Anda di halaman 1dari 24

Objek Dan Tarif Pajak

1. Objek Pajak
Objek Pajak adalah barang yang dikenakan pajak untuk dipenuhi oleh subjek pajak. Objek
pajak terbagi menjadi berbagai macam, berikut ini penjelasannya.

A. Objek Pajak Penghasilan


Objek PPh adalah penghasilan. Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomi
yang diterima atau diperoleh, baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang digunakan,
baik investasi maupun konsumsi.
Undang - Undang PPh mengatur lebih rinci pembagian objek pajak, antara lain sbb :
 Penghasilan yang diterima secara teratur (gaji, uang pensiun bulanan, upah, dll)
 Penghasilan yang diperoleh secara tak teratur (jasa produksi, bonus, dll)
 Impor barang dan / penyerahan barang
 Impor barang yang dibebaskan dari bea masuk
 Dividen, Royalti, Bunga (Premium, diskonto, dll)
B. Objek Pajak Pertambahan Nilai
Objek dalam PPN adalah penyerahan atau kegiatan yang dilakukan oleh pengusaha kena
pajak. Agar penyerahan barang dan jasa yang dikenakan pajak bisa terkena PPN atas
penyerahan barang dan jasa tersebut harus memenuhi empat syarat, yaitu :
 Yang diserahkan adalah barang kena pajak atau jasa kena pajak (karena ada jenis
barang dan jasa yang tidak dikenakan pajak)
 Dilakukan di dalam daerah pabean
 Tindakan penyerahannya merupakan penyerahan kena pajak
 Penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya sehari - hari
C. Objek Pajak Bumi dan Bangunan
Objek PBB adalah benda tidak bergerak, yaitu berupa bumi (permukaan bumi, meliputi tanah
dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia, dan tubuh bumi yang ada di bawahnya)
dan bangunan (suatu konstruksi teknik yang ditanam atau dilihatkan secara tetap pada tanah
dan / atau perairan). Objek PBB yang tidak dikenakan PBB meliputi :
 Tanah atau bangunan yang digunakan untuk melayani kepentingan umum dan tidak
untuk memperoleh keuntungan di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan
kebudayaan nasional
 Tanah atau bangunan yang digunakan untuk pemakaman umum, peninggalan
purbakala, museum, hutan lindung, taman nasional, dll
D. Objek Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Objek ini adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan yang dapat berupa tanah (termasuk
tanaman di atasnya), tanah dan bangunan, atau bangunan.

Perolehan hak atas tanah dan bangunan tersebut meliputi hal - hal seperti :
 Pemindahan hak
 Pemberian hak baru
Pemindahan hak terjadi karena adanya :
 Jual beli
 Tukar menukar
 Hibah
 Hibah wasiat
 Waris
 Hadiah, dll
Pemberian hak baru terjadi karena :
 Kelanjutan pelepasan hak
 Di luar pelepasan hak
E. Objek Bea Materai
Objek bea materai adalah dokumen. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang
mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan
pihak - pihak yang berkepentingan.

Dokumen yang wajib dikenakan Bea Materai :


 Akta - akta notaris termasuk salinannya
 Akta - akta yang dibuat oleh PPAT termasuk rangkap - rangkapnya
 Surat berharga
 Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan
Sedangkan, dokumen yang tidak dikenakan Bea Materai adalah :
 Surat penyimpanan barang
 Konosemen
 Ijazah
 Kuitansi
2. Tarif Pajak
Tarif pajak merupakan angka atau persentase yang digunakan untuk menghitung jumlah
pajak atau jumlah pajak yang terutang. Macam - macam tarif adalah sebagai berikut.

A. Tarif Tetap
Tarif tetap yaitu tarif dengan jumlah atau angka tetap berapapun yang menjadi dasar
pengenaan sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. Misalnya bea materai untuk cek dan
bilyet giro berapapun jumlahnya dikenakan bea materai yang sama.

B. Tarif Sebanding (proporsional)


Tarif sebanding yaitu tarif dengan persentase tetap berapapun jumlah yang menjadi dasar
pengenaan pajak, dan pajak yang harus dibayar selalu akan berubah sesuai dengan jumlah
yang akan digunakan.

Misalnya PPN sebesar 10% yang dikenakan terhadap penyerahan suatu barang kena pajak.
Dengan persentase tetap akan menyebabkan jumlah pajak menjadi lebih besar apabila jumlah
dasar pengenaannya semakin besar.

C. Tarif Meningkat (progresive)


Tarif meningkat yaitu tarif dengan persentase yang semakin meningkat apabila jumlah yang
menjadi dasar pengenaan pajak meningkat. Misalnya PPh, semakin besar dalam pengenaan
pajaknya maka semakin besar pula persentasenya dan semakin besar pula jumlah pajaknya.
D. Tarif Menurun (Degresive)
Tarif menurn yaitu tarif dengan persentase yang semakin turun apabila jumlah yang menjadi
dasar pengenaan pajak meningkat.

