Kelas : XI MIPA 1
Absen : 28
Smokol
Batara alias Batre gemar menyelenggarakan smokol secara cermat dan meriah sebulan
sekali, atau dua kali—tergantung ilham yang didapatnya dari kunjungan sesekali Peri Smokol.
Menurut Batara, peri yang berasal dari Manado ini adalah penguasa dan pelindung smokol
(makan tanggung di antara sarapan pagi dan makan siang), pemasak smokol (Batara sendiri), dan
kelompensmokol (kelompok penikmat smokol; beranggotakan Batara, Syam, si kembar Anya
dan Ale). Tapi ketiga temannya curiga peri ini cuma hasil rekaannya. Ale yang pernah ke
Manado, melaporkan sesungguhnya orang Minahasa menyantap tinutuan (bubur Manado)
beserta pisang goreng dan teri goreng yang ditaruh di tepi piring dan dicelup-celupkan ke dalam
dabu-dabu (sambal yang pedas bukan main hingga bisa bikin orang menangis diam-diam, kuping
berdenging, dan untuk beberapa yang rentan, niscaya berhalusinasi).
Tapi bagi Batara, smokol tidaklah sesederhana itu. Dengan imajinasi yang berlebih dan
gelora bagi kesempurnaan segala sesuatu, Batara selalu muncul dengan smokol bertema aneh
dengan makanan aneh-aneh. Ketiga temannya tak pernah bisa menduga apa yang akan terhidang
di meja.
Suatu hari, misalnya, ia merekonstruksi menu ’Santap Malam dengan Trimalchio’, dan
memulai dengan apologia. ”Sori, teman-teman, secara keseluruhan, ini lebih bersahaja, tidak
seambisius Petronius.” Tak hanya terilhami novel atau buku masakan, juga esai—padahal pada
paragraf pertama, sang esais telah memperingatkan bahwa resep anak domba sepanjang 13
halaman itu tak pernah sukses dicoba. Di kali lain, ia menghidangkan makanan warna kuning
dan hijau saja, atau hanya menyuguhkan rebusan teh putih langka dalam teko dan cawan keramik
rompal. Suatu kali ia sibuk menggelar tikar di halaman belakang, tema hari itu adalah piknik
makan patita ala Ambon di pinggir pantai imajiner. Ketiga temannya juga bisa terkecoh dengan
judul makanan yang terdengar megah, semisal ’Gnocchi di patate alla crema delicata di
Gorgonzola’, yang ternyata cuma kentang rebus bentuk bola-bola. Begitulah, Batara menyapu
berbagai waktu dan negeri: dari Zaman Pertengahan hingga Nouvelle Cuisine tahun ’80-an, dari
Raja Richard II sampai Oma Sjanne yang tinggal di Tomohon.
Seingat ketiga temannya, hanya satu kali Batara menyajikan smokol betulan.
Bagi mereka, santap smokol adalah hari ideal yang penuh kebahagiaan. Mereka selalu
menanti-nantikan hari Sabtu terjadinya peristiwa makan besar ini. Biasanya di malam
sebelumnya mereka tidak terlalu banyak makan, tidak berulah macam-macam yang bisa
mengakibatkan sakit gigi atau gangguan pencernaan, dan berangkat tidur lebih awal. Mereka tiba
di rumah Batara pada pukul sembilan pagi, smokol terhidang pada pukul sepuluh, lalu sedikit
minum-minum pukul satu-dua siang sambil menunggu hidangan kue-kue kecil dan kopi pada
pukul empat sore, makan malam pasca-smokol pukul enam, minum-minum dengan camilan
sekadarnya pada pukul 10 malam, lalu makan pasca-pasca-smokol di tengah malam.
Di saat smokol inilah Batara tampil dalam kebesaran dan kemegahan kuasa kedewaannya.
Tak hanya seperti dewa koki, ia juga menjelma seorang oma bawel bercelemek yang repot betul
dengan berbagai-bagai masakan yang telah dipersiapkannya sedari pagi secara teliti, murah hati
dan penuh cinta kasih. Ia bisa nyinyir menyuruh-nyuruh ketiga temannya seakan mereka adalah
anak cucu menantu miliknya seorang; mereka mesti mengaduk, menuang makanan dari panci
kuali dandang, bergiliran membawa piring mangkuk lodor ke meja makan. Dan, ketika semua
makanan telah datang terhidang, Batara akan mundur selangkah untuk mengagumi tampilan
mejanya. Ia berdiri tegak memandang semestanya yang lezat selayaknya para dewa, berkacak
pinggang dengan telunjuk terangkat menitahkan ketiga temannya untuk menaklukkan seisi meja.
Lalu dengan penuh kuasa ia memerintahkan mereka untuk makan, tambah, makan lagi…
secukupnya.
Kalau sudah begini, mereka bagai tenggelam dalam dunia fantasmagoria ciptaan Batara.
Bentang alamnya kira-kira tampak seperti ini: pepohonan makanan yang berbuah bola-bola
ghoulash yang gemuk-gemuk, berbunga pai gelatin stroberi yang berembun merah berkilat-kilat,
berdaun piterseli dan kemangi, rerantingannya pasta bermentega yang menjulur-julur panjang.
Danaunya adalah kuah tempat potongan daging wortel kentang paprika berenang-renang, ampela
bebek bersampan irisan roti garing. Air terjunnya curahan deras sari buah, anggur, kopi, cinta
kasih Batara…. Dan, di antara semua ini, ketiga temannya terhenyak kekenyangan, merasa
seperti akan meledak, bunyi-bunyian aneh yang tak terjelaskan akan keluar dari mulut-mulut
mereka.
Kerap kali sang dewa kesedapan beterbangan di antara meja makan dan dapur untuk
mengambil tambahan ini ekstra itu, sambil berceramah, ”Tanda sesungguhnya dari seorang
gastronom sejati, teman-temanku, adalah absennya keperluan dan keinginan untuk sok berhati-
hati dengan semua makanan berkah Tuhan, sebab dirinya telah sarat pemahaman yang terasah
secara cerdas dan halus. Rahasianya cuma satu: tak berlebih. Ingat ini, segala sesuatu mesti
berkadar secukupnya, selayaknya satu masakan sempurna. Niscaya dia sehat-walafiat dan kelak
meninggal dalam tidur dengan senyum damai di wajah, seperti mendiang omaku—Tuhan
memberkatinya. Dan, ketika seorang gastronom telah mampu memahami hakikat alur kulit
nanas, misalnya, atau makna keteflonan penggorengan, niscaya saat itulah dia menjelma seorang
gastrosof.”
Dengan iba ia bicara tentang ’cewek-cewek kurus kering yang tampak kelaparan itu, selalu
membangkitkan naluri kekokianku untuk memberi mereka makan’. Ia mencibiri ’kalkulasi
asupan kalori, lemak-kolesterol-karbohidrat, berat badan dan segala macam tetek-bengek gaya
hidup—cuma obsesi orang-orang yang khawatir dengan berat badan dan penampilan, mereka
yang memandang berkah serupa racun, begitu takut akan maut. Maka, makanan pun menjelma
energi buruk di badan mereka, penyakit segala macam itu.’
Seperti hari ketika ia meletakkan jambangan mahabesar berisi bunga-bunga yang tak bisa
dinamai, menjulang tinggi dalam rangkaian agak rumit. Mereka belum lagi mulai bersantap.
Batara muncul dari dapur dengan tergopoh-gopoh dan mengepul-ngepul dengan mangkuk besar
di tangan, diletakkan di sepetak lahan kosong yang tersisa di meja. Ia lalu mundur selangkah,
berkacak pinggang menatap senang tampilan mejanya, telunjuk mengangkat dalam gestur dan
titah wajib: ”Kelompensmokol, ayo taklukkan makanan di depan kalian!” Lagaknya seperti
gembala menghalau ternak, atau mungkin itulah gaya Columbus di atas geladak ketika
menemukan Amerika.
Anya. ”Sudah dari dulu begitu. Orang tua mengajarkan kami menatap orang yang sedang
bicara.”
Batara. ”Nggak bisa. Seandainya kalian bisa menebak apa-apa gerangan yang sudah kulakukan
untuk mencapai komposisi, morfologi dan harmoni meja setaraf ini.”
Ale. ”Singkirkan deh, supaya makanan bisa lebih lancar ditelan sambil bertatap-tatapan, tak ada
yang tersedak.”
Batara. ”Aku sendiri yang merangkai bunga semalaman, setelah sesiangan ke Rawabelong. Heh,
pantat panci, kuping kuali, paham tidak sih, kemarin itu macet, panas pula berkeliling seantero
tukang bunga.”
Ale. ”Sudahlah, gentong bunga angkat saja. Kami sudah dari tadi menangkap realisme magis
meja ini.”
Batara mulai berwajah bengis. Ini gelagat yang tidaklah baik bagi semua pihak. Apalagi jika
badannya yang gempal mulai bergumpal-gumpal, niscaya sebagai manusia ia tampak berbahaya.
Lalu sepanjang hari ia akan terus memasang tampang tukang jagal seram, masam seperti cuka
apel, diam membisu seperti talenan, menghunus pandangan tajam yang mengiris-iris seperti
pisau daging. Lalu sambil menggumamkan berulang-ulang mantra Sancho Panza, ’All ills are
good when attended with food’, Batara tetap saja menghidangkan yang perlu dihidangkan,
dengan garnis desisan dan geraman pertobatan, ’Ini smokol terakhir, sungguh terakhir….’
