Anda di halaman 1dari 11

W.S.

Rendra: Mempertimbangkan Tradisi

HARI ini Akademi Jakarta telah memberikan hadiah penghargaan


kepada saya sebagai seorang seniman.
Hadiah penghargaan itu saya terima dengan baik. Terima kasih.
Selanjutnya perkenankan saya mengutarakan kegirangan hati saya karena
mendapatkan penghargaan ini.
Pepatah mengatakan: “Di dalam ilmu silat tidak ada juara nomor dua,
di dalam ilmu surat tidak ada juara nomor satu”.
Tentu saja: di dalam persaingan di rimba persilatan, yang tinggal jaya
hanyalah juara nomor satu, sebab yang nomor dua sudah terbunuh di dalam
pertarungan; sedangkan di dalam ilmu surat, ukuran apa yang akan dipakai
untuk menetapkan juara nomor satu? Bukankah ilmu surat itu cermin
kehidupan? Maka kehidupan itu banyak seginya. Dan semua segi kehidupan
itu penting. Jadi, para ahli ilmu surat itu, yang masing-masing
mencerminkan segi berbeda dari kehidupan, tidak mungkin
dipertandingkan. Semuanya nomor satu. Tidak ada yang lebih unggul dari
lainnya.
Jadi mustahil bila saya menganggap bahwa penghargaan dari Akademi
Jakarta ini bisa menjadi ukuran mutu bagi kesenian saya, di dalam
perbandingannya dengan karya seniman-seniman lain yang tidak
mendapatkan hadiah pada tahun ini.
Maka kegembiraan saya hari ini tidak ada hubungannya dengan rasa
unggul.
Lalu apakah dasar kegembiraan saya yang sangat besar hari ini? Di
kota di mana saya tinggal, di Yogya, sejak pementasan drama saya Mastodon
dan Burung Kondor, saya belum pernah diizinkan untuk melakukan
pementasan sandiwara lagi. Alasan pelarangan-pelarangan terhadap
pementasan saya itu tidak bisa diterima oleh akal sehat.
Oidipus Berpulang dan Lysistrata yang sudah diizinkan di Jakarta itu,
tidak diizinkan untuk dimainkan di Yogya.
Naskah Oidipus Berpulang itu dilarang karena dinilai tidak sesuai
dengan naskah Sophocles yang asli. – Tetapi apakah ada undang-undang
yang melarang penyaduran?
Sedang Lysistrata dilarang berdasarkan pertimbangan atasan, serta
mengingat “situasi dan kondisi di Daerah Istimewa Yogyakarta saat itu”. –
Astaga, jadi rupa-rupanya saat ini, menurut keterangan di dalam surat polisi
ini, Yogya dalam keadaan sedemikian rupa sehingga pementasan sebuah
sandiwara semacam Lysistrata saja dianggap akan bisa membahayakan
suasana. Kalau begitu secara tidak langsung diakui bahwa Yogya penuh
dengan keadaan yang tidak normal. Ataukah keadaan Yogya diakui selalu
tegang dan gawat terus-menerus? – Bagaimanakah sebenarnya? Sebagai
penduduk Yogya saya kurang tahu duduk perkara keadaan aneh semacam
itu. Pemerintah Pusat, para wakil rakyat, dan para wartawan harus
menyelidiki “situasi yang dikuatirkan oleh polisi Yogya tersebut di atas.
Apakah para atasan yang disebut oleh polisi itu benar sudah tidak bisa
menguasai suasana sehingga mereka menjadi repot hanya oleh sebuah
sandiwara? Ini harus benar-benar diselidiki. Apakah mereka takut
menghadapi sindiran dan kritikan? Kalau begitu apakah kewibawaan mereka
sudah sedemikian tipis sehingga gentar menghadapi kritikan?
