Anda di halaman 1dari 24

Referat Kepaniteraan Klinik

Keratitis

Pembimbing:

dr. Rossada, Sp.M

Disusun oleh:

Julio Lorenzo Penna (112017060)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Mata

Rumah Sakit Mata dr. Yap


Periode 22 januari 2018 – 24 februari 2018

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta

2
BAB I

PENDAHULUAN

Kornea merupakan bagian media refraksi yang terletak di bagian anterior mata. Sebuah
kornea yang sehat, dengan lapisan air mata di atasnya, berperan penting dalam menyediakan
permukaan refraksi yang baik serta perlindungan mata. Bentuk kornea lebih rata di tepi dan lebih
terjal di bagian tengah, sehingga membentuk sistem optik asferis.1 Kornea terdiri atas 5 lapisan,
yaitu epitel, membrane Bowman, stroma, membrane Descemet, dan endotel. Lapisan endotel tidak
dapat melakukan regenerasi sehingga kerusakannya menyebabkan edema kornea dan hilangnya
sifat transparan kornea. Sebaliknya, lapisan epitel yang memiliki sifat regenerasi akan
menyebabkan edema lokal sesaat bila terjadi kerusakan.2

Keratitis adalah keadaan peradangan kornea yang disebabkan oleh bermacam-macam


penyebab. Keratitis oleh karena infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan protozoa.
Keratitis juga dapat diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yang terkena seperti keratitis
superfisial dan profunda.3

Gejala yang timbul pada keratitis adalah rasa sakit yang berat, karena kornea memiliki serat
sakit yang banyak. Rasa sakit juga diperparah oleh gerakan kelopak mata sebab terjadinya gesekan
antara kornea dan palpebral. Rasa silau (fotofobia) juga dan penglihatan yang menurun terutama
bila letak lesi di sentral kornea juga dirasakan penderita. Keratitis juga menyebabkan mata merah
dan rasa mengganjal atau kelilipan.2

Keratitis merupakan penyakit yang serius karena dapat mengancam ketajaman penglihatan.
Penanganan yang tidak sempurna atau terlambat akan mengakibatkan gangguan penglihatan
permanen berupa penglihatan yang kabur ringan hingga kebutaan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Etiologi

Penyebab keratitis bermacam-macam. Bakteri, virus, jamur, dan protozoa dapat


menyebabkan keratitis. Selain itu penyebab lain adalah kekeringan pada mata, benda asing yang
masuk ke mata, reaksi alergi atau mata yang terlalu sensitif terhadap kosmetik mata, debu, polusi
atau bahan iritatif lain, kekurangan vitamin A dan penggunaan lensa kontak yang kurang baik. 4

Beberapa kondisi yang menjadi faktor predisposisi terjadinya inflamasi padakornea seperti
blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea, dry eyes, penggunaan lensa kontak, lagopthalmos,
gangguan paralitik, trauma dan penggunaan preparat imunosupresif topikal maupun sistemik.

4 Patofisiologi 1,2,5

Karena kornea memiliki banyak serat nyeri, kebanyakan lesi kornea, baik superfisial
maupun dalam ( benda asing kornea, abrasi kornea, fliktenula, keratitis intertitial), menimbulkan
rasa nyeri dan fotofobia. Rasa nyeri ini diperberat oleh gerak palpebra ( terutama palpebra
superior) diatas kornea dan biasanya menetap sampai sembuh. Karena kornea berfungsi sebagai
jendela bagi mata dan membiaskan berkas cahaya, lesi kornea umumnya mengaburkan
penglihatan, terutama bila letaknya di pusat.

Fotofobia pada penyakit kornea merupakan akibat kontraksi iris meradang yang nyeri.
Dilatasi pembuluh iris adalah fenomena refleks yang timbul akibat iritasi pada ujung saraf kornea.
Fotofobia, yang berat pada kebanyakan penyakit kornea, hanya minimal pada keratitis herpes
karena terjadi hipestesia pada penyakit ini, yang juga merupakan suatu tanda diagnosis penting.
Meskipun mata berair dan fotofobia lazim menyertai penyakit kornea, sekret biasanya tidak ada
kecuali pada ulkus bakteri purulen.

Iritasi pada keratitis dapat ringan sampai berat. Ketajaman penglihatan dapat menurun
sampai buta, tergantung letak dan kepadatan kekeruhan kornea. Kesembuhan keratitis dapat

4
menimbulkan parut. Kalau defek hanya di epitel bisa sembuh sempurna, tapi jika sampai lapisan
dalam maka akan terbentuk jaringan parut.