Subjek Pajak Penghasilan dan Non Subjek Pajak


Mar 16th, 2014 · 7 Comments
Apa sebenarnya pengertian subjek pajak itu? sederhananya adalah pihak atau pelaku yang
menerima sesuatu yaitu objek pajak. Sebelum memahami Pajak Penghasilan, kita harus paham
betul siapa saja yang menjadi subjek pajak penghasilan..
DASAR HUKUM
1. Pasal 2 UU Nomor 36 Tahun 2008 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang perubahan
keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2. PMK-215/PMK.03/2008 (berlaku sejak 16 Desember 2008) stdtd PMK-
166/PMK.011/2012 (berlaku sejak 29 Oktober 2012) tentang penetapan organisasi-
organisasi internasional dan pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang tidak
termasuk subjek PPh.
3. PER-43/PJ/2011 (berlaku sejak 28 Desember 2011) tentang penentuan Subjek Pajak
Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri.
SIAPA YANG MENJADI SUBJEK PAJAK
Yang menjadi subjek pajak adalah:
1. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak.
2. Badan.
3. Bentuk usaha tetap.
Warisan termasuk subjek pajak, maksudnya bagaimana?contoh saja ada seorang kaya yang
meninggal dan mewariskan restoran, maka restoran tersebut jika belum terbagi masih sebagai
subjek pajak, menggantikan “empunya” yang telah meninggal.
JENIS-JENIS SUBJEK PAJAK PENGHASILAN
Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
A. Subjek pajak dalam negeri adalah:
1. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau
orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia;
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan,
berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal
dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama‐lamanya. (Pasal 2A ayat (1) UU Nomor 36
Tahun 2008)

2. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari
badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
 pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
 pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah;
 penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
 pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
Kewajiban pajak subjektif badan dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat
kedudukan di Indonesia. (Pasal 2A ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2008)

3. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat timbulnya warisan
yang belum terbagi tersebut dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi. (Pasal 2A
ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2008)

B. Subjek pajak luar negeri adalah:


1. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
dan
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan ini dimulai pada saat orang pribadi atau
badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (5) UU Nomor 36 Tahun 2008 dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap. (Pasal 2A ayat (3) UU Nomor 36
Tahun 2008)

2. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,
yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan ini dimulai pada saat orang pribadi atau
badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat
tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut. (Pasal 2A ayat (4) UU Nomor 36
Tahun 2008)

ADAKAH YANG TIDAK TERMASUK SUBJEK PAJAK (BUKAN SUBJEK PAJAK)


Yang tidak termasuk subjek pajak adalah: (Pasal 3 UU Nomor 36 Tahun 2008)
1. kantor perwakilan negara asing;
2. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara
asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia
dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
3. organisasi-organisasi internasional dengan syarat Indonesia menjadi anggota organisasi
tersebut dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota;
4. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional, dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
Pejabat perwakilan organisasi internasional adalah pejabat yang diangkat atau ditunjuk
langsung oleh induk organisasi internasional yang bersangkutan untuk menjalankan tugas atau
jabatan pada kantor perwakilan organisasi internasional tersebut di Indonesia. (Pasal 1
PMK-215/PMK.03/2008 stdd PMK-166/PMK.011/2012)
Organisasi Internasional adalah organisasi/badan/lembaga/asosiasi/ perhimpunan/forum
antar pemerintah atau non-pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama
internasional dan dibentuk dengan aturan tertentu atau kesepakatan bersama. (Pasal 1 PMK-
215/PMK.03/2008 stdd PMK-166/PMK.011/2012)
Daftar Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek PPh :
1. Badan-badan Internasional dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (Lampiran PMK-
215/PMK.03/2008 stdd PMK-166/PMK.011/2012).
2. Organisasi-organisasi internasional yang berbentuk kerjasama teknik dan atau
kebudayaan (Lampiran PMK-215/PMK.03/2008 stdd PMK-166/PMK.011/2012).
3. Organisasi Internasional lainnya (PMK-166/PMK.011/2012)
Incoming search terms:
subjek pajak penghasilanpengertian subjek pajak penghasilansubjek pajaksubjek pphbukan
subjek pajak penghasilansebutkan subjek pajak penghasilanBUKAN SUBJEK PAJAKyang
termasuk subjek pajak penghasilansubyek pajak penghasilansubyek pajakBukan subjek
pphpengertian bukan subjek pajakpengertian subjek pajakyang bukan subjek pajak
penghasilancontoh subjek pajaksubjek pajak pphpengertian subjek pphyang termasuk subjek
pajakyang termasuk subjek pajak penghasilan adalahsubjek pajak dan bukan subjek
pajakcontoh bukan subjek pajaknon subjek pajaksubjek dan bukan subjek pajakyang bukan
subjek pajakyang bukan merupakan subyek pajAk adalahsebutkan siapa saja yang menjadi
subjek pajak penghasilanContoh subjek pajak pribadisubjek dan bukan subjek pajak
penghasilanbadan yang termasuk subjek pajak penghasilanSubyek pphjenis subjek pajakyang
bukan merupakan subjek pajak adalahjelaskan subjek pajak penghasilanyg termasuk subjek
pajak penghasilanbukan subjek pajak adalahmengapa kantor perwakilan negara asing tidak
termasuk subjek pajakjenis subjek pajak penghasilansebutkan yang tidak termasuk subjek
pajak menurut pasal 3 uu pphsubjek pajak penghasilan dokterpajak comsubjek pph atau
bukanjelaskan apa yang dimaksud dengan subjek pajak dan non- subjek pajakwajib pajak non
subjekYang bukan subjek pajak dan jelaskanjelaskan yang menjadi subjek pajak
penghasilanmacam subjek pajak penghasilanpengertian non subjektermasuk wajib pajak
nonsubjeksubjek dan bukan subejk pajak penghasilansubjek dan non subjek pajaksubjek pajak
dan non subje4 Kriteria warga Negara apa saja yang dapat dikenai pajak dan apakah ada
pengecualiannya? (Penjelasan disertai dengan dasar hukum)alasan subjek pajak wajib
memilikinyaapa perbedaan dari kedua subjek pajak warisan salah satu subjek pajak
penghasilan tetap dalam kelompok non-objek pph warisan tidak termasukapa saja yang
termasuk dalam pajak penghasilan dan yang tidak termasuk dalam pajak penghasilanapa yang
dimaksud subjek pajak penghasilanapa yang dimaksud wajib pajak non subjekapakah yg
dimaksud dengan subjek pphdan apa saja yg tidak termasuk sebagai subjek pph?badan yang
tidak termasuk subjek pajak penghasilan adalahbadan yg termasuk subjek pabukan subjek
pajak dalam negeri adalahcontoh badan yang tidak dikenai pajakcontoh soal subjek
pajakcontoh wakjib pajak non subjekdaftar subjek tidak kena pajakjelaakan yang dimaksud
subjek penghasilan dan berikan contohyg tidak termasuk subjek pajak pasal 2 uuno 36
2008jelaskan tentang subjek pajak penghasilan dan berikan contoh masing-masing yang
termasuk dan di kecualikan sebagai subjejelaskan yg bukan termasuk PPhlembaga subjek
pajak penghasilan adalahmateri PPh subjek pajakmateri tentang subjek non subjek dan objek
non oberk pajak pph 21 pdfnon subjek pajak adalahorang diplomat termasuk subyek pajak
apapejabat perwakilan organisasi internasional tidak termasuk subjek pajak karenapengertian
penghasilan dan bukan penghasilan dan contohnyapengertian subjek pajak dan non sibjek
pajakpengertian subjek pajak penghasilan menurut uu nomer 36pengertian subjek pajak
penghasilan menurut uu nomor 36pengertian subyek pajak dan nonsubtek pajakpengertian
wajib pajak non subpengertian wajib pajak non subjekperbedaan pajak warisan sebagai subjek
pajak penghasilan dan non objek pph warisan tdk termasukSebutkan objek pajak Badan usaha
tetap dan contohsebutkan subjek dan objek pajak penghasilansebutkan subjek pajak menurut
uud no 36 thn 2008 tentang pajak penghasilanSebutkan yang tidak termasuk dalam pajak
subjeksebutkan yang tidak termasuk subjek pajak (3)sebutkan yang tidak termasuk subjek
pajak atau bukan subjek pajaksebutkan yang tidak termasuk subjek pajak dan
penjelasannyasebutkan yg bukan subjek pajaksiapa saja yang tidak disebut sebagai subjek
pajaksiapa sajakah subjek pajak dalam negeri sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 21 UU
pajak penghasilansiapa yang menjadi subjek Pajak penghasilansiapa yang termasuk sebagai
subjek pajak dalam pajak pengjasilanSiapakah yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam
Undang - Undang No 36 / 2008 tentang Pajak PenghasilanSiapakah yang dimaksud dengan
Subjek Pajak dalam UU No 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilansubjek dan bukan
subjek pajak pphsubjek dan bukan subjek pph orang pribadi dan badansubjek non subjek pph
21subjek pajak penghasilan ada 2 yaitu
Tags:Bukan Subjek Pajak · Bukan Subjek Pajak adalah · Pajak Penghasilan
Badan · PPh · Subjek Pajak Penghasilan
KESI MPULAN

