Anda di halaman 1dari 9

PENGANTAR TERAPI WICARA-

MAKALAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Manusia adalah makhluk sosial yang eksploratif dan potensial. Manusia dikatakan
makhluk eksploratif karena manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri baik
secara fisik maupun psikis. Manusia sebagai makhluk potensial karena pada diri manusia
tersimpan sejumlah kemampuan bawaan yang dapat dikembangkan secara nyata. Selanjutnya
manusia disebut sebagai makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya karena untuk tumbuh dan
berkembang secara normal memerlukan bantuan dari luar dirinya. Bantuan yang dimaksud
antara lain adalah dalam bentuk bimbingan serta pengarahan bimbingan dan pengarahan yang
diberikan dalam membantu perkembangan tersebut pada hakekatnya sejalan dengan
kebutuhan manusia itu sendiri, yang sudah tersimpan sebagai potensi bawaannya.
Di Indonesia sendiri banyak pekerjaan yang sudah tidak asing lagi dengar oleh
masyarakat Indonesia, seperti Dokter, Psikologi, Ahli Gizi, Apoteker, dsb. Namun ada lagi
sebuah pekerjaan atau jasa yang belum didengar oleh masyarakat Indonesia, bahkan mereka
masih bertanya-tanya dengan pekerjaan itu, yaitu Terapis Wicara. Oleh karena sebab itu,
terutama saya akan memfokuskan menjelaskan Pengantar Terapi Wicara dan memfokuskan
pada body of knowledge terapi wicara, sejarah terapi wicara, serta peran dan fungsi terapi
wicara.

B. Rumusan masalah

1. Apa pengertian terapis wicara?


2. Bagaimana sejarah terapi wicara?
3. Apa peran dan fungsi terapi wicara?

C. Tujuan penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian terapi wicara


2. Untuk mengetahui sejarah terapi wicara
3. Untuk mengetahui peran dan fungsi terapi wicara
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Body of knowledge terapi wicara

a. Pengertian

Terapis wicara adalah seseorang yang telah lulus pendidikan terapi wicara baik
didalam maupun luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (PERMENKES RI No. 867/MENKES/PER/VIII/2004).
Terapis wicara adalah seorang yang memberikan jasa dan praktik kepada orang
lain atau masyarakat yang berhubungan dengan gangguan bahasa, bicara, menelan, atau
seseorang yang berkebutuhan khusus. Namun seorang terapis wicara harus mempunyai
Surat Izin Praktek Terapis Wicara (PERMENKES RI No.
867/MENKES/PER/VIII/2004). Terapis boleh dilakukan individu maupun kelompok.

b. Body of Knowledge

Dalam terapis wicara ada 4 kompetensi didalamnya, yaitu :


1) Ilmu Kedokteran
 Pemeriksaan
 Pengkajian data
 Merumuskan masalah
 Perencanaan terapi
 Treatmen
 Evaluasi
2) Ilmu Linguistik
 Memahami aspek bahasa
 Memahami tahapan bahasa
 Unsur bahasa
3) Ilmu Komunikasi
 PKN
 Proses komunikasi
 Cara komunikasi
 Gangguan komunikasi
4) Ilmu Psikologi
 Psikologi perkembangan
 Psikologi klinik
 Psikologi sosial
 Psikologi kognitif

