Anda di halaman 1dari 51

1

Skenario 2
“Kaki Gajah”
Seorang laki-laki usia 22 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan
bengkak pada tungkai kiri sejak satu minggu yang lalu. Setelah dilakukan
pemeriksaan, dokter mendiagnosis filariasis (kaki gajah). Keluhan serupa juga
dialami tetangganya hingga di rawat di Rumah sakit. Pasien tinggal dilingkungan
yang kurang menjaga kebersihan. Kamar mandi keluarga yang dirumah
menggunakan bak mandi berukuran 2x1 meter dan tidak ditutup. Puskesmas
akhirnya mendatangi daerah tersebut dan melaporkan ke Dinkes setempat untuk
dilakukan Program Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM).

STEP 1
1. Filariasis : Penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filarial
yang yang menyerang KGB, jaringan dan organ.
2. POPM : Pemberian obat yang dilakukan secara serentak untuk mematikan
filaria.

STEP 2
1. Apa penyebab filariasis?
2. Mengapa terjadi bengkak pada pasien?
3. Bagaimana gejala klinis penyakit filariasis?
4. Bagaimana hubungan kebersihan dengan filariasis?
5. Bagaimana pencegahan dari filariasis ?

STEP 3
1. -Disebabkan oleh Wucehereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori.
-Disebarkan oleh cacing Filariae dari famili Filaridae yang ditemukan dalam
satu sistem peredaran darah.
2. -Karena cacing dewasa menyumbat KGB
-Aliran limfe retrogarde.
3. -Gejala klinis : Peradangan, filariasis bancrofti berlangsung lama dan
perputaran klinis filariasis tanpa gejala filariasis dengan penyumbatan
-Tahap awal dan tahap klinis.
2

4. Lingkungan kumuh dan terdapat banyak genangan air merupakan tempat


berkembangnya vektor parasit filaria.
5. - Pengobatan massal
- Pengendalian vektor
- Pengobatan individu
- Strategi WHO untuk membasmi flariasis
- Peran serta masyarakat

STEP 4
1. Dalam epidemiologi :
 Vektor : Perantara antara agen infeksi dan host
 Reservoir : Tempat berkembangnya agen infeksi, seperti manusia,
hewan dan tumbuhan.
 Cacing Filaria adalah agen infeksi yang hidup di jaringan ikat, otot,
peredaran darah, limfe. Reservoirnya nyamuk Culex dan
Anopheles, nyamuk ini juga sebagai vektor macam macam
penyakit. Contohnya Malaria, DBD dan Filariasis.
 Malaria
Agen infeksinya adalah protozoa (Parasit obligat intraseluler)
(Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium ovale,
Plasmodium falciparum)
2. Patogenesis Filariasis
 Cacing Wuchereria bancrofti hospes definitif manusia, penularan
lewat vektor nyamuk cacing dewasa tinggal di pembuluh limfe,
mikrofilaria di pembuluh darah dan pembuluh limfe.
 Mikrofilaria dihisap nyamuk lalu terinfeksi (bersaran dilambung,
berubah stadium 1,2,3) lalu nyamuk yang terinfeksi menggigit
manusia terjadi pertumbuhan larva menjadi cacing dewasa ke
pembuluh limfe mengakibatkan retrogarde dan akhirnya
menyebabkan limfadema
 Cacing dewasa menghasilkan 50.000 mikrofilaria
Stadium 1 : Mikrofilaria masuk ke lambung nyamuk lalu ke thorax.
Stadium 2 : Mikrofilaria berbentuk lebih gemuk dan panjang.
3

Stadium 3 : Mikrofilaria lebih kurus dan panjang.


Nyamuk mengigit dengan probosisnya lalu larva akan masuk ke
jaringan limfe dan berkembang disana.
3. Manifestasi klinis
Filariasis :
 Peradangan timbul saat melakukan pekerjaan berat (2-3 minggu)
 Limfanitis : Nyeri lokal, anoreksia, malaise, demam, mual, muntah.
 Limfadema : Limfa mengalami edem.
 Filariasis bancrofti
- Tanpa gejala : Pembesaran KGB di inguinal eosinofil meningkat
- Peradangan limfanitis (cacing sedang berkembang)
- Penyumbatan : - Jaringan granulosa yang poliferatif
- Pembentukan jaringan ikat kolagen sedikit
- Besar (Kaki gajah)

Malaria :
Demam, ikterus, splenomegali, mengigil, nyeri kepala, malaise,
penurunan kesadaran, keadaan anoreksia.
DBD :
Demam, nyeri sendi, ruam kulit, penurunan kesadaran, pendarahan
(mimisan), malaise, BAB Hitam.
4. Epidemiologi 80% penduduk bisa mengalami infeksi tetapi punya hanya
10-20 % populasi yang menunjukan gejala klinis.
Vektor (nyamuk Culex) berkembang ditempat – tempat kumuh dan
genangan air untuk indonesia (Negara beriklim tropis) pemerintah
menerapkan 3 M (Menutup, Mengubur, dan Menguras)
a. Diagnosis filariasis
- Pemeriksan penunjang : Deteksi peningkatan mikrofilaria di darah
dan di cairan hidrokel
- Pemeriksaan fisik : Pembesaran kelenjar limfe didaerah inguinal.
b. Diagnosis DBD
- Trombositopenia ( <100.000)
4

5. a. Pengobatan filariasis.
 Pemberian DEC dosis rendah (Menurut WHO) karena punya efek
samping.
 Pemberian abendazole dosis 400 mg/KgBB
 Pemberian Ivermectin dosis 200 mg/KgBB diberikan 1 tahun
sekali selama 5 tahun berturut – turut wajib menuruti POPM umur
2 – 70 tahun, kecuali ibu hamil dan lain lain. Apabila hasil
surveilans >1% atau sama hanya diberikan kepada penderita.
b. Pengasapan dan pengabutan.
Termal fogging
c. Abate dimasukan ke sarang nyamuk.
d. Penebaran bibit ikan pemakan jentik.
e. Pemakaian obat nyamuk oles dan memasang kelambu ketika tidur.

MIND MAP
PENYAKIT YANG
DIPERANTARAI OLEH
VEKTOR

FILARIASIS,
DBD,
MALARIA

ETIOLOGI,
PATOFISIOLOGI,
GEJALA KLINIS,
DIAGNOSIS,
PENCEGAHAN,
PENGENDALIAN
5

STEP 5
1. Vektor dan reservoir (definisi dan macam-macamnya)
2. Macam – macam penyakit yang diperantarai vektor.
3. Penjelasan penyakit (malaria, DBD, filariasis, dan chikungunnya).

STEP 6
Belajar Mandiri

STEP 7
1. VEKTOR DAN RESERVOIR (DEFINISI DAN MACAMNYA)
Vektor adalah hewan avertebrata yang bertindak sebagai penular penyebab
penyakit (agen) dari host pejamu yang sakit ke pejamu lain yang rentan. Vektor
digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu vektor mekanik dan vektor biologik. Vektor
·mekanik yaitu hewan avertebrata yang menularkan penyakit tanpa agen tersebut
mengalami perubahan, sedangkan dalam vektor biologik agen mengalami
perkembangbiakan atau pertumbuhan dari satu tahap ke tahap yang lebih lanjue.
Contoh Aedes aegypti bertindak sebagai vektor demam berdarah. 1
Timmreck (2004) menyebutkan bahwa vektor adalah setiap makhluk hidup
selain manusia yang membawa penyakit (carrier) yang menyebarkan dan
menjalani proses penularan penyakit, misalnya lalat, kutu, nyamuk, hewan kecil
seperti mencit, tikus, atau hewan pengerat lain. Vektor menyebarkan agen dari
manusia atau hewan yang terinfeksi ke manusia atau hewan lain yang rentan
melalui kotoran, gigitan, dan cairan tubuhnya, atau secara tidak langsung melalui
kontaminasi pada makanan. 1
Reservoir adalah manusia, hewan, tumbuhan, tanah, a tau zat organik (seperti
tinja dan makanan) yang menjadi tempat tumbuh dan berkembang biak agen.
Sewaktu agen bcrkembang biak dalam reservoir , mereka melakukannya
sedemikian rupa sehingga penyakit dapat ditularkan pada pejamu yang rentan. 1
Sedangkan konsep reservoir menurut Soebarsono (2005), bahwa reservoir host
adalah hewan vertebrata yang merupakan sumber pembawa agen, sehingga
penyakit tersebut dapat terjadi secara lestari atau berkesinambungan tanpa hewan
tersebut menunjukkan gejala klinik a tau gejala penyakit bersifat ringan. Contoh :
babi, sapi, domba merupakan reservoir dari virus Japanese encephalitis. 1
6

Walaupun ada berbagai definisi vektor dan reservoir menurut para ahli, tetapi
ada definisi yang dapat digunakan sebagai rujukan yakni International Health
Regulation (IHR) 2005 sebagai peraturan kesehatan intemasional yang telah
diberlakukan sejak Juni 2007 (sebagai pengganti dari IHR 1969). Dalam bagian I
tentang definisi, maksud dan ruang lingkup prinsip-prinsip dan otorita yang
berkompeten, pasal 1 tentang definisi menyebutkan definisi vektor dan reservoir
sebagai berikut : 1
"Vektor adalah serangga atau hewan lain yang biasanya membawa kuman
penyakit yang merupakan suatu resiko bagi kesehatan masyarakat. Reservoir
adalah hewan, tumbuhan atau benda dimana bibit penyakit biasanya hidup".
Sumber penularan atau reservoir ini dapat merupakan resiko bagi kesehatan
masyarakat. 1
Pengertian yang bisa mencakup beberapa konsep diatas, bahwa vektor adalah
golongan arthropoda atau binatang yang tidak bertulang belakang lainnya
(avertebrata) yang dapat memindahkan penyakit dari satu sumber/reservoir ke
pejamu potensial. Pada penularan penyakit melalui vektor secara mekanik, maka
agen dapat berasal dari tinja, urine maupun sputum penderita hanya melekat pada
bagian tubuh vektor dan kemudian dapat dipindahkan pada makanan atau
minuman pada waktu hinggap/menyerap makanan tersebut. Contoh : lalat
merupakan vektor mekanik penyakit diare. Adapun pada penularan penyakit
melalui vektor secara biologis, agen harus masuk ke dalam tubuh vektor melalui
gigitan ataupun melalui keturunannya. Selama dalam tubuh vektor, agen
berkembang biak atau hanya mengalami perubahan morfologis saja, sampai pada
akhirnya menjadi bentuk yang infektif melalui gigitan, tinja atau cara lain untuk
berpindah ke pejamu potensial. Contoh : Culex quinquefasciatus merupakan
vektorpenyakitkaki gajah (filaria). 1
Pada penularan penyakit melalui vektor secara biologis, perubahan bentuk
atau perkembangbiakan agen dibedakan sebagai berikut: 1
1. Cyclo propagative transmission Agen mengalami perubahan stadium dan
perkembangbiakan di dalam tubuh vektor. Contoh : Plasmodium (agen malaria) di
dalam tubuh nyamuk.
7

