Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PEMBELAJARAN ABAD 21

A. Konsep Belajar dan Pembelajaran Abad 21


Untuk mengembangkan pembelajaran abad 21, guru harus memulai satu langkah perubahan
yaitu merubah pola pembelajaran tradisional yang berpusat pada guru menjadi pola pembelajaran
yang berpusat pada siswa. Pola pembelajaran yang tradisional bisa dipahami sebagai pola
pembelajaran dimana guru banyak memberikan ceramah sedangkan siswa lebih banyak mendengar,
mencatat dan menghafal.

Untuk mengembangkan pembelajaran abad-21 ini ada beberapa hal yang penting untuk
diperhatikan antara lain:

1. Tugas utama guru sebagai perencana pembelajaran

Sebagai fasilitator dan pengelola kelas maka tugas guru yang penting adalah membuat RPP.
RPP haruslah baik dan detil dan mampu menjelaskan semua proses yang akan terjadi di dalam kelas
termasuk proses penilaian dan target yang ingin dicapai. Dalam menyusun RPP guru harus mampu
mengkombinasikan anatara target yang diminta dalam kurikulum nasional, perkembangan
kecakapan abad 21 atau karakter nasional serta pemanfaatan tekhnologi dalam kelas.

2. Masukkan unsur berpikir tingkat tinggi (higher order thinking)

Tekhnologi dalam hal ini khusunya internet akan sangat memudahkan siswa untuk memperoleh
informasi dan jawaban dari persoalan yang disampaikan oleh guru. Untuk permasalahan yang
bersifat pengetahuan dan pemahaman bisa dicari solusinya dengan mudah dan ada kecendrungan
bahwa siswa hanya menjadi pengumpul informasi. Guru harus mampu memberikan tugas di tingkat
aplikasi, analisa, evaluasi dan kreasi, hal ini akan mendorong siswa untuk berpikir kritis dan
membaca informasi yang mereka kumpulkan sebelum menyelesaikan tugas dari guru.

3. Penerapan pola pendekatan dan model pembelajaran yang bervariasi

Beberapa pendekatan pembelajaran seperti pembelajaran berbasis proyek (project based


learning), pembelajaran berbasis keingintahuan (inquiry based learning), serta model pembelajatan
silang (jigsaw) maupun model kelas terbalik (flipped calssroom) dapat diterapkan oleh guru untuk
memperkaya pengalaman belajar siswa (learning exsperience).

Satu hal yang perlu dipajami bahwa siswa harus mengerti dan memahami hubungan antara ilmu
yang dipelajari di sekolah dengan kehidupan nyata. Siswa harus mampu menerapkan ilmunya untuk
mencari solusi permasalahn daam kehidupan nyata. Hal ini yang membuat indonesia mendapat
peringkat rendah (64 dari 65 negara) dari nilai PISA di tahun 2012, siswa indonesia tidak bisa
menghubungkan ilmu dengan permasalan real di kehidupan.

4. Integrasi teknologi

Sekolah adalah tempat siswa dan guru dapat mengakses teknolgi yang baik, dalam proses
pembelajaran siswa dan guru harus bisa memanfaatkan teknologi. Siswa harus terbiasa bekerja
dengan teknologi seperti layaknya orang yang bekerja. Seringkali guru mengeluh mengenai fasilitas
teknologi yang belum mereka miliki di sekolah. Tapi pengembangan pembelajaran abad-21 bisa
dilakukan tanpa unsur teknologi, yang terpenting adalah guru yang baik bisa mengembangkan
proses pembelajaran yang aktif dan kolaboratif, namun tentu saja seorang guru harus bisa
menguasai teknologi terlebih dahulu. Hal yang paling mendasar yang garus diingat bahwa teknologi
tidak akan menjadi alat bantu yang baik dan kuat apabila pola pembelajaran masih tradisional.

B. Prinsip Pokok Pembelajaran Abad 21

Dalam buku paradigma pendidikan nasional abad 21 yang di terbitkan oleh Badan Standar
Nasional Pendidikan (BNSP) atau membaca isi pemendikbud No.56 tahun 2013 tentang Standar
Proses, BNSP merumuskan 16 prinsip pembelajaran yang harus dipenuhi dalam proses pendidikan
abad ke-21. Sedangkan pemendikbud No. 65 tahun 2013 mengemukakan 14 prinsip pembelajran,
terkait implementasi kurikulum 2013.