2. Sejarah terapi wicara

a. Sejarah di Indonesia

Terapi wicara diperkenalkan di Indonesia sekitar tahun 1971 dengan


diselenggarakannya kursus Speech Corection A dan B (masin-masing 6 bulan). Pada
tahun 1973 kursus ini ditingkatkan menjadi 3tahun pembelajaran Speech Corection.
Peserta progam Speech Corection adalah lulusan SLTA sebagai mahasiswa tingkat
pertama dan mereka yang tela lulus dari kursus bisa melanjutkan atau diterima sebagai
mahasiswa tingkat kedua.
Nama lembaga pendidikan ini adalah Lembaga Pendidikan Bina Wicara Jakarta. Pada
tahun 1985 lembaga ini bergabung dengan Fisioterapi dan berubah menjadi Akademi
Rehabilitasi Medik dengan jurusan Terapi Wicara. Sehubungan dengan aturan,
permenkes bahwa akademi tidak boleh ada dua jurusan, maka jurusan terapi wicara
berdiri sendiri dengan nama Akademi Speech Therapy. Dan sekitar tahun 1987
pendidikan terapi wicara berdiri sendiri lagi dengan nama Akademi Speech Therapy.
Melalui SK Menkes RI No. 221/Kep/Dinakes/II/1988 pendidikan terapi wicara resmi
dibawah pembinaan Menteri Kesehatan.
Begitu juga dengan lulusannya, melalui Peraturan Pemerintah nomor 32 Tahun 1996
tentang Tenaga Kesehatan bab II pasal 2, terapis wicara diakui sebagai salah satu jenis
tenaga kesehatan yang termasuk kedalam Tenaga Keterapian Fisik bersama-sama
dengan fisioterapi dan okupasi terapi.
Cikal bakal berdirinya IKATWI dimulai dengan terbentuknya Ikatan Bina Wicara
Indonesia (IKABWI). IKABWI ini masih merupakan organisasi non formal karena ikatan
ini belum memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang merupakan
salah satu syarat organisasi disebut sebagai organisasi formal. Pada masa IKABWI ini,
belum ada pendataan anggota secara baik, ini dibuktikan belum adanya nomor anggota
bagi anggota-anggotanya. Namun demikian ikatan ini sudah memiliki beberapa
program dan kerja sama dengan pihak Depkes. Kepengurusan IKABWI dipimpin
oleh Bambang Setyono, Sp.Th
Pada tahun 1993 IKABWI berubah nama sekaligus berubah
kepengurusan menjadi IKATWI. Sampai tahun 2001, IKATWI ini masih belum memiliki
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang disyahkan dalam MUNAS. Namun
demikian pada akhir periode ini, pengurus IKATWI berusaha membuat AD/ART yang
telah didaftarkan ke Notaris, namun belum mendapat persetujuan dan penetapan dalam
Munas. Mulai tahun 1993 samapi tahun 2001 kepengurusan IKATWI dipimpin
oleh Dudung Abdurachman, A.Md.TW., S.Pd.
Akhirnya IKATWI baru menjadi organisasi formal setelah pada tahun 2001
memiliki AD/ART yang disyahkan melalui MUNAS I IKATWI di Jakarta. Dan mulai saat
itulah dilakukan pendataan dan registrasi anggota sesuai dengan aturan yang tertuang
di AD/ART IKATWI. Dan baru saat itu, terapi wicara yang telah menjadi anggota
IKATWI resmi memiliki Nomor Anggota yang tercantum dalam kartu anggotanya.
Pada tanggal 10 - 12 November 2007 IKATWI kembali mengadakan Musyawarah
Nasional II yang diselenggarakan di Surabaya. Dalam Munas ini dilakukan perubahan
Anggaran Dasar dan Anggran Rumah Tangga, Perbaikan Kode Etik Terapi Wicara,
Penetapan Program Kerja dan pemilihan Ketua Umum IKATWI periode 2006 - 2011.
Pada Munas II IKATWI di Surabaya, dipilih dan ditetapkan kembali Kadek Pandreadi,
A.Md.TW., S.Pd.,MM sebagai Ketua Umum DPP IKATWI untuk periode 2006 -2011
melanjutkan kepemimpinan periode sebelumnya. Tema yang diambil dalam Munas II
IKATWI di Surabaya adalah " Melelui Munas II IKATWI, Terapis Wicara Indonesia Siap
Memasuki Era Kebangkitan ". Tema ini dibuat sehubungan mulai tahun 2007, telah
bertambah 2 (dua) lagi Institusi Pendidikan Terapi Wicara yang ada di Poltekes
Surakarta dan di Poltek Al Islam Bandung. Sehingga sampai tahun 2007 sudah ada 3
(tiga) institusi pendidikan Terapi Wicara di Indonesia.