Maka, kompromi mesti ditempuh; ketiga temannya rela membolehkan yang biasanya tidak
dibolehkan dalam situasi normal. Batara boleh menyanyi berpura-pura menjadi siapalah, atau
main akordeon lagu apalah, dan mereka akan mendengarkan dengan tertib.
Sontak saja senyum dan energi Batara pun kembali, dirinya baterai ceria penuh terisi. Ia
mondar-mandir lagi tanpa henti, seperti anak kelinci bintang iklan baterai. Konon, ia beroleh
nama panggilan Batre karena sedari bocah telah begitu lincah. Teman-temannya pernah terlibat
diskusi panjang yang kira-kira mirip dialektika ayam dan telur: apakah Batre menghidupi
namanya, ataukah justru nama itulah yang menghidupinya; bukankah melelahkan sekali
menghidupi nama? Tapi mereka sepakat, Batre memang baterai nomor satu, sumber energi
infiniti bagi dirinya sendiri: terus, terus dan terus….
Mereka tahu bahwa di balik aksi-aksi ngambek sok bengis itu, sesungguhnya Bataralah
orang yang paling tulus dalam cinta kasihnya, tanpa tahu mengapa atau untuk apa, bahkan tak
hendak bertanya. Tak ada sesuatu apa di balik cintanya; tanpa pretensi, kalkulasi, atau imbal
balik. Semacam cinta yang hanya bisa dipunyai anak-anak. Ia manusia paling riang gembira
sekelompok ini, bahkan sekota Jakarta. Sesekali saja ia jatuh berduka.
Seusai smokol, sambil menunggui mereka mencuci piring, Batara duduk memangku
akordeon merah bernama Patchouli dan memainkan lagu dengan khusyuk. Sang dewa smokol
duduk megah menutup-buka akordeonnya, menebar nada dewata di udara, di antara ketiga
manusia jelata pencuci piring dan pemberes meja makan yang cuma mendencing-dencingkan
porselen dan penggorengan teflon.
”Akhirat…. Aku curiga cita rasa akhirat akan seperti ini. Kenyang dan bahagia. Di surga
kita akan kenyang, terlalu kenyang untuk menginginkan. Buah zaitun dan anggur yang
sejangkauan tangan, para bidadari yang duduk bertelekan—terbuang percuma. Sedang Tuhan
YME menyaksikan kita, manusia-manusia yang terkesima, yang bergumam-gumam heran, lho,
tak kepingin lagi. Maka Tuhan bersabda, kenapa tak dari dulu, wahai manusia.” Batre
bergumam.
Di malam-malam larut seperti ini, ada cita rasa pulang yang mengalir dalam udara pelan.
Salah seorang akan berucap dan semua seakan percaya pada apa yang terdengar. Tak ada yang
mengatakan, tapi semua memahami yang terasa: sececap cita rasa yang tak ternamai, tertinggal
manis di lidah. Dan cahaya bintang, meski hanya seberkas, namun cukup.
Maka, suatu hari Batara sungguh-sungguh jatuh berduka. Duka paling nadir yang pernah
dirasanya. Batara menangis tersedu-sedu sambil memeluk satu pak tisu ukuran jumbo di depan
ketiga temannya.
Ia berbicara terpatah tentang sekampung orang yang meninggal karena kelaparan, tentang
anak-anak berperut buncit dan bermata hampa yang berjalan menyeret-nyeret kaki telanjang dan
busung lapar mereka—adegan-adegan yang akhir-akhir ini kian sering muncul di TV. Ia
tercenung membayangkan apa rasanya lapar berhari-hari. Ia mengenang meja makan Oma
Sjanne di Tomohon yang penuh sesak dengan makanan, tak satu pun tamu atau musafir yang
keluar dari rumah mereka dalam keadaan lapar. Ia merenungkan betapa tampilan mejanya
selama ini adalah aspirasi penciptaan kembali meja makan mendiang omanya. Batara tak
mengerti mengapa Oma Sjanne luput menyelipkan satu saja bau kelaparan di antara sejuta
bebauan sedap masakan di dapur, mengapa meja makan Oma Sjanne tak pernah menampakkan
realisme meja-meja makan lain yang kosong belaka.
Kini bayang-bayang lapar yang telah selalu tercegat di bawah meja makan itu datang
menerjang di depan mata Batara. Berdiam di dalam pelupuk matanya yang sembab, namun
nyalang, menatap negeri ini. Negeri yang penjuru-penjurunya tak pernah didatangi peri smokol.
Negeri yang tak kenyang dan tak bahagia, tak pernah surga.
Kelas : XI MIA 1
Absen : 28
Analisis Cerpen
Judul Cerpen : Smokol
Sinopsis :
Smokol berkisah tentang tokoh bernama Batara yang gemar mengadakan smokol secara
rutin. “Smokol” ini kalau bukan merupakan bahasa Manado, artinya makan di antara sarapan
pagi dan makan siang.
Batara disebut sebagai seorang ahli memasak (ahli tata boga). Ia memandang smokol
sebagai sesuatu yang adiluhung. Baginya, smokol bukan acara santap yang biasa, diadakan
upacara luhur yang perlu diselenggarakan secara serius. Semakin sempurna smokol yang
diselenggarakannya, semakin puaslah memenangkan.
Suatu saat, Batara menangis tersedu-sedu. Ia berbicara tentang orang-orang yang meninggal
karena senang dan tentang anak-anak yang kurang gizi yang mana berita-beritanya sering
muncul di televisi. Sebagai sosok yang menjunjung tinggi makanan, ia jadi tersentak, lalu sedih
berkepanjangan. Cerpen ini ditutup dengan kalimat pamungkas, “Batara tampak agak kurus
akhir-akhir ini.”
Unsur Intrinsik :
Tokoh
Nama Tokoh Karakteristik Tokoh Fisik Bukti Kutipan
Batara Batara merupakan 1. Berwajah bengis Karakteristik tokoh :
sosok orang yang 2. Badannya yang 1. "Batara alias Batre
selalu ingin gempal gemar
mengadakan smokol 3. Bermuka masam menyelenggarakan
secara berlebihan dan 4. Agak kurus smokol secara
mewah cermat dan meriah
sebulan sekali, atau
dua kali—
tergantung ilham
yang didapatnya
dari kunjungan
sesekali Peri
Smokol. "
2. " Tapi bagi Batara,
smokol tidaklah
sesederhana itu.
Dengan imajinasi
yang berlebih dan
gelora bagi
kesempurnaan
segala sesuatu,
Batara selalu
muncul dengan
smokol bertema
aneh dengan
makanan aneh-
aneh. Ketiga
temannya tak
pernah bisa
menduga apa yang
akan terhidang di
meja. "
Penjelasan :
Dari kutipan tersebut,
Batara adalah orang yang
selalu mengadakan smokol
dengan meriah dan juga
mewah yang tak terduga
bersama teman-temannya.
Fisik :
1. "Batara mulai
berwajah bengis.
Ini gelagat yang
tidaklah baik bagi
semua pihak."
Penjelasan :
Dari kutipan di atas
menjelaskan tentang
Batara mulai berwajah
bengis akibat
pertengkaraan dia dengan
ketiga temannya.
2. "Apalagi jika
badannya yang
gempal mulai
bergumpal-gumpal,
niscaya sebagai
manusia ia tampak
berbahaya."
Penjelasan :
Dari kutipan di atas
menunjukkan fisik tubuh
Batara yang tubuhnya
gempal, tambah
bergumpal-gumpal akibat
bertengkar dengan ketiga
temannya.
3. "Lalu sepanjang
hari ia akan terus
memasang
tampang tukang
jagal seram, masam
seperti cuka apel,
diam membisu
seperti talenan,
menghunus
pandangan tajam
yang mengiris-iris
seperti pisau
daging."
Penjelasan :
Dari kutipan di atas
menjelaskan bahwa
setelah bertengkar, Batara
sepanjang hari akan
memasang tampang
tukang jagal seram dan
masam seperti cuka apel.
4. "Batara tampak
agak kurus akhir-
akhir ini."
Dari kutipan di atas, Batara
tampak agak kurus akibat
berbicara tentang orang-
orang yang meninggal
karena senang dan tentang
anak-anak yang kurang gizi
yang mana berita-beritanya
sering muncul di televisi.
Sebagai sosok yang
menjunjung tinggi
makanan, ia jadi tersentak,
lalu sedih berkepanjangan.
Syam Syam merupakan - Karakteristik tokoh :
anggota penikmat 1. "Menurut Batara,
smokol dan seorang peri yang berasal
yang pencuriga dari Manado ini
adalah penguasa
dan pelindung
smokol (makan
tanggung di antara
sarapan pagi dan
makan siang),
pemasak smokol
(Batara sendiri),
dan
kelompensmokol
(kelompok
penikmat smokol;
beranggotakan
Batara, Syam, si
kembar Anya dan
Ale)."
Penjelasan :
Dari kutipan di atas
menunjukkan bahwa Syam
adalah seorang anggota
penikmat smokol yang
selalu mengadakan acara
smokol juga.