Kornea mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh lingkungan, oleh
sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa mekanisme pertahanan. Mekanisme
pertahanan tersebut termasuk refleks berkedip, fungsi antimikroba film air mata, lisosim+ epitel
hidrofobik yang membentuk barrier terhadap difusi serta kemampuan epitel untuk beregenerasi
secara cepat dan lengkap.

Epitel merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam


kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskular dan lapisan Bowman mudah
untuk mengalami infeksi dengan organisme, termasuk bakteri, amoeba dan jamur. Ketika patogen
telah menginvasi jaringan kornea melalui lesikornea superfisial, beberapa rantai kejadian tipikal
akan terjadi, yaitu:

 Lesi pada kornea


 Patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi struma kornea
 Antibodi akan menginfiltrasi lokasi invasi pathogen
 Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi pathogen akan
membuka lebih luas dan memberikan gambaran infiltrasi kornea
 Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion, umumnya berupa pus yang akan
berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan
 Patogen akan menginvasi seluruh kornea.
 Hasilnya stroma akan mengalami atropi dan melekat pada membaran Descement yang
relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele dimanahanya membran descement yang
intak.
 Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membran descement terjadidan akuos
humor akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea perforata dan merupakan indikasi bagi
intervensi bedah secepatnya. Pasien akan menunjukkan gejala penurunan visus progresif
dan bola mata akan menjadi lunak.

Tanda dan Gejala Umum

Tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di kornea. Infiltrat dapat
ada di seluruh lapisan kornea, dan menetapkan diagnosis dan pengobatan keratitis. Pada

5
peradangan yang dalam, penyembuhan berakhir dengan pembentukan jaringan parut
(sikatrik), yang dapat berupa nebula, makula, dan leukoma. Adapun gejala umum adalah:4

 Keluar air mata yang berlebihan


 Nyeri
 Penurunan tajam penglihatan
 Radang pada kelopak mata (bengkak, merah)
 Mata merah
 Sensitif terhadap cahaya.

Kornea adalah jaringan avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak
segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka
badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera
bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang
terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi
dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang
mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh
dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan
epitel dan timbulah ulkus kornea. 2
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik
superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga
diperberat dengan adanya gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea dan
menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang meradang dapat
menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf kornea merupakan
fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada pembuluh iris.
Fotofobia, yang berat pada kebanyakan penyakit kornea, minimal pada keratitis herpes
karena hipestesi terjadi pada penyakit ini, yang juga merupakan tanda diagnostik berharga.
Meskipun berair mata dan fotofobia umumnya menyertai penyakit kornea, umumnya tidak
ada sekret kecuali pada ulkus bakteri purulent. 2
Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas cahaya,
lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan, terutama kalau letaknya di pusat. 2

6
KLASIFIKASI2
Berdasarkan morfologi lesi kornea, keratitis dibagi menjadi:

1. Keratitis Epitelial
Epitel kornea terlibat pada sebagian besar jenis konjungtivitis dan keratitis dan pada kasus
tertentu mungkin merupakan satu-satunya jaringan yang terkena (mi., pada keratitis
punktata superficialis). Perubahan pada epitel sangat berfariasi, dari edema biasa dan
vakuolisasi sampai erosi-erosi kecil, pembentukan filamen, keratinisasi parsial, dll. Lokasi
lesi-lesi itu juga bervariasi pada kornea. Semua variasi ini mempunyai makna diagnostik
yang penting, dan pemeriksaan slitlamp dengan dan tanpa pulasan fluorescein hendaknya
merupakan bagian dari setiap pemeriksaan-luar mata.
2. Keratitis Subepitelial
Ada beberapa jenis lesi subepitelial yang penting. Lesi-lesi ini sering sekunder akibat
keratitis epitelial (mis., infiltrat subepitelial pada keratokonjungtivits epidermika, yang
disebabkan oleh adenovirus 8 dan 19).
3. Keratitis Stromal
Respons stroma kornea terhadap penyakit antara lain infiltrasi, yang menunjukan
akumulasi sel-sel radang ; edema tampak sebagai penebalan kornea, pengeruhan, atau
parut; “perlunakan” atau nekrosis, yang dapat berakibat penipisan atau perforasi; dan
vaskularisasi. Tampilan repons-repons tersebut kurang spesifik untuk menunjukan
keberadaan penyakit jika dibandingkan dengan yang terlihat pada keratitis epitelial, dan
dokter sering mengandalkan pemeriksaan laboratorium dan informasi klinis lain untuk
menetapkan penyebabnya.
4. Keratitis endotelial
Disfungsi endotel kornea akan berakibat pada edema kornea, yang mula-mula mengenai
stroma dan kemudia epitel. Ini berbeda dari edema kornea yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan intra okular, yang dimulai pada epitel dan diikuti stroma. Selama
kornea tidak terlalu sembab, kelainan morfologik endotel kornea sering masih dapat dilihat
dengan slitlamp. Sel-sel radang pada endotel (keratic precipitates, atau KPs) tidak selalu
menandakan adanya penyakit endotel karena sel radang juga manifestasi dari uveitis
anterior, yang bisa dan bisa juga tidak menyertai keratitis stromal.