 Begitu Anda memiliki badan usaha atau menjadi pengusaha, maka telah menjadi wajib
pajak badan atau wajib pajak orang pribadi yang berprofesi sebagai pengusaha. Untuk
itu, ada sejumlah pajak yang harus dibayarkan. Jenis pajak yang harus dibayarkan
tersebut biasanya tertera pada SKT (Surat Keterangan Terdaftar) saat Anda
mendaftarkan diri menjadi NPWP Badan.
 Setelah menjadi mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak Badan, maka jangan lupa
mendaftarkan diri sebagai pengguna aplikasi OnlinePajak untuk mendapatkan
kemudahan hitung pajak otomatis, buat SPT Masa, ID billing, setor pajak 1 klik dan lapor
pajak online (e-filing) secara gratis dan dalam 1 aplikasi terpadu.
Menghitung Pajak Penghasilan Wajib Pajak (WP) Badan

Posted on November 22, 2012 by tanyapajak Standard


Pajak secara bebas dapat dikatakan sebagai suatu kewajiban warga negara berupa
pengabdian serta peran aktif warga negara dan anggota masyarakat untuk membiayai berbagai
keperluan negara dalam Pembangunan Nasional, tanpa adanya imbalan secara langsung yang
pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang Perpajakan untuk tujuan kesejahteraan bangsa
dan negara.

Dengan semakin berkembangnya kondisi usaha dan bisnis baik ditingkat nasional maupun
internasional, maka penghasilan yang diterima wajib pajak badan dalam negeri juga meningkat.
Badan atau perusahaan merupakan subjek pajak dalam negeri dimana wajib pajak badan ini
merupakan penyumbang bagi penerimaan negara dari sektor pajak yaitu pajak penghasilan
badan.

Dalam hal menjalankan usaha, suatu badan atau perusahaan harus membuat pembukuan
untuk menunjang kegiatan usahanya. Sama halnya dalam perpajakan, pembukuan juga wajib
dibuat oleh wajib pajak yang berbentuk badan untuk mempermudah menghitung pajaknya.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai wajib pajak badan, kewajiban dan hak wajib pajak
badan dalam perpajakan dan cara penghitungan pajak dari wajib pajak badan.

Menurut UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pasal 1
angka 3, Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN atau BUMD dengan nama dan dalam bentuk
apapun, firma, kongsi koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial poltik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya,
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Wajib Pajak Badan adalah Badan seperti yang dimaksud pada UU KUP, meliputi pembayar
pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan atau memiliki kewajiban
subjektif dan kewajiban objektif serta telah mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP).

Yang menjadi objek pajak PPh Badan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan wajib pajak badan yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Penghasilan menurut UU Pajak Penghasilan adalah tambahan kemampuan ekonomis yang


diterima atau diperoleh WP, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat
dipakai untuk konsumsi maupun untuk menambah kekayaan yang bersangkutan dengan nama
dan dalam bentuk apapun.

