Anda di halaman 1dari 32

BAB 5

PENGENDALIAN VEKTOR FILARIASIS*)

Tujuan Pembelajaran
Setelah selesai mempelajari bab ini, mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan Latar Belakang Pengendalian
2. Menjelaskan Pengendalian Vektor Filariasis

a. Latar Belakang.
Pertama, pen yakit kaki gajah (penyakit parasitik yang disebabkan nematoda
hidup di dalam sistem limfe dan ditularkan dengan perantara nyamuk)
merupakan masalah kesehatan global. Walaupun penyakit ini tidak
mengakibatkan kematian, namun pada stadium lanjut dapat menyebabkan
cacat fisik permanen dan mempunyai dampak sosial ekonomi besar,
khususnya pada penduduk dengan sosial ekonomi rendah yang tinggal di
negara-negara berkembang di daerah tropis maupun subtropis (WHO, 1994)
Kedua, dalam skala nasional penyakit kaki gajah masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat terutama penghuni perdesaan dan tepi hutan, di
daerah terpencil di luar pulau Jawa. Walaupun secara keseluruhan prevalensi
penyakit ini di Indonesia telah terjadi penurunan setelah dilakukan
pengobatan masal pada penderita sejak Pelita I, namun penyakit ini di
daerah-daerah tertentu masih tetap tinggi prevalensinya. Daerah tersebut
merupakan daerah kantong endemik dan selalu menjadi sumber penularan
ke daerah lainnya (Dep.Kes.RI., 1999).
Ketiga, berkaitan dengan rencana strategik yang dicanangkan Departemen
Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman 20012010 yaitu: Elimination of
lymphatic Filariasis (pemerintah mengharapkan semua penduduk
bermukim di daerah endemik filariasis hares dapat hidup sehat dan bebas
infeksi filaria)
Riwayat tentang penyakit kaki gajahldemam kaki gajah/elefantiasis atau
filariasis limfatik dan parasit penyebabnya.
Penyakit kaki gajah telah dikenal 600 tahun sebelum Masehi, sejak diketahui
ada seorang pengikut agama Budha menderita kakinya bengkak seperti kaki
gajah sehingga orang tersebut diusir dari lingkungannya (Laurence, 1967).
Bentuk muda penyebab penyakit ini (mikrofilaria) ditemukan pertama kali di
dalam cairan hidrokel penderita dari Havana, kemudian dapat pula
ditemukan di dalam urin penderita dari Brasil dan di dalam darah
penderita dari India (Lewis, 1872), sedangkan bcntuk dewasanya
ditemukan Bancroft pada tahun 1876 karena itu diberi nama Filaria
bancrofti. Pada tahun 1921 spesies tersebut dimasukkan dalam genus
Wuchereria..
Mikrofilaria dalam darah yang dihisap nyamuk betina meng alami
perubahan bentuk dan berkembang menjadi larva yang merupakan stadium
infektif (Manson, 1878 cit Gordon, 1996). Dari basil pengamatannya,
Manson membuat kesimpulan bahwa nyamuk tersebut jika mati dan
berada di dalam air, stadium larva akan keluar dari nyamuk kemudian
menembus kulit manusia secara aktif pada waktu kontak dengan air atau
manusia dapat terinfeksi jika minum air mengandung larva. Pendapat ini
dianggap tidak benar oleh Low (1900) yang melaporkan bahwa manusia
dapat terinfeksi penyakit ini jika nyamuk infektif menghisap darah manusia,
pada saat itu larva infektif masuk ke dalam tubuh manusia. Berdasarkan hasil
penemuan bersejarah dan menarik dari kedua ilmuwan tersebut, disepakati
bahwa nyamuk dapat berperan sebagai vektor )(arena dapat menularkan
penyakit ini ke orang lain.
Penyebab penyakit kaki gajah spesies filaria limfatik lainnya dilaporkan oleh
Brug yang menemukan mikrofilaria Filaria malayi. Bentuk dewasa filaria
limfatik tersebut dijelaskan secara rinci oleh Rao dan Maplestone, dan
digolongkan dalam genus Brugia oleh Buckley. Filaria limfatik yang paling
akhir ditemukan yaitu Brugia timori, hanya ditemukan di Indonesia terutama
di Bagian Timur. Stadium mikrofilarianya dilaporkan pertama kali tahun
1964 oleh David dan Edeson ditemukan di Timor Portugis, kemudian
ditemukan pula di Kupang oleh Oemijati dan Lim Kiat Tjoen (1966),
dan akhirnya ditemukan pula di Flores oleh Kurihara dan Oemijati (1975).
Stadium dewasanya dapat diketahui dengan jelas setelah dilakukan infeksi
percobaan hewan coba Meriones unguiculatus (gerbil/jird).
Filariasis limfatik global dan permasalahannya.
Filariasis limfatik global terutama disebabkan filaria limfatik spesies
Wuchereria bancrofti, tersebar luas harnpir di seluruh negara di dunia terutama
beriklim tropis namun dapat pula ditemukan dinegara beriklim subtropis
sebagai berikut: Afrika, India, Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik, Amerika
Selatan dan Amerika Tengah (WHO, 1997). Filariasis limfatik dikategorikan
dalam 6 penyakit tropis paling penting (the big six) yang menjadi masalah
kesehatan dunia disamping malaria, schistosomiasis, leishmaniasis,
tripanosorniasis dan Iepra (WHO, 1974; WHO,1979). Filariasis limfatik
stadium lanjut dapat menyebahkan cacat fisik permanen. Hal tersebut
merupakan salah satu faktor penghambat perkembangan sosial ekonomi
penduduk di beberapa negara berkembang di dunia (WHO, 1994).
Diperkirakan dari 120 juta penduduk di dunia terinfeksi, 42,7 juta
diantaranya menunjukkan gejala kronik filariasis limfatik seperti limfedema,
kaki gajah dan hidrokel testis. Keadaan tersebut dapat berakibat
menurunkan prestasi kerja bahkan ada yang tidak mampu bekerja sama
sekali sehingga hidupnya selalu tergantung kepada pertolongan orang lain
(WHO, 1997).
Filariasis banyak diderita pada usia produktif (15 - 44 th), laldlaki lebih
banyak terinfeksi dari pada perempuan. Cacat fisik sifatnya permanen juga
lebih banyak dijumpai pada laki-laki karena laki-laki sering keluar rumah
berkaitan dengan pekerjaannya, akibatnya lakilaki kemungkinan kontak
dengan nyamuk lebih besar. Sehingga tidak mengherankan jika infeksi filaria
akan berdampak kurang baik atau sangat berpengaruh terhadap sosial
ekonomi keluarga. Penderita filariasis juga mempunyai beban psikososial,
hidupnya terisolasi dari pergaulan masyarakat karena merasa malu
menderita cacat fisik, angka perceraian akan meningkat bagi yang sudah
berkeluarga dan kesulitan mendapatkan pasangan bagi yang belum
berkeluarga (WHO, 1994).
Namun demikian sebetulnya filariasis limfatik termasuk penyakit infeksi
masih bisa dibasrni (potentially eradicable). Strategi pengendalian filariasis
limfatik secara umum yang telah dilakukan WHO (1997) dan telah
diaplikasikan di berbagai negara adalah sebagai berikut:
1. Menurunkan angka penularan dengan cara mengobati inangnya agar
terjadi penurunan jumlah mikrofilaria di dalam darah dan mencegah
kontak antara inang dengan vektor dan menurunkan jumlah populasi
vektor. Pengobatan masal pada penderita dianjurkan dengan
berbagai macam cara yaitu: dosis tunggal diethylcarbamazine citrate (DEC)
6mg/kg berat badan/hari selama 12 had, ivermectin 400 µg/kg berat
badan sekali dalam satu tahun, kombinasi ivermectin 400 µg/kg berat
badan + DEC 6 mg/kg berat badan sekali dalam satu tahun, DEC 400 mg
sekali dalam setahun atau menggunakan garam-DEC (DEC fortified-salt):
0,15%41,3% jangka lama.
Adapun untuk menurunkan jumlah populasi vektor dianjurkan untuk
memanfaatkan toksin Bacillus sphaericus, polystiren beads yang dapat
menutup permukaan air sehingga sangat untuk membunuh stadium larva
nyamuk yang berperan sebagai vektor, dan penyemprotan insektisida
(jenis pyretroid), insecticide-impregnated bed nets yang keduanya dapat
membunuh stadium dewasanya.
2. Melakukan perawatan penderita yang menunjukkan gejala akut atau
kronik dan mencegah terjadinya infeksi samping. Obat yang dianjurkan
adalah topikal antibiotika dan anti jamur.
3. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan program pengendalian
filariasis.