2. Cyclo developmental transmission Agen mengalami perubahan stadium


hingga mencapai stadium infektif di dalam tubuh vektor tetapi tidak mengalami
perkembangbiakan. Contoh : cacing filaria di dalam tubuh nyamuk Culex
quinquefasciatus.
3. Propagative transmission Agen berkembang biak di dalam tubuh vektor
tanpa mengalami perubahan stadium. Contoh : Yersinia pestis (agen pes) di dalam
tubuh pinjal (flea) Xenopsylla cheopis. Pinjal sebagai vcktor bisa mati oleh
Yersinia pestis.
Pengendalian vektor bertujuan: 1
1. Mengurangi atau menekan populasi vector serendah-rendahnya sehingga
tidak berarti lagi sebagai penularan penyakit.
2. Menghindarkan kontak antara vector dan manusia.
A. Pengendalian Vektor Secara Alami [1]
• Adanya gunung, lautan, danau dan sungai yang luas yang merupakan
rintangan bagi penyebaran serangga.
• Ketidakmampuan mempertahankan hidup beberapa spesies serangga di
daerah yang terletak di ketinggian tertentu dari permukaan laut.
• Perubahan musim yang dapat menimbulkan gangguan pada beberapa
spesies serangga.
• Iklim yang panas, udara kering dan tanah tandus tidak memungkinkan
perkembangbiakan sebagian besar serangga. Iklim yang panas atau yang
dingin untuk beberapa spesies tertentu tidak sesuai dengan kelestarian
hidupnya.
• Angin besar dan curah hujan yang tinggi dapat mengurangi jumlah
populasi serangga di suatu daerah.
• Adanya burung, katak, cicak, dan binatang lain yang merupakan pemangsa
serangga.
• Penyakit serangga.
B. Pengendalian Secara Buatan [1]
1. Pengendalian lingkungan (environmental control). Pengendalian dilakukan
dengan cara mengelola lingkungan, yaitu memodifikasi atau memanipulasi
lingkungan, sehingga terbentuk lingkungan yang tidak cocok (kurang baik)
8

yang dapat mencegah atau membatasi perkembangan vector. Cara ini


merupakan cara paling aman terhadap lingkungan karena tidak merusak
keseimbangan lingkungan dan tidak mencemari lingkungan.
• Modifikasi lingkungan. Cara ini berkaitan dengan mengubah sarana fisik
yang ada dan hasilnya bersifat permanen. (1) pengaturan system irigasi,
(2) penimbunan tempat-tempat yang dapat menampung air dan tempat-
tempat pembuangan sampah, (3) penimbunan tempat pengaliran air yang
menggenang menjadi kering, (4) pengubahan rawa menjadi sawah, (5)
pengubahan hutan menjadi tempat pemukiman.
• Manipulasi lingkungan. Cara ini berkaitan dengan pembersihan atau
pemeliharaan sarana fisik yang telah ada supaya tidak terbentuk tempat-
tempat perindukan atau tempat istirahat serangga dan hasilnya bersifat
tidak permanen sehingga harus dilakukan secara terus menerus. (1)
membersihkan tanaman air yang mengapung di danau, (2) melancarkan air
dalam got yang tersumbat, (3) membuang atau mencabut tumbuhan air
yang tumbuh di kolam atau rawa, (4) melesrarikan kehidupan tanaman
bakau.
2. Pengendalian kimiawi. Untuk pengendalian ini digunakan bahan kimia
yang berkhasiat membunuh serangga (insektisida) atau hanya untuk
menghalau serangga saja. Kebaikannya ialah dapat dilakukan dengan segera,
meliputi daerah yang luas, sehingga dapat menekan populasi serangga dalam
waktu yang singkat. Keburukannya karena pengendalian ini hanya bersifat
sementara, dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, kemungkinan
timbulnya resistensi serangga terhadap insektisida. Contoh cara ini adalah (1)
menuangkan solar atau minyak tanah di tempat perindukan sehingga larva
serangga tidak dapat mengambil oksigen, (2) penggunaan insektisida berupa
residual spray untuk nyamuk dewasa.
3. Pengendalian mekanik. Pengendalian ini dilakukan dengan menggunakan
alat yang langsung dapat membunuh, menangkap atau menghalau,
mengeluarkan serangga. Contoh cara ini (1) menggunakan baju pelindung, (2)
memasang kawat di jendela untuk menghindarkan kontak antara nyamuk
dengan vektor.
9

4. Pengendalian Fisik. Pada cara pengendalian ini digunakan alat fisika untuk
pemanasan, pembekuan dan penggunaan alat listrik untuk pengadaan angina,
penyinaran yang dapat membunuh atau mengganggu kehidupan serangga.
5. Pengendalian Biologik. Dengan memperbanyak pemangsa dan parasite
sebagai musuh alami bagi serangga, dapat dilakukan pengendalian serangga
yang menjadi vector atau menjadi hospes perantara.
6. Pengendalian genetika. Pengendalian ini bertujuan mengganti populasi
serangga yang berbahaya dengan populasi baru yang tidak merugikan.
Beberapa cara berdasarkan mengubah kemampuan reproduksi dengan jalan
memandulkan serangga jantan.
7. Pengendalian legislatif. Untuk mencegah tersebarnya serangga berbahaya
dari suatu daerah ke daerah lain atau dari luar negeri ke Indonesia, diadakan
peraturan dengan sanksi oleh pemerintah.

Reservoir adalah manusia, hewan, tumbuhan, tanah atau zat organis (seperti
tinja dan makanan) yang menjadi tempat tumbuh dan berkembang biak agen.
Sewaktu agen berkembang biak dalam reservoir, mereka melakukannya
sedemikian rupa sehingga penyakit dapat ditularkan pada pejamu yang rentan. 1
• Reservoir bisa berupa hewan, tumbuhan, manusia serta sumber-sumber
lingkungan lainnya, dimana agen biasanya hidup secara normal dan
berkembang biak. Reservoir merupakan pusat penyakit menular, karena
reservoir adalah komponen utama dari lingkungan penularan dimana agen
meneruskan dan mempertahankan hidupnya, dan juga sekaligus sebagai
pusat/sumber penularan dalam suatu lingkungan penularan. Entomologi
kedokteran ialah ilmu yang mempelajari tentang vektor, kelainan dan
penyakit yang disebabkan oleh antropoda. 1
• Antropoda mempunyai 4 tanda morfologi yang jelas, yaitu badan beruas-
ruas, umbai-umbai yang juga beruas-ruas, eksoskelet dan bentuk badan
simetris bilateral. Eksoskelet tersebut berfungsi sebagai penguat tubuh,
pelindung alat dalam, tempat melekat otot, pengaturan penguapan air dan
penerus rangsang yang berasal dari luar tubuh. 1
10

• Antropoda juga mempunyai system pencernaan, pernapasan, saraf,


peredaran darah dan sistem reproduksi. 1
• Selama pertumbuhannya mengalami perubahan bentuk yang disebut
metamorphosis, yaitu telur-larva-pupa dan dewasa. 1
• Serangga dapat menularkan penyakit melalui beberapa cara. Penularan
secara mekanik berlangsung dari penderita ke orang lain dengan perantara
bagian luar tubuh serangga. Misalnya telur cacing, kista protozoa dan
bakteri usus dapat dipindahkan dari tinja ke makanan melalui kaki atau
badan lalat rumah. Penularan secara biologic dilakukan setelah
parasite/agen yang dihisap mengalami proses biologic dalam tubuh vektor.
1

• Bila di dalam tubuh vektor, parasit berubah bentuk dan membelah diri
menjadi banyak, disebut penularan siklikopropagatof, sedangkan bila di
dalam tubuh vektor parasit hanya berubah bentuk menjadi infektif disebut
penularan siklikodevelopmental. 1

Vektor Penyakit Protozoa


a. Vektor Malaria
• Morfologi nyamuk anophelini berbeda jika dibandingan dengan culicini.
Telur anophelini yang diletakkan satu per satu di atas permukaan air
permukaan air berbentuk seperti perahu yang bagian bawahnya konveks,
bagian atasnya konkaf dan mempunyai sepasang palampung yang terletak
pada sebelah lateral. 1
• Nyamuk anophelini mengalami metamorphosis sempurna. Telur menetas
menjadi larva yang kemudian melakukan pengelupasan kulit sebanyak 4
kali, lalu tumbuh menjadi pupa dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa.
Waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan sejak telur diletakkan sampai
menjadi dewasa antara 2 – 5 minggu. Tempat perindukan nyamuk terbagi
menjadi 3 kawasan, yaitu kawasan pantai, pedalaman kaki gunung dan
kawasan gunung. 1
• Aktivitas nyamuk Anophelini sangat dipengaruhi oleh kelembaban udara
dan suhu. Anophelini aktif mengisap darah hospes pada malam hari atau
11

sejak senja sampai dini hari. Jarak terbang anophelini biasanya 0.5 – 3 km.
umur nyamuk dewasa anophelini 1 – 2 minggu. 1
b. Vektor Tripanosomiasis Afrika
• Lalat penyebab penyakit ini adalah lalat Tsetse yang berukuran 6 – 13 mm,
mengalami metamorphosis sempurna, bersifat vivivar, mempunyai tipe
mulut tusuk isap. Jantan dan betina mengisap darah dengan aktivitas
menggigit pada pagi hari. 1
• Ada dua spesies yang berperan sebagai vector biologic antara lain
Glossina morsitans yang menularkan di Afrika bagian timur, dan Glossina
palpalis yang menularkan di Afrika bagian barat. 1
Vektor Penyakit Virus
a. Demam Berdarah Dengue
• Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan
ukuran nyamuk rumah, mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-
bintik putih terutama pada kakinya. Morfologinya khas yaitu mempunyai
gambaran lira yang putih pada punggungnya. Telurnya mempunyai
dinding yang bergaris-garis dan menyerupai gambaran kain kassa. 1
• Nyamuk betina meletakkan telurnya di dinding tempat perindukannya 1 –
2 cm di atas permukaan air. Seekor nyamuk betina dapat meletakkan rata-
rata 100 butir telur tiap kali bertelur. Setelah 2 hari telur menetas menjadi
larva lalu mengadakan pengelupasan kulit sebanyak 4 kali, tumbuh
menjadi pupa dan akhirnya menjadi dewasa. Pertumbuhan dari telur
sampai menjadi dewasa memerlukan waktu 9 hari. 1
• Tempat perindukan utamanya adalah tempat-tempat berisi air bersih yang
berdekatan letaknya dengan rumah penduduk, biasanya tidak melebihi
jarak 500 meter dari rumah. Nyamuk betina mengisap darah manusia pada
siang hari yang dilakukan baik di dalam rumah ataupun di luar rumah.
Tempat istirahatnya berupa semak-semak atau tanaman rendah. Umur
nyamuk dewasa betina kira-kira 10 hari dan mampu terbang sejauh 2 km
walaupun jarak terbangnya kurang dari 40 meter. 1
12

