Anda di halaman 1dari 16

SEJARAH KESEHATAN JIWA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Kep. Jiwa


yang diampu oleh Suyamto

Disusun oleh:
1. Anisah Shinta Rini 2520142427
2. Endri Noermawati 2520142434
3. Eni Ernawati 2520142435
4. Ni Jero Kadek Widiasih 2520142448
5. Ni Kadek Fitria Sundari 2520142449
6. Syva Alfaini Pristiana 2520142461
7. Tatang Hendra Kurniawan 2520142462
8. Wahyu Aji 2520142466
9. Wahyu Bagas 2520142467
10. Weni Wira 2520142468

Kelompok: V

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO


YOGYAKARTA
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Sejarah Kesehatan Jiwa” ini dengan baik. Dan juga kami berterima
kasih pada Bapak Suyamto selaku dosen mata kuliah Keperawatan Jiwa yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan sejarah kesehatan jiwa di dunia dan di negara kita Indonesia. Semoga
makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.
Akhir kata kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai semua usaha kita. Amin.
Terimakasih.

Yogyakarta, 19 Maret 2016

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keperawatan adalah bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian
dari pelayanan kesehatan didasarkan pada ilmu keperawatan, berbentuk
pelayanan bio-psiko-sosial dan spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada
individu, kelompok dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup
seluruh daur kehidupan manusia. Keperawatan merupakan ilmu terapan yang
menggunakan keterampilan intelektual, keterampilan teknikal dan keterampilan
interpersonal serta menggunakan proses keperawatan dalam membantu klien
untuk mencapai tingkat kesehatan optimal.
Kesehatan jiwa merupakan bagian yang integral dari kesehatan. Kesehatan
jiwa bukan sekedar terbebas dari gangguan jiwa, akan tetapi merupakan suatu
hal yang di butuhkan oleh semua orang. Kesehatan jiwa adalah perasaan sehat
dan bahagia serta mampu mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain
sebagai mana adanya. Serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan
orang lain.
Pada zaman dahulu masyarakat didunia menggangap penderita gangguan
jiwa dikaitkan dengan roh jahat yang masuk dalam tubuh manusia. Banyak orang
yang memperlakukan penderita gangguan jiwa dengan tidak manusiawi karena
ketidak tahuan orang dimasa itu bawah gangguan jiwa merupakan sebuah
penyakit. Hal ini membuat para ahli terus mempelajari dan mengembangkan
ilmunya hingga sehingga penderita gangguan jiwa sudah dapat terima sebagai
penyakit dan dapat memperlakukan penderita gangguan jiwa seperti halnya
manusia yang sedang sakit pada umumnya.
Sedangkan perkembangan keperawatan jiwa diindonesia berawal dari saat
penjajahan Hindia Belanda, karena semakian lama penderita gangguan jiwa
semakin banyak akhirnya pemerintah mengambil tindakan untuk membangun
rumah sakit jiwa pertama kali agar para penderita gangguan jiwa diseluruh
indonesia mendapat pelayanan kesehatan gangguan jiwa hingga abad ke 20
pelayanan kesehatan jiwa terus dikembangkan diindonesia. Puncaknya pada
perang dunia II pemerintah indonesia membuat undang- undang tetang
gangguan jiwa dan memfasilitasi semua pelayanan kesehatan gangguan jiwa
serta memberikan pendidikan kepada tenaga kesehatan dibidang kejiwaan.
Dalam makalah ini dapat kita lihat bagimana perkembangan sejarah dalam
keperawatan jiwa di Dunia maupun di Indonesia sehingga kita dapat
membandingkan ilmu yang diterapkan sekarang dan dahulu terhadap penderita
gangguan jiwa

B. Tujuan

a. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana perkembangan sejarah


keperawatan jiwa di Dunia dan Indonesia
b. Mahasiswa dapat mengetahui apa saja upaya yang dilakukan pada
perkembangan sejarah keperawatan jiwa di Dunia dan Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN KESEHATAN


