1. Objek Pajak
Objek Pajak adalah barang yang dikenakan pajak untuk dipenuhi oleh subjek pajak. Objek
pajak terbagi menjadi berbagai macam, berikut ini penjelasannya.
Perolehan hak atas tanah dan bangunan tersebut meliputi hal - hal seperti :
Pemindahan hak
Pemberian hak baru
Pemindahan hak terjadi karena adanya :
Jual beli
Tukar menukar
Hibah
Hibah wasiat
Waris
Hadiah, dll
Pemberian hak baru terjadi karena :
Kelanjutan pelepasan hak
Di luar pelepasan hak
E. Objek Bea Materai
Objek bea materai adalah dokumen. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang
mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan
pihak - pihak yang berkepentingan.
A. Tarif Tetap
Tarif tetap yaitu tarif dengan jumlah atau angka tetap berapapun yang menjadi dasar
pengenaan sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. Misalnya bea materai untuk cek dan
bilyet giro berapapun jumlahnya dikenakan bea materai yang sama.
Misalnya PPN sebesar 10% yang dikenakan terhadap penyerahan suatu barang kena pajak.
Dengan persentase tetap akan menyebabkan jumlah pajak menjadi lebih besar apabila jumlah
dasar pengenaannya semakin besar.
2. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari
badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah;
penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
Kewajiban pajak subjektif badan dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat
kedudukan di Indonesia. (Pasal 2A ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2008)
3. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat timbulnya warisan
yang belum terbagi tersebut dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi. (Pasal 2A
ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2008)
2. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,
yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan ini dimulai pada saat orang pribadi atau
badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat
tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut. (Pasal 2A ayat (4) UU Nomor 36
Tahun 2008)
Begitu Anda memiliki badan usaha atau menjadi pengusaha, maka telah menjadi wajib
pajak badan atau wajib pajak orang pribadi yang berprofesi sebagai pengusaha. Untuk
itu, ada sejumlah pajak yang harus dibayarkan. Jenis pajak yang harus dibayarkan
tersebut biasanya tertera pada SKT (Surat Keterangan Terdaftar) saat Anda
mendaftarkan diri menjadi NPWP Badan.
Setelah menjadi mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak Badan, maka jangan lupa
mendaftarkan diri sebagai pengguna aplikasi OnlinePajak untuk mendapatkan
kemudahan hitung pajak otomatis, buat SPT Masa, ID billing, setor pajak 1 klik dan lapor
pajak online (e-filing) secara gratis dan dalam 1 aplikasi terpadu.
Menghitung Pajak Penghasilan Wajib Pajak (WP) Badan
Dengan semakin berkembangnya kondisi usaha dan bisnis baik ditingkat nasional maupun
internasional, maka penghasilan yang diterima wajib pajak badan dalam negeri juga meningkat.
Badan atau perusahaan merupakan subjek pajak dalam negeri dimana wajib pajak badan ini
merupakan penyumbang bagi penerimaan negara dari sektor pajak yaitu pajak penghasilan
badan.
Dalam hal menjalankan usaha, suatu badan atau perusahaan harus membuat pembukuan
untuk menunjang kegiatan usahanya. Sama halnya dalam perpajakan, pembukuan juga wajib
dibuat oleh wajib pajak yang berbentuk badan untuk mempermudah menghitung pajaknya.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai wajib pajak badan, kewajiban dan hak wajib pajak
badan dalam perpajakan dan cara penghitungan pajak dari wajib pajak badan.
Menurut UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pasal 1
angka 3, Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN atau BUMD dengan nama dan dalam bentuk
apapun, firma, kongsi koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial poltik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya,
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Wajib Pajak Badan adalah Badan seperti yang dimaksud pada UU KUP, meliputi pembayar
pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan atau memiliki kewajiban
subjektif dan kewajiban objektif serta telah mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP).
Yang menjadi objek pajak PPh Badan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan wajib pajak badan yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Adapun contoh cara menghitung penghasilan dapat digambarkan pada bagan sebagai berikut :
Perusahaan Dagang
===========
a. Koreksi Fiskal Positif: koreksi yang dilakukan atas Laba Rugi Komersial yang menghasilkan
Laba Fiskal lebih besar dari pada Laba Komersial (atau Rugi Fiskal lebih kecil dari pada Rugi
Komersial).
Contoh:
b. Koreksi Fiskal Negatif: koreksi yang dilakukan atas Laba Rugi Komersial yang
menghasilkan Laba Fiskal lebih kecil dari pada Laba Komersial (atau Rugi Fiskal lebih besar
dari pada Rugi Komersial).
