Anda di halaman 1dari 15

Filsafat Ketuhanan Postmodern:

Tuhan dalam Pandangan David Ray Griffin

Pendahuluan
Manusia mempunyai hasrat untuk memahami Tuhan. Karena hasrat
yang besar untuk memiliki pengetahuan tentang Tuhan, maka pertanyaan-
pertanyaan berkaitan dengan Tuhan muncul. Dalam hal itu, lahirlah filsafat
ketuhanan yang merupakan pemikiran objektif, sistematik, dan mendasar
tentang Tuhan yang mempunyai tujuan untuk mempertanggungjawabkan
secara rasional kepercayaan terhadap Tuhan.
Pemikiran tentang Tuhan sudah dibahas mulai dari zaman Yunani
sampai pada zaman modern. Dalam tulisan ini penulis akan menjelaskan
pandangan Tuhan dalam postmodern menurut David Ray Griffin. Pertanyaan
utama dalam tulisan ini adalah bagaimana Tuhan dalam pandangan
postmodern menurut Griffin. Untuk menjelaskan pokok utama dalam tulisan
ini kelompok akan menjelaskan mulai dari biografi David Ray Griffin.
Selanjutnya kelompok akan menjelaskan mengenai postmodernisme. Setelah
itu kelompok akan menjelaskan pemikiran tentang Tuhan menurut Griffin,
yang di dalamnya terdapat empat bagian antara lain: hilangnya kepercayaan
terhadap Tuhan dalam dunia modern, konsekuensi hilangnya kepercayaan
adanya Tuhan, teisme postmodern dengan konsepnya tentang teisme
naturalistik, kejahatan dan teisme Postmodern. Dan yang terakhir adalah
penutup.
Sekilas Tentang David Ray Griffin
David Ray Griffin lahir pada 8 Agustus 1939, (sekarang berusia 80
tahun). Ia merupakan profesor filsafat agama dan teologi Amerika Serikat
yang sudah pensiun. Griffin tumbuh di sebuah kota kecil di Oregon. Ketika
mendapatkan gelar master dalam bidang konseling dari University of Oregon,
Griffin menghadiri serangkaian kuliah yang disampaikan oleh Paul Tillich di
Graduate Theological Union di Berkeley, California. Pada saat ini, Griffin
membuat keputusan untuk berfokus pada teologi filosofis. Dia akhirnya
kuliah di Claremont Graduate University tempat ia menerima gelar Ph.D,
pada tahun 1970.
Sebagai mahasiswa di Claremont, Griffin awalnya tertarik pada agama-
agama Timur, khususnya Vedanta. Namun, ia mulai menjadi teolog proses
ketika menghadiri seminar John B. Cobb tentang filsafat Whitehead. Setelah
mengajar teologi dan agama-agama Timur di Universitas Dayton, Griffin
mulai menghargai aspek postmodern khas pemikiran Whitehead. Pada tahun
1973, Griffin kembali ke Claremont untuk mendirikan, bersama Cobb, Pusat
Studi Proses di Sekolah Teologi Claremont yang merupakan pusat penelitian
di Sekolah Teologi Claremont.
Ketika sedang cuti penelitian pada 1980-81 di Universitas Cambridge
dan Berkeley, perbedaan antara modernitas dan postmodernitas menjadi pusat
pekerjaannya. Banyak tulisannya dikhususkan untuk mengembangkan
proposal postmodern untuk mengatasi konflik antara agama dan ilmu
pengetahuan modern.
Setelah serangan 11 September, David Ray Griffin memindahkan
fokusnya dari masalah filsafat dan agama ke masalah politik dan sejarah,
khususnya ekspansionisme dan imperialisme Amerika. Terkait dengan ini,
Griffin telah menerbitkan sejumlah buku mengenai serangan 11 September
yang meyakini bahwa terdapat konspirasi yang melibatkan pemerintah
Amerika Serikat, misalnya The New Pearl Harbour Revisited: 9/11, the
Cover-up and the Expose.
Sekilas Tentang Postmodern
Menurut Bertens, untuk memahami postmodernisme pertama-tama
perlu dipahami yang dimaksud dengan modernisme sebagaimana dipahami
oleh kaum postmodernis.[2] Modernisme tidak dipahami pertama-tama dari
sudut periodisasi tetapi sebagai sebuah pemikiran, cara atau model berpikir.
Menurut Lyotard, modernitas merupakan proyek intelektual dalam sejarah
dan kebudayaan barat yang mencari kesatuan di bawah bimbingan suatu ide
pokok yang terarah kepada kemajuan. Kamajuan dalam hal ini dilihat
sebagai sebuah emansipasi atau pembebasan manusia dari kebodohan,