2. "Tapi ketiga
temannya curiga
peri ini cuma hasil
rekaannya."
3. "Kamu jual jiwa
kepada setan. Atau
jual diri?"
Penjelasan :
Dari kutipan di atas
menunjukkan bahwa Syam
adalah seorang yang mudah
curiga karena tidak percaya
kepada Batara.
Fisik :
-
Tidak di tampilkan
mengenai fisik dari Syam.
Anya Anya merupakan Kembar 1. Menurut Batara,
seorang anggota peri yang berasal
penikmat smokol, dan dari Manado ini
ia juga seorang yang adalah penguasa
pencuriga dan pelindung
smokol (makan
tanggung di antara
sarapan pagi dan
makan siang),
pemasak smokol
(Batara sendiri),
dan
kelompensmokol
(kelompok
penikmat smokol;
beranggotakan
Batara, Syam, si
kembar Anya dan
Ale).
Penjelasan :
Dari kutipan di atas
menunjukkan bahwa Anya
merupakan anggota
kelompensmokol yang
artinya anggota penikmat
smokol.
2. "Tapi ketiga
temannya curiga
peri ini cuma hasil
rekaannya."
Penjelasan :
Dari kutipan di atas, Anya
termasuk orang yang
mudah curiga kepada
Batara karena mengira
bahwa smokol itu hasil
rekaan Batara.
Fisik :
1. " Menurut Batara,
peri yang berasal
dari Manado ini
adalah penguasa
dan pelindung
smokol (makan
tanggung di antara
sarapan pagi dan
makan siang),
pemasak smokol
(Batara sendiri),
dan
kelompensmokol
(kelompok
penikmat smokol;
beranggotakan
Batara, Syam, si
kembar Anya dan
Ale). "
Penjelasan :
Dari kutipan di atas, Anya
merupakan kembaran dari
Ale.
Ale Ale merupakan Kembar 1. " Menurut Batara,
anggota penikmat peri yang berasal
smokol dan juga ia dari Manado ini
seorang yang adalah penguasa
pencuriga dan pelindung
smokol (makan
tanggung di antara
sarapan pagi dan
makan siang),
pemasak smokol
(Batara sendiri),
dan
kelompensmokol
(kelompok
penikmat smokol;
beranggotakan
Batara, Syam, si
kembar Anya dan
Ale). "
Penjelasan :
Dari kutipan di atas, Ale
merupakan anggota
kelompensmokol yaitu
kelompok penikmat
smokol.
2. "Tapi ketiga
temannya curiga
peri ini cuma hasil
rekaannya."
Penjelasan :
Dari kutipan di atas, Ale
merupakan sosok yang
mudah curiga kepada
Batara karena mengira
smokol adalah hasil rekaan
Batara.
Fisik :
Menurut Batara, peri yang
berasal dari Manado ini
adalah penguasa dan
pelindung smokol (makan
tanggung di antara sarapan
pagi dan makan siang),
pemasak smokol (Batara
sendiri), dan
kelompensmokol
(kelompok penikmat
smokol; beranggotakan
Batara, Syam, si kembar
Anya dan Ale).
Penjelasan :
Dari kutipan di atas
menunjukkan bahwa Anya
merupakan anggota
kelompensmokol yang
artinya anggota penikmat
smokol.
"Tapi ketiga temannya
curiga peri ini cuma hasil
rekaannya."
Penjelasan :
Dari kutipan di atas, Anya
termasuk orang yang
mudah curiga kepada
Batara karena mengira
bahwa smokol itu hasil
rekaan Batara.
Fisik :
1. " Menurut Batara,
peri yang berasal
dari Manado ini
adalah penguasa
dan pelindung
smokol (makan
tanggung di antara
sarapan pagi dan
makan siang),
pemasak smokol
(Batara sendiri),
dan
kelompensmokol
(kelompok
penikmat smokol;
beranggotakan
Batara, Syam, si
kembar Anya dan
Ale). "
Penjelasan :
Dari kutipan di ataa, Ale
merupakan kembaran dari
Anya.
Penokohan
Nama Tokoh Watak Psikis Bukti Kutipan
Batara 1. Cermat 1. Tulus Watak :
2. Iba 2. Gembira 1. "Batara alias
3. Keji Batre gemar
menyelenggarak
an smokol
secara cermat
dan meriah
sebulan sekali,
atau dua kali—
tergantung
ilham yang
didapatnya dari
kunjungan
sesekali Peri
Smokol. "
Penjelasan :
Dari kutipan di atas,
Batara merupakan
orang yang cermat
dalam
menyelenggarakan
smokol.
2. "Dengan iba ia
bicara tentang
’cewek-cewek
kurus kering
yang tampak
kelaparan itu,
selalu
membangkitkan
naluri
kekokianku
untuk memberi
mereka makan."
Penjelasan :
Dari kutipan di atas,
Batara merasa iba
karena bercerita tentang
cewek-cewek yang
kelaparan dan nalurinya
ingin memberi mereka
makanan.
3. "Mereka juga
mencela secara
semena-mena
dan keji,
khususnya
perkara estetika
meja makan."
Penjelasan :
Dari kutipan di atas,
Batara dan kawan-
kawannya suka
mencela semena-mena
dan keji, khususnya
perkara estetika meja
makan.
Psikis :
1. "Mereka tahu
bahwa di balik
aksi-aksi
ngambek sok
bengis itu,
sesungguhnya
Bataralah orang
yang paling
tulus dalam
cinta kasihnya,
tanpa tahu
mengapa atau
untuk apa,
bahkan tak
hendak
bertanya. "
Penjelasan :
Dari kutipan di atas,
Batara merupakan
orang yang paling tulus
dalam cinta kasihnya di
persahabatan mereka.
2. "Ia manusia
paling riang
gembira
sekelompok ini,
bahkan sekota
Jakarta."
Penjelasan :
Dari kutipan di atas,
Batara adalah sosok
yang paling gembira di
kelompensmokol
bahkan sekota Jakarta.
Syam 1. Keji dan 1. Perasa Watak :
semena- mena "Mereka juga
mencela secara
semena-mena
dan keji,
khususnya
perkara estetika
meja makan."
Penjelasan :
Dari kutipan di atas,
Syam dan kawan-
kawannya suka
mencela semena-mena
dan keji, khususnya
perkara estetika meja
makan.
Psikis :
1. "Mereka tahu
bahwa di balik
aksi-aksi
ngambek sok
bengis itu,
sesungguhnya
Bataralah orang
yang paling
tulus dalam
cinta kasihnya,
tanpa tahu
mengapa atau
untuk apa,
bahkan tak
hendak
bertanya. "
Penjelasan :
Dari kutipan di atas,
Syam merupakan sosok
yang perasa karena tahu
jika Bataralah yang
paling tulus dalam
kasih cintanya.
Anya 1. Keji dan tidak 1. Perasa Watak :
sopan "Mereka juga
mencela secara
semena-mena
dan keji,
khususnya
perkara estetika
meja makan."
Penjelasan :
Dari kutipan di atas,
Anya dan kawan-
kawannya suka
mencela semena-mena
dan keji, khususnya
perkara estetika meja
makan.
Psikis :
1. "Mereka tahu
bahwa di balik
aksi-aksi
ngambek sok
bengis itu,
sesungguhnya
Bataralah orang
yang paling
tulus dalam
cinta kasihnya,
tanpa tahu
mengapa atau
untuk apa,
bahkan tak
hendak
bertanya. "
Penjelasan :
Dari kutipan di atas,
Anya merupakan sosok
yang perasa karena
tahu jika Bataralah
yang paling tulus dalam
kasih cintanya.
Ale 1. Keji dan suka 1. Perasa Watak :
mencela 1. "Mereka juga
mencela secara
semena-mena
dan keji,
khususnya
perkara estetika
meja makan."
Penjelasan :
Dari kutipan di atas,
Ale dan kawan-
kawannya suka
mencela semena-mena
dan keji, khususnya
perkara estetika meja
makan.
Psikis :
1. "Mereka tahu
bahwa di balik
aksi-aksi
ngambek sok
bengis itu,
sesungguhnya
Bataralah orang
yang paling
tulus dalam
cinta kasihnya,
tanpa tahu
mengapa atau
untuk apa,
bahkan tak
hendak
bertanya. "
Penjelasan :
Dari kutipan di atas,
Ale merupakan sosok
yang perasa karena tahu
jika Bataralah yang
paling tulus dalam
kasih cintanya.
Setting
No. Setting Bukti Kutipan
1. Tempat 1. Manado 1. Ale yang pernah ke Manado,
2. Halaman melaporkan sesungguhnya
belakang orang Minahasa menyantap
3. Rumah Batara tinutuan (bubur Manado)
4. Di bawah meja beserta pisang goreng dan teri
makan goreng yang ditaruh di tepi
piring dan dicelup-celupkan
ke dalam dabu-dabu (sambal
yang pedas bukan main hingga
bisa bikin orang menangis
diam-diam, kuping
berdenging, dan untuk
beberapa yang rentan, niscaya
berhalusinasi).
2. Suatu kali ia sibuk menggelar
tikar di halaman belakang,
tema hari itu adalah piknik
makan patita ala Ambon di
pinggir pantai imajiner.