Contoh:
Penyusutan dalam perhitungan Laba Rugi menggunakan Metode Garis Lurus untuk jangka
waktu lima tahun untuk aset senilai Rp100.000.000. Perhitungan penyusutan Komersial-nya
adalah sbb:
Jika diperbandingkan antara penyusutan komersial dengan penyusutan komersial akan tampak
sebagai berikut:
Untuk memperoleh angka-angka dalam menghitung koreksi fiskal tersebut, harus dipahami
pengeluaran-pengeluaran/beban yang diakui secara fiskal dan pengeluaran-pengeluaran/beban
yang tidak diakui secara fiskal. Pengeluaran-pengeluaran yang diakui/dapat dikurangkan
secara fiskal diatur pada pasal 6 UU Pajak Penghasilan, sedangkan pengeluaran-pengeluaran
yang tidak diakui/tidak dapat dikurangkan, diatur pada pasal 9 UU PPh sebagai diuraikan
berikut.
(Kep-220/PJ/2002)
Telepon
· Biaya pemeliharaan
kendaraan, perbaikan rutin untuk
kendaraan operasional perusahaan
seluruhnya dapat dibebankan
sebagai biaya, termasuk untuk
kendaraan antar jemput karyawan;
· Biaya pemeliharaan, perbaikan
mobil sedan untuk pegawai tertentu
perusahaan dapat dibebankan
sebagai biaya sebesar 50%
(Kep-220/PJ/2002)
h
Sumbangan dalam rangka penang-
gulangan Bencana Nasional sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan
i Pemerintah;
Sumbangan dalam rangka peneli-tian
dan pengembangan yang dila-kukan di
Indonesia, sesuai dengan ketentuan
j dalam Peraturan Peme-rintah;
Biaya pembangunan infrastruktur sosial
sesuai dengan ketentuan dalam
k Peraturan Pemerintah;
Sumbangan fasilitas pendidikan yang
ketentuannya diatue dengan Peraturan
l Pemerintah.
Sumbangan dalam rangka pembinaan
olah raga, sesuai de-ngan ketentuan
M dalam Peraturan Pemerintah;
2. Pengeluanan Yang Tidak Dapat Dikurangkan (psl 9 UU PPh)
d. Besarnya cadangan
cadangan premi untuk menutup
klaim yang jatuh tempo
ditentukan oleh perhitungan
aktuaria dan mendapatkan
pengesahan oleh Badan
Pengawasan Modal dan
Lambaga Keuangan.
Di dalam Pasal 4 ayat 2 UU PPh, dijelaskan bahwa atas penghasilan berupa bunga deposito
dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di
bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta
penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah (lihat
tabel di Bab Pajak Penghasilan Pasal 4(2) yang telah dibahas sebelumnya).
Pertimbangan yang mendasari diberikannya perlakuan tersendiri dimaksud antara lain adalah
kesederhanaan dalam pemungutan pajak, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan
pajaknya serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter. Pertimbangan tersebut
juga mendasari perlunya pemberian perlakuan tersendiri terhadap pengenaan pajak atas
penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan, serta jenis-jenis
penghasilan tertentu lainnya.
2. JUMLAH PPH FINAL YANG TELAH DIBAYAR SENDIRI ATAU DIPOTONG PIHAK
LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PENGHASILAN TERSEBUT TIDAK DAPAT DIKREDITKAN
(NON PREPAID TAXES)
Sesuai dengan Pasal 4 ayat 3 UU PPh, beberapa non obyek PPh yang terkait dengan Wajib
Pajak Badan adalah:
Kompensasi Kerugian
Sesuai dengan Undang-Undang No.36 Tahun
2008 tetang Pajak Penghasilan, pengertian dan
ketentuan kompensasi kerugian fiskal adalah
sebagai berikut:
Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan pembukuan dan
penghasilan tidak termasuk penghasilan yang bersifat final dapat menghitung Kompensasi
kerugian sesuai ketentuan tersebut diatas sedangkan penggunaan norma penghitungan
penghasilan netto tidak diperkenankan.
Contoh 1
PT ABC dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp1.200.000.000,00 (satu miliar
dua ratus juta rupiah). Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT ABC sebagai berikut:
2010 : laba Rp200.000.000,00
2012 : laba Rp N I H I L
Rugi fiskal tahun 2013 (Rp 100.000.000,00) (+) >> tidak bisa dikompensasi
Penjelasan
1. Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) yang masih
tersisa pada akhir tahun 2014 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun
2015 karena jangka waktu 5 tahun telah selesai di tahun 2014
2. Rugi fiskal tahun 2011 sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) hanya boleh
dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016, karena jangka waktu lima
tahun yang dimulai sejak tahun 2012 dan berakhir pada akhir tahun 2016.
