Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Geologi merupakan studi atau ilmu kajian yang mempelajari mengenai
pembentukan bumi, mulai dari proses-proses pembentukan bumi, faktor-faktor
yang mempengaruhi dan hasil daripada proses-proses yang terjadi pada bumi. Ilmu
tentang bumi tersebut dapat diterapkan dalam bidang sains dan teknologi, sehingga
seluruh aspek yang berpengaruh dalam bidang tersebut dapat memberikan suatu
gambaran atau informasi. Oleh karena itu, peran dari para ahli geologist sangat
dibutuhkan dalam menganalisis fenomena-fenomena alam yang terjadi pada bumi
ataupun suatu daerah.
Aspek data yang berupa informasi yang berpengaruh pada suatu daerah
haruslah bersifat detail khususnya mencakup kondisi litologi, sedimen stratigrafi,
geomorfologi, struktur geologi dan aspek-aspek geologi lainnya. Untuk
mendapatkan hasil-hasil tersebut maka dari itu dibutuhkan suatu kegitan geologi
yakni pemetaan geologi. Pemetaan geologi adalah suatu kegitan pengambilan data-
data geologi permukaan/surface yang nantinya akan menghasilkan informasi dalam
bentuk laporan berupa peta geologi. Peta geologi nantinya akan memberikan
gambaran berupa penyebaran dan stratigrafi batuan, serta memuat informasi
struktur-struktur geologi yang kemungkinan besar mempengaruhi pola penyebaran
dan susunan litologi pada daerah tersebut.
Pemetaan geologi dilakukan pada daerah Banjarharjo yang memiliki tatanan
geologi yang unik, seperti patahan, perlipatan dan juga memiliki potensi seperti
pemanfaatan
Program pemetaan geologi ini adalah suatu wadah untuk mengimplementasikan
ilmu teori geologi dilapangan yang sudah didapat selama perkuliahan berlangsung.

1.2 Maksud dan Tujuan

1
Pemetaan geologi daerah Banjarharjo dan sekitarnya, Kecamatan
Banjarharjo, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah ini memiliki maksud untuk
mengetahui, mempelajari serta menganalisa kondisi geologi secara menyeluruh
pada daerah pemetaan sesuai dengan disiplin ilmu geologi yang didapat selama
perkuliahan.
Adapun tujuan dari pemetaan geologi ini adalah untuk mengetahui
penyebaran satuan batuan, proses sedimentasi, serta struktur geologi daerah
pemetaan sehingga nantinya dapat menyusun stratigrafi daerah pemetaan dan
sejarah geologi yang dimuat dalam peta geologi.

1.3 Waktu dan Lokasi Penelitian


Kegiatan pemetaan ini dilakukan pada tanggal 1 Juli – 5 Agustus 2019, yang
terletak didaerah Banjarharjo dan sekitarnya, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten
Brebes, Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis daerah ini terletak pada 108o 49’
15,4” – 108o 52’ 30,8” BT dan 06o 59’ 21,8” – 07o 02’ 04,8” LS. Secara
administratif daerah pemetaan terletak di Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Brebes,
Kecamatan Ketanggungan dan Banjarharjo, yang meliputi desa Buara, Baros,
Cikuya, Cikeusal Lor (Kec. Ketanggungan) dan desa Banjarharjo, Parereja,
Malahayu, dan Dukuhkopi (Kec. Banjarharjo). Luas daerah pemetaan sekitar 30
km2 , dengan ukuran 6 km x 5 km. Daerah pemetaan kelompok 1 ini dibagi menjadi
4 (empat) kavling, yang memiliki koordinat sebagai berikut.

Tabel 1.1 Koordinat Kavling Kelompok 1 Blok 1


Nama Kavling Koordinat

108° 49’ 15,4” 108° 52’ 30,8” BT


Barmen Parlindungan S. 01
06° 59’ 21,8” 07° 02’ 04,82 LS
108° 51’ 30,9” 108° 54’ 40,5” BT
Kemal Haris 02
06° 59’ 21,8” 07° 02’ 38,1” LS

108° 54’ 40,5” 108° 57’ 55,9” BT


Sindy Febri Nurmalasari 03
06° 59’ 54,7” 07° 02’ 38,1” LS

2
108° 54’ 40,5” 108° 57’ 55,9” BT
Kefi Rahma Dio 04
07° 02’ 04,8” 07° 04’ 47,8” LS

Gambar 1.1 Lokasi Penelitian (Google Earth, 24 Juni 2019, 00.47 WIB)

3
Gambar 1.2 Peta Topografi Daerah Penelitian

1.4 Studi Pustaka


Studi pustaka pada daerah pemetaan diambil dari para peneliti terdahulu
seperti peta regional, guna mengetahui arah penyebaran batuan, stratigrafi dan
struktur geologi secara regional, yang digunakan sebagai dasar untuk interpretasi
peta geomorfologi. Pada daerah pemetaan digunakan peta geologi Lembar Cirebon
dan Majenang. Kondisi geologi daerah pemetaan ini telah dipelajari oleh para
peneliti terutama dalam tatanan tektonik dan stratigrafinya, antara lain :
I. Van Bemmelen, (1949), Zona Fisiografi Jawa Bagian Tengah.
II. Prof. Katili, (1980), Geotectonics of Indonesia Modern View.
III. Asikin S., (1987), Geologi Struktur Indonesia berdasarkan tektonik
regional Pulau Jawa.
IV. P.H. SILITONGA, M. MASRIA dan N.SUWARNA, (1996) dan
juga KASTOWO, (1975), peta geologi lembar Cirebon dan
Majenang, Jawa Tengah.

