoran sapi 2-8 %, kotoran babi 3-5 % dan kotoran domba 3-5 %. Kandungan P dan
Mg rata-rata lebih tinggi dari jenis kotoran hewan lainnya .
Tabel 2. Komposisi unsur hara kotoran ayam dan kotoran hewan lain
Jenis Hewan N (%) P (%) K (%) Mg (%)
Sapi 2-8 0.2-1 0.7-3* 0.6-1.5*
Ayam 5-8 1-2 1-2 0.6-3
Domba 3-5 0.4-0.8 2-3 0.2
Sumber : Donanhue RL, Miller RW, Shickluna JC. 1997. An Introduction to Soil and Plant
Growth. *) Kirchman H, Witter E. 1992. Composition of Fresh Aerobic and
Anaerobic Farm Animal Dungs.
Beberapa hasil penelitian pada daun dewa yang menggunakan kotoran ayam
sebagai pupuk organik dapat mengurangi gejala defisiensi unsur hara. Pemberian
kotoran ayam tanpa pupuk anorganik dengan perbandingan 1:1 (v/v) tidak
menunjukkan adanya defisiensi hara pada tanaman, meskipun tanaman terlihat kurus
(Siregar dan Utami 2002). Hasil penelitian Sulianti (1999) yang menggunakan
23
komposisi media yang terdiri dari tanah : pasir : kotoran ayam dengan perbandingan
1 : 1 : 2 menunjukkan perkembangan daun yang subur pada tanaman daun dewa.
Pupuk organik dalam proses penyediaan unsur hara masih membutuhkan proses
penguraian oleh mikroorganisme tanah (Rao 1994). Mengatasi masalah tersebut
kombinasi pemberian pupuk organik dan anorganik menjadi alternatif dalam sistem
pertanian organik (Sutanto 2002). Pemberian pupuk organik dapat berfungsi
memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah dan sedikit menyumbangkan unsur hara
tersedia dalam tanah, sedangkan penambahan pupuk anorganik diharapkan dapat
mensuplai ketersediaan unsur hara yang tidak dapat tersedia secara cepat dari pupuk
organik. Unsur hara makro yang esensial baik yang bersumber dari pupuk organik
maupun anorganik merupakan kebutuhan mutlak bagi pertumbuhan tanaman.
Nitrogen
Nitrogen (N) berada dalam bentuk anorganik dan organik dalam tanaman, dan
berkombinasi dengan C, H, O dan suatu saat dengan S membentuk asam amino,
amino enzim, asam nukleat, klorofil, alkaloid dan basa-basa purin (Jones 1998).
Nitrat (NO3-) dan amonium (NH4+) adalah sumber utama N anorganik yang dapat
diserap oleh akar tanaman. Sebagian besar amonium bergabung ke dalam senyawa
organik dalam akar, sedangkan nitrat bergerak dengan mudah dalam xilem dan dapat
pula disimpan dalam vakuola akar, pucuk dan organ-organ penyimpan. Akumulasi
nitrat dalam vakuola sangat penting untuk keseimbangan kation-anion (Marschner
1995).
Nitrogen bagi tanaman dibutuhkan secara terus menerus selama tanaman
tersebut tumbuh untuk melangsungkan proses fisiologis yang sangat penting,
sedangkan jumlah N tersedia bagi tanaman secara alami terbatas. Untuk mengatasi
hal tersebut diperlukan pemupukan baik pupuk organik maupun anorganik. Pupuk
organik dapat berupa pupuk kandang, sedangkan salah satu jenis pupuk tunggal
anorganik yang sering digunakan dan mengandung N adalah Urea [CO(NH2)2]
(Leiwakabessy dan Sutandi 1998). Siregar dan Utami (2000) melaporkan bahwa daun
dewa yang diberi pupuk urea 5 g/tanaman menunjukkan adanya peningkatan tinggi
tanaman, jumlah daun, jumlah tunas, bobot basah dan bobot kering tajuk tanaman
dibanding tanaman yang hanya diberi KCl dan TSP. Pemberian urea 5 g/tanaman
juga dapat berpengaruh pada peningkatan warna daun tanaman daun dewa asal kultur
in vitro (Rohmaliah 2003).
24
Fosfor
Fosfor (P) pada tanaman berperan pada proses fotosintesis, perubahan
karbohidrat, glikolisis, metabolisme asam amino, metabolisme lemak, dan proses
transfer energi (Tisdale dan Nelson 1985, Leiwakabessy 1988). Pentingnya peran P
pada berbagai proses fisiologis tersebut, karena P merupakan komponen penting dari
enzim dan protein, adenosin trifosfat (ATP), asam ribonukleat (RNA), asam
deoksiribonukleat (DNA), dan fitin (Jones 1998).
Fosfor diserap akar tanaman dalam dua bentuk anion, masing-masing
dihidrogen fosfat (H2PO4-) dan monohidrogen fosfat (HPO42-). Rasio antara kedua
anion tersebut dalam larutan tanah tergantung dari pH tanah (Jones 1998).
Selanjutnya disebutkan bahwa ketersediaan P dalam tanah dapat dipenuhi dengan
pemberian pupuk. Pupuk sintetis yang banyak digunakan diantaranya 20 %
Superfosfat, Superfosfat dan monoamonium fosfat.
Kalium
Kalium (K) pada tanaman berperan sebagai aktivator berbagai enzim,
mempertahankan vigor tanaman, merangsang pertumbuhan akar dan sebagai
katalisator (Soepardi 1983). Di samping itu K juga berperan dalam proses
pembentukan karbohidrat, translokasi gula dan metabolisme protein (Leiwakabessy
1982). Dalam mempertahankan vigor tanaman, K berperan dalam proses
pemeliharaan status air tanaman, tekanan turgor dalam sel, serta proses membuka dan
menutupnya stomata (Marcshner 1995, Jones 1998).
Kalium dapat diberikan ke dalam tanah melalui pupuk anorganik maupun pupuk
organik dalam bentuk serasah tanaman. Pupuk anorganik yang sering digunakan
diantaranya adalah kalium klorida (KCl) dengan persentase K2O 60-63 %, kalium
sulfat (K2SO4) dengan persentase K2O 50-52 %, dan kalium nitrat (KNO3) dengan
persentase K2O 44 % (Jones 1998).
Magnesium
Magnesium (Mg) adalah unsur hara makro esensial. Tanaman mengambil
unsur ini dalam bentuk ion Mg2- melalui intersepsi dan aliran masa. Dibanding
dengan N dan K, kebutuhan tanaman terhadap Mg relatif rendah, sehingga sering
disebut unsur hara makro sekunder (Hanawalt dan Whittaker 1987). Magnesium
berperan sebagai penyusun klorofil, mengaktifkan enzim pada proses fosforilasi dan
25
Sulfur
Sulfur (S) diperoleh melalui tanah dan udara yang masing-masing dalam bentuk
anion sulfat (SO42-) dan sulfur dioksida (SO2). Pada daerah tropis, sulfur dikenal
sebagai faktor pembatas dan kebutuhannya sebanding dengan kebutuhan fosfor.
Sulfur merupakan elemen esensial yang berhubungan dengan sintesis protein. Sulfur
dalam bentuk (SO42-) berperan pada produksi senyawa-senyawa metabolit sekunder
dalam tanaman seperti flavonoid dan terpenoid (Hornok 1992). Di samping itu
aktivitas beberapa enzim kloroplas yang berperan pada metabolisme karbon dan
proses fotosintesis lainnya diregulasi oleh S dalam bentuk ikatan disulfida (Buchanan
et al. 2000).
Proses pengangkutan SO4 dari larutan tanah menuju sel-sel tanaman dimulai
dari penyerapan hara dari larutan tanah menuju sel-sel akar. Dalam sel-sel akar SO4
terdapat pada vakuola dan plastid kemudian melalui xilem diangkut menuju kloroplas
dan sebagian pada vakuola sel-sel mesofil daun. Di kloroplas SO4 membentuk sistein
sebagai prekursor pembentukan acetil CoA (Crawford et al. 2000, Marshner 1995).
Acetil CoA selanjutnya akan membentuk malonil CoA dalam proses biosintesis
flavonoid (Vickery dan Vickery 1981, Hornok 1992).
Gejala kekurangan unsur ini mirip dengan gejala kekurangan N yaitu tanaman
berwarna pucat, terkadang berwarna coklat-kuning terang atau seperti warna jerami,
dan pertumbuhannya terhenti (Ahn 1993). Kekurangan S menghambat sintesis
protein (Marshner 1995) dan S dalam bentuk SO42- menghambat sintesis senyawa
metabolit sekunder terutama pada golongan flavonoid (Vagujfalvi 1992).
26
ABSTRAK
ABSTRACT
at MS medium without BAP and IAA, while the heigher of callus diametres (1.5 cm)
produced at MS medium with BAP 3 ppm.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Meningkatnya kebutuhan konsumen terhadap tanaman daun dewa (Gynura
pseudochina (L.) DC) mendorong peningkatan produksi bahan tanaman. Salah satu
metode perbanyakan bahan tanam adalah melalui kultur in vitro (Smith 2000).
Dengan metode tersebut dapat dihasilkan bahan tanam yang banyak dengan
penggunaan waktu yang relatif singkat serta tidak membutuhkan areal pembibitan
yang luas dan menghasilkan tingkat keseragaman dan kualitas bibit yang tinggi
(Gunawan 1992, Gati dan Purnamaningsih 1994).
Perbanyakan tanaman secara in vitro pada tahap awal dibutuhkan perlakuan
untuk memacu perbanyakan tunas. Bahan mikro tersebut dapat digunakan sebagai
sumber eksplan pada percobaan pembentukan plantlet. Perbanyakan tunas mikro
memerlukan dua zat pengatur tumbuh yaitu auksin dan sitokinin. Zat pengatur
tumbuh tersebut mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel,
jaringan dan organ. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang
diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen, menentukan
arah perkembangan suatu kultur (Gunawan 1992). Pembentukan tunas dan akar pada
kebanyakan kultur in vitro dipengaruhi oleh perbandingan auksin dan sitokinin
eksogen, tetapi auksin dan sitokinin endogen secara normal mengontrol pembentukan
organ (Halperin 1986). Secara fisiologis peranan auksin dalam tanaman adalah untuk
mendukung proses pemanjangan sel dan menghambat pertumbuhan pucuk lateral,
sedangkan sitokinin berperan penting pada proses pembelahan sel dan mendukung
proses morfogenesis (Taiz dan Zeiger 1991).
Auksin yang sering digunakan pada kultur in vitro (Gunawan 1992, Smith 2000)
adalah : IAA, 2,4-D, NAA, IBA, NOA,4-CPA, 2,4,5-T, Dicamba, Picloram dan IAA
conjugate. Sitokinin terdiri dari : Kinetin, Zeatin, 2iP, BAP/BA, PBA, 2C 1-4 PU: N,
2,6 C 1-4 PU:N dan Thidiazuron. Pada tanaman daun dewa diperoleh jumlah tunas
tertinggi (20.1 tunas) pada umur 8 minggu dengan menggunakan BA konsentrasi 2
mg/l (Gati dan Purnamaningsih 1994). Penggunaan BAP konsentrasi 3 ppm dan IAA
29
0.5 ppm dapat menghasilkan tunas terbanyak pada daun dewa yang mencapai 85.4
tunas per botol umur 8 MST (Mufa’adi 2003).
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan untuk memperkuat dugaan bahwa
perimbangan antara sitokinin dan auksin dapat memacu perbanyakan tunas daun dewa
secara in vitro yang mengindikasikan adanya pigmentasi antosianin.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan menentukan kombinasi yang tepat antara BAP dan IAA
pada media MS untuk menghasilkan tunas mikro dan plantlet daun dewa secara in
vitro yang teridentifikasi adanya pigmentasi antosianin melalui penentuan skor warna
daun.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman Departemen
Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, berlangsung
sejak bulan September 2004 sampai dengan bulan Januari 2005.
Metodologi Penelitian
(1) B1 B1I0
B B1I1 B B1I2
B
sedangkan untuk 1 ppm dimasukkan 10 ml larutan stok IAA ke dalam labu takar.
Labu takar yang telah berisi perlakuan kemudian ditambahkan larutan sukrosa 30 g/l
serta aquadestilata ke dalamnya sampai batas tera. Setelah itu pH media diukur
dengan pH meter/kertas lakmus pada kisaran 5,7-6,0. Bila pH sudah tepat, larutan
dimasak pada panci enamel dan ditambahkan 7 g/l agar-agar sampai semua agar-agar
terlarut dan larutan terlihat jernih. Selanjutnya media dituangkan ke botol kultur
dengan tinggi permukaan larutan + 25 ml (20 mm) dari dasar botol. Botol kemudian
ditutup dengan plastik dan direkatkan dengan karet gelang lalu disterilkan dalam
autoklaf gas pada temperatur 1210C tekanan 17,5-20 psi selama 30 menit. Setelah itu
botol dibiarkan hingga dingin lalu disimpan dalam ruang kultur bertemperatur 180C.
Sterilisasi eksplan
Eksplan berupa potongan tunas 1 buku yang telah dibersihkan dengan detergen
dan dicuci dengan air mengalir selama 1 jam kemudian disterilkan di dalam laminar.
Untuk persiapan sterilisasi disiapkan larutan sodium hipoklorit 1, 5 dan 10 %, betadin,
tween, alkohol 70 % dan air steril.
Larutan sodium hipoklorit (sunclin) 1 % dibuat dengan cara menambahkan 1 ml
sunclin ke dalam 99 ml aquadestilata steril, sedangkan larutan sodium hipoklorit 5%
dan 10 % dibuat dengan menambahkan masing-masing 5 dan 10 ml sunclin ke dalam
95 dan 90 ml aquadestilata steril.
Sterilisasi didalam laminar dimulai dengan mencelupkan eksplan ke dalam
alkohol 70% kemudian eksplan dibilas 3 kali dengan air steril dan selanjutnya
direndam ke dalam larutan sodium hipoklorit 10 % selama 10 menit kemudian dibilas
dengan air steril 3 kali. Eksplan direndam lagi dengan larutan sodium hipoklorit 5 %
selama 20 menit, kemudian dibilas dengan air steril 3 kali. Setelah itu bahan tanam
diletakkan di cawan petri yang sudah berisi larutan sodium hipoklorit 1 % yang
ditambahkan betadin dan tween sebanyak 3-5 tetes. Eksplan dipotong setiap buku
dan dihilangkan daunnya untuk siap ditanam pada botol kultur yang telah berisi
media.
Penanaman eksplan pada media MS-0
Eksplan ditanam di media prakondisi (MS-0) selama 1 minggu. Setelah itu
eksplan yang tidak terkontaminasi dipindahkan ke media scalling up yaitu media MS
yang ditambah BAP 0,5 ppm dan IAA 1 ppm untuk multiplikasi tunas.
33
Warna Daun
Hasil penelitian menunjukkan bahwa BAP berpengaruh nyata menurunkan
nilai skor warna daun pada saat 1-5 minggu setelah tanam (MST), sedangkan IAA
tidak berpengaruh nyata. Semakin rendah konsentrasi BAP, skor warna daun semakin
tinggi dan daun semakin berwarna hijau keunguan (nilai skor warna daun dapat dilihat
pada Gambar 10). Skor warna daun tertinggi yang dihasilkan media MS tanpa BAP
adalah 1.92, 2.17 dan 2.00 masing-masing pada umur 1, 2, 3-5 MST (Tabel 4).
Tabel 4. Pengaruh BAP dan IAA terhadap warna daun plantlet daun dewa umur kultur
1-5 MST
Warna Daun
BAP (ppm) 1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST
0 1.92 2.17 a 2.00 a 2.00 a 2.00 a
1 1.75 1.58 b 1.50 a 1.50 b 1.67 ab
2 1.92 2.00 ab 1.83 ab 1.83 ab 1.83 ab
3 1.83 1.83 ab 1.58 b 1.58 b 1.58 b
IAA (ppm)
0 1.81 1.88 1.63 1.63 1.75
0.5 1.88 1.88 1.81 1.81 1.88
1 1.88 1.94 1.75 1.75 1.69
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada DMRT 5 %. Skor warna daun: 1 = hijau, 2 = hijau
keunguan, 3 = merah keunguan.
34
Media MS (tanpa BAP) dengan konsentrasi IAA 0-1 ppm dapat memberikan
efek perubahan warna merah keunguan pada daun dan batang daun dewa in vitro.
Perubahan warna daun tersebut mengindikasikan adanya pigmentasi antosianin. Dari
seluruh senyawa golongan flavonoid, antosianin sangat mudah untuk diketahui karena
indikasi perubahan warna biru, lembayung muda dan merah pada bunga, buah dan
daun (Vickery dan Vickery 1981).
Jumlah Tunas
Pemberian BAP berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahan jumlah tunas
in vitro umur kultur 1-5 MST. Pemberian IAA hanya berpengaruh nyata pada umur 1
dan 5 MST, sedangkan interaksi antara BAP dan IAA berpengaruh nyata pada umur
1, 3, 4 dan 5 MST. Konsentrasi BAP 1-3 ppm memacu pertumbuhan tunas daun dewa
secara in vitro dan jumlah tunas maksimum dicapai pada konsentrasi BAP 3 ppm
(34.8 tunas) pada saat 5 MST (Tabel 5). Media perlakuan tanpa konsentrasi BAP,
meskipun ditambahkan IAA konsentrasi 0-1 ppm tidak dapat memacu perbanyakan
tunas, tetapi inisiasi perakaran dapat terjadi.