3. Pada tahun 2014, perusahaan menerapkan ketentuan PPh Final berdasarkan PP No. 46
Tahun 2013. Maka rugi fiskal tahun 2013 sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
tidak boleh dikompensasikan. Hal ini sesuai dengan PP No.46/2013 Pasal 8 bahwa
kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak
berikutnya.
4. Sehingga untuk Tahun Pajak 2009 sampai dengan 2014 tidak ada PPh Badan yang
terutang.
Perhitungan diatas berlaku juga apabila yang mengalami kerugian adalah wajib pajak Orang
Pribadi yang menggunakan pembukuan. Dari penjelasan contoh 1 di atas dapat disimpulkan
dengan gambar dibawah berikut ini:
Gambar 1 Kompensasi Kerugian PT ABC
Menyusun laporan kompensasi kerugian pada Formulir Khusus 2A yaitu sebagai berikut:
Contoh 2
PT. XYZ berdiri pada tahun 2009. Pada Tahun Pajak 2016 Wajib Pajak memperoleh laba fiskal
sebesar Rp 10.000.000,00. Adapun keuntungan/kerugian fiskal tahun-tahun sebelumnya adalah
sebagai berikut :
2009 (30.000.000)
2010 (80.000.000)
2011 50.000.000
2012 5.000.000
2013 15.000.000
2014 (30.000.000)
2015 (40.000.000)
Penjelasan:
1. Pada tahun 2009 rugi fiskal sebesar 30 juta, dapat dikompensasikan sampai dengan tahun
2014. Pada tahun 2011 laba fiskal sebesar 50 juta maka dapat menutupi rugi pada tahun
2009 sebesar 30 juta.
2. Pada tahun 2010 rugi fiskal sebesar 80 juta, dapat dikompensasikan sampai dengan tahun
2015. Pada tahun 2011 laba fiskal sebesar 50 juta maka dapat menutupi rugi sebesar 20
juta karena 30 juta sudah terpakai untuk menutupi rugi pada tahun 2009. Pada tahun 2012
dan 2013 laba fiskal masing-masing sebesar 5 juta dan 15 juta, maka dapat menutupi rugi
pada tahun 2010.
3. Pada tahun 2014 rugi fiskal sebesar 30 juta tidak dapat dikompensasikan, karena sesuai
dengan PP No.46/2013 Pasal 8 bahwa kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya
Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat
dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.
4. Pada tahun 2015 rugi fiskal sebesar 40 juta dan pada tahun 2016 laba fiskal sebesar 10
juta maka dapat menutupi rugi pada tahun 2015 sebesar 10 juta.
5. Pada tahun 2010 tidak dapat dikompesasikan lagi karena jangka waktu 5 tahun yang dapat
dikompensasikan telah habis.
Pengaruh rugi dari tahun sebelumnya terhadap pengisian induk SPT Tahunan Badan 2016 bisa
dilihat dari contoh 2 yaitu faktanya adalah tahun 2016 PT XYZ mendapat keuntungan sebesar
10 juta, tetapi karena masih menanggung rugi dari tahun 2015, sehingga SPT Tahunan tersebut
menjadi nihil. Tetapi jangan heran dengan DPT tahunan yang menjadi nihil karena laporan laba
yang laba tetap dilampirkan. Namun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya untuk Wajib
Pajak yang menerapkan PP No.46/2013, ada sebagian rugi yang tidak dapat dikompensasikan
khususnya pada tahun pajak yang melakukan perhitungan pajak 1%.
Gambar 2 Induk SPT Tahunan Tahun Pajak 2016
Sumber: Data Diolah
Dapat terlihat dari gambar diatas bahwa penghasilan neto fiskal adalah laba dari laporan
keuangan sedangkan kompensasi kerugian fiskal yang tercantum hanya sisa rugi pada tahun
2015. Pengisian SPT selanjutnya akan nihil sekalipun laba/rugi Wajib Pajak badan tersebut
menghasilkan laba, karena pada tahun 2016 masih menanggung rugi dari tahun 2015.
Penutup
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Perhitungan Laba/Rugi Wajib Pajak Badan
dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan pembukuan berdasarkan fiscal mengalami
kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak
berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun. Perhitungan pajak penghasilan Wajib
Pajak Badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang bersifat final, berdasarkan ketentuan
Peraturan Pemerintah maka jangka waktu kompensasi kerugian tetap dihitung. Namun, atas
kerugian akibat pemberlakuan PPh Final tersebut tidak dapat dikompensasikan dengan Tahun
Pajak berikutnya.
Referensi