b. Japanese B.encephalitis
• Penyakit ini ditemukan di Asia Tenggara (Filipina, Kamboja, Muagthai,
Malaysia dan Singapura). Gejala klinis penyakit ini berupa demam, sakit
kepala, mual, muntah, lemas, malaise. 1
• Vektor penyakit ini adalah nyamuk Culex tritaeniorhynchus. Tempat
perindukannya di rawa dan sawah. Pengisapan darah dilakukan pada
malam hari. 1
c. Chikungunya
• Vektor penyakit inbi adalah Aedes aegypti. Gejala klinis mirip Japanese
B.encephalitis yang ditandai dengan demam, sakit kepala seperti influenza
dan penderita mengalami kelumpuhan motoric yang tidak permanen. 1
Vektor Penyakit Riketsia
a. Demam Semak
• Penyakit ini ditemukan di daerah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi
dan Irian. Penyebabnya adalah Ricketsia tsutsugamushi. Vektor penyakit
ini adalah tungau Leptotrombidium akamusi. 1
• Leptotrombidium dewasa berukuran kira-kira 1 mm, berkaki 4 pasang,
badannya berbulu, hidup sebagai pemangsa antropoda lain dan biasanya
pemakan tanaman. Hanya stadium larva yang menghisap darah manusia
dan mamalia. Telur tungau ini diletakkan di tanah atau di tangkai daun
tanaman rendah. Setelah telur menetas, keluarlah larva yang berkaki 3
pasang. Larva ini lalu mencari mangsanya untuk menghisap darah
(burung, tikus dan manusia) yang berada di dekatnya. Setelah kenyang
makan, larva akan menjatuhkan diri ke tanah dan berubah menjadi stadium
nimfa dan menjadi dewasa. Waktu yang dibutuhkan dari telur menjadi
dewasa 1 – 2 bulan. 1
• Ricketsia tsutsugamushi biasanya hidup sebagai parasit tikus ladang, larva
tungau mendapat infeksi ketika menghisap darah selama 2 – 4 hari pada
daun telinga, hidung atau pangkal ekor hospes. 1
13

Vektor Penyakit Bakteri


a. Vektor Penyakit Sampar
• Pes disebabkan oleh bakteri yang disebut Yersinia pestis. Vektor penyakit
ini adalah Xenopsylla cheopis, Stivalius cognatus dan Neopsylla
sondanica, yang berbadan pipih laterolateral dan brukuran kecil 1.5 – 4
mm. pinjal ini hidup sebagai parasite di tikus lading dan bersarang di
antara bulu tikus. 1
• Telur yang diletakkan di atas tanah setelah 2-12 hari menetas menjadi
larva yang bentuknya seperti ulat bulu, larva setelah 1-2 minggu tumbuh
menjadi pupa pada akhirnya menjadi dewasa. Pertumbuhan dari telur
menjadi dewasa memerlukan waktu secepat-cepatnya 18 hari. 1
Vektor Mekanik
a. Musca (Lalat)
• Musca (lalat) termasuk dalam ordo diftera dari kelas insekta. Musca
domestica (lalat rumah) dapat berperan sebagai vektor mekanik
amoebiasis, disentri, toksoplasmosis dan penyakit cacing usus. Lalat ini
mudah berkembang biak, tempat perindukannya di timbunan sampah, tinja
manusia dan binatang. Setiap 3-4 hari seekor lalat betina bertelur dalam 5-
6 kelompok yang masing-masing berisi 75-150 butir telur. Jarak
terbangnya dapat mencapai 10 km. umur lalat dewasa 2-4 minggu. 1
b. Periplaneta
• Periplaneta (lipas) termasuk ordo dyctioptera dari kelas insekta.
Periplaneta Americana (lipas Amerika) yang banyak ditemukan di rumah-
rumah dapat menjadi vektor mekanik amoebiasis, lambliasis,
toksoplasmosis, askariasis. 1

2. MACAM-MACAM PENYAKIT YANG DIPERANTARAI VEKTOR


A. Vektor Biologis
1) Vektor Penyakit Protozoa [2]
a. Malaria
Vektor : Nyamuk Anopheles sundaicus, Nyamuk Anopheles sinensis,
Nyamuk Anopheles maculatus, Nyamuk Anopheles letifer, Nyamuk
14

Anopheles nigerrimus, Nyamuk Anopheles subpictus, Nyamuk Anopheles


balabacensis, Nyamuk Anopheles aconitus, Nyamuk Anopheles
barbirostris, Nyamuk Anopheles flavirostris, Nyamuk Anopheles
barbumbrosus, Nyamuk Anopheles ludlowi, Nyamuk Anopheles farauti,
Nyamuk Anopheles punctulatus, Nyamuk Anopheles koliensis, Nyamuk
Anopheles karwari, dan Nyamuk Anopheles bancrofti.
Agen infeksi: Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium
falciparum, dan Plasmodium malariae
Reservoir: manusia, genangan air, dan sawah
b. Tripanosomiasis Afrika
Vektor: Lalat Tsetse, Triatoma rubrofasciata dan Rhodnius prolixus.
Agen infeksi: Trypanosoma sp.
Reservoir: manusia, dan makanan
2) Vektor Penyakit Cacing [2]
a. Filariasis Limfatik
Vektor : Nyamuk Culex quinguefasciatus, Anopheles sp. dan Lalat
Simulium damnosum, Lalat Simulium metallicum, Lalat Simulium
ochraceum, Lalat simulium callidum, Lalat Chrysops silacea, dan Lalat
Chrysops dimidiata.
Agen Infeksi: Cacing Wuchereria bancrofti, Cacing Brugia malayi, dan
Cacing Brugia timori.
Reservoir: manusia, dan genangan air kotor
3) Vektor Penyakit Virus [2]
a. Demam Berdarah Dengue
Vektor: Nyamuk Aedes aegypti, dan Nyamuk Aedes albopictus.
Agen infeksi: Arbovirus (virus dengue)
Reservoir: manusia, genangan air bersihdalam wadah yang tidak kontak
dengan tanah.
b. Japanese B. Encephalitis
Vektor: Nyamuk Culex tritaenorhynchus dan Nyamuk Culex gelidus.
Agen infeksi: Arbovirus (Virus JE)
Reservoir: manusia dan genangan air kotor
15

c. Chikungunya
Vektor: Nyamuk Aedes aegypti.
Agen infeksi:
Reservoir: manusia, genangan air bersihdalam wadah yang tidak kontak
dengan tanah.
d. Demam Kuning
Vektor: Nyamuk Aedes aegypti.
Agen infeksi: virus yellow fever
Reservoir: manusia, genangan air bersihdalam wadah yang tidak kontak
dengan tanah.
4) Vektor Penyakit Bakteri [2]
a. Demam Tifoid
Vektor: Lalat Musca domestica
Agen infeksi: Bakteri Salmonella typhii
Reservoir: makanan dan manusia
b. Leptospirosis
Vektor: Tikus
Agen infeksi: Bakteri Leptospira
Reservoir: makanan, manusia, tikus, sapi dan babi
5) Vektor Penyakit Riketsia [2]
a. Demam Semak
Vektor: Tungau Leptotrombidium akamusi, Tungau Leptotrombidium
deliensis, dan Tungau Leptotrombidium fletscheri.
Agen infeksi: Rikettsia tsutsugamushi
Reservoir: manusia.

3. MALARIA, DBD, CHIKUNGUNYA DAN FILARIASIS


1. MALARIA
Malaria adalah penyakit infeksi parsit yang disebabkan oleh plasmodium
yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di
dalam darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil,
anemia dan splenomegali. Dapat berlangsung akut maupun kronik. Infeksi malaria
16

dapat berlangsung tanpa komplikasi ataupun mengalami komplikasi sistemik yang


dikenal sebagai malaria berat. 3
Etiologi
Penyebab infeksi malaria ialah plasmodium, termasuk dalam genus
plasmodium dari famili plasmodiae. Plasmodium ini pada manusia menginfeksi
eritrosit dan mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan eritrosit.
Pembiakan seksual terjadi pada tubuh nyamuk Anopheles betina. Plasmodium
vivax menyebabkan malaria tertiana (Benign Malaria) dan Plasmodium
falciparum menyebabkan malaria tropika (Malignan Malaria). Plasmodium
malariae juga pernah dijumpai namun sangat jarang. Plasmodium ovale pernah
dilaporkan dijumpai di Irian Jaya, Pulau Timor dan Pulau Owi (utara Irian Jaya). 3
Siklus Hidup Plasmodium
a. Stadium Pre-Eritrositik
Masuknya parasit malaria ke dalam tubuh manusia didahului oleh gigitan
nyamuk Anopheles betina yang mengandung stadium sporozoit. Selain sporozoit,
selama proses ini nyamuk juga menginjeksikan saliva yang mengandung
antihistamin, vasodilator (takinin) dan anti koagulan (trombin), platelet
aggregation inhibitor dan imunomodulator. 3
Semua zat tersebut berperan untuk mencernakan darah yang dihisap,
pertahanan sporozoit dari serangan imunitas hospes dan memfasilitasi proses
inokulasi pada kulit manusia. Setelah terjadinya inokulasi, sporozoit akan
bertahan di kulit dalam periode waktu tertentu. Sporozoit dalam jumlah banyak
tersebut akan bergerak aktif untuk mencapai pembuluh darah hingga masuk ke
sirkulasi. Kemampuan sporozoit dari Plasmodium untuk bergerak aktif di dermis,
menembus endotel vaskuler hingga mencapai sel hepar dibantu oleh protein
sporozoit yang dikenal dengan SPECT-1 (Sporozoite microneme protein essential
for cell traversal-1), SPECT-2 (Plasmodium perforin – like protein PPLP-1) dan
fosfolipase. Protein tersebut mempunyai kemampuan untuk merusak membran
plasma sel host. Pada fase awal, sporozoit yang berada di lapisan dermis kulit
akan difagosit oleh makrofag di kulit. Makrofag ini bekerja dengan cara
fagositosis langsung terhadap plasmodium, mensekresi sitokin untuk
mengaktifkan makrofag lainnya dan mensekresi IL-12 untuk merangsang sel
17