Sementara itu, Jennifer Nichols menyederhanakannya ke dalam 4 prinsip pokok


pembelajran abad ke-21 yang dijelaskan dan dikembangkan seperti berikut:

1. Instruction Should Be Student-Centered

Pengembangan pembelajaran sebaiknya menggunakan pendekatan pembelajaran yang berpusat


pada siswa. Siswa ditempatkan sebagai subyek pembelajaran yang secara aktif mengembangkan
minat dan potensi yang dimilikinya. Siswa tidak lagi dituntut untuk mendengarkan dan menghafal
materi pelajaran yang diberikan oleh guru, tetapi berupaya mengkontruksi pengetahuan dan
keterampilannya, sesuai dengan kapasitas dan tingkat perkembangan berfikirnya, sabil diajak
berkontribusi untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang terjadi di masyarakat.

2. Education Should Be Collaborative

Siswa harus dibelajarkan untuk bisa berkolaborasi dengan orang lain. Berkolaborasi dengan
orang-orang yang berbeda dalam latar budaya dan nilai-nilai yang dianutnya. Dalam menggali
informasi dan membangun makna, siswa perlu didorong untuk bisa berkolaborasi dengan temen-
teman di kelasnya. Dalam mengerjakan suatu proyek, siswa perlu dibelajarkan bagaimana
menghargai kekuatan dan talenta setiap orang serta bagaimana mengambil peran dan menyesuaikan
diri secara tepat dengan mereka.

3. Learning Should Have Context

Pembelajaran tidak akan banyak berarti jika toidak memberi dampak terhadap kehidupan
siswa di luar sekolah. Oleh karena itu, materi pelajaran perlu dikaitkan dengan kehidupan sehari-
hari siswa. guru mengembangkan metode pembelajaran yang memungkinkan siswa trhubung
dengan dunia nyata (real word). Guru membantu siswa agar dapat menemukan nilai, makna dan
keyakinan atas apa yang sedang dipelajarinya serta dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-
harinya. Guru melakukan penilaian kinerja siswa yang dikaitkan dengan dunia nyata.

5. Schools Should Be Integrated With Society

Dalam upaya mempersiapakan siswa menjadi warga negara yang bertanggung jawan, sekolah
seharusnya dapat memfasilitasi siswa untuk terlibat dalam lingkungan sosialnya. Misalnya
mengadakan kegiatan pengabdian masyrakat, dimana siswa dapat belajar mengambil peran dan
melakukan aktivitas tententu dalam lingkungan sosial. Siswa dapat dilibatkan dalam berbagai
pengembangan program yang ada di masyarakat seperti, Program kesehatan, pendidikan,
lingkungan hidup, dan sebagainya. Selain itu, siswa perlu diajak pula mengunjungi panti-panti
asuhan untuk melatih kepekaan empati dan kepedulian sosialnya.

C. Model Pembelajaran dan Peran Pendidik Abad 21

Ada beberapa model pembelajaran yang layak untuk diaplikasikan dalam pembelajaran abad
21. Namun yang paling popuer dan banyak di implementasikan adalah model pembelajaran PjBL
(Project Based Learning dan Inquiry Based Learning).

1) PjBL

Pembelajaran Berbasis Proyek (PjBL) merupakan model belajar yang menggunakan masalah
sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan
pengalamannya dalam beraktivitas secara nyata. Pembelajaran berbasis proyek dirancang untuk
digunakan pada permasalahan komplek yang diperlukan peserta dididk dalam melakukan
investigasi dan memahaminya. Melalui PjBL, proses inquiry dimulai dengan memunculkan
pertanyaan penuntun (a guilding question) dan membimbing peserta didik dalam sebuah proyek
kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dlam kurikulum. Pada saat pertanyaan
terjawab, secara langsung peserta didik dapat melihat berbagai elemen utama sekaligus berbagai
prinsip dalam sebuah disiplin yang sedang dikajinya. PjBL merupakan investigasi mendalam
tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha peserta didik.