4
1.5 Metodologi Penelitian
Metode penelitian terdiri dari empat tahap, yaitu : perencanaan,
pengambilan data, pengolahan data, dan penyusunan laporan. Peta dasar yang
digunakan dalam pemetaan berskala 1 : 12.500
I. Tahap Perencanaan :
 Menganalisa data studi literatur para peneliti terdahulu
mengenai daerah pemetaan,
 Perencanaan pembuatan lintasan lokasi pengamatan
berdasarkan tingkat efektifitas dan efisiensi dilapangan, serta
studi literatur yang sudah ada.
II. Tahap Pengambilan Data :
 Penentuan lokasi pengamatan dan plotting pada peta
topografi,
 Penggambaran sketsa dan pengukuran pada lokasi
pengamatan (singkapan) baik itu strike dip maupun struktur
geologi, serta pencatatan data pada buku catatan lapangan,
 Pengambilan foto singkapan batuan yang disertai benda
pembanding,
 Serta pengambilan sample batuan.
III. Tahap Pengolahan Data :
 Menganalisa fosil untuk menentukan susunan stratigrafi
batuan,
 Analisa petrografi untuk menentukan nama batuan,
 Dan analisa data struktur.
IV. Tahap Penyusunan Laporan :
Pada tahap ini penyusunan laporan didasarkan pada data-data
yang sudah diamati dan dianalisa yang kemudian dikorelasikan dengan
data peneliti terdahulu sehingga menghasilkan suatu interpretasi dalam
bentuk laporan geologi, seperti peta geologi dan peta geomorfologi.

5
1.6 Diagram Alir Penelitian

6
BAB II
GEOMORFOLOGI

2.1 Fisiografi Regional


Menurut Van Bemmelen (1949), Pegunungan di Jawa Tengah terbentuk
oleh dua puncak geantiklin yaitu Pegunungan Serayu Utara dan Pegunungan Serayu
Selatan. Pegunungan Serayu Utara merupakan garis penghubung antara Zona
Bogor di Jawa Barat dengan Pegunungan Kendeng di Jawa Tengah. Sementara
Pegunungan Serayu Selatan merupakan elemen yang muncul dari Zona Depresi
Bandung yang membujur di Jawa Barat yang membentang dari barat ke timur, yang
terdiri dari Lembah Jatilawang yang termasuk dalam Zona Depresi Tengah.

Gambar 2.1 Pembagain Zona Jawa Tengah dan Zona Jawa Timur (Van Bemmelen, 1949)

Berdasarkan kondisi litologi penyusun, pola struktur dan morfologi yang


ditunjukkan oleh Van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Jawa Tengah dan
Jawa Timur dibagi menjadi tujuh zona dari utara ke selatan antara lain sebagai
berikut :

7
1. Zona Dataran Aluvial Pantai Utara Jawa
Zona Dataran Aluvial Pantai Utara Jawa bagian barat membentang
dari sekitar Teluk Bantam sampai ke Cirebon dan di Jawa Tengah
membentang dari timur Cirebon sampai ke Pekalongan.
2. Zona Depresi Semarang – Rembang
Depresi Semarang – Rembang merupakan dataran yang berada
diantara Semarang dan Rembang.
3. Zona Rembang
Zona Rembang dibagian utara dibatasi oleh Paparan Laut Jawa
Utara ke arah selatan berhubungan dengan Depresi Randublatung
yang dibatasi oleh Sesar Kujung, ke arah barat berhubungan dengan
Depresi Semarang – Pati, dan ke arah timur berhubungan dengan
bagian utara Pulau Madura. Jalur dari Zona Rembang ini terdiri dari
pegunungan lipatan berbentuk anticlinorium yang memanjang ke
arah barat – timur dari Purwodadi, Blora, Jatirogo, Tuban, sampai
dengan Pulau Madura.
4. Zona Depresi Randublatung
Zona Depresi Randublatung merupakan daerah lembah dengan
bagian tengah memanjang dari barat – timur. Zona ini juga yang
memisahkan Zona Kendeng dan Zona Rembang.
5. Zona Kendeng
Menurut Genevraye dan Samuel (1972), membagi Zona Kendeng
berdasarkan fisiografi menjadi tiga bagian utama, yaitu :
1) Bagian barat, antara Ungaran dan Purwodadi, yang tersusun
atas Formasi Pelang (bagian bawah) dan Formasi Pucangan
(bagian atas).
2) Bagian tengah, antara Purwodadi dan Gunung Pandan, yang
tersusun atas Formasi Kerek (bagian bawah) dan material
gunung api Formasi Kerek Anggota Sentul (bagian atas).