Syahdan, para ksatria dan raja-raja bijaksana di dalam wayang tidak
pernah mengamuk karena kritikan-kritikan dari Semar, Gareng, Bagong dan
Petruk. Mereka selalu menanggapi kritikan-kritikan itu dengan baik. Mereka
adalah ksatria dan raja-raja yang bijaksana yang bisa diajak bicara. Karena
itu mereka mendapatkan wibawa. – Lain daripada para raja raksasa.
Mereka tidak punya Semar, Bagong, Gareng, dan Petruk yang
memberikan kritikan-kritikannya. Mereka penuh gairah angkara murka,
adigang-adigung-adiguna, penuh roso risi = rasa bersalah, sehingga mereka
tidak tahan terhadap kritikan. Mereka kasar. Mereka hanya bisa menekan
dan melarang. Mereka tidak bisa diajak bicara.
Mereka hanya punya kekuasaan, tetapi mereka tidak punya wibawa,
oleh karena itu mereka tidak tahan terhadap kritikan yang dilancarkan
dalam goro-goro atau adegan banyolan yang penuh sindiran.
Setelah wayang mencapai saat: goro-goro itu, hanya para ksatria yang
bisa tinggal jaya, para raksasa tak bisa jaya sesudah itu. Ya, bagaimana cara
penguasa menghadapi goro-goro itulah ukuran mutunya. Kita akan segera
bisa melihat apakah ia termasuk ksatria atau raksasa.
Adapun sandiwara-sandiwara saya tak lebih dari sebuah goro-goro. Di
Dalam goro-goro Semar, Bagong, Gareng dan Petruk memang melancarkan
kritikan yang menginginkan keadilan yang merata, namun tidak
menyarankan perubahan kekuasaan. Goro-goro yang sudah saya mainkan
di Jakarta tidak pernah menimbulkan anarki, karena pada hakikatnya saya
antianarki. Jadi kenapa para atasan yang disebut oleh polisi di Yogya itu
melarang goro-goro saya yang menentang anarki itu? Ini menimbulkan
keprihatinan saya yang dalam.
Tiba-tiba di dalam keprihatinan saya itu, datanglah keputusan
Akademi Jakarta untuk memberikan penghargaan kepada saya. Inilah suatu
keseimbangan di dalam masyarakat yang menjadi rahmat bagi saya. Itulah
sebabnya kenapa hari ini saya benar-benar bergembira dan bersyukur
sedalam-dalamnya.
Ah, sekarang saya ingin gantian berbuat sesuatu untuk Akademi
Jakarta. Saudara-saudara telah berkenan untuk memberi penghargaan
kepada saya, maka kini saya pun berkenan untuk memberikan tanda mata
kepada Saudara-saudara. Tanda mata saya ini bernama goro-goro.
Orang-orang di kampung saya, di Ketanggungan, Yogya, dan juga
orang tua saya, tidak bisa membayangkan apakah Akademi Jakarta itu.
Sesungguhnya banyak orang yang belum pernah mendengar tentang adanya
Akademi ini, dan baru sekarang mereka membicarakannya.
Banyak di antara mereka menyangka bahwa Akademi Jakarta ini
semacam Akademi Bank, atau Akademi Bahasa Asing, atau Akademi
Kesenian, atau semacam itu.
Salah tampa rakyat banyak yang semacam ini wajar sekali, sebab
sampai sekarang Akademi Jakarta belum berbuat sesuatu yang dengan kuat
menyangkut kepentingan mereka, dan belum pernah pula Akademi Jakarta
mempunyai bahasa yang kuat untuk menjelaskan kehadirannya.
Saya sendiri juga susah dalam memberikan jawaban kepada mereka
perihal lembaga Saudara-saudara ini.
Nama “Akademi” selalu mengingatkan saya kepada pabrik
pengangguran, sekolah-sekolah yang miskin metoda dan serba melahap
kesimpulan-kesimpulan pemikiran asing tanpa mengolah daya pencernaan
yang baik!
