Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH FLAVANOID

EKSTRAKSI, ISOLASI, DAN KARAKTERISASI FLAVONOID BIOAKTIF


DARI BUAH-BUAHAN EKSTRAK JARING FISALIS PERUVIANA LINN

DISUSUN OLEH

HERMAWAN PURBA
198103008

PROGRAM STUDI S-3 ILMU KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Physalis peruviana L. adalah ramuan yang banyak digunakan dalam pengobatan tradisional
untuk berbagai penyakit. Nama botani tanaman adalah P. peruviana Linnaeus, milik keluarga
Solanaceae dan genus Physalis [1]. Ini adalah tanaman asli dari Andens Peru dan sekarang tersebar
luas di seluruh negara tropis dan sub-tropis. Tanaman ini memiliki potensi multiplikasi yang tinggi
karena tumbuh di tanah yang buruk [2]. Budidaya P. peruviana L. di Kolombia terus meningkat
untuk memenuhi permintaan ekspor yang tumbuh, peringkat kedua setelah ekspor buah pisang [3].
Fitur yang paling khas dari P. peruviana L. adalah kelopak buah berbuah, yang membesar untuk
menutupi buah dan menggantung ke bawah seperti lentera [2]. Nama-nama umum untuk buah P.
peruviana L. termasuk berry emas, Cape gooseberry, dan tomat liar. Buahnya berwarna emas
sukulen dengan ukuran kelereng [4]. Buah bundar memiliki diameter rata-rata 20-25 mm dan berat
sekitar 4-5 g. Setiap buah kira-kira mengandung 100-200 biji kecil [2]. Satu tanaman dapat
menghasilkan 300 buah, dan tanaman yang dipelihara dengan hati-hati dapat menghasilkan 25-35
ton / hektar [5]. Umur simpan buah adalah 1 bulan sementara tanpa kelopak adalah 4-5 hari [1].
Waktu antara dimulainya perkecambahan dan panen pertama adalah sekitar 9 bulan. Umur
produksi tanaman yang dapat diperbaiki berjalan dari 9 hingga 11 bulan sejak saat panen pertama,
karena setelah itu produktivitas dan kualitas buah menurun [2]. Nilai pH pulp buah adalah sekitar
3,76-3,86. Umumnya, buah-buahan dikonsumsi segar [6]. Sejauh ini, tidak ada penelitian yang
menunjukkan kemungkinan efek samping Cape gooseberry. Tidak seperti buah lain yang harus
diproses dekat dengan tempat panen, golden berry ditandai dengan sifat penyimpanan yang unik.
Buah-buahan tahan lama ketika disimpan dalam wadah tertutup dan disimpan dalam suasana
kering selama beberapa bulan, dan membeku dengan baik. Wu et al., (2006) [7] melaporkan bahwa
ekstrak etanol dari
buah memiliki sifat antioksidan lebih tinggi daripada ekstrak air. Selain itu, aktivitas antioksidan
yang terkait dengan buah-buahan disebabkan oleh tingginya tingkat polifenol dan tingkat
signifikan vitamin A dan C. Meskipun banyak digunakan dalam pengobatan tradisional, hanya ada
beberapa laporan dalam literatur tentang ekstrak buah P. peruviana L. dan komposisi kimianya.
Baru-baru ini, kami telah melaporkan sifat anti-diabetes dari ekstrak buah P. peruviana L. dalam
diet tinggi lemak-dosis rendah streptozotocin yang diinduksi diabetes tipe 2 pada tikus percobaan
[8]. Sebuah survei literatur menyeluruh mengungkapkan bahwa tidak ada laporan sistemik yang
tersedia mengenai phytoconsituents yang ada dalam buah-buahan India P. peruviana L. Oleh
karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menentukan keberadaan flavonoid yang penting secara
biologis.

1.2 Rumusan Masalah


Yang menjadi rumusan maslah pada penelitian ini adalah bagiamana mengekstraksi, mengisolasi,
dan mengkarakteriasi senyawa bioaktif flavanoid dari P. peruviana L.

1.3 Tujuan Penelitian


Yang menjadi tujuan penelitian adalah

1. Untuk mengetahui proses ekstraksi senyawa flavonoid dari P. peruviana L.


2. Untuk mengetahui proses isolasi senyawa flavonoid dari P. peruviana L.
3. Untuk mengetahui karakteriasasi senyawa bioactive flavonoid dari P. peruviana L.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut


1. Sebagai panduan dalam melakukan esktraksi senyawa bioaktif flavanoid
2. Sebagai bahan masukan dalam perkembangan teknologi mengekstraksi, mengisolasi dan
mengkarakterisasi senyawa bioaktif flavonoid dari P. peruviana L
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Physalis Peruviana Linn

Herba berumur satu tahun, tegak, tinggi s/d 1 m. Batang berusuk (=angulata) bersegi tajam
dan berongga. Daun berbentuk bundar telur memanjang berujung runcing, dengan tepi rata atau
tidak, 2,5-10,5 × 5–15 cm. Bunga di ketiak, dengan tangkai yang tegak, keunguan, dan dengan
ujung yang mengangguk. Kelopak berbagi lima, dengan taju yang bersudut tiga dan meruncing,
hijau dengan rusuk keunguan. Mahkota serupa lonceng, berlekuk lima dangkal, kuning muda
dengan noda kuning tua dan kecoklatan di leher bagian dalam, 7–9 mm tingginya. Tangkai sari
kuning pucat dengan kepala sari biru muda. Buah dalam bungkus kelopak yang menggelembung
berbentuk telur berujung meruncing, hijau muda kekuningan, dengan rusuk keunguan, 2–4 cm
panjangnya.

Buah buni di dalamnya bulat memanjang, 1,5–2 cm, kekuningan jika masak, manis dan
disukai anak-anak. Umumnya tumbuh liar, ceplukan biasa didapati bercampur dengan herba dan
semak lainnya di kebun, tegalan, sawah yang mengering, tepi jalan, tepi hutan dan bagian-bagian
hutan yang terbuka disinari terik matahari. Buahnya digemari anak-anak. Seluruh bagian
tumbuhan, dari daun sampai akar dan biasanya dikeringkan lebih dulu, digunakan sebagai bahan
ramuan obat tradisional.
Berikut klasifikasi tumbuhan tersebut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Solanales

Famili : Solanaceae

Genus : Physalis

2.2 HPLC (Thin Layer Chromatography)

HPLC (High Performance Liquid Chromatography) atau biasa juga disebut dengan Kromatografi
cair kinerja tinggi (KCKT) dikembangkan pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Saat
ini, HPLC merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis bahan obat, baik
dalam bulk atau dalam sediaan farmasetik.

Diagram skematik sistem kromatografi cair seperti ini :

JENIS HPLC

Pemisahan dengan HPLC dapat dilakukan dengan fase normal (jika fase diamnya lebih
polar dibanding dengan fase geraknya) atau fase terbalik (jika fase diamnya kurang non polar
dibanding dengan fase geraknya). Berdasarkan pada kedua pemisahan ini, sering kali HPLC
dikelompokkan menjadi HPLC fase normal dan HPLC fase terbalik. Selain klasifikasi di atas,
HPLC juga dapat dikelompokkan berdasarkan pada sifat fase diam dan atau berdasarkan pada
mekanisme sorpsi solute.
Prinsip dasar HPLC sebenarnya adalah dinamika dan migrasi dengan menggunakan dua
fasa. HPLC biasanya digunakan untuk senyawa untuk yang berberat molekul tinggi dan tidak
menguap, dimana penyerapan semakin baik jika molekul berada pada bentuk terkecil sehingga
pemisahan pun juga akan semakin baik. Setelah pemisahan ini, selanjutnya diidentifikasikan
secara kualitatif dan dihitung berapa konsentrasi dari masing-masing komponen tersebut secara
kuantitatif.

Penentuan Kualitatif

HPLC digunakan untuk analisa kualitatif didasarkan pada waktu retensi untuk identifikasi.
Identifikasi dapat diandalkan apabila waktu retensi sampel dibandingkan dengan larutan standar.

Penentuan Kuantitatif

Beberapa hal yang harus diperhatikan agar HPLC dapat dipergunakan untuk penentuan secara
kuantitatif adalah:

1. Parameter percobaan sama antara standar dan sampel


2. Penentuan berdasarkan waktu retensi sampel dan standar yang sama
3. Penentuan kadar dilakukan berdasarkan hubungan (korelasi) dengan menggunakan larutan
standar seri pada waktu retensi tertentu.
4. Berdasarkan area kromatogram
5. Berdasarkan tinggi puncak kromatogram

Umumnya hasil analisis HPLC diperoleh dalam bentuk signal kromatogram. Dalam kromatogram
akan terdapat peak-peak yang menggambarkan banyaknya jenis komponen dalam sample.