7
2.4 KERATITIS BAKTERIAL

Ciri-ciri khusus keratitis bakteri adalah perjalanannya yang cepat. Destruksi corneal
lengkap bisa terjadi dalam 24 – 48 jam oleh beberapa agen bakteri yang virulen. Ulkus kornea,
pembentukan abses stroma, edema kornea dan inflamasi segmen anterior adalah karakteristik dari
penyakit ini.

2.4.1 Patogen

Grup bakteri yang paling banyak menyebabkan keratitis bakteri adalah


Streptococcus, Pseudomonas, Enterobacteriaceae (meliputi Klebsiella, Enterobacter,
Serratia, and Proteus) dan golongan Staphylococcus. Lebih dari 20 kasus keratitis jamur
(terutama candidiasis) terjadi komplikasi koinfeksi bakteri. Banyak jenis ulkus kornea
bakteri mirip satu sama lain dan hanya bervariasi dalam beratnya penyakit. Ini terutama
berlaku untuk ulkus yang disebabkan bakteri oportunistik, seperti Streptococcus alfa-
hemolitikus, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Nocardia, dan M
fortuitum-chelonei), yang menimbulkan ulkus kornea indolen yang cenderung menyebar
perlahan dan superfisial. 2
2.4.2 Patofisiologi

Awal dari keratitis bakteri adalah adanya gangguan dari epitel kornea yang intak
dan atau masuknya mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, dimana akan terjadi
proliferasi dan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat menyebabkan invasi mikroba
atau molekul efektor sekunder yang membantu proses infeksi. Beberapa bakteri
memperlihatkan sifat adhesi pada struktur fimbriasi dan struktur non-fimbriasi yang
membantu penempelan ke sel kornea. Selama stadium inisiasi, epitel dan stroma pada area
yang terluka dan infeksi dapat terjadi nekrosis. Sel inflamasi akut (terutama neutrofil)
mengelilingi ulkus awal dan menyebabkan nekrosis lamella stroma.
Difusi produk-produk inflamasi (meliputi sitokin) di bilik posterior, menyalurkan
sel-sel inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan adanya hipopion. Toksin bakteri yang
lain dan enzim (meliputi elastase dan alkalin protease) dapat diproduksi selama infeksi
kornea yang nantinya dapat menyebabkan destruksi substansi kornea. 1
2.4.3 Temuan Klinis 2

8
i. Keratitis Pneumokokus
Ulkus kornea pneumokokus biasanya muncul 24-48 jam setelah inokulasi pada kornea
yang lecet. Infeksi ini secara khas menimbulkan sebuah ulkus berbatas tegas warna kelabu yang
cenderung menyebar secara tak teratur dari tempat infeksi ke sentral kornea. Batas yang maju
menampakkan ulserasi aktif dan infiltrasi sementara batas yang ditinggalkan mulai sembuh.
(Efek merambat ini menimbulkan istilah "ulkus serpiginosa akut".) Lapis superfisial kornea
adalah yang pertama terlibat, kemudian parenkim bagian dalam. Kornea sekitar ulkus sering
bening. Biasanya ada hipopion. Kerokan dari tepian depan ulkus kornea pneumokokus
mengandung diplokokus berbentuk-lancet gram-positif.

Gambar 3. Ulkus Pneumokokus

ii. Keratitis Pseudomonas


Ulkus kornea pseudomonas berawal sebagai infiltrat kelabu atau kuning di tempat
epitel kornea yang retak. Nyeri yang sangat biasanya menyertainya. Lesi ini cenderung cepat
menyebar ke segala arah karena pengaruh enzim proteolitik yang dihasilkan organisme ini.
Meskipun pada awalnya superfisial, ulkus ini dapat mengenai seluruh kornea. Umumnya
terdapat hipopion besar yang cenderung membesar dengan berkembangnya ulkus. Infiltrat dan
eksudat mungkin berwarna hijau kebiruan. Ini akibat pigmen yang dihasilkan organisme dan
patognomonik untuk infeksi P. aeruginosa.
Pseudomonas adalah penyebab umum ulkus kornea bakteri. Kasus ulkus kornea
Pseudomonas dapat terjadi pada abrasi kornea minor atau penggunaan lensa kontak lunak,
terutama yang dipakai agak lama. Ulkus kornea yang disebabkan organisme ini bervariasi dari
yang sangat jinak sampai yang menghancurkan. Organisme itu ditemukan melekat pada
permukaan lensa kontak lunak. Beberapa kasus dilaporkan setelah penggunaan larutan
florescein atau obat tetes mata yang terkontaminasi.
iii. Keratitis Streptokokus

9
Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah tengah kornea (serpinginous).
Ulkus bewarna kuning keabu-abuan berbentuk cakram dengan tepi ulkus yang menggaung.
Ulkus cepat menjalar ke dalam dan menyebabkan perforasi kornea, karena eksotoksin yang
dihasilkan oleh S. pneumoniae.