3. Mereka tiba di rumah Batara
pada pukul sembilan pagi,
smokol terhidang pada pukul
sepuluh, lalu sedikit minum-
minum pukul satu-dua siang
sambil menunggu hidangan
kue-kue kecil dan kopi pada
pukul empat sore, makan
malam pasca-smokol pukul
enam, minum-minum dengan
camilan sekadarnya pada
pukul 10 malam, lalu makan
pasca-pasca-smokol di tengah
malam.
4. Kini bayang-bayang lapar
yang telah selalu tercegat di
bawah meja makan itu datang
menerjang di depan mata
Batara. Berdiam di dalam
pelupuk matanya yang
sembab, namun nyalang,
menatap negeri ini.
2. Waktu 1. Hari Sabtu 1. Mereka selalu menanti-
2. Pukul sembilan nantikan hari Sabtu terjadinya
pagi peristiwa makan besar ini.
3. Pukul empat sore 2. Mereka tiba di rumah Batara
4. Tengah malam pada pukul sembilan pagi,
5. Sepanjang hari smokol terhidang pada pukul
6. Akhirat sepuluh, lalu sedikit minum-
minum pukul satu-dua siang
sambil menunggu hidangan
kue-kue kecil dan kopi pada
pukul empat sore, makan
malam pasca-smokol pukul
enam, minum-minum dengan
camilan sekadarnya pada
pukul 10 malam, lalu makan
pasca-pasca-smokol di tengah
malam.
3. Mereka tiba di rumah Batara
pada pukul sembilan pagi,
smokol terhidang pada pukul
sepuluh, lalu sedikit minum-
minum pukul satu-dua siang
sambil menunggu hidangan
kue-kue kecil dan kopi pada
pukul empat sore, makan
malam pasca-smokol pukul
enam, minum-minum dengan
camilan sekadarnya pada
pukul 10 malam, lalu makan
pasca-pasca-smokol di tengah
malam.
4. Mereka tiba di rumah Batara
pada pukul sembilan pagi,
smokol terhidang pada pukul
sepuluh, lalu sedikit minum-
minum pukul satu-dua siang
sambil menunggu hidangan
kue-kue kecil dan kopi pada
pukul empat sore, makan
malam pasca-smokol pukul
enam, minum-minum dengan
camilan sekadarnya pada
pukul 10 malam, lalu makan
pasca-pasca-smokol di tengah
malam.
5. Lalu sepanjang hari ia akan
terus memasang tampang
tukang jagal seram, masam
seperti cuka apel, diam
membisu seperti talenan,
menghunus pandangan tajam
yang mengiris-iris seperti
pisau daging.
6. ”Akhirat…. Aku curiga cita
rasa akhirat akan seperti ini.
Kenyang dan bahagia. Di
surga kita akan kenyang,
terlalu kenyang untuk
menginginkan. Buah zaitun
dan anggur yang sejangkauan
tangan, para bidadari yang
duduk bertelekan—terbuang
percuma. Sedang Tuhan YME
menyaksikan kita, manusia-
manusia yang terkesima, yang
bergumam-gumam heran, lho,
tak kepingin lagi. Maka Tuhan
bersabda, kenapa tak dari
dulu, wahai manusia.” Batre
bergumam
3. Suasana 1. Bahagia 1. Bagi mereka, santap smokol
2. Perasaan iba adalah hari ideal yang penuh
3. Senang kebahagiaan. Mereka selalu
4. Ceria menanti-nantikan hari Sabtu
5. Gembira terjadinya peristiwa makan
6. Berduka besar ini.
2. Dengan iba ia bicara tentang
’cewek-cewek kurus kering
yang tampak kelaparan itu,
selalu membangkitkan naluri
kekokianku untuk memberi
mereka makan’.
3. Batara bersendawa,
menghardik, membujuk-rayu,
atau tertawa senang dengan
mata berbinar jika ketiga
teman menghujani semesta
masakannya dengan puja-puji.
4. Sontak saja senyum dan energi
Batara pun kembali, dirinya
baterai ceria penuh terisi.
5. Bataralah orang yang paling
tulus dalam cinta kasihnya,
tanpa tahu mengapa atau
untuk apa, bahkan tak hendak
bertanya. Tak ada sesuatu apa
di balik cintanya; tanpa
pretensi, kalkulasi, atau imbal
balik. Semacam cinta yang
hanya bisa dipunyai anak-
anak. Ia manusia paling riang
gembira sekelompok ini,
bahkan sekota Jakarta.
Sesekali saja ia jatuh berduka.
6. Maka, suatu hari Batara
sungguh-sungguh jatuh
berduka. Duka paling nadir
yang pernah dirasanya. Batara
menangis tersedu-sedu sambil
memeluk satu pak tisu ukuran
jumbo di depan ketiga
temannya.
No. Amanat
1. Sesama manusia, kita harus saling berbagi kepada orang lain seperti yang dilakukan oleh
Brata.
2. Mementingkan kepentingan lain/bersama/masyarakat daripada kepentingan diri
sendiri/kelompok.
3. Sebagai makhluk sosial, kita harus peduli terhadap kondisi dan manusia yang lainnya
Unsur Ekstrinsik :
Rumah kayu berhalaman luas ini demikian riuh. Dedaunan kering tersapu angin bergulung
di tanah, menghadirkan bau legit setelah gerimis sempat menerpa. Inilah saat putri bungsuku,
Wardhani, akan berpamitan untuk pergi ke rumah suaminya. Para tetangga juga semua kerabat
berkumpul memberikan ucapan selamat dan salam perpisahan.
Suasana begitu riuh namun berlawanan dengan yang kurasakan di hatiku. Entah mengapa
jiwaku terasa sangat hampa. Sesak tanpa jelas sumber dan asal-usulnya. Tiga anak perempuan
yang kukandung selama sembilan bulan satu per satu sudah meninggalkanku. Luh Wayan, putri
pertamaku, sudah menikah dengan seorang bule yang menyukai kemampuan Luh menari. Greg
nama menantuku itu memboyong putriku ke Amerika. Negeri yang begitu jauhnya hingga
rasanya mustahil dapat kujangkau. Entah bagaimana rupa cucu pertamaku, aku sama sekali tidak
tahu. Luh hanya menelepon mengabarkan kelahiran anak pertamanya. Seorang bayi laki-laki
bertubuh montok dan berambut pirang.
Kemudian putri keduaku, Made Sari, menikah setahun kemudian. Suaminya seorang
wartawan asal Jakarta. Putri keduaku itu juga langsung diboyong ke Jakarta. Ia pun telah
melahirkan bayi pertamanya, bayi perempuan yang diberi nama Dina. Dan kini giliran Wardhani,
putri bungsuku. Hanya ialah yang akan tinggal di Bali setelah menikah. Ia masih akan tinggal
satu kampung denganku. Ia menikahi seorang guru sejarah yang baik hati.
Sebenarnya aku menyukai semua menantuku, yang selalu hormat dan bersikap baik padaku.
Namun tetap saja tidak mengurangi rasa sunyi yang tiba-tiba hadir. Besok, rumah ini akan jauh
lebih lengang. Kami, aku dan suamiku, hanya akan tinggal berdua saja.
Pikiranku melayang ke masa dua puluh tahunan yang lalu. Saat itu kutinggalkan rumahku
untuk menikah dengan Bli Gede. Aku menyalami Meme dan Bapa, yang melepasku dengan
linangan air di matanya. Masa itu baru berlalu sekejapan mata rasanya. Ternyata masa itu kini
menghadang begitu saja di depanku. Karma terjadi begitu cepat.
Anak-anakku telah pergi dengan langkah-langkah panjang dan pandangan mata lurus.
Mereka menjauh tanpa niat pun menoleh. Tak lebih tak kurang dengan yang kulakukan dulu.
Masa depan bagi mereka adalah sejuta harapan dan cita-cita. Sementara masa belakang bagi
mereka hanya ketuaan dan kesia-siaan. Dan di masa itulah kini aku berada.
Bli Gede sepertinya tidak peduli. Senyum cerah selalu ia tampakkan tiap kali anak-anaknya
kawin. Setelah itu ia akan kembali menekuni kebiasaan lamanya. Mengelus-ngelus dan
bercengkerama berlama-lama dengan ayam jago miliknya. Seakan-akan ayam itu menjadi teman
yang begitu akrab. Ayam jago yang pernah menjadi bintang di desa itu kini cuma bisa mengais-
ngais sisa kenangan tentang kejayaan di masa lalu. Sudah lama ayam itu tak mencium bau taji
dan darah lawan yang anyir. Dia hanya meringkuk tenang di pojokan dapur, memerhatikan
dengan nanar burung-burung dara yang melenggak-lenggok di halaman berebut butir beras yang
tercecer.
Bulan demi bulan berlalu, tahun demi tahun lewat. Sisa-sisa tenaga yang kumiliki semakin
menipis. Tangan dan kakiku tak lagi cekatan digunakan bekerja sebagai Juru Canang,
pekerjaanku selama 20 tahun terakhir. Aku lebih sering sakit daripada cukup sehat untuk bekerja.
Sementara Bli Gede mulai kehilangan ketajaman sebagai makelar tanah. Makin hari, makin
menipis penghasilan yang ia peroleh. Tabungan yang tadinya kami simpan untuk hari tua, pelan
namun pasti mulai kami kuras untuk biaya hidup sehari-hari. Belum lagi bila salah satu dari kami
jatuh sakit, bobol sudah simpanan hari tua kami itu.