Mengingat bahwa masing-masing peserta didik memiliki gaya belajar yang berbeda-beda, maka
pembelajaran berbasis proyek memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk menggali
konten (materi) dengan menggunakan berbagai cara yang bermakna bagi dirinya, dan melakukan
eksperimen secara kolaboratif. Pembelajaran berbasis proyek sebagai operasionalisasi konsep
“Pendidikan Berbasis Produksi” yang dikembangkan di sekolah menengah kejuruam (SMK). SMK
sebagai intuisi berfungsi untuk menyiapkan lulusan untuk bekerja di dunia usha dan industri harus
dapat membekali peserata didiknya dengan usaha dan industri harus dapat membekali peserta
didiknya dengan “komptensi terstandar” yang dibutuhkan untuk bekerja pada bidang masing-
masing. Dengan pembelajaran “berbasis produksi” peserta didik di SMK diperkenalkan dengan
susasan dan makna kerja yang sesungguhnya di dunia kerja.

2. Inquiry Based Learning

Kata “Inquiry” berasala dari Bahasa Inggris yang berarti mengadakan penyelidikan,
menanyakan keterangan, melakukan pemeriksaan. Sedangkan menurut Gulo (2005:84) inquiry
berarti pertanyaan atau pemeriksaan, penyelidikan. Di dalam inquiry terdapat keterlibatan siswa
untuk menuju ke pemahaman. Lebih jauh disebutkan bahwa dalam proses belajar akan berdampak
pada perolehan keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk pemecahan masalah, yakni
menemukan jawaban dari pertanyaan yang selanjutnya digunakan untuk membangun pengetahuan
baru bagu siswa. inquiry didefinisikan sebagai usaha menemkan kebenaran informasi, atau
pengetahuan dengan bertanya. Seseorang melakukan proses inquiry dimulai ketika lahir sampai
dengan ketika meninggal dunia. Proses inquiry dimulai dengan mengumpulkan informasi dan data
melalui pancaindra yakni penglihatan, pendengaran, sentuhan, pencecapan, dan penciuman.
Pendekatan IBL adalah suatu pendekatan yang digunaka untuk mengacu pada suatu cara untuk
mepertanyakann, mencari penegtahuan (informasi), atau mempelajari suatu gejala.

Pembelajaran dengan pendektan IBL selalu mengusahakan agar siswa selalu aktif secara mental
maupun fisik. Materi yang disajikan guru bukan begitu saja diberitahukan dan diterima oleh siswa,
tetapi siswa diusahakan sedemikian rupa sehingga mereka memperoleh berbagai pengalaman dalam
rangka “menemukan sendiri” konsep-konsep yang direncanakan oleh guru. Inquiry Based Learning
adalah sebuah teknik mengajar dimana guru melibatkan siswa dalam proses belajar melalui
penggunaan cara-cara bertanya, aktivitas Problem Solving, dan berpikir kritis. Hal ini memerlukan
banyak waktu dalam persiapannya. Inquiry Based Learning biasanya berupa kerja kolaboratif.
Kelas dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil. Setiap kelompok diberi sebuah pertanyaan atau
permasalahan yang akan mengarahkan semua anggota kelompok bekerja bersama mengembangkan
proyek berdasarkan pertanyaan tersebut untuk menemukan jawabannya. Karena inquiry-based
learning berbasis pertanyaan, maka guru harus menyiapkan pertanyaan yang bersifat terbuka
sehingga siswa dapat mengembangkan pikirannya. Siswa harus diberi kesempatan untuk mencoba
menemukan sendiri konsep yang diajarkan. Lebih dari itu, jika siswa dapat diberi kesempatan untuk
mengukur kemajuan belajarnya sendiri, maka hal ini akan membantu mereka belajar.

D. Peran Pendidik

Pendidik berperan sangat penting, karena sebaik apapun kurikulum dan sistem pendidikan
yang ada, tanpa didukung mutu pendidik yang memenuhi syarat maka semuanya akan sia-sia.
Sebaliknya, dengan pendidik yang bermutu maka kurikulum dan sistem yang tidak baik akan
tertopang. Keberadaan pendidik bahkan tak tergantikan oleh siapapun atau apapun sekalipun
dengan tekhnologi canggih. Alat dan media pendidikan, sarana prasarana, mutimedia dan teknologi
hanyalah media atau alat yang hanya digunakan sebagai rekan dalam proses pembelajaran.