Interaksi antara BAP dan IAA dapat memacu perbanyakan tunas. Jumlah
tunas yang dihasilkan mengalami peningkatan dengan konsentrasi BAP yang semakin
meningkat hingga 3 ppm. Pada peningkatan konsentrasi IAA juga terjadi peningkatan
jumlah tunas, meskipun tidak sebanyak dengan jumlah tunas yang dihasilkan dengan
peningkatan konsentrasi BAP. Konsentrasi IAA optimum dicapai pada 0.5 ppm.
Pemacuan perbanyakan tunas lateral karena pengaruh BAP menghasilkan tajuk
tanaman yang lebih lebar dan arah pertumbuhan ke samping, sedangkan pada
tanaman tanpa BAP, tajuk tanaman lebih ramping dan arah pertumbuhan menuju ke
atas, karena tunas samping tidak berkembang (Gambar 11). Perkembangan tunas
35
lebih baik pada penambahan BAP 0-3 ppm tanpa IAA, dibanding dengan penambahan
BAP 0-3 ppm dan IAA 0.5 ppm. BAP sebagai salah satu jenis dari sitokinin berperan
dalam proses pembelahan sel, proliferasi pucuk dan morfogenesis tanaman (Smith
2000), sedangkan auksin pada konsentrasi rendah mendorong perkembangan akar
(Watimena 1987).
Tabel 5. Interaksi BAP dan IAA terhadap jumlah tunas umur 1-5 MST
0 1 2 3
.................................1 MST....................................
0 1.0 j 2.8 f 4.8 b 3.8 d
0.5 1.5 h 3.3 e 4.8 b 2.0 g
1 1.3 i 4.8 b 5.5 a 4.3 c
...................................2 MST.....................................
0 1.0 k 4.5 h 6.0 e 7.5 a
0.5 1.8 i 5.5 g 6.5 d 6.0 e
1 1.3 j 5.8 f 7.0 b 6.8 c
...................................3 MST.....................................
0 1.3 l 6.5 i 7.8 f 12.8 a
0.5 2.0 j 7.3 h 9.0 d 10.3 b
1 1.8 k 7.5 g 8.8 e 9.3 c
...................................4 MST....................................
0 1.3 c 12.0 g 15.8 d 24.0 b
0.5 2.0 i 13.3 f 15.8 d 25.0 a
1 2.5 h 14.3 e 15.8 d 21.5 c
..................................5 MST....................................
0 1.3 l 18.5 i 24.0 f 34.8 a
0.5 2.8 j 22.3 g 25.0 d 34.0 b
1 2.5 k 21.5 h 24.5 e 31.8 c
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama untuk setiap minggu pengamatan tidak
berbeda nyata pada DMRT 5 %.
0 1 2 3
BAP (ppm)
Gambar 11. Tunas mikro daun dewa pada konsentrasi BAP 0-3 ppm tanpa IAA.
36
Hasil penelitian Thomas dan Sreejesh (2004) pada tanaman Benincasa hispida
L. menunjukkan bahwa konsentrasi BAP 3 µM dan NAA 0.2 µM menghasilkan
jumlah tunas per kultur 1.1 – 12.3 tunas, sedangkan pada konsentrasi BAP 3 µM dan
NAA 0.5 µM jumlah tunas yang dihasilkan hanya berjumlah 1.0 – 3.3 tunas per kultur
saat kultur berumur 5 minggu. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi BAP dibanding konsentrasi IAA, maka jumlah tunas yang dihasilkan akan
semakin banyak.
Jumlah Daun
Jumlah daun mengalami peningkatan yang sangat nyata akibat pemberian
BAP pada media kultur. Pemberian IAA pada umur 1 MST tidak berpengaruh nyata,
tetapi pada umur 2-5 MST berpengaruh nyata terhadap peningkatan jumlah daun.
Tabel 6. Interaksi BAP dan IAA terhadap jumlah daun umur 3-5 MST
0 1 2 3
................ ....................3 MST..................................
0 10.3 k 27.3 g 33.3 d 46.5 a
0.5 11.3 j 21.3 h 31.8 e 34.5 b
1 11.5 i 27.3 g 30.0 f 33.5 c
.......................................4 MST...................................
0 12.8 k 38.5 f 42.0 c 51.8 a
0.5 15.8 i 30.0 h 41.0 d 40.8 e
1 15.5 j 34.5 g 38.5 f 42.5 b
......................................5 MST...................................
0 15.8 k 44.8 f 48.3 d 57.5 a
0.5 18.8 i 34.8 h 46.3 e 50.5 c
1 18.0 j 40.0 g 44.3 f 52.0 b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama untuk setiap minggu pengamatan tidak
berbeda nyata pada DMRT 5 %.
Interaksi antara BAP dan IAA berpengaruh nyata terhadap peningkatan jumlah
daun pada umur 3-5 MST, sedangkan pada umur 1-2 MST tidak berpengaruh nyata.
Jumlah daun mengalami peningkatan yang pesat sejak umur kultur 3 MST. Pada
periode ini jumlah daun yang dihasilkan berjumlah 10.3-57.5 helai daun pada
penggunaan BAP konsentrasi 0-3 ppm dan IAA 0-1 ppm (Tabel 6). Jumlah daun
terendah (10.3 helai daun) dihasilkan pada media kultur tanpa pemberian BAP dan
IAA (umur 3 MST), sedangkan jumlah daun terbanyak (57.5 helai daun) diperoleh
pada interaksi antara BAP 3 ppm tanpa IAA (umur 5 MST).
37
70
Jum lah Tunas Jum lah Daun 57. 5
60
50 . 5 52
4 8 .3 4 6 .3
50 4 4 .8 4 4 .3
40
40 3 4 .8 3 4 .8 34
3 1. 8
30 2 2 .3 24 25 2 4 .5
2 1. 5
18 . 8 18 18 . 5
20 15. 8
10 2 .8 2 .5
1. 3
0
B0I0 B0I1 B0I2 B1I0 B1I1 B1I2 B2I0 B2I1 B2I2 B3I0 B3I1 B3I2
Kom binasi BAP dan IAA
Gambar 12. Interaksi BAP dan IAA terhadap jumlah tunas dan jumlah daun pada akhir percobaan.
B0 = tanpa BAP, B1= BAP 1 ppm, B2 = BAP 2 ppm, B3= BAP 3 ppm, I0= tanpa IAA,
I1= IAA 0.5 ppm, I2= IAA 1 ppm
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 5, jumlah tunas terbanyak pada
konsentrasi BAP 3 ppm tanpa IAA umur kultur 5 MST adalah 34.8 tunas. Pada
interaksi perlakuan ini juga diperoleh jumlah daun terbanyak (57.5 helai daun) (Tabel
6). Setiap tunas yang tumbuh dapat menghasilkan daun, sehingga makin banyak
tunas maka jumlah daun juga akan semakin banyak meskipun ukuran daun dan tunas
semakin kecil (Gambar 11). Pemberian BAP dapat memacu pertumbuhan tunas dan
pertambahan jumlah daun pada regenerasi daun dewa secara in vitro.
Tinggi Tunas
dihasilkan pada konsentrasi BAP 3 ppm tanpa IAA (2.95 cm) pada umur 5 MST
(Tabel 7).
Tabel 7. Interaksi BAP dan IAA terhadap tinggi tunas (cm) umur 1-5 MST
0 1 2 3
.....................................1 MST.....................................
0 1.13 g 1.35 f 1.60 cd 1.33 f
0.5 1.95 a 1.30 f 1.55 de 1.40 ef
1 1.08 g 1.68 cd 1.75 bc 1.90 ab
......................................2 MST.....................................
0 1.88 i 1.65 k 2.60 c 2.00 g
0.5 2.35 d 1.78 j 2.80 b 1.98 h
1 1.60 l 2.30 e 2.83 a 2.18 f
......................................3 MST....................................
0 2.68 f 2.00 l 3.08 c 2.35 i
0.5 2.98 d 2.28 j 3.30 a 2.45 h
1 2.13 k 2.93 e 3.28 b 2.45 g
.......................................4 MST....................................
0 4.18 a 2.80 h 3.75 d 2.63 l
0.5 3.60 e 2.78 i 3.78 c 2.73 k
1 2.88 g 3.40 f 3.80 b 2.75 j
......................................5 MST...................................
0 4.75 a 3.50 g 4.25 c 2.95 k
0.5 4.18 d 3.18 j 4.28 b 3.20 i
1 3.83 f 4.15 e 4.25 c 3.40 h
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama untuk setiap minggu pengamatan tidak
berbeda nyata pada DMRT 5 %.
tidak mengandung BAP, tetapi terdapat IAA sampai konsentrasi 1 ppm terbentuk
perakaran.
Jumlah Akar
Eksplan yang digunakan berasal dari perbanyakan pada media scalling up.
Pada media scalling up (media MS-0) telah dilakukan penambahan BAP 0.5 ppm dan
IAA 1 ppm, sehingga memungkinkan peningkatan kandungan zat pengatur tumbuh
endogen pada eksplan yang digunakan. Hal ini menyebabkan pada media perlakuan
tidak diperlukan penambahan BAP dan IAA untuk menginisiasi akar. Gunawan
(1992) menyebutkan bahwa interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh
yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel-sel secara endogen
40
0 0.5 1
IAA (ppm)
Gambar 13. Jumlah akar pada berbagai konsentrasi IAA umur kultur kultur 5 MST.
4.5 4.07
4 3.75
3.5
3.5
3
2.5
2
1.5
0.75 0.81
1 0.5
0.5
0
0 0.5 1
Konsentrasi IAA (ppm )
Gambar 14. Pengaruh konsentrasi IAA terhadap jumlah akar dan jumlah plantlet daun dewa
in vitro
16 15.09
14
12
10
8
6
4 2.2
0.91 0.6 0.92 1.48 1.45
2
0 0 0 0 0
0
0 1 2 3
Gambar 15. Diameter kalus, jumlah akar dan jumlah plantlet pada konsentrasi BAP
0- 3 ppm akhir percobaan.
peningkatan konsentrasi BAP. BAP sebagai salah satu jenis sitokinin berperan dalam
proses sitokinase atau pembelahan sel dan morfogenesis tanaman melalui pengaktifan
aktivitas enzim α-amilase menghasilkan energi dalam proses pembelahan sel (Taiz
dan Zeiger 1991, Smith 2000, Buchanan et al. 2000).
Apabila nisbah sitokinin dan auksin diperkecil, maka akan terjadi
perkembangan akar dan sebaliknya apabila nisbah sitokinin dan auksin tinggi, maka
sistem tajuk yang berkembang dan pada saat terjadi keseimbangan yang tepat antara
sitokinin dan auksin, maka akan tumbuh sel meristem pada kalus (Salisbury dan Ross
1992). Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh sitokinin pada pembentukan kalus
telah dilaporkan. Pada tanaman anggur kultivar Sheridan dihasilkan persentase
pembentukan kalus mencapai 100% pada konsentrasi BAP 1 mg/L, sedangkan pada
konsentrasi rendah 0.1 mg/L persentase pembentukan kalus di bawah 10% (Kim dan
Kim 2002). Pada tanaman Saccarum officinarum cv. CPF-237 dan SPF-231,
konsentrasi BA 2.0 mg/l tidak dapat meregenerasi kalus pada kedua kultivar tersebut
(Niaz dan Quraishi 2002). Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi
BA, maka terjadi peningkatan perbanyakan sel-sel pembentuk kalus, tetapi kalus
tersebut tidak dapat diregenerasikan menjadi plantlet.
SIMPULAN
Pemberian BAP dan IAA pada media MS berpengaruh pada multiplikasi dan
perubahan warna daun tunas daun dewa pada kultur in vitro sampai umur kultur 5
MST. Konsentrasi optimum yang menghasilkan jumlah tunas (34.8) dan jumlah daun
(57.5) terbanyak umur kultur 5 MST diperoleh pada BAP 3 ppm tanpa IAA,
sedangkan tinggi tunas tertinggi (4.75 cm) diperoleh pada media MS tanpa BAP dan
IAA.
Peningkatan konsentrasi BAP secara nyata menurunkan skor warna daun,
jumlah akar dan jumlah plantlet, tetapi meningkatkan diameter kalus. Skor warna
daun tertinggi (2.0) dengan warna daun hijau keunguan dan jumlah plantlet terbanyak
(2.2) umur kultur 5 MST diperoleh pada media MS tanpa BAP, sedangkan jumlah
akar terbanyak (15.1) dihasilkan pada media MS tanpa BAP dan IAA. Diameter kalus
tertinggi (1.5 cm) diperoleh pada media MS dengan penambahan BAP 3 ppm.
43
ABSTRAK
ABSTRACT
Plantlets formation with maximum anthocyanins content were used IAA and
sucrose at culture medium. The research objective was producing plantlets with
maximum anthocyanins content using MS medium with IAA and sucrose addition.
The research used randomized block design with two factors. The first factor were
IAA concentration 0, 0.5 and 1 ppm, while second factor was sucrose concentration
30, 40, 50 and 60 g/l respectively. Growth and bioactive compound were measured
consist of shoots number, shoot heights, leaves number, roots number, roots length,
plantlets number and anthocyanins content at the total biomass. The results of
research showed that plantlets with maximum anthocyanins content was produced at
MS medium with sucrose 30 g/l. Plantlets number and anthocyanins content were 2.7
and 0.071%, respectively. The maximum shoots number (15.6) was produced at IAA
concentration 1 ppm and sucrose 40 g/l, while maximum leaves number (32.4) at
sucrose 40 g/l without IAA. Shoots and leaves were small, there was no stem and
roots. The maximum roots number (35.4) and roots length (22.3 cm) were produced at
IAA concentration 0.5 ppm and sucrose 30 g/l. The heigher of sucrose concentration,
44
roots induction was disturbed and callus formed. The maximum of callus diametres
(2.5 cm) was produced at IAA concentration 1 ppm and sucrose 50 g/l.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produksi bahan tanam secara in vitro dilakukan melalui induksi tunas yang
menghasilkan akar (plantlet). Hasil penelitian pada tahap multiplikasi tunas telah
ditemukan konsentrasi BAP dan IAA yang dapat menginduksi perbanyakan tunas dan
terbentuknya akar. Pada perkembangan tunas yang menghasilkan daun, ditemukan
indikasi perubahan warna daun menjadi hijau keunguan sampai merah keunguan.
Indikasi perubahan warna daun diduga karena pigmentasi antosianin pada kultur
in vitro percobaan tahap pertama. Dari seluruh senyawa golongan flavonoid,
antosianin sangat memungkinkan untuk diketahui sebagai respon terhadap perubahan
warna biru, lembayung muda dan merah pada bunga, buah dan daun (Vickery dan
Vickery 1981). Hiratsuka et al. (2001) melaporkan penggunaan ABA 1 g/l dan gula
(fruktosa, sukrosa, glukosa dan ramnosa) 2.5 dan 10% dapat meningkatkan
pigmentasi antosianin pada kultur in vitro Vitis labruscana Bailey cv. Olympia.
Penggunaan GA3 1 mg/l dan sukrosa 30 g/l pada kultur in vitro Hyacinthus orientalis
menghasilkan glikosida antosianin yang berbeda dengan tanaman yang sama yang
ditumbuhkan di lapang (Hosokawa et al. 1996).
Plantlet yang akan dihasilkan pada penelitian tahap kedua ini adalah plantlet
yang memiliki kualitas pertumbuhan yang baik sebagai bibit dan memiliki kandungan
antosianin yang tinggi. Untuk menghasilkan kualitas bibit yang baik dan kandungan
antosianin yang tinggi diperlukan komposisi media yang tepat. Media MS adalah
media yang memiliki komposisi unsur yang lengkap terdiri dari unsur hara makro,
mikro, vitamin dan asam amino sehingga merupakan media yang baik untuk kultur in
vitro (Gamborg dan Philips 1995). Penambahan IAA dan sukrosa dalam komposisi
media bertujuan untuk mengarahkan proses organogenesis menghasilkan tunas
berakar (plantlet) dan meningkatkan pigmentasi antosianin. Pemberian IAA memacu
induksi perakaran (Al Juboory et al. 1998), sedangkan penggunaan sukrosa dapat
meningkatkan aktivitas enzim invertase yang mengkatalisis sukrosa menjadi senyawa
45
Tujuan
Penelitian ini bertujuan menghasilkan plantlet yang memiliki kandungan
antosianin yang tinggi. Plantlet tersebut akan digunakan sebagai sumber bahan tanam
(bibit) pada percobaan lapang.
Metodologi Penelitian
Percobaan disusun berdasarkan rancangan acak kelompok (RAK) faktorial yang
terdiri dua faktor. Faktor pertama adalah penggunaan berbagai konsentrasi IAA yang
terdiri dari : 0, 0.5, dan 1 ppm, sedangkan faktor kedua adalah konsentrasi sukrosa
yang terdiri dari : tanpa sukrosa, 30, 40, 50 dan 60 g/l. Setiap kombinasi perlakuan
diulang sebanyak 10 kali, sehingga terdapat 12 kombinasi perlakuan dan 120 satuan
percobaan.
46
Tabel 10. Kombinasi perlakuan berbagai konsentrasi IAA dan Sukrosa pada
pembentukan plantlet daun dewa.
IAA (ppm)
Sukrosa (g/l) 0.0 (I0) 0.5 (I1) 1.0 (I2)
30 (S1) I0S1 I1S1 I2S1
40 (S2) I0S2 I1S2 I2S2
50 (S3) I0S3 I1S3 I2S3
60 (S4) I0S4 I1S4 I2S4
sejumlah 100 ml setiap botol yang ditutup dengan plastik sebagai bahan untuk
kegiatan sterilisisasi eksplan di dalam laminar.
Sterilisasi peralatan yang terdiri dari pinset, gunting, scalpel, petridish juga
dilakukan dalam autoklaf gas selama 1 jam bersama-sama dengan sterilisasi air
aquades. Sterilisasi dilakukan pada temperatur 1210C dengan tekanan 17.5-20 psi
selama 1 jam. Untuk laminar air flow disterilkan dengan menghidupkan laminar
(kipas angin dan lampu UV) selama 30-60 menit sebelum digunakan. Selanjutnya
laminar disemprot dengan alkohol 70 % dan dibiarkan sampai mengering.
