Batuk Darah
Batuk Darah
Batuk Darah
BUKU TUTOR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS RIAU
2005/2006
1
PENYUSUN:
2
MODUL HEMOPTISIS
Skenario
4
Seorang dokter muda yang sedang bertugas di IGD
RSAA menerima seorang pasien perempuan berusia 50
tahun dengan keluhan utama batuk darah sejak 10 hari
yang lalu, batuk darah ± 3 sendok makan sehari.
Suaminya juga mempunyai riwayat batuk darah 1 tahun
yang lalu. Pasien tinggal di pemukiman padat dan
kumuh. Pasien ini juga belum pernah mendapat OAT.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil keadaan umum
sedang, tenang, kesadaran komposmentis kooperatif,
tekanan darah 130/70 mmHg, nadi 88 kali/menit,
frekuensi nafas 20 kali/menit, suhu badan 37 0C, dan pada
auskultasi didapatkan hasil: vesikuler dan ronkhi di
lapangan atas paru kanan. Terhadap pasien tersebut
langsung dilakukan pemeriksaan CT scan toraks.
Tugas Mahasiswa
Setelah membaca skenario dengan cermat,
mahasiswa ditugaskan untuk:
5
1. Mengidentifikasi data tambahan yang diperlukan
pada buku mahasiswa untuk pasien tersebut
2. Membuat kata kunci dari skenario di atas
3. Menetapkan learning issues untuk didiskusikan
selanjutnya
Kata Kunci
1. Batuk Darah
2. OAT
3. Penularan TB
4. Faktor resiko
5. Sputum
6. Infiltrat
7. Kavitas
8. Issue etik
Learning Issues
I. Anatomi Paru
6
7
II.
Fisiologi Paru
8
Paru merupakan organ respirasi yang berfungsi
menyediakan O2 dan mengeluarkan CO2. Selain itu paru
juga membantu fungsi nonrespirasi, yaitu:
Pembuangan air dan eliminasi panas
Membantu venus return
Keseimbangan asam basa
Vokalisasi
Penghidu
Ventilasi paru
Gerakan nafas dengan 2 cara:
9
1. Turun-naik diafragma yang merubah diameter
superoinferior rongga toraks
a. inspirasi: kontraksi
diafragma
b. ekspirasi: relaksasi
diafragma
2. Depresi-elevasi iga, merubah diameter
anteroposterior rongga toraks
a. inspirasi: elevasi iga
b. ekspirasi: depresi iga
Difusi paru
Faktor yang mempengaruhi kecepatan difusi gas
pada membran respirasi:
1. Tebal membran
2. Luas permukaan membran
3. Koefisien difusi gas
4. Perbedaan tekanan pada kedua sisi membran
Transportasi gas
1. Transpor O2 dalam darah. 97% O2 ditranspor dalam
bentuk HbO2, 3% terlarut dalam cairan plasma dan
sel. Rata-rata Hb dalam 100 ml darah dapat berikatan
dengan 20 ml O2. 5 ml O2 dilepaskan ke jaringan oleh
100 ml darah.
2. CO2 ditranspor dalam bentuk terlarut dalam darah 7
%, ion bikarbonat 70%, gabungan CO 2, Hb, dan
protein plasma 20 %.