JIWA DI DUNIA
I. Zaman Mesir Kuno
Pada zaman ini, gangguan jiwa dianggap disebabkan karena adanya
roh jahat yang bersarang diotak. Oleh karena itu, cara menyembuhkannya
dengan membuat lubang pada tengkorak kepala untuk mengeluarkan roh
jahat yang bersarang diotak tersebut. Hal ini terbukti dengan ditemukannya
lubang dikepala pada orang yang pernah mengalami gangguan jiwa. Selain
itu, ditemukan pada tulisan Mesir Kuno tentang siapa saja yang pernah
kena roh jahat dan sudah dilubangi kepalanya.
Tahun-tahun berikutnya, pasien yang mengalami gangguan jiwa
diobati dengan dibakar, dipukuli, atau dimasukkan dalam air dingin dengan
cara diajak jalan melewati sebuah jembatan lalu diceburkan dalam air
dingin dengan maksud agar terkejut, yakni semacam syok terapi dengan
harapan agar gangguannya menghilang.
Hasil pengamatan berikutnya diketahui ternyata orang yang menderita
skizofrenia tidak ada yang mengalami epilepsi (kejang atau hyperplasia).
Padahal penderita epilepsi setelah kejangnya hilang dapat pulih kembali.
Oleh karenanya, pada orang skizofrenia dicoba buat hyperplasia dengan
membuat terapi kejang listrik (elektro convulsive theraphy).

II. Zaman Yunani (Hypocrates)


Pada zaman ini, gangguan jiwa sudah dianggap suatu penyakit. Upaya
pengobatannya dilakukan oleh dokter dan orang yang berdoa untuk
mengeluarkan roh jahat. Pada waktu itu, orang sakit jiwa yang miskin
dikumpulkan dan dimasukkan dalam rumah sakit jiwa. Jadi, rumah sakit
jiwa lebih banyak digunakan sebagai tempat penampungan orang gangguan
jiwa yang miskin, sehingga keadaannya sangat kotor dan jorok. Sementara
orang kaya yang mengalami gangguan jiwa dirawat dirumah sendiri.
Pada tahun 1841, Dorothea Line Dick melihat keadaan perawatan
gangguan jiwa. Ia tersentuh hatinya, sehingga berusaha memperbaiki
pelayanan kesehatan jiwa. Bersamaan dengan itu, Herophillus dan
Erasitratus memikirkan apa yang ada dalam otak, sehingga ia mempelajari
anatomi otak pada bintang. Khale kurang puas hanya mempelajari otak,
sehingga ia berusaha mempelajari seluruh system utuh hewan
(Notosoedirjo, 2001).

III. Zaman Vasalius


Vasalius tidak yakin hanya dengan mempelajari anatomi hewan saja,
sehingga ia ingin mempelajari otak dan system tubuh manusia. Namun,
membelah kepala manusia untuk dipelajari merupakan hal yang mustahil,
apalagi mempelajari system tubuh manusia. Akhirnya, ia berusaha mencuri
mayat manusia untuk dipelajari. Sayangnya kegiatannya tersebut diketahui
masyarakat, sehingga ia ditangkap, diadili, dan diancam hukuman mati
(pancung).
Namun, ia bisa membuktikan bahwa kegiatannya itu untuk
kepentingan keilmuan, maka akhirnya ia dibebaskan. Varsalius bahkan
dapat penghargaan karena bisa menunjukan adanya perbedaan antara
manusia dan binatang. Sejak saat itu dapat diterima bahwa gangguan jiwa
adalah suatu penyakit. Namun kenyataannya, pelayanan dirumah sakit jiwa
tidak pernah berubah. Orang yang mengalami gangguan jiwa dirantai,
karena petugasnya khawatir dengan keadaan pasien.