Adapun contoh cara menghitung penghasilan dapat digambarkan pada bagan sebagai berikut :

Perusahaan Dagang

Penjualan Bruto ……………………………………………… Rp

-/- Retur ……………………………………………………….. Rp (-)


Penjualan Netto ………..….……………………………….. Rp

Harga Pokok Penjualan:

Persediaan awal tahun ….… Rp__________

Pembelian ……………… Rp _ (+)


Tersedia untuk dijual ……. Rp _
Persediaan akhir tahun … Rp (-)
Harga Pokok Penjualan ……………………………………. Rp (-)
Laba Bruto Usaha ………………………………………… Rp____________

Biaya administrsi dan Umum …………………………… Rp (-)


Penghasilan Netto Usaha ………………………………… Rp____________

Penghasilan Di Luar Usaha ………… Rp…………………..

Biaya Di Luar usaha …………………… Rp……… ………..


Penghasilan netto luar usaha ………………………….. Rp …………………_
Jumlah Penghasilan Neto (Komersial).………………… Rp

===========

Dari jumlah penghasilan neto komersial tersebut, kemudian dilakukan penyesuaian-


penyesuaian (adjust-ment), yang didasarkan pada aturan-aturan perpajakan untuk memperoleh
penghasilan neto fiskal, yakni penghasilan neto yang didasarkan pada perhitungan yang diakui
secara fiskal. Penyesuaian-penyesuaian tersebut disebut KOREKSI FISKAL. Koreksi fiskal
ada dua macam, yakni koreksi fiskal POSITIF dan koreksi fiskal NEGATIF.
Pengertian Rekonsiliasi Fiskal
Karena terjadi perbedaan pengakuan dalam menyusun laporan keuangan antara komersil
dengan perpajakan maka perlu dilakukan penyesuaian atau rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi
fiskal adalah suatu mekanisme penyesuaian pelaporan keuangan wajib pajak badan menurut
ketentuan komersial diubah menjadi menurut ketentuan perpajakan atau fiskal. Rekonsiliasi
fiskal adalah sebuah lampiran SPT tahunan PPh Badan berupa kertas kerja yang berisi
penyesuaian antara laba/rugi sebelum pajak menurut komersial dengan laba/rugi menurut SPT
Tahunan (perpajakan).
Untuk melakukan penghitungan PPh Badan, harus diketahui laba fiskal dalam tahun pajak yang
didapat dari rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal dilakukan terhadap seluruh unsur penyusunan
laporan laba rugi, meliputi pendapatan dan biaya, secara ringkas rekonsiliasi fiskal dilakukan
terhadap :
1. Wajib pajak yang memiliki penghasilan final
2. Wajib pajak yang memiliki penghasilan yang bukan objek pajak
3. Wajib pajak mengeluarkan biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan
(pasal 9 UU PPh)
4. Wajib pajak mengeluarkan biaya yang boleh menjadi pengurang (biaya fiskal) tetapi metode
pengakuan biaya tersebut diatur oleh ketentuan fiskal
5. Wajib pajak mengeluarkan biaya yang dikeluarkan bersama untuk mendapatkan pendapatan
yang telah dikenakan PPh final
Dalam rekonsiliasi fiskal terdapat koreksi fiskal. Dimana koreksi fiskal ini terdiri dari koreksi
positif dan koreksi negatif. Koreksi positif adalah koreksi yang mengakibatkan laba fiskal
bertambah atau rugi fiskal berkurang. Koreksi negatif adalah koreksi yang mengakibatkan laba
fiskal berkurang atau rugi fiskal bertambah.

a. Koreksi Fiskal Positif: koreksi yang dilakukan atas Laba Rugi Komersial yang menghasilkan
Laba Fiskal lebih besar dari pada Laba Komersial (atau Rugi Fiskal lebih kecil dari pada Rugi
Komersial).
Contoh:

Uraian KomersialFiskal Keterangan


Tidak Harus
Pemberian sembako untuk pegawai diakui diakui dikoreksi
Tidak Harus
Pemberian fasilitas rekreasi u/ pegawai diakui diakui dikoreksi
Pemberian fasilitas tempat tinggal Tidak Harus
u/pegawai diakui diakui dikoreksi
Akibat dari adanya koreksi ini maka biaya yang dihitung secara fiskal menjadi lebih kecil dari
pada biaya yang dihitung secara komersial. Akibat selanjutnya laba yang dihitung secara fiskal
menjadi lebih besar dari pada laba yang dihitung secara komersial. Karena laba yang dihitung
secara fiskal menjadi lebih besar maka disebut koreksi fiskal positif.

b. Koreksi Fiskal Negatif: koreksi yang dilakukan atas Laba Rugi Komersial yang
menghasilkan Laba Fiskal lebih kecil dari pada Laba Komersial (atau Rugi Fiskal lebih besar
dari pada Rugi Komersial).
Contoh:
Penyusutan dalam perhitungan Laba Rugi menggunakan Metode Garis Lurus untuk jangka
waktu lima tahun untuk aset senilai Rp100.000.000. Perhitungan penyusutan Komersial-nya
adalah sbb:

Harga perolehan Rp100.000.000


Penyusutan tahun pertama 20% Rp20.000.000
Penyusutan dalam perhitungan Laba Rugi Fiskal menggunakan Metode Sado Menurun dengan
tarif 25% dari Nilai Sisa Buku. Perhitungan penyusutan Fiskalnya adalah sbb:

Harga perolehan Rp100.000.000


Penyusutan tahun pertama 25% Rp25.000.000
Penyusutan tahun pertama adalah 25% dari nilai perolehan, karena pada tahun pertama nilai
bukunya sama dengan nilai perolehan.