8
3) Bagian timur, Antiklinorium yang terlihat antara Gunung
Pandan yang menuju ke arah timur.
6. Zona Depresi Tengah / Solo
Zona Depresi Tengah tersusun oleh endapan kuarter dan ditempati
oleh Gunungapi Kuarter. Zona Solo dibedakan menjadi tiga sub-
zona, yaitu :
1) Sub – Zona Blitar
2) Sub – Zona Solo
3) Sub – Zona Ngawi
7. Zona Pegunungan Selatan
Zona Pegunungan Selatan Jawa terbentang dari wilayah Jawa
Tengah yang berada di selatan Yogyakarta dengan lebar kurang
lebih 55 km. Zona ini membentang hingga Jawa Timur dengan lebar
kurang lebih 25 km yang berada di selatan Blitar. Zona Pegunungan
Selata dipisahkan menjadi tiga sub – zona, yaitu :
1) Sub – Zona Baturagung
2) Sub – Zona Wonosari
3) Sub – Zona Gunung Sewu

2.2 Geomorfologi Regional


Geomorfologi Regional merupakan pembahasan morfologi pemetaan yang
didapat dari interpretasi pada peta geologi regional dengan aspek-aspek tertentu.
Aspek-aspek tersebut haruslah mencerminkan geologi yang terkandung di dalam
peta geomorfologi, sehingga memiliki suatu hubungan yang jelas antara satuan
bentuk lahan pada peta geomorfologi dengan aspek geologi pada peta geologi.
Pembahasan geomorfologi yang perlu ditonjolkan untuk kepentingan geologi
terutama pendekatan morfografi, morfogenetik (genetik), dan morfometri
(deskriptif) yang mempengaruhi satuan bentuk lahan untuk dijadikan landasan
menerangkan kondisi-kondisi geologi.

9
Pengklasifikasian terhadap satuan bentang alam daerah pemetaan dilakukan
dengan mengacu pada parameter morfometri (deskriptif) oleh Van Zuidam, (1985)
dan morfogenetik (genetik) oleh Van Zuidam, (1983).
Kegiatan erosi dan tektonik yang menghasilkan bentuk – bentuk lembah
sebagai tempat pengaliran air, selanjutnya akan membentuk pola – pola tertentu
yang disebut sebagai pola aliran. Pola aliran ini sangat berhubungan dengan jenis
batuan, struktur geologi, kondisi erosi, dan sejarah bentuk bumi. Sistem pengaliran
yang berkembang pada permukaan bumi secara regional dikontrol oleh kemiringan
lereng, jenis batuan, ketebalan lapisan batuan, struktur geologi, jenis dan kerapatan
vegetasi serta iklim. Sistem pengaliran ini nantinya akan menentukan stadia sungai
yang ditentukan berdasarkan pengaruh proses geomorfologi yang spesifik pada
daerah pemetaan. Pengklasifikasian pola aliran dan stadia sungai terhadap daerah
pemetaan menggunakan klasifikasi Van Zuidam, (1985) dan Verstappen, (1977).

Tabel 2.1 Ukuran Kemiringan Lereng (Van Zuidam, 1985)

KEMIRINGAN KETERANGAN KLASIFIKASI KLASIFIKASI


LERENG USSSM* (%) USLE** (%)

0-2 Datar - Hampir 0-2 1-2


datar
Lereng sangat
3-7 landai 2-6 2-7

8 - 13 Lereng landai 6 - 13 7 - 12

14 - 20 Lereng agak curam 13 - 25 12 - 18

21 - 55 Lereng curam 25 - 55 18 - 24

Lereng sangat
56 - 140 curam > 55 > 24

* USSSM = United state soil System Management


**USLE = Universal Soil Loss Equation (Wischmeir, 1967).

10
Tabel 2.2 Hubungan Ketinggian Absolute dengan Morfografi (Van Zuidam, 1985)
Ketinggian Absolute (m) Unsur Morfografi
< 50 Dataran Rendah
50 – 100 Dataran Rendah Pedalaman
100 – 200 Perbukitan Rendah
200 – 500 Perbukitan
500 – 1.500 Perbukitan Tinggi
1.500 – 3.000 Pegunungan
> 3.000 Pegunungan Tinggi

Tabel 2.3 Hubungan Kelas Relief, Kemiringan Lereng dan Perbedaan Ketinggian (Van
Zuidam, 1985)
Kelas Relief Kemiringan Perbedaan
Lereng (%) Ketinggian (m)
Datar/Hampir Datar 0–2 <5
Bergelombang/Miring Landai 3–7 5 - 50
Bergelombang/Miring 8 – 13 25 - 75
Bergelombang – Bukit 14 – 20 75 - 200
Berbukit Tersayat Tajam/Terjal 21 - 55 200 - 500
Berbukit Tersayat Tajam/Sangat Terjal 55 - 140 500 - 1000
Pegunungan Curam > 140 > 1000

Tabel 2.4 Satuan Geomorfologi Berdasarkan Aspek Genetik, (Van Zuidam, 1983)
No Kelas Genetik Simbol Warna
1 Bentuklahan asal struktural Ungu / violet
2 Bentuklahan asal gunungapi Merah
3 Bentuklahan asal denudasional Coklat
4 Bentuklahan asal laut (marine) Hijau
5 Bentuklahan asal sungai (fluvial) Biru tua

11
6 Bentuklahan asal glasial (es) Biru muda
7 Bentuklahan asal aeolian (angin) Kuning
8 Bentuklahan asal karst (gamping) Jingga (orange)

Tabel 2.5 Pola Pengaliran dan Karakteristiknya (Van Zuidam, 1985)