Sample yang mengandung banyak komponen didalamnya akan mempunyai kromatogram dengan
banyak peak. Bahkan tak jarang antar peak saling bertumpuk (overlap). Hal ini akan menyulitkan
dalam identifikasi dan perhitungan konsentrasi. Oleh karena itu biasanya untuk sample jenis ini
dilakukan tahapan preparasi sample yang lebih rumit agar sample yang siap diinjeksikan ke HPLC
sudah cukup bersih dari impuritis.

2.3 NMR

Nuclear Magnetic Resonance (NMR) adalah salah satu metode analisis yang paling mudah
digunakan pada kimia modern. NMR digunakan untuk menentukan struktur dari komponen alami
dan sintetik yang baru, kemurnian dari komponen, dan arah reaksi kimia sebagaimana hubungan
komponen dalam larutan yang dapat mengalami reaksi kimia. Meskipun banyak jenis nuclei yang
berbeda akan menghasilkan spektrum, nuclei hidrogen (H) secara histori adalah salah satu yang
paling sering diamati. Spektrokopi NMR khususnya digunakan pada studi molekul organik karena
biasanya membentuk atom hidrogen dengan jumlah yang sangat besar.
Pada spektrum hidrogen NMR menghadirkan beberapa resonansi yang menjelaskan
pertama bahwa molekul yang dipelajari mengandung hidrogen. Kedua, jumlah pita dalam
spektrum menunjukkan bagaimana beberapa posisi yang berbeda pada molekul dimana hidrogen
melekat/menempel. Frekuensi dari beberapa resonansi utama pada spektrum NMR menunjukkan
perubahan kimia. Ini sangat penting untuk menduga bagian dari spektrum NMR yang
mengandung informasi tentang lingkungan masing-masing atom hidrogen dan struktur dari
komponen yang dipelajari. Informasi ketiga bahwa sebuah spektrum NMR menentukan
perbandingan luas/daerah pita yang berbeda, ini menjelaskan jumlah atom hidrogen yang relatif
yang keluar pada masing-masing posisi pada molekul yang diperoleh.
Perbandingan ini petunjuk/bukti langsung struktur dari struktur molekul dan harus
mutlak sesuai untuk beberapa struktur yang diusulkan sebelum struktur tersebut kemungkinan
dipertimbangkan benar. Struktur kompleks pita-pita dapat mengandung informasi tentang jarak
yang memisahkan beberapa atom hidrogen yang melewati ikatan kovalen dan penyusun spasial
atom hidrogen yang melekat pada molekul, termasuk struktur dasarnya. Struktur dasar
menunjukkan pembungkusan atau penggabungan molekul yang memiliki ikatan yang panjang,
seperti struktur spiral DNA. Struktur kompleks pita NMR pada mulanya spin coupling diantara
beberapa atom hidrogen. Penggabungan ini merupakan perputaran fungsi jarak melintasi ikatan
dan geometri molekul. Dalam kasus molekul kecil, pita yang kompleks mungkin
disimulasikantepat dengan perhitungan mekanika kuantum atau didekati menggunakan
mekanika kuantum yang sesuai dengan aturan.
Spektrofotometri NMR adalah salah satu teknik utama yang digunakan
untukmendapatkan informasi fisik, kimia, elektronik dan tentang struktur
molekul.Spektrofotometri NMR pada dasarnya merupakan spektrofotometri
absorbsi,sebagaimana spektrofotometri infra merah maupun spektrofotometer
ultraviolet.Pada kondisi yang sesuai, suatu sampel dapat mengabsorpsi
radiasielektromagnetik daerah frekuensi radio, pada frekuensi yang tergantung dari sifat-sifat
sampel. Suatu plot dari frekuensi puncak-puncak absorbsi versus intensitaspuncak memberikan
suatu spektrum NMR. NMR digunakan untuk menentukan struktur dari komponen alami dan
sintetik yang baru, kemurnian dari komponen, dan arah reaksi kimia
sebagaimanahubungan komponen dalam larutan yang dapat mengalami reaksi kimia.
Spektroskopi NMR merupakan alat yang dikembangkan dalam biologi structural.Dasar
dari spektroskopi NMR adalah absorpsi radiasi elektromagnetik denganfrekuensi radio
oleh inti atom. Frekuensi radio yang digunakan berkisar dari 0,1sampai dengan 100 MHz.
Bahkan, baru-baru ini ada spektrometer NMR yangmenggunakan radio frekuensi sampai
500 MHz.
Inti proton (atom hidrogen) dan karbon (karbon 13) mempunyai sifat-
sifatmagnet. Bila suatu senyawa mengandung hidrogen atau karbon diletakkan dalambidang
magnet yang sangat kuat dan diradiasi dengan radiasi elektromagnetikmaka inti atom
hidrogen dan karbon dari senyawa tersebut akan menyerap energymelalui suatu proses absorpsi
yang dikenal dengan resonansi magnetik. Absorpsiradiasi terjadi bila kekuatan medan
magnet sesuai dengan frekuensi radiasielektromagnetik.
Proton tunggal 1H adalah isotop yang paling penting dalam hidrogen. Isotop inimelimpah
hampir 100% dan jaringan hewan mengandung 80% air. 1H memprosesmomen magnetik yang
besar dari nuclei yang penting secara biologi. Ketika padamedan magnet konstan, frekuensi NMR
dari nuclei hanya bergantung pada momenmagnetnya, frekuensi 1H paling tinggi pada
spektrometer yang sama. Sebagaicontoh, pada spektrometer 360 MHz untuk 1H, frekuensi
untuk 31P adalah 145,76MHz dan untuk 13C adalah sekitar 90 MHz.13C adalah isotop karbon
yang dapat digunakan untuk NMR. Di alam hanya ada1,1%. Oleh karena itu, spektrum 13C yang
diperoleh membutuhkan banyak waktu.
Disamping itu spektrum 13C lebarnya adalah 200 ppm, yang identifikasinya mudah
diperoleh pada metabolisme jaringan. Sensitivitas spektroskopi 13C dapatditingkatkan
dengan spektroskopi proton-observed carbon-edited.

Kegunaan Nuclear Magnetic Resonance


Banyak informasi yang dapat diperoleh dari spektra NMR. Pada umumnya metode ini
berguna sekali untuk mengidentifikasi struktur senyawa atau rumus bangun molekul senyawa
organik. Meskipun Spektroskopi Infra Merah juga dapat digunakan untuk tujuan tersebut,
analisis spektra NMR mampu memberikan informasi yang lebih lengkap.
NMR digunakan untuk menentukan struktur dari komponen alami dan sintetik yang baru,
kemurnian dari komponen, dan arah reaksi kimia sebagaimana hubungan komponen dalam
larutan yang dapat mengalami reaksi kimia. Spektroskopi NMR merupakan alat yang
dikembangkan dalam biologi struktural. Dasar dari spektroskopi NMR adalah absorpsi radiasi
elektromagnetik dengan frekuensi radio oleh inti atom. Frekuensi radio yang digunakan berkisar
dari 0,1 sampai dengan 100 MHz. Bahkan, baru-baru ini ada spektrometer NMR yang
menggunakan radio frekuensi sampai 500 MHz. Inti proton (atom hidrogen) dan karbon (karbon
13) mempunyai sifat-sifat magnet. Bila suatu senyawa mengandung hidrogen atau karbon
diletakkan dalam bidang magnet yang sangat kuat dan diradiasi dengan radiasi elektromagnetik
maka inti atom hidrogen dankarbon dari senyawa tersebut akan menyerap energi melalui suatu
proses absorpsi yang dikenal dengan resonansi magnetik. Absorpsi radiasi terjadi bila kekuatan
medan magnet sesuai dengan frekuensi radiasi elektromagnetik. Proton tunggal 1H adalah isotop
yang paling penting dalam hidrogen. Isotop ini melimpah hampir 100% dan jaringan hewan
mengandung 80% air. 1H memproses momen magnetik yang besar dari inti yang penting secara
biologi. Ketika pada medan magnet konstan, frekuensi NMR dari inti hanya bergantung pada
momen magnetnya, frekuensi 1H paling tinggi pada spektrometer yang sama. Sebagai contoh,
pada spektrometer 360MHz untuk 1H, frekuensi untuk 31P adalah 145,76 MHz dan untuk 13C
adalah sekitar 90MHz.
Dampak spektroskopi NMR pada senyawa bahan alam sangat penting. Ini dapat digunakan
untuk mempelajari campuran analisis, untuk memahami efek dinamis seperti perubahan pada
suhu dan mekanisme reaksi, dan merupakan instrumen tak ternilai untuk memahami struktur dan
fungsi asam nukleat dan protein. Teknik ini dapat digunakan untuk berbagai variasi sampel,
dalam bentuk padat atau pun larutan.