2.4.4 Terapi 2, 5

i. Terapi antibiotika
Tetes mata antibiotik mampu mencapai tingkat jaringan yang tinggi dan merupakan
metode yang banyak dipakai dalam pengobatan banyak kasus. Salep pada mata berguna
sewaktu tidur pada kasus yang kurang berat dan juga berguna sebagai terapi tambahan.
Antibiotik subkonjungtiva dapat membantu pada keadaan ada penyebaran segera ke sclera atau
perforasi atau dalam kasus di mana kepatuhan terhadap rejimen pengobatan diragukan.
Antibiotik topikal spektrum luas empiris digunakan pada pengobatan awal dari
keratitis bakteri. Untuk keratitis yang parah (melibatan stroma atau dengan defek yang lebih
besar dari 2 mm dengan nanah yang luas), diberikan dosis loading setiap 5 sampai 15 menit
untuk jam pertama, diikuti oleh aplikasi setiap 15 menit sampai 1 jam pada jam berikutnya.
Pada keratitis yang kurang parah, rejimen terapi dengan dosis yang kurang frekuen terbukti
efektif. Agen Cycloplegic dapat digunakan untuk mengurangi pembentukan sinekhia dan untuk
mengurangi nyeri pada kasus yang lebih parah pada keratitis bakteri dan ketika adanya
peradangan bilik anterior mata.
Terapi single-drug dengan menggunakan fluoroquinolone (misalnya ciprofloksasin,
ofloksasin) menunjukkan efektiftivitas yang sama seperti terapi kombinasi. Tetapi beberapa
patogen (misalnya Streptococcus, anaerob) dilaporkan mempunyai kerentanan bervariasi
terhadap golongan fluoroquinolone dan prevalensi resistensi terhadap golongan
fluoroquinolones tampaknya semakin meningkat. Gatifloksasin dan moksifloksasin (generasi
keempat fluoroquinolone) telah dilaporkan memiliki cakupan yang lebih baik terhadap bakteri
gram-positif dari fluoroquinolone generasi sebelumnya pada uji in-vitro. Namun,
fluoroquinolone generasi keempat belum disetujui FDA untuk pengobatan keratitis bakteri.
Terapi kombinasi antibiotika digunakan dalam kasus infeksi berat dan mata yang tidak
responsif terhadap pengobatan. Pengobatan dengan lebih dari satu agen mungkin diperlukan
untuk kasus-kasus penyebab mikobakteri non-tuberkulos. Antibiotik sistemik jarang
dibutuhkan, tetapi dapat diipertimbangkan pada kasus-kasus yang parah di mana proses infeksi

10
telah meluas ke jaringan sekitarnya (misalnya, sclera) atau ketika adanya ancaman perforasi
dari kornea. Terapi sistemik juga diperlukan dalam kasus-kasus keratitis gonokokal.
ii. Terapi kortikosteroid
Terapi topikal kortikosteroid memiliki peran bermanfaat dalam mengobati beberapa
kasus menular keratitis. Keuntungan potensial adalah penekanan peradangan dan pengurangan
pembentukan jaringan parut pada kornea, yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan.
Antara kerugiannya pula termasuk timbulnya aktivitas infeksi baru, imunosupresi lokal,
penghambatan sintesis kolagen dan peningkatan tekanan intraokular. Meskipun berisiko,
banyak ahli percaya bahwa penggunaan kortikosteroid topikal dalam pengobatan keratitis
bakteri dapat mengurangi morbiditas. Terapi kortikosteroid pada pasien yang sedang diobati
dengan kortikosteroid topikal pada saat adanya curiganya keratitis bakteri hendaklah
diberhentikan dahulu sampai infeksi telah dikendalikan.
Prinsip pada terapi kortikosteroid topikal adalah menggunakan dosis minimal
kortikosteroid yang bisa memberikan efek kontrol peradangan. Keberhasilan pengobatan
membutuhkan perkiraan yang optimal, regulasi dosis secara teratur, penggunaan obat
antibiotika yang memadai secara bersamaan, dan follow-up. Kepatuhan dari pasien sangat
penting, dan tekanan intraokular harus sering dipantau. Pasien harus diperiksa dalam 1 sampai
2 hari setelah terapi kortikosteroid topikal dimulai.