kemiskinan, perbudakan.[3] Modernitas ditandai dengan kisah-kisah besar
yang mempunyai fungsi untuk mengarahkan serta menjiwai masyarakat
modern. Kisah-kisah itu merupakan sebuah gagasan yang akan dicapai pada
masa depan dan bersifat universal, yang berlaku dimana-mana.
Postmodernisme tidak menunjuk pada suatu periode atau era yang
ditempatkan sebagai era baru sesudah era modern yang di dalamnya segala
sesuatu didelegitimasikan tetapi merujuk pada ketidakpercayaan terhadap
segala bentuk narasi besar, penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan
segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi. Pada zaman ini ciri khasnya
adalah bahwa kisah-kisah besar itu sudah kehilangan daya pikatnya dan
karena itu mulai ditinggalkan. Ide Pokok yang bersifat universal yang ingin
dicapai tidak lagi berlaku. Kepercayaan manusia terhadap ide-ide besar serta
cita-cita modernitas telah luntur. Secara singkat postmodernisme merupakan
segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas
metafisika pada umumnya.
Postmodernisme sebagai sebuah aliran pemikiran bukan pemikiran
yang bersifat tunggal. Menurut Bambang Sugiharto, postmodern dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian besar. Pertama pemikiran yang masuk
dalam kelompok dekonstruktif. Para filsuf dalam kelompok ini antara lain,
Derrida, Lyotard, Foucault, Rorty, dll. Kedua, kelompok yang cenderung
konstruktif dan revisioner. Di dalam kelompok ini terdapat Heidegger,
Gadamer, Ricoeur, Mary Hesse, David R Griffin, dll. Lebih lanjut ia
menjelaskan, pemikiran postmodern dapat dibagi menjadi tiga
pemikiran. Pertama, pemikiran yang dalam rangka merevisi kemordenan
cenderung kembali ke pola pikir pramodern. Kedua, pemikiran-pemikiran
yang erat terkait dengan dunia sastra dan banyak berurusan dengan persoalan
linguistik. Kata kunci yang populer untuk kelompok ini adalah
dekonstruksi. Ketiga adalah pemikiran yang hendak merevisi modernisme,
jadi tidak menolak modernisme secara total, melainkan dengan memperbaiki
premis-premis modern di sana-sini saja.[4]
David Ray Griffin masuk dalam cara berpikir yang ketiga. Menurut
Griffin, ada dua ciri posmodernisme, menurut pemikiran yang
ketiga. Pertama, pendekatan ini tidak membawa anggapan-anggapan dasar
dunia modern ke konsekuensi logisnya yang bersifat anti pandangan dunia,
melainkan justru mempersoalkan dan merevisi sebagian anggapan dasar
tersebut. Kedua, dengan landasan tersebut, banyak kebenaran dan nilai
pandangan dunia pramodern yang digali kembali tetapi tidak kembali ke
dalam dunia tersebut karena nilai-nilai dan kebenaran pandangan modern
tetap banyak dipertahankan.[5]
Pemikiran Griffin Tentang Tuhan
a. Hilangnya Kepercayaan terhadap Tuhan di Era Modern
Dalam era modern, ketidakpercayaan terhadap Tuhan sempat meluas.
Menurut Griffin penyebab utamanya karena konsep Tuhan tradisional
(pramodern) dan pandangan modernisme itu sendiri. Menurutnya,
modernisme mempunyai dua anggapan dasar. Pertama komitmen formal
terhadap kebebasan. Kedua, pandangan dunia yang bersifat mekanistik.
Menurut Griffin ada empat hal yang menjadi alasan terjadinya penolakan
terhadap Tuhan dalam dunia modern yang merupakan penjabaran lebih lanjut
dari dua penyebab tersebut.
Pertama, masalah kejahatan. Masalah ini tergambar dalam kebaikan dan
kekuasaan Tuhan berhadapan dengan kejahatan. Dalam padangan ini, Tuhan
memiliki semua kekuasaan. Kekuasaan makhluk adalah kekuasaan atas
karunia Tuhan, bukan kekuasaan yang inheren. Ia bisa diberikan tanpa syarat,
sekaligus juga bisa diambil kembali tanpa syarat. Muncul keyakinan bahwa
Tuhan bisa menyela dan melanggar hubungan kausal kejadian semua
makhluk sesuai kehendak-Nya. Erat kaitannya dengan sifat ini adalah bahwa
Tuhan menciptakan dunia dari ketiadaan mutlak (creatio ex nihillo). Karena
dunia tercipta dari ketiadaan, bukan dari materi, berarti pula bahwa tidak ada