Pembuatan media pengakaran
Media MS ditambahkan IAA dan sukrosa masing-masing konsentrasi perlakuan.
Konsentrasi IAA masing-masing 0, 0.5 dan 1 ppm, sedangkan konsentrasi sukrosa
masing-masing 30, 40,50 dan 60 g/l.
Sterilisasi eksplan
Eksplan diperoleh dari perlakuan terbaik pada multiplikasi tunas, setelah
dilakukan perbanyakan. Eksplan dari botol kultur multiplikasi tunas, sebelum
dipindahkan ke media pengakaran disterilkan dalam larutan sodium hipoklorit 1 %
dalam cawan petri kemudian ditanam.
Penanaman eksplan pada media perlakuan
Tunas yang telah bermultiplikasi pada media terbaik pada percobaan
multiplikasi tunas dipindahkan ke media perlakuan kombinasi beberapa konsentrasi
IAA dan Sukrosa masing-masing 1 tunas per botol kultur. Eksplan dalam botol
perlakuan diamati selama 10 minggu.
Aklimatisasi dilakukan pada minggu ke-11 sampai minggu ke-12 (selama 2
minggu) dengan cara mengeluarkan tanaman dari media perlakuan kemudian di tanam
di media arang sekam dan dijaga kelembabannya. Untuk mengetahui pengaruh
perlakuan terhadap perkembangan plantlet, dilakukan pengamatan dan pengukuran
terhadap beberapa parameter pertumbuhan vegetatif yang terdiri dari : a) jumlah tunas
dihitung untuk setiap botol kultur,setiap minggu b) tinggi tunas diamati di akhir
pengamatan, c) jumlah daun total per botol kultur diamati setiap minggu, d) jumlah
akar diamati setiap minggu, e) panjang akar diamati di akhir pengamatan, f) diameter
kalus, total biomasa plantlet, jumlah plantlet dan kandungan antosianin menggunakan
metode Lees dan Francis (1982), diamati pada akhir percobaan.
48
Jumlah tunas dan jumlah daun mengalami peningkatan sejak umur kultur 1
sampai 8 MST. Peningkatan jumlah tunas tetinggi sampai pada umur kultur 8 MST
terjadi pada kombinasi IAA 1 ppm dan sukrosa 40g/l tetapi tidak berbeda nyata
dengan jumlah tunas pada konsentrasi IAA 0.5 ppm dan sukrosa 60g/l. Pada umur
kultur 4, 5 dan 6 MST jumlah tunas tertinggi terjadi pada konsentrasi IAA 0.5 ppm
dan sukrosa 40 dan 50g/l, tetapi terjadi penurunan jumlah tunas pada umur kultur 8
MST. Untuk peningkatan jumlah daun tertinggi terjadi pada media MS tanpa IAA
dengan konsentrasi sukrosa 40 dan 50g/l sampai umur kultur 8 MST. Perbedaan
konsentrasi IAA dan sukrosa dalam menghasilkan jumlah tunas dan jumlah daun
tertinggi disebabkan oleh peningkatan jumlah tunas pada konsentrasi IAA 1 ppm dan
sukrosa 60g/l tidak disertai dengan pembentukan daun yang sempurna.
49
Jumlah tunas dan jumlah daun pada umur 8 MST mengalami peningkatan
yang pesat dengan peningkatan konsentrasi sukrosa sampai optimum 40-50 g/l
meskipun ukuran tunas dan daun semakin kecil. Pada konsentrasi 60 g/l jumlah tunas
mengalami penurunan, kecuali dengan penambahan IAA 1 ppm jumlah tunas
mengalami peningkatan (Gambar 16), tetapi ukuran tunas semakin kecil dan daun
tidak terbentuk sempurna (Gambar 21).
Tabel 12. Interaksi IAA dan sukrosa terhadap jumlah daun daun dewa umur kultur
1-8 MST
IAA Sukrosa Minggu Setelah Tanam
(ppm) (g/l) 1 2 3 4 5 6 7 8
0 30 3.7 a 6.9 cd 10.1 d 12.5de 14.9 d 17.8 e 21.8de 24.2de
40 2.6 bc 9.8 a 15.7 b 18.6 b 22.1 a 25.4a 29.2 a 32.4 a
50 2.4 bc 8.7 ab 17.2 a 19.7 a 22.4 a 24.9ab 28.7 a 31.6 a
60 2.3 bc 7.5 bc 10.6cd 12.9de 15.9cd 18.4 e 22.6cd 25.1 d
40
35
30
25
20
15
10
5
0
I0S1 I0S2 I0S3 I0S4 I1S1 I1S2 I1S3 I1S4 I2S1 I2S2 I2S3 I2S4
Konsentrasi IAA dan Sukrosa
Gambar 16. Grafik pengaruh interaksi antara IAA dan sukrosa terhadap jumlah tunas,
jumlah akar dan jumlah daun pada umur kultur 8 MST.
50
Untuk menghasilkan tunas yang memiliki daun yang terbentuk sempurna dan
menghasilkan akar, pada percobaan ini diperoleh dengan penggunaan konsentrasi
IAA 0-1 ppm dan sukrosa 30 g/l. Konsentrasi sukrosa yang lebih tinggi dari 30 g/l,
meskipun menghasilkan tunas dan daun yang banyak, tetapi tidak menghasilkan
plantlet. IAA dalam kultur in vitro berperan dalam proses pembesaran sel melalui
sekresi ion H+ keluar sel melalui dinding sel yang menyababkan dinding sel
merenggang dan sel membesar. Pembesaran sel-sel tersebut akan mendorong proses
morfogenesis (Gunawan 1992, Salisbury dan Ross 1992), sehingga terjadi
pertumbuhan tunas dan pertambahan jumlah daun. Penggunaan sukrosa dimaksudkan
untuk menyediakan energi pada proses morfogenesis untuk proses regenerasi dalam
kultur in vitro (Gunawan 1992).
Jumlah Akar
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian IAA dan sukrosa
serta interaksinya berpengaruh nyata terhadap jumlah akar sampai umur 8 MST,
kecuali pada umur 1-2 MST tidak terdapat pengaruh nyata dari IAA (Tabel Lampiran
12). Jumlah akar terbanyak (35.4) dihasilkan pada konsentrasi IAA 0.5 ppm dan
sukrosa 30 g/l.
Tabel 13. Interaksi IAA dan sukrosa terhadap jumlah akar daun dewa umur kultur
1-8 MST
IAA Sukrosa Minggu Setelah Tanam
(ppm) (g/l) 1 2 3 4 5 6 7 8
0 30 0.2 a 5.0 a 8.6 b 13.8a 18.6b 23.8b 27.8b 29.7b
40 0.0 b 0.0 b 0.0 c 0.0 c 0.0 c 0.0 d 0.0 d 0.1 c
50 0.0 b 0.1 b 0.3 c 0.6 c 0.6 c 0.9 d 1.0 d 1.0 c
60 0.0 b 0.2 b 0.6 c 0.6 c 0.6 c 0.7 d 0.8 d 0.8 c
IAA 0, 0.5 dan 1 ppm dapat menginduksi terbentuknya perakaran (Tabel 13 dan
Gambar 17). Semakin tinggi konsentrasi sukrosa hanya dapat menginduksi
pembentukan kalus. Pada percobaan ini penggunaan IAA ditujukan untuk
menginduksi perakaran tunas mikro membentuk plantlet. Auksin (IAA, NAA, 2,4-D,
atau IBA) diserap oleh sel-sel tanaman untuk proses pembelahan dan inisiasi akar,
tetapi pada konsentrasi yang tinggi, auksin dapat menekan proses morfogenesis
(Smith 2000).
0 30 7.35 b 0.00 e
40 3.05 c 2.16 b
50 3.00 c 1.93 bc
60 1.77 d 1.97 bc
1 30 9.65 a 0.00 e
40 2.00 d 1.93 bc
50 1.92 d 2.50 a
60 2.48 cd 1.88 c
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada DMRT 5 %.
52
Berdasarkan data pada Tabel 14, konsentrasi IAA 0.5 ppm dan sukrosa 30 g/l
menghasilkan tunas tertinggi (10.03 cm), tetapi tidak terbentuk kalus. Pembentukan
kalus yang menghasilkan diameter kalus tertinggi (2.5 cm) terjadi pada konsentrasi
IAA 1 ppm dan sukrosa 50 g/l. Kombinasi antara IAA 0, 0.5 dan 1 ppm dengan
sukrosa 30 g/l rata-rata dapat menghasilkan tunas berakar dan tidak dapat membentuk
kalus. Kalus dapat terbentuk apabila konsentrasi sukrosa meningkat dari 40-60 g/l
(Gambar 18). Konsentrasi sukrosa yang tinggi pada media kultur akan berpengaruh
pada potensial osmotik (Gunawan 1992). Potensial osmotik yang semakin rendah
akibat konsentrasi sukrosa yang semakin tinggi akan menghambat regenerasi plantlet
dan lebih mendorong terbentuknya kalus pada kultur daun dewa.
12
10
0
I0S1 I0S2 I0S3 I0S4 I1S1 I1S2 I1S3 I1S4 I2S1 I2S2 I2S3 I2S4
Konsentrasi IAA dan Sukrosa
Gambar 18. Grafik pengaruh interaksi antara IAA dan sukrosa terhadap tinggi tunas (cm)
dan diameter kalus (cm) pada umur kultur 8 MST.
2.5
D iam eter K alus (cm )
2
y = 0.0162x 2 - 0.4629x + 2.9038
1.5 R2 = 0.89
0.5
0
0 2 4 6 8 10 12
Tinggi Tunas (cm)
Gambar 19. Grafik korelasi antara tinggi tunas dan diameter kalus pada interaksi antara
IAA dan sukrosa pada akhir percobaan.
53
Panjang Akar
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa IAA, sukrosa dan interaksinya
berpengaruh sangat nyata terhadap panjang akar (Tabel Lampiran 12). Data pada tabel
15 memperlihatkan bahwa akar terpanjang (22.3 cm) pada umur kultur 8 MST
dihasilkan pada konsentrasi IAA 0.5 ppm dan sukrosa 30 g/l.
Tabel 15. Interaksi IAA dan sukrosa terhadap panjang akar (cm) plantlet daun dewa
umur kultur 8 MST
Sukrosa (g/l)
IAA (ppm)
30 40 50 60
0 16.25 b 1.75 d 0.05 d 0.35 d
0.5 22.3 a 0.31 d 0.13 d 0.0 d
1 10.9 c 0.65 d 0.3 d 0.4 d
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama
tidak berbeda nyata pada DMRT 5 %.
20
18
7
Panjang Akar (cm)
16 y = -0.546x + 29.57
R2 = 0.6
Panjang Akar (cm)
14 6
12 5
10
4
8
3
6
2 y = -8.6x 2 + 5.9x + 5.5
4
1 R2 = 0.8
2
0 0
30 40 50 60 0 0.5 1 1.5
Konsentrasi Sukrosa (g/l) Konsentrasi IAA (ppm )
Gambar 20. Hubungan antara konsentrasi IAA dan sukrosa terhadap panjang akar plantlet
daun dewa umur kultur 8 MST.
Penggunaan IAA 0.5 ppm dan sukrosa 30 g/l menghasilkan akar terpanjang
(22.3 cm) dan berbeda nyata dengan penggunaan IAA 0 dan 1 ppm serta sukrosa 30
g/l yang menghasilkan panjang akar masing-masing 16.25 cm dan 10.9 cm. Semakin
tinggi konsentrasi IAA, panjang akar akan cenderung lebih rendah dan konsentrasi
optimum adalah 0.5 ppm IAA. Demikian halnya dengan semakin meningkatnya
54
konsentrasi sukrosa di atas 30 g/l (40-60 g/l), akar yang terbentuk semakin pendek
bahkan hampir tidak membentuk akar (Gambar 20). Hasil percobaan ini
menunjukkan bahwa IAA dan sukrosa mempengaruhi proses pemanjangan akar. IAA
berperan dalam proses pembesaran dan pemanjangan sel-sel akar, sedangkan sukrosa
adalah penyedia energi melalui aktivitas enzim invertase untuk kebutuhan
pembesaran dan pemanjangan sel (Taiz dan Zeiger 1991).
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh IAA dan pengaruh interaksi
antara IAA dan sukrosa tidak nyata terhadap total biomasa plantlet, jumlah plantlet
dan kadar antosianin daun dewa umur kultur 8 MST. Total biomasa plantlet, jumlah
plantlet dan kadar antosianin yang dihasilkan lebih dipengaruhi oleh konsentrasi
sukrosa (Tabel Lampiran 12).
Tabel 16. Total biomasa plantlet, jumlah plantlet dan total antosianin daun dewa pada
umur kultur 8 MST
. Sukrosa (g/l) Total Biomasa Plantlet Jumlah Plantlet Total Antosianin
(g) (%)
30 1.82 b 2.7 a 0.071 a
40 4.16 a 0.6 b 0.015 b
50 4.33 a 0.8 b 0.016 b
60 4.70 a 0.6 b 0.012 b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada DMRT 5 %.
30 40 50 60 0 0.5 1
Sukrosa (g/l) IAA (ppm)
Gambar 21. Plantlet yang dihasilkan pada konsentrasi sukrosa 30, 40, 50 dan 60 g/l,
dan konsentrasi IAA 0, 0.5 dan 1 ppm.
peningkatan bobot kalus yang terbentuk, tetapi jumlah plantlet dan kadar antosianin
semakin menurun.
Berdasarkan persamaan Y = 0.0047X2 – 0.4787X + 12.661 (R2 = 0.86),
penambahan sukrosa 51.4 g/l menghasilkan jumlah plantlet 0.17 (Gambar 22A),
sedangkan melalui persamaan Y = 0.0001X2 – 0.0132X + 0.3578 (R2 = 0.87),
penambahan sukrosa 67.5 g/l tidak dapat menghasilkan kadar antosianin (Gambar 22
B). Semakin tinggi konsentrasi sukrosa, total antosianin akan semakin rendah dan
jumlah plantlet juga akan semakin berkurang.
3.5
y = 0.0047x 2 - 0.4787x + 12.661
3 R2 = 0.8643
Jumlah Plantlet
2.5
1.5 A
1
0.5
0
30 40 50 60
Konsentrasi Sukrosa (g/l)
0.09
0.08
Kadar Antosianin (%)
0.07
y = 0.0001x 2 - 0.0132x + 0.3578
0.06
R2 = 0.8662
0.05
0.04 B
0.03
0.02
0.01
0
30 40 50 60
Konsentrasi Sukrosa (g/l)
Gambar 22. Grafik hubungan antara konsentrasi sukrosa terhadap jumlah plantlet (A)
dan kadar antosianin (B) umur kultur 8 MST.
Berdasarkan data visual yang disajikan pada Gambar 16, dapat dilihat bahwa
semakin tinggi konsentrasi sukrosa, maka perkembangan tunas menjadi plantlet
menjadi terhambat. Tunas dan daun yang terbentuk berukuran kecil, meskipun
jumlahnya banyak dan akar tidak terbentuk. Pada konsentrasi IAA 0, 0.5 dan 1 ppm
56
SIMPULAN
Pemberian IAA dan sukrosa pada media MS berpengaruh pada induksi akar
dan pigmentasi antosianin pada kultur in vitro daun dewa sampai umur kultur 8 MST.
Konsentrasi optimum IAA dan sukrosa yang menghasilkan jumlah akar terbanyak
(35.4) dan panjang akar terpanjang (22.3 cm) diperoleh pada IAA 0.5 ppm dan
sukrosa 30 g/l.
Pada penelitian ini dihasilkan media yang menghasilkan plantlet yang
mengandung antosianin yang tinggi. Jumlah plantlet terbanyak (2.7) dengan
kandungan antosianin tertinggi (0.071%) dihasilkan pada penggunaan sukrosa 30 g/l
pada media MS.
57
Kata kunci : Periode pencahayaan, bahan tanam asal in vitro, setek pucuk, flavonoid,
Gynura pseudochina.
ABSTRACT
Lights are influential to increase plant bioactives content. Field experiment
using the in vitro plantlets with the heighest anthocyanins content and in vivo shoot
cuttings through lighting periods. The research objectives were knowed differed
effect to find the lighting periods in the field experiment that increase plantlets and
shoot cuttings growth and bioactive content, especially the flavonoids. The growth,
morfo-anatomycal, plant physiological and bioactives content were measured. The
experiment used split plot design with lighting periods as the main plots and the sub
plots were plantlets and shoot cuttings. The results showed that 50% shading
produced plant growth, leaves anatomycal (stomata number, trichomes number and
thick of leaves), SOD enzymes content, chlorophill content, anthocyanins content and
total flavonoids significantly differed with 25% shading and full light. The heigher of
total biomass (90.92g) produced in shading 50% up to 1 month and three month full
light, while the heighest of anthocyanins content (0.064%) and total flavonoids
content (12.71%) produced from in vitro plantlets.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada penelitian in vitro telah diperoleh bahan tanam asal in vitro sebagai bahan
tanam di lapang yang memiliki kandungan antosianin yang tinggi dengan kadar
0.071%. Peningkatan kandungan antosianin tersebut disebabkan karena pengaruh
penggunaan sukrosa pada media kultur. Hiratsuka et al. (2001) melaporkan
penggunaan ABA 1 g/l dan gula (fruktosa, sukrosa, glukosa dan ramnosa) 2.5 dan
10% dapat meningkatkan pigmentasi antosianin pada kultur in vitro Vitis labruscana
Bailey cv. Olympia. Penggunaan GA3 1 mg/l dan sukrosa 30 g/l pada kultur in vitro
Hyacinthus orientalis menghasilkan glikosida antosianin yang berbeda dengan
tanaman yang sama yang ditumbuhkan di lapang (Hosokawa et al. 1996).
