Rendra (tengah) bersama Iwan Fals dan Sawung Jabo. (photo koleksi
http://sidomi.com)
Saya percaya bahwa orang-orang yang berkualitas semacam itu ada di
dalam masyarakat kita. Tetapi saya tidak percaya bahwa orang itu bisa
bersifat dewa. Saya tidak bisa percaya bahwa ada orang bisa maju penuh
sementara ia berumah di angin dan sekaligus berumah di keraton atau di
dewan. Disiplin bekerja antara ketiga golongan itu sungguh-sungguh
berbeda.
Orang yang tinggal di keraton harus bekerja dengan rencana: rencana
pelaksanaan, rencana tempat, rencana waktu, rencana keamanan. Orang
yang tinggal di angin tidak punya rencana ruang karena ia meruang: ia tidak
punya rencana waktu karena didalam alam; kemarin dan esok adalah hari
ini; ia tidak punya perhitungan untung rugi karena di mata alam: bencana
dan keberuntugnan sama saja; ia tidak mencari ketika di luar dirinya karena
begitu ia mengalami langit di luar dan langit di badan bersatu dalam jiwanya:
… itulah ketikanya!
Maka, orang yang berumah di dewan, lain lagi disiplinnya: mereka
harus menjaga agar selalu ada ruang dalam pikiran, perasaan, dan
perkataannya untuk diplomasi. Merekalah yang bertugas untuk menjaga
agar pertentangan roh dan badan tidak menjelma menjadi perang, tetapi
menjadi diplomasi. Segala persaolan harus mereka hadapi dengan disiplin
ilmu silat pedang. Adapun menggenggam pedang itu seperti menggenggam
burung: terlalu longgar dipegang ia terbang, terlalu erat dipegang ia mati.
Begitulah besarnya perbedaan disiplin antara ketiga golongan itu. Sehingga
tidak mungkin satu golongan merangkap menjadi golongan lain pula.
Orang yang berumah di angin harus mendapat keadilan di dalam
keseimbangan masyarakat di dalam alam semesta.
Syekh Siti Jenar sesungguhnya tak usah dibunuh. Sebab nilai rohani
yang menghalalkan pembunuhan semacam itu sudah menjadi budak dari
badan. Itulah kesalahan Sunan Kudus, wali yang terlalu membudak kepada
badan. Ia lah yang memulai timbulnya keguncangan keseimbangan antara
roh dan badan.
Kerajaan Demak jatuh diganti Kerajaan Pajang yang cuma singkat
usianya, lalu jatuh pula, lalu diganti oleh kekusaan Panembahan Senopati
pendiri Kerajaan Mataram II.
Orang-orang priayi Jawa Baru menganggap Panembahan Senopati
adalah teladan utama. Tetapi sebenarnya ia adalah raja yang buruk dan liar.
Salah seorang putranya disuruh membunuh ibunya. Salah seorang putrinya
disuruh menjadi ronggeng, memikat hati seorang pemberontak, menjadi
isterinya dan akhirnya lalu menjadi jalan kematiannya. Sesudah itu hampir
pula putrinya itu ia bunuh juga karena sudah terlanjur mengandung anak
dari benih pemberontak itu. Untung bisa dicegah oleh salah seorang
putranya. Dan terhadap raja yang sewenang-wenang ini tak ada suara roh
yang berani menentangnya. Suara-suara roh sudah disirnakan oleh Sunan
Kudus dengan bantuan wali-wali lainnya.
Akhirnya Sultan Agung, cucu Panembahan Senopati, menambah
parah kegawatan imbangan itu.
Ia merasa mendapat wahyu cakraningrat, yaitu wahyu untuk menjadi
raja dan pendeta sekaligus, roh dan badan sekaligus. Suara roh makin tak
ada jadinya. Ia bergerak tanpa imbangan dan aturan.
Lalu mulailah Mataram mewarisi kepriayian yang bertele-tele itu. Daya
cipta yang segar parah. Kebudayaan Jawa Baru hanyalah kebudayaan gincu
dan rendah-renda, roh yang polos lemah suaranya, diganti dengan
kecerdikan yang gemerlapan.
Sungguh besar ongkos yang harus dibayar karena menyingkirkan
orang-orang yang berumah di angin.
Orde Lama jatuh karena mencap orang-orang yang berumah di angin
sebagai golongan antirevolusi, sehingga tak ada lagi imbangan kontrol yang
bisa memberi tanda bahaya.
Dan sekarang bagaimanakah keadaan orang-orang yang berumah di
dewan saat sekarang?
Rakyat ingin melihat dan membuktikan, apakah orang-orang yang
berumah di dewan sanggup membela orang yang berumah di angin? Apakah
mereka sanggup merapikan orang yang berumah di keraton? Apakah mereka
sanggup membela keadilan kerakyatan dengan lebih mendorong agar bisa
tercapai demokratis politik yang lebih bijaksana? Apakah mereka sanggup
lebih mendorong terlaksananya demokrasi ekonomi? Apakah mereka
sanggup mendorong tercapainya demokrasi pendidikan? Sebab inilah semua
alur perubahan yang diperlukan untuk membela rakyat.
Tetapi juga ini: apakah orang-orang yang berumah di dewan akan
sanggup mendorong agar nilai ilmiah benar-benar bisa diterapkan di dalam
melaksanakan kemajuan? Yang saya maksud, agar urutan 5 disiplin ilmiah:
mengumpulkan fakta, menyusun fakta, menganalisa fakta, membuat
kesimpulan dan membuktikan kesimpulan, benar-benar bisa diterapkan di
Indonesia. Tanpa salah satu dari kelima disiplin itu tidak akan mungkin bisa
ada penghayatan ilmiah. Jadi sangat penting agar penghayatan ilmiah bisa
dilaksanakan rakyat bahwa semua fakta bisa terbuka untuk mereka, dan
mereka pun harus dibebaskan untuk mengumpulkan fakta apa saja.
Selanjutnya harus pula ada kesempatan untuk membuktikan
kesimpulan-kesimpulan yang sudah ada. Tanpa kesempatan-kesempatan
semacam itu sikap ilmiah adalah omong kosong.
Dalam hubunganya dengan renungan saya di kampung Ketanggungan,
itulah kaitan Akademi Jakarta dengan kepentingan rakyat.
Nama “Akademi” memang asing, tetapi dalam takaran soal ini, tak perlu
menjadi masalah lagi. Kata “wali” toh juga kata asing tadinya.
Yang penting tantangan kepada mereka sudah saya ucapkan. Sudah
terang tantangan serupa itu tidak cukup bisa dijawab dengan memberikan
hadiah-hadiah semacam ini. Saya masih menunggu kapan lagi Akademi
Jakarta akan bisa mengundang orang-orang yang berumah di angin untuk
berpidato di masyarakat terbuka yang diselenggarakan oleh Akademi. Saya
masih ingin melihat buku-buku apa yang akan diterbitkan. Dan juga ingin
menyaksikan bagaimana pelaksanan-pelaksanaan lain yang lebih nyata.
Sekarang saya ambil hadiah dari Akademi Jakarta. Terima kasih.
Saya akan kembali ke angin.
Langit di luar
langit di badan
bersatu dalam jiwa
1975