Di berbagai negara di dunia telah dicoba mengendalikan filariasis
dengan strategi yang dianjurkan WHO seperti tersebut di atas dan telah
dipersiapkan dana cukup besar. Sebagai gambaran besarnya dana yang telah dikeluarkan
masing-masing negara, penulis laporkan seperti tabel berikut (WHO, 1997):
Negara Jumlah dana (US $) Strategi pengendalian
setiap tahun
China 1,279,000 Pengobatan masal DEC
Mesir 500,000 Pengobatan masal DEC
Pengendalian vektor
Polynesia 50,000 Pengobatan masal DEC
India 1,000,000 Pengobatan masal DEC
Pengendalian vektor
Malaysia 500,000 Pengobatan masal DEC
Papua New Guinea 90,000 Pengobatan masal DEC
Philippines 27,100 Pengobatan masal DEC
Sri Lanka 300,000 Pengobatan masal DEC
Tanzania 0 Pengendalian vektor
Thai land 1,000,000 Pengobatan masal DEC

Walaupun telah dikeluarkan dana cukup besar, jumlah penderita filariasis secara
global, akhir-akhir ini dilaporkan tetap tinggi. Pada tahun 1988, jumlah penderita
filariasis di dunia 902 juta, sedangkan
pada tahun 1997 jumlah penduduk terinfeksi bahkan bertambah menjadi 119,1 juta
(WHO, 1997). Hal ini merupakan tantangan sangat menarik bagi ilmuwan seluruh
dunia yang menekuni bidang filarial. Mengapa keadaan tersebut bisa terjadi?
Situasi filariasis limfatik di Indonesia dan permasalahannya (Dep. Kes. RI,
1999). Filariasis mulai diketahui di Indonesia sejak Haga dan Van Eecke (1889)
menemukan kasus elefantiasis skroti. Sejak itu banyak sekali laporan tentang
filariasis di seluruh Indonesia dan spesies maupun bionomik nyamuk yang berperan
sebagi vektor juga diselidiki. Pada tahun 1937 Brug membuat suatu rangkuman
tentang laporan filariasis di seluruh Indonesia. Pada waktu itu barn diketahui dua
spesies cacing filaria sebagai penyebab yaitu Wuchereria bancrofti dan Brugia malayi.
Bentuk mikrofilaria ditemukan di dalam darah pada waktu malam hari (periodik
noktuma). Ada mikrofilaria B. malayi yang mempunyai sifat subperiodik noktuma
atau nonperiodik dan selain dapat menginfeksi manusia juga dapat menginfeksi hewan
(kera dan kucing). Hal ini akan menimbulkan permasalahan tersendiri dalam
penanggulangannya, oleh karena selain manusia temyata kucing atau kera dapat
berperan sebagai sumber penularan. Pada tahun 1964 ditemukan mikrofilaria jenis lain
yaitu Brugia timori yang daerah penyebarannya sangat terbatas.
Pada awalnya penyebaran filariasis ditemukan hampir diseluruh Kepulauan
Indonesia dan banyak daerah yang merupakan daerah endemisitas tinggi. Sebagai
contoh dilaporkan bahwa angka mikrofilaria di P. Rote mencapai 70%, tetapi
sayangnya tidal( disebutkan spesies cacing filarianya. Dan ketiga spesies cacing filaria
limfatik tersebut di atas, B. malayi mempunyai daerah penyebaran paling luas di
Indonesia dan biasanya merupakan daerah kantong-kantong terutama di luar P.
Jawa (Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi) dengan tingkat endemisitas bervariasi.
Daerah tersebut umumnya jauh dan perkotaan sedangkan derajat sosial ekonomi
penduduk biasanya rendah dan selalu menjadi sumber penularan filariasis ke lain
daerah (Oerriijati, 1993). W. bancrofti terdapat endemik di Irian Jaya dan pulau-
pulau di dekatnya yang juga merupakan daerah-daerah kantong terisolasi di Kepulauan
Maluku dan Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, Sumatra dan Jawa. B. timori hanya
ditemukan di beberapa pulau yaitu Flores, Alor, Roti, Timor Timur dan Sumba (Joesoef
dan Cross, 1978). Namun demikian karena pengaruh globalisai dan kemajuan
tranportasi, perpindahan penduduk setiap saat dapat terjadi, sehingga sangat mungkin
penduduk di suatu daerah tertentu dapat terinfeksi campuran ketiga spesies Maria
tersebut di atas (Omijati, 1993).
Penanggulangan filariasis di Indonesia telah dimulai sejak Pelita I (1970) dan
dilakukan terutama pengobatan masal DEC dosis standar seperti disarankan WHO, di
berbagai daerah endemik filariasis. Cara pengobatan tersebut di Indonesia (terutama di
daerah B. malayi) menimbulkan efek samping berat dan ditolak penduduk, kemudian
diubah dengan dosis dan lama pengobatan bervariasi sehingga ditemukan dosis
efektif, tidak menimbulkan efek samping dan dapat diterima oleh masyarakat. Melihat
hasil berbagai penelitian, pengobatan DEC dosis berapapun akan menurunkan
prevalensi, sehingga pada waktu ini di daerah yang terjangkau pengobatan sulit
ditemukan angka mikrofilaria melebihi 5%. Namun masih banyak daerah-daerah belum
terjangkau dan merupakan kantong-kantong endemisitas tinggi, perlu diperhatikan.
WHO juga menganjurkan pengobatan masal dosis tunggal 400 mg DEC sekali
setahun. Tetapi dosis tersebut kurang tepat dan tidak disetujui di Indonesia karena
masih tetap menimbulkan efek samping tinggi. Sampai saat ini program
penanggulangan filariasis telah menjangkau daerah endemis meliputi 2004 desa, 451
kecamatan, 124 kabupaten di 22 propinsi. Dari awal pengobatan sampai sekarang
angka mikrofilaria cenderung menurun. Pada Pelita I angka miktrofilaria sebesar 21,6%
dengan kisaran 0-37,6% sedangkan pada tahun 1997 rerata angka mikrofilaria
sebesar 3,1% dengan kisaran 0,5-17,9% (Widarso dan Bambang lsmulyowono,
1998).
Penanggulangan filariasis yang diarahkan pada nyamuk berperan sebagai
vektor belum menjadi skala prioritas. Di Indonesia nyamuk berperan sebagai vektor
banyak sekali jenisnya. Agar pembrantasan vektor dengan insektisida berhasil
maksimal, efektif dan efisien harus diketahui bionomik masing-masing nyamuk. Ha] ini
merupakan hambatan tersendiri karena menimbulkan permasalahan baru berkaitan
timbulnya resistensi dan berdampak negatif terhadap lingkungan. Altematif lain
pembrantasan vektor filariasis yang dapat dilaksanakan adalah melalui penyuluhan
kesehatan masyarakat (PKM) agar masyarakat di daerah endemik filariasis dapat
mengurangi kontak dengan nyamuk vektor sehingga dapat memperkecil kemungkinan
terjadinya penularan. Di samping hal tersebut di atas pembrantasan vektor filariasis
harus dilakukan secara lintas sektoral dan lintas program, terutama menyebabkan
terjadinya perubahan lingkungan yang dapat mengurangi tempat perindukan vektor.
Perubahan lingkungan ' sangat mempengaruhi endemisitas filariasis. Perubahan
lingkungan penyebab hilangnya tempat berkembang biak nyamuk vektor dapat
menurunkan endemisitas, bahkan dapat mengeliminasi filariasis di suatu daerah.
Tetapi sebaliknya perubahan lingkungan penyebab bertambahnya tempat
berkembang biak vektor dapat menaikkan endemisitas. Juga perilaku penduduk
dapat mengurangi atau menambah kemungkinan penularan.
Pembangunan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan hidup
masyarakat. Meskipun demikian adanya pembangunan fisik sering kali
mengakibatkan terjadinya perubahan lingkungan yang sangat erat kaitannya dengan
keberadaan vektor filariasis. Dampak pembangunan fisik terhadap keberadaan vektor
dapat bersifat positif atau negatif. Dengan adanya pembangunan fisik, tempat-tempat
perindukan vektor dapat berkurang dan akan menurunkan endemisitas filariasis atau
bahkan mengeliminasi filariasis di daerah tersebut. Namun demikian sering pula
pembangunan fisik dapat berakibat sebaliknya yaitu dapat membentuk tempat-
tempat perindukan vektor baru, populasi vektor naik dan berakibat meningkatkan
endemisitas filariasis.
Yang tidak kurang penting adalah perpindahan penduduk seperti transmigrasi terus
dilaksanakan di Indonesia. Masuknya transmigran berasal dari daerah non-endemis
ke daerah endemis dapat dengan rnudah terinfeksi filariasis dan meningkatkan
endemisitas. Sebaliknya perpindahan penduduk dan daerah endemis ke daerah non-
endemis dapat berperan sebagai sumber penularan, jika daerah tersebut terdapat nyamuk
berperan sebagai vektor akan berakibat menimbulkan daerah endemis baru dan
permasalahan barn pula.
Melihat berbagai faktor tersebut di atas perlu dipikirkan beberapa alternatif
penanggulangan filariasis memperhatikan kondisi dan situasi setempat.
,
Diagnosis filariasis limfatik. Cara diagnosis filariasis yang benar
mutlak hams diketahui agar dapat mengindentifikasi daerahdaerah yang
menjadi sumber penularan dan perlu mendapatkan prioritas pengobatan
serta dapat menemukan daerah endemis baru. Cara diagnosis tepat juga
mempunyai peran penting untuk mengevaluasi keberhasilan program
pengendalian filariasis di suatu daerah. Ketajaman diagnosis sangat
diperlukan untuk keberhasilan Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun 2010.