IV. Revolusi Prancis I


Philipe Pinel, seorang direktur RS Bicetri Prancis, berusaha
memanfaatkan revolusi perancis untuk membebaskan belenggu pada
pasien jiwa. Revolusi Prancis ini dikenal dengan revolusi humanism
dengan semboyan utamanya “Liberty, Equality, Fraternity”. Ia meminta
kepada walikota agar melepaskan belenggu untuk pasien gangguan jiwa.
Pada awalnya, walikota menolak. Namun, pinel menggunakan alasan
revolusi, yaitu “jika tidak, kita harus siap diterkam binatang buas yang
berwajah manusia”. Perjuangan ini diteruskan oleh murid-murid pinel
sampai Revolusi ke 2.

V. Revolusi Kesehatan Jiwa II


Dengan diterimanya gangguan jiwa sebagai suatu penyakit, maka
terjadilah perubahan orientasi pada argono biologis. Pada saat ini, Qubius
menuntut agar gangguan jiwa masuk dalam bidang kedokteran. Oleh
karena itu, gangguan jiwa dituntut mengikuti paradigma natural sciences,
yaitu adalah taksonomi (penggolongan penyakit) dan nosologi (ada tanda
atau gejala penyakit). Akhirnya, Emil Craepelee mampu membuat
penggolongan dari tanda-tanda gangguan jiwa. Sejak saat itu, kesehatan
jiwa terus berkembang dengan berbagai tokoh dan spesfikasinya masing-
masing.

VI. Revolusi Kesehatan Jiwa III


Pola perkembangan pada Revolusi Kesehatan Jiwa II masih
berorientasi pada berbasis rumah sakit (hospital base), maka pada
perkembangan berikutnya dikembangkanlah basis komunitas (community
base) dengan adanya upaya pusat kesehatan mental komunitas (community
mental health centre) yang dipelopori oleh J.F. Kennedy pada saat inilah
disebut revolusi kesehatan jiwa III.

B. SEJARAH USAHA KESEHATAN JIWA DI INDONESIA


Diperkirakan bahwa 2-3% dari jumlah penduduk indonesia menderita
gangguan jiwa berat. Bila separuh dari mereka memerlukan perawatan dirumah
sakit dan jika penduduk indonesia berjumlah 120 juta orang maka ini berarti
bahwa 120 juta orang dengan gangguan jiwa berat memerlukan perawatan di
rumah ssakit. Padahal yang tersedia searang hanya kira- kira 10.000 tempat
tidur.
Di Indonesia sejak dulu sudah dikenal adanya gangguan jiwa, misalnya
dalam cerita Mahabrata dan Ramayana dikenal adanya “Srikandi Edan”,
‘Gantot Gaca Gandrung”. Bagaimana para penderita gangguan jiwa
diperlakukan pada zaman dahulu kala di Indonesia tidak diketahui dengan
jelas. Bila beberapa tindakan terhadap penderita gangguan jiwa sekarang
dianggap sebagai warisan dari nenek moyang kita, maka kita dapat
membayangkan sedikit bagaimanakah kiranya paling sedikit sebagaian dari
jumlah penderita gangguan jiwa itu ditangani pada jaman dulu. Adapun
tindakan yang dimaksud adalah dipasung, dibiarkan berkeliaran di desa, sambil
mencari makanan dan menjadi totonan masyarakat malahan ada kalanya
diperlukan sebagai orang sakti, mbah wali atau medium (perantara antara roh
dan manusia).