Oleh karena itu, pendidik dan tenaga kependidikan perlu memiliki kualifikasi yang
dipersyaratkan, komptensi yang terstandar serta mampu mendukung dan menyelenggarakan
pendidikan secara profesional. Khususnya guru sangat menentukan kualitas output dan outcome
yang dihasilkan oleh sekolah karena dialah yanga merencanakan pembelajaran, menjalankan
rencana pembelajaran yang telah dibuat sekaligus menilai pembelajaran yang telah dilakukan
(Baker & Pophan, 2005:28). Selain itu, menurut Nasution (2005:77) bahwa pendidik merupakan
orang yang paling bertanggung jawab untuk menyiadakan lingkungan yang paling serasi agar
terjadi proses belajar yang efektif.

Dengan demikian, apabila pendidik melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik maka
output yang dihasilkan akan baik. Sebaliknya, apabila pendidik tidak menjalankan tugas dan
fungsinya dengan baik maka output yang dihasilkan tidak akan berkualitas.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Yulianto (2006:1), pendidik merupakan salah satu
faktor kunci yang ikut menentukan arah kualitas pendidik. Peran pendidik tidak bisa dihilangkan
begitu saja. Apabila, pendidik bukan semata-mata hanya mengajar tetapi dia juga meididik. sebagai
pengajar, pendidik tidak hanya berperan dalam menyampaikan ilmu tapi juga berkewajiban
melakukan evaluasi, mengelola kelas, mengembangkan perangkat pembelajaran dll.

Selain itu, Samani (1996) mengemukakan 4 prasyarat agar seorang pendidik dapat
profesional. Masing-masing adalah:
1. Kemampuan pendidik mengolah/menyiasati kurikulum.
2. Kemampuan pendidik mengaitkan materi kurikulum dengan lingkungan.
3. Kemampuan pendidik memotivasi siswa untuk belajar sendiri
4. Kemampian pendidik untuk mengintegrasikan berbagai bidang studi/mata pelajaran me jadi
kesatuan konsep yang utuh.

Selanjutnya menurut Djojonegoro (1996) pendidik yang bermutu paling tidak memiliki empat
kriteria utama, yaitu:

1. Kemampuan profesional, upaya profesional, waktu yang dicurahkan untuk kegiatan


profesional dan kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya. Kemampuan profesional meliputi
kemam[puan intelegensi, sikap dan prestasi kerjanya.
2. Upaya profesional, adalah upaya seorang pendidik untk mentransformasikan kemam[puan
profesional yang dimilikinya ke dalam tindakan mendidik dan mengajar secara nyata.
3. Mampu memanajemen waktu, waktu, yang dicurahkan untuk kegiatan profesional
menunjukkan intensitas waktu dari seorang pendidik yang dikonsentraksikan untuk tugas-tugas
profesinya.
4. Dapat membelajarkan siswa secara tuntas, benar dan berhasil.

Untuk itu pendidik harus menguasai keahliannya, baik dalam disiplin ilmu pengetahuan maupun
metodologi mengajarnya.

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING)

Elaine B. Johnson (Riwayat, 2008) mengatakan pembelajaran kontekstual adalah sebuah


sitem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna. Lebih lanjut,
elaine mengatakan bahwa pembelajaran ontekstual adalah suatu sistem pembelajaran yang cocok
dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks
dari kehidupan sehari-hari siswa. jadi, pembelajaran kontekstual adalah usaha untuk membuat siswa
aktif dalam memompa kemampuan diri tanpa merugi dari segi manfaat, sebab siswa berusaha
mempelajari konsep sekaligus menerapkan dan mengaitkannyadengan dunia nyata.

Sejauh ini pembelajaran masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai
fakta untuk dihapal. Pembelajaran tidak hanya difokuskan pada pemberin pembekalan kemampuan
pengetahuan yang bersifat teoritis, akan tetapi bagaimana agar pengalaman belajar yang dimiliki
siswa itu senantiasa terkait dengan permasalahn-permasalahan aktual yang terjadi di lingkungannya.
Dengan demikian inti dari pendekatan CTL adalah keterkaitan setiap materi atau topik
pembelajaran dengan kehidupan nyata. Untuk mengkaitkannya bisa dilakukan berbagai cara, selain
karena memang materi yang dipelajari secara langsung terkait dengan kondisi faktual, juga bisa
disiasati dengan pemberian ilustrasi atau contoh, sumber belajar, media dan lain sebagainya, yang
memang baik secara langsung maupun tidak diupayakan terkait atau ada hubungan dengan
pengalaman hidup nyata. Dengan demikian, pembelajaran selain akan lebih menarik, juga akan
dirasakan sangat dibutuhkan oleh setiap siswa karena apa yang dipelajari dirasakan langsung
manfaatnya.