kekuatan sedikitpun dari alam untuk menentang dan menyimpang dari tujuan
dan kehendak Tuhan. Dengan sifat “mahakuasa” Tuhan, tak ada apapun yang
jadi penghalang. Tuhan tidak perlu bekerja di dunia ini berdasarkan bujukan
atau panggilan tetapi dapat secara sepihak mengatur semua kejadian di dunia
ini. Tuhan dapat menciptakan suatu dunia tanpa penyakit,
kekeringan, pemerkosaan, perbudakan atau pembantaian suatu bangsa,
kelaparan, musnahnya harta dan jiwa karena banjir, gempa bumi, badai,
adanya virus yang melemahkan tubuh sebagai pembawa kematian yang
datang secara perlahan, dll. Hal ini mendorong meluasnya keyakinan bahwa
eksistensi Tuhan bertentangan dengan kejahatan yang ada dalam dunia. Para
pemikir menguji semua keyakinan dan pengalaman manusia dan dalam hal
ini Tuhan dinyatakan bersalah dan dianggap tidak ada.
Kedua, alasan kebebasan. Kesadaran bahwa manusia bebas dikaitkan
dengan keberadaan Tuhan yang hanya menghambat kebebasan manusia
untuk keluar dari segala pengekangan. Kebebasan intelektual, berupa bebas
menalar dan mengalami, terbentur oleh pendekatan secara otoriter yang
didasarkan pada gereja sebagai sumber yang tidak dapat salah yang datang
dari Tuhan. Penolakan terhadap Tuhan pada dasarnya adalah wujud dari
penolakan terhadap otoritarianisme gereja yang berdasar pada teologi
tradisional. Contoh terkenalnya adalah kisah Galileo Galilei.
Ketiga, pandangan modern yang materialistik dan mekanistik. Pandangan
materialistik adalah suatu pandangan wajar dalam kehidupan modern. Pikiran
dianggap sebagai tidak nyata. Ia hanyalah merupakan akibat dari aktivitas
otak yang tidak mempunyai kekuatan untuk berkarya. Hal ini tidak
memberikan landasan analogis untuk mengadaikan adanya suatu pekerja
kosmik yang bersifat spiritual. Demikian juga tidak masuk akal
bagaimana suatu pribadi spiritual dan bertujuan bisa bertindak memberi
rahmat dalam dunia yang sepenuhnya material. Juga tidak dapat diandaikan
atau ditolak berkaitan dengan jiwa. Hal ini terjadi karena alam pikir dunia
modern dibangun melalui dalil-dalil positivistik, empirik-rasional, dan
senantiasa berpaku pada ukuran. Karena itu alam semesta dianggap sebagai
sebentuk mekanistik. Adalah hal yang aneh jika jiwa dan badan saling
berhubungan satu sama lain dengan alasan teologi yakni oleh kehendak
Tuhan. Karena itu, jiwa, rohani, dan pengalaman spiritual seringkali diukur
secara kuantitas. Mengikuti cara berpikir ini misalnya Kant menjelaskan
bahwa Tuhan bukan objek ilmu pengetahuan, karena sifatnya yang demikian.
Dampaknya, Tuhan yang immaterial dianggap tidak ada.
Keempat, menolak kemungkinan pengalaman tentang Tuhan. Pemikiran
modern menekankan bahwa pemahaman yang benar didapatkan hanya
dengan organ pengindra. Pengetahuan manusia hanya dapat terjadi melalui
pendekatan yang bersifat empiris. Kepercayaan terhadap adanya Tuhan
dengan demikian perlu dijelaskan secara rasional dengan berdasar pada
pengalaman indrawi yang bersifat empiris. Dunia modern memahami bahwa
jiwa dan pikiran mempunyai persamaan.. Gagasan tentang keyakinan akan
persepsi non-inderawi ditolak secara apriori.
b. Konsekuensi Hilangnya Kepercayaan Adanya Tuhan
Menurut Griffin, hilangnya kepercayaan kepada Tuhan membawa
beberapa konsekuensi serius. Pertama, relativisme segala norma dan nilai.
Mengutip Dostoyevsky, ia mengatakan “jika Tuhan tidak ada maka
semuanya menjadi mungkin.” Menurut Griffin, di dalam gagasan generik
tentang Tuhan terkandung gagasan adanya suatu pribadi universal yang
bertujuan, yang tujuan universalnya dijadikan standar dan tolak ukur
keinginan dan tujuan mahkluk-mahkluk fana. Kehendak ilahi memberikan
tempat bagi segala norma dan nilai objektif untuk pikiran-pikiran fana.
Mengutip Nietzche dan Heidegger, ia mengatakan, “kematian Tuhan” berarti
hilangnya semua norma yang transenden itu. Dengan demikian secara pasti