Beberapa hari sebelum saya datang kemari untuk menerima
penghargaan ini, sering kali, sambil mengasuh anak bungsu saya di bawah
pohon-pohon nangka, di kampung saya, di Ketanggungan, Yogya, saya
merenung, mencoba mencari-cari kaitan Akademi Saudara-saudara dengan
dunia saya. – Ya, bagi orang kampung seperti saya, apakah artinya Akademi
semacam itu?
Di Prancis memang ada Akademi Prancis, didirikan oleh Richelieu.
Maksudnya untuk setiap kali membuat takaran resmi bagi kebudayaan yang
berkembang di masyarakat. Ini penting bagi Prancis waktu itu, karena
merupakan tuntutan dari bentuk politik monarki absolut. Waktu itu,
disesuaikan dengan kebutuhan politis Raja Louis kebudayaan harus
bercorak neoklasik. Satu per satu, seniman Prancis waktu itu, dipaksa
bertekuk lutut terhadap aliran neoklasik. Corneille menderita, mencoba
bertahan, tetapi akhirnya bertekuk lutut juga. Hanya Moliere yang sanggup
bertahan terhadap tekanan dari Akademi Prancis.
Dan kini Akademi Jakarta.
Apakah saya sekadar melahap ataukah saya akan mencernakannya?
Ini suatu laku yang penting untuk menentukan kelangsungan hidup saya.
Nama Akademi Jakarta memang mengingatkan saya kepada Akademi
Prancis, lalu terlintas pula di dalam renungan saya bagan-bagan masyarakat
yang merupakan kesimpulan pikiran dan pengalaman orang Barat. Apakah
saya harus mengaitkan kedudukan Akademi Jakarta ke sana?
Wah, ini tidak sesuai dengan alat pencernaan orang kampung seperti
saya.
Selera bisa dibina, pencernaan selalu berkiblat kepada lingkungan.
Jadi saya akan mencoba mengaitkan Akademi Jakarta dengan alam
pikiran dan pengalaman lingkungan saya.
Bencana dan keberuntungan manusia ialah bahwa ia terdiri dari roh
dan badan. Modern atau tidak modern, manusia harus mempertahankan
keseimbangan antara roh dan badannya, demi kesehatan.
Di dalam masyarakat modern atau bukan modern, pembagian roh dan
badan itu tetap ada. Lembaga hukum, adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan
itulah badan. Naluri dan mimpi, itulah roh. Adalah tugas para ulama,
cendekiawan, dan seniman untuk menjaga peranan roh masyarakat. Kerja
sama dengan badan harus dilakukan. Keseimbangan harus dijaga.
Kesepuluh anggota Akademi Jakarta adalah cendekiawan-
cendekiawan dan seniman-seniman yang terpandang, dan masing-masing
sudah nyata jasanya. Di zaman dulu orang-orang seperti mereka disebut
empu-empu. Dan kedudukan mereka masing-masing di dalam mata
masyarakat, adalah penjaga nilai-nilai rohani.
Maka, raja berumah di keraton dan empu berumah di angin. Begitu
kata pepatah yang tersangkut di rantang pohon.
Jadi kenapa kesepuluh empu ini mesti dilembagakan? Bukankah
sejauh-jauhnya empu berkelembaga, pasti hanya menjadi lembaga setengah
badan?
Rupa-rupanya di dalam saat perubahan masyarakat diperlukan secara
mengakar, maka raja atau pengatur lembaga selalu berusaha untuk setengah
melembagakan empu-empu itu. Maksud saya bukannya mengubah
cendekiawan itu menjadi teknokrat, sebab itu artinya membadankan mereka
sama sekali, tetapi hanya sekadar setengah membadankan saja.
Maksudnya tentulah untuk mengatur ketangkasan masyarakat di
dalam mengadakan perubahan-perubahan yang diperlukan, sesuai dengan
kebutuhan bersama.