Ketika memberikan pengalaman belajar yang diorientasikan pada pengalaman dan


kemampuan aplikatif yang lebih bersifat praktis, tidak diartikan pemberian pengalaman teoritis
konseptual tidak penting. Sebab dikuasainya pengetahuan teoritis secara baik oleh siswa akan
memfasilitasi kemampuan aplikatif lebih baik pula. Demikian pula halnya bagi guru, kemampuan
melaksanaan proses pembelajaran melalui CTL yang baik didasarkan pada penguasaan konsep apa,
mengapa dan bagaimana CTL itu. Melalui pemahaman konsep yang benar dan mendalam terhadap
CTL itu sendiri, akan membekali kemampuan para guru menerapkannya secara lebih luas, tegas dan
penuh keyakinan, karena memang telah didasari oleh kemampuan konsep teori yang kuat.

Pembelajaran disekolah tidak hanya difokuskan pada pemberian pembekalan kemampuan


pengetahuan yang bersifat teoritis saja, akan tetapi bagaimana agar pengalaman belajar yang
dimiliki siswa senantiasa terkait dengan permasalahn-permasalahan aktual yang terjadi di
lingkungannya. Dengan demikian, inti dari pendekatan CTL adalah keterkaitan setiap materi atau
topik pembelajaran dengan kehidupan nyata. Untuk mengaitkannya bisa dilakukan berbagai cara,
selain karena memang materi yang diepelajari secara langsung terkait dengan kondisi faktual, juga
bisa disiasati dengan pemberian ilustrasi atau contoh, sumber belajar, media dan lain sebagainya,
yang memang baik secara langsung maupun tidak diupayakan terkait atau ada hubungan dengan
pengalaman hidup nyata. Dengan demikian, pembelajaran selain akan lebih menarik, juga akan
dirasakan sangat dibutuhkan oleh setiap siswa karena apa yang dipelajari dirasakan langsung
manfaatnya.

A. Konsep Dasar Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) merupakan konsep belajar yang
dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa
dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Nurhadi, 2002).

Untuk memperkuat dimilikinya pengalaman belajar yang aplikatif bagi siswa, tentu saja
diperlukan pembelajaran yang lebih banyak memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan,
mencoba dan mengalami sendiri (learning to do), dan bahkan sekadar pendengar yang pasif
sebagaimana penerima terhadap semua informasi yang disampaikan guru. Oleh sebab itu, melalui
pembelajaran kontekstual, mengajar bukan transformasi pengetahuan dari guru kepada siswa
dengan menghafal sejumlah konsep-konsep yang sepertinya terlepas dari kehidupan nyata, akan
tetapi lebih ditekankan pada upaya memfasilitasi siswa untuk mencari kemampuan untuk bisa hidup
(life skill) dari apa yang dipelajarinya. Dengan demikian pembelajaran akan lebih bermakna,
sekolah lebih dekat dengan masyarakat (bukan dekat secara fisik), akan tetapi secara fungsional apa
yang dipelajari di sekolah senantiasa bersentuhan dengan situasi dan permasalahan kehidupan yang
terjadi dilingkungannya (keliarga dan masyarakat).

Sistem CTL adalah proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam
materi akademik yang mereka pelajari dengan jalan menghubungkan mata pelajaran akademik
dengan isi kehidupan sehari-hari, yaitu dengan konteks kehidupan pribadi, sosial, dan budaya.

Pembelajaran kontekstual sebagai suatu model pembelajaran yang memberikan fasilitas


kegiatan belajar siswa untuk mencari, mengolah dan menemukan pengalaman belajar yang bersifat
konkret (terkait dengan kehidupan nyata) melalui keterlibatan aktivitas siswa dalam mencoba,
melakukan dan mengalami sendiri. Dengan demikian pembelajaran tidak sekedar dilihat dari sisi
produk, akan tetapi yang terpenting adalah proses.

Ciri khas CTL ditandai oleh tujuh komponen utama, yaitu 1). Constructivism, 2). Inquiry, 3).
Questioning, 4). Learning Community, 5). Modelling, 6). Reflection, dan 7). Aurhentic Assesment.