Dengan kondisi keuangan yang demikian pas-pasan, tiba-tiba Bli Gede melontarkan sebuah
keinginan. Aku ingin ke Tanah Lot, Iluh. Ingin menikmati es kelapa muda sambil memandang
matahari tenggelam di ufuk Barat. Dengan ringan aku menolak keinginan mahal itu. Pergi ke
Tanah Lot dan menikmati kemewahan es kelapa muda di restoran ujung tebingnya jelas terlalu
mewah buat kami yang sudah renta ini. Umur kita masih panjang Bli, kita harus punya cukup
uang untuk terus hidup. Tahanlah keinginan mewahmu itu. Kataku saat itu.
Aku tergugu mendengarnya, namun aku tidak berdaya. Dengan mengelus punggungnya
yang telah mulai bungkuk, aku mencoba membuatnya mengerti. Hidup dan nyawa kita lebih
penting daripada keinginanmu itu. Sabarlah Bli. Kita memang tidak mempunyai banyak pilihan.
Ia memandangku dengan tatapan kecewa. Mintalah pada anak-anakmu, Luh. Mereka cukup kaya
untuk membantu kita.
Meminta bantuan anak-anak Hhh Mungkin belum ada hukum yang mengatur bahwa anak-
anak seharusnyalah bertanggung jawab pada orang tua yang telah mengasuh dan membesarkan
mereka. Karena itukah anak-anak yang telah kubesarkan dan kuperjuangkan seluruh hidupku
lupa bahwa mereka masih memiliki sepasang orang tua yang masih terus melanjutkan hidupnya.
Kata orang, mendidik anak seharusnya ikhlas, tidak mengharapkan balas budi. Namun
benarkah demikian Sungguhkah aku tidak boleh mengharapkan anak-anakku mencintaiku
sehingga mereka akan berusaha membahagiakanku seperti aku mencintai mereka sepenuh
hatiku. Kenyataan yang menghampar di depan mata membuat aku memutuskan berhenti
berharap.
Tak seorang pun dari ketiga anakku yang mengirimi kami uang. Tidak juga para menantu
yang dulu begitu manis saat melamar anak-anakku. Bukan hanya itu, mereka semakin lama
semakin jarang mengunjungiku. Tahun-tahun awal pernikahannya, hampir tiap hari Wardhani
mengunjungiku. Lama-lama menjadi seminggu sekali, terus semakin jarang menjadi sebulan
sekali, lebih jarang lagi menjadi setiap Galungan yang enam bulan sekali, dan sekarang ia hanya
datang setahun sekali. Padahal ia satu kampung denganku dan kami masih sering bertemu secara
tidak sengaja di beberapa tempat. Begitu juga Made Sari. Ia awalnya pulang tiga bulan sekali,
menjadi enam bulan sekali, kemudian setahun sekali setiap mudik lebaran. Sekarang ia hanya
pulang dua tahun sekali dengan alasan mengirit pengeluaran. Dan yang sulung lebih-lebih lagi.
Sejak menikah belum sekali pun ia pulang. Awalnya ia sering menelepon memberi kabar tentang
cucuku di sana, namun sekarang tidak pernah terdengar lagi kabarnya. Bertahun-tahun tidak
sekali pun ia menelepon kami.
Lupakan mereka. Kabarnya mereka sendiri sulit memenuhi kebutuhan hidup berumah
tangga yang semakin berat dewasa ini. Tentu saja berat untuk mereka yang tidak segan-segan
mengeluarkan uang berlebih-lebih demi kepuasan diri dan anak-anak tercinta. Namun tidak
untuk kedua orang tua mereka yang telah renta. Pengeluaran untuk ketuaan dan kesia-siaan
haruslah dipikirkan matang, kalau bisa dibuat seefisien mungkin, seolah-olah hidup mereka
selama ini efisien.
Hhh Buat apa aku mengutuki mereka yang lahir dari rahimku sendiri. Biar kuterima
kesendirian kami ini sebagai takdir yang tidak memerlukan alasan ataupun sebab musabab.
Aku mau menjual si jago Luh, biarlah ia dipotong orang. Aku sangat ingin ke Tanah Lot.
Kata suamiku suatu kali. Aku memandangnya lama. Mencari kesungguhan di matanya. Aku
tidak menyangka ia akan berkata begitu mengingat ia begitu sayang pada jago tua itu. Si jago
adalah ayam kebanggaan suamiku. Ia telah malang-melintang dari satu tajen ke tajen lainnya. Ia
memenangkan pertandingan demi pertandingan dengan luka-luka di tubuhnya. Ia harus menang,
karena kalah berarti mati. Jago tua itu begitu setia padamu. Kau tega menjualnya Bli Gede hanya
terdiam dan memandang nanar pada kepak-kepak sayap si jago yang terlihat di kejauhan.
Rupanya keinginan suamiku untuk pergi berjalan-jalan sudah tak tertahankan lagi. Setelah
rencananya urung ia lakukan saat itu, suatu kali aku memergoki Bli Gede dengan wajah murung
membuka kurungan si jago, mengambil ayam tua itu pelan-pelan, memasukkannya ke dalam
anyaman daun kelapa, kemudian bergegas hendak membawanya pergi. Namun entah apa yang
membuatnya tiba-tiba mengurungkan niat. Barangkali suamiku itu menjadi tidak tega ketika
matanya menumbuk mata si jago yang terlihat lelah dengan kantung matanya yang tebal, dan
mata yang me-ungu-sayu. Suamiku mungkin melihat cermin dirinya saat melihat si jago. Jagoan
yang ada di pengujung usia. Tanpa digorok pun, ayam itu sebentar lagi akan mati. Saat itu
matanya terlihat jengis, mungkin ia jerih juga membayangkan maut yang setiap saat bisa datang
menjemput. Maut yang kadang tak merasa perlu memberi alasan atas kedatangannya. Ketuaan,
kerentaan kami, telah cukup menjadi alasan yang masuk akal. Perlahan butiran air mengalir di
pipinya yang hitam dan keriput.
Hai jago, kau sungguh beruntung, tak mati seperti ayam aduan lain. Di mana taji menembus
jantung, mencabik-cabik perut. Terkapar sebagai ksatria atau kalah oleh ketidakberdayaan! Tiba-
tiba laki-laki tua itu menangis tersedu-sedu. Kadang kala kudengar raungan menyayat. Kali ini
air mata bahkan bercucuran deras.
Puluhan jago sepertimu mati dalam kalah dan tak berdaya. Tak berdaya menentukan jalan
hidupnya sendiri. Terpaksa menjadikan taji satu-satunya cara hidup. Ber-taji atau mati oleh taji.
Maafkan aku jago, aku telah membuat hidupmu pun menjadi kalah dan tak berdaya.
Mempertaruhkan hidupmu setiap saat untuk alasan yang tidak kau mengerti. Kamu memberi
tahu aku rasa kalah tak berdaya itu sekarang. Rasanya amat menyedihkan. Aku telah membuat
rasa menyedihkan pada puluhan jago aduan sepertimu !
Kamu tidak tahu, bukan ajal yang tiang takuti, atau keinginanku yang ke Tanah Lot itu.
Tapi tiang betul-betul baru tahu rasanya, saat ajal membuat kita merasa kalah dan tak berdaya.
Saat kerentaan membuat kalah dan tak berdaya. Aku telah memilihkan hidup penuh taruhan
nyawa, dengan ajal yang setiap saat datang menjemput kepada puluhan jago yang pernah aku
adu, kini si jago memberi tahu aku bagaimana rasanya.
Suamiku bercerita dengan air mata yang deras mengalir. Aku tak paham dalam tubuh
penyabung ayam yang kadang kala amat keras pada anak-anaknya tersimpan perasaan yang
demikian dalam. Dari dulu aku tidak suka melihat ia menyabung ayam dan membunuhi ayam-
ayam kekar itu, walau akhirnya aku menikmati masakan garang asem yang ia buat. Lupa sudah
aku pada ayam-ayam yang mengerang dan berdarah-darah seperti satria di medan laga itu.
Ah, semua rasa memang tampaknya muncul saat kerentaan tiba. Semua penyesalan,
kelemahan, ketakutan, kegalauan. Untungnya, aku tidak pernah terlalu perasa. Jadi kepergian
anak-anakku yang kubesarkan dengan tetesan keringat, tak terlalu menggangguku. Walau aku
kian merasa dilupakan dan ditinggalkan. Mengapa setelah tua kita menjadi tak berharga, tak
menarik, tak diinginkan. Mungkin dengan rasa yang samalah aku meninggalkan kedua orang
tuaku saat menikah. Dengan langkah-langkah panjang, tanpa sekali.
Analisis Cerpen
Sinopsis : Cerpen ini menceritakan tentang kehidupan suami istri di masa tuanya yang hanya
hidup berdua. Mereka berharap jika ketiga anak perempuannya yang sudah menikah, dapat
mengunjungi orang tuanya. Anak-anak perempuan mereka telah sibuk dengan kehidupan
masing-masing. Di masa senja mereka hidup dengan tabungan yang harus irit untuk mencukupi
kebutuhan. Berbeda ketika suaminya berjaya saat menjadi makelar dan penyabung ayam, hidup
berkecukupan. Namun ayam jago kebangaannya kini telah berkurang di kandang anyaman. Dan
ketika suami berkeinginan kuat pergi ke tanah lot, namun tidak ada uang. Uang yang ada harus
diirit untuk mencukupi kebutuhan yang hanya membuat istri menangis ketika mengingat
anaknya yang kini telah melupakan orang tuanya.