Nature Killer untuk menghasilkan IFN γ. Kemampuan fagositosis dan spesifitas


makrofag dapat ditingkatkan oleh sitokin yang dihasilkan sel limfosit T helper
yaitu IFN γ dan IL-2.1. 3
Sporozoit yang berhasil lolos dari imunitas lokal di kulit, akan memasuki
aliran limfe (30%) dan aliran darah (70%) dengan gerakan meluncur (gliding
motility) dalam waktu lebih kurang 30 menit. Proses migrasi sporozoit dibantu
oleh sporozoite surface phospoholipase. Selama proses migrasi ini sporozoit bisa
saja terpapar oleh antibodi terhadap plasmodium surface protein. 3
Kekebalan spesifik terhadap stadium sporozoit tidak memberi kekebalan
terhadap stadium gametosit, demikian pula sebaliknya. Stadium spesifik ini
timbul karena parasit menghasilkan antigen yang berbeda-beda pada masing-
masing siklus yang selanjutnya akan merangsang produksi bermacam-macam
antibodi spesifik atau mengaktifkan komponen imunitas seluler. Beberapa contoh
antigen dari stadium sporozoit tersebut antara lain Sirkumsporozoit protein
(Circumsporozoite protein/CSP), Sporozoite Threonin and asparagin rich protein
(STARP), Sporozoite and liver stage antigen (SALSA), Plasmodium falciparum
sporozoite surface protein-2 (SSP-2/ Trombospondin – related anonymous protein
= TRAP). Imunitas pada stadium sporozoit (stadium aseksual eksoeritrosit
ekstrahepatal) adalah berupa antibodi yang menghambat masuknya sporozoit ke
hepatosit dimana antibodi ini bekerja secara opsonisasi. 3
Sporozoit yang berada dalam aliran limfe sebagian akan terus menuju
limfonodus terdekat. Sporozoit yang terperangkap di limfonodus ini mengaktivasi
sel limfosit T untuk membentuk imunitas spesifik dan sebagian lagi mengalami
siklus eksoeritrosit di hepar. Proses aktivasi limfosit di dalam limfonodus ini
dibantu oleh sel dendritik dan makrofag yang juga berperan sebagai Antigen
Presenting Cell. Sel limfosit yang teraktivasi akan mengalami resirkulasi dan
masuk ke hepar. 3
Sporozoit yang masuk ke aliran darah akan sampai di hepar dalam
beberapa jam dengan gerakan stick and slip motility. Gerakan ini terjadi akibat
aktifitas aktin miosin dan interaksi thrombospondin – related anonymous protein
(TRAP) yang merupakan Circumsporozoit protein (CSP) dengan heparan sulphate
proteoglycans (HSPGs) pada mikrovili hepatosit. Heparan sulphate proteoglycans
18

(HSPGs) merupakan reseptor plasmodium pada sinusoid hepar. Selain di hepar,


HSPG juga terdapat pada hampir seluruh jaringan tunbuh, tetapi kandungan sulfat
pada hepar lebih tinggi dibandingkan dengan jaringan tubuh yang lain. 3
Protein sporozoit seperti CSP dan TRAP, tidak hanya dapat mengenal
proteoglikan permukaan spesifik yang terdapat pada permukaan sel hepar tetapi
juga proteoglikan yang terdapat pada sel Kupfer dan sel stelata. Sel Kupfer
merupakan sel makrofag di hepar yang terletak antara sel endotel sinusoid. Sel
stelata adalah sel perisinusoid yang sangat bercabang dan berperan dalam
pembentukan matriks ekstraseluler dan proses inflamasi di hepar. Sel stelata ini
mempunyai kemampuan membentuk sulfat proteoglikan delapan kali lebih dan
heparan sulfat dua kali lebih banyak banyak dibandingkan dengan sel hepar.
Matriks proteoglikan sel stelata ini mengalami fenestrasi melalui sel endotel dan
menonjol ke ruang sinusoid hepar. Keadaan ini memungkinkan sporozoit tertahan
di sinusoid hepar. 3
b. Stadium Intrahepatik
Setelah sporozoit tertahan di daerah sinusoid hepar, sporozoit akan terus
berusaha mencapai dan menginvasi sel hepar. Proses invasi sporozit ini hanya bisa
melalui sel Kupfer dikarenakan sel endotel sinusoid mempunyai diameter
fenestrasi nyang sangat kecil sehingga tidak memungkinkan untuk dilewati oleh
sporozoit. Masuknya sopozoit ke dalam sel Kupfer terjadi memalui pembentukan
parasitophorous vacuole. Pada proses invasi ini tidak terjadi fagositosis karena
vakuol yang terbentuk tidak mengalami fusi dengan lisosom. Kecepatan invasi sel
Kupfer oleh sporozoit lebih lambat dibandingkan dengan kecepatan sprorozoit
menembus sel yang dilakukan dengan cara merusak membran sel. 3
Sporozoit yang berhasil masuk melalui sel Kupfer akan melewati ruang
perisinusoid (space of Disse) dan bermigrasi dari satu hepatosit ke hepatosit lain
dan berakhir pada hepatosit terakhir yang membentuk parasitophorous vacuole.
Kerusakan membran hepatosit akibat migrasi sporozoit ini disebabkan oleh
aktifitas enzim lipase, protease dan poreforming protein. Kerusakan membran
hepatosit bersifat reversibel dan dapat utuh kembali secara spontan. Kerusakan
yang terjadi akan menginduksi sekresi hepatocyte growth factor (HGF) yang
merupakan suatu protein yang dapat meningkatkan kerentanan untuk terinfeksi
19

plasmodium di kemudian hari. Mekanisme terdapatnya kecendrungan sporozoit


untuk memilih atau menempati suatu hepatosit di antara banyak hepatosit lainnya
masih belum diketahui. 3
Setelah sampai pada hepatosit yang dituju, sporozoit bermutiplikasi di
dalam disebut parasitoporous vacuole atau biasa juga disebut merosom. Membran
merosom dibentuk dari membran sel hepar (host derived membrane) yang tidak
lagi mengandung protein hepatosit sehingga parasit dari terhindar aktifitas fagosit
sel Kupfer. Proses multiplikasi ini difasilitasi oleh circumsporozoit protein.
Merozoit ini nantinya akan lepas dari merosom di kapiler paru dan kemudian
mengikuti aliran darah. Pada P.vivax dan P.ovale, proses ini tidak berlangsung
segera akan tetapi terlebih dahulu membentuk hipnozoit yang dikenal sebagai
bentuk laten atau dorman. 3
c. Stadium Eritrositik
Setelah mengalami multiplikasi di dalam merosom, merozoit akan keluar
dari hepatosit menuju sirkulasi. Saat merozoit bebas dari merosom di kapiler paru,
dalam waktu 20 detik merozoit langsung menempel dan memasuki eritrosit
melalui interaksi ligand multi reseptor. Keberadaan merozoit yang sangat singkat
di dalam sirkulasi ini meminimalisir kontak merozoit dengan sistem imun hospes.
Proses merozoit menginvasi eritrosit ini terjadi melalui 4 tahap, yaitu
terbentuknya ikatan antara merozoit dengan reseptornya di permukaan eritrosit,
reorientasi apikal dan perubahan bentuk eritrosit, pembentukan junction dan
masuknya merozoit ke dalam eritrosit. 3
20

Gambar 3.1. Siklus Hidup Plasmodium Malaria. 4


Patogenesis
Setelah melalui jaringan hati, P. falciparum melepaskan 18-24 merozoit ke
dalam sirkulasi. Merozoit yang dilepaskan akan masuk dalam sel RES di limpa
dan mengalami fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang lolos dari filtrasi dan
fagositosis di limpa akan menginvasi eritrosit. Selanjutnya parasit berkembang
biak secara aseksual dalam eritrosit. Bentuk aseksual parasit dalam eritrosit (EP)
inilah yang bertanggungjawab dalam patogenesa terjadinya malaria pada manusia.
Patogenesa malaria yang banyak diteliti adalah malaria yang disebabkan oleh P.
falciparum. Pathogenesis malaria falciparum dipengaruhi oleh factor parasit dan
factor penjamu (host). Yang termasuk dalam factor parasit adalah intensitas
transmisi, densitas parasit dan virulensi parasit. Sedangkan yang masuk dalam
factor penjamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetic, usia,
status nutrisi dan status imunologi. 3
Parasit dalam eritrosit (EP) secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu
stadium cincin pada 24 jam I dan stadium matur pada 24 jam II. Permukaan EP
stadium cincin akan menampilkan antigen RESA (Ring-Erythrocyte Surgace
Antigen) yang menghilang setelah parasit masuk stadium matur. Permukaan EP
membrane stadium matur akan mengalami penonjolan dan membentuk knob
21

dengan Histidin Rich-protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya.


Selanjutnya bila EP tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskan toksin malaria
berupa GPI yaitu glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan TNF-α dan
interleukin-1 (IL-1) dari makrofag. 3
a. Sitoaderensi
Sitoaderensi ialah perlekatan antara eritrosit stadium matur pada
permukaan endotel vaskular. Perlekatan terjadi molekul adhesif yang terletak
dipermukaan knob eritrosit melekat dengan molekul-molekul adhesif yang
terletak dipermukaan endotel vaskular. Molekul adhesif dipermukaan knob
eritrosit secara kolektif disebut PfEMP-1, (P. falciparum erythrocyte membrane
protein-1). Molekul adhesif dipermukaan sel endotel vaskular adalah CD36,
trombospondin, intercelullar-adhesion molecul-1 (ICAM-1), vascullar cell
adhesion molecule-1 (VCAM), endothel leucocyte adhesion molecule-1 (ELAM-
1) dan glycosaminoglycan chondroitin sulfate. PfEMP-1 merupakan protein-
protein hasil ekspresi genetik oleh sekelompok gen yang berada dipermukaan
knob. Kelompok gen ini disebut gen VAR. Gen VAR mempunyai kapasitas
variasi antigenik yang sangat besar. 3
Gejalanya terdapat perubahan hemodinamik. Eritrosit yang terinfeksi
parasit akan bersifat mudah melekat. Eritrosit melekat pada eritrosit yang tidak
terinfeksi, sel trombosit dan endotel kapiler, menyebabkan pembentukan roset dan
gumpalan dalam pembuluh darah yang dapat memperlambat mikrosirkulasi.
Akibatnya secara klinis dapat terjadi gangguan fungsi ginjal, otak, dan syok. 3
Tempat melekat pada permukaan eritrosit yang terinfeksi dikenal sebagai
knob yang terdiri atas protein yang dikode oleh genom parasit. Protein ini disebut
PfEMP-1 yang bervariasi. Reseptor pada trombosit dan endotel adalah CR1 dan
glikosaminoglikan, CD36, PECAM-1 atau CD31, E-selectin, P-selectin, ICAM-1
dan VCAM-1. Akibatnya pada penderita terjadi disseminated intravascular
coagulation dan trombositopenia. 3
Selain hemodinamik terdapat juga perubahan imunologik. Antigen parasit
lain yaitu ring infected erythrocyte surface antigen (RESA), protein heat schock,
akan mengaktifkan sel mononukleus dalam darah yang mengakibatkan timbulnya
berbagai respon imun yang berbeda. Rangkaian glycosylphosphatidylinositol yang
22