Hipoksia
10
1. Oksigenasi paru tidak memadai karena keadaan
ekstrinsik
kurangnya O2 dalam udara atmosfer
hipoventilasi (gangguan saraf otot)
2. Penyakit paru
Peningkatan tahanan saluran nafas atau
penurunan compliance
Rasio ventilasi perfusi abnormal
Berkurangnya difusi membran pernafasan
3. Pintas jantung dari kanan ke kiri
4. Transpor O2 ke jaringan tidak memadai
Anemia
Penurunan sirkulasi umum
Penurunan sirkulasi lokal (perifer, cerebral,
jantung)
Edema jaringan
5. Rendahnya kemampuan jaringan menggunakan O2
Keracunan enzim sel
Penurunan kapasitas metabolik sel
11
1. Apeks paru pada posisi tegak => VA/Q 2,5 ideal,
karena aliran darah lebih sedikit (ruang rugi
fisiologik), tapi pada saat kerja aliran darah ke
apeks paru meningkat sehingga ruang rugi
fisiologik berkurang
2. Di dasar paru => VA/Q 0,6 ideal, karena ventilasi
sangat kecil dibanding aliran darah sehingga
sebagian darah tidak teroksigenasi
III.Hemoptisis
Sinonim : hemaptoe, batuk darah
Etiologi
1. Infeksi
1.1. TB paru
1.2. Bronkiektasis
1.3. Abses paru
1.4. Pneumonia
1.5. Bronkitis
2. Neoplasma
2.1. Karsinoma paru
2.2. Adenoma
12
3. Lain – lain
3.1. Tromboemboli paru infark paru
3.2. Mitral stenosis
3.3. Trauma
3.4. Diatesis hemoragik
3.5. Hipertensi pulmonal
13
Am Rev Respir Dis 1987; 135:463-81
Patofisiologi
Pada TB paru hemoptisis terjadi karena proses ulserasi
mukosa dan dinding pembuluh darah pada lesi.
Hemoptisis masif terjadi karena iritasi dari Aneurisme
Rasmussen pada dinding kavitas.
Komplikasi
1. sufokasi, sering fatal karena tersumbatnya trakhea
atau saluran nafas sentral/utama.
14
2. aspirasi, dimana terhisapnya darah ke bagian
paru yang sehat
3. atelektasis, karena tersumbatnya saluran nafas
sehingga bagian paru yang distal kolaps
4. anemia, karena perdarahan yang banyak
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan radiologi
Bronkoskopi
Lainnya sesuai indikasi
Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan hemoptisis:
o Menjaga jalan napas dan stabilisasi penderita
o Menentukan lokasi perdarahan
o Memberikan terapi
Prioritas tindakan awal → penderita lebih stabil,
kemudian mencari sumber dan penyebab perdarahan
Mencegah risiko berulangnya hemoptisis
Penderita dengan hemoptisis masif harus dimonitor
dengan ketat di instalasi perawatan intensif
15
Langkah – langkah:
Langkah I : menjaga jalan napas dan stabilisasi penderita
o Menenangkan dan mengistirahatkan penderita
o Menjaga jalan napas tetap terbuka
o Resusitasi cairan dan bila perlu transfusi
o Laksan (stool softener)
o Obat sedasi ringan
o Suplementasi oksigen
o Instruksi cara membatukkan darah dengan benar
o Penderita dengan keadaan umum berat dan refleks batuk
kurang adekuat, maka posisi penderita Tredelenberg untuk
mencegah aspirasi darah ke sisi yang sehat
o Bronkoskopi serat optik lentur untuk evaluasi, melokalisir
perdarahan dan tindakan pengisapan (suctioning)
Langkah II : lokalisasi sumber dan penyebab perdarahan
o Pemeriksaan radiologi (foto toraks, angiografi, CT
Scan toraks)
o Bronkoskopi (FOB maupun bronkoskop kaku)
Langkah III : pemberian terapi spesifik
1. Bronkoskopi terapeutik
Bilas bronkus dengan larutan garam fisiologis
dingin (iced saline lavage)
Pemberian obat topikal
Tamponade endobronkial
Fotokoagulasi laser (Nd-YAG Laser)
2. Terapi non-bronkoskopik
Pemberian terapi medikamentosa
Vasopresin intravena
Asam traneksamat (antifibrinolitik)
Kortikosteroid sistemik pada autoimun
Gonadotropin releasing hormon agonist (GnRH)
atau danazol hemoptisis katamenial
16
Antituberkulosis, antijamur ataupun antibiotik
Radioterapi
3. Embolisasi arteri bronkialis dan pulmoner, teknik ini
terutama dipilih untuk penderita dengan penyakit
bilateral, fungsi paru sisa yang minimal, menolak
operasi ataupun memiliki kontraindikasi tindakan
operasi
4. Bedah
Prognosis
o Dengan tatalaksana tepat kebanyakan penderita
memiliki prognosis yang baik
o Akibat keganasan dan gangguan pembekuan darah
memiliki prognosis yang lebih buruk
17
Kultur
Sputum ditanam pada medium Lowenstein Jensen
Inkubasi selama 6-8 minggu
Ada pertumbuhan dilakukan pemeriksaan resistensi
antibiotik
Tes resistensi
18
Yaitu tes kepekaan kuman tuberkulosis terhadap obat-
obatan antituberkulosis. Penting dilakukan untuk
pengobatan yang tepat. Obat-obat yang dicoba termasuk
streptomisin, INH, PAS, etambutol, pirazimanida,
rifampisin dan kanamisin yang biasa digunakan di klinik.