Unsur Intrinstik :
Tokoh
Nama Karakteristik Tokoh Fisik Bukti Kutipan
Tokoh
Ibu Iluh 1. Seorang Anak 1. Tua renta dan Karakteristik Tokoh :
2. Seorang istri sakit-sakitan 1. "Pikiranku melayang ke
3. Seorang ibu masa dua puluh tahunan
4. Juru canang yang lalu. Saat itu
kutinggalkan rumahku
untuk menikah dengan
Bli Gede. Aku
menyalami Meme dan
Bapa, yang melepasku
dengan linangan air di
matanya. "
Penjelasan :
Dari kutipan di atas, Ibu Iluh
merupakan seorang anak dari
Meme dan Bapa.
2. "Besok, rumah ini akan
jauh lebih lengang.
Kami, aku dan suamiku,
hanya akan tinggal
berdua saja."
Penjelasan :
Dari kutipan di atas, Iluh
merupakan seorang istri dari
Bli Gede.
3. "Tiga anak perempuan
yang kukandung selama
sembilan bulan satu per
satu sudah
meninggalkanku. "
Penjelasan :
Dari kutipan di atas, Iluh
merupakan seorang ibu dari
tiga anak perempuan.
4. "Tangan dan kakiku tak
lagi cekatan digunakan
bekerja sebagai Juru
Canang, pekerjaanku
selama 20 tahun
terakhir. Aku lebih
sering sakit daripada
cukup sehat untuk
bekerja. "
Penjelasan :
Dari kutipan di atas, Iluh
bekerja sebagai Juru Canang
selama 20 tahun terakhir.
Fisik :
1. "Aku lebih sering sakit
daripada cukup sehat
untuk bekerja."
Penjelasan :
Dari kutipan di atas
menunjukkan jika fisik dari Ibu
Iluh yang sering sakit-sakitan
daripada sehat untuk bekerja.
Bli Gede 1. Seorang suami 1. Pipi yang hitam Karakteristik tokoh :
2. Seorang ayah dan keriput 1. "Besok, rumah ini akan
3. Seorang jauh lebih lengang.
makelar tanah Kami, aku dan suamiku,
dan hanya akan tinggal
penyabung berdua saja."
Penjelasan :
Dari kutipan di atas, Bli Gede
merupakan suami dari Ibu Iluh.
2. "Meminta bantuan
anak-anak Hhh
Mungkin belum ada
hukum yang mengatur
bahwa anak-anak
seharusnyalah
bertanggung jawab
pada orang tua yang
telah mengasuh dan
membesarkan mereka. "
Penjelasan :
Dari kutipan di atas
menunjukkan jika Bli Gede
merupakan ayah dari ketiga
anaknya.
3. Sementara Bli Gede
mulai kehilangan
ketajaman sebagai
makelar tanah.
Penjelasan :
Dari kutipan di atas, Bli Gede
merupakan seorang makelar
tanah.
Fisik :
1. "Perlahan butiran air
mengalir di pipinya
yang hitam dan
keriput."
Penjelasan :
Dari kutipan di atas,
menunujukkan fisik dari Bli
Gede yaitu pipinya yang hitam
dan keriput.
Penokohan
Nama Tokoh Watak Psikis Bukti Kutipan
Ibu Iluh 1. Bijaksana 1. Sedih Watak :
2. Penyabar 2. Tidak berdaya 1. "Umur kita
3. Tegar masih panjang
4. Penyayang Bli, kita harus
punya cukup
uang untuk
terus hidup.
Tahanlah
keinginan
mewahmu itu.
Kataku saat
itu."
Penjelasan :
Watak dari Ibu Iluh
adalah bijaksana karena
jika dilihat dari kutipan
tersebut, Ibu Iluh yang
bijaksana dalam
menasihati agar Bli
Gede menahan
keinginan hidup
mewah.
2. "Dengan
mengelus
punggungnya
yang telah
mulai bungkuk,
aku mencoba
membuatnya
mengerti. Hidup
dan nyawa kita
lebih penting
daripada
keinginanmu
itu. Sabarlah
Bli."
Penjelasan :
Iluh merupakan
seorang yang penyabar.
Hal ini dibuktikan
dalan kutipan
bagaimana caranya ia
mengertikan Bli Gede
tentang kehidupannya
dan menyuruh Bil
Gede tetap sabar.
3. "Ah, semua rasa
memang
tampaknya
muncul saat
kerentaan tiba.
Semua
penyesalan,
kelemahan,
ketakutan,
kegalauan.
Untungnya, aku
tidak pernah
terlalu perasa.
Jadi kepergian
anak-anakku
yang
kubesarkan
dengan tetesan
keringat, tak
terlalu
menggangguku.
"
Penjelasan :
Ibu Iluh seorang yang
tegar. Hal ini
dibuktikan bahwa
kepergiaan anak-
anaknya tidak terlalu
menganggunya.
4. "Sebenarnya
aku menyukai
semua
menantuku,
yang selalu
hormat dan
bersikap baik
padaku."
Penjelasan :
Bu Iluh merupakan
seorang yang
penyayang. Hal ini
dibuktikan dalam
kutipan tersebut jika ia
menyukai atau sama
saja menyayangi
menantunya.
Psikis :
1. "Suasana begitu
riuh namun
berlawanan
dengan yang
kurasakan di
hatiku. Entah
mengapa
jiwaku terasa
sangat hampa.
Sesak tanpa
jelas sumber
dan asal-
usulnya. Tiga
anak
perempuan
yang
kukandung
selama
sembilan bulan
satu per satu
sudah
meninggalkank
u."
Penjelasan :
Dari kutipan di atas,
Iluh sedih karena anak
perempuannya satu per
satu sudah
meninggalkannya.
2. "Aku tergugu
mendengarnya,
namun aku
tidak berdaya."
Penjelasan :
Dari kutipan di atas,
Iluh tidak berdaya
ketika mendengarkan
suaminya yang sangat
ingin pergi ke Tanah
Lot dan menghabiskan
semasa tua di sana.
Namun, kondisi
keuangannya saat ini
tidak mencukupi.
Bli Gede 1. Tegas 1. Sedih Watak :
2. Tidak peduli 2. Menyesal 1. "Aku tak paham
3. Penyayang 3. Kecewa dalam tubuh
4. Keras kepala penyabung
ayam yang
kadang kala
amat keras pada
anak-anaknya
tersimpan
perasaan yang
demikian
dalam."
Penjelasan :
Dari kutipan di atas,
Iluh bercerira jika Bli
Gede yang kadang
keras pada anak-
anaknya tersimpan
perasaan yang
demikian dalam. Bil
Gede yang keras pada
anak-anaknya
menunjukkan jika Bil
Gede adalah seorang
yang tegas kepada
anak-anaknya.
2. "Bli Gede
sepertinya tidak
peduli. Senyum
cerah selalu ia
tampakkan tiap
kali anak-
anaknya
kawin."
Penjelasan :
Bli Gede tidak peduli
jika anak-anaknya
kawin dan
meninggalkan rumah.
Bli Gede selalu senyum
cerah, tidak seperti Iluh
yang selalu sedih jika
anak-anaknya kawin
dan meninggalkan
rumah.
3. "Mengelus-
ngelus dan
bercengkerama
berlama-lama
dengan ayam
jago miliknya.
Seakan-akan
ayam itu
menjadi teman
yang begitu
akrab."
Penjelasan :
Dari kutipan di atas,
menunjukkan jika Bli
Gede sosok yang
penyang kepada ayam
jagonya.
4. Namun rupanya
keinginan
suamiku bukan
keinginan main-
main. Ia seperti
perempuan
hamil yang
amat
mengidamkan
es kelapa muda-
Tanah Lot-nya.
Berkali-kali ia
lontarkan
kembali
keinginannya
itu. Bahkan
kadang kala
dengan suara
yang terdengar
memelas.
Penjelasan :
Bli Gede sosok yang
keras kepala karena
sangat ingin pergi ke
Tanah Lot.
Psikis :
1. "Tiba-tiba laki-
laki tua itu
menangis
tersedu-sedu.
Kadang kala
kudengar
raungan
menyayat. Kali
ini air mata
bahkan
bercucuran
deras."
Penjelasan :
Dari kutipan di atas,
Bli Gede sangat sedih
karena dulu ia sering
membuat ayam jago
yang lainnya mati tak
berdaya karena kalah
dalam perkelahian.
2. "Maafkan aku
jago, aku telah
membuat
hidupmu pun
menjadi kalah
dan tak
berdaya.
Mempertaruhka
n hidupmu
setiap saat
untuk alasan
yang tidak kau
mengerti. Kamu
memberi tahu
aku rasa kalah
tak berdaya itu
sekarang.
Rasanya amat
menyedihkan.
Aku telah
membuat rasa
menyedihkan
pada puluhan
jago aduan
sepertimu !"
Penjelasan :
Dari kutipan di atas,
Bli Gede menyesali
atas perbuatannya dulu
karena telah membuat
puluhan ayam jago
mati kalah tak berdaya.