Pemacuan produksi bioaktif bahan tanam asal in vitro pada kondisi lapang dapat
dilakukan dengan meningkatkan biomasa tanaman melalui naungan dan periode
pencahayaan. Beberapa penelitian sebelumnya telah diketahui bahwa pemberian
naungan dapat mempengaruhi kandungan bioaktif tanaman, tetapi informasi tentang
pengaruh periode pencahayaan belum dilaporkan. Pada tanaman kedelai, pigmentasi
antosianin meningkat pada persentase naungan yang semakin tinggi (Lamuhuria et al.
2006), sedangkan pada beberapa klon daun dewa yang tumbuh pada kondisi 100%
cahaya menghasilkan kadar antosianin yang tidak berbeda nyata (Ghulamahdi et al.
2006). Tanaman daun jinten (Urnemi et al. 2002), kadar kumarat dan fanilat tertinggi
terdapat pada naungan 75%. Taraf naungan 50 dan 75% meningkatkan respon
tanaman daun jinten terhadap pemupukan.
Daun dewa telah dilaporkan dapat tumbuh baik pada kondisi ternaungi dan
idealnya memperoleh cahaya 50-75% (Hidayat 2000, Januwati 1996, Suharmiati dan
Maryani 2003). Daun dewa yang tumbuh di daerah ternaungi menghasilkan tanaman
yang lebih tinggi, daun yang lebih lebar dan renyah serta warna daun yang lebih cerah
dan halus. Pada intensitas cahaya yang tinggi menghasilkan daun yang keras
(Suharmiati dan Maryani 2003).
Pertumbuhan tanaman dalam naungan berdasarkan anatomi daun, kandungan
pigmen fotosintetik dan enzim SOD berbeda dengan tanaman yang tumbuh pada
kondisi cahaya penuh. Semakin tinggi persentase naungan, jumlah stomata dan
trichoma semakin berkurang dan daun semakin tipis. Liakoura (1997) melaporkan
bahwa kerapatan trichoma dan stomata Olea europaea lebih rendah pada daun yang
59
dinaungi dibanding dengan daun pada cahaya penuh. Pada intensitas cahaya rendah,
tanaman akan meningkatkan luas permukaan daun sehingga luas bidang tangkapan
terhadap cahaya semakin tinggi (Levitt 1980, Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003a),
sehingga terjadi penipisan daun. Pada kondisi intensitas cahaya rendah juga terjadi
peningkatan kandungan klorofil daun sebagai pigmen fotosintetik (Sopandie 2006).
Respon tanaman yang sebelumnya tumbuh pada kondisi naungan kemudian
dipindahkan pada cahaya 100%, diduga akan terjadi stres oksidatif. Stres oksidatif
disebabkan oleh peningkatan radikal bebas dalam kloroplas dan merusak pusat reaksi.
Penghambatan peningkatan radikal bebas dilakukan oleh tanaman melalui
peningkatan aktivitas enzim SOD sebagai enzim kunci yang menghambat produksi 02-
dalam penghambatan fotosintesis (Hideg 1997). Ismail et al. (2001) melaporkan
bahwa pada tanaman Crassocephalum crepidioides yang resisten terhadap 02- akan
menghasilkan enzim SOD yang lebih tinggi dari tanaman yang peka.
Pertumbuhan tanaman yang sebelumnya pada kondisi naungan kemudian
dipindahkan pada cahaya 100% juga meningkatkan kandungan bioaktif khususnya
flavonoid. Peningkatan tersebut disebabkan oleh meningkatnya aktivitas enzim
Flavonon 3-hidroksilase (F3H) yang menstimulasi pembentukan flavonoid, termasuk
antosianin (Jaakola 2003). Senyawa-senyawa golongan flavonoid dapat mengalami
peningkatan karena pengaruh cahaya. Cahaya dalam proses fotosintesis akan
menghasilkan glukosa-6-fosfat sebagai prekursor pembentukan asetil CoA yang
selanjutnya menghasilkan senyawa-senyawa flavonoid termasuk antosianin (Salisbury
dan Ross 1992, Vickery dan Vickery 1981). Awad et al. (2001) juga melaporkan
bahwa pada buah apel “ Jonagold “ ditemukan kandungan total flavonoid yang
berbeda karena pengaruh cahaya. Buah apel yang terletak di bagian luar tajuk
menghasilkan kandungan total flavonoid 13.5 mg/g, sedangkan buah yang berada di
bagian dalam tajuk yang tidak terkena cahaya langsung menghasilkan total flavonoid
lebih rendah (7.2 mg/g).
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respon pertumbuhan dan
peningkatan kandungan flavonoid daun dewa asal in vitro pada kondisi lapang
melalui periode pencahayaan yang berbeda. Respon pertumbuhan dan peningkatan
kandungan flavonoid akan dipelajari melalui parameter pertumbuhan, perubahan
anatomi dan fisiologis tanaman.
60
Metode Penelitian
Percobaan disusun berdasarkan Rancangan Petak Terpisah (Split plot Design),
dengan 3 kali ulangan. Petak utama adalah periode pencahayaan (N), sedangkan anak
petak adalah sumber bahan tanam (V). Kombinasi perlakuan secara lengkap disajikan
pada Tabel 17. Secara keseluruhan terdapat 18 kombinasi perlakuan dan diulang 3
kali, serta setiap perlakuan terdapat 10 satuan percobaan sehingga terdapat 540 satuan
percobaan.
Tabel 17. Kombinasi perlakuan periode pencahayaan dan sumber bahan tanam
Sumber Bahan Tanam
Periode Pencahayaan in Vitro Setek Pucuk
(V1) (V2)
Cahaya 100% 4 bulan (N0) N0V1 N0V2
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% (N1) N1V1 N1V2
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% (N2) N2V1 N2V2
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% (N3) N3V1 N3V2
Naungan 25% 4 bulan (N4) N4V1 N4V2
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% (N5) N5V1 N5V2
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% (N6) N6V1 N6V2
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% (N7) N7V1 N7V2
Naungan 50% 4 bulan (N8) N8V1 N8V2
Pemeliharaan tanaman
Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, pemupukan, penyiangan
gulma dan pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan setiap hari pada
pagi hari sesuai kapasitas lapang pot perlakuan. Penyiangan dilakukan setiap saat
sehingga pot perlakuan bebas dari gulma. Pemupukan dilakukan dengan pemberian
pupuk dasar Urea, SP-36 dan KCl masing-masing 5 g/polibag. Pencegahan hama dan
penyakit dilakukan dengan memperhatikan gejala serangan. Penyiangan dilakukan
secara manual sedangkan pencegahan hama dan penyakit dilakukan secara kimia.
Pencegahan hama ulat jengkal dan kumbang disemprot dengan insektisida biologis
Florbec dan Pentacarb. Komponen pengamatan pada percobaan tahap-III ini adalah
sebagai berikut :
Komponen pertumbuhan tanaman :
1. Tinggi tanaman (cm) diukur dari pangkal batang sampai dengan ujung pucuk,
diamati pada akhir percobaan.
2. Jumlah daun (helai), diamati pada daun yang telah terbentuk sempurna, diamati
pada akhir percobaan.
3. Panjang daun terpanjang (cm) dan lebar daun terlebar (cm), diamati pada akhir
percobaan.
4. Luas daun (cm2) diamati setiap bulan, menggunakan Leaf Area Meter.
5. Indeks luas daun (ILD) diamati setiap bulan. Persamaan untuk menentukan nilai
ILD adalah : ILD = LD/A, dimana LD (luas daun total) dan A adalah luas
permukaan tanah yang ditumbuhi tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995).
6. Indeks kehijauan daun diamati setiap 2 minggu menggunakan alat FJK
Chlorophyll Tester CT-102.
7. Jumlah anakan dan jumlah cabang diamati pada akhir percobaan.
8. Bobot brangkasan tanaman (g) diamati pada akhir percobaan.
9. Bobot basah umbi (g), dan bobot basah tajuk (g) diamati pada akhir percobaan.
Komponen fisiologis tanaman :
Komponen fisiologis tanaman yang akan diukur dan diamati terdiri dari :
1. Analisis pertumbuhan tanaman menggunakan metode Masarovicova (1997).
Komponen yang diamati terdiri dari : laju tumbuh relatif (relative growth rate),
rasio luas daun (leave area ratio) dan laju asimilasi bersih (net assimilation rate).
64
1. Uji Fitokimia dilakukan di laboratorium kimia Pusat Studi Biofarmaka IPB pada
akhir percobaan dengan menggunakan metode Harborn (1996). Sampel yang
digunakan adalah seluruh daun yang telah terbentuk sempurna per tanaman.
Jumlah sampel yang dianalisis adalah 2 tanaman dalam 1 perlakuan, kemudian
sampel dari 2 tanaman tersebut dikompositkan menjadi 1 sampel. Jumlah sampel
untuk 3 ulangan setiap perlakuan adalah 6 sampel, kemudian dikompositkan
menjadi 3 sampel. Metode kerja dapat dilihat pada lampiran 21.
2. Analisis kandungan antosianin dilakukan di laboratorium RGCI Departemen
Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB pada akhir percobaan dengan
menggunakan metode Lees dan Francis (1982). Sampel daun yang digunakan
adalah daun yang terkena langsung cahaya matahari pada posisi daun ke 3-5 dari
arah pucuk. Jumlah sampel yang digunakan adalah 2 tanaman setiap perlakuan
dan setiap tanaman diambil 3 daun, kemudian dikompositkan menjadi 1 sampel
setiap perlakuan. Dalam 3 ulangan digunakan 6 tanaman dan dikompositkan
menjadi 3 sampel. Metode kerja dapat dilihat pada lampiran 22.
3. Analisis kandungan total flavonoid dilakukan di laboratorium kimia Pusat Studi
Biofarmaka IPB pada akhir percobaan dengan menggunakan metode Badan POM
(2004). Sampel yang digunakan adalah seluruh daun yang telah terbentuk
sempurna dan setiap perlakuan digunakan 2 tanaman sampel. Sampel yang
dianalisis sebanyak 2 ulangan. Metode kerja dapat dilihat pada lampiran 23.
66
Pertumbuhan Tanaman
Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam meningkatkan
pertumbuhan tanaman yang diamati melalui peubah tinggi tanaman, jumlah daun,
panjang daun, lebar daun, jumlah anakan dan jumlah cabang umur 16 MST. Periode
pencahayaan yang berbeda menghasilkan pertumbuhan tanaman yang berbeda antara
bahan tanam in vitro dan setek pucuk. Rata-rata pertumbuhan bahan tanam in vitro
pada berbagai periode pencahayaan lebih baik dibanding bahan tanam setek pucuk
(Gambar 24).
120
98.4
100 85.8
In Vitro Setek Pucuk
80
60
40
19 19.4 13.113.9 18 15.4
20 1.7 1.66 6.7 6.7 6.8 4.6
0
TT JD IKD PD LD JA JC
Peubah Pertumbuhan Tanaman
Gambar 24. Perbedaan pertumbuhan tanaman antara bahan tanam in vitro dan setek pucuk.
TT = tinggi tanaman (cm), JD = jumlah daun, IKD = indeks kehijauan daun, PD
= panjang daun (cm), LD = lebar daun (cm), JA = jumlah anakan, JC = jumlah
cabang.
jumlah anakan dan jumlah cabang pada umur 16 MST, lebih tinggi pada perlakuan
naungan dibanding yang tumbuh pada cahaya 100% selama masa pertumbuhan.
Pertumbuhan tanaman pada naungan 50% juga lebih tinggi dari naungan 25%, kecuali
lebar daun terlebar, jumlah anakan dan jumlah cabang (Tabel 18, 19 dan 20).
Pertumbuhan yang lebih pesat pada tanaman yang diberi naungan disebabkan karena
morfogenesis tanaman yang lebih cepat karena peningkatan zat pengatur tumbuh
tanaman endogen terutama auksin dan giberelin. Menurut Devlin dan Witham (1983)
bahwa tanaman dalam naungan memiliki kandungan giberelin dan auksin yang tinggi
dan berpengaruh pada plastisitas dinding sel sehingga morfogenesis tanaman
mengalami peningkatan.
Kemampuan pertumbuhan bahan tanam asal in vitro disebabkan karena
plantlet yang dihasilkan memiliki kualitas pertumbuhan yang lebih baik. Pada kultur
in vitro penggunaan media MS yang mengandung sejumlah unsur hara makro dan
mikro esensial, vitamin dan asam-asam amino (komposisi media MS-Lampiran 5)
serta penggunaan IAA dan BAP sebagai zat pengatur tumbuh eksogen dari golongan
auksin dan sitokinin memungkinkan pertumbuhan plantlet di lapang lebih baik
dibandingkan dengan bahan tanam in vivo.
daun terendah untuk kedua bahan tanam tersebut diperoleh pada perlakuan cahaya
100% selama 4 bulan. Pada intensitas cahaya rendah kloroplas akan mengumpul pada
dua bagian, yaitu pada kedua sisi dinding sel terdekat dan terjauh dari cahaya dan
terkonsentrasi pada permukaan daun sehingga warna daun lebih hijau (Salisbury dan
Ross 1992).
Tabel 22. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam
terhadap indeks kehijauan daun umur 4 MST
Sumber Bahan Tanam Rata-rata
Periode Pencahayaan
in Vitro Setek Pucuk
Cahaya 100% 4 bulan 0.72 e 0.77 e 0.75
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 1.05 d 1.10 d 1.08
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 1.20 bcd 1.08 d 1.14
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 1.30 abc 1.07 d 1.19
Naungan 25% 4 bulan 1.02 d 1.11 d 1.07
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 1.35 ab 1.12 cd 1.24
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 1.36 ab 1.39 a 1.37
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 1.39 a 1.15 cd 1.27
Naungan 50% 4 bulan 1.35 ab 1.14 cd 1.25
Rata-rata 1.19 1.10
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.75/1.20**
Naungan 25% VS Naungan 50% 1.12/1.28**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji DMRT 5%.
** = sangat nyata.
dihasilkan pada perlakuan cahaya 100% selama 4 bulan yang mencapai 0.29 dan 0.30,
masing-masing untuk bahan tanam in vitro dan setek pucuk.
Tabel 24. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terhadap
ILD umur 8 MST
Sumber Bahan Tanam Rata-rata
Periode Pencahayaan
in Vitro Setek Pucuk
Cahaya 100% 4 bulan 0.29 h 0.30 h 0.29
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.84 g 1.25 de 1.05
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 1.34 bcde 1.31 cde 1.32
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 1.33 bcde 1.30 de 1.32
Naungan 25% 4 bulan 1.34 bcde 1.03 f 1.19
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 1.49 abc 1.31 cde 1.40
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 1.50 ab 1.42 bcd 1.74
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 1.61 a 1.04 f 1.33
Naungan 50% 4 bulan 1.65 a 1.15 ef 1.41
Rata-rata 1.27 1.13
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.29/1.35**
Naungan 25% VS Naungan 50% 1.22/1.47**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji DMRT 5%.
** = sangat nyata.
Peningkatan ILD lebih tinggi pada tanaman yang diberi naungan dibanding
yang tumbuh pada cahaya 100%. Berdasarkan hasil uji kontras ortogonal yang tertera
pada Tabel 23 dan 24, perbedaan yang sangat nyata terjadi antara ILD cahaya 100%
VS naungan dan naungan 25% VS naungan 50%. Pencapaian ILD maksimum pada
naungan 50%, disebabkan karena meningkatnya jumlah dan luas daun pada perlakuan
tersebut.
Tabel 25. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa
terhadap bobot brangkasan, bobot basah umbi dan bobot basah tajuk pada
saat panen (16 MST).
ditemukan pada cahaya 100% selama 4 bulan, sedangkan jumlah yang paling sedikit
(4.0) pada naungan 50% selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100%. Jumlah stomata
dan trichoma bahan tanam setek pucuk lebih banyak dari bahan tanam in vitro.
Tabel 26. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa
terhadap jumlah stomata, jumlah trichoma pada saat panen (16 MST).
Tabel 27. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam
terhadap tebal daun (µm) umur 16 MST
Sumber Bahan Tanam
Periode Pencahayaan in Vitro Setek Rata-rata
Pucuk
Cahaya 100% 4 bulan 27.54 bcdef 31.14 abc 29.34
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 31.69 ab 33.39 a 32.54
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 24.38 fg 31.66 ab 28.02
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 28.12 bcdef 25.61 ef 26.87
Naungan 25% 4 bulan 23.64 fg 26.84 cdef 25.24
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 25.98 def 24.18 fg 25.08
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 25.13 efg 30.13 abcd 27.63
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 24.31 fg 29.03 abcde 26.67
Naungan 50% 4 bulan 21.09 gh 19.36 h 20.22
Rata-rata 25.76 27.93
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 29.34/26.52**
Naungan 25% VS Naungan 50% 28.17/24.9**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji DMRT 5%. **
= sangat nyata.
Jumlah stomata dan trichoma pada daun tanaman yang tumbuh pada cahaya
100% lebih banyak dibanding dengan daun tanaman yang tumbuh pada kondisi
naungan. Pada naungan 25%, jumlah stomata dan trichoma masih lebih banyak dari
naungan 50%. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin rendah intensitas cahaya, maka
72
jumlah stomata dan trichoma akan semakin berkurang. Liakoura (1997) melaporkan
bahwa kerapatan trichoma dan stomata Olea europaea lebih rendah pada daun yang
dinaungi dibanding dengan daun pada cahaya penuh. Pada tanaman kedelai juga
terjadi penurunan jumlah stomata dan trichoma pada intensitas cahaya 50%
(Lamuhuria 2007).