Hukum Yang Mendasari Kerja Spektroskopi Nuclear Magnetic Resonance


Metode spektroskopi jenis ini didasarkan pada penyerapan energi oleh partikelyang sedang
berputar di dalam medan magnet yang kuat. Energi yang dipakaidalam pengukuran dengan
metode ini berada pada daerah gelombang radio 75-0,5m atau pada frekuensi 4-600 MHz, yang
bergantung pada jenis inti yang diukur. Intiyang dapat diukur dengan NMR yaitu :
a) Bentuk bulat
b) Berputar
c) Bilangan kuantum spin = ½
d) Jumlah proton dan netron ganjil, contoh : 1H, 19F, 31P, 11B, 13C
Di dalam medan magnet, inti aktif NMR (misalnya 1H atau 13C) menyerap padafrekuensi
karakteristik suatu isotop. Frekuensi resonansi, energi absorpsi danintensitas sinyal
berbanding lurus dengan kekuatan medan magnet. Sebagaicontoh, pada medan magnet
21 tesla, proton beresonansi pada 900 MHz. nilaimagnet 21 T dianggap setara dengan
magnet 900 MHZ, meskipun inti yangberbeda beresonansi pada frekuensi yang berbeda.Di
medan magnet bumi, inti yang sama beresonansi pada frekuensi audio.Fenomena ini
dimanfaatkan oleh spektrometer NMR medan bumi, yang lebih murahdan mudah dibawa.
Instrumen ini biasa digunakan untuk keperluan kerja lapangandan pengajaran.
Spektrometri NMR (Nuclear Magnetic Resonance = Resonansi Magnetik Inti)
berhubungan dengan sifat magnet dari inti atom. Spektroskopi NMR didasarkan pada penyerapan
panjang gelombang radio oleh inti-inti tertentu dalam molekul organik, apabila molekul ini berada
dalam medan magnet yang kuat.Inti atom unsur-unsur dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni
atom unsur yang mempunyai spin atau tidak mempunyai spin. Spin inti akan menimbulkan medan
magnet. Dari resonansi magnet proton (RMP), akan diperoleh informasi jenis hidrogen, jumlah
hidrogen dan lingkungan hidrogen dalam suatu senyawa begitu juga dari resonansi magnet karbon
(RMC).
Skema spektometer NMR
Spektrometri NMR ini memberikan banyak informasi mengenai kedudukan gugus fungsi.
Ada empat parameter yang dapat membantu menginterpretasi spektra NMR. (1) pergeseran kimia,
(2) penjodohan spin, (3) tetapan penjodohan dan pola penjodohan, dan (4) integrasi. Untuk
memastikan kebenaran struktur yang dianalisis, metode ini sering dibantu dengan spektroskopi 2-
D yaitu HMQC (Heteronuclear Multiple Quantum Coherence), HMBC (Heteronuclear Multi Bond
Coherence), COSY (Correlation Spectroscopy) dan NOESY (Nuclear Overhauser Effect
Spectroscopy).
Prinsip dalam spektrometri NMR yaitu bila sampel yang mengandung1H atau 13C
(bahkan semua senyawa organik) ditempatkan dalam medan magnet, akan timbul interaksi antara
medan magnet luar tadi dengan magnet kecil (inti). Karena adanya interaksi ini, magnet kecil akan
terbagi atas dua tingkat energi (tingkat yang sedikit agak lebih stabil (+) dan keadaan yang kurang
stabil (-)) yang energinya berbeda. Karena inti merupakan materi mikroskopik, maka energi yang
berkaitan dengan inti ini terkuantisasi, artinya tidak kontinyu. Perbedaan energi antara dua keadaan
diberikan oleh persamaan.
∆E = γhH/2π
H yaitu kuat medan magnet luar (yakni magnet spektrometer), h yaitu tetapan Planck, γ yaitu
tetapan khas bagi jenis inti tertentu, disebut dengan rasio giromagnetik dan untuk proton nilainya
2,6752 x 108 kg-1 s A (A= amper).Bila sampel disinari dengan gelombang elektromagnetik (ν)
yang berkaitan dengan perbedaan energi (∆E),
∆E = hν
Inti dalam keadaan (+) mengabsorbsi energi ini dan tereksitasi ke tingkat energi (-). Proses
mengeksitasi inti dalam medan magnetik akan mengabsorbsi energi (resonansi) disebut nuclear
magnetic resonance(NMR). Frekuensi gelombang elektromagnetik yang diabsorbsi diungkapkan
sebagai fungsi H.
ν = γH/2π
Bila kekuatan medan magnet luar, yakni magnet spektrometer, adalah 2,3490 T(tesla; 1 T = 23490
Gauss), ν yang diamati sekitar 1 x 108 Hz = 100 MHz. Nilai frekuensi ini di daerah gelombang
mikro.
Secara prinsip, frekuensi gelombang elektromagnetik yang diserap ditentukan oleh
kekuatan magnet dan jenis inti yang diamati. Namun, perubahan kecil dalam frekuensi diinduksi
oleh perbedaan lingkungan kimia tempat inti tersebut berada. Perubahan ini disebut pergeseran
kimia. Dalam spektrometri 1H NMR, pergeseran kimia diungkapkan sebagai nilai relatif terhadap
frekuensi absorpsi (0 Hz) tetrametilsilan standar (TMS) (CH3)4Si.
Frekuensi resonansi (frekuensi absorpsi) proton (atau inti lain) sebanding dengan kekuatan
magnet spektrometer. Perbandingan data spektrum akan sukar bila spektrum yang didapat dengan
magnet berbeda kekuatannya. Untuk mencegah kesukaran ini, skala δ, yang tidak bergantung pada
kekuatan medan magnet, dikenalkan. Nilai δ didefinisikan sebagai berikut.
δ = (∆ν/ν) x 106 (ppm)

ppm = geseran kimia inti senyawa

Δv = frekuensi sampel – 0 (frekuensi senyawa pembanding biasanya nol)

v = frekuensi yang dipasang atau digunakan

ν merupakan perbedaan frekuensi resonansi (dalam Hz) inti yang diselidiki dari frekuensi standar
TMS (dalam banyak kasus) dan ν frek uensi (dalam Hz) proton ditentukan oleh spektrometer yang
sama. Karena nilai ν/ν sedemikian kecil, nilainya dikalikan dengan 10 6. Jadi nilai δ diungkapkan
dalam satuan ppm.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu Penelitian


Penelitian dimulai pada tahun 2013 yaitu dengan melakukan pemilihan sampel sebagai
tahap pertama dan dilanjutkan dengan autenfikasi tumbuhan tersebut di plants Taxonomy in
CAS Botany University of Madras..

3.2 Lokasi Penelitian


Penelitian dilakukan di Regional Medical Research Centre (ICMR) di daerah Belagavi,
India.

3.3 Kerangka Penelitian

Tumbuhan
P. Peruviana L

Ekstrak
P. Peruviana L

Etanol Etanol Etanol


Ekstrak P1 Ekstrak P2 Ekstrak P3

Fitokimia
Skrining

Analaysis of
Flavanoid by
HPLC
3.4 Prosedur Penelitian

a. Bahan tanaman

Seluruh tanaman P. peruviana L. yang tumbuh di lingkungan alami dikumpulkan dari Kabupaten
Theni, Tamil Nadu dan diidentifikasi oleh ahli taksonomi tanaman di CAS di Botany, Universitas
Madras di mana spesimen voucher disimpan di herbarium. Utuh, buah dipilih dengan cermat sesuai
dengan tingkat kematangan diukur dengan warna buah (oranye cemerlang).

b. Persiapan ekstrak buah

P. peruviana L. buah disortir, dicuci, dihancurkan dalam oven udara panas pada 50 ° C kemudian
bubuk dalam penggiling listrik, yang kemudian disimpan dalam wadah coklat kedap udara pada 5
° C sampai digunakan lebih lanjut. Buah bubuk didelipidasikan dengan petroleum eter (60-80 ° C)
untuk semalam. Kemudian disaring, dan soxhalation dilakukan dengan etanol 95%. Etanol
diuapkan dalam rotary evaporator pada suhu 40-50 ° C di bawah tekanan rendah.