Kondisi Indonesia yang sangat bervariasi membutuhkan beberapa metoda
diagnosis, dimana pengelola program filariasis di daerah dapat memilih cara
diagnosis sesuai dengan kemampuan dan fasilitas tersedia.
Diagnosis filariasis limfatik telah banyak mengalami perkembangan dari
cara konvensional sederhana dan murah sampai cara diagnosis biaya mahal
mempergunakan alat-alat yang canggih hanya dapat dilakukan di laboratorium
tertentu. Cara diagnosis tersebut di antaranya: pemeriksaan klinis,
pemeriksaan langsung darah segar ujung jari, pemeriksaan darah jari/vena
dengan pewarnaan, pemeriksaan darah dengan quantitatif buffy coat (QBC),
pemeriksaan ultra sound (filaria dance sign), pemeriksaan serologis deteksi
antibodi, deteksi antigen beredar dengan teknik ELISA Sandwich menggunakan
antibodi monoklonal, immuno chromatographic test (ICT Filariasis), deteksi
DNA dengan metoda polymerase chain reaction (PCR) dan lymphangiography.
Masing-masing cara diagnosis tersebut mempunyai kelebihan dan
kekurangannya tergantung tujuannya. Dalam memilih cara diagnosis perlu
dipertimbangkan sensitivitas, spesifisitas, biaya yang tersedia dan tenaga
pelaksana.
Untuk keperluan survei di lapangan, pemeriksaan klinis merupakan cara
diagnosis paling cepat dan murah dan dapat digunakan dalam
pelaksanaan rapid survey. Gejala klinis filariasis sangat bervariasi,
mempunyai spektrum sangat luas dan sangat tergantung masing-masing
individu dan spesies penyebabnya. Penderita tidak menunjukkan gejala sama
sekali (asimtomatik), atau menunjukkan gejala-gejala akut dan ada yang
berkembang menjadi kronik. Gejalagejala Minis seperti demam, limfadenitis,
limfangitis desendens, abses, funikulitis, epididimitis dan orkitis sifatnya
sementara dan dapat sembuh spontan tanpa pengobatan serta dapat terjadi
berulangulang. Gejala akut (demam) biasanya muncul jika penderita bekerja
berat (kelelahan) dan segera hilang setelah istirahat penuh. Limfadenitis
dan limfangitis dapat timbul pada sistem limfe dimana saja, tetapi kebanyakan di
daerah lipat paha kemudian menjalar ke arah distal (desendens) terlihat sepert
tali berwarna merah dan terasa nyeri. Gejala kronik seperti sikatrik, hidrokel testis
dan elefantiasis sifatnya menetap. Pada filariasis bancrofti dapat terjadi
elefantiasis pada seluruh kaki atau lengan sedangkan pada filariasis malayi
atau timori hanya terjadi elefantiasis di bawah lutut. Di daerah endemik filariasis
munculnya gejala-gejala klinis bervariasi, ada yang cepat, ada yang lambat
sampai beberapa tahun, tetapi ada yang tidak menunjukkan gejala klinis sama
sekali sepanjang hidupnya walaupun sudah terinfeksi filaria. Penduduk berasal
dari daerah non-endemis filariasis apabila terkena infeksi pada umumnya akan
menunjukkan gejala-gejala akut, munculnya lebih cepat daripada penduduk asli dan
penderita tampak sakit lebih berat.
Diagnosis filariasis berdasarkan pemeriksaan Minis memang murah dan
cepat, namun banyak kelemahannya karena sebagian besar penderita walaupun
telah terinfeksi filaria tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali (asimtomatik)
terutama pada penduduk asli, sehingga diperlukan konfirmasi cara diagnosis
lainnya. Pemeriksaan Minis dapat dimanfaatkan untuk dengan cepat
memperkirakan atau menentukan tingkat endemisitas suatu daerah, karena
berdasarkan pengalaman beberapa kali penelitian dapat disimpulkan bahwa jika
diantara WOO penduduk ditemukan seorang menderita elefantiasis dapat
diperkirakan ada 10 penderita menunjukkan gejala Minis akut dan kurang lebih
terdapat 100 penderita yang didalam darahnya terdapat mikrofilaria (10%).
Akibatnya daerah tersebut dengan cepat dapat diperkirakan tingkat
endemisitasnya, yaitu 10% (Dep.Kes.RI., 1999). Atau hasil pemeriksaan klinis
merupakan petunjuk awal ditemukannya daerah endemik filariasis baru, dan
hash temuan ini hams segera dilanjutkan dengan pemeriksaan darah ujung jari
untuk menentukan angka mikrofilaria di daerah tersebut dengan pasti.
Konfirmasi diagnosis filariasis yang paling tepat dan murah adalah dengan
cara pemeriksaan mikroskopis darah ujung jari untuk mengetahui adanya
mikrofilaria. Darah ujung jari yang diambil waktu malam hari (secara teknis tidak
disukai penduduk) dapat dipulas dengan Giemsa atau dilihat secara langsung
dengan mikroskop. Pemeriksaan darah segar tanpa pewarnaan secara langsung
sangat bermanfaat bagi daerah barn yang masyarakatnya belum mengenal
filariasis dan cam diagnosis ini sekaligus dapat digunakan sebagai media
penyuluhan. Petugas dapat mendemonstrasikan mikrofilaria yang masih hidup
dan bergerak-gerak di dalam darah segar kepada masyarakat. Dengan demikian
masyarakat dapat diyakinkan menderita filariasis walaupun tidak menunjukkan
gejala-gejala Minis, sehingga masyarakat di harapkan kesadarannya ikut serta
berperan aktif dalam rangka penanggulangan filariasis.
Hasil pemeriksaan darah ujung jari mempunyai arti sangat penting untuk
menentukan kebijaksaanan program. Berkaitan keterbatasan dana, pemerintah
membuat kebijaksanaan bahwa pengobatan masal akan dilakukan jika daerah
tersebut angka mikrofilarianya di atas 1% dan sebaliknya hanya akan dilakukan
pengobatan selektif jika hanya ditemukan angka mikrofilaria di bawah 1%
(Dep.Kes.R1., 2001). Namun pada kasus-kasus filariasis tertentu tidak dapat
didiagnosis dengan pemeriksaan darah ujung jari, misalnya: filariasis stadium
prepaten, filariasis dengan kepadatan mikrofilaria di dalam darah rendah, occult
filariasis dan infeksi dengan satu macam jenis kelamin casing filaria. Kasus-
kasus tersebut di daerah endemik kecuali occult filariasis dikategorikan dalam
kelompok asimtomatik amikrofilaremia. Apabila kelompok asimtomatik
amikrofilaremia tersebut jumlahnya cukup banyak akan berpengaruh dalam
menentukan kebijaksanaan program karena kelompok tersebut tidak terdiagnosis
pasti sehingga akan mempengaruhi besarnya angka mikrofilaria disuatu daerah
endemik. Untuk mengatasi masalah tersebut dan mempertajam diagnosis
diperlukan konfirmasi cars diagnosis filariasis lainnya.
Diagnosis serologis deteksi antigen beredar menggunakan antibodi
monoklonal spesifik merupakan cara diagnosis filariasis paling sensitif pada
saat ini (Soeyoko, 1998). Antigen beredar dapat ditemukan pada penderita
stadium prepaten, occult filariasis maupun pada penderita asimtomatik
amikrofilaremia sehingga kelompok penderita tersebut dapat didiagnosis
dengan pasti walaupun di dalam darahnya tidak ditemukan mikrofilaria.
Antigen beredar terdapat di dalam serum, urin, air susu ibu maupun cairan
hidrokel penderita, baik siang hari ataupun malam hari sehingga untuk
keperluan diagnosis serologis deteksi antigen beredar pengambilan sampel
dapat dilakukan pada siang had, dan secara teknis tidak mengganggu
penderita. Namun cara tersebut masih mempunyai beberapa kelemahan
karena antigen beredar jumlahnya sedikit, sehingga diperlukan teknis
diagnosis serologis khusus (sandwich ELISA, dot ELISA atau Imunositokimia)
dan antibodi monoklonal mempunyai kemampuan batas minimal tertentu
mengikat antigen beredar, artinya tidak dapat dimanfaatkan untuk diagnosis
filariasis intensitas infeksi ringan sekali (Soeyoko, 1998). Penderita inilah yang
sebetulnya sangat berbahaya karena lobos pengobatan dan dikelak kemudian
hari akan menjadi sumber penularan bagi orang lain sehingga infeksi filariasis
akan terus berkelanjutan.
Penduduk di daerah endemik filariasis terutama di Indonesia, tidak
jarang menderita infeksi campuran antara filariasis dengan infeksi parasit
lainnya, sehingga cara diagnosis serologis konvensional tidak banyak
bermanfaat untuk survei di lapangan karena selalu terjadi reaksi silang,
walaupun cars diagnosis tersebut sederhana dan murah. Jika di bandingkan
dengan cara diagnosis serologis konvensional (deteksi antibodi poliklonal),
cara diagnosis deteksi antigen beredar mempunyai beberapa keunggulan
diantaranya sebagai berikut: 1)hasilnya selalu spesifik tidak pemah terjadi
reaksi silang dengan infeksi lainnya, sedangkan diagnosis serologis
konvensional selalu terjadi reaksi silang dengan infeksi lainnya; 2) dapat
membedakan apakah infeksi filaria masih aktif atau tidak, karena antigen
beredar hanya dapat ditemukan jika cacing filaria masih hidup (infeksi aktif),
sedangkan antibodi masih dapat ditemukan dalam jangka waktu tertentu
walaupun filarianya sudah mati (sudah diobati); 3) diagnosis serologis
konvensional tidak dapat dimanfaatkan diagnosis filariasis inununocompromised
(tidak dapat membentuk antibodi poliklonal
karena kelainan sistem imun), sedangkan pada pendenta tersebut antigen
beredar tetap dapat diproduksi sehingga dapat didiagnosis dengan tepat; dan 4)
cara diagnosis deteksi antigen beredar merupakan cara paling tepat
mengevaluasi keberhasilan pengobatan masal penduduk di daerah endemik
filariasis.