S
Jumlah stomata pada
naungan 25% selama 4 bulan
Gambar 25. Stomata (pembesaran 40x) pada berbagai periode pencahayaan umur 16 MST.
S = stomata.
73
T
Jumlah trichoma pada naungan
50% selama 4 bulan
Gambar 26. Trichoma (pembesaran 40x) pada berbagai periode pencahayaan umur
16 MST. T = trichoma.
74
Tebal Daun
Ketebalan daun pada cahaya 100% selama 4 bulan
Tebal Daun
Gambar 27. Ketebalan daun (pembesaran 100x) pada berbagai periode pencahayaan
umur 16 MST.
Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam secara nyata
menghasilkan perbedaan tebal daun. Data hasil pengukuran tebal daun yang disajikan
75
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 28, 30 dan 32, RGR dan NAR
pada tanaman yang tumbuh dalam naungan 50% cenderung mengalami penurunan
sejak umur 12-16 MST, dibanding pada naungan 25% dan cahaya 100%, sedangkan
LAR mengalami penurunan sejak umur 8-16 MST. Penurunan LAR pada naungan
25% dan cahaya 100% lebih tinggi dibanding naungan 50%.
Periode pencahayaan yang menghasilkan RGR maksimum diperoleh pada
naungan 50% selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100% untuk RGR 0-8 MST dan
cahaya 100% 4 bulan untuk RGR umur 8-16 MST. Untuk LAR maksimum diperoleh
pada naungan 50% selama 2 bulan dan 2 bulan cahaya 100%, sedangkan NAR
maksimum pada cahaya 100% selama 4 bulan umur 16 MST. Untuk perlakuan
sumber bahan tanam, RGR dan NAR setek pucuk lebih tinggi dari bahan tanam in
vitro, kecuali LAR.
Tabel 29. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam
terhadap RGR (g/g/hari) umur 8-12 MST
Sumber Bahan Tanam
Periode Pencahayaan Rata-rata
in Vitro Setek Pucuk
Cahaya 100% 4 bulan 0.017 bc 0.033 a 0.025
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.009 de 0.010 de 0.009
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.008 de 0.008 de 0.008
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.009 de 0.014 cd 0.012
Naungan 25% 4 bulan 0.007 de 0.010 de 0.009
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.005 e 0.007 de 0.006
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.007 de 0.007 de 0.007
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.005 e 0.005 e 0.005
Naungan 50% 4 bulan 0.009 de 0.022 b 0.016
Rata-rata 0.008 0.013
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.025/0.009**
Naungan 25% VS Naungan 50% 0.0095/0.0085tn
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji DMRT 5%.
tn = tidak nyata, ** = sangat nyata.
Tabel 31. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam
terhadap LAR (cm2/g) umur 12 MST
Sumber Bahan Tanam
Periode Pencahayaan Rata-rata
in Vitro Setek Pucuk
Cahaya 100% 4 bulan 157.01 bc 211.63 a 184.32
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 156.93 bc 164.95 bc 160.94
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 167.51 bc 168.16 bc 167.84
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 159.31 bc 161.87 bc 160.59
Naungan 25% 4 bulan 184.39 b 178.35 bc 181.37
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 174.72 bc 169.09 bc 171.91
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 153.09 c 177.80 bc 165.45
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 175.06 bc 163.75 bc 169.40
Naungan 50% 4 bulan 162.31 bc 173.95 bc 168.13
Rata-rata 165.59 174.40
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 184.32/168.2*
Naungan 25% VS Naungan 50% 167.69/168.72tn
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji DMRT 5%.
tn = tidak nyata, * = nyata.
Tabel 32. Pengaruh periode pencahayaan dan bahan tanam daun dewa terhadap NAR
(g/cm2/hari) pada umur tanaman 0-4, 4-8 dan 12-16 MST.
Perlakuan 0-4 MST 4-8 MST 12-16 MST
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara RGR,
LAR dan NAR dalam pertumbuhan tanaman. Penurunan nilai LAR, meningkatkan
RGR dan NAR karena efisiensi setiap satuan luas daun untuk menghasilkan bahan
kering tanaman lebih tinggi. Sebaliknya apabila LAR meningkat, maka efisiensi daun
dalam berfotosintesis rendah yang ditunjukkan oleh peningkatan rasio luas daun
dalam menghasilkan bahan kering tanaman. Semakin luas permukaan daun untuk
menghasilkan bahan kering tanaman, dinyatakan sebagai daun yang memiliki efisiensi
78
yang rendah dalam menghasilkan bahan kering tanaman (Sitompul dan Guritno
1995).
Tabel 33. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam
terhadap NAR (g/cm2/hari) umur 8-12 MST
Sumber Bahan Tanam
Periode Pencahayaan Rata-rata
in Vitro Setek Pucuk
Cahaya 100% 4 bulan 0.00014 ab 0.00016 a 0.00015
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.00006 cd 0.00006 cd 0.00006
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.00005 cde 0.00005 cde 0.00005
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.00006 cd 0.00008 c 0.00007
Naungan 25% 4 bulan 0.00004 de 0.00006 cd 0.00005
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.00004 de 0.00005 cde 0.00004
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.00005 cde 0.00004 de 0.00005
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.00003 e 0.00004 de 0.00003
Naungan 50% 4 bulan 0.00006 cd 0.00013 b 0.00010
Rata-rata 0.000059 0.000073
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.00015/0.00006**
Naungan 25% VS Naungan 50% 0.00006/0.00005tn
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji DMRT 5%.
tn = tidak nyata,** = sangat nyata.
Peningkatan luas daun yang cukup pesat pada naungan 50% akan terjadi
saling menaungi antara daun yang satu dengan lainnya, sehingga daun yang ternaungi
tidak efektif dalam melakukan fotosintesis. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa
tidak terdapat hubungan antara peningkatan luas daun dan bobot kering tanaman yang
ditunjukkan dengan nilai RGR dan NAR. Tanaman yang tumbuh pada kondisi
ternaungi, luas daun lebih tinggi dari tanaman yang tumbuh pada cahaya 100% tetapi
RGR dan NAR lebih rendah. Fichtner et al. (1995) menyebutkan bahwa laju
pertumbuhan tanaman meningkat secara linier dengan meningkatnya fotosintesis,
tetapi akan terjadi penurunan produksi bahan kering per satuan luas daun apabila
terjadi pembatasan fotosintesis yang disebabkan oleh efisiensi daun yang rendah.
Apabila tajuk dibagi ke dalam beberapa bagian, maka cahaya yang jatuh pada bagian
permukaan tajuk bagian bawah akan semakin sedikit jika letak daun dalam bidang
vertikal mendekati permukaan tanah, akibatnya laju fotosintesis daun-daun lapisan
tajuk bawah akan semakin rendah (Gent 1995).
(Lampiran 13). Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam
berpengaruh nyata terhadap kandungan enzim SOD umur 16 MST.
Data yang disajikan pada Tabel 34 menunjukkan bahwa periode pencahayaan
yang berbeda menghasilkan kandungan SOD yang berbeda antara bahan tanam in
vitro dan setek pucuk. Semakin tinggi persentase naungan, kandungan SOD kedua
bahan tanam juga semakin meningkat. Kandungan SOD terendah (0.020 µmol/g)
dihasilkan bahan tanam in vitro pada periode pencahayaan 100% selama 4 bulan,
sedangkan SOD tertinggi (0.051 µmol/g) terdapat pada bahan tanam setek pucuk
dengan naungan 50% selama 4 bulan. Rata-rata kandungan SOD tertinggi dihasilkan
pada bahan tanam setek pucuk (Gambar 28).
Tabel 34. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam
terhadap kandungan total enzim SOD (µmol/g) umur 16 MST
Sumber Bahan Tanam
Periode Pencahayaan Rata-rata
in Vitro Setek Pucuk
Cahaya 100% 4 bulan 0.020 h 0.025 g 0.023
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.023 h 0.033 cd 0.028
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.023 h 0.030 efg 0.027
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.036 c 0.047 b 0.041
Naungan 25% 4 bulan 0.029 fg 0.032 def 0.031
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.030 efg 0.028 fg 0.029
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.034 cd 0.046 b 0.040
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.033 cd 0.047 b 0.040
Naungan 50% 4 bulan 0.036 c 0.051 a 0.043
Rata-rata 0.029 0.038
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.023/0.035**
Naungan 25% VS Naungan 50% 0.032/0.038**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji DMRT 5%.
** = sangat nyata.
0.08
In Vitro Setek Pucuk 0.07 0.07
0.07
0.06
0.05
0.038
0.04
0.029
0.03
0.02
0.01
0
SOD Total Klorofil
Gambar 28. Kandungan enzim SOD (µmol/g) dan total klorofil (mg/g) bahan tanam daun
dewa asal in vitro dan setek pucuk umur 16 MST.
80
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin lama tanaman daun dewa
tumbuh pada naungan 50%, kandungan SOD semakin meningkat. Enzim SOD adalah
enzim yang berfungsi mencegah peningkatan O2- dalam kloroplas yang menyebabkan
kerusakan membran tilakoid (Hideg 1997). Peningkatan total enzim SOD pada daun
dewa dalam kondisi naungan mengindikasikan peningkatan penghambatan terhadap
aktivitas O2-, sehingga kloroplas tidak terdegradasi. Tanaman yang memiliki
ketahanan yang tinggi terhadap aktivitas O2- menghasilkan enzim SOD yang lebih
tinggi dari tanaman yang peka (Ismail et al. 2001).
Hasil analisis kandungan klorofil a, klorofil b, rasio klorofil a/b dan total klorofil
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada semua perlakuan yang dicobakan
(Tabel 35). Kandungan klorofil a pada cahaya 100% selama 4 bulan adalah 0. 045
mg/g, sedangkan pada naungan 50% selama 4 bulan 0.043 mg/g. Klorofil a terendah
dihasilkan pada naungan 25% selama 3 dan 4 bulan (0.039 mg/g). Klorofil b cahaya
100% memiliki kandungan yang sama dengan naungan 50% selama 4 bulan yaitu
0.031 mg/g dan lebih rendah dari klorofil a, sedangkan rasio klorofil a/b pada cahaya
100% lebih tinggi (1.452) dibanding dengan naungan 50% selama 4 bulan (1.387).
Penurunan rasio klorofil a/b pada naungan 50% selama 4 bulan dibanding
dengan cahaya 100% 4 bulan disebabkan karena kandunan klorofil a lebih rendah dari
cahaya 100%, sedangkan klorofil b memiliki kandungan yang sama. Total klorofil
pada naungan 50% selama 4 bulan lebih rendah dari cahaya 100%, sedangkan total
klorofil antara bahan tanam in vitro dan setek pucuk tidak berbeda nyata (Gambar 28).
Hidema et al. (1992) melaporkan bahwa intensitas cahaya rendah menurunkan rasio
klorofil a/b karena terjadi peningkatan protein klorofil a/b pada LHC II. Proporsi
klorofil b lebih besar dibanding dengan klorofil a pada tanaman naungan serta ukuran
kloroplas lebih besar (Lee et al. 1985).
Tabel 36. Pengaruh periode pencahayaan dan bahan tanam daun dewa terhadap
kandungan total flavonoid daun (%) umur 16 MST.
Sumber Bahan Tanam
Periode Pencahayaan Rata-rata
in Vitro Setek Pucuk
Cahaya 100% 4 bulan 5.75 6.13 5.94
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 8.76 8.85 8.81
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 7.91 8.44 8.18
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 10.71 12.43 11.57
Naungan 25% 4 bulan 9.93 10.38 10.16
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 12.71 10.12 11.42
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 9.78 12.31 10.05
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 12.21 11.62 11.92
Naungan 50% 4 bulan 11.41 9.75 10.58
Rata-rata 9.91 10.00
Tabel 37. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam
terhadap kandungan antosianin daun (%) umur 16 MST
Sumber Bahan Tanam
Periode Pencahayaan Rata-rata
in Vitro Setek Pucuk
Cahaya 100% 4 bulan 0.031 def 0.015 h 0.023
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.036 d 0.026 fg 0.031
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.048 bc 0.023 g 0.035
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.044 c 0.025 fg 0.035
Naungan 25% 4 bulan 0.044 c 0.026 fg 0.035
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.064 a 0.035 de 0.050
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.035 de 0.036 d 0.036
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.046 bc 0.028 efg 0.037
Naungan 50% 4 bulan 0.052 b 0.031 def 0.042
Rata-rata 0.045 0.027
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.023/0.038**
Naungan 25% VS Naungan 50% 0.034/0.041**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji DMRT 5%.
** = sangat nyata.
Hasil rata-rata kandungan antosianin dari kedua bahan tanam pada periode
pencahayaan yang berbeda-beda juga tertinggi dihasilkan pada bahan tanam in vitro,
meskipun rata-rata total flavonoid sedikit lebih tinggi pada setek pucuk (Gambar 29).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan kandungan antosianin dan total
flavonoid disebabkan karena bahan tanam, pengaruh naungan dan pengaruh stres
cahaya. Kandungan antosianin dan total flavonoid tertinggi yang diperoleh pada
bahan tanam in vitro disebabkan karena plantlet yang digunakan adalah plantlet
berkandungan antosianin tinggi. Pada studi in vitro melalui penggunaan komposisi
media MS yang mengandung IAA dan sukrosa memacu peningkatan antosianin pada
plantlet. Pada kondisi lapang, pengaruh naungan dan stres cahaya melalui perlakuan
periode pencahayaan lebih memacu peningkatan kandungan antosianin dan total
flavonoid daun dewa.
82
12
0.05 0.045
K ad ar A n to sian in (% ) 11 9.91 10
10
0.03 0.027 7
6
5
0.02 4
3
0.01 2
1
0
0
In Vitro Setek Pucuk In Vitro Setek Pucuk
(a) (b)
Gambar 29. Kandungan antosianin (a) dan total flavonoid (b) antara bahan tanam in vitro dan
setek pucuk umur 16 MST.
Hasil analisis korelasi antar peubah (Tabel 38) menunjukkan bahwa tinggi
tanaman, panjang daun terpanjang, indeks kehijauan daun dan ILD berkorelasi positif
nyata dengan kandungan antosianin, dengan masing-masing nilai r = 0.56, 0.53, 0.38
dan 0.60. Berdasarkan nilai koefisien korelasi tersebut, tinggi tanaman, panjang daun
terpanjang dan ILD memiliki keeratan hubungan dengan peningkatan kandungan
antosianin dibanding indeks kehijauan daun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
semakin tinggi tanaman menghasilkan daun yang lebih panjang dan berpengaruh pada
peningkatan ILD karena luas daun akan meningkat. Apabila tanaman lebih pendek
menghasilkan anakan dan cabang lebih banyak dan ukuran daun lebih kecil, sehingga
menurunkan ILD. Ukuran daun yang lebih panjang dan lebih luas akan meningkatkan
jumlah sel epidermis dan sel-sel mesofil daun yang mengandung antosianin, sehingga
total kandungan antosianin akan lebih tinggi. Kandungan antosianin pada daun
tanaman yang ternaungi terdapat pada vakuola sel epidermis serta sel-sel mesofil daun
sehingga terjadi akumulasi yang tinggi (Woodall et al. 1998, Gould et al. 2000).
Korelasi negatif nyata terjadi antara jumlah anakan, jumlah cabang dan
jumlah stomata dengan kandungan antosianin, dengan masing-masing nilai r = -0.43, -
0.52 dan -0.37. Hal ini mengindikasikan bahwa kandungan antosianin akan
meningkat apabila jumlah anakan, jumlah cabang dan jumlah stomata sedikit.
Hubungan ini dapat dijelaskan berdasarkan data jumlah anakan, jumlah cabang dan
jumlah stomata yang diperoleh dari hasil percobaan ini. Apabila jumlah anakan dan
jumlah cabang sedikit, maka ukuran daun akan semakin luas yang ditunjukan dengan
panjang dan lebar daun yang semakin meningkat. Peningkatan luas daun tersebut
akan meningkatkan akumulasi antosianin pada total jumlah sel per daun.
Hubungan antara penurunan jumlah stomata dengan peningkatan kandungan
antosianin dapat dijelaskan melalui pengaruh peningkatan luas daun terhadap
penurunan jumlah stomata. Hasil penelitian menunjukkan pada naungan 50% selama
4 bulan terjadi peningkatan luas daun yang ditunjukkan oleh peningkatan panjang dan
lebar daun, sedangkan jumlah stomata berkurang. Pada tanaman kedelai juga terjadi
penurunan kerapatan stomata dan peningkatan luas daun trifoliat pada intensitas
cahaya 50% (Lamuhuria 2007). Pada intensitas cahaya rendah akan terjadi penurunan
laju transpirasi, sehingga tanaman mengadaptasikan diri dengan cara menurunkan
kerapatan stomata (Logan et al. 1999). Penurunan laju transpirasi menyebabkan
84
kandungan air pada sel-sel daun akan lebih banyak dan mempengaruhi perkembangan
daun. Daun yang berkembang dengan baik akan menghasilkan peningkatan pada luas
daun dan meningkatkan akumulasi kandungan antosianin.