b. Sejarah di Poltekkes Kemenkes Surakarta

Terapi wicara di Poltekkes Surakarta berdiri pada tanggal 5 Juni 2006 dengan SK
a.n Menteri Kesehatan RI kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan sumberdaya
manusia Kesehatan, No OT 01.01.1.4.2.02568, sebagai prodi di jurusan Okupasi Terapi.
Pada tahun 2007 prodi terapi wicara resmi menjadi jurusan Terapi Wicaradi Poltekkes
Kemenkes Surakarta dengan prodi D-III Terapi Wicara jurusan Terapi Wicara.
Pada tanggal 26 April 2012 jurusan Terapi Wicara membuka prodi D-IV Terapi
Wicara jurusan Terapi Wicara dengan SK pendirian no HK 03.05/1.2/03067/2012 dan
SK perpanjangan operasional tanggal 10 Oktober 2012 dengan Sk 355/E/0/2012.
Sehingga sekarang ini di Poltekkes Kemenkes Surakarta jurusan Terapi Wicara
mempunyai prodi D-III Terapi Wicara dan D-IV Terapi Wicara.
3. Peran dan Fungsi terapi wicara
a. Peran terapis wicara
 Peran pelaksana: menangani atau memberikan pelayanan kepada pasien atau klien yang
mengalami gangguan dalam berkomunikasi seperti menelan, bahasa, gangguan wicara.
 Peran pengelola: mengelola layanan pasien secara mandiri dan terpadu di tingkat pelayanan
dasar, pelayanan rujukan, dan pelayanan yang dilaksanaka oleh pemerintah atau swadaya.
 Peran pendidik: pelayanan pendidikan kepada masyarakat atau pasien yang berkebutuhan
khusus.
 Peran penelitian: membantu melaksanakan penelitian terapan untuk hal-hal yang
berhubungan dengan gangguan komunikasi, mengumpulkan data-data empiris dari
pengalaman melaksanakan tugasnya sebagai bahan untuk dilakukan pengkajian lebih lanjut.
b. Fungsi terapis wicara
 Fungsi pelaksana
a) Melakukan identifikasi masalah kesehatan yang berkaitan dengan terapi wicara
b) Melakukan identifikasi masalah kesehatan yang berkaitan dengan terapi wicara
c) Mengevaluasi proses dan hasil tindakan
d) Bekerja sama dengan sejawat dan disiplin yang lain.
 Fungsi pengelola:
a) Mengelola unit-unit kerja fungsi ini bermaksud dapat mencakup unit kerja dalam bidang
bidang SDM, Sarana dan peraatan, Administrasi, Komunikasi, Pengembangan.
 Fungsi pendidik:
a) Menyelenggarakan upaya mempersebarluaskan informasi tentang terapi wicara.
 Fungsi penelitian:
a) Pengkajian masalah
b) Identifikasi maslah yang timbul
c) Aplikasi hasil penelitian
d) Evaluasi hasil aplikasi peneltian.

