Anda di halaman 1dari 14

EFEKTIFITAS JAMUR Beauveria bassiana TERHADAP HAMA Spodoptera

litura PADA TANAMAN SAWI HIJAU

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pengendalian Hama
Penyakit Terpadu

Oleh :
Wiya Lismaya 165001046

AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SILIWANGI
TASIKMALAYA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini untuk
memenuhi tugas mata kuliah Pengendalian Hama Penyakit Terpadu. Salawat dan salam
senantiasa selalu tercurah kepada Nabi kita Muhammad SAW.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi,
baik yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun penulis
menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan,
dorongan, dan bimbingan dosen, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi
teratasi.
Penulis ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
membimbing kami sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu. Makalah ini
disusun agar pembaca dapat memperluas pengetahuannya tentang efektifitas jamur
Beauveria bassiana terhadap hama Spodoptera litura pada tanaman sawi hijau.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya mahasiswa Universitas Siliwangi.
penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Penulis

April 2019

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Tinjauan Teori .................................................................................. 5
C. Pengelolaan agroforestri tradisional dukuh ........................................ 7
D. Penerimaan sosial terhadap agroforestri tradisional dukuh .............. 9
BAB III SIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ..................................................................................... 10
B. Saran ................................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sawi hijau merupakan tanaman semusim. Sawi berdaun lonjong halus,
tidak berbulu dan tidak berkrop. Tanaman sawi mempunyai batang pendek dan
langsing. Pada umumnya pola pertumbuhan daunnya berserak (roset) hingga
sukar membentuk krop. Tanaman ini mempunyai akar tunggang denga akar
samping yang banyak, tetapi dangkal (Sunarjo, 2003).
Sawi bermanfaat untuk mengilangkan rasa gatal di tenggorokan pada
penderita batuk, penyembuh penyakit kepala, bahan pembersih darah,
memperbaiki fungsi ginjal, serta memperbaiki dan memperlancar pencernaan.
Sawi mengandung protein, lemak, karbohidrat, Ca, P, Fe, Vitamin A, Vitamin
B, dan Vitamin C (Hartoyo, 2011).
Ulat grayak (Spodoptera litura) adalah salah satu spesies serangga
anggota Ordo Lepidoptera. Fase larva S. litura merupakan serangga fitofagus
yang aktif memakan bagian daun, buah, maupun bunga pada tanaman inang
(Calumpang, 2013).
Serangan hama merupakan salah satu faktor pembatas untuk
peningkatan produksi pertanian. Pengendalian hama seringkali menggunakan
pestisida kimia dengan dosis yang berlebih. Penggunaan pestisida dapat
menyebabkan tanaman tercemar residu pestisida sehingga membahayakan
kesehatan konsumen (Farihul dan Octriana, 2009).
Salah satu allternatif untuk mengendalikan hama S. litura adalah
dengan memanfaatkan agens hayati seperti jamur entomopagen (Trizelia et al.
2011) antara lain Beauvaria bassiana, Metarhizium anisopliae, Hirsutella
thompsonii, Paecilomyces fumosoroceus, Lecanicillium lecanii dan Spicaria sp
(Prayogo, 2005).

1
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang penulis temukan dalam penulisan makalah
adalah :
1. Bagaimana efektifitas jamur Beauveria bassiana terhadap hama Spodoptera
litura pada tanaman sawi hijau?