Jika diperbandingkan antara penyusutan komersial dengan penyusutan komersial akan tampak
sebagai berikut:

Uraian Komersial Fiskal Keterangan


Penyusutan Rp20.000.000 Rp25.000.000 Harus dikoreksi sebesar Rp5.000.000
Penyusutan fiskal pada contoh tersebut diatas lebih besar Rp5.000.000 dari pada penyusutan
komer-sial. Karena penyusutan sebagai beban secara fiskal dihitung lebih besar maka
akibatnya penghasilan secara fiskal menjadi lebih kecil. Karena laba secara fiskal menjadi lebih
kecil (atau rugi secara fiskal menjadi lebih besar), maka disebut koreksi fiskal negatif.
Selanjutnya dari dari bagan perhitungan Laba Rugi dengan hasil akhir Jumlah penghasilan Neto
Komersial tersebut dimuka, dapat diteruskan sebagai berikut:

Penghasilan Neto Komersial …………………. Rp………………….

Koreksi Positif …………… Rp…………………..

Koreksi Negatif …………. Rp…………………..


Saldo Koreksi ……………………………………… Rp………………….. + (-)
Laba/Rugi Fiskal …………………………………. Rp…………………..

Untuk memperoleh angka-angka dalam menghitung koreksi fiskal tersebut, harus dipahami
pengeluaran-pengeluaran/beban yang diakui secara fiskal dan pengeluaran-pengeluaran/beban
yang tidak diakui secara fiskal. Pengeluaran-pengeluaran yang diakui/dapat dikurangkan
secara fiskal diatur pada pasal 6 UU Pajak Penghasilan, sedangkan pengeluaran-pengeluaran
yang tidak diakui/tidak dapat dikurangkan, diatur pada pasal 9 UU PPh sebagai diuraikan
berikut.

1. Pengeluaran Yang dapat Dikurangkan (Pasal 6 UU-PPh)


Besarnya Penghasilan Kena Pajak WP DN dan BUT ditentukan berdasarkan Penghasilan Bruto
dikurangi :

Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan termasuk


a biaya pembelian bahan, termasuk :
1Biaya Pembelian Bahan
2Biaya berkenaan pekerjaan atau jasa termasuk :
Misalnya: upah borongan, upah
harian dst untuk menye-lesaikan
Upah suatu pekerjaan
Imbalan atas pekerjaan yang
berhubungan dengan perburuhan
( lihat juga psl 9 huruf f dan j )
Gaji
Imbalan atas pekerjaan namun
tidak ada hubungan perburuhan,
misalnya: honorarium akuntan,
honorarium konsultan, imbalan jasa
Honorarium audit, dan jasa-jasa ahli lainnya.
Misalnya imbalan atas prestasi
Bonus kerja
Pemberian kepada pegawai karena
perusahaan memperoleh laba yang
Gratifikasi besar.
Contoh: tunjangan isteri, anak,
kemahalan, tunjangan ke-sehatan,
Tunjangan dalam bentuk uang tunjangan transport, THR dsb.
3Bunga, Sewa dan Royalty
Harus digunakan dalam rangka
menjalankan usaha. Bunga atas
pinjaman yang tertanam dalam
deposito tidak dapat dikurangkan.
Bunga (SE-46/PJ.04/95; tgl 5-10-1995)
Misalnya sewa gudang, sewa
tempat usaha, sewa alat-alat berat
dsb.
Tidak termasuk:sewa sewa rumah
untuk pegawai.
Sewa
Contoh: imbalan atas pemakaian
Royalty merk dsb
Dalam rangka menjalankan tugas
perusahaan misalnya: tiket
4Biaya perjalanan pesawat, biaya hotel dsb.
Misalnya biaya untuk mengelola
limbah mercuri untuk bidang usaha
pertambangan emas, agar
mengurangi dampak negatif
5Biaya pengelolaan limbah terhadap lingkungan.
Untuk asuransi yang berkaitan
dengan usaha. contoh : asuransi
kebakaran, asuransi kerugian,
asuransi kenda-raan perusahaan
dsb.
Lihat psl 9 huruf d
6Premi assuransi
Diatur lebih lanjut dengan
7Biaya Promosi dan Penjualan Peraturan Menteri Keuangan.
8Biaya administrasi Contoh: alat tulis, kantor dsb
Rincian tersebut diatas merupakan contoh, karena disebutkan termasuk,
berarti ada pengurangkan lain yang diakui secara fiskal, misalnya:
Dapat dikurangkan asal dalam
rangka menjalankan usaha dengan
syarat dibuatkan daftar nominatif
Biaya representasi/intertainment, yang dilampirkan dalam SPT PPh.
jamuan tamu (SE-27/PJ.22/1986)
· Biaya langganan telepon biasa
sepenuhnya dapat dikurangkan;
· Biaya langganan telepon
seluler atau biaya pulsa telepon
seluler untuk pegawai karena
jabatannya dapat dikurangkan
sebesar 50%.

(Kep-220/PJ/2002)
Telepon
· Biaya pemeliharaan
kendaraan, perbaikan rutin untuk
kendaraan operasional perusahaan
seluruhnya dapat dibebankan
sebagai biaya, termasuk untuk
kendaraan antar jemput karyawan;
· Biaya pemeliharaan, perbaikan
mobil sedan untuk pegawai tertentu
perusahaan dapat dibebankan
sebagai biaya sebesar 50%

(Kep-220/PJ/2002)

Biaya pemeliharaan kendaraan


Listrik dan air untuk perusahaan
Contoh : PBB, PKB dan pajak-
9Pajak selain PPh pajak daerah
b Penyusutan dan Amortisasi Diatur lebih lanjut pada psl 11
Iuran kepada Dana Pensiun, yang Maksudnya untuk dana pensiun
c pendiriannya disyahkan oleh Menkeu karyawannya.
Contoh : perusahan menjual
Kerugian karena Pengalihan Harta yangsebagian alat produksinya, dalam
dimiliki dan digunakan dalam hal harga jual lebih rendah dari nilai
d perusahaan sisa buku fiskalnya.
Misalnya perusahaan telah
meminjam dana dari LN, yang pada
saat mengembalikan kurs valasnya
telah mengalami kenaikan terhadap
E Rugi Selisih Kurs rupiah.
Biaya Penelitian dan pengembang-an
f yg dilakukan di Indonesia
G Bea siswa, magang, pelatihan
Piutang yang nyata tidak dapat ditagih
dengan syarat
a. Telah dibebankan sebagai biaya
dalam perhitungan L/R Komer-sial;

b. Harus disertai Daftar Nominatif yang


diserahkan kepada DJP.