POLA PENGALIRAN DASAR KARAKTERISTIK
Perlapisan batuan sedimen relatif datar atau
paket batuan kristalin yang tidak seragam dan
memiliki ketahanan terhadap pelapukan.
DENDRITIK Secara regional daerah aliran memiliki
kemiringan landai, jenis pola pengaliran
membentuk percabangan menyebar seperti
pohon rindang.
Pada umumnya menunjukkan daerah yang
berlereng sedang sampai agak curam dan dapat
ditemukan pula pada daerah bentuklahan
perbukitan yang memanjang. Sering terjadi
PARALEL pola peralihan antara pola dendritik dengan
pola paralel atau tralis. Bentuklahan
perbukitan yang memanjang dengan pola
pengaliran paralel mencerminkan perbukitan
tersebut dipengaruhi oleh perlipatan.
Baruan sedimen yang memiliki kemiringan
perlapisan (dip) atau terlipat, batuan vulkanik
atau batuan metasedimen derajat rendah
TRALLIS dengan perbedaan pelapukan yang jelas. Jenis
pola pengaliran biasanya berhadapan pada sisi
sepanjang aliran subsekuen.
Kekar dan / atau sesar yang memiliki sudut
REKTANGULAR kemiringan, tidak memiliki perulangan lapisan
batuan dan sering memperlihatkan pola
pengaliran yang tidak menerus.
Daerah vulkanik, kerucut (kubah) intrusi dan
sisa - sisa erosi. Pola pengaliran radial pada
daerah vulkanik disebut sebagai pola
pengaliran multi radial.
RADIAL Catatan : pola pengaliran radial memiliki dua
sistem yaitu sistem sentrifugal (menyebar ke
luar dari titik pusat), berarti bahwa daerah
tersebut berbentuk kubah atau kerucut,
sedangkan sistem sentripetal (menyebar
kearah titik pusat) memiliki arti bahwa daerah
tersebut berbentuk cekungan.
ANULAR Struktur kubah / kerucut, cekungan dan
kemungkinan retas (stocks).
Endapan berupa gumuk hasil longsoran
MULTIBASINAL dengan perbedaan penggerusan atau perataan
batuan dasar, merupakan daerah gerakan
tanah, vulkanisme, pelarutan gamping dan
lelehan salju (permafrost).

12
Tabel 2.5 Klasifikasi Stadia Sungai (Verstappen, 1977)
Parameter Stadia Daerah
Muda Dewasa Tua
Stadia Sungai Muda Muda – Dewasa Tua
Relief Sedikit – Maksimum Hampir Datar
Bergelombang
Bentuk Penampang Lembah U–V V U – Datar
Bentang alam Bentang alam Bentang
umumnya bergelombang alamnya datar
datar sampai sampai
bergelombang maksimum
Kenampakan Lain Tidak ada Mulai ada Hasil proses
Gawir Gawir pengendapan
Relatif Kecil Relatif sedang – Tidak ada relief
maksimum
V V–U U – Datar

2.3 Geomorfologi Daerah Pemetaan


Geomorfologi daerah penelitian, berdasarkan Van Zuidam, 1985 terbagi
menjadi empat satuan geomorfologi, yaitu Satuan Geomorfologi Bergelombang
Struktural, Satuan Geomorfologi Bukit Bergelombang Vulkanik, Satuan
Geomorfologi Dataran Denudasional, dan Satuan Geomorfologi Fluvial.
Berdasarkan penafsiran secara regional, penentuan pola aliran dan stadia
sungai daerah penelitian berdasarkan Verstappen, (1977) termasuk kedalam pola
aliran paralel dan stadia sungai daerah dewasa (V – U). Pola aliran paralel yang
Pada umumnya menunjukkan daerah yang berlereng sedang sampai agak curam
dan dapat ditemukan pula pada daerah bentuklahan perbukitan (Van Zuidam,
1985).

13
Tabel 2.6 Tabel Geomorfologi
Morfometeri Morfografi Morfogenesa
Luas
Simbol Satuan Geomorfologi Bentuk Pola Stadia
Penyebaran Bentuk Lahan Pola Aliran Endogen Eksogen Stadia Sungai
Lereng Punggugan Daerah
(%) h (m) ∆h (m) Slope (%)
Satuan Geomorfologi
Muda-
Bukit Bergelombang 5% 90 -104 14 8%-20% Bergelombang Sejajar Paralel - Erosi Muda-Dewasa
Dewasa
Vulkanik
Satuan Geomorfologi
15% 0-4 4 0-2% Datar - Paralel - Erosi Dewasa- Tua Dewasa - Tua
Dataran Fluvial
Satuan Geomorfologi
Muda-
Berbukit Bergelombang 30% 60-169 46 14%-20% Begelombang Sejajar Paralel Tektonik Erosi Muda-Dewasa
Dewasa
Struktural
Satuan Geomorfologi
Muda-
Miring Landai 50% 15-49 34 3%-7% Miring Landai - Paralel - Erosi Muda-Dewasa
Dewasa
Denudasional

14
BAB III
STRATIGRAFI

3.1 Stratigrafi Regional

Gambar 3.3 Peta Geologi Regional Daerah Penelitian, (Peta Geologi Lembar Cirebon &
Majenang, P.H. SILITONGA, M. MASRIA dan N.SUWARNA, 1996 dan juga
KASTOWO, 1975)

Stratigrafi regional daerah pemetaan dibagi menjadi dua bagian geologi


regional, yaitu Lembar Cirebon dan Lembar Majenang. Menurut P.H.
SILITONGA, M. MASRIA dan N.SUWARNA, (1996) dan juga KASTOWO,
(1975) membagi tatanan stratigrafi dari tua ke muda sebagai berikut :

3.1.1 Lembar Cirebon


1) Formasi Pemali (Tmp): Batulempung berwarna kelabu kebiruan, kompak
dengan bidang perlapisan yang kurang jelas, mengandung fosil foraminifera
kecil, tersingkap secara sempit. Tebal kurang lebih 900 meter dan umur
diperkirakan Miosen Awal.