C. Tujuan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui bagaimana efektifitas jamur Beauveria bassiana terhadap hama
Spodoptera litura pada tanaman sawi hijau

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Landasan Teori
Sebagai bagian komunitas, setiap spesies serangga termasuk serangga
hama dapat diserang atau menyerang organisme lain. Bagi serangga yang
diserang organisme penyerang disebut “ musuh alami”. Secara ekologi istilah
tersebut kurang tepat karena adanya musuh alami tidak tentu merugikan
kehidupan serangga terserang. Hampir semua kelompok organisme dapat
berfungsi sebagai musuh alami serangga hama termasuk kelompok vertebrata,
nematoda, jasad renik, invertebrata diluar serangga (Kasumbogo, 2006).
Kelompok serangga dalam kehidupannya juga diserang banyak patogen
atau penyakit yang berupa virus, bakteri, protozoa, jamur, rikettsia, dan
nematoda. Serangga yang terserang penyakit menjadi terhambat petumbuhan
dan pembiakannya. Pada keadaan serangan penyakit yang parah serangga
trserang akhirnya mati. Oleh karna kemampuannya membunuh serangga hama
sejak lama patogen digunakan sebagai agens pengendalian hayati (biological
control agents). Kelompok jenis jamur yang menginfeksi seangga dinamakan
jamur entomopagen. Jamur patogen masuk ke dalam tubuh serangga melalui
kulit atau integumen. Penyebaran dan infeksi jamur sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain kepadatan inang, ketersediaan spora, cuaca terutama
angin dan kebasahan. Kebasahan tinggi dan angina kencang sangat membantu
penyebaran konidia dan pemerataan infeksi patogen pada seluruh individu pada
populasi inang. Penggunaan pestisida baik insektisida maupun fungisida untuk
mengendalikan hama dan penyakit ternyata sangat mempengaruhi kehidupan
dan perkembangan jamur patogenik serangga. Banyak laporan membuktikan
pestisida dapat menghambat perkecambahan konidia primer dan pengurangan
pelepasan konidia sekunder berikutnya (Kasumbogo, 2006).
Pengendalian hayati aman bagi lingkungan karena tidak memiliki dampak
samping terhdap lingkungan terutama terhadap serangga atau organisme bukan
sasaran. Karena musuh alami biasanya adalah khas inang. Meskipun pernah

3
dilaporkan kasus terjadinya ketahanan suatu jenis hama terhadap musuh alami
antaralain dengan membentuk kapsul dalam tubuh inang, namun kejadian
tersebut sangat langka. Pengendalian hayati juga relatif lebih ekonomis karena
begitu usaha tersebut berhasil petani tidak memerlukan lagi tambahan biaya
khusus untuk pengendalian hama, petani kemudian hanya mngupayakan agar
menghindari tindakan-tindakan yang merugikan perkembangan musuh alami
(Kasumbogo, 2006).

B. Pembahasan
1. Tanaman Sawi Hijau
Sawi hijau tergolong tanaman sayuran dari keluarga Cruciferae yang
memiliki nilai ekonomi tinggi dan sudah sangat popular di kalangan masyarakat.
Sawi hijau sering digunakan masyarakat sebagai bahan olahan dalam berbagai
jenis masakan. Pada umumnya tanaman sawi hijau ditanam di daerah rendah
tinggi dan panen dilakukan pada umur 30-60 hari setelah tanam, tergantung
varietasnya.
Sawi masih satu keluarga dengan kubis maupun dengan kubis bunga
(broccoli). Sawi hijau ini mempunyai banyak varietas, diantaranya ada yang
memiliki daun keriting dan berdaun halus. Tanaman sawi hijau merupakan herba
atau terna (annual) berakar serabut yang tumbuh dan menyebar ke semua arah
di sekitar permukaan tanah, tidak membentuk krops. Perakarannya sangat
dangkal pada kedalaman sekitar 5 cm. Tanaman sawi hijau memiliki batang
sejati pendek dan tegap terletak pada bagian dasar yang berada di dalam tanah
(Cahyono, 2003).
Daun tanaman sawi berbentuk bulat dan lonjong, lebar dan sempit, ada
yang berkerut-kerut (keriting), tidak berbulu, berwarna hijau muda, hijau
keputih-putihan sampai hijau tua. Pelepah daun tersusun saling membungkus
dengan pelepah-pelepah daun yang lebih muda tetapi tetap membuka. Daun
memiliki tulang-tulang daun yang menyirip dan bercabang-cabang (Kurniadi,
1992).