bersifat seperti endotoksin akan meningkatkan aktivitas responns Th1


berhubungan dengan gagal ginjal akut. Antigen Pf332 yang berinteraksi dengan
reseptor lain dari monosit meningkatkan respon Th2 berperan dalam pembentukan
imunitas terhadap reinfeksi. Hal yang paling penting dari aktivasi monosit adalah
pelepasan Tumor Necrosis Factor-α (TNF- α) yang mempunyai peran dalam
patogenesis malaria akut. Pada aktivitas Th2 terjadi pengeluaran IL-4 yang
menginduksi proliferasi sel limfosit B untuk menghasilkan Ig E dan IgG4,
terutama bermanifestasi pada malaria serebral dimana terjadi peningkatan IgG.
Plasmodium falciparum mengaktifkan C3 melalui jalur alternative pathway
berperan dalam patogenesis komplikasi yang berhubungan dengan trombosis. 3
b. Sekuestrasi
Sitoadheren menyebabkan eritrosit matur tidak beredar kembali dalam
sirkulasi. Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskular
disebut eritrosit matur yang mengalami sekuestrasi. Hanya Plasmodium
falciparum yang mengalami sekuestrasi, karena pada plasmodium lainnya seluruh
siklus terjadi pada pembuluh darah perifer. Sekuestrasi terjadi pada organ-organ
vital dan hampir semua jaringan dalam tubuh. Sekuestrasi tertinggi terdapat di
otak, diikuti dengan hepar dan ginjal, paru, jantung, usus, dan kulit. Sekuestrasi
ini diduga memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria berat. 3
Gejalanya eritrosit melekat pada eritrosit yang tidak terinfeksi, sel
trombosit dan endotel kapiler, menyebabkan pembentukan roset dan gumpalan
dalam pembuluh darah yang dapat memperlambat mikrosirkulasi. Akibatnya
secara klinis dapat terjadi gangguan fungsi ginjal, otak, dan syok. 3
c. Rosetting
Rosetting adalah berkelompoknya eritrosit matur yang diselubungi 10 atau
lebih eritrosit yang tidak mengandung parasit. Plasmodium yang dapat melakukan
sitoadherensi juga yang dapat melakukan rosetting. Rosetting menyebabkan
obstruksi aliran darah lokal atau dalam jaringan sehingga mempermudah
terjadinya sitoadheren. 3
23

Manifestasi Klinis
Anemia dan splenomegali merupakan gejala yang tersering dijumpai pada infeksi
malaria. Gejala yang klasik dari infeksi malaria yaitu terjadinya Trias Malaria
secara berurutan: 3
1. Periode dingin
Berlangsung selama 15-60 menit, pasien mulai menggigil, sering
membungkus diri dengan selimut atau sarung dan pada saat menggigil,
seluruh tubuh akan bergetar dan gigi-gigi saling terantuk, diikuti dengan
naiknya temperatur;
2. Periode panas
Muka pasien menjadi merah, nadi cepat, dan panas badan akan tetap tinggi
selama beberapa jam, kemudian diikuti dengan periode berkeringat.
3. Periode berkeringat
Pasien akan mengeluarkan banyak keringat dan suhu tubuhnya akan turun,
pasien akan merasa sehat.
Komplikasi
a. Gagal Ginjal (GGA)
Kelainan fungsi ginjal sering terjadi pada penderita malaria dewasa. Kelainan
fungsi ginjal dapat pre-renal karena dehidrasi (>50%) dan hanya 5-1%
disebabkan nekrosis tubulus akut. Gangguan ginjal diduga disebabkan adanya
anoksia karena penurunan aliran darah ke ginjal akibat dari sumbatan kapiler,
sehingga terjadi penurunan filtrasi pada glomerulus. Secara klinis dapat terjadi
fase oliguria atau poliuria. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan yaitu
urin mikroskopik, berat jenis urin, natrium urin, serum natrium, kalium,
ureum, kreatinin, analisa gas darah serta produksi urin. 3
b. Kelainan Hati (Malaria Biliosa)
Jaundice atau ikterus sering dijumpai pada infeksi malaria falciparum. Pada
penelitia di Minahasa dari 836 penderita malaria, hepatomegali 15,9%,
hiperbilirubinemi 14,9% dan peningkatan serum transminase 5,7%. Pada
malaria biliosa (Malaria dengan ikterus) di jumpai ikterus hemolitik 17,2%
Ikterus obstruktip intra-hepatal 11,4% dan tipe campuran parekimantosa,
hemolitik dan obstruktif 78,6 peningkatan SGOT rata-rata 121 Mu/ml dan
24

SGPT 80,8 Mu/ml dengan ratio 1,5 peningkatan transminase biasanya ringan
sampai sedang dan jarang melebihi 200 iu, ikterus yang berat sering dijumpai.
3

c. Hipoglikemia
Hipoglikemia dilaporkan sebagai keadaan terminal pada binatang dengan
malaria berat. Ini disebabkan karena kebutuhan metabolik dari parasit telah
menghabiskan cadangan glikogen dalam hati. Hipoglikemia dapat tanpa gejala
pada penderita dengan keadaan umum yang berat ataupun penurunan
kesadaran. 3
d. Blackwater fever (Malaria Hemoglobinuria)
Adalah suatu sindrom dengan gejala karakteristik serangan akut, menggigil,
demam, hemolysis intravascular hemoglobinemi, hemoglobinuri dan gagal
ginjal, biasanya terjadi pada komplikasi dari infeksi Plasmodium falciparum
yang berulang ulang pada orang non-imun atau dengan pengobatan kina yang
tidak adekuat. Akan tetapi adanya hemolisis karena kina atau antibodi
terhadap kina belum pernah dibuktikan. Malaria hemoglobinuria dapat terjadi
pada penderita tanpa kekurangan enzim G-6-PD dan biasanya parasit
falciparum positif, atau pun pada penderita kekurangan G-6-PD yang biasanya
disebabkan karena pemberian primakuin. 3
e. Malaria Algid
Yaitu terjadinya syok vaskular, ditandai dengan hipotensi (tekanan sistolik
kurang dari 70 mmHg) perubahan tahanan dan berkurangnya perfusi jaringan
gambaran klinik berupa perasaan dingin dan basah pada kulit, temperatul
rektal tinggi kulit tidak elastik pucat, pernapasan dangkal, nadi cepat, tekanan
darah turun. 3
f. Edema Paru/ ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome)
Sering terjadi pada malaria dewasa dan jarang pada anak. Edema paru
merupakan komplikasi yang paling berat dari malaria tropika dan sering
menyebabkan kematian. Edema paru dapat terjadi karena kelebihan cairan
atau Acute Respiratory Distress Syndrome beberapa faktor yang dapat
menimbulkan edema paru yaitu kelebihan hipotensi, asidosis, dan uremi.
25

Adanya peningkatan respirasi merupakan gejala awal bila frekunsi


pernapasaan >35 kali/menit prognosanya jelek. 3
g. Malaria Otak/Malaria Serebral
Malaria otak merupakan penyulit yang menyebabkan kematian tertinggi
(80%) bila dibandingkan dengan malaria berat lainnya. Gejala klinisnya dapat
dimulai secara lambat atau mendadak setelah gejala permulaan. Sakit kepala
dan rasa mengantuk disusul dengan gangguan kesadaran, kelainan saraf dan
kejang yang bersifat lokal atau menyeluruh. Dapat ditemukan perdarahan pada
retina, tetapi papil edema jarang ditemukan. Gejala neurologi yang timbul
dapat menyerupai meningitis, epilepsi, delirium akut, intoksikasi, sengatan
panas (heat stroke). Pada orang dewasa koma timbul beberapa hari setelah
demam, bahkan pada orang non imun dapat timbul lebih cepat. Pada anak
koma timbul kurang dari 2 hari, setelah demam yang didahului dengan kejang
dan berlanjut dengan penurunan kesadaran. 3
h. Anemia Berat
Komplikasi ditandai dengan menurunnya Ht (Hematokrit) secara mendadak
(<15%) atau kadar hemoglobin <5g%. Anemia merupakan komplikasi yang
penting dan sering ditemukan pada anak. Hal ini dapat memburuk pada waktu
penderita diobati, terutama bila jumlah parasit dalam darah sangat tinggi.
Anemia umumnya bersifat normositik tetapi retikulosit biasanya tidak
ditemukan, namun demikian anemia mikrositik dan hipokrom dapat
ditemukan baik karena defisiensi zat besi atau kelainan hemoglobin.
Patofisiologi anemia berat pada keadaan ini masih belum jelas. Anemia berat
dapat disebabkan karena destruksi masif eritrosit yang terinfeksi dan
penurunan produksi eritrosit oleh sumsum tulang. Selain itu umur eritrosit
yang tidak terinfeksi memendek karena pada permukaan eritrosit ini dapat
ditemukan imunoglobulin dan atau komplemen, bila nilai hemotokrit kurang
dari 20% atau hemoglobin kurang dari 7g/dl, penderita dapat diberi transfuse
darah seger atau packed cell, volume darah atau sel yang diberikan harus
diberikan perhiltungan dalam keseimbangan cairan penderita. 3
26

Tatalaksana
Tabel 3.1. Tatalaksana Malaria. 3

Pencegahan
a. Berbasis masyarakat: 4
1. Pola perlindungan tidap bersih dan sehat (PHBS) masyarakat harus selalu
ditingkatkan melalui penyuluhan kesehatan, pendidikanan kesehatan, diskusi
kelompok melalui kampanye masal untuk meningkatkan tempat perlindungan
masyarakat (pemberantasan sarang nyamuk, PSN) kegiatan ini meliputi
menghilangkan genangan air kotor, diantaranya dengan mengalirkan air atau
menimbun atau mengeringkan barang atau wadah yang memungkinkan sebagai
tempat air tergenang.
27