c. Skrining fitokimia awal

Ekstrak etanol buah P. peruviana L. menjadi sasaran skrining fitokimia untuk analisis kualitatif
dari berbagai phytoconsituents [9,10]. Penentuan total konten fenolik Total konten polifenol dalam
ekstrak etanol buah P. peruviana L. ditentukan sesuai dengan metode kolorimetri Folin-Ciocalteu
[11,12]. Kurva standar dibangun dengan larutan referensi asam galat. Aliquot mulai dari 2 hingga
10 ml larutan asam galat berair standar (100 μg / ml) dipipet ke dalam 100 ml labu volumetrik
yang mengandung 70 ml air suling. Reagen Folin-Ciocalteu (5 ml) dan 10 ml larutan natrium
bikarbonat jenuh ditambahkan, dan volumenya dibuat hingga 100 ml dengan air suling. Solusinya
dicampur secara menyeluruh. Kosong disiapkan dengan cara yang sama, tetapi tanpa asam galat.
Setelah 1 jam inkubasi pada suhu kamar, absorbansi diukur pada 760 nm. Sampel disiapkan dalam
rangkap tiga untuk setiap analisis, dan nilai rata-rata dihitung. Untuk menentukan kadar fenolik
total buah P. peruviana L., larutan air pada konsentrasi akhir 20 μg / ml digunakan; melanjutkan
dengan cara yang sama dijelaskan untuk solusi referensi dan polifenolik total ditunjukan dalam
satuan mg/g ekivalen asam galat[13].
d. Penentuan TFC (total flavonoid compunds)

TFC dalam ekstrak etanol buah P. peruviana ditentukan sesuai dengan metode Quettier-Deleu et
al., (2000) [14] dengan modifikasi kecil. Kurva standar dibangun dengan solusi referensi kuersetin.
Aliquot mulai dari 2 hingga 8 ml larutan ekstrak etanol kuercetin standar (50 μg / ml) dipipet ke
dalam 25 ml labu volumetrik yang mengandung 1 ml aluminium klorida 2% yang dilarutkan dalam
etanol dan volumenya dibuat dengan etanol. Kosong disiapkan dengan mengencerkan 1 ml
aluminium klorida 2% dilarutkan dalam etanol dalam labu volumetrik 25 ml dengan etanol.
Setelah 1 jam pada suhu kamar, absorbansi diukur pada 420 nm. Sampel buah P. peruviana L.
dievaluasi pada konsentrasi akhir 20 μg / ml, diproses dengan cara yang sama dijelaskan untuk
solusi referensi dan TFC dihitung sebagai setara kuersetin (mg / g) dari kurva kalibrasi. Sampel
disiapkan dalam rangkap tiga pada setiap analisis dan nilai absorbansi rat-rata diukur.

e. Kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC) -DAD sistem untuk analisis senyawa fenolik

Analisis HPLC dilakukan dengan menggunakan sistem Shimadzu HPLC dilengkapi dengan
detektor dioda array. Pemisahan kromatografi dilakukan pada kolom analitik Inertsil C18 (4,6 mm
× 250 mm, 5 m). Komposisi pelarut dan kondisi gradien elusi yang digunakan dijelaskan
sebelumnya oleh Bengoechea et al., (1997) [15], Schieber et al., (2001) [16] dan Butsat et al.,
(2009) [17], dengan beberapa modifikasi. Fase gerak terdiri dari air murni dengan asam asetat (pH
2,74) (pelarut A) dan asetonitril (pelarut B) pada laju aliran 0,8 ml / menit. Elusi gradien dilakukan
sebagai berikut: Dari 0 hingga 5 menit, gradien linier dari 5% hingga 9% pelarut B; dari 5 hingga
15 menit, 9% pelarut B; dari 15 hingga 22 menit, gradien linier dari 9% hingga 11% pelarut B;
dari 22 hingga 38 menit, gradien linier dari 11% hingga 18% pelarut B; dari 38 hingga 43 menit,
dari 18% hingga 23% pelarut B; dari 43 hingga 44 menit, dari 23% hingga 90% pelarut B; dari 44
hingga 45 menit, gradien linier dari 90% menjadi 80% pelarut B; dari 45 hingga 55 menit, isokratis
pada 80% pelarut B; dari 55 hingga 60 menit, gradien linier dari 80% hingga 5% pelarut B dan
periode penyetimbangan ulang 5 menit dengan 5% pelarut B digunakan antara masing-masing
lintasan. Kondisi operasi adalah sebagai berikut: Suhu kolom, 38 ° C, volume injeksi, 20 μl, dan
deteksi array -ode ultraviolet (UV) pada 280 nm (asam hidroksibenzoat), 320 nm (asam
hidroksisinamat) dan 370 nm (flavonol) pada suatu laju aliran 0,8 ml / menit. Spektrum direkam
dari 200 hingga 600 nm. Senyawa fenolik dalam sampel diidentifikasi dengan membandingkan
waktu retensi relatifnya dan spektrum UV dengan senyawa asli dan dideteksi menggunakan
metode standar eksternal. Studi spektral inframerah (IR) dilakukan dalam keadaan padat sebagai
pelet KBr ditekan menggunakan spektrofotometer Perkin Elmer Fourier transform (FT) -IR dalam
kisaran 400-4000 / cm. Spektrum massa kompleks diperoleh dengan menggunakan Jeol Gcmate.
Resonansi magnetik nuklir (NMR) 1H dan 13C NMR masing-masing pada 500,13 dan 125,758
MHz dilakukan. Spektrum tercatat tanpa ada koreksi untuk karakteristik instrumen.
BAB IV

PEMBAHASAN

a. Analisis fitokimia kualitatif

Analisis fitokimia kualitatif ekstrak buah P. peruviana L. menunjukkan adanya bahan phyto
yang aktif secara biologis seperti fenol, flavonoid, glikosida, sterol, saponin, tanin, lakton, dan
alkaloid. Nilai-nilai obat tanaman terletak pada konstituen fitokimia bioaktif yang menghasilkan
tindakan fisiologis yang pasti pada tubuh manusia dan fitokimia ini diproduksi sebagai metabolit
sekunder untuk mempertahankan tanaman dari lingkungan. Selain itu, kandungan fenolik dan
flavonoid dalam ekstrak buah ditemukan 76,84 ± 3,65 mg / g berat kering dan 241 ± 8,45 mg / g
berat kering, masing-masing. Fenol adalah konstituen tanaman yang sangat penting karena
kemampuan memulung karena gugus hidroksilnya [18]. Demikian pula, flavonoid adalah
kelompok penting polifenol yang didistribusikan secara luas di antara flora tanaman dan
mengandung benzopyrone yang digunakan sebagai antioksidan atau pemulung radikal bebas [19].

Total konten fenolik dan flavonoid ditentukan dalam penelitian ini sedikit berbeda dari
laporan sebelumnya oleh Wu et al., 2009 [20], Ahmed, 2014 [21], Rop et al., 2012 [22] di mana
total fenolik dan flavonoid relatif lebih sedikit. Efek pematangan buah P. peruviana L.
diklasifikasikan menjadi tujuh tingkat kematangan sesuai dengan warna permukaan buah yang
berkisar dari hijau tua (Tahap 0) hingga oranye intens (Tahap 6) [23]. Status kematangan ini pada
gilirannya tergantung pada parameter kualitas seperti isi padatan terlarut, keasaman yang dapat
dititrasi dan indeks kematangan [23]. Selama pematangan awal, konten fenol menurun secara
signifikan dengan perkiraan penurunan 50% antara negara S0 ke negara S3. Namun, selama negara
S4-S7 tidak ada variasi signifikan yang diamati.

Penurunan senyawa fenolik menunjukkan bahwa mereka semakin terikat pada dinding sel,
yang merupakan mekanisme penting di mana tanaman bergantung pada patogen dan memperkuat
dinding sel. Penurunan senyawa fenolik juga bisa terkait dengan pengurangan metabolisme primer
dalam buah matang, sehingga mengakibatkan kurangnya substrat penting untuk biosintesis
senyawa flavonoid. [24-27].
b. Identifikasi dan karakterisasi

Empat senyawa yang terisolasi diidentifikasi oleh HPLC (Gambar 1-4) dan data spektral
IR, massa, dan 1H dan 13C NMR. Analisis HPLC dari fraksi yang dimurnikan menunjukkan
bahwa komponen kristal yang diisolasi memiliki waktu retensi yang sama (sekitar rutin 6,94 menit,
myricetin 11,40 menit, quercetin 9,68 menit dan kaempferol 15,97 menit) dengan standar rutin,
myricetin, quercetin dan kaempferol (Gambar 5 dan 6 ). Spektrum IR rutin ditunjukkan pada
Gambar. 7. Nilai IR: 3483 OH (terikat), peregangan 2931 CH, 1669 C = O, 1504 C = C aromatik,
1348 C-O-C, 1204 C-O-C, 1043 C-O-C.