Namun demikian cara diagnosis serologis filariasis deteksi antigen
beredar menggunakan antibodi monoklonal belum dapat dimanfaatkan program
di lapangan terutama di Indonesia, karena di Indonesia terdapat 3 spesies
penyebab filariasis yaitu W bancrofti, B. malayi dan B. timori. Pada hal sifat
antibodi monoklonal sangat spesifik, antibodi monoklonal W. bancrofti hanya
dapat mengenal W. bancrofti dan tidak mengenal filaria lainnya. Antibodi
monoklonal yang telah tersedia sebagai kit diagnostik baru terhadap W. bancrofti
dan disebut ICT Filariasis (ImmunoChromatographic Test Filariasis) sedangkan
terhadap B. malayi masih dalam bentuk prototipe diagnostik. Antibodi
monoklonal spesifik terhadap B. timori belum ada yang memproduksi.
Kehebatan antibodi monoklonal ini baru dapat dimanfaatkan program jika telah
mempunyai 3 macam antibodi monoklonal spesifik yaitu terhadap W. bancrofti, B.
malayi dan B. timori terutama untuk evaluasi keberhasilan pengobatan masal
disuatu daerah. Jika dengan ketiga macam antibodi monoklonal yang spesifik,
hasil pemeriksaan antigen beredar negatif baru dapat dinyatakan bahwa
daerah tersebut benar-benar bebas filariasis dan pelaksanaan program
penanggulangan filariasis dapat dikatakan berhasil sempurna. Sayangnya
diagnosis cara ini masih merupakan harapan karena memerlukan dana besar
memproduksi antibodi monoklonal dan aplikasinya hanya dapat dilakukan di
laboratorium cukup canggih peralatannya yang berada di kota-kota besar,
sedangkan daerah endemis filariasis merupakan daerah terpencil sulit
dijangkau dan terisolasi.
Sebetulnya masih ada beberapa cara diagnosis filariasis lainnya tetapi jika
disesuaikan tujuan survei di lapangan, kurang tepat, banyak kelemahannya dan
memerlukan biaya cukup besar. Cara diagnosis tersebut adalah sebagai berikut:
1. Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam darah dengan teknik Quantitative
fluff y Coat ((PC). Darah diambil dengan kapiler telah berisi heparin,
EDTA dan acridine orange, kemudian disentrifugasi, sehingga mikrofilaria
terkonsentrasi di daerah huffy coat. Acridine orange berfungsi memberi
pewarnaan mikrofilaria, sehingga morfologinya dapat dilihat jelas dalam
waktu singkat (Long et at.,1990). Cara ini hanya dapat digunakan
untuk diagnosis filariasis jika jumlah mikrofilaria di dalam darah cukup
banyak (mempunyai kepadatan yang tinggi). Cara diagnosis ini memang
hasilnya cepat segera diketahui namun diperlukan biaya cukup besar dan
tidak dapat dimanfaatkan mendiagnosis stadium prepaten maupun occult
filariasisItropical pulmonary eosinophilia.
2. Pemeriksaan mikrofilaria dalam win atau cairan hidrokel. Thin atau
cairan hidrokel disentrifugasi, bagian supernatan dibuang sedangkan yang
diperiksa endapannya. Cara diagnosis ini biaya nya murah, namun
banyak mikrofilaria rusak akibat sentrifugasi sehingga morfologi
mikrofilaria tidak jelas (tidak dapat diidentifikasi spesiesnya) dan hanya
dapat dimanfaatkan diagnosis filariasis bancrofti (WHO, 1987).
3. Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam darah filtrasi (darah yang disaring).
Darah vena diambil 1-5 ml, disaring membran filter (diameter lubang filter
5pim) yang dipasang pada nukleopor. Membran filter dikeringkan, difiksasi,
diwamai Giemsa. Cara pemeriksaan ini paling peka mendeteksi
mikrofilaria, tetapi biayanya mahal dan tidak dapat menentukan
spesiesnya karena bentuk mikrofilaria tidak teratur (WHO, 1987)
4. Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam darah dengan teknik konsentrasi
Knott's. Darah vena diencerkan dengan formalin 2% dengan perbandingan
1:10, kemudian disentrifugasi. Bagian supernatan dibuang. Endapan
diperiksa, agar mikrofilaria dapat terlihat jelas diteteskan metilen biro
1%. Cara ini kesalahan diagnosis lebih besar dan cara filtrasi, karena
mikrofilaria dapat hilang atau rusak pada proses pengendapan (WHO, 1987)
5. Pemeriksaan cacing dewasa biopsi kelenjar limfe. Kelenjar limfe dibiopsi
kemudian dibuat sediaan jaringan. Pada umumnya cacingnya sudah
coati bahkan kadang-kadang telah mengalami kalsifikasi, mikrofilaria
terlihat disekitar cacing dewasa atau didalam uterusnya. Cara ini jarang
sekali digunakan diagnosis filariasis (WHO, 1987).
6. Pemeriksaan cacing dewasa ultra sound. Diagnosis ini memperlihatkan
gerakan cacing dewasa di dalam saluran limfe di daerah skrotum penderita
filariasis bancrofti. Gerakan tersebut dinamakan filaria dance sign (Amaral et
al., 1994). Filariasis bancrofti dengan mikrofilaremia, dengan ultra sound, 80%
di antaranya memperlihatkanfilaria dance sign (Noroes et al., 1996). Cara
diagnosis ini paling tepat mengetahui efek obat antifilaria terhadap stadium
dewasanya secara in vivo (Dreyer et al., 1995a; 1995b).
7. Cara diagnosis molekular. Cara diagnosis ini berdasarkan deteksi DNA
mikrofilaria yang berada di dalam darah dengan metoda PCR terutama di
daerah kepadatan mikrofilaria dalam darah sangat rendah, sering pula
dimanfaatkan evaluasi program pengobatan masal filariasis. Cara ini
hasilnya sangat spesifik, lebih peka dan hasil pemeriksaan darah filtrasi,
tetapi biayanya mahal, memerlukan alat-alat canggih dan tidak dapat
digunakan diagnosis kelompok penduduk asimtomatik amikrofilaremia maupun
occult filariasis. (Rahmah et al., 1998). Dengan metoda PCR selain dapat
mendeteksi mikrofilaria dalam darah (satu mikrofilaria dalam 1 ml darah) juga
dapat mendeteksi larva stadium infektif dalam nyamuk (satu larva infektif
dalam 1 ekor nyamuk) sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengetahui ada
tidaknya transmisi filariasis di suatu daerah endemik. Keuntungan lain metoda
ini, hasilnya dapat segera diketahui dalam waktu singkat walaupun jumlah
sampel yang diperiksa cukup banyak. Berdasarkan pengalaman di
lapangan seorang teknisi dapat memeriksa 1000 sampel darah dan 3600
nyamuk dalam waktu satu hari (WHO, 1997).
8. Lymphangiography. Cara diagnosis ini bertujuan melihat adanya cacing
dewasa di dalam saluran limfe atau perubahan yang terjadi pada saluran limfe
dengan bantuan sinar X. Cara diagnosis ini jelas tidak dapat diaplikasikan di
lapangan untuk diagnosis filariasis secara masal. Lymphangiography
digunakan untuk kasus tertentu dengan tujuan tertentu pula dan hanya
dapat dilaksanakan di rumah sakit dengan peralatan cukup canggih yang
pada umumnya berada di kota besar.
Dari fakta-fakta tersebut diatas dan pengalaman dilapangan maka cara
diagnosis filariasis di lapangan satnpai saat ini masih belum memuaskan dan
1masih perlu pemikiran lanjut.
Hadirin yang terhormat,

b. Vektor filariasis.
Selain diperlukan cara diagnosis filariasis tepat, praktis dan murah,
untuk melakukan usaha penanggulangan filariasis, faktor lainnya yang
harus diketahui lebih dahulu adalah cara penyebarannya. Filariasis di
Indonesia disebabkan 3 spesies cacing filaria dan secara epidemiologi
terdapat 6 tipe, masing-masing tipe disebarkan nyamuk yang berbeda-
beda tata hidupnya (binomiknya) . Di Indonesia saat ini telah diketahui
ada 23 spesies nyamuk dari getis Anopheles, Culex, Mansonia dan
Armigeres yang dapat berperan sebagai vektor filariasis (Dep.Kes.RI.,
1999). Adapun yang dimaksud bionomik nyamuk adalah berbagai
perilaku kehidupan nyamuk seperti: perilaku berkembang biak, perilaku
menggigit (mencari darah) dan perilaku beristirahat.