4
Tanaman sawi hijau umumnya mudah berbunga dan berbiji secara alami,
baik didataran tinggi maupun dataran rendah. Struktur bunga sawi hijau tersusun
dalam tangkai bunga yang tumbuh memanjang (tinggi) dan bercabang banyak.
Tiap kuntum bunga sawi terdiri atas empat helai daun kelopak, empat helai daun
mahkota bunga berwarna kuning cerah, empat helai benang sari dan satu buah
putik yang berongga dua (Rukmana, 2002).
Buah sawi hijau termasuk tipe buah polong, yakni bentuknya memanjang
dan berongga. Tiap buah (polong) berisi 2-8 butir biji yang berbentuk bulat
dengan permukaan yang licin, mengkilap, agak keras, dan berwarna coklat
kehitaman (Cahyono, 2003).
2. Hama Ulat Grayak Pada Tanaman Sawi Hijau
Sawi hijau tergolong kedalam kelompok sayuran yang paling popular di
masyarakat. Namun keberadaannya tidak terlepas dari serangan hama tanaman
yang dapat menurunkan hasil produksi baik kuantitas maupun kualitas sehingga
berdampak kerugian bagi petani. Hama yang paling merugikan tanaman adalah
dari ordo Lepidoptera yaitu spesies Spodoptera litura atau dikenal sebagai ulat
grayak. Tingkat kerusakan dari hama utama tersebut bervariasi antara 10-25%.
Serangan berat ulat grayak menyebabkan tanaman gundul karena daun dan
buah habis dimakan ulat. Serangan berat pada umumnya terjadi pada musim
kemarau, dan menyebabkan defoliasi daun yang sangat berat. Pertumbuhan
populasi ulat grayak sering dipicu oleh situasi dan kondisi lingkungan, yakni :
1. Cuaca panas. Pada kondisi kering dan suhu tinggi, metabolisme hama
meningkat sehingga memperpendek siklus hidup. Akibatnya jumlah
telur yang dihasilkan meningkat dan akhirnya mendorong peningkatan
populasi. Oleh karena itu, intensitas serangan ulat grayak pada
pertanaman sawi hijau musim kemarau umumnya lebih tinggi dibanding
pada musim hujan.
2. Penanaman tidak serentak dalam satu areal yang luas. Penanaman sawi
yang tidak serentak menyebabkan tanaman berada pada fase
pertumbuhan yang berbeda-beda sehingga makanan ulat grayak selalu

5
tersedia di lapangan. Akibatnya, pertumbuhan populasi hama makin
meningkat karena makanan tersedia sepanjang musim.
3. Aplikasi insektisida. Penggunaan insektisida yang kurang tepat baik
jenis maupun dosisnya, dapat mmatikan musuh alami serta
meningkatkan resistensi dan resurgensi hama. Aplikasi insektisida
dengan dosis tinggi dapat memicu timbulnya resistensi hama terhadap
insektisida, sedangkan aplikasi insektisida pada dosis yang sublethal
dapat menyebabkan timblnya resurgensi. Oleh karena itu, pengendalian
yang hanya mengandalkan pada penggunaan berbagai jenis insektisida
mengakibatkan sebagian besar populasi ulat grayak di lapangan berubah
menjadi strain yang mempunyai resistensi silang yang menyebabkan
pengendalian dengan insektisida sering tidak efektif
(Listyaningrum,dkk, 2003).
Kerusakan dan kehilangan hasil akibat serangan ulat grayak ditentukan oleh
populasi hama, fase perkembangan hama, fase pertumbuhan tanaman, dan
varietas sawi. Serangan pada varietas rentan menyebabkan kerugian yang sangat
signifikan. Apabila defoliasi daun karena serangan ulat grayak terjadi pada fase
R2 (fase pertumbuhan tanaman berbunga penuh, pada dua atau lebih buku batang
utama terdapat bunga mekar), dan fase R3 (fase pertumbuhan tanaman mulai
membentuk polong, terdapat satu atau lebih polong sepanjang 5 mm pada batang
utama) maka kerusakan yang ditimbulkan lebih besar daripada serangan pada
fase R4 (fase pertumbuhan tanaman polong berkembang penuh, polong pada
batang utama mencapai panjang 2 cm atau lebih), R5 (fase pertumbuhan tanaman
polong berisi, polong pada batang utama berisi biji dengan ukuran 2 mm x 1
mm), dan R6 (fase pertumbuhan tanaman biji penuh, polong pada batang utama
berisi biji berwarna hijau atau biru yang telah memenuhi rongga polong/besar,
biji mencapai maksimum) (Sutrisno, 2006).