tidak ada sesuatu yang dapat dikatakan lebih baik dari yang lain. Dengan kata
lain tidak ada perilaku yang disebut salah. Implikasinya manusia mempunyai
kebingungan karena tidak mempunyai standar moral yang bersifat objektif.
Kedua, nihilisme. Salah satu dimensi rasa percaya adanya Tuhan terletak
pada keyakinan bahwa dunia ini tidak seluruhnya tidak bermakna. Ada suatu
makna menyeluruh yang di dalamnya hidup masing-masing orang memiliki
maknanya yang khusus. Penolakan adanya Tuhan dengan demikian adalah
penolakan terhadap tujuan akhir di luar dunia yang berarti sutau konteks yang
bisa memberikan makna hidup kita. Hal ini membawa pengaruh sampai pada
relasi antara manusia. Dalam pandangan ini bagaimana menjalani hidup,
termasuk memperlakukan orang lain, menjadi tidak penting. Menurut Griffin,
manusia dengan pandangan ini yang memiliki kekuatan penghancur di
tangannya menghasilkan dunia yang sangat berbahaya.
Ketiga, materialisme. Menurut Griffin, manusia tidak berhenti menjadi
religius hanya karena mereka tidak beriman terhadap suatu objek keyakinan
religius tradisional. Menurut Griffin, meskipun terjadi penolakan tetapi masih
tetap ada dorongan religius dasar, yaitu keinginan untuk hidup selaras dengan
kekuatan dasar alam semesta. Pada dasarnya materialisme ateistik hanya
mengganti satu tujuan dasar religius dengan yang lain tetapi tidak
menghilangkannya. Dalam hal ini tesis Nietzche bahwa manusia adalah
binatang pemuja adalah tepat. Manusia hanya mengganti kepercayaan dari
yang satu ke yang lain tetapi tidak dapat menghilangkannya.
Keempat, militerisme dan nuklirisme. Ini merupakan konsekuensi lebih
lanjut dari materialisme. Keyakinan bahwa manusia hanya mahkluk-mahkluk
fisik yang hanya mempunyai pengalaman indrawi dengan tidak adanya
norma yang objektif memberikan kesimpulan bahwa kekuatan pemaksa
adalah satu-satunya cara untuk mempengaruhi orang lain maupun negara
lain. Menurut Griffin, hal ini mempunyai kekuatan religius yaitu usaha untuk
hidup selaras dengan kekuatan dasar alam semesta: kekuatan dasar alam
semesta bekerja dengan menggunakan kekuatan pemaksa yang
menghancurkan. Ungkapan puncak militerisme adalah nuklirisme.
Kelima, Neotribalisme. Tribalisme membedakan manusia berdasarkan
suku dan dapat melakukan sesuatu, berdasarkan norma moral, menurut apa
yang dianggap benar kepada orang lain untuk menguasainya. Dalam hal ini
suku sendiri di agungkan dari pada yang lainnya[6]. Penggambaran Tuhan
sebagai pencipta manusia merupakan sebuah usaha untuk mengantikan
tribalisme yang bersifat ekslusifis ke universalime. Menurut Griffin, perlu
diakui bahwa kehadiran agama kadang memperkuat identifikasi tribalisme.
Meskipun demikian, menurut Griffin, masih tetap dapat dipertahankan bahwa
tidak ada yang lebih bisa mengatasi kecenderungan tribalisme manusia
selain keyakinan bahwa kita berasal dari satu sumber ilahi yang sama, hidup
dalam lingkungan yang meyakini adanya satu realitas ilahi, dan memiliki
tujuan ilahi.
Terhadap persoalan-persoalan itu ada usaha untuk mengakui kembali
realitas Tuhan dalam dunia modern. Cara yang dilakukan adalah melalui
pendefenisian ulang dan pengasingan. Dapat dilihat misalnya Spinoza yang
mendefeniskan Tuhan sebagai alam secara keseluruhan, Imanuel kant yang
membedakan fungsi pikiran ke dalam dua bagian yaitu fungsi teoritis dan
praktis. Meskipun demikian menurut Griffin usaha yang dilakukan itu tidak
berhasil. Ketidakberhasilan itu terjadi bukan karena kesalahan mereka tetapi
karena memang dunia modern tidak memberikan tempat sama sekali atau
tidak cocok dengan gagasan tentang Tuhan.
c. Teisme Posmodern: Teisme Naturalistik
Dengan melihat adanya ketidakcocokan antara Tuhan dan modernitas,
satu-satunya cara untuk membahas Tuhan secara masuk akal hanyalah
dengan menentang pandangan dunia modern. Meskipun demikian, menurut