15
2) Anggota Gunung Hurip Formasi Halang (Tmhg): Turbidit yang terdiri
dari breksi sedimen gunungapi dan konglomerat bersusunan andesit dan
basalt, bersisipan batupasir, serpih dan batulempung pasiran. Umumnya
berwarna kelabu, berlapis baik. Struktur sedimen berupa “Paralel laminasi”
dam “Graded bedding” sangat umum. Tebal satuan mencapai 150 meter.
3) Formasi Halang (Tmph): Bagian atasnya disusun oleh batulempung dan
napal, bagian tengah banyak mengandung sisipan atau perselingan dengan
batupasir greywacke gampingan yang mengandung hornblende, feldspar,
kuarsa, dan kalsit. Pada bagian bawah formasi batuan tersebut diatas
bersisipan dengan lapisan batugamping dan lensa-lensa batugamping
berukuran bongkah yang mengandung fosil foraminifera besar serta
moluska. Umumnya satuan batuan berwarna kelabu kehijauan dan kelabu
tua. Lensa-lensa breksi dan konglomerat bersusunan andesit dan basalt
dengan matriks batupasir tufaan kasar setempat ditemukan di dalam formasi
ini. Formasi ini diendapkan sebagai sedimen turbidit pada zona batial atas.
Struktur sedimen yang jelas berupa graded bedding, paralel laminasi,
convolute laminasi, flute cast, dan load cast. Tertindih tak selaras Formasi
Tapak, menjemari dengan Anggota Gunung Hurip Formasi Halang dan
Formasi Kumbang serta menindih selaras Formasi Pemali. Umur diduga
Miosen Tengah – Pliosen Awal. Ketebalan satuan mencapai 2.400 meter
dan menipis kearah timur.
4) Anggota Breksi Formasi Kumbang (Tmpkb): Merupakan breksi
gunungapi dengan fragmen bongkah lava andesit berbagai ukuran dan tufa
bersusunan andesit sampai basal. Satuan umumnya pejal. Umur
diperkirakan Miosen Tengah-Pliosen Awal. Menjemari dengan formasi
Halang. Tebal maksimal di lembar Majenang kurang lebih 2000 meter.
5) Formasi Kumbang (Tmpk): Tersusun atas breksi gunungapi, lava dan tufa
bersusunan andesit sampai basal; batupasir tufaan dan konglomerat. Satuan
umumnya pejal. Umur diperkirakan Miosen Tengah-Pliosen Awal.
Menjemari dengan formasi Halang. Tersingkap setempat di batas selatan
lembar peta.

16
6) Formasi Tapak (Tpt): Bagian bawah terdiri dari batupasir kasar berwarna
kehijauan yang berangsur-angsur berubah menjadi batupasir lebih halus
berwarna kehijauan dengan beberapa sisipan napal pasiran berwarna kelabu
sampai kekuningan. Batugamping yang mengandung koral dan moluska
dengan pengawetan kurang baik, berwarna putih kotor kecoklatan.
Konglomerat dan breksi andesit berselingan dengan batupasir. Pada bagian
atas perselingan batupasir gampingan dengan napal mengandung fosil
moluska air payau-marine yang menunjukkan umur Pliosen Awal-Tengah.
Lingkungan pengendapan diduga peralihan sampai daerah pasang surut.
Ketebalan satuan ini sulit ditaksir namun di daerah Bumiayu mencapai 500
meter. Lingkungan pengendapan adalah daerah pantai yang dipengaruhi
oleh gerakan pasang surut yang teratur. Formasi ini menindih tak selaras
formasi Kumbang dan Halang.
7) Formasi Kalibiuk (Tpb): Tersusun atas batupasir tufaan, halus, berwarna
putih kekuningan dengan lapisan yang sering tidak jelas, lapisan tipis-tipis
konglomerat, batupasir kasar, gampingan yang mengandung fosil moluska
dan koral serta batulempung dengan fosil foraminifera kecil dan moluska
yang merupakan bagian tengah runtuhan. Lapisan tipis-tipis batupasir
kompak, gampingan yang seringkali menunjukkan struktur boudin dan
batulanau. Setempat terdapat lensa-lensa kecil batugamping pasiran dan di
dalam batulempung di beberapa tempat mengandung lempeng halus
batulanau. Ketebalan lapisan berkisar antara 10-50 cm dan hanya
dibeberapa tempat ada yang lebih dari 1 meter. Ketebalan formasi ini
semakin menipis ke arah barat dan tebal maksimal di lembar peta
diperkirakan sekitar 300 meter. Lingkungan pengendapan diduga pada
daerah yang masih dipengaruhi pasang surut. Bagian atas formasi
menjemari dengan bagian atas atau menindih selaras formasi Tapak. Umur
akhir Pliosen Awal sampai Pliosen Tengah.
8) Formasi Cijolang (Tpcl): Konglomerat dengan sisipan batupasir tufaan.
Konglomerat memperlihatkan perlapisan kurang jelas kecuali pada bagian
bawah runtuhan. Tersusun dari kerakal kuarsa, batupasir, batulempung,