6
3. Jamur Beauvaria bassiana sebagai pngenali hama Ulat Grayak pada
tanaman Sawi hijau
Serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) merupakan salah satu
faktor pembatas dalam peningkatan produksi pertanian. Dalam pengendalian
serangan OPT tersebut seringkali kita jumpai jalan pintas yaitu dengan
menggunakan pestisida kimia. Sebagaimana telah diketahui bahwa penggunaan
pestisida kimia yang tidak bijaksana akan menimbulkan dampak negatif. Dengan
mempertimbangkan dampak negatif yang kemungkinan muncul dengan
penggunaan pestisida tersebut, maka perlu diupayakan teknologi pengendalian
yang lebih aman dan ramah lingkungan. Hal ini sesuai dengan penerapan
konsepsi Pengendalian Hama Terpadu (PHT), bahwa pengendalian OPT
dilaksanakan dengan mempertahankan kelestarian lingkungan, aman bagi
produsen dan konsumen serta menguntungkan bagi petani. Salah satu alternative
pengendalian adalah pmanfaatan jamur penyebab penyakit pada serangga, yaitu
jamur patogen Beauvaria bassiana.
Beauvaria bassiana merupakan cendawan entomopagen yaitu cendawan
yang dapat menimbulkan penyakit pada serangga. Beauvaria bassiana berasal
dari kingdom Fungi, filum Ascomycota, kelas Sordariomycetes, ordo
Hypocreales, famili Clavicipitaceae, dan genus Beauvaria. Merupakan jamur
mikroskopik dengan tumbuh berbentuk benang-benang halus (hifa). Hifa-hifa
tersebut selanjutnya membentuk koloni yang disebut miselia. Jamur ini tidak
dapat memproduksi makanannya sendiri atau disebut saprofit, oleh karena itu ia
bersifat parasit dan hidup dengan mengambil nutrisi inangnya. Cara cendawan
Beauvaria bassiana menginfeksi tubuh serangga dimulai dengan kontak inang,
masuk ke dalam tubuh inang, reproduksi di dalam satu atau lebih jaringan inang,
kemudian kontak dan menginfeksi inang baru. Karena cara kerjanya yang cukup
efektif dan cepat, Beauvaria bassiana digunakan sebagai agen hayati pembasmi
hama ulat grayak pada tanaman sawi hijau.
Penembusan dilakukan secara mekanis dan kimiawi dengan mengeluarkan
enzim atau toksin. Pada proses selanjutnya, jamur akan bereproduksi di dalam
tubuh inang. Jamur akan berkembang dalam tubuh inang dan menyerang seluruh