2.4.5 Komplikasi 1

Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis bakteri ini adalah penipisan kornea, dan
akhirnya perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophthalmitis dan hilangnya penglihatan.

2.4.6 Prognosis 1

Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor, seperti diuraikan di bawah ini, dan dapat
mengakibatkan penurunan visus derajat ringan sampai berat.

 Virulensi organisme yang bertanggung jawab atas keratitis


 Luas dan lokasi ulkus kornea
 Hasil vaskularisasi dan / atau deposisi kolagen

2.5 KERATITIS VIRUS

11
2.5.1 Keratitis Herpes Simpleks

Keratitis herpes simpleks merupakan salah satu infeksi kornea yang paling sering
ditemukan dalam praktek. Disebabkan oleh virus herpes simpleks, ditandai dengan adanya
infiltrasi sel radang & edema pada lapisan kornea manapun. Pada mata, virus herpes simplek dapat
diisolasi dari kerokan epitel kornea penderita keratitis herpes simpleks. Penularan dapat terjadi
melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang
6
mengandung virus.

Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan kambuhan. lnfeksi
primer herpes simplek primer pada mata jarang ditemukan ditandai oleh adanya demam, malaise,
limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans, blefaritis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis
epitelial. Kira-kira 94-99% kasus bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi
bilateral khususnya pada pasien-pasien atopik (Vaughan, 2009). Bentuk ini umumnya dapat
sembuh sendiri, tanpa menimbulkan kerusakan pada mata yang berarti. Terapi antivirus topikal
dapat dipakai unutk profilaksis agar kornea tidak terkena dan sebagai terapi untuk penyakit kornea.
Infeksi primer dapat terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-
25 tahun. Keratitis herpes simpleks didominir oleh kelompok laki-laki pada umur 40 tahun ke atas.
7

Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer. Dengan
mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik atau ganglion otonom.
Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion N. trigeminus, dan ganglion siliaris berperan
sebagai penyimpan virus. Namun akhir-akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri
berperan sebagai tempat berlindung virus herpes simpleks. Beberapa kondisi yang berperan
terjadinya infeksi kambuhan antara lain: demam, infeksi saluran nafas bagian atas, stres emosional,
pemaparan sinar matahari atau angin, haid, renjatan anafilaksis, dan kondisi imunosupresi.2

Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan HSV tipe 1 namun beberapa kasus pada
bayi dan dewasa dilaporkan disebabkan HSV tipe 2. Lesi kornea kedua jenis ini tidak dapat
dibedakan.

2.5.1.1 Gejala Klinis

12
Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian pusat
yang terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea umumnya
timbul pada awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin tidak datang
berobat. Sering ada riwayat lepuh – lepuh, demam atau infeksi herpes lain, namun ulserasi
kornea kadang – kadang merupakan satu – satunya gejala infeksi herpes rekurens. 2
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel,
berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai
terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster
oftalmikus, keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna lensa kontak, keratopati
bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis herpes simpleks ringan adalah
tidak adanya fotofobia. 6
2.5.1.2 Lesi
Keratitis herpes simplek juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial, profunda,
dan bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial dapat berupa
pungtata, dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan
dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus dan menyebar sambil
menimbulkañ kematian sel serta membentuk defek dengan gambaran bercabang. Lesi
bentuk dendritik merupakan gambaran yang khas pada kornea, memiliki percabangan
linear khas dengan tepian kabur, memiliki bulbus terminalis pada ujungnya. Pemulasan
fluoresein memudahkan melihat dendrit, namun sayangnya keratitis herpes dapat juga
menyerupai banyak infeksi kornea yang lain dan harus dimasukkan dalam diagnosis
diferensial. 2
Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu sebentuk penyakit
dendritik menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar hat ini terjadi akibat
bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian
gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang mengelilingi ulkus.
Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti halnya penyakit dendritik, menurun. Lesi
epitel kornea lain yang dapat ditimbulkan HSV adalah keratitis epitelial ”blotchy”, keratitis
epitelial stelata, dan keratitis filamentosa. Namun semua ini umumnya bersifat sementara
dan sering menjadi dendritik khas dalam satu dua hari. 2