17
andesit, dasit dan basal dengan matriks batupasir tufaan, berbutir menengah-
kasar. Batupasir tufaan, konglomeratan, berwarna kelabu kehijauan.
Umumnya satuan batuan bersifat rapuh dan membentuk topografi yang
menonjol. Kepingan-kepingan fosil vertebrata ditemukan di dalam formasi
ini. Ketebalan satuan tidak merata, namun tebal maksimal diduga sekitar
150 meter.
9) Formasi Ciherang (Tpch): Perselingan antara breksi gunungapi, batupasir
tufaan dan konglomerat dengan sisipan batulempung tufaan berwarna
kelabu kehijauan dan batulempung kecoklatan. Breksi gunungapi terdapat
lebih menguasai bagian atas formasi. Fragmennya terdiri dari batuan beku
andesit, dasit dan basal dan kadang-kadang batuapung dengan matriks
batupasir tufaan kasar mengandung kristal hornblende. Batupasir tufaan
berbutir halus-kasar hingga konglomeratan mengandung hornblende,
plagioklas dan kayu tersilisifikasi. Konglomerat dengan fragmen seperti
breksi. Struktur cross bedding jelas terlihat pada beberapa lapisan yang
berbutir kasar. Fosil yang ditemukan antara lain foraminifera kecil di dalam
batulempung dan vertebrata (Merycopotamua nannus LYDEKKER) pada
konglomerat atau breksi. Lingkungan pengendapannya adalah darat sampai
peralihan. Secara stratigrafi satuan batuan ini menjemari dengan formasi
Cijolang, Kalibiuk dan bagian atas formasi Tapak. Berumur Pliosen
Tengah.
10) Hasil Gunungapi Tua Careme (QTvr): Lahar, batupasir tufaan dan
konglomerat tersisipi beberapa lapisan lava, breksi aliran dan tufa. Batuan
ini membentuk morfologi yang lebih menonjol daripada morfologi batuan
gunugapi muda yang mengelilinginya dan menunjukkan gejala-gejala
pengerosian yang lebih matang. Singkapan yang jelas sulit ditemukan;
pengenalannya di lapangan berdasarkan pada singkapan batuan beku
andesit dan basalt.
11) Formasi Gintung (Qpg): perselingan batulempung tufaan, batupasir
tufaan, konglomerat dan breksi. Umumnya satuan batuan berkemiringan
hampir datar dengan derajat kepadatan dan penyemenan yang belum kuat.

18
Dalam batupasir sering terlihat adanya pecahan-pecahan lepas plagioklas,
kristal kuarsa dan batuapung. Breksi dan konglomerat berfragmen batuan
beku bersifat andesit dengan garis tengah antara 1-5 cm, namun setempat
ada yang mencapai 50 cm. Konglomerat mengandung kayu tersilisifikasi
dan terarangkan serta sisa-sisa vertebrata yang kurang terawetkan. Umur
Plistosen Tengah-Akhir. Lingkungan pengendapan darat sampai peralihan.
Tebal satuan yang tersingkap diperkirakan 90 meter. Singkapan yang paling
jelas terdapat di bukit Puterlumbung. Formasi ini menindih tak selaras
formasi Ciherang.
12) Endapan Lahar Slamet (Qls): Lahar dengan beberapa lapisan lava di
bagian bawah. Setengah mengeras membentuk topografi hampir rata dan
punggungan tajam sepanjang tepi sungai.

19
Gambar 3.1 Stratigrafi Regional Menurut P.H. SILITONGA, M. MASRIA dan
N.SUWARNA, (1996)

20
3.1.2 Lembar Majenang
1) Formasi Pemali (Tmp) : Lapisan – lapisan napal globigerina berwarna biru
keabu-abuan dan hijau keabu-abuan. Jarang sekali berlapis baik, kadang-
kadang terdapat sisipan batugamping pasiran berwarna biru keabu-abuan,
tebalnya kira-kira 900m.
2) Formasi Halang (Tmh): Formasi ini pertama kali dikemukakan oleh
(Sumarso, 1974; op.cit. Kartanegara dkk, 1987), sedangkan Ter Haar (Ter
Haar, 1934; op.cit. Marks, 1957) menyebutnya Halang Serie. Formasi ini
tersusun atas dua bagian, yaitu bagian bawah dan bagian atas. Bagian atas
terdiri dari batupasir tufaan, konglomerat, napal, dan batulempung yang
berselang-seling serta berlapis baik. Struktur sedimen terlihat cukup jelas,
antara lain graded bedding, convolute lamination, dan flute cast. Batupasir
umumnya bersifat wacke dengan fragmen batuan andesitik. Bagian bawah
terdiri dari breksi bersusunan andesit (Ter Haar, 1934; op.cit. Marks, 1957).
Formasi ini banyak mengandung foraminifera yang menunjukkan umur
Miosen Atas pada Daerah Bantarkawung, sedangkan pada Daerah
Majenang menunjukkan umur Miosen Tengah (Marks, 1957). Tebal satuan
berkisar 390 – 2600 meter (Kertanegara dkk, 1987).
3) Formasi Kumbang (Tpk): Formasi ini diendapkan secara menjemari
dengan Formasi Halang. Formasi ini tersusun atas dua bagian, yaitu bagian
bawah dan bagian atas. Bagian bawah terdiri dari breksi dengan komponen
yang menyudut, ditemukan lapisan lava andesit, sedangkan bagian atasnya
terdiri dari tuf yang berseling-seling dengan breksi dan berstruktur tufan.
Formasi ini diperkirakan berumur Miosen TengahPliosen Awal (Kastowo
dan Suwarna, 1996). Ketebalannya mencapai 750 meter. Formasi ini setara
dengan Bodas Series (Facies Vulkanik) yang terdiri dari breksi andesit,
napal bersisipan dengan batupasir tufan, konglomerat polimik yang
ketebalannya mencapai 800 meter (van Bemmelen, 1949; op.cit. Marks,
1957).