I. Zaman Kolonial
Sebelum ada Rumah Sakit Jiwa di Indonesia, para gangguan jiwa
ditampung di RS sipil atau RS militer di Jakarta, Semarang, Surabaya. Yang
ditampung pada umumnya penderita gangguan jiwa berat. Ternyata tempat
RS yang disediakan tidak cukup. Tahun 1862 pemerintah Hindia Belanda
mengadakan sensus terhadap penderita gangguan jiwa di Pulau Jawa dan
Madura, hasilnya ada kira- kira 600 orang penderita gangguan jiwa di Pulau
Jawa dan Madura, 200 orang lagi didaerah- daerah lain. Keadaan demikian
untuk penguasa pada waktu itu sudah ada cukup alasan untuk membangun
RS jiwa. Maka pada tanggal 1 Juli 1882, dibangun Rumah Sakit Jiwa
pertama dibogor, kemudian berturut- turut RSJ Lawang (23 Juni 1902), RSJ
Magelang (1923) dan RSJ Sabang (1927). RSJ ini tergolong RS besar dan
menampung pederita gangguan jiwa menahun yang memerlukan perawatan
lama.
Pemerintah Hindia Belanda mengenal 4 macam tempat perawatan penderita
psikiatrik yaitu:
a. RS Jiwa (kranzinnigengestichten)
Di Bogor, Magelang, Lawang, dan Sabang, RSJ terus penuh, sehingga
terjadi penumpukan pasien di RS sementara, tempat tahanan sementara
kepolisian dan penjara-penjara. Maka dibangunlah “aanexinrichtingen”
pada RS Jiwa yang sudah ada seperti di Semplak (Bogor) tahun 1931
dan Pasuruan (dekat Lawang) tahun 1932.
b. RS Sementara (Doorgangshuizen)
Tempat penampungan sementara bagi pasien psikotik yang akut,
dipulangkan setelah sembuh, yang perlu perawatan lebih lama dikirim
ke RS Jiwa yang didirikan di Jakarta, Semarang, Surabaya, Ujung
Pandang, Palembag, Bali, Padang, Banjarmasin, Manado, dan Medan.
c. Rumah Perawatan (Veerplegtehuiizen)
Berfungsi sebagai RS jiwa tetapi dikepalai seorang perawat berijazah
dibawah pengawasan dokter umum.
d. Koloni
Tempat penampungan pasien psikiatrik yang sudah tenang pasien dapat
berkerja dalam bidang pertanian serta tinggal di rumah penduduk, tuan
rumah diberi uang kos, dan masih berada dibawah pengawasan. Rumah-
rumah semacam ini dibangun jauh dari kota dan masyarakat umum.
Perawatan bersifat isolasi dan penjagaan (custodial care). Teori dasar
(yang sekarang tidak dianut lagi):
1) Pasien harus keluar dari rumah dan lingkungan yang menyebabkan
ia sakit, oleh sebab itu harus dirawat disuatu tempat yang tenang,
sehingga terbiasa dengan suasana rumah sakit.
2) Menghindari stigma (cap yang tidak baik).
- Dewasa ini pemerintah hanya memiliki satu jenis rumah sakit jiwa
yaitu RSJ pemerintah, untuk menyederhanakan dan memperkuat
struktur organisasi serta sekaligus menghapus kecenderungan pada
diskriminasi pelayanan.
- Terdapat pula kecenderungan membangun rumah sakit yang tidak
besar lagi tetapi berkapasitas 250-300 tempat tidur, karena lebih
efektif dan efisien. RS juga sebaiknya tidak terpencil tetapi berada
ditengah-tengah masyarakat agar kegiatan dan hubungan lebih
dijamin.
- Cara pengobatan yang dahulu sering dipakai RSJ adalah isolasi dan
penjagaan (custodial care) sejak 1910 telah dicoba untuk
meninggalkan penjagaan yang terlalu ketat terhadap pasien dengan
memberikan kebebasan yang lebih besar (no restrin). Kemudian
pada tahun 1930 di coba terapi kerja.
- Semua RSJ dan fasilitasnya dibiayai oleh pemerintah Hindia
Belanda, yang akhirnya membentuk Dienstvan het
krankzinnigenwezen untuk mengurus hal ini. Dari pihak swasta
atas prakarsa Van Wullffen Palthe didirikan koloni di Lenteng
Agung yang mendapat subsidi dari pemerintah. Witte Kruis
Kolonie suatu usaha swasta untuk menampung pengemis didaerah
Jawa Tengah tetapi juga bersedia menerima orang bekas pasien
gangguan jiwa yang sudah tenang, dirawat cuma- cuma.