13
Gambar 6. Lesi dendritik

Gambar 7. Lesi geografik

Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes
zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang dikelilingi
mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil. 6
Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada infeksi
HSV. Stroma didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi berarti, dan
umumnya tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup berat untuk membentuk lipatan-
lipatan dimembran descement. Mungkin terdapat endapan keratik tepat dibawah lesi
diskiformis itu, namun dapat pula diseluruh endotel karena sering bersamaan dengan
uveitis anterior. Seperti kebanyakan lesi herpes pada orang imunokompeten, keratitis
disciformis normalnya sembuh sendiri, setelah berlangsung beberapa minggu sampai
bulan. Edema adalah tanda terpenting, dan penyembuhan dapat terjadi dengan parut dan
vaskularisasi minimal. 2

14
Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering disertai
vaskularisasi, agaknya terutama disebabkan replikasi virus. Kadang-kadang dijumpai
adanya infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring, diduga sebagai infiltrat
polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi virus herpes simpleks. Penipisan dan
perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat, apalagi jika dipakai kortikosteroid topikal. Jika
terdapat penyakit stroma dengan ulkus epitel, akan sulit dibedakan superinfeksi bakteri
atau fungi pada penyakit herpes. Pada penyakit epitelial harus diteliti benar adanya tanda
– tanda khas herpes, namun unsur bakteri atau fungi dapat saja ada dan dapat pula
disebabkan oleh reaksi imun akut, yang sekali lagi harus mempertimbangkan adanya
penyakit virus aktif. Mungkin terlihat hipopion dengan nekrosis, selain infeksi bakteri atau
fungi sekunder. 2

Gambar 8. Keratitis Diskiformis

Gambar 9. Lesi dengan Wessely Ring

2.5.1.3 Patogenesa
Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal
Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel

15
epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi
imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang
menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk
merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini penting
diketahui karena manajemen pengobatan pada yang epitelial ditujukan terhadap virusnya
sedang pada yang stromal ditujukan untuk menyerang virus dan reaksi radangnya.
Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama karena stroma kornea kurang vaskuler,
sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke tempat lesi. Infeksi okuler HSV
pada hospes imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada hospes yang secara
imunologik tidak kompeten, perjalanannya mungkin menahun dan dapat merusak. 2
2.5.1.4 Terapi 1,2,5
Bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, sambil memperkecil efek
merusak akibat respon radang.

i. Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena
virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik virus
pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terinfeksi
mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus.
Yodium atau eter topikal tidak banyak manfaat dan dapat menimbulkan keratitis
kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi 1 % atau homatropin5% diteteskan kedalam
sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap
hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumny adalah 72 jam.
Pengobatan tambahan dengan anti virus topikal mempercepat pemulihan epitel. Terapi
obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel memberi keuntungan karena
tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi berbagai keracunan
obat.
ii. Terapi obat
Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine,
trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir jauh lebih efektif
untuk penyakit stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan trifluridine sering kali
menimbulkan reaksi toxik. Acyclovir oral ada mamfaatnya untuk pengobatan penyakit

16
herpes mata berat, khususnya pada orang atopik yang rentan terhadap penyakit herpes
mata dan kulit agresif (eczema herpeticum).
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada
epitel kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam hal
ini penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotensi sangat merusak.
Kortikosteroid topikal dapat juga mempermudah perlunakan kornea, yang
meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika memang perlu memakai kortikosteroid
topikal karena hebatnya respon peradangan, penting sekali ditambahkan obat anti virus
secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus.
iii. Bedah
Keratolasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi penglihatan
pasien yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa
bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi herpes rekurens dapat
timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang diperlukan untuk
mencegah penolakan transplantasi kornea. Juga sulit dibedakan penolakan
transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens.
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau
fungi mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan sianokrilat
dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft “petak” lamelar
berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasi lamelar memiliki keuntungan dibanding
keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan terjadi penolakan transparant.
Lensa kontak lunak untuk terapi atau tarsorafi mungkin diperlukan untuk pemulihan
defek epitel yang terdapat padakeratitis herpes simplek.
iv. Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV
Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira-kira sepertiga kasus
dalam 2 tahun serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme pemicunya.
Begitu ditemukan, pemicu itu dapat dihindari. Aspirin dapat dipakai untuk mencegah
demam, pajanan berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat dihindari.
Keadaan – keadaan yang dapat menimbulkan stres psikis dapat dikurangi. Dan aspirin
dapat diminum sebelum menstruasi.

2.5.1.5 Prognosis
Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada kornea.
Bila tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan meninggalkan gejala sisa.