21
4) Kipas Aluvium (Qf): Merupakan campuran antara kerakal andesit, kerikil,
beberapa bongkah dan pasir tufaan serta tanah laterit. Tersingkap pada
lereng-lereng bukit.
5) Endapan Aluvium (Qa): Merupakan endapan yang tersusun dari material
berukuran kerikil, pasir dan lempung berwarna abu-abu sepanjang dataran
banjir sungai-sungai besar, dan endapan lempung berbau busuk berwarna
hitam di daerah berawa.

Gambar 3.2 Stratigrafi Regional Menurut KASTOWO, (1975)

22
3.2 Stratigrafi Daerah Pemetaan
Stratigrafi daerah penelitian tersusun oleh formasi yang merupakan bagian
dari geologi regional Lembar Cirebon dan Lembar Majenang. Susunan stratigrafi
daerah penelitian dari tua ke muda sebagai berikut :
Satuan batuan pada daerah pemetaan yaitu :
1. Satuan Napal
Batuan berwarna coklat muda, memiliki Fragmen Lempung dan Semen
Karbonat (35%-65%), memiliki ukuran butir lempung dan kekompakan buruk.
2. Satuan Batupasir
Batuan berwarna coklat, memiliki Fragmen Pasir sedang dan Semen
Nonkarbonatan, memiliki ukuran butir pasir sedang, kemas grain supported dan
kekompakan sedang, terdapat komposisi mineral seperti mineral kwarsa.
3. Satuan Batulempung Karbonatan
Batuan berwarna abu-abu, memiliki Fragmen Lempung dan Semen
Karbonatan, memiliki ukuran butir lempung, dan kekompakan buruk.
4. Satuan Batulempung Selang-seling Batupasir
Batuan berwarna abu-abu, memiliki Fragmen Lempung dan Semen
Nonkarbonat, memiliki ukuran butir lempung, dan kekompakan buruk.
Batuan lainnya memiliki warna coklat, Fragmen pasir sedang dan
Semen Nonkarbonat, memiliki ukuran butir pasir sedang, kemas grain
supported dan kekompakan sedang.
5. Satuan Breksi Andesit
Batuan berwarna abu-abu gelap, memiliki Fragmen andesit Matriks
pasir sedang dan Semen Nonkarbonat, memiliki ukuran butir bongkah-kerikil,
bentuk butir sub-angular dan kekompakan baik. Terdapat komposisi mineral
berupa hornblende, piroksen, mika, gelas/kaca, plagioklas asam dan kwarsa.
Struktur yang terdapat pada satuan ini adalah Masif.

23
BAB IV
STRUKTUR GEOLOGI

4.1 Struktur Geologi Regional

Gambar 4.1 Peta Struktur Daerah Penelitian, (Peta Geologi Lembar Cirebon & Majenang
P.H. SILITONGA, M. MASRIA dan N.SUWARNA, (1996) dan juga KASTOWO,
(1975))
Pulau Jawa secara tektonik dipengaruhi oleh dua lempeng besar, yaitu
Lempeng Eurasia di bagian utara dan Lempeng Indo-Australia di bagian selatan.
Pergerakan dinamis dari lempeng-lempeng ini menghasilkan perubahan tatanan
tektonik Jawa dari waktu ke waktu. Secara berurutan, rejim tektonik Jawa
mengalami perubahan yang dimulai dengan kompresi, kemudian mengalami
regangan dan kembali mengalami kompresi.
Selama zaman Tersier di Pulau Jawa telah terjadi tiga periode tektonik yang
telah membentuk lipatan dan zona-zona sesar yang umumnya mencerminkan gaya
kompresi regional berarah utara-selatan (Van Bemmelen, 1949). Ketiga periode
tektonik tersebut adalah :
1) Periode Tektonik Miosen Atas (Miosen – Pliosen ): Periode Tektonik
Miosen Atas (Mio-Pliosen) dimulai dengan pengangkatan dan perlipatan

24
sampai tersesarkannya batuan sedimen Paleogen dan Neogen. Perlipatan
yang terjadi berarah relatif barattimur, sedangkan yang berarah timurlaut-
baratdaya dan baratlauttenggara hanya sebagian. Sedangkan sesar yang
terjadi adalah sesar naik, sesar sesar geser-jurus, dan sesar normal. Sesar
naik di temukan di daerah barat dan timur daerah ini, dan berarah hampir
barat-timur, dengan bagian selatan relatif naik. Kedua-duanya terpotong
oleh sesar geser. Sesar geser-jurus yang terdapat di daerah ini berarah
hampir baratlaut-tenggara, timurlaut-baratdaya, dan utara-selatan. Jenis
sesar ini ada yang menganan dan ada pula yang mengiri. Sesar geser-jurus
ini memotong struktur lipatan dan diduga terjadi sesudah perlipatan. Sesar
normal yang terjadi di daerah ini berarah barat-timur dan hampir utara-
selatan, dan terjadi setelah perlipatan. Di daerah selatan Pegunungan Serayu
terjadi suatu periode transgresi yang diikuti oleh revolusi tektogenetik
sekunder. Periode tektonik ini berkembang hingga Pliosen, dan
menyebabkan penurunan di beberapa tempat yang disertai aktivitas
vulkanik.
2) Periode Tektonik Pliosen Atas (Pliosen – Pleistosen): Periode Tektonik
Pliosen Atas (Plio-Plistosen) merupakan kelanjutan dari periode tektonik
sebelumnya, yang juga disertai dengan aktivitas vulkanik yang penyebaran
endapan-endapannya cukup luas, dan umumnya disebut Endapan Vulkanik
Kuarter.
3) Periode Tektonik Holosen: Periode Tektonik Holosen disebut juga dengan
Tektonik Gravitasi, yang menghasilkan adanya gaya kompresi ke bawah
akibat beban yang sangat besar, yang dihasilkan oleh endapan vulkanik
selama Kala Plio-Plistosen. Hal tersebut menyebabkan berlangsungnya
keseimbangan isostasi secara lebih aktif terhadap blok sesar yang telah
terbentuk sebelumnya, bahkan sesar-sesar normal tipe horst dan graben
ataupun sesar bongkah atau sesar menangga dapat saja terjadi. Sesar-sesar
menangga yang terjadi pada periode ini dapat dikenal sebagai gawir-gawir
sesar yang mempunyai ketinggian ratusan meter dan menoreh kawah atau
kaldera gunung api muda, seperti gawir sesar di Gunung Beser, dan gawir