3. "Sabarlah Bli.
Kita memang
tidak
mempunyai
banyak pilihan.
Ia
memandangku
dengan tatapan
kecewa."
Penjelasan :
Dari kutipan di atas,
Bli Gede tampak
kecewa dengan Iluh.
Setting
No. Setting Bukti Kutipan
1. Tempat 1. ke rumah suaminya 1. " Inilah saat putri
2. ke Amerika bungsuku, Wardhani, akan
3. ke Jakarta berpamitan untuk pergi ke
4. Tinggal di Bali rumah suaminya. "
5. Pergi ke Tanah Lot 2. " Luh Wayan, putri
pertamaku, sudah menikah
dengan seorang bule yang
menyukai kemampuan Luh
menari. Greg nama
menantuku itu memboyong
putriku ke Amerika. "
3. " Kemudian putri keduaku,
Made Sari, menikah
setahun kemudian.
Suaminya seorang
wartawan asal Jakarta. Putri
keduaku itu juga langsung
diboyong ke Jakarta. "
4. " Dan kini giliran
Wardhani, putri bungsuku.
Hanya ialah yang akan
tinggal di Bali setelah
menikah. Ia masih akan
tinggal satu kampung
denganku. "
5. " Dengan kondisi keuangan
yang demikian pas-pasan,
tiba-tiba Bli Gede
melontarkan sebuah
keinginan. Aku ingin ke
Tanah Lot, Iluh. "
2. Waktu 1. Besok 1. " Besok, rumah ini akan
2. Masa jauh lebih lengang. Kami,
3. Masa depan aku dan suamiku, hanya
4. 20 tahun terakhir akan tinggal berdua saja. "
2. " Masa itu baru berlalu
sekejapan mata rasanya.
Ternyata masa itu kini
menghadang begitu saja di
depanku. Karma terjadi
begitu cepat. "
3. " Masa depan bagi mereka
adalah sejuta harapan dan
cita-cita. "
4. "Masa depan bagi mereka
adalah sejuta harapan dan
cita-cita. "
5. " Kenapa sampai begitu Bli,
tenang saja, besok kita ke
Tanah Lot dan beli es
kelapa muda yang kamu
inginkan itu."
3. Suasana 1. Suasana begitu riuh 1. " Suasana begitu riuh
2. Sedih dan merasa namun berlawanan dengan
hampa yang kurasakan di hatiku."
3. Kecewa dan sedih 2. " Entah mengapa jiwaku
terasa sangat hampa. Sesak
tanpa jelas sumber dan asal-
usulnya. "
3. " Tak seorang pun dari
ketiga anakku yang
mengirimi kami uang.
Tidak juga para menantu
yang dulu begitu manis saat
melamar anak-anakku.
Bukan hanya itu, mereka
semakin lama semakin
jarang mengunjungiku. "
No. Amanat
1. Kita harus berbakti kepada orang tua dan tidak melupakan jasa orang tua yang telah
merawat kita sewaktu kecil.
2. Sejauh-jauh nya kita berada, kita harus menguhubungi orang tua dan menemuinya karena
itu merupakan bentuk kasih sayang juga.
3. Menjauhi perilaku yang tidak terpuji seperti menyabung ayam.
Unsur Ekstrinsik :
Mobil jemputan sekolah belum lagi berhenti, Beningnya langsung meloncat menghambur.
“Hati-hati!” teriak sopir. Tapi gadis kecil itu malah mempercepat larinya. Seperti capung ia
melintas halaman. Ia ingin segera membuka kotak pos itu. Pasti kartu pos dari Mama telah tiba.
Di kelas, tadi, ia sudah sibuk membayang-bayangkan: bergambar apakah kartu pos Mama kali
ini? Hingga Bu Guru menegurnya karena terus-terusan melamun.
Beningnya tertegun, mendapati kotak itu kosong. Ia melongok, barangkali kartu pos itu
terselip di dalamnya. Tapi memang tak ada. Apa Mama begitu sibuk hingga lupa mengirim kartu
pos? Mungkin Bi Sari sudah mengambilnya! Beningnya pun segera berlari berteriak, “Biiikkk…,
Bibiiikkk….” Ia nyaris kepleset dan menabrak pintu. Bik Sari yang sedang mengepel sampai
kaget melihat Beningnya terengah-engah begitu.
Tongkat pel yang dipegangnya nyaris terlepas, dan Bik Sari merasa mulutnya langsung
kaku. Ia harus menjawab apa? Bik Sari bisa melihat mata kecil yang bening itu seketika
meredup, seakan sudah menebak, karna ia terus diam saja. Sungguh, ia selalu tak tahan melihat
mata yang kecewa itu.
Marwan hanya diam ketika Bik Sari cerita kejadian siang tadi. “Sekarang, setiap pulang,
Beningnya selalu nanya kartu pos…” suara pembantunya terdengar serba salah. “Saya ndak tahu
mesti jawab apa…” Memang, tak gampang menjelaskan semuanya pada anak itu. Ia masih
belum genap enam tahun. Marwan sendiri selalu berusaha menghindari jawaban langsung bila
anaknya bertanya, “Kok kartu pos Mama belum datang ya, Pa?”
“Mungkin Pak Posnya lagi sakit. Jadi belum sempet ngater kemari…”
Lalu ia mengelus lembut anaknya. Ia tak menyangka, betapa soal kartu pos ini akan membuatnya
mesti mengarang-ngarang jawaban.
Pekerjaan Ren membuatnya sering bepergian. Kadang bisa sebulan tak pulang. Dari kota-
kota yang disinggahi, ia selalu mengirimkan kartu pos buat Beningnya. Marwan kadang meledek
istrinya, “Hari gini masih pake kartu pos?” Karna Ren sebenarnya bisa telepon atau kirim SMS.
Meski baru play group, Beningnya sudah pegang hape. Sekolahnya memang mengharuskan
setiap murid punya hand phone agar bisa dicek sewaktu-waktu, terutama saat bubaran sekolah,
untuk berjaga-jaga kalau adapenculikan.
“Kau memang tak pernah merasakan bagaimana bahagianya dapat kartu pos…”
Marwan tak lagi menggoda bila Ren sudah menjawab seperti itu. Sepanjang hidupnya,
Marwan tak pernah menerima kartu pos. Bahkan, rasanya, ia pun jarang dapat surat pos yang
membuatnya bahagia. Saat SMP, banyak temannya yang punya sahabat pena, yang dikenal lewat
rubrik majalah. Mereka akan berteriak senang bila menerima surat balasan atau kartu pos, dan
memamerkannya dengan membacanya keras-keras. Karena iri, Marwan pernah diam-diam
menulis surat untuk dirinya sendiri, lantas mengeposkannya. Ia pun berusaha tampak gembira
ketika surat yang dikirimkannya sendiri itu ia terima.
Ren sejak kanak sering menerima kiriman kartu pos dari Ayahnya yang pelaut. “Setiap kali
menerima kartu pos darinya, aku selalu merasa Ayahku muncul dari negeri-negeri yang jauh.
Negeri yang gambarnya ada dalam kartu pos itu…” ujar Ren. Marwan ingat, bagaimana Ren
bercerita, dengan suara penuh kenangan, “Aku selalu mengeluarkan semua kartu pos itu, setiap
Ayah pulang.” Ren kecil duduk di pangkuan, sementara Ayahnya berkisah keindahan kota-kota
pada kartu pos yang mereka pandangi. “Itulah saat-saat menyenangkan dan membanggakan
punya Ayah pelaut.” Ren merawat kartu pos itu seperti merawat kenangan. “Mungkin aku
memang jadul. Aku hanya ingin Beningnya punya kebahagiaan yang aku rasakan…”
Tak ingin berbantahan, Marwan diam. Meski tetap saja ia merasa aneh, dan yang lucu:
pernah suatu kali Ren sudah pulang, tetapi kartu pos yang dikirimkannya dari kota yang
disinggahi baru sampai tiga hari kemudian!
Ketukan di pintu membuat Marwan bangkit dan ia mendapati Beningnya berdiri sayu
menenteng kotak kayu. Itu kotak kayu pemberian Ren. Kotak kayu yang dulu juga dipakai Ren
menyimpan kartu pos dari Ayahnya. Marwan melirik jam dinding kamarnya. Pukul 11.20.
Beningnya menggeleng.
“Ke mana?”
“Kalu emang Pak Posnya sakit biar besok Beningnya aja yang ke rumahnya, ngambil kartu pos
dari Mama.”
Marwan hanya diam, bahkan ketika anaknya mulai mengeluarkan setumpuk kartu pos dari
kotak itu. Ia mencoba menarik perhatian Beningnya dengan memutar DVD Pokoyo, kartun
kesukaannya. Tapi Beningnya terus sibuk memandangi gambar-gambar kartu pos itu. Sudut kota
tua. Siluet menara dengan burung-burung melintas langit jernih. Sepeda yang berjajar di tepian
kanal. Pagoda kuning keemasan. Deretan kafe payung warna sepia. Dermaga dengan deretan
yacht tertambat. Air mancur dan patung bocah bersayap. Gambar pada dinding goa. Bukit karang
yang menjulang. Semua itu menjadi tampak lebih indah dalam kartu pos. Rasanya, ia kini mulai
dapat memahami, kenapa seorang pengarang bisa begitu terobsesi pada senja dan ingin
memotongnya menjadi kartu pos buat pacarnya.