7
jaringan tubuh, sehingga serangga mati. Miselia jamur menembus ke luar tubuh
inang, tumbuh menutupi tubuh inang dan memproduksi konidia. Dalam hitungan
hari, serangga akan mati. Serangga yang terserang jamur Beauvaria bassiana
akan mati dengan tubuh mengeras seperti mumi dan jamur menutupi tubuh inang
dengan warna putih. Pada hasil pembedahan terhadap larva yang mati, yang
memperlihatkan isi saluran pencernaan larva yang kering dan berwarna hitam.
Kulit larva bagian dalam berwarna merah dengan warna putih di sekitarnya.
Gejala-gejala ini adalah gejala yang ditunjukan oleh zat pengurai khitin yang
dikenal dengan nama Beauvericin sebagai racun yang dihasilkan oleh konidia
jamur tersebut. Selain itu, Beauvaria bassiana juga menghasilkan toksin seperti
beauverolit, bassianalit, isorolit, dan asam oksalat yang menyebabkan terjadinya
kenaikan pH, pnggumpalan dan terhentinya peredaran darah serta merusak
saluran pencernaan, otot, sistem syaraf, dan pernafasan.
Jamur patogen Beauvaria bassiana juga memiliki beberapa keunggulan
sebagai pestisida hayati/biopestisida seperti mudah diproduksi dengan teknik
sederhana, tidak menyebabkan fitotoksin (keracunan) pada tanaman yang
dibudidayakan, tidak meninggalkan residu beracun pada hasil pertanian, dalam
tanah maupun aliran air alami, dan selektif terhadap serangga sasaran sehingga
tidak membahayakan serangga lain yang bukan sasaran, seperti predator,
parasitoid, serangga penyerbuk, dan serangga berguna seperti lebah madu.
Pemanfaatan jamur Beauvaria bassiana sebagai biopestisida, tentu tidak
mencemari lingkungan seperti yang terjadi jika menggunakan pestisida kimia,
walaupun keberhasilan dari insektisida biologis dari jamur Beauvaria bassiana
ini memberikan dampak positif yang sangat besar terhadap pengendalian
serangga hama tanaman dan keselamatan lingkungan, namun dalam
penerapannya di masyarakat masih minim, sehingga memerlukan upaya
sosialisasi yang lebih intensif.

8
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa Agroforestri
tradisional Dukuh menurut terminologi etnis Banjar adalah “pulau buah” yang
berarti di areal atau lahan tersebut terdapat bermacam-macam tanaman buah
yang secara fungsional sama seperti fungsi hutan. Sebagian besar dukuh adalah
sebagai kebun waris keluarga secara turun temurun. Proses terbentuknya dukuh
dapat melalui lima tahapan yang berbeda-beda dan berlangsung dalam tiga
periode. Periode yang paling pertama kali atau pioner berlangsung dari tahun
1830-1930, periode perluasan berlangsung dari tahun 1930-1960, dan periode
pengembangan dari tahun 1960 sampai sekarang.
Pengelolaan agroforestri tradisional dukuh terdapat empat tahapan
meliputi kegiatan permudaan, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran.
pendapatan yang di peroleh masyarakat berbeda-beda berkisar dari Rp.
3.825.000 sampai Rp. 8. 200.000 pertahun, dengan rata-rata pertahun sebesar
Rp. 6.403.000 sehingga kontribusi usaha agroforestri ini sebesar 33%. Hal ini
menunjukkan bahwa agroforestri tradisional dukuh memberikan konribusi
yang cukup besat bagi pendapatan petani dan membantu meningkatkan
perekonomian masyarakat. Perhitungan Indeks Penerimaan Sosial (IPS) di
peroleh nilai sebesar 82,86. Nilai tersebut menunjukkan tingkat penerimaan
sosial terhadap agroforestry dukuh tinggi karena berkisar antara 67-100.
Faktor-faktor yang mempengaruhi IPS yaitu pendapatan, hasil produksi, dan
pemasaran.

B. Saran
Sebaiknya untuk kedepannya pembuatan makalah jangan hanya studi
agroforestri tradisional di daerah Kalimantan selatan, tapi perlu pembuatan

9
makalah ataupun penelitian tentang agroforestri selain di Provinsi Kalimantan
Selatan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Hafizianor dan Iswahyudi, H (2016). “Pengelolaan dan Penerimaan Sosial


Agroforestry Tradisional Dukuh Di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan”.
(12). 15-21.

Anda mungkin juga menyukai