Sebelum melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan CTL, tentu saja terlenbih dahulu
guru harus membuat desain/skenario pembelajarannya, sebagai pedoman umum dan sekaligus
sebagai alat kontrol dalam pelaksanaannya. Pada intinya pengembangan setiap komponen CTL
tersebut dalam pembelajaran dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut.

1. Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna, apakah
dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengontruksi sendiri pengetahuan dan
keterampilan baru yang akan dimilikinya.
2. Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik yang diajarkan.
3. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui memunculkan pertanyaan-pertanyaan.
4. Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok berdiskusi, tanya jawab dan
lain sebagainya.
5. Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, model bahkan media
yang sebenarnya.
6. Membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah
dilakukan.
7. Melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang sebenarnya pada setiap
siswa.

B. Komponen Pembelajaran Kontekstual

Komponen pembelajaran kontekstual meliputi.

1. Menjalin hubungan-hubungan yang bermakna (making meaningful conecctions).


2. Mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berarti (doing significant work).
3. Melakukan proses belajar yang dilakukan sendiri (self-regulated learnin.
4. Mengadakan kolaborasi (collaborating).
5. Berfikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking).
6. Memeberikan layanan secara individual (nurturing the individual).
7. Mengupayakan pencapaian standar yang tinggi (reaching high standards).
8. Menggunakan asesmen autentik (using authentic assesment). (Johnson B. Elaine, 2002).

C. Prinsip Pembelajaran Kontekstual

CTL, sebagai suatu model, dalam implementasinya tentu saja memerlukan perencanaan
pembelajaran yang mencerminkan konsep dan prinsip CTL.

Setiap model pembelajaran, disamping memiliki unsur kesamaan, juga ada beberapa perbedaan
tertentu. Hal ini dikarenakan setiap model memiliki karakteristik yang berbeda, yang tentu saja
berimplikasi pada adanya perbedaan tertentu pula dalam membuat desain (skenario) yang
disesuaikan dengan model yang akan diterapkan.

Ada tujuh prinsip pembelajaran kontekstual yang harus dikembangkan oleh guru, yaitu.

1. Kontruktivisme (Contructivisme)

Kontruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) dalam CTL, yaitu bahwa pengetahuan
dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat.
Mausia harus membangun pengetahuan itu memberi makna melalui pengalaman yang nyata.
Batasan kontruktivisme dia atas memberikan penekanan bahwa konsep bukanlah tidak penting
sebagai bagian integral dari pengalaman belajar yang harus dimiliki oleh siswa, akan tetapi
bagaimana dari setiap konsep atau pengetahuan yang dimiliki siswa itu dapat memberikan pedoman
nyata terhadap siswa untuk diaktualisasikan dalam kondisi nyata.
Oleh karena itu, dalam CTL, strategi untuk membelajarkan siswa menghubungkan antara setiap
konsep dengan kenyataan merupakan unsur yang diutamakan dibandingkan dengan penekanan
terhadap seberapa banyak pengetahuan yang harus diingat oleh siswa.

Hasil penelitian ditemukan bahwa pemenuhan terhadap kemampuan penguasaan teori


berdampak positif untuk jangka pendek, tetapi tidak memberikan sumbangan yang cukup baik
dalam jangka waktu panjang. Pengetahuan teoritis yang bersifat hapalan mudah lepas dari ingatan
seseorang apabila tidak ditunjang dengan pengalaman nyata. Implikasi bagi guru dalam
mengembangkan tahap kontruktivisme ini terutama dituntut kemampuan untuk membimbing siswa
mendapatkan makna dari setiap konsep yang dipelajarinya.

Pembelajaran akan dirasakan memiliki makna apabila secara langsung atau tidak langsung
berhubungan dengan pengalaman sehari-hari yang dialami oleh para siswa itu sendiri. Oleh karena
itu, setiap guru harus memiliki bekal wawasan yang cukup luas, sehingga dengan wawasannya itu ia
selalu dengan mudah memberikan ilustrasi, menggunakan suber belajar, dan media pembelajaran
yang dapat merangsang siswa untuk aktif mencari dan melakukan serta menemukan sendiri kaitan
antara konsep yang dipelajari dengan pengalamannya. Dengan cara itu, pengalaman belajar siswa
akan memfasilitasi kemampuan siswa untuk melakukan transformasi terhadap pemecahan masalah
lain yang memiliki sifat keterkaitan, meskipun terjadi pada ruang dan waktu yang berbeda.