Griffin, penentangan itu tidak menghilangkan komitmen modernitas terhadap
kebebasan, pengalaman dan penalaran. Lebih lanjut Griffin mengatakan
bahwa tidak cukup mengembalikan kepercayaan kepada Tuhan hanya dengan
menolak modernitas karena rasa percaya kepada Tuhan juga datang dari
gagasan tradisional tentang Tuhan.
Teisme postmodernisme membedakan pandangan dunia ini dari teisme
supernaturalistik pramodernitas dan modernitas awal maupun ateisme
naturalistik modernitas akhir dengan membentuk teisme yang bersifat
naturalistik[7]. Menurut Griffin, teisme naturalistik ini bukanlah merupakan
suatu penolakan terselubung terhadap teisme: teisme ini berbeda dengan
naturalisme ateistik maupun dengan supernaturalisme teistik. Menurut
pandangan teisme naturalistik, Tuhan adalah jiwa alam semesta, yang
merupakan satu kesatuan pengalaman yang sangat menyeluruh serta
pelaksana yang membuat alam semesta menjadi satu kesatuan. Dalam teisme
ini Tuhan dipahami sebagai mahkluk pengada, yang berbeda dengan dunia
ini, berkarya aktif di dalamnya, dan memberikan tanggapan padanya.
Teisme naturalistik postmodern berpikiran bahwa kekuatan kreatif yang
belum tercipta merupakan suatu realitas dasar. Dalam teisme ini kekuatan
kreatif tidak hanya milik Tuhan saja. Kreatifitas adalah milik Tuhan maupun
mahkluk-mahkluk yang fana. Teisme ini menolak gagasan bahwa cara Tuhan
berkarya di dunia dan cara Tuhan menanggapi dunia merupakan suatu
putusan ilahi (takdir). Menurut Griffin hubungan ini merupakan hubungan
yang didasarkan atas keniscayaan sifat Tuhan dan sifat dunia. Menurut teisme
ini, Tuhan mempengaruhi semua peristiwa-peristiwa fana, tapi satupun tidak
ada yang ditentukan sepenuhnya oleh Tuhan.
Menurut Griffin, hubungan Tuhan dengan dunia merupakan hubungan
yang bersifat wajar bukan bersifat sembarang[8]. Ada dua hal yang ia
ungkapkan. Pertama, pasti ada dunia dengan bentuk tertentu. Menurut
Griffin, dunia khas kita secara pasti bersifat kontingen dan mencerminkan
keputusan ilahi. Akan tetapi, suatu dunia, yang artinya di dalamnya
berkelimpahan mahkluk fana yang mempunyai kreativitas, secara niscaya
muncul di dunia. Oleh karena itu, sama eksistensi Tuhan, eksistensi dunia
pun bersifat wajar atau nicaya.
Kedua, Tuhan berkarya secara natural. Menurut Griffin, Tuhan bekerja di
dalam dunia bukan dengan memaksa tetapi dengan membujuk. Bujukan ini
tidak menentukan hasil akhir namun hanya mempengaruhi dan hasil akhirnya
ditentukan oleh individu yang menerima bujukan tersebut. Menurut Griffin,
hal ini terjadi karena individu tidak hanya dipengaruhi oleh pengalaman
terhadap hal-hal yang terjadi sebelumnya, tetapi juga pada dirinya sendiri
mereka mempunyai kekuatan penentuan arah diri. Lebih lanjut ia mengatakan
karena kreativitas dunia yang inheren yang ada padanya, maka bujukan
Tuhan tidak didasarkan atas pembatasan sukarela yang dilakukan Tuhan.
Tuhan tidak bisa melakukan intervensi kemana-mana yang sifatnya
memaksa di seluruh dunia.
d. Kejahatan dan Teisme Postmodern
Dalam pemikiran Griffin, ada hubungan yang sangat erat antara persoalan
kejahatan dan kebebasan kehendak manusia. Menurut Griffin, gambaran
Tuhan sebagai yang “maha” mempunyai implikasi yang jelas terhadap
kehilangan kepercayaan terhadap Tuhan. Hal ini terjadi berhadapan dengan
persoalan kejahatan yang dialami secara nyata dalam kehidupan. Ia
menjelaskan bahwa masalah ini berdasar dan memiliki asal-muasal pada ide
generik mengenai Tuhan yang ada dalam peradaban Barat, yang sangat
dipengaruhi oleh agama monoteisme seperti Yahudi, Islam dan
Kristen[9]. Dalam pandangan ini paling tidak terkandung tujuh ide mengenai
Tuhan. Tuhan adalah: suatu kekuatan mahatinggi; pribadi pencipta dunia
yang bertujuan; yang maha sempurna; sumber norma-norma moral; jaminan
dasar demi bermaknanya kehidupan manusia; landasan harapan yang bisa