Spektrum massa rutin diilustrasikan pada Gambar. 8. Senyawa rutin memberikan puncak
fragmen pada [M + H] + = 611, [M + H] + Rhamnose = 465, [M + H] + - Rhamnose-Glukosa =
303. Ini sesuai dengan C27H30O16. Data NMR dari senyawa yang menggambarkan struktur rutin
[28] adalah sebagai berikut 1H-NMR (Gbr. 9) (500 MHz, DMSO-d6), δ ppm: 3,40-3,72 (m, 12H
dari gugus gula), 3,86 (d, 1H-Rham), 1.03 (3H, d, CH3-Rham), 4.06-4.83 (4H, H-1 Glu), 5.32 (1H,
d, H-6), 6.18 (1H, d, H- 8), 6.42 (1H, d, H-5 '), 7.85 (1H, m, H-2', H-6 '); spektrum 13C NMR
(Gbr. 10) (500 MHz, DMSO-d6) menunjukkan 29 sinyal karbon yang menunjukkan adanya 15
sinyal karbon karena kerangka flavonol. Spektrum senyawa yang diisolasi, mengungkapkan
adanya satu metil karbon (δC = 18,26 ppm) dari rhamnose, satu metilen karbon (δC = 67,36 ppm),
15 karbon metena, dan 10 karbon kuartener. Di wilayah alifatik 13C NMR, 12 resonansi karbon
ditetapkan untuk bagian rutinoside di antaranya sinyal paling downfield di 102,16 dan 101,38
ditugaskan untuk dua karbon anomer C1 ’dan C1’ dari rhamnose dan glukosa masing-masing.

Myricetin

Spektrum IR dari myricetin ditunjukkan pada Gambar. 11. Pita pada 3384 / cm ditugaskan
untuk getaran ikatan OH bebas. Pita sekitar 1678 / cm dan 1631 / cm ditugaskan untuk getaran
peregangan dari kelompok C-O. Pita pada 1593 / cm dilambangkan untuk getaran peregangan C-
C dalam cincin heksatomik. Pita sekitar 1536 / cm dapat diberikan ke grup aromatik dan pita 1359
/ cm, dan 1165 / cm ditugaskan untuk getaran C-O-C. Spektrum massa myricetin diilustrasikan
pada Gambar. 12. Puncak pada 318 sesuai dengan ion M + dari senyawa myricetin terisolasi
senyawa memberikan puncak fragmentasi pada [M + H] + = 319 atau M + = 318, [M + H- H2O]
= 301, [M + H-H2O-CO] + = 273, [M + H-CO] + = 291, [M + H-2CO] + = 263 Ini sesuai dengan
C15H10O8. Data NMR dari senyawa yang menggambarkan struktur myricetin [29,30] adalah
sama dengan 1H NMR (500 MHz, DMSO-d6) δ ppm: 6.23 (2H, s,H-2′, 6′), 5.63 (2H, d, H-8), 4.96 (5H, H)
(Fig. 13). 13C NMR (500 MHz, DMSO-d6) δ ppm: 182.65 (C-4), 168.73 (C-7), 165.03 (C-5), 161.26 (C-9),
148.97 (C-2), 145.90 (C-3′, 5′), 136.63 (C-3), 126.49 (C-1′), 105.50 (C-2′, 6′), 104.98 (C-10), 97.28 (C-6).

Quercetin

Spektrum IR dari quercetin ditunjukkan pada Gambar. 15. Penyerapan sekitar 3350 / cm
adalah karena adanya gugus fenolik hidroksil dalam senyawa. Pita serapan intens pada 1673 / cm
adalah karena adanya ν (C = O). Pita sekitar 1489 / cm ini disebabkan oleh terjadinya gugus
aromatik dalam senyawa yang terisolasi. Spektrum massa quercetin diilustrasikan pada Gambar.
16. Senyawa quercetin memberikan sebuah fragmen memuncak pada [M + H-H2O] + = 289. [M
+ H-H2O-CO] + = 257. [M + HH2O-2CO] + = 229. [M + H-CO] + = 275. [M + H-2CO] + = 247.
Ini sesuai dengan C15H10O7. Data NMR dari senyawa yang menggambarkan struktur quercetin.
Spektra 1H NMR (500 MHz, DMSO-d6) δ: 6.80 (2H, d, H-6), 6.54 (1H, d, H-8), 7.07 (1H, d, H-
2 ′), 6.79 (1H , d H-5 ′), 6.85 (1H, d, H-6 ′) (Gbr. 17) [31]. 13C NMR (500 MHz, DMSO-d6) δ:
97.65 (CH, C-8), 102.15 (CH, C-6), 104.7 (C, C-10), 116.63 (CH, C-2 ', C- 5 '), 119,81 (CH, C-
6'), 126,05 (C, C-1 '), 132,93 (C, C-3), 146,45 (C, C-3'), 159.71 (C,C-9), 164.20 (C,C-5), 166.74
(C,C-7), 192.63 (C, C-4), [gambar 18].

Kaempferol

Spektrum IR kaempferol ditunjukkan pada Gambar. 19. Spektrum FT-IR mengungkapkan pita
serapan luas pada 3467 / cm mewakili gugus OH Strecing. Absorbansi diukur pada bilangan
gelombang 1679 cm untuk gugus karbonil (C = O) dan pita serapan pada 1573, 1412 / cm
menunjukkan adanya cincin aromatik. Selain itu, pita sekitar 2835 / cm sesuai dengan keberadaan
peregangan C-H. Spektrum massa kaempferol diilustrasikan pada Gambar. 20. Puncak basa 100%
[M] + untuk senyawa, diamati pada m / z 286 dalam spektrum massa yang mengindikasikan
senyawa tersebut sebagai kaempferol. Rumus molekul disimpulkan dari 1H, 13C-NMR dan
spektrometri massa. Berdasarkan bukti spektral, struktur senyawa diputuskan sebagai kaempferol
(C15H10O6, 286.2). 1H NMR (DMSO-d6, 500 MHz) δ: 5.38 (1H, H-6), 7.28 (2H, H-3 'dan H-
5'), 7.45 (1H, H-8) dan 7.78 (2H, H -2 'dan H-6') (Gbr. 21). 13C NMR (500 MHz, DMSO-d6) δ:
97,85 (C-6), 106,01 (C-10), 116,84 (C-3 'dan C-5'), 123,197 (C-1 '), 127,28 (C -2 'dan C-6'), 136.48
(C-3), 157.10 (C-9), 160.97 (C-5), 163.67 (C-7), 166.58 (C-4). [gambar 22]
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Yang menjadi kesimpulan penelitian ini adalah

Hasil penelitian ini membuktikan adanya phytochemical yang aktif secara biologis dalam
ekstrak buah. Data tersebut juga menyarankan bahwa ekstrak buah mengandung sejumlah
besar rutin, myricetin, quercetin dan kaempferol. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa buah-buahan P. peruviana L. memiliki potensi besar untuk menghasilkan produk
yang sehat dan bergizi tinggi. Penelitian ini juga memajukan perspektif

5.2 Saran

Yang menjadi saran dalam peneltian ini adalah melakukan Analisa terhadap ektrak jenis
tumbuhhan lainnya yang memiliki potensi obat antidiabetes yang sekaligus memiliki nilai giji yang
baik
Vol 8, Issue 1, 2015 ISSN - 0974-2441
Research Article

EXTRACTION, ISOLATION AND CHARACTERIZATION OF BIOACTIVE FLAVONOIDS FROM THE


FRUITS OF PHYSALIS PERUVIANA LINN EXTRACT

SATHYADEVI M, SUBRAMANIAN S*
Department of Biochemistry, University of Madras, Guindy Campus, Chennai - 600 025, Tamil Nadu, India.
Email: subbus2020@yahoo.co.in
Received: 10 October 2014, Revised and Accepted: 10 November 2014

ABSTRACT

Objective: Although Physalis peruviana Linn. fruit commonly known as golden berries, Cape gooseberries and wild tomato is highly esteemed
by consumers all over the world, scientific reports about the fruits are scarce and there was no systemic study in the literature regarding the
phytoconsituents present in the fruits of Indian P. peruviana L. Hence, the present study was aimed to determine the total flavonoids as well as
phenolic content in the fruits of P. peruviana L.

Methods: The ethanolic extract of P. peruviana L. fruits was subjected to phytochemical screening and the total flavonoids as well as phenolic contents
were estimated according to standard protocols. The extract was subjected to high-performance liquid chromatography analysis for the identification
of major flavonoids and the individual flavonoids were characterized by various spectral studies.

Results: The qualitative analysis revealed the presence of biologically active secondary metabolites such as phenols, flavonoids, glycosides, sterols,
saponins, tannins, lactones and alkaloids in the fruit extract. The fruit extract was also found to contain significant amounts of both phenolic
compounds, as well as flavonoids such as rutin, myricetin, quercetin and kaempferol.

Conclusion: The results of the present study indicate that many compounds rather than a single component of P. peruviana L. fruit is responsible for
its pharmacological as well as beneficial effects. The data also provide a rationale for the use of golden berries in the traditional medicine for various
ailments.