2. Menemukan dan menemukan perderita sedini mungkin akan sangat membantu


mencegah penularan.
3. Melakukan penyemprotan.
b. Berbasis pribadi: 4
1. Pencegahan gigitan nyamuk
2. Pengobatan profilaksis jika akan memasuki daerah endemik

2. DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF)


DHF adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus Dengue dengan
manifestasi klineis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi, yang disertai
leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemorrhagik. 3
Etiologi
DHF disebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam genus Flavivirus,
keluarga Flaviviridae. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3,
DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan DHF. Keempatnya juga dapat
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. 3
Epidemiologi
DHF tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan Karibia.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah
air. Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes
(terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya
berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi
nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas, dan
tempat penampungan air lainnya). 3
Patomekanisme Infeksi Virus Dengue
Virus berkembang dalam tubuh nyamuk selama 8-10 hari terutama dalam
kelenjar air liurnya, dan nyamuk ini menggigit orang lain maka virus dengue di
pindahkan bersama air liur nyamuk. Dalam tubuh manusia, virus ini akan
berkembang selama 4 sampai 6 hari. 3
Virus dengue diinjeksikan oleh nyamuk Aedes aegypti ke aliran darah.
Virus ini secara tidak langsung juga mengenai sel epidermis dan dermis sehingga
menyebabkan sel Langerhans dan keratinosit terinfeksi. Sel –sel yang terinfeksi
28

ini bermigrasi ke nodus limfe, dimana makrofag dan monosit kemudian direkrut
dan menjadi target infeksi berikutnya. Infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi
makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga
virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue
menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga diproduksi limfokin
dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga
disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF- α, IL-1, PAF (Platelet
Activiting Factor), IL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel
endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui
aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya
kebocoran plasma. 3
Respon imun yang berperan dalam patogenesis DHF adalah: 3
1. Respon imun humoral berupa pembentukan antibodi yang
berperan dalam proses netralisis virus, sitolisi yang dimediasi
komplemen dan sitotoksin yang di mediasi antibodi.
2. Limfosit T baik T-Helper (CD4) dan Sitotoksik (CD8) berperan
dalam imun selular terhadap virus dengue. Diferensiasi T-
Helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2,
dan Limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6,
dan IL-10.
3. Monosit dan makrofag berperan dalam proses fagositosis virus
dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin
oleh makrofag.
4. Selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun
menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan
penelitian lain yang menyatakan bahwa infeksi virus dengue meyebabkan aktivasi
makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga
virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue
menyebakan T-Helper dan T-Sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan
interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga
29

disekresikannya berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, PAF (platelet


activating factor), IL-4 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel
endotel dan terjadinya kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi
melalui aktivasi oleh kompleks virus antibodi yang juga mengkibatkan terjadinya
kebocoran plasma. 4
Kebocoran plasma mengakibatkan tubuh akan mengalami perdarahan
mulai dari bercak sampai perdarahan hebat pada kulit, saluran pencernaan
(muntah darah, BAB darah), saluran pernapasan (mimisan, batuk darah), dan
organ vital (jantung, hati, ginjal) yang sering mengakibatkan kematian. 4
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme, sebagai
berikut: 4
a) Supresi sumsum tulang
b) Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (lebih dari 5 hari)
menunjukan keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah
keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis
termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat
terjadi trombositopenia justru menunjukan kenaikan, hal ini menunjukan
terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi
terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui
pengikatan fragmen C3g, tedapatnya antibodi virus dengue, konsumsi
trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan
fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepaan ADP
(Adenosin difosfat), peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang
merupakan pertanda degranulasi trombosit. Koagulapati terjadinya sebagai
akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan disfungsi endotel
(jalur ekstrinsik) dan aktivasi faktor XIa (jalur Intrinsik). Namun sel
endotel memiliki tropisme tersendiri terhadap virus dengue. Bersamaan
dengan tingginya kadar virus dalam darah, trombositopenia, serta
disfungsi trombosit, keempat faktor ini menyebabkan peningkatan
kerapuhan kapiler yang bermanifestasi sebagai petekie, memar, dan
perdarahan mukosa. 4
30

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus Dengue dapat bersifat asimtomatik, atau
dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue,
atau sindrom syok dengue (DSS). 3 Pada umumnya pasien mengalami fase demam
selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada fase ini, pasien
sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai resiko untuk terjadi jrenjatan jika
tidak mendapat pengobata ade kuat. 3
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari, timbul gejala
prodormal yang tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan
perasaan lelah. 3
a. Demam Dengue (DD)
Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua
atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut: 4
• Nyeri kepala.
• Nyeri retro-orbital.
• Mialgia.
• Atralgia.
• Ruam kulit.
• Petekie dan uji bendung positif.
b. Demam Berdarah Dengue (DBD) mempunyai tanda dan gejala sebagai
berikut: 4
• Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik
• Terdapat minimal satu dari manifestasi pendarahan berikut:
- Uji bendung (+).
- Petekie, ekimosi, purpura.
- Pendarahan mukosa.
- Hematemesis atau melena terjadi karena adanya tromositopenia yang
mengakibatkan menurunnya koagulapati dan menyebabkan pendarahan hebat.
• Trombositopenia (<100.000/ul) diakibatkan karena adanya agregasi
trombosit
• Penurunan hematokrit > 20%.
31

• Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites atau


hipoproteinemia.2
c. Dengue Syok Syndrome (DSS), memiliki tanda dan gejala sebagai berikut:
4

• Keadaan umum memburuk, biasanya terjadi pada saat atau setelah demam
menurun, antara hari sakit ke 3-7
• Kegagalan peredaran darah, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis
sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lembut
• Pada anak lesu, gelisah, syok, nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok
• Saat syok nadi lembut, cepat, kecil sampai tidak dapat diraba. Tekanan
nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang dan tekanan sistolik menurun
sampai 80 mmHg atau lebih rendah.
Tabel 3.2. Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue. 3
32

Gambar 3.2. Kriteria Dengue Menurut WHO Tahun 2009. 3


Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit,
jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif
disertai gambaran limfosit plasma biru. 3
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reserve
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit,
saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap dengue
berupa antibodi total, IgM maupun IgG. Parameter laboratoris yang dapat
diperiksa antara lain: 3
a) Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru
(LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat.
b) Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8
c) Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit ≥20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.
33

d) Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau


FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan
darah.
e) Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma
f) SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.
g) Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
h) Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
i) Golongan darah: dan Cross macth (uji cocok serasi): bila akan diberikan
transfusi darah atau komponen darah
j) Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue. IgM:
terdeksi mulai hari ke-5, meningkat sampai minggu k-3, menghilang setelah 60-90
hari. IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada
infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
k) Uji HI: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari
perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.
l) NS1: Antigen NS1 dapat di deteksi pada awal demam hari pertama sampai hari
ke delapan. Sensitivitas antigen NS 1 berkisar 63%-93,4% dengan spesifisitas
100% sama tingginya dengan spesifisitas gold standard kultur virus. Hasil
negative antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus dengue.
Penatalaksanaan
a. Alur penatalaksanaan
Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling
penting dalam penanganan. Asupan cairan harus tetap dijaga, terutama cairan
oral. Jika asupan cairan oral tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan
suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan
hemokonsentrasi secara bermakna. Prokotol terbagi dalam lima kategori: 3
1) Protokol 1. Penanganan DBD dewasa tanpa syok
Protokol 1 digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan
pertama DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga
dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat. Seseorang
yang menderita DBD dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb),
hematokrit, dan trombosit, bila: 3
34

- Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000,


pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke
poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya atau bila memburuk, segera
kembali ke IGD.
- Hb, Ht normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.
- Hb, Ht meningkat, dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk
dirawat.
2) Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang
Rawat
Pasien DBD tanpa pendarahan spontan dan matif tanpa syok maka di
ruang gawat diberikan cairan infus kristaloid dengan rumus: 3
1500 + {20 x (BB dalam kg -20)}
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam: 3
a) Bila Hb, Ht meningkat 10-20 % dan trombosit < 100.000 jumlah
pemberiaan cairan tetap.
b) Bila Hb, Ht meningkat > 20 % dan trombosit < 100.000 maka
pemberian cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan
peningkatan Ht > 20%.
3) Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%
Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit
sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah
dengan memberikan infus cairan kristaloid sebnayal 6-7 ml/kgBB/jam.
Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi
perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda Ht turun, frekuensi nadi turun,
tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan harus
dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan
keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24-48
jam kemudian. 3
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6 – 7 ml/ kgBB/ jam tadi
keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan Ht dan nadi
meningkat, tekanan nadi menurun <20 mmHg, produksi urin menurun,
maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam.
35

2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan


menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5
ml/kgBB/jam tetapi bila keaadaan tidak menunjukkan perbaikan maka
jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam
perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda
syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindrom
syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan
dimulai lagi seperti terapi cairan awal. 3
4) Protokol 4. Penatalaksanaan Pendarahan Spontan pada DBD Dewasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah:
perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah
diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan
melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria),
perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan
sebanyak 4-5 cc/kgBB/jam. Pada keadaan ini jumlah dan kecepatan
pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya.
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan
sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht dan trombosit serta
hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit
sebaiknya diulang setiap 4-6 jam. 3
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris
didapatkan tanda-tanda KID. Transfusi komponen darah diberikan sesuai
indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan
(PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari
10g%. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan
perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/ul
disertai atau tanpa KID. 3
5) Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa
Bila kita berhadapan dengan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal
pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan ini harus segera diatasi
oleh karena itu penggantian cairan intravaskuler yang hilang harus segera
dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat
36

dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat


terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan /
pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya
kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan
renjatan yang tidak adekuat. 3
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan.
Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit.
Pemeriksaan – pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan
darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, AGD, kadar natrium, kalium dan
klorida, serta ureum dan kereatinin. 3
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan
dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai
dengan TD sistolik 100mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg,
frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup,
akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-1cc/kgBB/jam)
jumlah cairan dikurangi menjadi 7ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 –
120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5ml/kgBB/jam.
Bila dalam 60 – 120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian caira
menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-
tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka
pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika rebsorbsi cairan
plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan
turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan
hipervolemi edema paru atau gagal jantung dapat terjadi). 3
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus
dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadin renjatan
(karena selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata
cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh
darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui
apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda
vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi
jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium
37

kanan dan epigastrik serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan


2ml/kgBB/kam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematoktrit, dan jumlah
trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perkalanan penyakit. 3
Bila stelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi,
maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30
ml/kgBB dan kemudian dievaluasi detelah 20-30 menit. Bila nilai
hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka
pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit
menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka pada
penderita diberikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dan dapat diulang
sesuai kebutuhan. 3
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui
sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mulu-mula diberikan
dengantetesan cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit.
Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan
dilakukan pemasangan kateter vena sentral dan pemberian koloid dapat
ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB (maksimal 1-1,5 1/hari)
dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 smH2O. Bila keadaan tetap
belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap
gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi
sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target
tetapi renjatan belum teratasi maka dapat diberikan obat
inotropik/vasopresor. 3
38
39