diandalkan demi kemenangan akhir kebaikan atas kejahatan; yang patut
disembah.[10]
Terkait masalah kejahatan, Griffin mengatakan bahwa satu-satunya solusi
untuk menyelesaikan masalah kejahatan adalah dengan melakukan
modifikasi terhadap doktrin tradisional tentang Tuhan yang Mahakuasa.
Griffin berpendapat bahwa menjadi aktual berarti memiliki kekuatan, baik
kekuatan penentuan nasib sendiri maupun kekuatan untuk memberikan
pengaruh kausal pada orang lain[11]. Dalam konsep ini diakui bahwa setiap
entitas memiliki kekuatan yang inheren kepada dirinya untuk melakukan
penentuan arah diri yang pada akhirnya mempengaruhi entitas aktual yang
lain.
Griffin mengungkapkan bahwa setiap entitas aktual mempunyai
kreativitas. Ia menjelaskan bahwa kreativitas adalah kekuatan yang sejati di
dalam alam semesta sehingga tidak ada satu titik sentral kekuatan di dunia.
Dalam hal ini ia menjelaskan dua hal, yakni; Pertama, kreativitas yang
melekat pada individu memampukan individu untuk menciptakan dirinya
sendiri berdasarkan pengaruh yang bersifat kreatif yang juga diterima dari
individu yang lain. Kedua, selanjutnya hal ini menjadi pengaruh yang bersifat
kreatif terhadap proses penciptaan diri atau penentuan diri bagi individu yang
berikutnya.[12]
Tidak ada kontradiksi antara eksistensi kejahatan dan kepercayaan akan
adanya Tuhan yang berkuasa dan baik. Sebab meskipun Tuhan memiliki
kekuasaan tertinggi, namun Tuhan bukan satu-satunya yang memiliki
kekuatan. Tuhan tidak mempunyai monopoli terhadap kekuasaan. Kejahatan
terjadi karena keputusan manusia yang mempunyai kebebasan untuk
menetukan diri sendiri. Meskipun Tuhan mempunyai kekuasaan tetapi
berhadapan dengan dunia Tuhan tidak dapat secara sepihak menghentikan
apalagi memaksa untuk menghancurkan kejahatan yang dilakukan oleh
manusia.
Berkaitan dengan persoalan pra-pengetahuan Tuhan, Griffin mengatakan
bahwa Tuhan mengetahui semua yang sedang terjadi dan yang sudah terjadi,
namun, Tuhan tidak tahu dengan yang akan terjadi pada masa yang akan
datang. Jika Tuhan mengetahui peristiwa-peristiwa pada masa yang akan
datang itu hanyalah merupakan hal-hal yang bersifat mungkin bukan pasti.
Berkaitan dengan hal-hal yang mempunyai tingkat determinasi tinggi
dikatakan bahwa Tuhan dapat mengetahui secara pasti karena Tuhan
mengetahui hukum-hukum fisika dan alam. Tetapi bagi manusia yang
memiliki tingkat kebebasan yang tinggi, Tuhan tidak dapat mengetahui
secara pasti. Tuhan tidak dapat mengetahui apa yang akan dilakukan oleh
manusia pada masa yang akan datang, karena masa depan itu sendiri tidak
ditentukan oleh Tuhan tetapi oleh manusia dengan tindakan-tindakannya.
Dalam hal ini, dapat dilihat juga bahwa konsep takdir yang menyatakan
bahwa masa depan telah ditentukan oleh Tuhan tidak dapat diterima.[13]
Penutup
Menurut Griffin pandangan dunia yang baru muncul memberikan
kesempatan kembali kepercayaan terhadap Tuhan yang didasarkan pada
pengalaman dan penalaran. Jika pandangan dunia modern mengatakan tidak
wajar maka pandangan yang baru ini mengatakan yang sebaliknya.
Pandangan yang muncul kembali bukanlah pandangan yang kembali ke
dalam pemikiran pradmodern dengan menekankan pada kemahakuasaan
Tuhan yang mempunyai kontribusi besar terhadap bangkitnya ateisme
modern. Demikian juga pandangan postmodern ini tidak meninggalkan
pandangan modern sepenuhnya melainkan hanya menghilamgkan hal-hal
tertentu yang dianggap tidak memadai. Berkaitan dengan masalah kejahatan,
menurut pandangan postmodern, tidak semuanya perlu dikembalikan kepada
Tuhan karena manusia mempunyai kontribusi yang besar terhadap kejahatan.
Tuhan misalnya tahu bahaya dari pengembangan nuklir tetapi tidak bisa
menghentikan hal itu. Dalam hal ini maka manusia tidak bisa hanya
menyalahkan Tuhan atas segala tindakan yang ia lakukan dan karenanya
kembali menuntut manusia agar bertanggungjawab.