Keywords: Physalis peruviana L., Cape gooseberry, Flavonoids, Phenols, Phytochemicals.

INTRODUCTION the fruit had higher antioxidant properties than the aqueous extract.
Furthermore, the antioxidant activity associated with the fruits is due
Physalis peruviana L. is a widely used herb in folk medicine for various
to high levels of polyphenols and significant levels of vitamin A and
ailments. The botanical name of the plant is P. peruviana Linnaeus,
C. Despite wide use in folk medicine, there are only a few reports in
belonging to the family Solanaceae and genus Physalis [1]. It is a
the literature concerning P. peruviana L. fruit extract and its chemical
native plant from the Peruvian Andens and now widely distributed
composition. Recently, we have reported the anti-diabetic properties
throughout the tropical and sub-tropical countries. The plant has high
of P. peruviana L. fruit extract in high fat diet-low dose streptozotocin
multiplication potential as it grows in poor soils [2]. The cultivation of
induced Type 2 diabetes in experimental rats [8]. A thorough literature
P. peruviana L. in Colombia is steadily increasing to satisfy the growing
survey revealed that there are no systemic reports available regarding
export demands, ranking it second after banana fruit exports [3].
the phytoconsituents present in the fruits of Indian P. peruviana L.
Hence, the present study was aimed to determine the presence of
The most distinctive feature of P. peruviana L. is the accrescent fruiting
biologically important flavonoids as well as total phenolic content in
calyx, which enlarges to cover the fruit and hangs downwards like a
the fruits of P. peruviana L.
lantern [2]. The common names for the P. peruviana L. fruits include
golden berry, Cape gooseberry, and wild tomato. The fruits are
METHODS
succulent golden spheres the sizes of marbles [4]. The round fruit
has an average diameter of 20-25 mm and an approximate weight Plant material
of 4-5 g. Each fruit approximately contains 100-200 small seeds [2]. Whole plants of P. peruviana L. grown in the natural environment were
A single plant may yield 300 fruits, and carefully tended plants can collected from Theni District, Tamil Nadu and identified by a plant
provide 25-35 tons/hectare [5]. The shelf life of the fruit is 1 month taxonomist in CAS in Botany, University of Madras where a voucher
while without calyx is 4-5 days [1]. The time between the initiation specimen was deposited in the herbarium. Intact, fruits were carefully
of germination and the first crop is approximately 9 months. The selected according to the degree of ripeness measured by fruit color
serviceable life of the plant production goes from 9 to 11 months from (brilliant orange).
the time of the first harvest, since thereafter both the productivity and
fruit quality decreases [2]. Preparation of fruit extract
P. peruviana L. fruits were dehusked, washed, crushed in an hot air oven
The pH value of the fruit pulp is around 3.76-3.86. Generally, the fruits at 50°C then powdered in an electrical grinder, which was then stored
are consumed fresh [6]. So far, no studies indicate possible adverse in an airtight brown container at 5°C until further use. The powdered
effects of Cape gooseberries. Unlike other fruits that must be processed fruits were delipidated with petroleum ether (60-80°C) for overnight.
close to the place of harvest, golden berry is characterized by unique It was then filtered, and soxhalation was performed with 95% ethanol.
storage properties. The fruits are long lasting when stored in a sealed Ethanol was evaporated in a rotary evaporator at 40-50°C under
container and kept in a dry atmosphere for several months, and they reduced pressure. The 100 g of dried powder of P. peruviana L. fruits
freeze well. Wu et al., (2006) [7] reported that the ethanolic extract of yields 27.4% g.
Sathyadevi and Subramanian
Asian J Pharm Clin Res, Vol 8, Issue 1, 20145, 152-157

Preliminary phytochemicals screening out in the solid state as pressed KBr pellets using Perkin Elmer Fourier
The ethanolic extract of P. peruviana L. fruits was subjected to transform (FT)-IR spectrophotometer in the range of 400-4000/cm.
phytochemical screening for the qualitative analysis of various The mass spectrum of the complex was obtained using Jeol Gcmate.
phytoconsituents [9,10]. The 1H nuclear magnetic resonance (NMR) and 13C NMR at 500.13 and
125.758 MHz were carried out respectively. The spectra were recorded
Determination of total phenolic content without any correction for instrumental characteristics.
Total polyphenol content in the ethanolic extract of P. peruviana L.
fruits was determined according to the Folin–Ciocalteu colorimetric RESULTS AND DISCUSSION
method [11,12]. A standard curve was built with gallic acid reference
solutions. Aliquots ranging from 2 to 10 ml of standard aqueous gallic Qualitative phytochemical analysis
acid solution (100 μg/ml) were pipetted into 100 ml volumetric flasks The qualitative phytochemical analysis of P. peruviana L. fruits extract
containing 70 ml of distilled water. Folin–Ciocalteu reagent (5 ml) and showed the presence of biologically active phyto ingredients such as
10 ml of saturated sodium bicarbonate solution were added, and the phenols, flavonoids, glycosides, sterols, saponins, tannins, lactones, and
volume was made up to 100 ml with distilled water. The solution was alkaloids. The medicinal values of plant lie in bioactive phytochemical
thoroughly mixed. The blank was prepared in the same manner, but constituents that produce definite physiological actions on the human
without gallic acid. After 1 hr of incubation at room temperature, the body and these phytochemicals are produced as secondary metabolites
absorbance was measured at 760 nm. The samples were prepared in to defend the plant from the environment. In addition, the phenolic and
triplicates for each analysis, and the mean value was calculated. For flavonoid contents in the fruit extract were found to be 76.84±3.65 mg/g
the determination of total phenolic content of P. peruviana L. fruits, dry weight and 241±8.45 mg/g dry weight, respectively. Phenols are
aqueous solutions at the final concentration of 20 μg/ml were used; very important plant constituents because of the scavenging ability due
proceeding in the same manner described for the reference solutions to their hydroxyl groups [18]. Similarly, flavonoids are an important
and the total polyphenolic content was expressed as mg/g of gallic acid group of polyphenols widely distributed among the plant flora and
equivalents [13]. containing a benzopyrone that use as antioxidants or free radicals
scavengers [19]. The total phenolic and flavonoids content determined
Determination of total flavonoid content (TFC) in the present study were slightly different from the earlier reports by
TFC in the ethanolic extract of P. peruviana fruits was determined Wu et al., 2009 [20], Ahmed, 2014 [21], Rop et al., 2012 [22] in which
according to the method of Quettier-Deleu et al., (2000) [14] with minor the total phenolic and flavonoids were relatively less. The maturation
modifications. A standard curve was built with quercetin reference effects of P. peruviana L. fruits were classified into seven maturity states
solutions. Aliquots ranging from 2 to 8 ml of standard quercetin ethanol according to the surface colors of the fruits which range from dark
extract solution (50 μg/ml) were pipetted into 25  ml volumetric green (Stage 0) to intense orange (Stage 6) [23]. This maturity states
flasks containing 1 ml of 2% aluminum chloride dissolved in ethanol in turn depends on quality parameters such as soluble solids contents,
and the volume was made up with ethanol. The blank was prepared titratable acidity and maturity index [23]. During early maturation,
by diluting 1 ml of 2% aluminum chloride dissolved in ethanol in a the phenol content decreased significantly with an approximate
25 ml volumetric flask with ethanol. After 1 hr at room temperature, decrease of 50% between states S0 to state S3. However, during
the absorbance was measured at 420 nm. P. peruviana L. fruits samples states S4-S7 no significant variations were observed. The decrease in
were evaluated at a final concentration of 20 μg/ml, proceeding in the phenolic compounds suggested that they were progressively bound
same manner described for the reference solutions and the TFC was to the cell walls, which is an important mechanism by which plants
calculated as quercetin equivalents (mg/g) from a calibration curve. depend themselves against pathogen and strengthen the cell walls.
The samples were prepared in triplicate for each analysis, and the mean The decreased in phenolic compounds could also be related to the
value of absorbance was recorded. reduction of primary metabolism in the ripe fruit, thus resulting
in a lack of substrates necessary for the biosynthesis of phenolic
High performance liquid chromatography (HPLC)–DAD system for compounds [24-27].
analysis of phenolic compounds
HPLC analysis was performed using Shimadzu HPLC system equipped Identification and characterization
with a diode array detector. The chromatographic separations were Four isolated compounds were identified by HPLC (Figs. 1-4) and
performed on an Inertsil C18 analytical column (4.6 mm × 250 mm i.d., spectral data of IR, mass, and 1H and 13C NMR. HPLC analysis of the
5 μm). The composition of solvents and the gradient elution conditions purified fraction showed that the isolated crystal components have
used were described previously by Bengoechea et al., (1997) [15], similar retention times (approximately rutin 6.94 minutes, myricetin
Schieber et al., (2001) [16] and Butsat et al., (2009) [17], with some 11.40 minutes, quercetin 9.68 minutes and kaempferol 15.97 minutes)
modifications. The mobile phase consisted of purified water with to the rutin, myricetin, quercetin and kaempferol standards
acetic acid (pH 2.74) (solvent A) and acetonitrile (solvent B) at a flow (Figs. 5 and 6).
rate of 0.8 ml/minutes. Gradient elution was performed as follows:
From 0 to 5  minutes, linear gradient from 5% to 9% solvent B; from The IR spectrum of the rutin is shown in Fig. 7. IR values: 3483 OH
5 to 15 minutes, 9% solvent B; from 15 to 22 minutes, linear gradient (bonded), 2931 CH stretch, 1669 C=O, 1504 C=C aromatic, 1348 C-O-C,
from 9% to 11% solvent B; from 22 to 38  minutes, linear gradient 1204 C-O-C, 1043 C-O-C. The mass spectrum of rutin is illustrated in Fig. 8.
from 11% to 18% solvent B; from 38 to 43 minutes, from 18% to 23% The rutin compound gave a fragments peaks at [M+H]+=611, [M+H]+-
solvent B; from 43 to 44  minutes, from 23% to 90% solvent B; from Rhamnose=465, [M+H]+-Rhamnose-Glucose=303. This corresponds to
44 to 45  minutes, linear gradient from 90% to 80% solvent B; from C27H30O16. The NMR data of the compound depicting the structure of
45 to 55  minutes, isocratic at 80% solvent B; from 55 to 60  minutes, rutin [28] were as follows 1H-NMR (Fig. 9) (500 MHz, DMSO-d6), δ ppm:
linear gradient from 80% to 5% solvent B and a re-equilibration 3.40-3.72 (m, 12H of sugar moieties), 3.86 (d, 1H-Rham), 1.03 (3H,
period of 5 minutes with 5% solvent B used between individual runs. d, CH3-Rham), 4.06-4.83 (4H, H-1 Glu), 5.32 (1H, d, H-6), 6.18 (1H, d,
Operating conditions were as follows: Column temperature, 38°C, H-8), 6.42 (1H, d, H-5’), 7.85 (1H, m, H-2’, H-6’); the 13C NMR (Fig. 10)
injection volume, 20 μl, and ultraviolet (UV)-diode array detection spectrum (500 MHz, DMSO-d6) showed 29 carbon signals which
at 280 nm (hydroxybenzoic acids), 320 nm (hydroxycinnamic acids) indicated the presence of 15 carbon signals due to the flavonol skeleton.
and 370 nm (flavonols) at a flow-rate of 0.8 ml/minutes. Spectra were The spectrum of the isolated compound, revealed the presence of one
recorded from 200 to 600 nm. Phenolic compounds in the samples methyl carbon (δC=18.26  ppm) of rhamnose, one methylene carbon
were identified by comparing their relative retention times and UV (δC=67.36  ppm), 15 methene carbons and 10 quaternary carbons. In
spectra with those of authentic compounds and were detected using an the aliphatic region of 13C NMR, 12 carbon resonances are assigned for
external standard method. Infrared (IR) spectral studies were carried a rutinoside moiety among which the most downfield signals at 102.16