Maka apabila empu-empu ini seluruhnya dibadankan menjadi patih
atau teknokrat, akan hilanglah kemampuan mereka untuk dipakai sebagai
imbangan rohani oleh raja. Tetapi apabila setengah dibadankan saja, maka
mereka akan lebih bisa dirapikan untuk kepentngan ketangkasan kerja
sama, sementara itu mereka masih mampu memiliki kewibawaan rohani.
Dahulu di zaman kehinduan akan ditanamkan di Indonesia, dan
masyarakat memerlukan perubahan tata kemasyarakatan serta tata
pertanian yang mengakar, maka empu-empu juga diusahakan oleh raja
untuk setengah dilembagakan. Pada saat itu empu-empu dipindahkan dari
padepokan-padepokan dan mulai berumah di keraton. Banyak pujangga
menjadi pujangga keraton. Dukun menjadi dukun keraton semacam Empu
Lohgawe, meskipun saat itu empu-empu pembuat keris tetap sukar untuk
dikeratonkan dan banyak di antara mereka, tetap tinggal di angin, seperti
Empu Gandring, Empu Supo Pertama, dan lain-lain.
Kejadian ini berulang lagi waktu agama Islam mula-mula masuk ke
Jawa. Waktu itu Islam memberikan kesegaran kepada kemacetan
masyarakat yang terlalu dijuruskan oleh Gajah Mada kepada kebudayaan
pertanian, sehingga sangat lemah kebudayaan perdagangannya; apalagi
setelah Syahbandar Tuban hijrah ke Malaka dengan segenap kapal dan
modal-modalnya. Islam yang masuk waktu itu juga berarti tambahnya
kembali kekuatan perdagangan. Raja Islam yang mengganti kekuasaan
Majapahit sanggup menghadapi kekuatan perdagangan bangsa Portugis.
Sultan Trenggono dengan gilang-gemilang bisa merebut kembali Sunda
Kelapa dari tangan orang-orang Portugis. Ia adalah raja yang membawa
pembaruan kepada masyarakat. Empu-empu, ya, ulama-ulama, yang
penting disetengah-lembagakan menjadi wali, sehingga menjadi Wali
Sembilan. Ada juga empu yang tidak mau disetengah-lembagakan, ia ingin
tetap berumah di angin, yaitu Syekh Siti Jenar.
Sekarang di zaman kita ini, perubahan masyarakat perlu diadakan
secara mengakar, sebab kebudayaan Jawa Baru yang kepriayian, yang sudah
kehilangan kerakyatannya itu, serta juga sisa-sisa kebudayaan penjajahan
yang sok barat tetapi tidak ilmiah itu, perlu diganti dengan kebudayaan baru
yang lebih memberi kesempatan kepada nilai-nilai analitis dan logis, serta
juga mengutamakan keadilan kerakyatan, tanpa melupakan dasar agama
yang kuat tertanam di dalam naluri bangsa.
Tentu saja, demi ketangkasan kerja sama di dalam masyarakat dalam
memperjuangkan perubahan itu, para empu, yah, maksud saya
cendekiawan-cendekiawan, ulama dan seniman perlu juga disetengah-
badankan. Jadi akhirnya saya bisa menerima dan mengatakan kedudukan
Akademi Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta, Majelis Ulama, dan lain
sebagainya kepada kebutuhan masyarakat.
Meskipun tentu saja akan tetap ada cendekiawan atau seniman yang
tidak mau disetengah-badankan, misalnya saya, dan banyak lagi yang lain.
Yah, saya ingin tetap tinggal di angin.
Begitulah memang seharusnya keseimbangan di dalam masa-masa
perubahan. Badan + setengah roh, setengah badan + roh. Salah satu
ditiadakan, keseimbangan akan terguncang. Tugas penjaga roh, yaitu
mereka yang berumah di angin, adalah untuk mencari imspirasi dan daya
hidup. Tugas penjaga badan, yaitu yang berumah di keraton adalah untuk
menjalankan pelaksanaan, menjaga setengah badan = adalah mereka yang
berumah di dewan, untuk menyebarkan nilai roh dan nilai badan sehingga
menjelma menjadi perumusan yang bisa dilaksanakan. Inilah tugas yang
berat dan gawat, karena menurut kebijaksanaan dan kematangan jiwa.