Masing-masing spesies nyamuk mempunyai tempat perindukan berbeda-
beda misalnya: di rawa-rawa, air kotor (comberan), air sawah, air
laguna. Nyamuk dapat bersifat antropofilik (menyukai darah manusia),
zoofilik (menyukai darah hewan) dan zooantropofilik (menyukai darah
hewan maupun manusia), eksofagik (menggigit diluar rumah) dan
endofagik (menggigit di dalam rumah). Tempat beristirahat nyamukjuga
berbeda-beda tergantung spesiesnya. Pada umumnya nyamuk
beristirahat pada tempat-tempat teduh, seperti di semak-semak di
sekitar tempat perindukan dan di dalam rumah pada tempet-tempat
yang gelap. Perilaku nyamuk sebagai vektor filariasis sangat
menentukan distribusi filariasis. Setiap daerah endemis filariasis
umumnya mempunyai spesies nyamuk berbeda yang dapat menjadi
vektor utama dan spesies nyamuk lainnya hanya bersifat vektor
potensial. Dengan demikian penanggulangan filariasis berwawasan
vektor antar daerah akan berbeda pelaksanaannya. Hal inilah yang
merupakan salah satu faktor timbulnya permasalahan
penanggulangan filariasis. Cara penanggulangan filariasis di suatu
daerah pengelolaannya tidak akan sama dengan daerah lainnya.
Bahkan cara penanggulangan filariasis yang dianjurkan WHO belum
dapat diaplikasikan dan belum menjadi program prioritas di Indonesia.
Berdasarkan epidemiologinya, penyebab filariasis di Indonesia
dibedakan 6 tipe dan disebarkan oleh berbagai spesies nyamuk:
1. Wuchereria bancrofti ditemukan di daerah perkotaan
(urban) seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang dan Semarang.
Stadium mikrofilarianya mempunyai sifat periodik nokturna dan
disebarkan nyamuk Culex quenquefasciatus yang
mempunyai tempat berkembang biak di air kotor sekitar
rumah (Oemijati, 1993)
2. Wuchereria bancrofti ditemukan di daerah perdesaan
(rural). Tipe ini mempunyai sifat periodik nokturna, ditemukan
di luar P. Jawa terutama di Irian Jaya dan dapat disebarkan
bermacam-macam jenis nyamuk, yaitu An. farauti, An.
subpictus, An. punctulatus, Ae. Kochi dan Cx. bitaeniorhyncus
(Lie & Rees, 1958; Omemijati, 1993).
3. Brugia malayi ditemukan di daerah berawa-rawa dan
disebarkan oleh nyamuk Ma. uniformis, Ma. indiana dan
Ma. dives, disamping menginfeksi manusia dapat
menginfeksi hewan terutama kucing dan kera. Stadium
mikrofilarianya ditemukan di dalam darah tepi pada waktu
malam atau siang hari, narnun pada waktu malam hari
jumlahnya lebih banyak jika dibanding siang hari. B. malayi
tipe ini banyak ditemukan di Sumatra, Kalimantan dan Maluku
(Oemijati,1993)
4. Brugia malayi ditemukan di daerah persawahan,
disebarkan nyamuk An. barbirostris, stadium
mikrofilarianya mempunyai sifat periodik nokturna dan
hanya terdapat di daerah Sulawesi (Partono et al, 1972;
Oemijati, 1993)
5. Brugia malayi ditemukan di hutan tertutup bersifat
nonperiodik, disebarkan nyamuk Ma. bonneae dan Ma.
uniformis. Stadium mikrofilarianya ditemukan di dalam darah
balk malam maupun slang hari, banyak terdapat di daerah
hutan tertutup pedalaman Kalimantan ( Sujadi, 1996).
6. Brugia titnori bersifat periodik nokturna ditemukan di
daerah Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara, Timor Timur
dan mungkin juga di daerah lain dan dapat ditularkan nyamuk
An. barbirostris, An. vagus dan An. subpictus
(Dep.Kes.R1.,1999).

c. Pengendalian Vektor
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas sangatlah jelas
bahwa pengendalian filariasis dengan memutus rantai
penularan berwawasan vektor tidak mudah dilaksanakan
mengingat banyaknya jenis nyamuk yang berperan sebagai
vektor dan masing-masing nyamuk mempunyai perilaku
kehidupan khusus.
Sebenarnya prinsip utama agar terhindar infeksi filariasis adalah
menghindarkan din dan gigitan nyamuk vektor infektif atau
ben.isaha seminimal mungkin kontak dengan nyamuk vektor
menggunakan repellent, bed nets, house screening, house
siting, pyrethrum house spraying dan antimosquito fumigants.
Disamping usaha pengendalian vektor seperti tersebut di atas,
pengurangan populasi vektor perlu mendapatkan perhatian
dengan cara: 1) reduction of vector breeding habitats dengan
perbaikan keadaan lingkungan; dan 2) reduction vector
densities dengan pengendalian kimiawi (insektisida) maupun
biologis (Sucharit, 1993).
Usaha paling mudah dan praktis agar tidak kontak
dengan nyamuk vektor, sebagai contoh diantaranya adalah tidur di
dalam kelambu tanpa atau dengan insecticide impregnation seperti
misalnya perrnethrin atau deltamethrin. Kelambu sebaiknya di rendam
larutan insektisida dosis 0,5 g/m2 kemudian dikeringkan, daya
insektisida tersebut dapat bertahan sampai ± 6 bulan. Nyamuk yang
hinggap pada kelambu mengandung insektisida lethal dose seperti
tersebut diatas akan segera matt. Cara ini memang praktis namun
tidak mudah diterima masyarakat tingkat pendidikan masih rendah.
Program ini pemah dilaksanakan di Flores dan tidak banyak
bermanfaat (komunikasi pribadi dengan NAMRU-11), karena
penduduk enggan tidur di dalam kelambu pada suhu terlalu panas.
Kelambu dilepas, dilipat diletakkan di sudut ruangan dan ada yang
disimpan di dalam almari, atau kelambu tetap dipasang namun
tidurnya diluar kelambu karena merasa lebih nyaman walaupun tetap
digigit nyamuk. Setelah dilakukan evaluasi ternyata angka
mikrofilaria tetap tinggi. Dan ken yataan tersebut penyuluhan terhadap
masyarakat tentang masalah filariasis dan dampaknya perlu
ditingkatkan demi keberhasilan program. Pengalaman tersebut
merupakan pengalaman berharga bagi pembuat kebijaksanaan bahwa
mengubah sosial budaya penduduk tidaklah semudah membalik
telapak tangan dan perlu mendapatkan perhatian sungguh-sungguh
jika diinginkan penanggulangan filariasis dapat berhasil dengan baik.
Di Thailand telah dicoba pengendalian vektor filariasis berfokus
perbaikan lingkungan sebagai berikut (Sucharit, 1993): 1) memper-
baiki sistem drainage di perkotaan dengan maksud mengurangi
penyebaran filariasis bancrofti tipe urban; 2) meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam usaha mencegah timbulnya man-made container
breeding site mosquito; 3) menghilangkan tanaman air (Pistia,
Eichornia) di rawa-rawa sangat bermanfaat dalam pengendalian
populasi nyamuk Mansonia sp ; dan 4) meningkatkan penggunaan
polystylene balls sebagai usaha membunuh/mencegah perkembangan
larva menjadi pupa terutama nyamuk Culex quenquefasciatus.
Usaha pengendalian vektor filariasis cara seperti tersebut di atas temyata
dapat menurunkan angka infeksi filariasis dari 16,65% menjadi 0,9% (Sucharit,
1993).
Berbagai contoh pengalaman peneliti lain dalam usaha pengendalian vektor
yang kelihatannya juga cukup berhasil dapat dilaporkan sebagai berikut:
1. Pengendalian biologis dengan memanfaatkan:
a. Dm Gambussia affinis dan Poicillia reticulata sebagai predator
(pemakan larva nyamuk). Kedua jenis ikan tersebut ternyata kurang efektif
di daerah beriklim tropis (di atas 29° C).
a. Jenis cyclop tertentu (Mesocyclops aspericornis) berdasarkan penelitian
dapat menurunkan populasi larva Aedes polynesiensis karena sifatnya
sebagai predator larva stadium satu (Riviere et al., 1987)
c. Endotoksin Bacillus thuringiensis H-14 sangat efektif terhadap larva
nyamuk Aedes dan Anopheles terutama yang masih stadium awal.
Sedangkan endotoksin Bacillus sphaericus (strain 1593 dan 2362)
sangat efektif terhadap larva nyamuk Culex maupun Mansonia. Jenis
bakteria lainnya yaitu Clostridium bivermentans yang diisolasi dan sampel
tanah yang diperoleh di daerah pantai (mangrove swamp) di Malaysia
mampu memproduksi toksin bersifat larvicide terhadap nyamuk Aedes
aegypti, Anopheles maculates dan Mansonia uniformis. Sedangakan
terhadap larva Culex quenquefasciatus kurang bermanfaat ( Lee &
Seleena, 1990)
d. Hormon yang dapat menghambat perkembangan nyamuk (insect
growth regulator/MR). Beberapa contoh jenis hormon seperti methopren,
OMS 1804, Altosid, Mons-0585, PH 60-38 dan S-31182 atau
pyriproxyfen dapat menghambat pemasakan (maturation) kutikula pada
saat terjadi perkembangan nyamuk dan larva, pupa menjadi dewasa.