Daftar Pustaka
Buku
Bertens, Kess “Sejarah Filsafat Barat Kontemporer Prancis” Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2014.
Bria, Emanuel “Jika ada Tuhan, mengapa ada kejahatan?” Jogjakarta: Kanisius,
2008.
Griffin, David Ray, “Tuhan dan Agama dalam Dunia Postmodern” Jogjakarta:
Kanisius, 2005.
Sugiharto, Bambang. “Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat.” Jogjakarta:
Kanisius, 1999.
Magniz-Suseno, Frans. “Menalar Tuhan” Jogjakarta: Kanisius, 2005.
Jurnal
Anas, Mohamad “Menyingkap Tuhan Dalam Ruang ‘Local Wisdom’:Upaya
Merumuskan Filsafat Ketuhanan Kontemporer”
Ghozi, “Teologi Posmodern: Menimbang Konsep Naturalisme-Teistik”
Tutupary, Victor Delvy “Kebebasan Kehendak (Free Will) David Ray
Griffin Dalam Perspektif Filsafat Agama”

[2]
[2] Bertens, K. Sejarah Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta: Gramedia, 1985. hal 338

[3]
[3] Ibid

[4]
Bambang Sugiharto, “Postmodernisme Tantang bagi Filsafat”. Jogjakarta: Kanisius, 1999. hal 30-31
[5]
David Ray Griffin, “Tuhan dan Agama dalam Dunia Postmodern” Jogjakarta: Kanisius, 2005. hal 40

[6]
[6] Bambang Sugiharto, Postmodernisme.....hal 30

[7]
[7] David Ray Griffin, Tuhan dan Agama... hal 195

[8]
[8] ibid

[9]
[9] Ghozi, “Teologi Posmodern: Menimbang Konsep Naturalisme-Teistik”

[10]
[10] David Ray Griffin, Tuhan dan Agama... hal 110
[11]
[11] Tutupary, Victor Delvy “Kebebasan Kehendak (Free Will) David Ray Griffin Dalam Perspektif Filsafat
Agama”

[12]
[12] Ibid

[13]
[13] ibid

Anda mungkin juga menyukai