c. Penagihannya telah diserakan

kpd Pengadilan negeri atau instansi


pemerintah yang mena-ngani piutang
negara, atau adanya perjanjian tertulis
ten-tang penghapusan piutang

h
Sumbangan dalam rangka penang-
gulangan Bencana Nasional sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan
i Pemerintah;
Sumbangan dalam rangka peneli-tian
dan pengembangan yang dila-kukan di
Indonesia, sesuai dengan ketentuan
j dalam Peraturan Peme-rintah;
Biaya pembangunan infrastruktur sosial
sesuai dengan ketentuan dalam
k Peraturan Pemerintah;
Sumbangan fasilitas pendidikan yang
ketentuannya diatue dengan Peraturan
l Pemerintah.
Sumbangan dalam rangka pembinaan
olah raga, sesuai de-ngan ketentuan
M dalam Peraturan Pemerintah;
2. Pengeluanan Yang Tidak Dapat Dikurangkan (psl 9 UU PPh)

Uraian, contoh dan pengaturan


Uraian lebih lanjut
aPembagian Laba Contoh : dividen, SHU Koperasi
Biaya untuk kepentingan pribadi pemegang
Contoh: biaya service mobil
bsaham pribadi pemegang saham
Contoh: pencadangan untuk
piutang tak tertagih misalnya
c Pembentukan/pemupukan dana cadangan dalam hal terjadi penjualan kredit

a. Untuk bank umum besarnya


cadangan yang dapat
dikurangkan sebagai biaya
adalah:

§ 50% dari kredit yang


Kecuali untuk: digolongkan diragukan, setelah
· Cadangan piutang tak tertagih untuk dikurangi anggunan;
usaha bank, Badan Usaha lain yang
usahanya menyalurkan kredit, SGU dng hak§ 100% dari kredit yang
opsi, peru-sahaan pembiayaan konsumen, digolongkan macet, setelah
perusahaan anjak piutang. dikurangi nilai anggunan.

b. Untuk bank perkreditan


· Cadangan untuk usaha asuransi, rakyat, besarnya cadangan yang
termasuk cadangan untuk ban-tuan sosial dapat dikurangkan sebagai biaya
yang dibentuk Jam-sostek. adalah:
· Cadangan penjaminan untuk Lembaga § 0.5% dari kredit yang
Penjamin Simpanan. digolongkan lancar;

· cadangan biaya reklamasi untuk usaha § 3% dari kredit yang


pertambangan; digolongkan kurang lancar,
setelah dikurangi dengan nilai
anggunan yang dikuasai;
· Cadangan untuk biaya penana-man
kembali usaha kehutanan;
§ 50% dari kredit yang
digolongkan diragukan, setelah
· Cadangan biaya penutupan dan dikurangi dengan nilai anggunan
pemeliharaan tempat pembuang-an limbah yang dikuarai;
industri.

§ 100% dari nilai kredit yang


Dengan syarat-syarat yang diatur dalam digolongkan macet, yang masih
Peraturan Menteri Keuangan tercatat dalam pembukuan,
setelah dikurangi dengan nilai
anggunan yang dikuasai.

c. Untuk SGU sebesar 2,5%


dari rata-2 saldo piutang ;

d. Besarnya cadangan
cadangan premi untuk menutup
klaim yang jatuh tempo
ditentukan oleh perhitungan
aktuaria dan mendapatkan
pengesahan oleh Badan
Pengawasan Modal dan
Lambaga Keuangan.

(Kep MK-80/95, jo Kep MK-


68/1999, jo Kep MK-204/2000, jo.
Per Men-03/2006)

Premi assuransi kesehatan, kecelakaan,


jiwa, dwiguna yang dibayar sendiri oleh Bandingkan dengan asuransi
dWajib Pajak.Orang Pribadi. pada uraian pasal 6.
Bila asuransi dibayar oleh
Kecuali dibayar oleh pemberi kerja dan pemberi kerja maka premi
dihitung sebagai penghasilan bagi pegawai tersebut dapat dikurangkan
ybs. sebagai biaya.
obyek PPh Badan yang Dikenakan Pajak Final

Di dalam Pasal 4 ayat 2 UU PPh, dijelaskan bahwa atas penghasilan berupa bunga deposito
dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di
bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta
penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah (lihat
tabel di Bab Pajak Penghasilan Pasal 4(2) yang telah dibahas sebelumnya).

Pertimbangan yang mendasari diberikannya perlakuan tersendiri dimaksud antara lain adalah
kesederhanaan dalam pemungutan pajak, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan
pajaknya serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter. Pertimbangan tersebut
juga mendasari perlunya pemberian perlakuan tersendiri terhadap pengenaan pajak atas
penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan, serta jenis-jenis
penghasilan tertentu lainnya.

Karakteristik penghasilan yang menjadi obyek PPh final adalah

1. PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPH FINAL TIDAK PERLU DIGABUNGKAN


DENGAN PENGHASILAN TERUTANG LAIN (YANG NON FINAL) DALAM PENGHITUNGAN
PPH PADA SPT TAHUNAN.