Hormon tertentu misalnya methopren telah digunakan untuk usaha
pengendalian Cx. quenquefasciatus dengan dosis 1,0 mg dalam 1 liter air
dapat menghambat pertumbuhannya menjadi dewasa kurang lebih
selama 21 hari. Hormon Iainnya yaitu pyriproxyfen dapat menghambat
perkembangan nyamuk Culex, Aedes, Psorophora dan Anopheles
(Kamimura & Arkawa, 1991).
2. Pengendalian kimiawi. Hampir sebagian besar negara-negara di dunia
telah memanfaatkan insektisida untuk pengendalian vektor filariasis. Cara
ini banyak menimbulkan masalah diantaranya: dapat menimbulkan
resistensi fisiologis, pencemaran lingkungan, rnenyebabkan kematian bukan
sasaran dan dapat menimbulkan perubahan perilaku nyamuk. Walaupun
cara ini berdampak negatif terhadap lingkungan, masih tetap merupakan
harapan karena pengendalian secara biologis maupun mekanis
penerapannya di lapangan sangat terbatas (WHO, 1992). Sebagai contoh
insektisida golongan pyrethroid dan carbamat masih tetap merupakan harapan
karena kedua insektisida tersebut sangat efektif untuk nyamuk genus
Culex maupun Anopheles yang suka menghisap darah dan beristirahat di
daiam rumah.
Dari berbagai basil penelitian seperti tersebut di atas dapat diambil
beberapa kegiatan pengendalian vektor sebagai acuan atau dapat dijadikan
sebagai pedoman pengendalian vektor filariasis, disesuaikan dana, fasilitas
yang tersedia, bionomik nyamuk dan keadaan sosial budaya yang pasti
tidak akan sama antar daerah endemik satu dengan lainnya
Hadirin yang terhormat,
Strategi pengobatan filariasis di Indonesia. Prinsip penanggulangan
filariasis adalah memutus rantai penularan. Pada saat ini pcnanggulangan
filariasis difokuskan dengan cara pengobatan masal pada penduduk yang
merupakan sumber infeksi agar angka mikrofilaria maupun kepadatan
mikrofilaria di dalam darah rendah sehingga tidak terjadi transmisi. Obat pilihan
yang sampai saat ini digunakan adalah diethylcarbamazine citrate (DEC). Obat

38
tersebut pada awalnya dengan nama dagang Hetrazan, pada saat ini telah
diproduksi secara nasional di Indonesia oleh PT Kimia Fauna dengan nama
dagang Filarzan berisi 100mg DEC setiap tabletnya. DEC telah dikenal sejak 40
tahun lalu, walaupun merupakan obat pilihan namun tidak disukai penderita
karena dapat menimbulkan efek samping berat terutama pada dosis tinggi.
Pengendalian filariasis di Indonesia dengan tujuan utama: menurunkan
angka mikrofilaria sampai < 1%, menurunkan angka kesakitan akut sampai 0%,
mengobati penderita seawal mungkin agar tidak berkembang menjadi kronik dan
mencegah agar penduduk bermukim di daerah endemik tidak terinfeksi dan
sakit karena filariasis. Namun sejauh ini masalah pengobatan banyak
mengalami kendala (Dep.Kes.RI., 2001). Walaupun telah banyak obat antifilaria
diuji coba, tetapi sampai saat ini yang paling efektif dan tepat digunakan di
lapangan hanyalah DEC. Sayangnya obat tersebut selalu menimbulkan efek
samping bagi siapa saja yang meminumnya. Berat atau ringannya efek samping
ini disamping tergantung dosis yang diberikan juga sangat tergantung spesies
penyebab dan intensitas infeksi. Pengobatan filariasis malayi akan menimbulkan
efek samping lebih berat dan filariasis bancrofti.
Pengobatan masal dengan dosis standar (6mg/kg13B/hari selama 12 hari)
seperti dianjurkan WHO, pernah dicoba di beberapa daerah endemik intensitas
infeksi tinggi, menyebabkan aktivitas sehari-hari penduduk setempat terhenti
sama sekali, karena timbulnya efek samping seperti panas tinggi, sakit kepala,
mual-mual dan muntah. Di samping itu gejala akut seperti adenolimfangitis dan
abses dapat muncul kembali. Keadaan ini pernah dilaporkan di berbagai daerah
endemik filariasis seperti: di Margolembo/Sulawesi Selatan ( Partono et al.,
1972), Lembah Palu/Sulawesi Tengah (Putrali et al., 1974, 1975) di Flores
Barat (Partono, 1979). Efek samping tersebut menyebabkan penduduk menolak
minum obat sehingga merupakan hambatan sangat besar, dan perlu
mendapatkan pemikiran tersendiri agar pengobatan filariasis dapat berhasil
dengan baik. Oleh karena itu pengobatan masal dosis standar hams ditunjang
tenaga kesehatan terlatih dan terdidik memberikan penyuluhan .kesehatan
tentang filariasis limfatik, tentang efek samping pengobatan dan yang lebih
penting lagi pengobatan dosis standar tidak mungkin dapat diterima masyarakat.
Karena itu perlu dicari dosis DEC yang cocok dan diterima masyarakat 'di
Indonesia dengan melakukan penelitian di lapangan.
Pengalaman penelitian berbagai macam cara pengobatan filariasis di
lapangan dengan berbagai variasi dosis DEC telah banyak dilakukan, dengan
tujuan pokok mengurangi efek samping, namun dengan dosis tersebut masih tetap
efektif. Pemberian obat dosis rendah dapat dilakukan setiap hari, setiap minggu
bahkan dapat setiap bulan. Pengobatan dapat berlangsung lama, agar dapat
mencapai dosis total 18-72 mg/kg berat badan. Berdasarkan hasil penelitian
pengobatan dosis rendah dapat efektif untuk filariasis malayi, sedangkan filariasis
bancrofti tetap membutuhkan dosis tinggi. Di samping itu pengobatan tidak cukup
satu siklus tetapi mernerlukan beberapa siklus.
Program nasional pengendalian filariasis limfatik di Indonesia sebetulnya
telah dilaksanakan sejak Pelita I. Tetapi berkaitan terbatasnya dana,
pengobatan masal diutamakan pada: daerah endemik lama dengan angka
mikrofilaria > 1%, daerah lama/baru yang merupakan daerah pembangunan,
daerah transmigrasi, pariwisata dan daerah perbatasan (Jusuf, 1975;
Dep.Kes.RI., 1992). Pengobatan filariasis malayi pernah dilakukan dengan dosis
5 mg/kg berat badan setiap hari selama 10 hari, dari rumah kerumah oleh tenaga
kesehatan dan disamping itu juga memberikan pengobatan menghilangkan efek
samping. Walaupun angka kesakitan dan angka mikrofilaria turun, tetapi tidak
pernah mencapai 0%, terbukti mikrofilaremia tetap ada sampai 3-5 kali siklus
pengobatan (Syamsudin & Isrin, 1983).
Pengobatan serupa telah dilakukan di Karakua (Flores Barat) dengan dosis
3x1 tablet/hari, pada penduduk yang jumlahnya hanya 100 orang. Setelah
minum obat, pada keesokan . harinya seluruh penduduk di daerah tersebut
tidak ada satupun yang melakukan aktifitas, semuanya tinggal di rumah
mengeluh sakit kepala, panas dan mual-mual. Pengobatan segera dihentikan dan
keadaan ini membuat stres berat bagi petugas kesehatan (Partono et A, 1979).
Pengobatan DEC dosis rendah dalam bentuk garam-DEC (DEC medicated salt),
terbukti dapat mengurangi efek samping dan hasilnya memuaskan. Cara tersebut
hanya berhasil bila pemakaian garam-DEC terkontrol baik. Tetapi penduduk
Indonesia yang banyak bertempat tinggal di daerah pantai, sering menggunakan
garam buatan sendiri sehingga pemakaian garam-DEC sukar diawasi tanpa
supervisi baik. Kebiasaan memakai garam buatan sendiri merupakan salah satu
faktor hambatan keberhasilan program, sehingga setelah dievaluasi angka
mikrofilaria di daerah tersebut masih tetap tinggi.
Pengobatan DEC dosis rendah dan garam-DEC telah diuji coba di
lapangan. Pemberian DEC dosis rendah 2 mg/kg BB/hari selama 25 hari pernah

40
dilaksanakan pada tahun 1977-1978 merupakan kerja sama antara NAMRU-ll
dengan Lit-Bang-Kes. RI. Setelah di evaluasi, 12 bulan kemudian diperoleh
angka penyembuhan 78. Pengobatan garam-DEC pemah dilakukan di daerah
pedalaman Kalimantan Selatan (Hariyani et al., 1983). Garam-DEC mengandung
kadar 0,1%4:1,2 DEC dan diperkirakan setiap orang per hari akan memperoleh
DEC 30-50 mg/kg berat badan. Pengobatan cara ini di evaluasi setelah satu
tahun kemudian, temyata mempunyai angka kesembuhann 76-78%, tanpa
ditemukan efek samping.