19
1. Pemeriksaan sputum secara mikroskopis merupakan
pemeriksaan yang paling efisien, mudah dan murah.
Pemeriksaan bersifat spesifik dan cukup sensitive.
2. Mycobacterium tuberculosis:
Berbentuk batang
Sifat tahan terhadap penghilangan warna dengan
asam dan alkohol karena itu disebut Basil Tahan
Asam (BTA)
Dapat dilihat di mikroskop bila jumlah kuman
paling sedikit 5000/ml sputum. Sputum yang baik
diperiksa adalah sputum kental dan purulen
warna hijau kekuningan. Volume 3-5 ml tiap
pengambilan.
3. Tujuan pemeriksaan sputum:
Menegakkan diagnosis dan menentukan
klafikasi/tipe
Menilai kemajuan pengobatan
Menentukan tingkat penularan
4. Pengumpulan sputum
Sputum ditampung dalam pot sputum yang bermulut
lebar, berpenampang 6 cm, tutup berulir tidak mudah
pecah dan bocor. Diagnosis ditegakkan dengan
pemeriksaan 3 spesimen sputum Sewaktu Pagi
Sewaktu(SPS). Dikumpulkan dalam 2 hari kunjungan
yang berurutan.
Pelaksanaan pengumpulan sputum SPS.
S (sewaktu), sputum dikumpulkan pada saat
suspek TB datang pertama kali. Pada saat pulang
suspek membawa sebuah pot sputum untuk
sputum hari kedua
P (pagi), sputum dikumpulkan di rumah pada
pagi hari kedua segera setelah bangun tidur
20
S (sewaktu), sputum dikumpulkan di UPK pada
hari kedua saat menyerahkan sputum pagi
5. Pewarnaan kuman BTA
Ziehl Nielsen
Tan Thiam Hok (kinyoun-gabbett)
Auramin–phenol fluorochrome
6. Pewarnaan sediaan dengan metode Ziehl Nielsen
Larutan Carbol Fuchsin 0,3%
Asam alcohol (HCL – alcohol) 3%
Methylen Blue 0,3%
7. Pembacaan hasil
Basil tahan asam berwarna merah
Basil tidak tahan asam berwarna biru
SPS. Menurut Depkes bila 2 dari 3 spesimen
tersebut hasilnya BTA (+) TB
Pembacaan hasil dengan menggunakan skala
IUATLD:
Negatif (-), tidak ada BTA dalam 100 lapangan
pandang
Meragukan (ditulis jumlah kuman yang
ditemukan), 1-9 BTA dalam 100 lapangan
pandang
Positif 1 (+), 10 – 99 BTA dalam 100 lapangan
pandang
Positif 2 (++), 1-10 dalam 1 lapangan pandang
minimal dibaca 50 lapang pandang
Positif 3 (+++), >10 BTA dalam 1 lapangan
pandang minimal dibaca 20 lapang pandang
Catatan:
Bila ditemukan 1 – 3 BTA dalam 100 lapang
pandang, pemeriksaan harus diulang dengan
spesimen dahak yang baru. Bila hasilnya tetap
21
1-3 BTA hasilnya dilaporkan negatif. Bila
ditemukan 4-9 BTA dilaporkan positif.