2. JUMLAH PPH FINAL YANG TELAH DIBAYAR SENDIRI ATAU DIPOTONG PIHAK
LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PENGHASILAN TERSEBUT TIDAK DAPAT DIKREDITKAN
(NON PREPAID TAXES)

3. BIAYA-BIAYA YANG DIGUNAKAN UNTUK MENDAPATKAN, MENAGIH, DAN


MEMELIHARA PENGHASILAN YANG PENGENAAN PPH-NYA BERSIFAT FINAL TIDAK
DAPAT DIPERHITUNGKAN SEBAGAI PENGURANG PENGHASILAN.
Non Obyek PPh Badan

Sesuai dengan Pasal 4 ayat 3 UU PPh, beberapa non obyek PPh yang terkait dengan Wajib
Pajak Badan adalah:

1. BANTUAN SUMBANGAN, TERMASUK ZAKAT YANG DITERIMA OLEH BADAN AMIL


ZAKAT ATAU LEMBAGA AMIL ZAKAT YANG DIBENTUK ATAU DISAHKAN OLEH
PEMERINTAH DAN PARA PENERIMA ZAKAT YANG BERHAK, SEPANJANG TIDAK ADA
HUBUNGAN USAHA, PEKERJAAN, KEPEMILIKAN, ATAU PENGUASAAN ANTARA
PEMBERI DAN PENERIMA

2. HARTA HIBAH YANG DITERIMA OLEH


a. badan keagamaan,
b. badan pendidikan,
c. badan sosial, atau
d. pengusaha kecil yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara
pemberi dan penerima.

3. HARTA TERMASUK SETORAN TUNAI YANG DITERIMA OLEH BADAN SEBAGAI


PENGGANTI SAHAM ATAU SEBAGAI PENGGANTI PENYERTAAN MODAL.

4. DIVIDEN ATAU BAGIAN LABA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH PERSEROAN


TERBATAS SEBAGAI WAJIB PAJAK DALAM NEGERI, KOPERASI, BADAN USAHA MILIK
NEGARA, ATAU BADAN USAHA MILIK DAERAH (BUMN/D), DARI PENYERTAAN MODAL
PADA BADAN USAHA YANG DIDIRIKAN DAN BERTEMPAT KEDUDUKAN DI INDONESIA
DENGAN SYARAT

a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan


b. bagi perseroan terbatas, BUMN/D yang menerima dividen,
1) kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah
modal yang disetor dan
5. PENGHASILAN DANA PENSIUN YANG PENDIRIANNYA TELAH DISAHKAN OLEH
MENTERI KEUANGAN BERUPA
a. iuran yang diterima atau diperoleh pemberi kerja maupun pegawai
b. penghasilan dari modal yang ditanamkan dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan;

6. PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH PERUSAHAAN MODAL


VENTURA BERUPA BAGIAN LABA DARI BADAN PASANGAN USAHA YANG DIDIRIKAN
DAN MENJALANKAN USAHA ATAU KEGIATAN DI INDONESIA, DENGAN SYARAT
BADAN PASANGAN USAHA TERSEBUT:
a. merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-
sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan
b. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia

7. SISA LEBIH YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH BADAN ATAU LEMBAGA


NIRLABA YANG BERGERAK DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN/ATAU BIDANG
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, YANG TELAH TERDAFTAR PADA INSTANSI YANG
MEMBIDANGINYA, YANG DITANAMKAN KEMBALI DALAM BENTUK SARANA DAN
PRASARANA KEGIATAN PENDIDIKAN DAN/ATAU PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN,
DALAM JANGKA WAKTU PALING LAMA 4 (EMPAT) TAHUN SEJAK DIPEROLEHNYA
SISA LEBIH TERSEBUT, YANG KETENTUANNYA DIATUR LEBIH LANJUT DENGAN ATAU
BERDASARKAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN; DAN

Kompensasi Kerugian
Sesuai dengan Undang-Undang No.36 Tahun
2008 tetang Pajak Penghasilan, pengertian dan
ketentuan kompensasi kerugian fiskal adalah
sebagai berikut:

1. Kerugian fiskal adalah kerugian fiskal


berdasarkan ketetapan pajak yang telah
diterbitkan Direktur Jenderal Pajak serta
kerugian fiskal berdasarkan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak (self assesment) dalam hal
tidak ada atau belum diterbitkan ketetapan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak.
2. Kompensasi kerugian fiskal timbul apabila untuk tahun pajak sebelumnya terdapat kerugian
fiskal (SPT Tahunan dilaporkan Nihil atau Lebih Bayar tetapi ada kerugian fiskal).
3. Kerugian Fiskal terjadi karena penghasilan bruto dikurangi dengan biaya (yang
diperbolehkan menurut ketentuan fiskal) hasilnya mengalami kerugian.
4. Kerugian Fiskal tersebut dikompensasikan dengan laba neto fiskal dimulai tahun pajak
berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
5. Ketentuan jangka waktu pengakuan kompensasi kerugian fiskal mulai berlaku tahun 2009
sedangkan untuk tahun pajak sebelumnya berlaku ketentuan Undang-undang no.17 Tahun
2000 tentang Pajak Penghasilan.
6. Apabila kemudian ternyata berdasarkan ketetapan pajak hasil pemeriksaan menunjukkan
jumlah kerugian fiskal yang berbeda dari kerugian menurut SPT Tahunan PPh atau hasil
pemeriksaan menjadi tidak rugi, kompensasi kerugian fiskal menurut SPT Tahunan PPh
tersebut harus segera dibetulkan sesuai dengan ketentuan dan prosedur pembetulan SPT
sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan.

Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan pembukuan dan
penghasilan tidak termasuk penghasilan yang bersifat final dapat menghitung Kompensasi
kerugian sesuai ketentuan tersebut diatas sedangkan penggunaan norma penghitungan
penghasilan netto tidak diperkenankan.