SIMPULAN
94
Tabel 19. Panjang daun terpanjang dan lebar daun terlebar pada berbagai periode pencahayaan dan sumber bahan tanam
daun dewa umur 16 MST
Panjang Daun Lebar Daun
Periode Pencahayaan Terpanjang (cm) Rata-rata Terlebar (cm) Rata-rata
in Vitro Setek Pucuk in Vitro Setek Pucuk
Cahaya 100% 4 bulan 8.3 i 12.3 fg 10.3 5.2 fg 6.8 de 6.0
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 11.7 gh 11.1 h 11.4 6.4 ef 6.4 ef 6.4
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 11.2 gh 12.8 fg 12.0 7.8 abcd 7.6 bcd 7.7
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 13.4 def 13.4 def 13.4 8.8 ab 8.0 abcd 8.4
Naungan 25% 4 bulan 12.4 fg 16.0 bc 14.2 8.1 abc 8.1 abc 8.1
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 13.6 def 13.9 def 13.7 8.7 ab 6.9 cde 7.8
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 15.3 cd 14.9 cd 15.1 3.4 hi 3.4 hi 3.4
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 14.1 de 14.4 de 14.3 2.8 i 4.3 gh 3.5
Naungan 50% 4 bulan 17.6 a 16.3 ab 17.0 9.0 a 8.5 ab 8.8
Rata-rata 13.1 13.9 6.7 6.7
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 10.3/13.9** 6.0/6.8*
Naungan 25% VS Naungan 50% 12.8/15.0** 7.7/5.9**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris untuk peubah yang sama tidak berbeda nyata
pada DMRT 5%. ** = sangat nyata , * = nyata.
94
Tabel 20. Jumlah anakan dan jumlah cabang pada berbagai periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa umur
16 MST
Jumlah Anakan Jumlah Cabang
Periode Pencahayaan in Vitro Setek Pucuk Rata-rata in Vitro Setek Pucuk Rata-rata
Cahaya 100% 4 bulan 10.8 g 16.8 cd 13.8 6.2 c 8.2 ab 7.2
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 19.5 abc 17.2 cd 18.3 6.3 c 7.3 abc 6.8
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 20.5 ab 17.5 bcd 19.0 6.0 c 6.8 abc 6.4
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 15.8 def 13.8 efg 14.8 7.2 abc 3.7 def 5.4
Naungan 25% 4 bulan 18.2 abcd 16.7 cde 17.4 6.7 bc 4.0 de 5.3
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 21.0 a 17.3 cd 19.2 6.7 bc 2.7 efg 4.7
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 19.8 abc 13.3 fg 16.6 6.3 c 4.5 d 5.4
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 18.5 abcd 13.3 fg 15.9 7.2 abc 1.8 g 4.5
Naungan 50% 4 bulan 18.2 abcd 12.7 g 15.4 8.5 a 2.3 fg 5.4
Rata-rata 18.0 15.4 6.8 4.6
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 13.8/17.1** 7.2/5.5**
Naungan 25% VS Naungan 50% 17.4/16.8 tn 6.0/5.0**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris untuk peubah yang sama tidak berbeda nyata
pada DMRT 5%. ** = sangat nyata, tn = tidak nyata.
94
Tabel 21. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa terhadap indeks kehijauan daun
pada umur 2-16 MST.
Minggu setelah tanam (MST)
Perlakuan
2 6 8 10 12 14 16
Cahaya 100% 4 bulan 0.61d 0.98d 1.10e 1.16e 1.30e 1.42d 1.55e
Naungan 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.88c 1.20c 1.29d 1.39b 1.47d 1.55c 1.59de
Naungan 25 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.90bc 1.34ab 1.39c 1.46cd 1.51cd 1.57bc 1.63cd
Naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.95abc 1.36ab 1.44bc 1.52bc 1.58abc 1.62bc 1.68bc
Naungan 25 % 4 bulan 0.88c 1.29bc 1.37c 1.48c 1.56abcd 1.62b 1.66c
Naungan 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 1.05ab 1.36ab 1.44bc 1.51bc 1.55bcd 1.61bc 1.74ab
Naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 1.10a 1.46a 1.54a 1.61a 1.65a 1.73a 1.78a
Naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 1.03ab 1.37ab 1.45bc 1.54abc 1.65ab 1.69a 1.75a
Naungan 50 % 4 bulan 1.04ab 1.39ab 1.50ab 1.57ab 1.64ab 1.71a 1.75a
Bahan tanam in Vitro 0.93a 1.35a 1.43a 1.50a 1.56a 1.63a 1.70a
Bahan tanam setek pucuk 0.95a 1.26b 1.35b 1.44b 1.53a 1.59b 1.66b
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.61/0.98** 0.98/1.35** 1.10/1.43** 1.16/1.51** 1.30/1.58** 1.42/1.64** 1.55/1.70**
Naungan 25% VS Naungan 50% 0.90/1.06** 1.30/1.40** 1.37/1.48** 1.46/1.56** 1.53/1.62** 1.59/1.69** 1.64/1.76**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 % (DMRT).
** = sangat nyata
94
Tabel 23. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa terhadap indeks luas daun (ILD) pada
umur tanaman 0, 4, 12 dan 16 minggu setelah tanam (MST).
94
Tabel 35. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terhadap kandungan klorofil a, klorofil b, rasio
klorofil a/b dan total klorofil umur 16 MST
94
Tabel 30. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa terhadap LAR (cm2/g) pada umur tanaman 0, 4, 8 dan
16 minggu setelah tanam (MST).
94
Tabel 38. Koefisien korelasi antar peubah pertumbuhan, produksi, morfo-anatomi daun, kandungan enzim SOD, klorofil
daun dan kandungan antosianin
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9
X1 1.00
X2 0.57** 1.00
X3 0.73** 0.51** 1.00
X4 0.09tn 0.05tn 0.51** 1.00
X5 0.18tn 0.56** 0.06tn 0.14tn 1.00
X6 -0.19tn 0.08tn -0.18tn 0.05tn 0.43** 1.00
X7 0.53** 0.53** 0.52** -0.24tn 0.08tn -0.13tn 1.00
X8 -0.46** -0.46** -0.32* -0.03tn -0.30* 0.26tn -0.36** 1.00
X9 -0.58** -0.49** -0.57** -0.08tn -0.09tn 0.16tn -0.56** 0.34* 1.00
X10 -0.41** -0.29* -0.38** -0.26* -0.02tn 0.22tn -0.38** 0.20tn 0.57**
X11 0.79** 0.73** 0.70** -0.12tn 0.14tn -0.32* 0.72** -0.55** -0.70**
X12 -0.26tn -0.32* -0.24tn 0.14tn -0.07tn 0.06tn -0.45** 0.28* 0.49**
X13 0.20tn 0.23tn 0.25tn -0.31* 0.03tn -0.01tn 0.41** -0.08tn -0.34*
X14 -0.23tn -0.33* -0.21tn 0.08tn -0.04tn 0.12tn -0.43** 0.32* 0.54**
94
Lanjutan Tabel 38
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9
X15 0.07tn 0.06tn -0.02tn 0.15tn 0.17tn -0.08tn -0.15tn -0.14tn 0.29*
X16 0.04tn 0.03tn 0.004tn 0.10tn 0.08tn -0.004tn -0.17tn 0.05tn 0.31*
X17 0.08tn 0.07tn -0.03tn 0.16tn 0.21tn -0.13tn -0.11tn -0.26tn 0.21tn
X18 -0.16tn -0.12tn -0.11tn -0.11tn -0.13tn -0.25tn 0.09tn 0.11tn 0.07tn
X19 -0.18tn -0.12tn -0.18tn -0.02tn -0.14tn -0.15tn 0.09tn 0.10tn -0.07tn
X20 0.03tn 0.01tn 0.12tn -0.12tn 0.06tn -0.15tn -0.03tn -0.02tn 0.21tn
X21 -0.18tn -0.12tn -0.15tn -0.08tn -0.14tn -0.22tn 0.09tn 0.11tn 0.02tn
X22 0.27* 0.68** 0.14tn 0.17tn 0.39** 0.23tn 0.44** -0.25tn -0.45**
X23 0.56** 0.10tn 0.53** -0.07tn -0.43** -0.52** 0.38** -0.23tn -0.37**
94
Lanjutan Tabel 38
X10 1.00
X11 -0.51** 1.00
X12 0.22tn -0.47** 1.00
X13 -0.09tn 0.38** -0.89** 1.00
X14 0.25tn -0.50** 0.94** -0.72** 1.00
X15 0.22tn -0.08tn 0.75** -0.73** 0.67** 1.00
X16 0.12tn -0.08tn 0.80** -0.71** 0.78** 0.84** 1.00
X17 0.25tn -0.06tn 0.55** -0.58** 0.44** 0.90** 0.52** 1.00
X18 -0.06tn -0.01tn 0.30* -0.30* 0.22tn 0.28* 0.34* 0.16tn 1.00
X19 -0.05tn -0.03tn 0.22tn -0.27* 0.15tn 0.18tn 0.19tn 0.13tn 0.77**
X20 -0.02tn 0.04tn 0.08tn -0.02tn 0.07tn 0.12tn 0.19tn 0.03tn 0.30*
X21 -0.06tn -0.02tn 0.28* -0.31* 0.21tn 0.25tn 0.30* 0.15tn 0.96**
X22 -0.40** 0.48** -0.49** 0.31* -0.52** -0.27* -0.29* -0.19tn -0.08tn
X23 -0.21tn 0.60** -0.20tn 0.22tn -0.18tn -0.03tn -0.01tn -0.03tn 0.01tn
94
Lanjutan Tabel 38
X19 1.00
X20 -0.37** 1.00
X21 0.92** 0.03tn 1.00
X22 0.003tn -0.11tn -0.05tn 1.00
X23 0.008tn 0.007tn 0.01tn -0.09tn 1.00
Keterangan : X1=tinggi tanaman, X2=jumlah daun, X3=panjang daun terpanjang, X4=lebar daun terlebar, X5=jumlah
anakan, X6=jumlah cabang, X7=indeks kehijauan daun, X8=jumlah trichoma, X9=jumlah stomata,
X10=tebal daun, X11=ILD, X12=RGR, X13=LAR, X14=NAR, X15=bobot brangkasan, X16=bobot basah
umbi, X17=bobot basah tajuk, X18=kandungan klorofil a, X19=kandungan klorofil b, X20=rasio klorofil
a/b, X21=total klorofil, X22=kandungan antosianin, X23=total enzim SOD. * dan ** berpengaruh nyata
pada taraf kepercayaan 95% dan 99%, tn=tidak nyata.
94
97
ABSTRACT
Lights intensity and fertilizing are influential to increase total flavonoids,
anthocyanins and quercetin production of Gynura pseudochina seedlings from in
vitro. The research objectives were knowed effect of lighting periods and fertilizing to
plant growth and flavonoids production of plantlets from in vitro. Field experiment
was used split plot design with main plots were lighting periods and sub plots were no
98
fertilizing (no manure + SO4), manure 50g + SO4 0.4g/plant and manure 100g + SO4
0.8g/plant. The results of the research showed that maximum total flavonoids
(1.61g/plant) and quercetin production (0.023g/plant) produced at 50% shading up to
3 month and 1 month full light, while full light treatment produced total flavonoids
and quercetin production 1.29 and 0.021g/plant, respectively. The heigher of
anthocyanins production (0.172g/plant) produced at 25% shading up to 2 month and 2
month full light, while at full light treatment up to 4 month produced 0.113g/plant.
The growth of plant in 25 and 50% shading up to 4 month produced of chloroplast
structure and size differed with chloroplast full light. If the plant in shading condition
exposured to direct sun, chloroplast structure and size the same with chloroplast full
light. The chloroplast in 25 and 50% shading up to 4 month possess stack granum,
volume of stroma and starch grain more larger compared the chloroplast in full light.
Increasing of flavonoids production can effected by manure + SO4 applications. The
heigher of total flavonoids (1.61g/plant) and anthocyanins production (0.232g/plant)
produced at dosage of manure 100g + SO4 0.8g/plant, while no fertilizer produced
total flavonoid and anthocyanins production 1.23 and 0.067g/plant, respectively. The
heigher of quercetin production (0.038g/plant) produced at application of manure 50g
+ SO4 0.4g/plant and no fertilizer produced 0.018g/plant. No interaction between
lighting periods and fertilizing that increased plant growth and flavonoids production
of Gynura pseudochina seedlings from in vitro.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bahan tanam in vitro pada percobaan sebelumnya menghasilkan pertumbuhan
dan kandungan antosianin yang lebih tinggi dibanding setek pucuk. Kandungan
antosianin yang dihasilkan pada bahan tanam in vitro adalah 0.045% dan lebih tinggi
dibanding bahan tanam setek pucuk (0.027%). Berdasarkan kemampuan pertumbuhan
dan kandungan antosianin yang tinggi, bahan tanam in vitro (plantlet) digunakan pada
percobaan interaksi antara periode pencahayaan dan pemupukan untuk lebih memacu
produksi flavonoid. Pengaruh periode pencahayaan terhadap pertumbuhan dan
kandungan bioaktif daun dewa telah dijelaskan pada percobaan sebelumnya, tetapi
pengaruh periode pencahayaan terhadap serapan hara dalam menstimulasi produksi
bioaktif belum diketahui. Pada tanaman daun jinten (Urnemi et al. 2002), kadar
kumarat dan fanilat tertinggi terdapat pada naungan 75%. Taraf naungan 50 dan 75%
meningkatkan respon tanaman daun jinten terhadap pemupukan. Pemberian pupuk
fosfor 75 kg/ha tanpa pupuk herbal menghasilkan kadar kumarat dan vanilat tertinggi.
99
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respon pertumbuhan dan
peningkatan kandungan flavonoid daun dewa asal kultur in vitro pada kondisi lapang
melalui periode pencahayaan yang berbeda dan aplikasi pupuk kandang ayam + SO4.
Respon pertumbuhan dan peningkatan kandungan flavonoid akan dipelajari melalui
parameter pertumbuhan, fisiologis tanaman dan serapan hara yang dapat menstimulasi
produksi senyawa flavonoid (antosianin dan kuersetin).
100
Metodologi Penelitian
Percobaan disusun berdasarkan Rancangan Petak Terpisah (Split Plot Design)
dengan 3 kali ulangan. Petak utama adalah periode pencahayaan (N), sedangkan anak
petak adalah pemupukan (P). Kombinasi perlakuan secara lengkap disajikan pada
101
Tabel 39. Secara keseluruhan terdapat 27 kombinasi perlakuan dan diulang 3 kali,
serta setiap perlakuan terdapat 10 satuan percobaan sehingga terdapat 810 satuan
percobaan.
Tabel 39. Kombinasi perlakuan periode pencahayaan dan pemupukan
Pemupukan
Tanpa Pka Pka 50g + SO4 Pka 100g + SO4
Periode Pencahayaan
+ SO4 0.4g/tanaman 0.8g/tanaman
(P0) (P1) (P2)
Cahaya 100% 4 bulan (N0) N0P0 N0P1 N0P2
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% (N1) N1P0 N1P1 N1P2
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% (N2) N2P0 N2P1 N2P2
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% (N3) N3P0 N3P1 N3P2
Naungan 25% 4 bulan (N4) N4P0 N4P1 N4P2
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% (N5) N5P0 N5P1 N5P2
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% (N6) N6P0 N6P1 N6P2
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% (N7) N7P0 N7P1 N7P2
Naungan 50% 4 bulan (N8) N8P0 N8P1 N8P2
Keterangan : Pka = pupuk kandang ayam.
Tanpa Pka + SO4 (P0) Pka 50g + SO4 0.4g/tanaman (P1) Pka 100g + SO4 0.8g/tanaman (P2)
(NV)ij = nilai interaksi faktor periode pencahayaan ke-i dan pemupukan ke-j.
δijk = galat akibat pengaruh kelompok ke-i, naungan ke-j, dan pemupukan
ke-k.
Data pengamatan diuji menggunakan sidik ragam, jika berpengaruh nyata
dilanjutkan dengan uji Duncan`s Multiple Range Test (DMRT) dan Uji Kontras
Ortogonal pada taraf kesalahan 5 % (Gomez dan Gomez 1995, Mattjik dan
Sumertajaya 2002).
Pelaksanaan percobaan tahap-IV dimulai dari penyiapan bahan tanam,
penanaman di lapang sampai pada analisis di laboratorium. Langkah-langkah
kegiatan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :
Persiapan bahan tanam
Bahan tanam yang digunakan berasal dari sumber bahan tanam terbaik yang
diperoleh pada percobaan Tahap-III.
Penataan tempat percobaan
Lokasi percobaan dibersihkan kemudian media tanam yang berisi tanah
sebanyak 5 kg/polibag disiapkan sesuai dengan tata letak hasil pengacakan
berdasarkan rancangan percobaan yang digunakan.
Penyiapan media tanam
Media tanam yang digunakan adalah media perlakuan yang merupakan
campuran antara tanah, pupuk kandang ayam, pupuk Urea, SP-36 dan KCl serta
pupuk ZA/Ammonium Sulfate (NH4)2SO4 24 % S sebagai sumber SO4. Sebelum
penanaman, dilakukan analisis sifat fisik dan kimia terhadap pupuk kandang ayam
dan tanah yang dilakukan di laboratorium. Selanjutnya media tanam disiapkan
dengan memasukkan campuran media tersebut ke dalam polybag warna hitam dengan
bobot media 5 kg/polybag. Ke dalam media juga ditambahkan kapur CaCO3 sebanyak
20.27 g/polybag.
Penanaman
Penanaman dilakukan di polybag yang telah berisi media tanah dan pupuk
kandang serta pupuk sesuai perlakuan. Setiap polybag ditanam 1 tanaman dan setiap
perlakuan terdapat 10 polybag tanaman (10 unit percobaan). Penanaman dilakukan
secara berurutan dari ulangan 1 sampai dengan ulangan 3.
103
Pemeliharaan tanaman
Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, penyiangan gulma dan
pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi hari
sesuai kapasitas lapang pot perlakuan. Penyiangan dilakukan setiap saat sehingga pot
perlakuan bebas dari gulma. Pencegahan hama dan penyakit dilakukan dengan
memperhatikan gejala serangan. Penyiangan dilakukan secara manual sedangkan
pencegahan hama dan penyakit dilakukan secara kimia. Pencegahan hama ulat
jengkal dan kumbang disemprot dengan insektisida Dikhlorvos atau Fentrotion
dengan dosis 1 ml atau 1 gram per liter air.