BAB III
PEMBAHASAN

Untuk mengetahui lebih lanjut disini saya akan menjelaskan dari pengertian
diatas lebih rinci dan jelas tapi juga singkat. Jadi dari yang sudah kita ketahui dari bab
dua diatas, seorang terapis wicara adalah seseorang yang menangani atau memberikan
pelayanan kepada pasien atau klien yang mengalami masalah dalam kesehatannya
seperti gangguan bahasa, wicara, menelan, suara, atau anak yang berkebutuhan khusus.
Terapis wicara ialah yang sudah lulus dari lulusan terapi wicara sesuai dengan
ketentuan yang ada (PERMENKES RI No. 867/MENKES/PER/VIII/2004). Akan tetapi
terapis wicara tidak berdiri sendiri, jadi seorang terapis wicara penanganannya
dibawah dokter,psikolog, dokter THT, dll. Seorang terapis wicarapun harus mempunyai
surat izin kerja bila akan bekerja di rumah sakit dan jika membuka klinik atau prakter
sendiri harus memiliki surat izin praktek sesuai dengan (PERMENKES RI No.
867/MENKES/PER/VIII/2004). Terapis wicara bekerja harus profesional, seperti
halnya dengan Dokter. Metode penanganannya dari pemeriksaan pasien yang
berkebutuhan khusus, terutama masalah bicara, menelan, vokal, terlambat bicara, lalu
menyiapkan atau menyimpulkan masalah pasien yang ditangani. Setelah itu dari segi
perencanaan apa yang pas buat si pasien dengan adanya masalah yang dihadapinya.
Setelah itu, proses terapi dilakukan dalam waktu yang ditentukan. Kemudian
membandingkan dari sebelum diterapi dan sesudah diterapi perbedaannya apa dan
perkembangan apa saja yang telah ada dicatat dibuku pasien. Terapis wicara harus bisa
menguasai atau memahami aspek bahasa, unsur bahasa, tahapan bahasa, dimana dalam
kerjanya identik dengan yang namanya bahasa. Tidak hanya itu terapis wicara harus
lihai dalam bersosialisasi dengan masyarakat ataupun pasien, karna apa karna selain
kita dekat dengan masyarakat, bisa memberikan pengetahuan tentang apa itu terapi
wicara, jika kita terjun ke masyarakat kita susah bersosialisai yang yang pasien tidak
nyaman dengan penangannya. Cara berkomunikasinyapun kita juga harus
menyesuaikan tempat dimana kita kerja.
Dalam prospek kerja terapis wicara di Indonesia sendiri masih langka, malah
belum ada banyak yang tau apa itu terapi wicara. Padahal terapis wicara sendiri sangat
dibutuhkan di kalangan anak berkebutuhan khusus, seperti gifted, ADHD, tunawicara
tunarungu, stroke, CP, anak yang mengalami keterlambatan bicara, seorang yang
mengalami gangguan bahasa, wicara, menelan. Di indonesia sendiri banyak kasus yang
harus ditangani. Jika dibandingkan dari seseorang yang mengalami gangguan dan yang
menangani 1:4,2juta se Indonesia. Sangat tidak sedikit yang mengalami gangguan atau
yang berkebutuhan khusus. Untuk dari itu Politeknik Kesehatan Kemenkes Surakarta
mendirikan Prodi Jurusan Terapi wicara pada 5 Juni 2006 yang dulu hanya progam D-3,
akan tetapi sejak 26 April 2006 Politeknik Kesehatan Kemenkes Surakarta mebuka
progam D-4. Jadi sekarang Politeknik mempunyai progam D-3 dan D-4 Terapi Wicara.
Padahal Terapi Wicara sendiri sudah ada sejak tahun 1971 yang dulu pembelajarannya
dalam kursus Speech Corection A dan B, yang masing-masing setiap kursus hanya ada 6
bulan pembelajaran. Tapi mengapa sampai sekarang belum banyak yang tau tentang
terapi wicara. Banyak orang yang menanggapi kalau terapis wicara itu hanya
menangani anak cacat. Itu salah, jelas salah. Bukan hanya cacat yang ditangani seorang
terapis wicara. Karna terapis wicara sendiri berperan penting dalam kehidupan anak
berkebutuhan khusus. Terapis wicara melayani sepenuh hati, setulusnya untuk
memberikan layanan kepada pasien yang mengalami masalah gangguan bicara,
menelan, bicara, wicara dll. Karna pelayanan terapi wicara merupakan pelayanan
kesehatan profesional. Karna tujuan akhir dari seorang terapis wicara adalah untuk
meningkatkan kemampuan berkomunikasi, baik dari teman sejawat maupun orang
petinggi negara.
Terapis wicara selalu memberikan penanganan yang terbaik untuk pasien. Yang
berfungsi dan berperan sebagai pendidik karna bagaimanapun juga masyarakat harus
tau apa itu terapis wicara? Apa saja penyebabnya? Bagaimana cara penyembuhannya?
Untuk dari itu terapis wicara harus bersosialisasi dari satu daerah ke daerah lain, agar
masyarakat tau apa itu terapi wicara, dan bisa mengasuh, mendidik, memberikan pola
makan dengan baik agar tidak terjadi keterlambatan bicara maupun gangguan yang
lainnya. Dalam penelitian seorang terapis wicara harus benar-benar teliti, harus
terperinci, jangan sampai salah diagnosa, karna jika salah diagnosa malah
memperburuk pasien atau klien, jadi itu merupakan tanggung jawab seorang terapis
wicara.
Dan sebagai orangtua harusnya tahu tahap perkembangan anak agar
tidak terlambat dalam berjalan, bicara. Karna jika terjadi hal itu tidak hanya terapis
wicara yang bergerak menganinya tetapi bersama-sama dengan okupasi terapi. Begitu
juga penanganan bisa dilakukan di Rumah Sakit besar swasta maupun negeri, diklinik,
ataupun freelance.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa terapi wicara masuk ke