II. Zaman Setelah Kemerdekaan


Membawa babak baru bagi perkembangan usaha kesehatan jiwa,
Oktober 1947 Pemerintah RI membentuk jawatan Urusan Penyakit Jiwa,
karena masih terjadi revolusi fisik maka belum dapat bekerja dengan baik.
Pada tahun 1950 pemerintahan RI menugaskan untuk melaksanakan hal-hal
yang dianggap penting bagi penyelenggaraan dan pembinaan kesehatan
jiwa di Indonesia. Jawatan ini bernaung dibawah Departemen Kesehatan;
tahun 1958 diubah menjadi Urusan Penyakit Jiwa; 1960 menjadi Bagian
Kesehatan Jiwa; pada tahun 1966 menjadi Direktorat Kesehatan Jiwa yang
sampai sekarang dipimpin oleh Direktur Kesehatan Jiwa atau Kepala
Direktorat Kesehatan Jiwa.
Direktorat Kesehatan Jiwa menyempurnakan struktur organisasinya
menjadi Dinas, yang diubah menjadi Subdirektorat Peningkatan (promosi),
Subdirektorat pelayanan dan pemulihan, Subdirektorat Rehabilitasi serta
Subdirektorat pengembanga Program.
Dengan ditetapkannya UU Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1966 oleh
pemerintah, maka lebih terbuka untuk menghimpun semua potensi guna
secara bertahap melaksanakan modernisasi semua sistem rumah sakit serta
fasilitas kesehatan jiwa di Indonesia. Direktorat Kesehatan Jiwa
mengadakan kerjasama dengan berbagai instansi pemerintah dan dengan
fakultas kedokteran, badan kedokteran, badan internasional, seminar
nasional dan regional asia serta rapat kerja nasional serta daerah. Adanya
pembinaan sistem pelaporan, tersusunnya PPDGJ I tahun 1973 dan
diterbitkan tahun 1975 serta integrasi dalam pelayanan kesehatan
dipuskesmas.
Pihak swastapun lebih memikirkan masalah kesehatan jiwa, terutama
dikota-kota besar. Di Jakarta, kemudian di Jogjakarta dan Surabaya serta
beberapa kota lainnya didirikan sanatorium kesehatan jiwa. RSU
Pemerintah dan RS ABRI menyediakan tempat tidur untuk pasien gangguan
jiwa dan mendirikan bagian pskiatri, demikian pula RS Swasta seperti RS
St. Carolus di Jakata RS Gunung Maria (minahasa). Di Jakarta dan Surabaya
telah didirikan pusat kesehatan jiwa masyarakat.
Metode pengobatan penderita gangguan jiwa telah banyak mengalami
kemajuan dari jaman ke jaman. Evolusi ini merupakan cerminan dari
perubahan dasar-dasar filosofi dan teori tentang pengobatan.
- Awal Sejarah
Gangguan Jiwa masih dianggap sebagai penyakit yang tidak dapat
disembuhkan dan berkaitan dengan dosa atau kejahatan, sehingga
terkadang pengobatan yang dilakukan bersifat brutal dan tidak manusiawi
(Maramis, 1990).
- Abad Pertengahan
Orang yang mengalami gangguan Jiwa biasanya dipenjara/dikurung oleh
keluarganya. Bahkan mereka dibuang dan dibiarkan hidup dijalanan
dengan mengemis. Namun setelah ada beberapa kelompok agama yang
memberikan sumbangan, para penderita mulai disalurkan kerumah sakit-
rumah sakit (Stuartsuneen, 1998).
- Abad ke 15-17
Kondisinya masih memprihatikan penderita laki-laki dan perempuan
disatukan. Mereka mendapat pakaian dan makanan yang tidak layak,