Komponen pengamatan pada percobaan tahap-IV ini adalah sebagai berikut :
Komponen pertumbuhan tanaman :
1. Tinggi tanaman (cm) diukur dari pangkal batang sampai dengan ujung pucuk,
diamati pada akhir percobaan.
2. Jumlah daun (helai), diamati pada daun yang telah terbentuk sempurna, diamati
pada akhir percobaan.
3. Panjang daun terpanjang (cm) dan lebar daun terlebar (cm), diamati pada akhir
percobaan.
4. Luas daun diamati setiap bulan (cm2), menggunakan Leaf Area Meter.
5. Indeks luas daun (ILD) diamati setiap bulan. Persamaan untuk menentukan nilai
ILD adalah : ILD = LD/A, dimana LD (luas daun total) dan A adalah luas
permukaan tanah yang ditumbuhi tanaman (Sitompul dan Guritno 1995).
6. Indeks kehijauan daun diamati setiap 2 minggu menggunakan alat FJK
Chlorophyll Tester CT-102.
7. Jumlah anakan dan jumlah cabang diamati pada akhir percobaan.
8. Bobot brangkasan tanaman (g) diamati pada akhir percobaan,
9. Bobot basah umbi (g), dan bobot basah tajuk (g) diamati pada akhir percobaan
Analisis kesuburan tanah :
Analisis kesuburan tanah dilakukan sebelum percobaan, meliputi kandungan
bahan organik, N, P, K, Mg dan S tersedia, pH dan KTK tanah, dilaksanakan di
Laboratorium Ilmu Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas
Pertanian IPB.
104
naungan dan dosis pemupukan menghasilkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik
(Gambar 32 dan 33).
110 10 9 .4
100
90 8 4 .8
80 74 P0 P1 P2
70
60
50
40
2 7 .3
30 2 3 .5
18 .8 19 .32 1.1 17 .517 .9
2 0 .8
20 16 .3
11.6
8 .4 9 .9 9 .2
10 5 .7
2 2 2 .1 3 .1
0
IKD TT JD PD LD JA JC
Peubah Pertumbuhan Tanaman
Gambar 33. Perbedaan pertumbuhan tanaman pada berbagai dosis pemupukan. P0 = tanpa pemupukan,
P1 = pupuk kandang ayam 50g + S 0.4g/tanaman, P2 = pupuk kandang ayam 100g + S
0.8g/tanaman, TT = tinggi tanaman (cm), JD = jumlah daun, IKD = indeks kehijauan
daun, PD = panjang daun (cm), LD = lebar daun (cm), JA = jumlah anakan, JC = jumlah
cabang.
Naungan 50% selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100% meningkatkan tinggi
tanaman (26.4 cm) dan panjang daun terpanjang (21.7cm) maksimum umur 16 MST,
sedangkan perlakuan cahaya 100% selama 4 bulan menghasilkan jumlah daun (116.9)
dan jumlah anakan (21.4) terbanyak umur 16 MST. Untuk lebar daun terlebar (10.5
cm) maksimum diperoleh pada naungan 50% selama 1 bulan dan 3 bulan cahaya
100% dan jumlah cabang (7.8) terbanyak pada naungan 25% selama 4 bulan (Tabel
40). Di samping itu pada tabel yang sama juga dapat dilihat bahwa pengaruh
pemupukan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Dosis pupuk kandang ayam
100g + SO4 0.8g/tanaman sebagai dosis pemupukan maksimum menghasilkan tinggi
tanaman (27.3 cm), jumlah daun (109.4), panjang daun terpanjang (21.1 cm), lebar
daun terlebar (11.6 cm), jumlah anakan (20.8), dan jumlah cabang (9.2) tertinggi pada
umur 16 MST.
Hasil uji kontras ortogonal menunjukkan bahwa tanaman yang tumbuh dalam
naungan 25% dan 50% menghasilkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik
dibanding cahaya 100%. Meskipun jumlah daun dan jumlah anakan lebih banyak
pada perlakuan cahaya 100%, tetapi ukuran daun dan anakan semakin kecil dibanding
pada naungan.
108
Tabel 41. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa terhadap indeks
luas daun (ILD) pada umur tanaman 0, 4, 8 dan 12 minggu setelah tanam
(MST).
Rata-rata ILD pada tanaman yang tumbuh dalam naungan lebih tinggi
dibanding tanaman yang tumbuh pada cahaya 100%. Rata-rata ILD pada naungan
50% juga lebih tinggi dari ILD pada naungan 25%.
Tabel 42. Interaksi antara periode pencahayaan dan pemupukan terhadap ILD
umur 16 MST
Pemupukan
Periode Pencahayaan Rata-rata
Tanpa Pka 50g + Pka 100g +
Pka+ SO4 SO4 0.4g SO4 0.8g
Cahaya 100% 4 bulan 1.29 g 2.04 fg 2.42 ef 1.91
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 2.31 ef 2.52 ef 3.12 def 2.65
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 1.55 fg 2.48 ef 3.33 de 2.45
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 2.21 fg 2.62 def 3.71 cd 2.85
Naungan 25% 4 bulan 1.30 g 2.69 def 3.74 cd 2.57
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 1.93 fg 3.43 de 4.20 bc 3.19
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 1.45 gh 3.29 de 4.39 bc 3.04
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 1.58 fg 2.18 fg 5.52 a 3.09
Naungan 50% 4 bulan 1.71 fg 2.35 ef 4.82 b 2.96
Rata-rata 1.70 2.62 3.92
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 1.91/2.85**
Naungan 25% VS Naungan 50% 2.63/3.07**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama
tidak berbeda nyata uji DMRT 5%. ** = sangat nyata, Pka = pupuk
kandang ayam
110
Peningkatan ILD pada naungan yang lebih tinggi dan dosis pemupukan
maksimum disebabkan karena terjadi peningkatan luas daun total akibat
bertambahnya jumlah daun. Peningkatan ILD tidak dapat menjadi acuan untuk
mengetahui laju pertumbuhan tanaman karena dimungkinkan dengan tingginya nilai
ILD mengindikasikan terjadi penutupan diantara daun dan efisiensi fotosintesis akan
menurun. Dengan bertambahnya umur tanaman, maka laju fotosintesis akan menurun
dengan penurunan penerimaan kuanta radiasi yang sifatnya konstan akibat
peningkatan ILD (Sitompul dan Guritno 1995).
Bobot brangkasan, bobot basah umbi dan bobot basah tajuk mengalami
peningkatan dan berbeda nyata pada persentase naungan dan dosis pemupukan yang
semakin tinggi (Tabel 43). Bobot brangkasan (225.72g) dan bobot basah tajuk
111
(137.94g) tertinggi dihasilkan pada naungan 25% selama 1 bulan, 3 bulan cahaya
100%, sedangkan bobot basah umbi tertinggi (89.11g) dihasilkan pada naungan 25%
selama 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% tetapi tidak berbeda nyata dengan naungan 25%
1 bulan, 3 bulan cahaya 100%. Untuk perlakuan pemupukan, bobot brangkasan
(257.94g), bobot basah umbi (98.56g) dan bobot basah tajuk (159.39g) tertinggi
dihasilkan pada dosis pupuk kandang ayam 100g + SO4 0.8g/tanaman yang
merupakan dosis maksimum yang digunakan. Pada media tanam yang tidak diberikan
pupuk kandang ayam dan SO4 menghasilkan bobot panen terendah.
Berdasarkan hasil uji kontras ortogonal, diketahui bahwa bobot brangkasan
dan bobot basah umbi pada tanaman yang tumbuh dalam naungan lebih tinggi dan
berbeda nyata dengan tanaman yang tumbuh pada cahaya 100%. Untuk bobot basah
tajuk tidak terdapat perbedaan yang nyata antara tanaman naungan dan cahaya 100%.
Antara naungan 25% dan 50%, bobot brangkasan berbeda nyata, tetapi bobot basah
umbi dan bobot basah tajuk tidak berbeda nyata.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin lama periode tumbuh
tanaman dalam naungan 50% menyebabkan bobot tajuk yang semakin menurun.
Penurunan ini disebabkan oleh penurunan jumlah daun, jumlah cabang dan jumlah
anakan, meskipun tanaman semakin tinggi dan ukuran daun lebih luas. Tanaman
dalam naungan 50% selama 4 bulan memiliki daun yang lebar dan tipis tetapi
jumlahnya lebih sedikit dibanding pada persentase naungan yang lebih rendah dan
cahaya 100%.
Tabel 45. Interaksi antara periode pencahayaan dan pemupukan terhadap RGR
(g/g/hari) umur 12-16 MST
Pemupukan
Periode Pencahayaan Tanpa Pka 50g + Pka 100g + Rata-rata
Pemupukan SO4 0.4g SO4 0.8g
Cahaya 100% 4 bulan 0.016 ab 0.007 ef 0.007 ef 0.010
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.013 cd 0.011 de 0.006 ef 0.010
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.012 de 0.008 ef 0.003 g 0.008
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.011 de 0.007 ef 0.004 fg 0.007
Naungan 25% 4 bulan 0.023 a 0.008 ef 0.006 ef 0.012
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 0.003 efg 0.010 de 0.004 fg 0.006
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 0.012 de 0.008 ef 0.008 ef 0.009
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 0.007 ef 0.005 f 0.011 de 0.008
Naungan 50% 4 bulan 0.014 c 0.005 f 0.005 f 0.008
Rata-rata 0.012 0.008 0.006
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 0.01/0.009tn
Naungan 25% VS Naungan 50% 0.009/0.008tn
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda
nyata uji DMRT 5%. tn = tidak nyata. Pka = pupuk kandang ayam
113
Untuk nilai LAR seperti yang disajikan pada Tabel 46, diketahui bahwa LAR
maksimum pada umur 16 MST (60.34 cm2/g) dihasilkan pada naungan 50% selama 2
bulan dan 2 bulan cahaya 100% tetapi tidak berbeda nyata dengan naungan 50%
selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100%. Pada Tabel 47 juga dihasilkan LAR
maksimum umur 12 MST pada interaksi antara naungan 50% selama 3 bulan dan 1
bulan cahaya 100% dengan dosis pupuk kandang ayam 100g + SO4 0.8g/tanaman.
Peningkatan nilai LAR dengan persentase naungan yang semakin tinggi menunjukkan
bahwa tanggap daun dewa terhadap kekurangan cahaya adalah meningkatkan alokasi
sumberdaya pada peningkatan luas daun. Data penelitian menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan panjang dan lebar daun dengan persentase naungan yang semakin tinggi
114
yang menyebabkan peningkatan luas daun. Nisbah luas daun (LAR) adalah indeks
yang mencakup proses pembagian dan translokasi asimilat ketempat sintesa bahan
daun dan efisiensi penggunaan substrat dalam pembentukan luasan daun (Sitompul
dan Guritno 1995).
Tabel 47. Interaksi antara periode pencahayaan dan pemupukan terhadap LAR
(cm2/g) umur 12 MST
Pemupukan
Periode Pencahayaan Tanpa Pka 50g + Pka 100g + Rata-rata
Pemupukan SO4 0.4g SO4 0.8g
Cahaya 100% 4 bulan 44.29 cde 36.80 cde 52.37 bcd 44.49
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 38.40 cde 43.15 cde 35.22 de 38.92
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 29.43 de 31.77 de 36.08 de 32.43
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 51.07 bcde 52.64 bcd 36.64 de 46.79
Naungan 25% 4 bulan 37.29 cde 47.90 bcde 48.59 bcde 44.59
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 33.05 de 46.56 bcde 61.69 bc 47.10
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 38.69 cde 54.25 bcd 68.78 ab 53.91
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 29.59 de 50.34 bcde 86.29 a 55.41
Naungan 50% 4 bulan 39.45 cde 25.99 e 53.87 bcd 39.77
Rata-rata 37.92 43.27 53.28
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 44.49/44.87tn
Naungan 25% VS Naungan 50% 40.68/49.05**
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda
nyata uji DMRT 5%. tn = tidak nyata, ** = sangat nyata. Pka = pupuk kandang ayam
Tabel 49. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa terhadap NAR
(g/cm2/hari) pada umur 4-8, 8-12 dan 12-16 MST.
0.8g/tanaman dan berbeda nyata dengan tanpa pemupukan sejak umur tanaman 2-16
MST .
Tabel 51. Interaksi antara periode pencahayaan dan pemupukan terhadap indeks
kehijauan daun umur 8 MST
Pemupukan
Periode Pencahayaan Tanpa Pka 50g + Pka 100g + Rata-rata
Pemupukan SO4 0.4g SO4 0.8g
Cahaya 100% 4 bulan 1.50 h 1.55 gh 1.72 def 1.59
Naungan 25% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 1.56 gh 1.74 de 1.64 ef 1.65
Naungan 25% 2 bulan, 2 bulan cahaay 100% 1.54 gh 1.77 cd 1.89 a 1.73
Naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 1.61 fg 1.71 def 1.76 cd 1.69
Naungan 25% 4 bulan 1.61 fg 1.72 def 1.78 cd 1.71
Naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 1.66 ef 1.67 ef 1.77 cd 1.70
Naungan 50% 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 1.69 def 1.73 de 1.82 bcd 1.75
Naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 1.73 def 1.79 cd 1.87 ab 1.80
Naungan 50% 4 bulan 1.63 ef 1.75 cde 1.85 abc 1.74
Rata-rata 1.62 c 1.71 b 1.79 a
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 1.59/1.72**
Naungan 25% VS Naungan 50% 1.70/1.75**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak
berbeda nyata uji DMRT 5%. ** = sangat nyata. Pka = pupuk kandang ayam.
naungan 50% selama 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% meskipun tidak berbeda nyata
dengan cahaya 100% selama 4 bulan.
Tabel 52. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa terhadap
kandungan klorofil a, klorofil b, rasio klorofil a/b dan total klorofil pada
umur tanaman 16 MST.
Indeks kehijauan daun dan total klorofil akan mengalami peningkatan pada
kondisi kekurangan cahaya. Pada intensitas cahaya rendah kloroplas akan mengumpul
pada dua bagian, yaitu pada kedua sisi dinding sel terdekat dan terjauh dari cahaya
dan terkonsentrasi pada permukaan daun sehingga warna daun lebih hijau (Salisbury
dan Ross 1992, Myers et al. 1997).
Struktur Kloroplas
Hasil pengamatan struktur kloroplas (TEM 10.000x) pada berbagai intensitas
cahaya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara struktur kloroplas pada
intensitas cahaya 100%, 75% (naungan 25%) dan 50% (naungan 50%) (Gambar 34).
Pada intensitas cahaya 100%, kloroplas bentuknya memanjang dengan butir pati
berukuran kecil, grana tersusun rapi dan tidak terjadi penumpukan grana. Semakin
berkurang intensitas cahaya menyebabkan perubahan bentuk kloroplas menjadi lebih
cembung atau terjadi pembengkakan (dilatasi). Pembengkakan tersebut disebabkan
oleh peningkatan volume stroma, ukuran butir pati dan tumpukan grana (stack
granum) yang lebih banyak.
118
DS
BP
Kloroplas pada cahaya 100%
S
selama 4 bulan (A)
T OG
T
S Kloroplas pada naungan 25%
selama 4 bulan (B)
OG
BP
DS
BP
T Kloroplas pada naungan 50%
G
selama 4 bulan (C)
Gambar 34. Struktur kloroplas daun dewa (TEM 10.000x) pada cahaya 100% (A), naungan 25%
(B) dan 50% (C) pada umur daun 16 MST. BP=butir pati, G=garana, S=stroma,
T=tilakoid, OG=osmiophilic globule, DS=dinding sel.
119
OG
Kloroplas pada naungan 50% selama
1 bulan dan 3 bulan cahaya 100% (E)
BP
OG
T
Kloroplas pada naungan 50% selama
S
3 bulan dan 1 bulan cahaya 100% (F)
BP
DS
Gambar 35. Struktur kloroplas daun dewa (TEM 10.000x) pada naungan 25% 3 bulan dan 1
bulan cahaya 100% (D), naungan 50% 1 bulan dan 3 bulan cahaya 100% (E),
naungan 50% 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100% (F) pada umur daun 16 MST.
BP=butir pati, G=garana, S=stroma, T=tilakoid, OG=osmiophilic globule,
DS=dinding sel.
120
butir pati menunjukkan rendahnya respirasi pada intensitas cahaya rendah. Pada
intensitas cahaya rendah kandungan gula-pati kedelai toleran Ceneng lebih rendah
dari Genotipe peka Godek (Lestari 2005), sedangkan kloroplas pada daun yang diberi
perlakuan gelap 5 hari masih terdapat butir pati. Rendahnya kandungan gula dan
masih adanya butir pati pada kondisi kekurangan cahaya menunjukkan laju respirasi
yang rendah (Tyas 2006).
Peningkatan volume stroma pada kloroplas daun dewa yang tumbuh pada
intensitas cahaya 75 dan 50% menunjukkan peningkatan aktivitas enzim-enzim
fotosintetik. Aktivitas enzim fotosintetik pada stroma kloroplas daun yang ternaungi
lebih tinggi dibanding daun yang berkembang pada cahaya penuh (Bjorkman dan
Demmig-Adams 1995, Salisbury dan Ross 1992). Intensitas cahaya rendah juga
meningkatkan ukuran kloroplas Liquidambar styraciflua L. menjadi lebih besar (Lee
et al. 1985), dan terjadi peningkatan tumpukan grana seperti pada Gusmania
monostachia (Maxwell et al. 1999). Khumaida (2002) juga melaporkan bahwa
genotipe kedelai toleran naungan Pangrango dan B613 mengalami peningkatan
volume grana dan butir pati lebih banyak pada kondisi naungan 50%.