153
Sathyadevi and Subramanian
Asian J Pharm Clin Res, Vol 8, Issue 1, 2015, 152-157

2+

+2 2
2+

2+
+2
2+
2
2

2+ 2
2

+&

+2 2

2+
2+

Fig. 1: Rutin

2+

+2

2 2+ Fig. 5: High performance liquid chromatography analysis standard


+2 of rutin, myricetin, quercetin and kaempferol

+2

2 2+

Fig. 2: Myricetin

2+
2+

+2 2

2+
2+ 2
Fig. 3: Quercetin Fig. 6: High performance liquid chromatography analysis of rutin,
myricetin, quercetin and kaempferol


 2+


 
+2 2





2+

2+ 2


Fig. 4: Kaempferol

and 101.38 are assigned for the two anomeric carbons C1’’’ and C1’’ of
rhamnose and glucose, respectively [29].
Fig. 7: Infrared spectra of rutin
Myricetin
The IR spectrum of the myricetin is shown in Fig. 11. The band at
3384/cm is assigned to a free OH bond vibration. The bands around d, H-8), 4.96 (5H, H) (Fig. 13). 13C NMR (500 MHz, DMSO-d6) δ ppm:
1678/cm and 1631/cm are assigned to the stretching vibration of the 182.65 (C-4), 168.73 (C-7), 165.03 (C-5), 161.26 (C-9), 148.97 (C-2),
C-O group. The band at 1593/cm is denoted for the stretching vibration 145.90 (C-3′, 5′), 136.63 (C-3), 126.49 (C-1′), 105.50 (C-2′, 6′), 104.98
of C-C in the hexatomic ring. The band around 1536/cm is assignable to (C-10), 97.28 (C-6) (Fig. 14).
an aromatic group and the bands 1359/cm, and 1165/cm are assigned
to the C-O-C vibration. The mass spectrum of myricetin is illustrated in Quercetin
Fig. 12. The peak at 318 corresponds to M+ ion of the isolated compound The IR spectrum of the quercetin is shown in Fig. 15. The absorption
myricetin the compound gave a fragmentation peaks at [M+H]+=319 around 3350/cm is due to the presence of phenolic hydroxyl groups in
or M+=318, [M+H-H2O]=301, [M+H-H2O-CO]+=273, [M+H-CO]+=291, the compound. The intense absorption band at 1673/cm is due to the
[M+H-2CO]+=263 This corresponds to C15H10O8. The NMR data of the presence of ν(C=O). The band around 1489/cm is due to the occurrence
compound depicting the structure of myricetin [29,30] were as follows of the aromatic group in an isolated compound. The mass spectrum
1
H NMR (500 MHz, DMSO-d6) δ ppm: 6.23  (2H, s,H-2′, 6′), 5.63  (2H, of quercetin is illustrated in Fig. 16. The quercetin compound gave a

154
Sathyadevi and Subramanian
Asian J Pharm Clin Res, Vol 8, Issue 1, 20145, 152-157

Fig. 8: Mass spectrum of rutin Fig. 12: Mass spectrum of myricetin

Fig. 13: 1H nuclear magnetic resonance spectra of myricetin


Fig. 9: 1H nuclear magnetic resonance spectra of rutin

Fig. 10: 13C nuclear magnetic resonance spectra of rutin

Fig. 14: 13C nuclear magnetic resonance spectra of myricetin

fragments peaks at [M+H-H2O]+=289. [M+H-H2O-CO]+=257. [M+H-


H2O-2CO]+=229. [M+H-CO]+=275. [M+H-2CO]+=247. This corresponds
to C15H10O7. The NMR data of the compound depicting the structure of
quercetin. 1H NMR spectra (500 MHz, DMSO-d6) δ: 6.80  (2H, d, H-6),
6.54  (1H, d, H-8), 7.07  (1H, d, H-2′), 6.79  (1H, d H-5′), 6.85  (1H, d,
H-6′) (Fig. 17) [31]. 13C NMR (500 MHz, DMSO-d6) δ: 97.65 (CH, C-8),
102.15 (CH, C-6), 104.7 (C, C-10), 116.63 (CH, C-2’, C-5’), 119.81 (CH,
C-6’), 126.05 (C, C-1’), 132.93 (C, C-3), 146.45 (C, C-3’), 159.71 (C, C-9),
164.20 (C, C-5), 166.74 (C, C-7), 192.63 (C, C-4) (Fig. 18).