2. Menemukan (Inquiry)

Menemukan, merupakan kegiatan inti dari CTL, melalui upaya menemukan akan memberikan
penegasan bahwa pengetahuan dan ketrampilan serta kemampuan-kemampuan lain yng diperlukan
bukan merupakan bukan hasil dari mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi merupakan hasil
menemukan sendiri. Kegiatan pembelajaran yang mengarah pada upaya menemukan, telah lama
diperkenalkan pula dalam pembelajaran inquiry and discovery (mencari dan menemukan). Tentu
saja unsur menemukan dari kedua pembelajaran (CT dan inquiry and discovey) secara prinsip tidak
banyak perbedaan, intinya sama, yaitu model atau sistem pembelajaran yang membantu siswa baik
secara individu maupun kelompok belajar untuk menemukan sendiri sesuai dengan pengalaman
masing-masing.

Dilihat dari segi kepuasan secara emosional, sesuatu hasil menemukan sendiri nilai kepuasan
lebih tinggi dibanddingkan dengan hasil pemberian. Beranjak dari logika yang cukup sederhana itu
tampaknya akan memiliki hubungan yang erat bila dikaitkan dengan pendekatan pembelajaran.
Dimana hasil pembelajaran merupakan hasil dan kreativitas siswa sendiri, dan bersifat lebih tahan
lama diingat oleh siswa bila dibandingkan dengan sepenuhnya merupakan pemberian dari guru.
Untuk menumbuhkan kebiasaan siswa secara kreatif agar bisa menemukan pengalaman belajarnya
sendiri, berimplikasi pada strategi yang dikembangkan oleh guru.

3. Bertanya (Questioning)

Unsur lain yang menjadi karakteristik utama CTL adalah kemampuan dan kebebasan untuk
bertanya. Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Oleh karena itu,
bertanay merupakan strategi utama dalam CTL. Penerapan unsur bertanya atau kemampuan guru
dalam menggunakan pertanyaan yang baik akan mendorong pada peningkatan kualitas dan
produktivitas pembelajaran. Seperti pada tahapan sebelumnya, berkembangnya kemampuan dan
keinginan untuk bertanya, sangat diengaruhi oleh suasana pembelajaran yang dikembangkan oleh
guru. Dalam implementasi CTL, pertanyaan yang diajukan oleh guru atau siswa harus dijadikan alat
atau pendekatan untuk menggali informasi atau sumber belajar yang ada kaitannya dengan
kehidupan nyata.

Melalui penerapan bertanya, pembelajaran akan lebih hidup, akan mendorong proses dan hasil
pembelajaran yang lebih luas dan mendalam, dan akan banyak ditemukan unsur-unsur terkait yang
sebelumnya tidak terpikirkan baik oleh guru maupun oleh siswa. oleh karena itu, cukup beralasan
jika dengan pengembangan bertanya produktivitas pembelajaran akan lebih tinggi karena dengan
bertanya, maka: 1) dapat menggali informasi, baik administrasi maupun akademik; 2) mengecek
pemahaman peserta didik; 3) membangkitkan respons peserta didik; 4) mengetahui sejauh mana
keingintahuan peserta didik; 5) mengetahui hal-hal yang diketahui peserta didik; 6) memfokuskan
perhatian peserta didik; 7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari peserta didik; 8)
menyegarkan kembali pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik.

4. Masyarakat Belajar (Learning Community)

Maksud dari masyarakat brrlajar adalah membiasakan peserta didik untuk melakukan kerja
sama dan memanfaatkan sumber belajar dari teman-teman belajarnya. Seperti yang disarankan
dalam learning community, bahwa hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain
melalui berbagai pengalaman (sharing). Melalui sharing ini peserta didik dibiasakan untuk saling
memberi dan menerima, sifat ketergantungan yang positif dalam learning community
dikembangkan.