Gambar 3.3. Tatalaksana DHF Berdasarkan Kriteria Menurut WHO Tahun 2009. 3
40

3. FILARIASIS
Etiologi
Cacing filaria termasuk famili Filaridae dan dapat ditemukan dalam
peredaran darah, limfe, otot, jaringan ikat, atau rongga serosa pada vertebrata.
Vektor yang digunakan untuk penularan adalah nyamuk sebagai hospes perantara.
Kera. anjing. dan manusia berperan sebagai hospes definitif. Cacing filaria
termasuk famili Filaridae dan dapat ditemukan dalam peredaran darah, limfe,
otot, jaringan ikat, atau rongga serosa pada vertebrata. Vektor yang digunakan
untuk penularan adalah nyamuk sebagai hospes perantara. Kera. anjing. dan
manusia berperan sebagai hospes definitif. 3
Lingkungan hidup
Hospes detinitifnya hanya manusia. Pada manusia Wuchereria bancrofti
dapat hidup selama 5 tahun. Sesudah menembus kulit melalui gigitan nyamuk,
larva masuk meneruskan perjalanannya ke pembuluh dan kelenjar life tempat
mereka tumbuh sampai dewasa dalam waktu 1 tahun. Cacing dewasa ini sering
menimbulkan varises saluran limfe menuju ke pembuluh darah yang berdekatan
atau terbawa oleh saluran ke dalam aliran darah. 3
Patologi
Perubahan patologi utama disebabkan oleh kerusakan pembuluh getah
bening akibat inflamasi yang ditimbulkan oleh cacing dewasa, bukan oleh
mikrofilaria. Cacing dewasa hidup di pembuluh getah bening aferen atau sinus
kelenjar getah bening dan menyebabkan pelebaran pembuluh getah bening dan
penebalan dinding pembuluh. Infiltrasi sel plasma, eosinofil, dan makrofag di
dalam dan sekitar pembuluh getah bening yang mengalami inflamasi bersama
dengan proliferasi sel endotel dan jaringan penunjang, menyebabkan berliku-
likunya sistem limfatik dan kerusakan atau inkompeten katup pembuluh getah
bening. 3
Limfedema dan perubahan kronik akibat statis bersama dengan edema
keras terjadi pada kulit yang mendasarinya. Perubahan-perubahan yang terjadi
akibat dan oleh respon imun pejamu terhadap parasit. Respon imun ini dipercaya
menyebabkan proses granulomatosa dan proliferasi yang menyebabkan obstruksi
total pembuluh getah bening. Diduga bahwa pembuluh-pembuluh tersebut tetap
41

paten selama cacing tetap hidup dan bahwa kematian cacing tersebut
menyebabkan reaksi granulomatisa dan fibrosis. Dengan demikkian terjadilah
obstruksi limfatik dan penurunan fungsi limfatik. 3
Manifestasi klinis
ecara umum dapat dibagi menjadi 3 stadium, yakni
 stadium tanpa gejala
 stadium peradangan (akut), dan
 stadium penyumbatan (menahun).
Stadium ini lebih terlihat pada filariasis Wuchereria brancofti karena dapat
berlangsung lama. Filariasis akibat Brugia malayi dan Brugia timori tidak pernah
mengenai sistem limfe alat kelamin.
1. Stadium tanpa gejala
Pada daerah endemis hanya ditemukan pembesaran kelenjar limfe terutama di
inguinal sedangkan pada pemeriksaan darah ditemukan mikrofilaria dalam jumlah
besar disertai eosinofilia.
2. Stadium peradangan (akut)
Limfangitis, inflamasi eosinofil akut. demam, menggigil, sakit kepala, muntah,
dan kelemahan tubuh dapat terjadi. Stadium ini berlangsung beberapa hari hingga
minggu dan terutama menyerang saluran limfe tungkai. ketiak. epitrochlear. dan
alat kelamin. Pada laki-laki dapat ditemukan funikulitis. epididimitis, orkitis, dan
pembengkakan skrotum. Ulkus dapat timbul dengan cairan serosanguin.
Terkadang dapat muncul hematuria dan protein uria yang menandakan gangguan
ginjal. Fenomena lain adalah tropical pulmonary eosinophilia akibat respon
imunologik berlebih dengan tanda eosinofilia, gejala mirip asma/penyakit paru
restriktif/obstruktif, dan splenomegali.
3. Stadium penyumbatan (menahun)
Pada stadium ini dapat ditemukan hidrokel, limfedema, dan elefantiasis.
Limfedema tungkai dapat dibagi dalam 4 tingkat, yaitu:
Tingkat 1: edema pitting tungkai, kembali normal bila tungkai diangkat
Tingkat 2: edema pittinglnonpitting, tidak dapat kembali normal bila tungkai
diangkat
42

Tingkat 3: edema nonpitting, tidak dapat kembali normal bila tungkai


diangkat, kulit tebal
Tingkat 4: edema non pitting dengan jaringan fibrosis dan verukosa kulit
(elefantiasis).3
Diagnosis
Anamnesis
1. Riwayat berpergian ke daerah endemis;
2. Manifestasi klinis sesuai dengan yang telah dituliskan.
Pemeriksaan Fisik
 Pembengkakan unilateral (elefantiasis) pada kaki, lengan, skrotum, vulva,
atau payudara
 Hidrokel, kiluria apabila berkemih;
 Pada tropical pulmonary eosinophilia: mengi danrhonki hampir pada
seluruh lapang paru.
Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan darah perifer: leukositosis, eosinofilia;
 Ditemukannya mikrofilaria dalam darah tepi, cairan hidrokel, atau kiluria.
Pengambilan specimen disesuaikan dengan puncak aktifnya, yakni saat
malam hari (pukul 22.00 - 02.00). Pengambilan darah tebal atau tipis dapat
dipulas dengan pewarnaan Giemsa atau Wright.
 Biopsi kelenjar atau jaringan limfe: ditemukannya potongan cacing
dewasa.
 ELISA dan immunochromatographic rest untuk deteksi antigen.
 Pencitraan: limfoskintigrafi dengan radionuklir, USG doppler.
Tata Laksana
1. Perawatan Umum
 lstirahat dan bila dipindahkan ke daerah dingin dapat mengurangi derajat
serangan akut.
 Antibiotik untuk infeksi sekunder dan abses.
 Pengikatan di daerah bendungan untuk mengurangi edema.
2. Medikamentosa
43

Dietilcarbamazine (DEC) 6 mg/KgBB/hari selama 12 hari. Pengobatan dapat


diulang 1 hingga 6 bulan atau selama 2 hari per bulan dengan dosis 6-8
mg/KgBB/hari.
3. Pembedahan
Aspirasi hidrokel, limfangioplasti, prosedur jembatan limfe, transposisi flap
omentum, eksisi radikal dan graft kulit, anastomosis pembuluh limfe ke
dalam, dan bedah mikrolimfatik.

4. Chikungunnya
Demam chikungunya adalah jenis penyakit menular dengan gejala utama
demam mendadak, nyeri persendian terutama sendi lutut, pergelangan, jari
kaki dan tangan serta tulang belakang yang disertai ruam (bintik-bintik
kemerahan) pada kulit yang disebabkan oleh virus jenis Chikungunya, Genus
Alphavirus, Famili Togaviridae.1 Demam chikungunya adalah penyakit
disebabkan oleh virus yang ditularkan ke manusia melalui nyamuk genus
Aedes.2 Chikungunya berasal dari bahasa Shawill yang menunjukkan gejala
pada penderita dengan arti posisi tubuh meliuk atau melengkung, mengacu
pada postur penderita yang membungkuk akibat nyeri sendi hebat
(arthralgia).3 dan sumber lain menyebut berasal dari bahasa Makonde yang
artinya melengkung ke atas yang adalah merujuk pada tubuh bungkuk karena
gejala arthritis penyakit ini. Demam Chikungunya relatif kurang berbahaya
dan tidak fatal dibandingkan dengan penyakit demam berdarah dengue
(DBD). Demam chikungunya merupakan penyakit self limiting disease
(sembuh sendiri). Masa inkubasi terjadinya penyakit sekitar dua sampai empat
hari, sementara manifestasinya timbul antara tiga sampai sepuluh hari. Gejala
utama terkena chikungunya, tiba-tiba tubuh terasa demam diikuti dengan linu
di persendian. Bahkan, terdapat gejala khas yaitu timbulnya rasa pegal-pegal,
ngilu, juga timbul rasa sakit pada tulang-tulang (demam tulang / flu tulang).
Dalam beberapa kasus didapatkan juga penderita yang terinfeksi tanpa
menimbulkan gejala sama sekali (silent virus chikungunya). Kelumpuhan
dapat terjadi pada kasus demam chikungunya walau hanya bersifat sementara
sebagai efek dari proses perkembangbiakan virus dalam darah yang
44