Kaempferol
The IR spectrum of the kaempferol is shown in Fig. 19. The FT-IR
spectrum revealed broad absorption bands at 3467/cm represents
Fig. 11: Infrared spectrum of myricetin to OH group stretching. The absorption band occurs at 1679/cm for

155
Sathyadevi and Subramanian
Asian J Pharm Clin Res, Vol 8, Issue 1, 2015, 152-157

Fig. 19: Infrared spectra of kaempferol


Fig. 15: Infrared spectra of quercetin

Fig. 16: Mass spectrum of quercetin Fig. 20: Mass spectrum of kaempferol

Fig. 17: 1H nuclear magnetic resonance spectra of quercetin

Fig. 21: 1H nuclear magnetic resonance spectra of kaempferol

Fig. 18: 13C nuclear magnetic resonance spectra of quercetin Fig. 22: 13C nuclear magnetic resonance spectra of kaempferol

156
Sathyadevi and Subramanian
Asian J Pharm Clin Res, Vol 8, Issue 1, 20145, 152-157

the carbonyl group (C=O) and the absorption band at 1573, 1412/cm Nitrali Prakashan; 2001. p. 133-66, 167-254, 255-269, 272-310, 428-523.
denotes the presence of aromatic ring. Moreover, the band around 11. Singleton VL, Orthofer R, Lamuela-Raventos RM. Analysis of total
2835/cm corresponds to the presence of C-H stretching. The mass phenols and other oxidation substrates and antioxidants by means of
spectrum of kaempferol is illustrated in Fig. 20. A 100% base peak Folin-Ciocalteu reagent. Methods Enzymol 1999;299:152-78.
12. Kumazawa S, Taniguchi M, Suzuki Y, Shimura MK, Won MS,
[M]+ for compound, was observed at m/z 286 in the mass spectrum
Nakayama T. Antioxidant activity of polyphenols in carob pods. J Agric
indicating the compound as kaempferol. The molecular formula was Food Chem 2002;50:373-7.
inferred from 1H, 13C-NMR and mass spectrometry. Based on spectral 13. Samatha T, Shyamsundarachary R, Srinivas P, Swamyv NR.
evidence, the structure of the compound was decided to be kaempferol Quantification of total phenolic and total flavonoid contents in extracts
(C15H10O6, 286.2). 1H NMR (DMSO-d6, 500 MHz) δ: 5.38  (1H, H-6), of Oroxylum indicum L. kurz. Asian J Pharm Clin Res 2012;5(4):177-9.
7.28 (2H, H-3’ and H-5’), 7.45(1H, H-8) and 7.78 (2H, H-2’ and H-6’) 14. Quettier-Deleu C, Gressier B, Vasseur J, Dine T, Brunet C, Luyckx M,
(Fig. 21). 13C NMR (500 MHz, DMSO-d6) δ: 97.85 (C-6), 106.01 (C-10), et al. Phenolic compounds and antioxidant activities of buckwheat
116.84 (C-3’ and C-5’), 123.197 (C-1’), 127.28 (C-2’ and C-6’), 136.48 (Fagopyrum esculentum Moench) hulls and flour. J Ethnopharmacol
(C-3), 157.10 (C-9), 160.97 (C-5), 163.67 (C-7), 166.58 (C-4) (Fig. 22). 2000;72(1-2):35-42.
15. Bengoechea ML, Sancho AI, Bartolome´B, Estrella C, Go´mez-
Cordove ST, Herna´ndez J. Phenolic composition of industrially
CONCLUSION
manufactured pure´es and concentrates from peach and apple fruits.
The results of the present study established the presence of biologically J Agric Food Chem 1997;45:407-5.
active phytochemicals in the fruit extract. The data also suggested 16. Schieber A, Keller P, Carle R. Determination of phenolic acids
and flavonoids of apple and pear by high-performance liquid
that the fruit extract contain significant amounts of rutin, myricetin,
chromatography. J Chromatogr A 2001;910(2):265-73.
quercetin and kaempferol. Thus, it may be concluded that the fruits 17. Butsat S, Weerapreeyakul N, Siriamornpun S. Changes in phenolic
of P. peruviana L. has great potential for producing healthy and highly acids and antioxidant activity in Thai rice husk at five growth stages
nutritive products. The present study also advances the perspectives during grain development. J Agric Food Chem 2009;57(11):4566-71.
for utilization of gooseberries for potential management of diet linked 18. Kumar S, Pooja M, Harika K, Haswitha E, Nagabhushanamma G,
chronic diseases such as diabetes and its associated complications. Vidyavathi N. In-vitro antioxidant activities, total phenolics and
flavonoid contents of whole plant of Hemidesmus indicus (Linn.).
ACKNOWLEDGMENT Asian J Pharm Clin 2013;6(2):249-51.
19. Somit D, Priyankar D, Kumar CT. Quantification and correlation
The research fellowship (UGC-BSR) of the University Grants of the bioactive phytochemicals of croton bonplandianum leaves
Commission (UGC), New Delhi, India, to Mrs. M. Sathyadevi is gratefully of sub-Himalayan region of West Bengal. Asian J Pharm Clin Res
acknowledged. 2013;6(3):142-7.
20. Wu SJ, Chang SP, Lin DL, Wang SS, Hou FF, Ng LT. Supercritical
REFERENCES carbon dioxide extract of Physalis peruviana induced cell cycle arrest
and apoptosis in human lung cancer H661 cells. Food Chem Toxicol
1. Abdel Moneim AE, El-Deib KM. The possible protective effects of 2009;47(6):1132-8.
Physalis peruviana on carbon tetrachloride-induced nephrotoxicity in 21. Ahmed LA. Renoprotective effect of Egyptian cape gooseberry
male albino rats. Life Sci J 2012;9:1038-52. fruit (Physalis peruviana L.) against acute renal injury in rats.
2. Luis AP, Claudia AP, Eduardo SC, Misael C. Physalis peruviana ScientificWorldJournal 2014;2014:273870.
Linnaeus, the multiple properties of a highly functional fruit: A review. 22. Rop O, Mlcek J, Jurikova T, Valsikova M. Bioactive content and
Food Res Int 2011;44(7):1733-40. antioxidant capacity of Cape gooseberry fruit. Cent Eur J Biol
3. Salazar MR, Jones JW, Chaves B, Cooman A. A model for the potential 2012;7(4):672-9.
production and dry matter distribution of Cape gooseberry (Physalis 23. Bravo K, Sepulveda-Ortega S, Lara-Guzman O, Navas-Arboleda AA,
peruviana L.). Scientia Horticulturae 2008;115(2):142-8. Osorio E. Influence of cultivar and ripening time on bioactive compounds
4. Ramadan MF, Mörsel JT. Impact of enzymatic treatment on chemical and antioxidant properties in Cape gooseberry (Physalis peruviana L.).
composition, physicochemical properties and radical scavenging J Sci Food Agric 2014.
activity of goldenberry (Physalis peruviana L.) juice. J Sci Food Agric 24. Gruz j, Ayaz, FA, Tourn H, Strnad M. Phenolic acid content and radical
2007;87:452-60. scavenging activity of extracts from medlar (Mespilus germanica L.)
5. Ramadan MF, Zayed R, Abozid M, Asker MM. Apricot and pumpkin fruit at different stages of ripening. Food Chem 2011;124:271-7.
oils reduce plasma cholesterol and triacylglycerol concentrations in rats 25. Casterjon AD, Eichholz I, Rohn S, Kroh LW, Huyskens-Keil S.
fed a high fat diet. Grasas Aceites 2011;62:443-52. Phenolic profile and antioxidant activity of high bush blueberry
6. Ramadan MF. Physalis peruviana pomace supressess high- (Vaccinium corymbosum L.) during fruit maturation and ripening. Food
cholesterol diet-induced hypercholestrolemia in rats. Grasas Y Aceites Chem 2008;109:564-72.
2012;63(4):411-22. 26. Kobayashi H, Wang C, Pomper KW. Phenolic content and antioxidant
7. Wu SJ, Tsai JY, Chang SP, Lin DL, Wang SS, Huang SN, et al. capacity of pawpaw (Asiminatriloba L.) at different ripening stages.
Supercritical carbon dioxide extract exhibits enhanced antioxidant and HortScience 2008;43:268-70.
anti-inflammatory activities of Physalis peruviana. J Ethnopharmacol 27. Pedisic S, Levaj B, Dragovic-Uzelac V, Kos K. Physicochemical
2006;108:407-13. composition, phenolic content and antioxidant activity of sour cherry
8. Sathyadevi M, Suchithra ER, Subramanian S. Physalis peruviana Linn. cv. Marasca during ripening. Agric Conspectus Sci 2007;72:295-300.
Fruit extract improves insulin sensitivity and ameliorates hyperglycemia 28. Breitmaier E, Voelter W. Carbon-13 NMR Spectroscopy. New York:
in high-fat diet low dose STZ-induced type 2 diabetic rats. J Pharm Res VCH Verlagsgesells Chaft mbH; 1989. p. 450-7.
2014;8(4):625-32. 29. Agrawal PK. Carbon-13 NMR of Flavonoids. New York: Elsevier;
9. Harbone JB. Phytochemical Methods. London: Chapman and Hall; 1989. p. 150-8.
1998. p. 117-9. 30. Andersen ØM, Markham KR. Flavonoids: Chemistry, Biochemistry
10. Kokate CK, Purohit AP, Gokhale SB. Drugs containing glycosides, and Applications. London: CRC Press; 1989. p. 38-142.
drugs containing tannins, lipids and protein alkaloids. Text Book of 31. Liu XQ, Chen FK, Wu LJ. Studies on the chemical constituents of
Pharmacognosy: Carbohydrate and Derived Products. 7th ed. India: Polygonum bistorta L. J Shenyang Pharm Univ 2003;21:187-9.

157

Anda mungkin juga menyukai