bahkan sering dirantai, dikurung, dan dijauhkan dari sinar matahari
(Connolly, 1968; dikutip oleh Antai Otong, 1994).
- Abad ke 18
Terjadi revolusi Perancis dan Amerika yang memberikan inspirasi pada
masyarakat luas akan kebebasan serta perlakuan yang adil untuk semua.
- Abad ke 19
Didirikan Rumah Sakit Jiwa pertama, McLean Asylum di Massachusetts
yang memberikan pengobatan secara manusiawi pada penderita Gangguan
Jiwa (Stuartsueen, 1998).
- Abad ke 20
Disebut Era psikiatri, karena para medis mulai menggali basis Gangguan
Jiwa secara ilmu dan klinik, seperti: Adolphmeyer (1866-1950) dengan
teori psikobiologi; Cliffordbeers (1876-1943) yang menulis artikel
mengenai intensif; Emill Krapelin (1856-1926) dengan klsifikasi
Gangguan Jiwanya; Eugene Bleuler (1857-1939) yang menemukan istilah
Skizofrenia; Sigmund Freud (1856-1939) yang mengembangkan teori
Psikoanalisis, Psikoseksual, dan Neurolosis; Carll Gustav (1857-1961),
Karen Horny (1885-1952).
Kesehatan Jiwa berkembang pesat pada perang dunia II karena
menggunakan pendekatan metode pelayanan publik Health service.
Konsekuensinya, peran perawat Jiwa juga berubah dari peran pembantu
menjadi peran aktif dalam tim kesehatan untuk mengobati penderita
Gangguan Jiwa lebih difokuskan pada basis komunitas. Pada masa kini,
perawatan penderita Gangguan Jiwa ini sesuai dengan hasil konferensi
Nasional I Keperawatan Jiwa (Oktober 2004) bahwa pengobatan akan
lebih difokuskan dalam hal tindakan prefentif. Beberapa jurnal
menunjukkan bahwa tindakan prefentif sangat penting.
- Childhood maltreatment (Phycal abuse, sexual abuse, expousure abuse)
yang didapat seseorang ketika kecil ternyata memberi pengaruh dan
menyebabkan kerentanan mengalami Gangguan Jiwa.
- Perempuan yang mengalami depresi ketika usianya 18 sampai 21 tahun
mempunyai kecenderungan menderita obesitas dibandingkan dengan yang
tidak mengalaminya. Namun secara umum, mereka baik laki-laki maupun
perempuan yang mengalami depresi ketika usianya 11-15 tahun, maka ia
mempunyai kecenderungan untuk mengalami obesitas lebih tinggi di masa
adult-nya (Archives of pendiatrics and Adolescent Medicine, Volume 157,
August 2003).
- Terapi farmakologi dan psikoterapi yang diberikan secara bersamaan pada
wanita berpenghasilan rendah (low income) penderita depresi, ternyata
dapat menurunkan tingkat depresi. Dilaporkan bahwa mereka yang hanya
mendapat terapi farmakologi saja, menunjukkan penurunan tingkat depresi
dan juga peningkatan aktivitas kerja rumah ataupun pekerjaannya.
Sedangkan mereka yang hanya mendapat psikoterapi saja, juga mengalami
penurunan tingkat depresi tetapi tidak mengalami peningkatan dalam
aktivitas rumah atau pekerjaaanya (Journal of the American Medical
Association, Volume 290, July 2003).
- Seorang anak dengan orang tua yang mengalami gangguan jiwa, maka ia
mempunyai kecenderungan untuk mengalami gangguan jiwa pula pada
masa adolescent-nya (Pediatrics, Volume 112, August 2003).