Contoh 1
PT ABC dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp1.200.000.000,00 (satu miliar
dua ratus juta rupiah). Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT ABC sebagai berikut:
2010 : laba Rp200.000.000,00

2011 : rugi (Rp300.000.000,00)

2012 : laba Rp N I H I L

2013 : rugi (Rp100.000.000,00) » menerapkan PPh Final PP No. 46 Tahun 2013

2014 : laba Rp800.000.000,00

Perhitungan Kompensasi kerugian PT ABC dilakukan sebagai berikut :

Rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.200.000.000,00)

Laba fiskal tahun 2010 Rp 200.000.000,00 (+)

Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)


Rugi fiskal tahun 2011 (Rp 300.000.000,00)

Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)

Laba fiskal tahun 2012 Rp NIHIL (+)

Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)

Rugi fiskal tahun 2013 (Rp 100.000.000,00) (+) >> tidak bisa dikompensasi

Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)

Laba fiskal tahun 2014 Rp 800.000.000,00 (+)

Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 200.000.000,00)

Penjelasan

1. Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) yang masih
tersisa pada akhir tahun 2014 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun
2015 karena jangka waktu 5 tahun telah selesai di tahun 2014
2. Rugi fiskal tahun 2011 sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) hanya boleh
dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016, karena jangka waktu lima
tahun yang dimulai sejak tahun 2012 dan berakhir pada akhir tahun 2016.
3. Pada tahun 2014, perusahaan menerapkan ketentuan PPh Final berdasarkan PP No. 46
Tahun 2013. Maka rugi fiskal tahun 2013 sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
tidak boleh dikompensasikan. Hal ini sesuai dengan PP No.46/2013 Pasal 8 bahwa
kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak
berikutnya.
4. Sehingga untuk Tahun Pajak 2009 sampai dengan 2014 tidak ada PPh Badan yang
terutang.

Perhitungan diatas berlaku juga apabila yang mengalami kerugian adalah wajib pajak Orang
Pribadi yang menggunakan pembukuan. Dari penjelasan contoh 1 di atas dapat disimpulkan
dengan gambar dibawah berikut ini:
Gambar 1 Kompensasi Kerugian PT ABC

Sumber: Data Diolah

Menyusun laporan kompensasi kerugian pada Formulir Khusus 2A yaitu sebagai berikut:

Contoh 2
PT. XYZ berdiri pada tahun 2009. Pada Tahun Pajak 2016 Wajib Pajak memperoleh laba fiskal
sebesar Rp 10.000.000,00. Adapun keuntungan/kerugian fiskal tahun-tahun sebelumnya adalah
sebagai berikut :

2009 (30.000.000)
2010 (80.000.000)
2011 50.000.000
2012 5.000.000
2013 15.000.000
2014 (30.000.000)
2015 (40.000.000)

Berikut adalah pengisian ke formulir khusus 2A:


Tabel 1 Formulir Khusus 2A
Sumber: Data Diolah

Penjelasan:

1. Pada tahun 2009 rugi fiskal sebesar 30 juta, dapat dikompensasikan sampai dengan tahun
2014. Pada tahun 2011 laba fiskal sebesar 50 juta maka dapat menutupi rugi pada tahun
2009 sebesar 30 juta.
2. Pada tahun 2010 rugi fiskal sebesar 80 juta, dapat dikompensasikan sampai dengan tahun
2015. Pada tahun 2011 laba fiskal sebesar 50 juta maka dapat menutupi rugi sebesar 20
juta karena 30 juta sudah terpakai untuk menutupi rugi pada tahun 2009. Pada tahun 2012
dan 2013 laba fiskal masing-masing sebesar 5 juta dan 15 juta, maka dapat menutupi rugi
pada tahun 2010.
3. Pada tahun 2014 rugi fiskal sebesar 30 juta tidak dapat dikompensasikan, karena sesuai
dengan PP No.46/2013 Pasal 8 bahwa kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya
Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat
dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.
4. Pada tahun 2015 rugi fiskal sebesar 40 juta dan pada tahun 2016 laba fiskal sebesar 10
juta maka dapat menutupi rugi pada tahun 2015 sebesar 10 juta.
5. Pada tahun 2010 tidak dapat dikompesasikan lagi karena jangka waktu 5 tahun yang dapat
dikompensasikan telah habis.

Pengaruh rugi dari tahun sebelumnya terhadap pengisian induk SPT Tahunan Badan 2016 bisa
dilihat dari contoh 2 yaitu faktanya adalah tahun 2016 PT XYZ mendapat keuntungan sebesar
10 juta, tetapi karena masih menanggung rugi dari tahun 2015, sehingga SPT Tahunan tersebut
menjadi nihil. Tetapi jangan heran dengan DPT tahunan yang menjadi nihil karena laporan laba
yang laba tetap dilampirkan. Namun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya untuk Wajib
Pajak yang menerapkan PP No.46/2013, ada sebagian rugi yang tidak dapat dikompensasikan
khususnya pada tahun pajak yang melakukan perhitungan pajak 1%.
Gambar 2 Induk SPT Tahunan Tahun Pajak 2016
Sumber: Data Diolah

Dapat terlihat dari gambar diatas bahwa penghasilan neto fiskal adalah laba dari laporan
keuangan sedangkan kompensasi kerugian fiskal yang tercantum hanya sisa rugi pada tahun
2015. Pengisian SPT selanjutnya akan nihil sekalipun laba/rugi Wajib Pajak badan tersebut
menghasilkan laba, karena pada tahun 2016 masih menanggung rugi dari tahun 2015.

Penutup
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Perhitungan Laba/Rugi Wajib Pajak Badan
dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan pembukuan berdasarkan fiscal mengalami
kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak
berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun. Perhitungan pajak penghasilan Wajib
Pajak Badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang bersifat final, berdasarkan ketentuan
Peraturan Pemerintah maka jangka waktu kompensasi kerugian tetap dihitung. Namun, atas
kerugian akibat pemberlakuan PPh Final tersebut tidak dapat dikompensasikan dengan Tahun
Pajak berikutnya.

Referensi

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat


atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

Anda mungkin juga menyukai