Pengobatan DEC dosis rendah jangka lama dari penduduk untuk penduduk,
telah diuji coba di beberapa tempat dengan situasi keadaan penduduk berbeda-
beda. Keberhasilannya sangat tergantung kepada parstisipasi masyarakat,
keadaan sosial budaya dan sikap penduduk terhadap kesehatan. Karena itu untuk
menghindari kegagalan, sebelum dilaksanakan pengobatan masal perlu diketahui
latar belakang keadaan penduduk. Cara pengobatan tersebut sangat dianjurkan
dan banyak keuntungannya karena dapat menekan biaya lapangan yang cukup
banyak dan tidak memerlukan pengawas tenaga kesehatan.
Pengobatan DEC dosis rendah jangka lama dari penduduk untuk penduduk
pertama kali dilakukan di Flores Barat yang merupakan daerah endemik B.
timori (Parton() et al., 1983). Penduduk setempat mudah sekali diajak bekerja
sama, walaupun rnasih mempunyai adat istiadat kuat. Sebagian besar penduduk
beragama katolik yang taat dan pergi kegereja setiap hari. Tokoh masyarakat
setempat kebanyakan dapat membaca dan menulis, anak-anak banyak mengikuti
pendidikan sekolah. Sensus penduduk dilakukan untuk mengetahui: nama, umur,
jenis kelamin, hubungan keluarga dan lamanya bertempat tinggal di daerah
tersebut. Di samping hal tersebut perlu dicatat riwayat demam filaria dan gejala
klinis lain. Pemeriksaan darah ujung jari maupun vena dilakukan untuk melihat
mikrofilaria. Sebelum program pengobatan dimulai, penduduk setempat diberi
penyuluhan kesehatan tentang penyebab, gejala Minis, epidemiologi filariasis
limfatik dan cara pengobatannya serta efek samping yang timbul selama
pengobatan. Beberapa tokoh masyarakat dipilih yang mempunyai motivasi tinggi
dan diberi tugas membagikan that kepada penduduk. Mereka dididik lagi secara
khusus terutama agar dapat mengenal gejala filariasis limfatik, dosis obat
yang hams diberikan, efek samping selama pengobatan dan bagaimana cara
menanggulanginya. Tiap kantong obat diberi nomor sesuai nomor keluarga,
diberikan kepada kepala keluarga agar dibagikan keselumh anggota keluarga-
nya. Semua penduduk hares mendapatkan pengobatan kecuali: bayi, ibu hamil,
sakit berat dan orang tua sekali. Untuk menghindari efek samping, orang dewasa
dan anak yang berumur > 10 tahun mendapatkan pengobatan 1/2 tablet (50mg)
DEC, sedangkan anak-anak yang berumur < 10 tahun mendapatkan 114 tablet
(25mg) sekali dalam seminggu selama 18 bulan. Pada awal pengobatan masih
timbul efek samping tetapi sifatnya ringan dan penduduk masih dapat melakukan
kegiatan sehari-hari. Setelah dua tahun pasta pengobatan dan kemudian
dievaluasi, cara pengobatan ini dapat berhasil menurunkan angka mikrofilaria
dan angka kesakitan sangat tajam yaitu dapat mencapai 0%. Angka elefantiasis
dapat turun dari 19% menjadi 5%. Keadaan ini dapat dipertahankan sampai 3
tahun. Banyak penduduk mengeluh pengobatan terlalu lama dan menimbulkan
kebosanan.
Uji coba pengobatan kedua dengan DEC, dilakukan di desa Wangkung di
daerah pantai di Flores Barat, berdekatan desa dipakai untuk uji coba pertama.
Situasi latar belakang penduduk hampir sama. Desa tersebut merupakan daerah
endemik filariasis timori maupun filariasis bancrofti. Setelah dilakukan pengobatan
hasilnya cukup balk, tetapi pengobatan filariasis bancrofti memerlukan waktu lebih
lama (Soewarto, 1983)
Uji coba pengobatan DEC dosis rendah ketiga, dilakukan di Kepulauan
Riau, sebelah timur Sumatra (Munawar et al., 1983). Daerah tersebut
merupakan daerah endemik B. malayi subperiodik noktumal. Hasil pemeriksaan
darah ujung jari menunjukkan angka mikrofilaria 25%, sedangkan cara filtrasi
31%. Angka kesakitan akut 18%. Pengobatan masal dilakukan seperti di Flores,
hasilnya sangat menggembirakan. Setelah dievaluasi satu tahun kemudian,
angka mikrofilaria turun menjadi 13% dan angka kesakitan akut 0%.
Uji coba pengobatan DEC dosis rendah keempat, dilakukan di lembah Wae
Apu, di P. Buru (Oemijati et al., 1983). Keadaan penduduk ash termasuk
primitif, selalu berpindah tempat bila muncul bencana alam. Pemerintah
setempat menyediakan tempat tinggal sementara, setiap keluarga
mendapatkan satu rumah. Namun mereka sering pergi keluar berburu, bertani
di lereng bukit, sehingga jarang sekali di rumah dan kemungkinan kontak
dengan nyamuk sangat besar. Sebagian besar penduduk asli tidak dapat
membaca atau menulis, kecuali pendatang yang bertugas sebagai pendidik.
Anakanak banyak mengikuti pendidikan di sekolah. Daerah ini merupakan
daerah endemik B. malayi subperiodik noktumal. Hasil pemeriksaan darah

42
ujung jari, menunjukkan angka mikrofilaria 30-40%, sedangkan dengan cara
filtrasi 60-70%. Pengobatan masal dipilih dan dilakukan di sebuah desa
yang penduduknya hanya 128 orang dengan tujuan agar setiap orang dapat
diawasi dengan baik. Hasil pemeriksaan mikrofilaria dengan filtrasi darah
vena di daerah tersebut ditemukan 53%. Hasil pemeriksaan klinis penduduk
menunjukkan gejala akut filariasis 55%. Setelah 6 bulan pengobatan,
kemudian dievaluasi, ternyata angka mikrofilaria turun menjadi 28,9%. Tetapi
dengan cara filtrasi ada beberapa orang yang jumlah mikrofilarianya masih
cukup banyak. Hal ini membuktikan bahwa ada beberapa orang tidak minum
obat. Kemudian dilakukan pendekatan agar mau minum obat, dengan
menunjukkan hasil keberhasilan pengobatan penduduk lainnya yang ternyata
dapat sembuh. Pengobatan tetap dilanjutkan dan setiap orang dianjurkan minum
obat selama siklus pengobatan. Hasilnya hanya tinggal 13 orang
menunnjukkan mikrofilaremia dan ternyata adalah pendatang. Hasil
pemeriksaan mikrofilaria dengan filtrasi pada umumnya jumlahnya turun.
Hanya satu orang yang mempunyai 1384 mf./m1 darah, sedangkan yang lain
kurang dan 100 mf./ml darah. Penduduk yang menunjukkan geiala akut tinggal 9
orang.
Pengobatan masal filariasis DEC dosis rendah pemah dilakukan pula di
Lembah Palu (Sulawesi Tengah). DEC diberikan dengan dosis satu tablet
(100mg) setiap minggu selama 40 minggu kemudian diikuti dosis satu tablet
setiap hari selama 10 hari. Satu tahun kemudian dievaluasi, angka mikrofilaria
turun dan 19% menjadi 2% (Wibowo, 1997).
Sejak tahun 2001, pengobatan masal DEC dosis rendah dilakukan
dengan strategi barn dalam bentuk kombinasi garam-DECiodium dengan nutria
dagang Garam Beriodium Plus dan diproduksi PT. Kimia Farma. Garam
Beriodium Plus mengandung Kalium Yodat 80 ppm dan DEC 0,2% dan telah
dimanfaatkan penduduk di daerah endemik filariasis di propinsi Jambi,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur. Sampai saat ini
kombinasi gararnDEC-iodium seberat 21,500 kg telah habis dipergunakan
penduduk untuk mencukupi keperluan hidupnya sehari-hari. Hasilnya sangat
memuaskan, tidak menimbulkan efek samping, terjadi penurunan angka
mikrofilaria cukup tajam: di Jambi dari 1,1% menjadi 0%, di Kalimantan Selatan
dari 4,6% menjadi 0,39%, di Sulawesi Tengah dari 3,0% menjadi 0%,
sedangkan di Nusa Tenggara Timur terjadi penurunan paling tajam yaitu dari
11,5% menjadi 0%. Tetapi sayangnya biaya memproduksi kombinasi garam-DEC-
iodium membutuhkan dana besar.