menimbulkan perasaan nyeri pada tulang dan seputar persendian sehingga


sulit menggerakkan anggota tubuh. Akan tetapi, itu bukan berarti kelumpuhan
total.3
EPIDEMIOLOGI
Demam chikungunya disebabkan oleh CHIK virus (CHIKV), virus ini termasuk
famili Alphavirus. Fakta sejarah menyatakan bahwa virus chikungunya terjadi
pertama di negara Afrika dan selanjutnya menyebar ke Asia. Chikungunya telah
menyebar ke beberapa daerah seperti wilayah Afrika dan Asia, termasuk India,
Srilanka, Myanmar, Tailand, Indonesia, dan Malaysia. Studi secara filogenetik
melaporkan bahwa strain virus chikungunya termasuk dalam tiga genotype
berdasarkan kasus di Afrika, Afrika tengah/timur dan Asia, dan selanjutnya
termasuk ke dalam grup yang diisolasi dari Klang di Malaysia. Demam
chikungunya didiagnosis pada pendatang di wilayah Amerika Serikat sejak tahun
2005 dan 2006. Kasus demam chikungunya dilaporkan kembali di area Eropa,
Canada, Carabbia (Martinique) dan Amerika selatan (French Guyana) selama
tahun 2006. Sejak tahun 2005 – 2006, 12 kasus demam fever didiagnosis secara
serologis dan virologi oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
Amerika serikat dari wilayah yang diketahui sebagai daerah epidemi atau endemis
demam chikungunya.6 Epidemi yang terjadi di Asia pada wilayah
perkotaan/urban disebabkan oleh vektor nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus.
Seroprevalensi yang dipelajari terhadap Macaca sinica di Srilanka melaporkan
bahwa kerentanan populasi ini terhadap virus tidaklah diketahui. 4
Patogenesis
Virus chikungunya sebagai penyebab demam chikungunya masih belum diketahui
pola masuknya ke Indonesia. Sekitar 200-300 tahun lalu virus chikungunya
merupakan virus pada hewan primata di tengah hutan atau savana di Afrika.
Satwa primata yang dinilai sebagai pelestari virus adalah bangsa baboon (Papio
sp), Cercopithecus sp. Siklus di hutan (sylvatic cycle) di antara satwa primata
dilakukan oleh nyamuk Aedes sp (Ae. africanus, Ae. luteocephalus, Ae. opok, Ae.
furciper, Ae taylori, Ae cordelierri). Pembuktian ilmiah yang meliputi isolasi dan
identifikasi virus baru berhasil dilakukan ketika terjadi wabah di Tanzania 1952-
1953. Chikungunya yang semula termasuk siklus zootik dari satwa primata-
45

nyamuk satwa primata, beberapa lama kemudian berubah menjadi menyerang


manusia. Tidak semua virus asal hewan dapat berubah siklusnya seperti itu. Di
daerah urban, siklus virus chikungunya dibantu oleh nyamuk Ae. aegypti. Dalam
situasi tertentu, Manzonia africana juga berperan sebagai vektor yang
memindahkan virus dari inang primata ke manusia. Meskipun dalam penelitian
eksperimen terbukti bahwa primata yang terinfeksi virus chikungunya mengalami
viremia, perannya dalam menentukan transmisi virus di belahan bumi belum
terlalu penting. Vektor yang berperan dalam penularan demam chikungunya
adalah nyamuk Famili Culicidae Subfamili Culicinae, Genus Aedes, Spesies
aegypti dan albopictus.1 Nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus mengalami
metamorfosis sempurna (holometabola), meliputi empat tahap yaitu telur, larva
(jentik) pupa dan dewasa. Larva dan pupa memerlukan air untuk kehidupannya,
sedangkan telur pada Ae. aegypti tahan hidup dalam waktu lama tanpa air,
meskipun harus tetap dalam lingkungan yang lembab. Siklus hidup bisa lengkap
dalam waktu satu minggu atau lebih tergantung suhu, makanan, spesies dan faktor
lain. Nyamuk dewasa jantan umumnya hanya tahan hidup 6–7 hari, sangat singkat
hidupnya dan makanannya adalah cairan tumbuhan atau nektar, dan yang betina
dapat mencapai 2 minggu atau lebih di alam dan menghisap darah untuk produksi
telur-telurnya.1 Umumnya Ae. aegypti dan Ae. albopictus betina mempunyai daya
terbang sejauh 50– 100 meter, tetapi dilaporkan juga kedua jenis nyamuk ini
mampu terbang dengan mudah dan cepat dalam mencari tempat perindukan
dengan radius 320 meter. Beberapa tempat perindukan larva Ae. aegypti antara
lain di bak mandi, drum, tempat penampungan air dispenser, tempat penampungan
air refrigator, ban bekas, vas bunga, talang rumah, kolam ikan hias yang
terbengkalai/tidak digunakan lagi8 , di kontainer di luar gedung9 dan di kolam.
Ae. albopictus tejadi pada siang hari pada saat manusia sedang melaksanakan
aktifitas, namun laporan dari Provinsi Nusa Tenggara Timur ada indikasi
perubahan perilaku menggigit tidak hanya pada siang hari, tetapi juga pada malam
hari.8 Virus yang ditularkan oleh nyamuk Aedes ini akan berkembang biak di
dalam tubuh manusia. Virus menyerang semua usia, baik anak-anak maupun
dewasa di daerah endemis. Secara mendadak penderita akan mengalami demam
tinggi selama lima hari, sehingga dikenal pula istilah demam lima hari.3 Di India
46

dilaporkan bahwa gejala-gejala tersebut akan berhubungan dengan terjadinya


hemorragic (virus beredar dalam aliran darah).2 Apabila terjadi demikian, maka
akan semakin mempermudah penularan oleh nyamuk pada saat menghisap darah
kepada orang lain.4
Manifestasi Klinis
Gejala klinis demam Chik mempunyai spektrum yang luas mulai dari demam
ringan sampai demam disertai artralgia dan atau perdarahan. Demam tinggi
biasanya berlangsung 1 – 3 hari. Penelitian menunjukkan gejala demam Chik
telah menyebabkan epidemi dari penyakit yang menyerupai Dengue (Den-like
diseases) di India, Kamboja, Thailand dan Singapura. Hal ini menunjukkan gejala
klinis saja tidak cukup untuk mendukung bukti infeksi Chik. Pada manusia virus
Chik menyebabkan sakit setelah 48 jam digigit nyamuk. Masa inkubasi virus Chik
antara 2-3 hari (1-12 hr). Pada anak dimulai dengan demam yang terjadi secara
akut diikuti dengan nyeri kepala, mialgia dan artralgia, yang melibatkan beberapa
sendisendi kecil pada jari-jari tangan, pergelangan tangan dan kaki meningkat
dengan aktivitas dan 1182 berkurang/menghilang saat istirahat. Artralgia biasanya
sembuh dalam 1 minggu setelah dimulai, namun dapat menetap sampai beberapa
minggu. Saat muncul ruam makulopapular biasanya diikuti dengan limfadenopati.
Nyeri kepala, nyeri retro orbital, anoreksia, mual dan muntah, nyeri perut dan
gejala umum lain yang muncul pada infeksi virus mungkin terjadi namun tidak
dalam bentuk yang berat. Ruam yang terjadi seringkali sulit dibedakan dengan
ruam pada infeksi Dengue. Tetapi pada Chikungunya tidak pernah dilaporkan
kejadian hematemesis melena dan syok.4

Pengobatan
Chikungunya pada dasarnya bersifat self limiting disease artinya penyakit yang
dapat sembuh dengan sendirinya. Hingga saat ini, belum ada vaksin maupun obat
khusus untuk Chikungunya, oleh karenanya pengobatan ditujukan untuk
mengatasi gejala yang mengganggu (simtomatis). Obat-obatan yang dapat
digunakan adalah obat antipiretik, analgetik (non-aspirin analgetik; non steroid
anti inflamasi Universitas Sumatera Utara 15 drug parasetamol, antalgin, natrium
diklofenak, piroksikam, ibuprofen, obat anti mual dan muntah adalah
47

dimenhidramin atau metoklopramid). Aspirin dan steroid harus dihindari. Terapi


lain disesuaikan dengan gejala yang dirasakan.
Bagi penderita dianjurkan untuk makan makanan yang bergizi, cukup karbohidrat
terutama protein serta minum sebanyak mungkin. Memperbanyak konsumsi buah-
buahan segar, sebaiknya minum jus buah segar. Vitamin peningkat daya tahan
tubuh dapat bermanfaat untuk menghadapi penyakit ini. Selain vitamin, makanan
yang mengandung cukup banyak protein dan karbohidrat juga meningkatkan daya
tahan tubuh. Daya tahan tubuh yang baik dan istirahat cukup bisa membuat rasa
ngilu pada persendian cepat hilang. Disarankan juga minum banyak air putih
untuk menghilangkan gejala demam.4
Pemeriksaan serologi
 10-15 ml darah pada fase akut (segera ambil setelah onset klinik terjadi)
dan pada fase penyembuhan (10-14 hari) setelah sampel 1 diambil
 Pemeriksaan IgM dilanjutkan MAC-ELISA, hasil dalam 2-3 hari
 Reaksi silang sering terjadi, konversi dengan uji neutralisasi dan HIA
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah pada demam Chik tidak khas. Penelitian yang ada
menunjukkan bahwa jumlah leukosit dan trombosit dalam batas normal.
Leukopenia dengan limfositosis relatif dapat terjadi pada hari ke 3-6 sejak
demam. Kenaikan Hct terjadi namun secara statistik tidak bermakna. Diagnosis
serologi seperti ELISA, uji inhibisi aglutinasi, uji fiksasi komplemen serta PCR
dapat dipakai sebagai pemeriksaan untuk penunjang diagnosis. Kematian jarang
terjadi pada infeksi Chikungunya.
Terapi
Terapi medikamentosa diberikan untuk tujuan simtomatik dan suportif meliputi
tirah baring, analgetik mungkin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri.

Pencegahan Chikungunya

Pencegahan chikungunya sama seperti pencegahan penyakit lain yang disebabkan


oleh gigitan nyamuk. Cara yang utama adalah melakukan pemberantasan sarang
nyamuk (PSN) dengan tindakan 3M Plus. 3M yang dimaksud meliputi:
48

 Menutup rapat tempat penyimpanan air.


 Menguras tempat penampungan air.
 Mengubur barang bekas yang bisa menampung air.

Sedangkan tindakan Plus (tambahan) yang dapat dilakukan untuk membantu 3M,
yaitu:

 Menaburkan bubuk abate pada tempat penampungan air.


 Memasang kawat anti-nyamuk di ventilasi rumah.
 Menggunakan kelambu saat tidur.
 Menanam tumbuhan pengusir nyamuk.
 Menghentikan kebiasaan menggantung pakaian.4

Di samping sejumlah langkah di atas, Anda dapat melakukan beberapa langkah


pencegahan tambahan, terutama bila hendak bepergian ke daerah endemik
chikungunya, antara lain:

 Menggunakan losion anti-nyamuk dengan kandungan N,N-


diethylmetatolumide (DEET) secara rutin. Bila Anda mengenakan tabir
surya, oleskan losion setelah tabir surya.
 Menggunakan obat nyamuk bakar yang diletakkan di luar untuk
membantu mengusir nyamuk.
 Mengenakan baju lengan panjang dan celana panjang setiap waktu.4
49

DAFTAR PUSTAKA

1. Triji W. vector dan Reservoir.ed.7.banjarnegara.2008.


2. Sutanto I, Ismid I. S, dkk. BUKU AJAR PARASITOLOGI KEDOKTERAN.
Edisi Keempat. BADAN PENERBIT FKUI;2019. Hlm.254-274.
3. Setiati.S dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Interna publising.
2017.
4. Widoyo. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2011.
50

REFLEKSI DIRI
51

REFLEKSI DIRI

Anda mungkin juga menyukai