25
sesar pada kaldera Gunung Watubela. Situmorang, dkk (1976), menafsirkan
bahwa struktur geologi di Pulau Jawa umumnya mempunyai arah baratlaut-
tenggara ,sesuai dengan konsep Wrench Fault Tectonics Moody and Hill
(1956) yang didasarkan pada model shear murni.

4.2 Struktur Geologi Daerah Pemetaan


Struktur daerah pemetaan terdapat indikasi sesar geser dextral yang
didukung oleh pergeseran arah strike dip yang seragam.

26
BAB V
SEJARAH GEOLOGI

5.1 Sejarah Geologi Daerah Pemetaan


Petama kali diendapkan Satuan Napal pada lingkungan pengendapan laut
dalam dikarenakan ukuran butir yang halus dan arus yang tenang lalu Satuan
Batupasir nonkarbonat yang disebabkan oleh tidak adanya suplai CaCO 3 pada
daerah tersebut. Kemudian diatasnya diendapkan lagi Satuan Batulempung
Karbonatan dan juga Satuan Batulempung Selang-seling Batupasir. Semua satuan
tersebut terbentuk akibat arus turbidit yang nampak dari kandungan CaCO 3 yang
tidak merata. Dan semua lapisan tersebut di instrusi oleh lava andesit dan breksi,
sehingga menjadikan Satuan Breksi Andesit.

27
BAB VI
EVALUASI GEOLOGI

6.1 Potensi Geologi


Daerah pemetaan memiliki potensi tambang andesit didaerah dimana
terdapat Satuan Breksi Andesit dan juga terdapat potensi Geowisata yaitu tempat
wisata Waduk Malahayu.

Gambar 6.1 Potensi Geologi Daerah Pemetaan

Gambar 6.2 Potensi Geologi Daerah Pemetaan

28
Gambar 6.3 Potensi Geowisata Daerah Pemetaan
6.2 Bencana Geologi
Daerah pemetaan mempunyai potensi bencana geologi yaitu tanah longsor.

29
BAB VII
KESIMPULAN

Bisa disimpulkan daerah pemetaan dalam laporan ini secara administratif daerah
Banjarharjo dan sekitarnya, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Brebes, Provinsi
Jawa Tengah. Terletak di koordinat 108o 49’ 15,4” – 108o 52’ 30,8” BT dan 06o 59’
21,8” – 07o 02’ 04,8” LS. Daerah pemetaan memliki 4 satuan geomorfologi dan 5
satuan geologi, mempunyai potensi geologi dalam bentuk Tambang Breksi Andesit
serta ada potensi bencana geologi tanah longsor.

30
DAFTAR PUSTAKA

Asikin, S. 1987. Geologi Struktur Indonesia. Laboratorium Geologi


Dinamis. Institut Teknologi Bandung.
Bemmelen, R. W. Van, 1949, The Geology of Indonesia, Vol IA. Martinus
Nijhoff, The Hague, 732 h, Netherlands.
Hidayat, Muhammad. 2016. Yogyakarta. Geologi Daerah Majenang Dan
Sekitarnya. Kecamatan Majenang Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa
Tengah, [skripsi]. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Teknologi Nasional
Yogyakarta.
Kastowo, 1975, Peta Geologi Lembar Majenang, Jawa, Skala 1:100.000, Direktorat
Geologi, Bandung.
Katili & Tjia HD, Geotectonic of Indonesia, a modern view, Department of
Geology, Bandung Institute of Technology, Bandung.
Komisi Sandi Stratigrafi Nasional, 2002. Sandi Stratigrafi Nasional. Ikatan Ahli
Geologi Indonesia. Jakarta.
P.H. SILITONGA, M. MASRIA dan N.SUWARNA, (1996), Peta Geologi Lembar
Cirebon, Jawa , Skala 1:100.000, Pusat Penelitian Dan Pengembangan
Geologi, Indonesia.
Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996, Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia, Ikatan Ahli
Geologi Indonesia (IAGI).
Van Zuidam, R.A., 1983. Guide to Geomorphological Aerial Photographic
Interpretation and Mapping. ITC, Enschede, The Netherlands.
Verstappen Hth, 1977. Remote Sensing in Geomorphology. Elsevier
Scientific Publishing Company, Amsterdam, The Netherlands, pp 1-
325.
Pradipta, Adheo Mika. 2018. Jakarta. Geologi Daerah Cilangkap Dan
Sekitarnya. Kecamatan Gumelar Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa
Tengah, [makalah]. Jakarta: Universitas Trisakti.

31

Anda mungkin juga menyukai