17
2.5.2 Keratitis Virus Varisela Zoster

Infeksi virus varicella zoster terjadi dalam 2 bentuk: primer (varicella) dan rekuren (zoster).
Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella namun sering pada zoster ophthalmic. Pada
varicella, lesi mata umumnya pada kelopak dan tepian kelopak. Jarang ada keratitis (khas lesi
stroma perifer dengan vaskularisasi), dan lebih jarang lagi keratitis epithelial dengan atau tanpa
pseudodendrite. Pernah dilaporkan keratitis disciformis, dengan uveitis yang lamanya bervariasi.
2

Berbeda dari lesi kornea varicella, yang jarang dan jinak, zoster ophthalmic relatif banyak
dijumpa, kerap kali disertai keratouveitis yang bervariasi beratnya sesuai dengan status kekebalan
pasien. Komplikasi kornea pada zoster ophthalmic dapat diperkirakan timbul jika terdapat erupsi
kulit di daerah yang dipersarafi cabang-cabang Nervus Nasosiliaris. 2

Gambar 10. Keratitis Herpes Zoster pada cabang N. Nasosiliaris

Berbeda dari keratitis HSV rekuren, yang umumnya hanya mengenai epithel, keratitis VZV
mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi epitelnya keruh dan amorf, kecuali kadang-
kadang pada pseudodendrite linear yang sedikit mirip dendrite pada keratitis HSV. Keluhan stroma
disebabkan oleh edema dan sedikit infiltrate sel yang pada awalnya hanya subepitel. Keadaan ini

18
dapat diikuti penyakit stroma dalam dengan nekrosis dan vaskularisasi. Kadang-kadang timbul
keratitis disciformis dan mirip keratitis disciformis HSV. Kehilangan sensasi kornea selalu
merupakan ciri mencolok dan sering berlangsung berbulan-bulan setelah lesi kornea tampak sudah
sembuh. Uveitis yang timbul cenderung menetap beberapa minggu sampai bulan, namun akhirnya
sembuh. Skleritis dapat menjadi masalah berat pada penyakit VZV mata. 2

Acyclovir intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk mengobati herpes zoster
ophthalmic, khususnya pada pasien yang kekebalannya terganggu. Dosis oralnya adalah 800mg,
5 kali sehari untuk 10-14 hari. Terapi hendaknya dimulai 72 jam setelah timbulnya kemerahan.
Peranan antivirus topikal kurang meyakinkan. Kortikosteroid topikal mungkin diperlukan untuk
mengobati keratitis berat, uveitis, dan glaukoma sekunder. Penggunaan kortikosteroid sistemik
masih kontroversial. Terapi ini mungkin diindikasikan untuk mengurangi insidensi dan hebatnya
neuralgia paska herpes. Namun demikian keadaan ini sembuh sendiri. 2

2.6 KERATITIS FUNGI

Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada kornea dan berdasarkan
sejumlah laporan, jamur telah ditemukan menyebabkan 6%-53% kasus keratitis ulseratif. Lebih
dari 70 spesies jamur telah dilaporkan menyebabkan keratitis jamur. 1

2.6.1 Etiologi 1

Secara ringkas dapat dibedakan :

1. Jamur berfilamen (filamentous fungi): bersifat multiseluler dengan cabang-cabang hifa.


a) Jamur bersepta: Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp, Cladosporium sp,
Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp, Curvularia sp, Altenaria sp.
b) Jamur tidak bersepta: Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.
2. Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas: Candida albicans,
Cryptococcus sp, Rodotolura sp.

2.6.2 Faktor Resiko 1

19
Faktor risiko utama untuk keratitis jamur adalah trauma okular. Trauma umumnya terjadi
di lingkungan luar rumah dan melibatkan tumbuhan. Faktor risiko lain untuk keratitis jamur adalah
penggunakan kortikosteroid. Steroid dapat mengaktivasi dan meningkatkan virulensi jamur, baik
melalui penggunaan sistemik maupun topikal. Faktor risiko lainnya adalah konjungtivitis vernal
atau alergika, bedah refraktif insisional, ulkus kornea neurotrofik yang disebabkan oleh virus
varicella zoster atau herpes simpleks, keratoplasti, dan transplantasi membran amnion.

Faktor predisposisi keratitis jamur untuk pasien keratoplasti adalah masalah jahitan,
penggunaan steroid topikal dan antibiotik, penggunaan lensa kontak, kegagalan graft, dan defek
epitel persisten. Penyakit sistemik juga merupakan faktor risiko bagi terjadinya keratitis jamur,
terutama yang berkaitan dengan imunosupresi.

2.6.3 Manifestasi Klinik 1,2,5

Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur dalam bentuk
mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut. Agen-agen ini dapat
menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akut, respon antigenik dengan formasi
cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat.

Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan infiltrasi abu-abu
sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang tidak meradang tampak elevasi
keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan lesi utama dan berhubungan dengan mikroabses
stroma. Plak endotel dapat terlihat paralel terhadap ulkus. Cincin imun dapat mengelilingi lesi
utama, yang merupakan reaksi antara antigen jamur dan respon antibodi tubuh. Sebagai tambahan,
hipopion dan sekret yang purulen dapat juga timbul. Reaksi injeksi konjungtiva dan kamera okuli
anterior dapat cukup parah. Pada keratitis candida biasaya ditandai dengan lesi berwarna putih
kekuningan.

Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut :

 Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.


 Lesi satelit.
 Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti hifa di bawah
endotel utuh.

20
 Plak endotel.
 Hypopyon, kadang-kadang rekuren.
 Formasi cincin sekeliling ulkus.
 Lesi kornea yang indolen.

Gambar 11. Keratitis Aspergilus

Gambar 12. Keratitis Candida

2.6.4 Diagnosa Laboratorik

Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum menyingkirkan diagnosis
keratomikosis. Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan
spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan
KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka keberhasilan masing-masing ± 20-
30%, 50-60%, 60-75% dan 80%. Lebih baik lagi melakukan biopsi jaringan kornea dan diwamai

21
dengan Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver, tapi sayang perlu biaya yang besar. Akhir-
akhir ini dikembangkan Nomarski differential interference contrast microscope untuk melihat
morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan cukup memuaskan.
Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud atau agar ekstrak maltosa. 8

2.6.5 Terapi 1,2,5

Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat komersial yang


tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi pengadaan obat, yang utama dalam
terapi keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang dihadapi bisa dibagi:

1. Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.


Topikal Amphotericin B 1,0¬2,5 mg/ml, Thiomerosal (10 mg/ml), Natamycin > 10 mg/ml,
golongan Imidazole.
2. Jamur berfilamen.
Topikal Amphotericin B 0,15%, Miconazole 1%, Natamycin 5% (obat terpilih), econazole 1%
(obat terpilih).
3. Ragi (yeast).
Econazole 1%, Amphoterisin B 0,15 %, Natamycin 5%, Clotrimazole 1%, fluoconazol 2 %
4. Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.
Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik

Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal. Diberikan juga obat
sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk mengurangi uveitis anterior.

Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria penyembuhan antara
lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up) dari lesi-lesi ireguler pada tepi ulkus,
menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya infiltrasi di stroma di sentral dan juga daerah sekitar
tepi ulkus. Perbaikan klinik biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya defek epitel
yang sulit menutup belum tentu menyatakan bahwa terapi tidak berhasil, bahkan kadang-kadang
terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis diperlukan kesabaran,
ketekunan dan ketelitian dari kita semua.

2.7 KERATITIS ACANTHAMOEBA

22
Acanthamoeba adalah protozoa yang hidup pada air yang terkontaminasi bakteri dan materi
organic. Infeksi kornea pada Acanthamoeba biasanya berhubungan dengan pengunaan lensa
kontak, termasuk lensa silicon hydrogel atau pemakaian berkepanjangan lensa kontak keras untuk
koreksi kelainan refraksi. Pada orang yang tidak memakai lensa kontak, infeksi ini dapat terjadi
akibat kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi. 1

Gejala awalnya adalah sakit yang berlebih daripada penemuan klinis, mata merah, dan
fotofobia. Tanda klinis yang khas adalah ulkus kornea yang indolen, cincin stroma, infiltrate
perineural, tapi perubahan hanya terbatas pada epitel. 2

Diagnosis dipastikan dengan kultur pada media yang khusus, agar non-nutrien dengan E.
coli di atas agar. Hasil yang lebih baik didapat melalui biopsy kornea dan kerokan kornea untuk
pemeriksaan histopatologik bentuk amoeba. 2

Penanganan tahap awal adalah debridement epitel. Terapi obat biasanya dimulai dengan
propamidine isethionate topical (solusio 1%) dan polyhexamethylene biguanida (solusio 0,01% -
0,02%) atau tetes mata neomisin. 2

DAFTAR PUSTAKA

1. Yanoff M., Duker J.S. Opthalmology Fouth Edition. Elsevier Saunders. 2014.

23
2. Vaughan, Daniel. General Opthalmology. 18th edition. McGraw Hill. 2014.
3. Ilyas, et. Al. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Keokteran. Edisi kedua.
CV. Sagung Seto. 2002.
4. Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. Hal: 56
5. Kanski. Clinical Opthalmology: A Systemic Approach. 7th edition. Elsevier. 2011.
6. Ilyas, Sidarta. 2013. Ilmu penyakit Mata. Edisi keempat. FKUI. Jakarta.
7. American Academy of Ophthalmology. External disease and cornea. San Fransisco 2007
8. Srinivasan M, et al. Distinguishing infectious versus non infectious keratitis. INDIAN Journal of
Opthalmology 2006 56:3;50-56

24

Anda mungkin juga menyukai