Apabila tanaman daun dewa yang tumbuh pada intensitas cahaya rendah
(dalam naungan) diekspos kembali pada intensitas cahaya 100%, terjadi perubahan
bentuk, ukuran dan struktur kloroplas menyerupai kloroplas pada perlakuan cahaya
100% selama masa pertumbuhan tanaman (Gambar 35).
Hasil ini menunjukkan bahwa terjadi perubahan adaptasi tanaman pada
intensitas cahaya 100% setelah sebelumnya tumbuh pada kondisi ternaungi, melalui
perubahan bentuk dan struktur kloroplas. Respon kloroplas terhadap perubahan
intensitas cahaya tergantung pada skala waktu perubahan tersebut. Respon jangka
pendek terjadi dalam beberapa detik sampai menit yang melibatkan penyusunan
kembali struktur dan fungsi komponen kloroplas. Aklimatisasi jangka panjang
terhadap cahaya melibatkan sintesis yang selektif dan degradasi komponen kloroplas
untuk menyusun komposisi dan organ fotosintesis (Mohr dan Schopper 1995).
(2.86%) diperoleh pada naungan 50% selama 4 bulan dan dosis pupuk kandang ayam
50g + sulfur 0.4g/tanaman. Kadar P dan SO4 tertinggi masing-masing 0.34 dan 0.64
% diperoleh pada naungan 50% selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100% dan dosis
pupuk kandang ayam 100g + sulfur 0.8g/tanaman, sedangkan kadar K tertinggi
(1.84%) ditemukan pada naungan 50% selama 4 bulan tanpa pemupukan. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi persentase naungan dan dosis
pemupukan, terjadi serapan hara yang semakin meningkat. Kadar N, P, K dan SO4
mengalami peningkatan sampai pada naungan 50% selama 4 bulan, sedangkan pada
dosis pemupukan yang semakin tinggi terdapat peningkatan kandungan hara dalam
jaringan tanaman.
Peningkatan serapan hara tersebut disebabkan karena meningkatnya
kebutuhan tanaman akan unsur hara esensial untuk proses metabolisme baik
metabolisme primer maupun metabolisme sekunder, karena morfologi tanaman yang
semakin besar. Berdasarkan data pertumbuhan tanaman, terjadi peningkatan
pertumbuhan tanaman pada persentase naungan 50%. Pada tanaman daun jinten
(Urnemi et al. 2002) dilaporkan bahwa taraf naungan 50 dan 75% meningkatkan
respon tanaman terhadap pemupukan. Pemberian pupuk fosfor 75 kg/ha tanpa pupuk
herbal menghasilkan kadar kumarat dan vanilat tertinggi.
kloroplas yang berperan pada metabolisme karbon dan proses fotosintesis lainnya
diregulasi oleh S dalam bentuk ikatan disulfida (Buchanan et al. 2000).
Dalam sel-sel akar SO4 terdapat pada vakuola dan plastid kemudian melalui
xylem diangkut menuju kloroplas dan sebagian pada vakuola sel-sel mesofil daun. Di
kloroplas SO4 membentuk sistein sebagai prekursor pembentukan acetyl CoA
(Buchanan et al. 2000, Marshner 1995). Acetyl CoA selanjutnya akan membentuk
malonyl CoA dalam proses biosintesis flavonoid (Vickery dan Vickery 1981, Hornok
1992). Kekurangan unsur ini akan menghambat pertumbuhan melalui penghambatan
sintesis protein (Ahn 1993, Marshner 1995) dan S dalam bentuk SO42-menghambat
sintesis senyawa metabolit sekunder terutama pada golongan flavonoid (Vagujfalvi
1992).
0.025 0.023
0.021
Produksi Kuersetin (g)
0.02
0.015
0.015
0.011
0.01
0.01
0.005
0
N0 N2 N5 N7 N8
Periode Pencahayaan
Gambar 38. Produksi kuersetin per tanaman pada berbagai periode pencahayaan umur
16 MST.
0.038
0.04
Produksi Kuersetin (g)
0.035
0.03
0.023
0.025
0.018
0.02
0.015
0.01
0.005
0
P0 P1 P2
Dosis Pem upukan
Gambar 39. Produksi kuersetin per tanaman pada berbagai dosis pemupukan umur
16 MST.
126
Hasil analisis korelasi antar peubah yang diamati (Tabel 55) menunjukkan
bahwa tinggi tanaman, panjang daun terpanjang, lebar daun terlebar, ILD dan NAR
berkorelasi positif nyata dengan kandungan antosianin, masing-masing dengan nilai r
= 0.24, 0.32, 0.26, 0.23 dan 0.39. Hal ini menunjukkan bahwa semakin bertambah
tinggi tanaman, panjang dan lebar daun, ILD dan NAR, maka kandungan antosianin
juga akan mengalami peningkatan. Antara RGR dan kandungan antosianin diperoleh
korelasi negatif nyata dengan nilai r = -0.38. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
meningkat RGR, maka kandungan antosianin akan semakin rendah.
Pengaruh tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, ILD, RGR dan NAR
terhadap peningkatan kandungan antosianin lebih disebabkan karena hubungan
peubah-peubah tersebut dengan luas permukaan daun. Tinggi tanaman berkorelasi
positif nyata dengan panjang daun, lebar daun dan ILD masing-masing dengan nilai r
= 0.83, 0.74 dan 0.71, sedangkan panjang dan lebar daun berkorelasi negatif nyata
dengan NAR dan RGR masing-masing dengan nilai r = -0.45 dan -0.54 untuk NAR, -
0.41 dan -0.48 untuk RGR. Koefisien korelasi tersebut menunjukkan bahwa terdapat
127
indikasi peningkatan luas permukaan daun apabila tanaman semakin tinggi dan RGR,
NAR semakin rendah. Permukaan daun yang lebih luas akan meningkatkan
kandungan antosianin pada total sel-sel daun. Berdasarkan penelitian sebelumnya
diketahui bahwa antosianin mempunyai distribusi yang luas pada daun dan ditemukan
pada sel-sel epidermis bagian atas atau bawah serta sel-sel mesofil daun (Woodall dan
Stewart 1998).
SIMPULAN
Pertumbuhan Tanaman
Perlakuan
Tinggi Jumlah Panjang Lebar Jumlah Jumlah
Tanaman Daun Daun Daun Anakan Cabang
(cm) (cm) (cm)
Cahaya 100% 4 bulan 21.7 b 116.9 a 16.0 c 9.4 d 21.4 a 7.5 ab
Naungan 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 21.9 b 104.3 ab 18.2 b 9.3 d 20.3 ab 6.4 abc
Naungan 25 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 21.9 b 92.3 bc 17.5 bc 10.0 abcd 20.9 ab 7.1 abc
Naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 21.9 b 75.4 c 18.3 b 9.8 bcd 17.4 abc 3.9 d
Naungan 25 % 4 bulan 22.0 b 91.2 bc 17.5 bc 9.6 cd 20.8 ab 7.8 a
Naungan 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 21.7 b 94.7 bc 18.6 b 10.5 a 18.9 abc 5.7 abcd
Naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 25.4 a 77.4 c 21.5 a 10.4 ab 17.2 abc 5.0 cd
Naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 26.4 a 77.4 c 21.7 a 10.4 ab 16.2 c 5.8 abcd
Naungan 50 % 4 bulan 26.1 a 74.9 c 20.7 a 10.1 abc 15.2 c 5.1 bcd
Tanpa Pemupukan 18.8 c 74.0 c 16.3 c 8.4 c 17.5 b 3.1 c
Pka 50g + SO4 0.4g 23.5 b 84.8 b 19.3 b 9.9 b 17.9 b 5.7 b
Pka 100g + SO4 0.8g 27.3 a 109.4 a 21.1 a 11.6 a 20.8 a 9.2 a
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 21.7/23.4tn 116.9/86.0** 16.0/19.3** 9.4/10.0** 21.4/18.4* 7.5/5.9*
Naungan 25% VS Naungan 50% 22.0/24.9** 90.8/81.1* 17.9/20.6** 9.7/10.4** 19.9/16.9** 6.3/5.4tn
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 % (DMRT).
.Pka = pupuk kandang ayam, tn = tidak berbeda nyata, * = nyata, ** = sangat nyata.
133
Tabel 50. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan terhadap indeks kehijauan daun tanaman daun dewa umur 2-16 MST.
Minggu setelah tanam (MST)
Perlakuan
2 4 6 10 12 14 16
Cahaya 100% 4 bulan 1.23d 1.40c 1.48d 1.69d 1.78c 1.87bc 1.99ab
Naungan 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 1.33c 1.43c 1.56c 1.70d 1.78c 1.85c 1.89b
Naungan 25 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 1.54b 1.58b 1.65b 1.79abc 1.89ab 2.02a 2.12a
Naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 1.52b 1.57b 1.64b 1.77bcd 1.84abc 1.90abc 1.99ab
Naungan 25 % 4 bulan 1.53b 1.59b 1.65b 1.76bcd 1.81bc 1.90abc 1.97ab
Naungan 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% 1.48b 1.57b 1.63b 1.74cd 1.81bc 1.87bc 1.96ab
Naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% 1.51b 1.58b 1.69ab 1.81abc 1.89ab 1.97abc 2.05ab
Naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% 1.62a 1.66a 1.73a 1.85a 1.92a 2.03a 2.14a
Naungan 50 % 4 bulan 1.48b 1.58b 1.68ab 1.84ab 1.90ab 2.00ab 2.15a
Tanpa pemupukan 1.34c 1.44c 1.53c 1.69c 1.78c 1.88b 1.97b
Pka 50 g + SO4 0.4 g 1.49b 1.56b 1.65b 1.78b 1.85b 1.93ab 2.01ab
Pka 100 g + SO4 0.8 g 1.58a 1.65a 1.72a 1.85a 1.91a 1.99a 2.10a
Uji Kontras Ortogonal
Cahaya 100% VS Naungan 1.23/1.50** 1.40/1.57** 1.48/1.65** 1.69/1.78 ** 1.78/1.86* 1.87/1.94tn 1.99/2.03tn
Naungan 25% VS Naungan 50% 1.48/1.52* 1.54/1.60** 1.63/1.68** 1.76/1.81** 1.83/1.88* 1.92/1.97tn 1.99/2.08tn
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 % (DMRT). Pka = pupuk
kandang ayam, tn = tidak berbeda nyata, * = nyata, ** = sangat nyata.
133
Tabel 53. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa terhadap kandungan N, P, K dan SO4 jaringan
tanaman umur 16 MST.
Periode Pencahayaan Pemupukan N P K SO4
(%) (%) (%) (%)
Cahaya 100% 4 bulan Tanpa Pemupukan 2.17 0.16 0.94 0.22
Pka 50 g + SO4 0.4 g 2.17 0.19 0.95 0.25
Pka 100 g + SO4 0.8 g 2.19 0.23 0.96 0.22
Naungan 25 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% Tanpa Pemupukan 2.21 0.20 1.09 0.28
Pka 50 g + SO4 0.4 g 2.25 0.22 1.09 0.30
Pka 100 g + SO4 0.8 g 2.24 0.25 1.06 0.30
Naungan 25 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% Tanpa Pemupukan 2.23 0.22 1.15 0.34
Pka 50 g + SO4 0.4 g 2.38 0.24 1.15 0.33
Pka 100 g + SO4 0.8 g 2.35 0.26 1.21 0.34
Naungan 25 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% Tanpa Pemupukan 2.46 0.23 1.25 0.38
Pka 50 g + SO4 0.4 g 2.50 0.26 1.31 0.39
Pka 100 g + SO4 0.8 g 2.44 0.27 1.30 0.37
Naungan 25 % 4 bulan Tanpa Pemupukan 2.56 0.25 1.37 0.40
Pka 50 g + SO4 0.4 g 2.56 0.28 1.44 0.43
Pka 100 g + SO4 0.8 g 2.57 0.30 1.45 0.43
Naungan 50 % 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% Tanpa Pemupukan 2.64 0.26 1.52 0.44
Pka 50 g + SO4 0.4 g 2.61 0.29 1.52 0.48
Pka 100 g + SO4 0.8 g 2.64 0.31 1.57 0.47
Naungan 50 % 2 bulan, 2 bulan cahaya 100% Tanpa Pemupukan 2.72 0.27 1.66 0.48
Pka 50 g + SO4 0.4 g 2.70 0.30 1.61 0.51
Pka 100 g + SO4 0.8 g 2.67 0.32 1.60 0.49
Naungan 50 % 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% Tanpa Pemupukan 2.77 0.29 1.74 0.53
Pka 50 g + SO4 0.4 g 2.78 0.31 1.74 0.55
Pka 100 g + SO4 0.8 g 2.77 0.34 1.72 0.64
Naungan 50 % 4 bulan Tanpa Pemupukan 2.86 0.31 1.84 0.56
Pka 50 g + SO4 0.4 g 2.86 0.33 1.82 0.62
Pka 100 g + SO4 0.8 g 2.85 0.33 1.83 0.60
Keterangan : Pka = pupuk kandang ayam
133
Tabel 55. Koefisien korelasi antar peubah pertumbuhan, produksi, klorofil daun dan kandungan antosianin
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9
X1 1.00
X2 0.37** 1.00
X3 0.83** 0.17tn 1.00
X4 0.74** 0.38** 0.73** 1.00
X5 0.06tn 0.65** -0.10tn 0.16tn 1.00
X6 0.56** 0.72** 0.44** 0.62** 0.37** 1.00
X7 0.29* -0.06tn 0.22* 0.30* 0.02tn 0.08tn 1.00
X8 0.71** 0.28* 0.66** 0.75** 0.11tn 0.43** 0.24* 1.00
X9 -0.29* -0.23* -0.41** -0.48** -0.13tn -0.34** -0.23* -0.26* 1.00
X10 0.31** 0.007tn 0.41** 0.45** 0.05tn 0.06tn 0.13tn 0.58** -0.33**
X11 -0.34** -0.23* -0.45** -0.54** -0.13tn -0.30* -0.18tn -0.42** 0.92**
X12 0.60** 0.50** 0.50** 0.64** 0.26* 0.58** 0.16tn 0.69** -0.15tn
X13 0.55** 0.30* 0.46** 0.57** 0.12tn 0.50** 0.19tn 0.61** -0.10tn
X14 0.55** 0.55** 0.47** 0.61** 0.33** 0.56** 0.12tn 0.66** -0.17tn
133
Lanjutan Tabel 55
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9
X15 -0.002tn -0.13tn -0.01tn 0.02tn 0.02tn -0.04tn 0.65** -0.03tn -0.10tn
X16 0.09tn -0.08tn -0.02tn 0.06tn -0.01tn -0.05tn 0.59** -0.009tn -0.06tn
X17 -0.01tn -0.11tn 0.14tn -0.02tn -0.05tn -0.03tn -0.03tn 0.07tn 0.16tn
X18 0.04tn -0.13tn -0.02tn 0.04tn -0.004tn -0.05tn 0.71** -0.03tn -0.10tn
X19 0.24* 0.04tn 0.32** 0.26* -0.05tn 0.10tn -0.006tn 0.23* -0.38**
133
Lanjutan Tabel 55
X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17 X18 X19
X10 1.00
X11 -0.57** 1.00
X12 0.08tn -0.13tn 1.00
X13 -0.07tn -0.008tn 0.87** 1.00
X14 0.16tn -0.19tn 0.96** 0.69** 1.00
X15 -0.001tn -0.05tn -0.08tn -0.05tn -0.09tn 1.00
X16 -0.01tn -0.05tn -0.01tn 0.04tn -0.05tn 0.53** 1.00
X17 0.04tn -0.10tn 0.004tn -0.01tn 0.01tn 0.13tn -0.50** 1.00
X18 -0.006tn -0.06tn -0.06tn -0.01tn -0.08tn 0.92** 0.82** -0.13tn 1.00
X19 0.08tn 0.39** 0.18tn 0.21tn 0.14tn -0.10tn 0.05tn 0.04tn -0.05tn 1.00
Keterangan : X1=tinggi tanaman, X2=jumlah daun, X3=panjang daun terpanjang, X4=lebar daun terlebar, X5=jumlah anakan,
X6=jumlah cabang, X7=indeks kehijauan daun, X8=ILD, X9=RGR, X10=LAR, X11=NAR, X12=Bobot
brangkasan, X13=bobot basah umbi, X14=bobot basah tajuk, X15=kandungan klorofil a, X16=kandungan klorofil
b, X17=rasio klorofil a/b, X18=total klorofil, X19=kandungan antosianin.* dan ** berpengaruh nyata pada taraf
kepercayaan 95% dan 99%, tn=tidak nyata.
133
20
17.371 3
18
Total Flavonoid (%)
14.825 2.46
16
15 0.5 0.42
11.77
0.4
10 0.3 0.25
0.17
0.2 0.12 0.13 0.14
5
0.1
0 0
P0 P1 P2 P0 P1 P2
Dosis Pem upukan Dosis Pemupukan
Gambar 36. Kandungan total flavonoid dan kuersetin pada berbagai periode pencahayaan (a dan b), dan kandungan total flavonoid, kadar SO4,
antosianin dan kuersetin pada berbagai dosis pemupukan ( c dan d) umur 16 MST.
133
1.8 1.61
0.2
Produksi Total Flavonoid (g)
1.6 0.172 0.17
(a) (b)
0.25 0.232
Produksi Total Flavonoid (g)
1.8 1.61
Gambar 37. Produksi total flavonoid dan antosianin pada berbagai periode pencahayaan (a dan b), dan produksi total flavonoid dan antosianin
pada berbagai doisis pemupukan umur 16 MST.
133