Rendra (tengah) bersama Iwan Fals dan Sawung Jabo. (photo koleksi
http://sidomi.com)
Saya percaya bahwa orang-orang yang berkualitas semacam itu ada di
dalam masyarakat kita. Tetapi saya tidak percaya bahwa orang itu bisa
bersifat dewa. Saya tidak bisa percaya bahwa ada orang bisa maju penuh
sementara ia berumah di angin dan sekaligus berumah di keraton atau di
dewan. Disiplin bekerja antara ketiga golongan itu sungguh-sungguh
berbeda.
Orang yang tinggal di keraton harus bekerja dengan rencana: rencana
pelaksanaan, rencana tempat, rencana waktu, rencana keamanan. Orang
yang tinggal di angin tidak punya rencana ruang karena ia meruang: ia tidak
punya rencana waktu karena didalam alam; kemarin dan esok adalah hari
ini; ia tidak punya perhitungan untung rugi karena di mata alam: bencana
dan keberuntugnan sama saja; ia tidak mencari ketika di luar dirinya karena
begitu ia mengalami langit di luar dan langit di badan bersatu dalam jiwanya:
… itulah ketikanya!
Maka, orang yang berumah di dewan, lain lagi disiplinnya: mereka
harus menjaga agar selalu ada ruang dalam pikiran, perasaan, dan
perkataannya untuk diplomasi. Merekalah yang bertugas untuk menjaga
agar pertentangan roh dan badan tidak menjelma menjadi perang, tetapi
menjadi diplomasi. Segala persaolan harus mereka hadapi dengan disiplin
ilmu silat pedang. Adapun menggenggam pedang itu seperti menggenggam
burung: terlalu longgar dipegang ia terbang, terlalu erat dipegang ia mati.
Begitulah besarnya perbedaan disiplin antara ketiga golongan itu. Sehingga
tidak mungkin satu golongan merangkap menjadi golongan lain pula.
Orang yang berumah di angin harus mendapat keadilan di dalam
keseimbangan masyarakat di dalam alam semesta.
Syekh Siti Jenar sesungguhnya tak usah dibunuh. Sebab nilai rohani
yang menghalalkan pembunuhan semacam itu sudah menjadi budak dari
badan. Itulah kesalahan Sunan Kudus, wali yang terlalu membudak kepada
badan. Ia lah yang memulai timbulnya keguncangan keseimbangan antara
roh dan badan.
Kerajaan Demak jatuh diganti Kerajaan Pajang yang cuma singkat
usianya, lalu jatuh pula, lalu diganti oleh kekusaan Panembahan Senopati
pendiri Kerajaan Mataram II.
Orang-orang priayi Jawa Baru menganggap Panembahan Senopati
adalah teladan utama. Tetapi sebenarnya ia adalah raja yang buruk dan liar.
Salah seorang putranya disuruh membunuh ibunya. Salah seorang putrinya
disuruh menjadi ronggeng, memikat hati seorang pemberontak, menjadi
isterinya dan akhirnya lalu menjadi jalan kematiannya. Sesudah itu hampir
pula putrinya itu ia bunuh juga karena sudah terlanjur mengandung anak
dari benih pemberontak itu. Untung bisa dicegah oleh salah seorang
putranya. Dan terhadap raja yang sewenang-wenang ini tak ada suara roh
yang berani menentangnya. Suara-suara roh sudah disirnakan oleh Sunan
Kudus dengan bantuan wali-wali lainnya.
Akhirnya Sultan Agung, cucu Panembahan Senopati, menambah
parah kegawatan imbangan itu.