Andai ada Ren, pasti akan dikisahkannya gambar-gambar di kartu pos itu hingga Beningnya
tertidur. Ah, bagaimanakah ia mesti menjelaskan semuanya pada bocah itu?
“Bilang saja Mamanya pergi…” kata Ita, teman sekantor, saat Marwan makan siang bersama.
Marwan masih ngantuk karena baru tidur menjelang jam lima pagi, setelah Beningnya pulas,
Itulah. Ia selalu merasa bingung, dari mana mesti memulainya? Marwan menatap Ita, yang
tampak memberi isyarat agar ia melihat ke sebelah. Beberapa rekan sekantornya terlihat tengah
memandang mejanya dengan mata penuh gosip. Pasti mereka menduga ia dan Ita….
“Atau kamu bisa saja tulis kartu pos buat dia. Seolah-olah itu dari Ren….”
Mobil jemputan belum lagi berhenti ketika Marwan melihat Beningnya meloncat turun.
Marwan mendengar teriakan sopir yang menyuruh hati-hati, tetapi bocah itu telah melesat
menuju kotak pos di pagar rumah. Marwan tersenyum. Ia sengaja tak masuk kantor untuk
melihat Beningnya gembira ketika mendapati kartu pos itu. Kartu pos yang diam-diam ia kirim.
Dari jendela ia bisa melihat anaknya memandangi kartu pos itu, seperti tercekat, kemudian
berlarian tergesa masuk rumah.
“Ini bukan kartu pos dari Mama!” Jari mungilnya menunjuk kartu pos itu. “Ini bukan tulisan
Mama…”
Marwan tak berani menatap mata anaknya, ketika Beningnya terisak dan berlari ke
kamarnya. Bahkan membohongi anaknya saja ia tak bisa! Barangkali memang harus berterus
terang. Tapi bagaimanakah menjelaskan kematian pada anak seusianya? Rasanya akan lebih
mudah bila jenazah Ren terbaring di rumah. Ia bisa membiarkan Beningnya melihat Mamanya
terakhir kali. Membiarkannya ikut ke pemakaman. Mungkin ia akan terus-terusan menangis
karena merasakan kehilangan. Tetapi rasanya jauh lebih mudah menenangkan Beningnya dari
tangisnya ketimbang harus menjelaskan bahwa pesawat Ren jatuh ke laut dan mayatnya tak
pernah ditemukan.
Ketukan gugup di pintu membuat Marwan bergegas bangun. Dua belas lewat, sekilas ia
melihat jam kamarnya.
“Beningnya…”
Bergegas Marwan mengikuti Bik Sari. Dan ia tercekat di depan kamar anaknya. Ada cahaya
terang keluar dari celah pintu yang bukan cahaya lampu. Cahaya yang terang keperakan. Dan ia
mendengar Beningnya yang cekikikan riang, seperti tengah bercakap-cakap dengan seseorang.
Hawa dingin bagai merembes dari dinding. Bau wangi yang ganjil mengambang. Dan cahaya itu
makin menggenangi lantai. Rasanya ia hendak terserap amblas ke dalam kamar.
“Beningnya! Beningnya!” Marwan segera menggedor pintu kamar yang entah kenapa
begitu sulit ia buka. Ia melihat ada asap lembut, serupa kabut, keluar dari lubang kunci. Bau
sangit membuatnya tersedak. Lebih keras dari bau amoniak. Ia menduga terjadi kebakaran dan
makin panik membayangkan api mulai melahap kasur.
Entahlah berapa lama ia menggedor, ketika akhirnya cahaya keperakan itu seketika lenyap
dan pintu terbuka. Beningnya berdiri sambil memegangi selimut. Segera Marwan menyambar
mendekapnya. Ia melongok ke dalam kamar, tak ada api, semua rapi. Hanya kartu pos-kartu pos
yang berserakan.
“Tadi Mama datang,” pelan Beningnya bicara. “Kata Mama tukang posnya emang sakit,
jadi Mama mesti nganter kartu posnya sendiri….”
Beningnya mengulurkan tangan. Marwan mendapati sepotong kain serupa kartu pos dipegangi
anaknya. Marwan menerima dan mengamati kain itu. Kain kafan yang tepiannya kecoklatan
bagai bekas terbakar.
Singapura-Yogyakarta, 2008
Analisis Cerpen
Sinopsis : Cerpen "Kartu Pos dari Surga" ini menceritakan tentang seorang anak yang
bernama Beningnya yang selalu menunggu kotak pos dari Ibunya, yaitu Ren. Beningnya sangat
merindukan ibunya dan ia setiap hari menunggu surat pos dari ibunya. Pekerjaan Ren yang
sering berpergian sehingga ia hanya bisa pulang sebulan sekali. Ayahnya bening, Marwan sangat
sedih melihat anaknya. Ia bingung ingin menjelaskan tentang kematian Ren sehingga Marwan
harus berbohong dan mengarang cerita jika petugas pos nya sedang sakit, jadi tidak bisa
mengantarkan surat kiriman dari Mama.
Unsur Intrinsik :
Tokoh
Penjelasan :
Fisik :
Penjelasan :
Penjelasan :
Penjelasan :
Fisik :
Penjelasan :
Penjelasan :
Fisik :
Penjelasan :
Fisik :
Penjelasan :
Psikis :
Penjelasan :
Penjelasan :
Penjelasan :
Penjelasan :
Penjelasan :
Psikis :
Penjelasan :
Penjelasan :
Penjelasan :
Penjelasan :
Psikis :
Penjelasan :
Penjelasan :
Penjelasan :
Penjelasan :
Psikis :
Penjelasan :
Penjelasan :
Psikis :
Penjelasan :
3. Kejadian 3 Alur Maju " Marwan hanya diam ketika Bik Sari cerita
kejadian siang tadi. “Sekarang, setiap
Marwan bingung pulang, Beningnya selalu nanya kartu
ingin menjelaskan pos…” suara pembantunya terdengar serba
apa kepada salah. “Saya ndak tahu mesti jawab apa…”
anaknya dan Memang, tak gampang menjelaskan
berusaha semuanya pada anak itu. Ia masih belum
menghindari genap enam tahun. Marwan sendiri selalu
pertanyaan berusaha menghindari jawaban langsung
anaknya bila anaknya bertanya, “Kok kartu pos
Mama belum datang ya, Pa? “Mungkin Pak
Posnya lagi sakit. Jadi belum sempet ngater
kemari…”
8. Kejaidian 8 Alur Maju “Ini bukan kartu pos dari Mama!” Jari
mungilnya menunjuk kartu pos itu. “Ini
Beningnya bukan tulisan Mama…” Marwan tak berani
kecewan karena menatap mata anaknya, ketika Beningnya
tahu jika kartu pos terisak dan berlari ke kamarnya. "
itu bukan dari
mamanya
Setting
Singapura-Yogyakarta, 2008
No. Amanat
1. Jangan berbohong dan menyembunyikan sesuatu. Karena suatu saat kebohongan itu pasti
akan terungkap.
Unsur Ekstrinsik :
1. Agama " Marwan tak berani menatap mata anaknya, ketika Beningnya terisak
dan berlari ke kamarnya. Bahkan membohongi anaknya saja ia tak bisa!
Barangkali memang harus berterus terang. Tapi bagaimanakah
menjelaskan kematian pada anak seusianya? Rasanya akan lebih mudah
bila jenazah Ren terbaring di rumah. Ia bisa membiarkan Beningnya
melihat Mamanya terakhir kali. Membiarkannya ikut ke pemakaman.
Mungkin ia akan terus-terusan menangis karena merasakan kehilangan.
Tetapi rasanya jauh lebih mudah menenangkan Beningnya dari
tangisnya ketimbang harus menjelaskan bahwa pesawat Ren jatuh ke
laut dan mayatnya tak pernah ditemukan. "
Penjelasan :
2. Adat " Pekerjaan Ren membuatnya sering bepergian. Kadang bisa sebulan tak
(Kebudayaan) pulang. Dari kota-kota yang disinggahi, ia selalu mengirimkan kartu pos
buat Beningnya. Marwan kadang meledek istrinya, “Hari gini masih
pake kartu pos?” Karna Ren sebenarnya bisa telepon atau kirim SMS. "
Penjelasan :
Dilihat dari kebiasaan Ren yang selalu mengirimkan kartu pos kepada
Beningnya, menunjukkan bahwa kutipan tersebut termasuk ke dalam
unsur ektrinsik adat atau kebiasaan.
3. Sosial "Saat SMP, banyak temannya yang punya sahabat pena, yang dikenal
lewat rubrik majalah. Mereka akan berteriak senang bila menerima surat
balasan atau kartu pos, dan memamerkannya dengan membacanya
keras-keras. Karena iri, Marwan pernah diam-diam menulis surat untuk
dirinya sendiri, lantas mengeposkannya. Ia pun berusaha tampam
gembira ketika surat yang dikirimkannya sendiri itu ia terima."
Penjelasan :
4. Politik -
5. Ekonomi " Pekerjaan Ren membuatnya sering bepergian. Kadang bisa sebulan tak
pulang. "
Penjelasan :