Indonesia sejak tahun 1971 dengan kursus A dan B masing-masing 6 bulan. Pada tahun
1973 ditingkatkan menjadi 3 tahun. Bagi lulusan yang kursus bisa melanjutkan sebagai
mahasiswa tingkat kedua. Banyak orang yang tidak mengetahui apa itu terapi wicara.
Akan tetapi semakin tambahnya tahun banyak kasus anak berkebutuhan khusus yang
harus ditangani khususnya terapi wicara bisa meliputi gangguan bahasa, bicara,
menelan, penderita stroke. Seorang Terapis wicara tidak bisa berdiri sendiri, terapis
wicara dibawah naungan Psikolog, Dokter THT, Ortopedagog, dan bekerja sama dengan
Fisioterapi maupun Okupasi Terapi. Terapi wicara sendiri berperan sebagai pelaksana,
pengelola, pendidik, peneliti untuk memberikan layanan kepada pasien, mengelola
pasien secara terpadu agar pasien nyaman, membantu melaksanakan penelitian terapan
untuk hal-hal yang berhubungan dengan gangguan komunikasi, bicara, menelan, dan
mengumpulkan data-data empiris dari pengalaman melaksanakan tugasnya sebagai bahan
untuk dilakukan pengkajian lebih lanjut. Terapis wicara hanya memberikan jasa atau
pendidikan dari apa yang telah dipelajari selama mengampu ilmu dari pahlawan tanpa jasa.
Pada bidang garap ini kita akan mengetahui tahap awal bagaimana karakter individu
yang mengalami gangguan “Komunikasi”. Jika dilihat dari pendapat kebanyakan
orang, gangguan komunikasi ini diartikan sangatlah sempit. Mungkin kebanyakan
pikir orang, gangguan komunikasi sekedar gangguan pada bahasa ataupun bicara.
Namun, ketika saya mempelajari lebih dalam. Gangguan komunikasi individu ini
bukan semata hanya hal tersebut tetapi juga pada suara, irama kelancaran, serta
bagaimana individu tersebut menelan. Kesimpulannya komunikasi tidak
hanya berisi bunyi-bunyi vocal yang bisa dipergunakan, akan tetapi termasuk juga
unsur-unsur suara, kecepatan hantaran kontak mata, ekspresi wajah dan gerakan
badan individu tersebut. Baik itu dilaksanakan secara interpersonal (dirinya dengan
orang lain) ataupun intrapersonal (pada diri sendiri).

Sebelum mengetahui adanya gangguan komunikasi pada individu kita harus lebih
dahulu mengetahui apakah tahap perkembangannya sesuai atau tidak. Nah, disini
saya akan berbagi ilmu tentang Tahapan Perkembangan Normal Anak yaitu pada
bahasa dan bicara menurut para ahli.