C. UPAYA KESEHATAN JIWA DI INDONESIA


Bagaimana para penderita gangguan jiwa diperlakukan pada jaman
dahulu di Indonesia, tidak diketahui secara pasti. Namun, pada masa jaman
kolonial Belanda, para penderita ganguan jiwa ditampung di rumah sakit-
rumah sakit sipil atau militer. Semakin banyak jumlah penderita gangguan
jiwa, mendorong pemerintah pada saat itu untuk mendirikan Rumah Sakit Jiwa
pertama di Bogor pada tanggal 1 Juli 1882 (sekarang RSJ Marzoeki Mahdi).
Selanjutnya di Lawang (23 Juni 1902), RSJ Magelang (1923), RSJ Sabang
(1927). Namun sangat disayangkan, setelah Jepang menduduki Indonesia
perkembangan kesehatan jiwa sempat mengalami kemunduran, bahkan RSJ
yang berada di Sabang hancur.
Selama tahun 1940 sampai dengan 1990 terjadi berbagai gerakan
perubahan kesehatan mental, diantaranya:
1. Tahun 1946: peluncuran Undang-Undang Kesehatan Mental; Perubahan
yang terjadi: Terbentuknya farmasi institut nasional kesehatan mental yang
mendukung penelitian tentang intervensi, diagnosa psikiatri, dan
pencegahan serta pengobatan gangguan jiwa.
2. Tahun 1961: Komisi Presiden kesehatan dan gangguan jiwa.
Perubahan yang terjadi: Dukungan legislatif untuk pendidikan bagi tenaga
profesi kesehatan jiwa termasuk perawat, pekerja sosial, psikiatri, dah
psikolog.
3. Tahun 1963: Peluncuran Undang-Undang tentang pusat kesehatan jiwa
masyarakat. Perubahan yang terjadi: Deinstitusionalisasi klien gangguan
jiwa kronik pindah dari institusi (RSJ) ke pusat rehabilitasi masyarakat.
4. Tahun 1970-1980: munculnya minat pada aspek biologi dan neurobiologi
daari gangguan jiwa dan pengobataannya. Perubahan yang terjadi:
Munculnya generasi ketiga obat psikotropika popularitas terapi biologi
meningkat.
5. Tahun 1990-an: dekade otak. Perubahan yang terjadi:
- Semakin berkembangnya neurobiologi dan teknologi.
- Identifikasi penelitian-penelitian diagnostik yang inovatif khususnya
untuk skizoprenia dan gangguan mood.
6. Tahun 1990-awal abad ke-20: terjadinya perubahan pada ekonomi dan
sosial reformasi pelayanan kesehatan. Perubahan yang terjadi:
- Meningkatnya jumlah tunawisma.
- Kurangnya dukungan dana legislatif untuk pencegahan primer, sekunder
dan tersier.
- Epidemik global AIDS.
- Perlunya pemberian pelayanan kesehatan yang sistematis.
- Berkembangnya resiko tinggi gangguan jiwa pada wanita hamil.
- Kekerasan pada wanita anak-anak, orang tua, dan pengguna obat-obat
terlarang.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Keperawatan jiwa di dunia dimulai pada zaman mesir kuno, dimana
gangguan jiwa dianggap disebabkan karena adanya roh jahat yang bersarang
diotak. Perkembangan keperawatan jiwa didunia terus berkembang dengan
menggali dari beberbagai teori dasar yang telah dibuat oleh ilmuan dibidang
psikologi dan lebih menerapkan pelayanan prefentif. Dimasa ini juga ditemukan
kencenderungan seorang anak yang terlahir dari orang tua mengalami gangguan
jiwa cenderung akan untuk mengalami gangguan jiwa pula dimasa mendatang.
Perkembangan keperwatan jiwa di Indonesia tidak diketahui secara pasti
diperlakukan seperti apa. Namun, pada masa jaman kolonial Belanda, para
penderita ganguan jiwa ditampung di rumah sakit-rumah sakit sipil atau militer.
Semakin tahun penderita gangguan jiwa terus bertambah sehingga
mengharuskan untuk pemerintah membangun rumah sakit jiwa yang pertama di
Bogor pada tanggal 1 Juli 1882 (sekarang RSJ Marzoeki Mahdi). Selanjutnya di
Lawang (23 Juni 1902), RSJ Magelang (1923), RSJ Sabang (1927).Namun
sangat disayangkan, setelah Jepang menduduki Indonesia perkembangan
kesehatan jiwa sempat mengalami kemunduran. Pemerintah Indonesia terus
memperbaiki pelayanan penderita gangguan jiwa terbukti dengan adanya UU
Kesehatan Mental dan memberi dukungan dengan memberikan pendidikan bagi
tenaga kesehatan jiwa.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini penyusun berharap agar pembaca khususnya tenaga
kesehatan lebih memahami Sejarah Keperawatan Jiwa baik di dunia maupun di
Indonesia sendiri. Selain itu diharapkan dengan adanya makalah ini dapat
membantu teman-teman sejawat dalam mengenal dan memahami keperawatan
jiwa secara menyeluruh.

Anda mungkin juga menyukai