Hadirin yang kami harmati,

d. Ringkasan
Secara umum pengobatan masal dosis rendah jangka lama dianggap
berhasil menuninkan angka mikrofilaria maupun angka kesakitan akut, dan dapat
diterima masyarakat, sayangnya waktunya terlalu lama sehingga perhatian
penduduk untuk minum obat berkurang, banyak yang sering lupa dan
menimbulkan rasa bosan.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, melihat
perkembangan cam pengendalian filariasis sejak 1970 sampai sekarang
dan terbatasnya dana operasional, dapat disimpulkan alternatif pedoman
pengendalian filariasis sebagai berikut:
1. Berkaitan terbatasnya dana, daerah yang mendapatkan prioritas pengobatan:
daerah endemik baru/larna dengan angka mikrofilaria > 1%, daerah
transmigrasi, daerah pariwisata, daerah pembangunan, daerah terpencil dan
daerah perbatasan
2. Untuk menemukan daerah endemik filariasis baru, diagnosis dapat dilakukan
dengan menemukan mikrofilaria pemeriksaan darah ujung jari atau
menemukan penderita gejala spesifik filariasis
3. Untuk menuninkan angka mikrofilaria < 1%, menurunkan angka kesakitan akut
dan menurunkan intensitas infeksi dapat dilakukan pengobatan masal:
a. DEC dosis rendah jangka lama: dewasa 1 tablet/minggu selama 40 minggu,
anak (<10 th) 1/2 tablet/minggu selama 40 minggu
b. Garam Beriodium Plus (Garam-DEC-indium}
4. Pelaksanaan pengobatan dilakukan Puskesmas dengan dukungan peran serta
masyarakat melalui tenaga pengobatan yang telah dilatih dan perlu
diperhatikan Pula keadaan sosial-budaya penduduk.
S. Melakukan perubahan linglumgan berdampak positif, terutama menghilangkan
tempat berkembang biak nyamuk dan menghindarkan diri kontak dengan
nyamuk vektor
6. Evaluasi epidemiologis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikrofilaria dalam
darah, deteksi antigen beredar dengan antibodi monoklonal, deteksi L3 dalam
nyamuk dengan metoda PCR dan dengan menentukan angka kesakitan akut.
BACAAN LANJUTAN
Amaral, F., Dreyer, G., Figueredo-Silva, J., Noroes, J., Cavalcanti, A., Samico, C.S.,
Santos, A and Coutinho, A. 1994. Adult worms detected by ultrasonography
in human bancroftian filariasis. Am. J. Trop. Med. Hyg. 50: 753-757
David, H.L., & Edeson, J.F.B. 1964. The microfilaria from man in
Portugese Timor. Trans. Roy. Soc. Trap. Med. Hyg. 58, 6-7.
Dep. Kes. RI., 1992. Petunjuk Pelaksanaan Pembrantasan Penyakit
Kaki Gajah di Puskesmas. Dir. Jen. P2M & PLP. Jakarta.
_____________ 1999. Pedoman Pembrantasan Filariasis Di Indonesia.
Dir. Jen. P2M & PLP. Jakarta.
, 2001. Filariasis Control Program In Indonesia. Dir. Jen.
P2M & PLP. Jakarta.
Dreyer, G., Amaral, F., Noroes, J., Medeiros, Z. and Addiss, D.
1995a. Anew tool to assess the adulticidal efficacy in vivo of
antifilarial drugs for bancroftian filariasis. Trans. Roy. Soc.
Trop. Med. Hyg. 89: 225-226.
Dreyer, G., Noroes, J., Amaral, F., Nen, A., Medeiros, Z., Coutinho, A. and
Addis, D. 1995b. Direct assesment of the adulticidal efficacy of single
dose of ivermectin in bancroftian filariasis.Trans. Roy. Soc. Trap.
Med. Hyg. 89: 441-443.
Gordon, C. 1996. Manson's Tropical Diseases. Twentieth Edition. W.B.
Saunders
Haryani, A.M. 1983. Research on filariasis in South Kalimantan.
Meeting of the Indonesian group on filariasis. Jakarta.
Joesoef, A. 1975. A guide of filariasis control in Indonesia.
Directorate general of communicable disease control, Ministry
of Health, Republic of Indonesia. Jakarta.
Joesoef, A. and Cross, J.H. 1978. Human filariae in Indonesia. South East Asian
J. Trop. Med. Publ. Hlth. 9 (1): 15-19.
Kamimura, K., Arakawa, R. 1991. Field evaluation of an insect growth
regulator, pyriproxyven against Culex pipiens pallens and Culex
tritaeniorhynchus. Jpn. J. Sanit. Zool. 42: 245-254.
Kurihara, T. and Oemijati. S. 1975. Timor type microfilaria found in Flores island,
Indonesia. Jap. J. Parasit. 2: 78-80
Laurence, B.R. 1967. Elephantiasis in Greece and Rome and the

40
Queen of Punt. Trans. Roy. Soc. Trap. Med & Hyg. 61: 612-613. Lee, H.L.
and Seleena,P. 1990. Isolation and evaluation of larvicidal
Clostridium bivermentans against mosquitoes of public health
importance. Trop. Biomed. 7: 101-106.
Lewis, T.R. 1872. On a hematozoon inhabiting human blood, its relation to
chyluria and other diseases. Eighth Annual of the Sanitary Commissioner
with the Goverment of India pp. 1-50.
Long, G.W., Rickman, L.S.,Cross, J.H. 1990. Rapid diagnosis of Brugia
malayi and Wuchereria bancrofti filariasis by an acridine
orange/microhematocrit tube technique. J. Parasitol. 76: 278281.
Low, G.C. 1900. A recent observation on Filaria nocturna in Culex: probable
mode of infection of man. British Medical Journal, 1:1456-1457.
Lie, K.J., and Rees, D.M. 1958. Filariasis in Indonesia: distribution, incidence
and vectors. Proc. Int. Congr. Med. & Malaria. Lisbon., 11:360.
Munawar, M., Purnomo, Lifwarni and Partono, F. 1983. Experience of filariasis
management with DEC low dosage by the people for the people in the
villages of Buyu and Bukit Riau island. Meeting of the Indonesian
working group on filariasis. Jakarta.
Noroes, J., Addis, D., Amaral, F., Coutinho, A., Medeiros, Z. and Dreyer, G.
1996. Occurrence of living adult Wuchereria bancrofti in the scrotal area
of men with microfilaremia. Trans. Roy. Soc. Trap. Med. Hyg. 90: 55-56
Oemijati, S. 1993. Current status of filariasis in Indonesia. Southeast Asian J.
Trap. Med. Publ. Hlth. 24 (supplement 2): 2-4.
Oemijati, S., Djakaria, S., Yasin, M. and Zulhasril, 1983. The treatment of
filariasis with low dosage DEC by community participation in indigenous
population on Buru island. Meeting of the Indonesian working group on
filariasis. Jakarta.
Oemijati, S. and Liem Kiat Tjoen, 1966. Filariasis in Timor. Proc. 11th. Pacific
Sci. Congr. (Tokyo) .
Partono, F., Hudojo, Oemijati, S., Noor, N., Borahima, Cross, J.H., Clark, M.D.,
Irving, G.S. and Duncan, C.F. 1972. Malayan filariasis in Margolembo, South
Sulawesi, Indonesia., Southeast Asian J. Trot). Med. Publ. filth. 3: 537-547
Parton°, F., Purnomo and Suwarto, A. 1979. A simple method to control
Brugia timori by diethylcarbamazine adsministration. Trans. Roy. Soc.
Trop. Med. Hyg. 73: 536-542.
Partono, F., Purnomo, Soewarto, A. and Oemijati, S. 1983. Low dosage
diethylcarbamazine administered by villagers for the control of timorian
filariasis. Trans. Roy. Soc. Trop. Med. Hyg. 78: 9-12
Putrali, J. and Kaleb, J.M. 1974. Mass treatment of filariasis in Sidondo,
Central Sulawesi. Bull. Health Studies in Indonesia 2: (1) 13-16
Putrali, J., Kaleb, J.M., Van Peenen, P.F.D. and Sulianti Saroso, J. 1975.
Mass treatment of malayan filariasis in the Gumbasa irrigation area of
Central Sulawesi. Southeast Asian J. Trap. Med. Publ. Hlth. 6: 206-210.
Rahmah, N., Noor Ashikin, A., Khairul Anuar, A., Tengku Ariff, R.H.,
Abdullah, B., Chan, G.T. and Wlliams, S.A. 1998. PCR Elisa for the
detection of Brugia malayi infection using finger prick blood. Trans. Roy.
Soc. Trop. Med. Hyg. 92, 404-406.
Riviere, F., Kay, B.H., Klien, J.M., Sechan, Y. 1987. Mesocyclops aspericornis
(Copepoda) and Bacillus thuringiensis var israelensis for the biological
control of Aedes and Culex vectors (Diptera: Culicidae) breeding in crab
holes, tree holes, and artificial containers..7. Med. Entomol. 24: 425-432.
Soewarto, K. 1983. Filariasis control with low dosage DEC
administration by the people for the people in the village of Wangkung,
West Flores. Meeting of the Indonesion working group on filariasis.
Jakarta.
Soeyoko, 1998. Pengembangan antibodi monoklonal spesifik antigen beredar
Brugia malayi untuk diagnosis filariasis malayi. Tesis. UGM. Yogyakarta.
Sucharit, S. 1993. Recent advances in vector cotrol in filariasis. Southeast
Asian J. Trap. Med. Jc. Publ. Hlth. 24 (Supplement 2): 64-68
Sujadi, F.A. 1996. Filariasis di beberapa daerah endemik di Kalimantan
Timur. Tesis. UGM. Yogyakarta.
*) Dari Pidato Pengukuhan Prof. Dr. dr. Soeyoko, D.T.M&H, S.U. FK
UGM

42

Anda mungkin juga menyukai