Ia merasa mendapat wahyu cakraningrat, yaitu wahyu untuk menjadi
raja dan pendeta sekaligus, roh dan badan sekaligus. Suara roh makin tak
ada jadinya. Ia bergerak tanpa imbangan dan aturan.
Lalu mulailah Mataram mewarisi kepriayian yang bertele-tele itu. Daya
cipta yang segar parah. Kebudayaan Jawa Baru hanyalah kebudayaan gincu
dan rendah-renda, roh yang polos lemah suaranya, diganti dengan
kecerdikan yang gemerlapan.
Sungguh besar ongkos yang harus dibayar karena menyingkirkan
orang-orang yang berumah di angin.
Orde Lama jatuh karena mencap orang-orang yang berumah di angin
sebagai golongan antirevolusi, sehingga tak ada lagi imbangan kontrol yang
bisa memberi tanda bahaya.
Dan sekarang bagaimanakah keadaan orang-orang yang berumah di
dewan saat sekarang?
Rakyat ingin melihat dan membuktikan, apakah orang-orang yang
berumah di dewan sanggup membela orang yang berumah di angin? Apakah
mereka sanggup merapikan orang yang berumah di keraton? Apakah mereka
sanggup membela keadilan kerakyatan dengan lebih mendorong agar bisa
tercapai demokratis politik yang lebih bijaksana? Apakah mereka sanggup
lebih mendorong terlaksananya demokrasi ekonomi? Apakah mereka
sanggup mendorong tercapainya demokrasi pendidikan? Sebab inilah semua
alur perubahan yang diperlukan untuk membela rakyat.
Tetapi juga ini: apakah orang-orang yang berumah di dewan akan
sanggup mendorong agar nilai ilmiah benar-benar bisa diterapkan di dalam
melaksanakan kemajuan? Yang saya maksud, agar urutan 5 disiplin ilmiah:
mengumpulkan fakta, menyusun fakta, menganalisa fakta, membuat
kesimpulan dan membuktikan kesimpulan, benar-benar bisa diterapkan di
Indonesia. Tanpa salah satu dari kelima disiplin itu tidak akan mungkin bisa
ada penghayatan ilmiah. Jadi sangat penting agar penghayatan ilmiah bisa
dilaksanakan rakyat bahwa semua fakta bisa terbuka untuk mereka, dan
mereka pun harus dibebaskan untuk mengumpulkan fakta apa saja.
Selanjutnya harus pula ada kesempatan untuk membuktikan
kesimpulan-kesimpulan yang sudah ada. Tanpa kesempatan-kesempatan
semacam itu sikap ilmiah adalah omong kosong.
Dalam hubunganya dengan renungan saya di kampung Ketanggungan,
itulah kaitan Akademi Jakarta dengan kepentingan rakyat.
Nama “Akademi” memang asing, tetapi dalam takaran soal ini, tak perlu
menjadi masalah lagi. Kata “wali” toh juga kata asing tadinya.
Yang penting tantangan kepada mereka sudah saya ucapkan. Sudah
terang tantangan serupa itu tidak cukup bisa dijawab dengan memberikan
hadiah-hadiah semacam ini. Saya masih menunggu kapan lagi Akademi
Jakarta akan bisa mengundang orang-orang yang berumah di angin untuk
berpidato di masyarakat terbuka yang diselenggarakan oleh Akademi. Saya
masih ingin melihat buku-buku apa yang akan diterbitkan. Dan juga ingin
menyaksikan bagaimana pelaksanan-pelaksanaan lain yang lebih nyata.
Sekarang saya ambil hadiah dari Akademi Jakarta. Terima kasih.
Saya akan kembali ke angin.

Kemarin dan esok


adalah hari ini
Bencana dan keberuntungan
sama saja

Langit di luar
langit di badan
bersatu dalam jiwa
1975

Anda mungkin juga menyukai