Menurut M.F BERRY & J. EISENSION tahap perkembangan bahasa dan bicara anak
yaitu:
1. Tahap Reflexive Vocalization.(0 – 1,5 Bl). Pada tahap ini hanyalah
aktifitas yang masih bersifat refleks. Tangisan, suara-suara yang diproduksi
benar-benar tidak disadari oleh anak, tanpa kehendak, bukan berarti si anak
meminta atau menuntut apapun, bukan juga sedang menanggapi rangsangan
apapun dari sekelilingnya. Suara atau tangisan yang keluar benar-benar
merupakan refleks belaka. Tahap ini tangisan berkembang dari tangisan yang
sama disebabkan belum matangnya sistim refleks/susunan saraf dan
berlanjut menuju tangisan yang berbeda. Kesan ini bunyi tangisan bayi
tersebut mirip bunyi vokal, misalnya“ oooeee….oooaaa… untuk itulah maka
dinamakan tahap reflexive Vocalization. Tahapan yang wajar dilakukan anak
ketika masih diusia awal. Namun jika tahap ini belum terjadi kita sebagai
orang sekitar sangat perlu untuk kahwatir.
2. Tahap Babling (1,5 – 6 Bl). Tahap babling atau lebih popular disebut
“masa anak mengoceh”. Pada usia ini bayi senang mengulang-ulang bunyi
yang dibuatnya, ketika mendekati 5 sampai 6 bulan, bunyi yang dihasilkan
mulai terdengar bervariasi, seperti bunyi orang berkumur-kumur (gergels)
dan terkadang terdengar bermacam-macam bunyi mirip vokal (a,i,u,e,o).
Pada minggu-minggu selanjutnya terdengar bunyi-bunyi seperti konsonan
/p/, /b/, /g/ dan konsonan nasal /n/. bunyi-bunyi ini tentunya dikombinasi
dengan bunyi-bunyi vokal, misalnya : bunyi pa-pa-pa….., atauba-ba-ba …, ga-
ga-ga dan en-en-en atau na-na-na.
3. Tahap Laling (6 – 9 bl). Tahap lalling ini disebut juga tahap mengoceh
atau tahap jargón. Ocehan yang diucapkan bayi sudah dalam bentuk
kombinasi konsonan yang juga terdapat pada tahap babling, misalnya: ketika
anak lapar dia akan bicara mam..mam.. atau ketika dia ingin buang air kecil
dia akan bicara pis..pis..Tahap ini merupakan tahap latihan untuk beranjak
kepengucapan bentuk kata, dan bukan merupakan refleks lagi. KET
:
Ocehan pada tahap babling dapat dikatakan ocehan
dalam bentuk KV (konsonanVokal), sedangkan pada
tahap lalling menunjukan kemampuan yang lebih
tinggi pada koordinasi neuromoskuler dari traktus
vokalis, yaitu ocehan dalam bentuk suku kata KVK
(Konsonan Vokal Konsonan).
4. Tahap Echolalia (9 – 12 bl). Echologia ;echophrasia; echo speech ; e
mimic speech yang artinya adalah kecenderungan untuk meniru dari suatu
individu tanpa mengubah apa yang dikatakan kepadanya. Tahap ini dalam
pengulangan tidak lagi sekedar mengulang-ulang apa yang dikatakan sendiri,
namun juga mengulang apa yang didengar dari lingkungannya. Dalam usaha
meniru apa yang di dengarnya di diiringi dengan penggunaan gesture atau
isyarat gerakan tangan. Perlu ditekankan bahwa pengulangan terhadap apa
yang didengar dari lingkungan belum diiringi dengan pemahaman bahasa
tentang makna yang terkandung dalam ucapannya. KET
: Anda perlu
kahwatir ketika anak sudah usia 9-12 bulan tetapi dia
tidak ada respon ataupun pengulangan kata yang ia
dengar dari orang lain. Karena pada tahap ini
seorang yang mengalami gangguan pendengaran
(hearing impairment) tidak akan mengalami tahapan
ini.
5. Tahapan True Speech (12 – 18 bl). True speech atau bicara yang sudah
benar (dalam arti pemahamannya, namun mungkin artikulasinya belum).
Tahap ini mengawali tahap perkembangan bahasa yang benar. Anak akan
menolak apabila ucapanya dimaksudkan lain (beda) dengan apa yang
dimaksud oleh anak. Dapat ditegaskan lagi disini bahwa anak pada usia ini
pola- pola wicaranya sudah dapat dimengerti maksudnya meskipun kejelasan
artikulasinya belum memadai. Namun setiap ujaran sudah mewakili
pengertian tertentu. Anak pada usia ini sudah mampu mengucapkan
rangkaian kata dua sampai tiga kata.
Nah itu pemahaman saya mengenai pendapat M.F BERRY & J. EISENSION.
Semoga apa yang saya sampaikan bermanfaat bagi kita semua, serta akan lebih
mengerti perkembangan anak. Dan ketika anak mengalami gangguan atau
keterlambatan kita segera mengetahui untuk bisa mengobati ataupun
meminimalisir gangguannya. Sebenarnya tahapan ini tidak berhenti pada
pendapat dari M.F BERRY & J. EISENSION namun masih banyak lagi pendapat
para ahli atau secara umum, yang pada akhirnya juga sama maksudnya. See you..
semoga dapat bertemu lagi dengan ilmu yang lebih menarik 

Anda mungkin juga menyukai