Manusia diciptakan sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Hal ini
berimplikasi pada ada saatnya seseorang bekerja sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan,
namun disisi lain tidak bisa melepaskan diri denngan orang lain. Penerapan learning community
dalam pembelajaran dikelas akan banyak bergantung pada model komunikasi pembelajaran yang
dikembangkan oleh guru. Dimana disini dituntut keterampilan dan profesionalisme guru untuk
mengembangkan komunikasi kebanyak arah (interaksi), yaitu model komunikasi yang bukan hanya
hubungan antara guru dengan peserta didik atau sebaliknya, akan tetapi secara luas dibuka jalur
hubungan komunikasi pembelajaran antara peserta didik dengan peserta didik lainnya.

5. Pemodelan (Modelling)

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, rumitnya permasalahn hidup yang dihadapi
serta tuntutan peserta didik yang semakin beranekaragam, telah berdampak pada kemampuan guru
yang memiliki kemampuan lengkap, dan sulit dipenuhi oleh para guru. Oleh karena itu, sekarang
guru buka lagi sumber utama belajar bagi peserta didik, karena dengan kelebihan dan keterbatasan
yang dimiliki guru akan mengalami hambatan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan
keinginan dan kebutuhan peserta didik yang cukup berbeda. Karena itulah model pembelajaran
menjadi alternatif yang dapat mengembangkan dan memenuhi harapan peserta didik secara
keseluruhan, membantu keterbatasan yang dimiliki oleh para guru.

6. Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru terjadi atau baru saja dipelajari. Dengan kata
lain refleksi adalah berfikir ke belakang tentang apa saja yang sudah dilakukan di masa lalu, siswa
mengendapkan apa yang baru dipelajari sebagai struktur pengetahuan sebelumnya, pada saat
refleksi, pesera didik diberikan kesempatan untuk mencerna, menimbang, membandingkan ,,
menghayati dan selanjutnya melakukan diskusi dengan dirinya sendiri (learning to be).

7. Penilaian sebenarnya (Authentic Assesment)

Penilaian sebagai bagian integral dari pembelajaran yang memiliki fungsi yang sangat amat
menentukan untuk mendapatkan informasi yang berkualitas dari proses dan hasil pembelajaran
melalui penerapan CTL, penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data dan informasi yang
dapat memberikan gambaran atau petunjuk terhadap pengalaman belajar peserta didik, dengan
terkumpulnya berbagai data dan informasi yang lengkap sebagai perwujudan dari penerapan
penilaian, maka akan semakin akurat pula pemahaman guru terhadap proses dan hasil pengalaman
belajar setiap peserta didik.

Proses pembelajaran dengan menggunakan CTL, harus mempertimbangkan karakteristik-


karakteristik, Kerja sama, Saling menunjang, Menyenangkan dan tidak membosankan, Belajar
dengan bergairah, Pembelajaran terintegrasi, Menggunakan berbagai sumber, Siswa aktif, Sharing
dengan teman, Siswa kritis guru kreatif, Dinding kelas dan lorong penuh dengan hasil karya siswa,
Laporan kepada orag tua bukan hanya rapot, Tetapi hasil karya siswa (Depdiknas, 2002:20)
Yang membedakan pembelajaran konvensional dengan CTL terletak pada penekananannya,
model konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan
operasional) sementara CTL menekankan pada skenario pembelajarannya, yaitu kegiatan tahap
demi tahap yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran yang
diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA

 Admin. 2015. “Model Pembelajaran Inkuiri Based Learning”.


http://ronisaputra01.blogspot.co.id/2018/11/model-embelajaran-inkuiribased-learning.html
 Admin. 2018. “Model Pembelajaran Problem Based Learning”.
Tersedia: http://www.ekaikhsanudin.net/2014/09/model-pembelajaranproject-based.html
Tersedia: http://edukasi101.com/innovatedpembelajaran-abad-ke-21-dan-transformasi-
pendidikan/
 Rita Nichols, Jennifer. “Four Essential Rules Of 21st Century Learning.”
Tersedia: http://www.teachthought.com/learning/4-essentialrules-of-21st-century-learning/
 Sudrajat, Akhmad. “Empat Prinsip Pokok Pembelajaran Abad 21.”
Tersedia: https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2019/10/01/prinsippembelajaran-abad-ke-
21/ diakses pada Tanggal 11 Maret 2017 Pukul
17.46 WIB
 Yana. 2017. Pendidikan Abad 21. Tersedia:
http://yana.staf.upi.edu/2017/10/11/pendidikan-abad-21.
 Rusman. 2016. “Model-model Pembelajaran pengembangan profesionalisme guru”

Anda mungkin juga menyukai