8. Tes Serologi
Tes serologi yang dapat membantu diagnosis
tuberkulosis adalah tes takahashi. Tes ini merupakan
reaksi aglutinasi fosfatida kaolin pada seri
pengenceran serum sehingga dapat ditentukan
titernya. Titer lebih dari 128 dianggap positif yang
berarti proses tuberkulosis masih aktif.
Bagan diagnosis
Tersangka penderita TB
(suspek TB)
23
bercak-bercak tidak melebihi luas satu paru.
Sedangkan bila ada kavitas diameternya tidak
melebihi 4 cm. Kalau sifat bayangan sarang-sarang
tersebut berupa awan-awan yang menjelma daerah
konsolidasi yang homogen, luasnya tidak boleh
melebihi luas satu lobus.
3. Tuberkulosis sangat lanjut (far advanced tuberculosis)
yaitu luas daerah yang dihinggapi oleh sarang-sarang
lebih daripada klasifikasi kedua diatas atau bila ada
kavitas maka diameter keseluruhan semua kavitas
melebihi 4 cm.
Makroskopik:
Tuberkulosis di paru pada orang dewasa merupakan
tuberkulosa sekunder (antara usia 5 – 15 tahun jarang
ditemukan penyakit tuberkulosis ini).
Lesi yang pertama hampir selalu ditemukan pada apeks
paru-paru kanan. Salah satu keterangan mengenai hal ini
ialah bahwa tekanan hidrostatik pembuluh pulmonal
rendah pada bagian apeks, sehingga pertukaran oksigen
sangat sedikit dan zat imun tidak dapat mencapai daerah
25
tersebut. Akibatnya kuman mudah tumbuh pada tempat
itu.
Lesinya merupakan tuberkel berukuran kurang dari 3 cm,
terletak 1-2 cm subpleura, berbatas tegas, kenyal,
berwarna putih kelabu atau kekuningan.
Pada paru akan ditemukan pula pembentukan rongga-
rongga yang disebut kaverne oleh karena proses nekrosis
tuberkel ditengahnya yang dapat sampai kedinding
bronkiolus.
Mikroskopik:
Pada tuberkulosis paru yang sering menyebabkan
hemoptisis adalah bentuk tuberculosis fibrocaseosa chronica.
Pada kelainan ini secara mikroskopik ditemukan lesi
pada paru yang mengandung bentuk-bentuk tuberkel
yaitu kumpulan sel makrofag yang berubah menjadi sel
epiteloid yang merupakan sel histiosit. Protoplasmanya
menjadi jernih karena mengandung zat lipoid sehingga
menyerupai sel epitel. Sel epiteloid tersusun
berkelompok dan sentrifugal dengan ditengahnya
mengandung jaringan nekrosis perkijuan yang
merupakan massa eosinofilikamorf, tanpa sisa struktur
sama sekali dan sel datia langhans yang dibentuk oleh sel
histosit yang bersatu. Disekelilingnya tampak banyak
proliferasi sel fibroblas. Selanjutnya bila nekrosis terus
berlanjut dan meluas dan tuberkel membesar maka akan
dapat menimbulkan erosi pada dinding bronkiolus yang
akan membentuk rongga atau kaverne. Rongga itu sering
dilintasi oleh pembuluh darah dan bila pembuluh darah
ikut mengalami erosi maka akan menimbulkan
HEMOPTISIS.
Tuberkel dan kaverne itu dapat meluas dan mengenai
seluruh lobus paru-paru sehingga jaringan paru rusak
26
dan berubah menjadi seperti sarang lebah (Honey comb)
pleuritis dengan perlengketan fibrostik ditemukan pula.
V. Obat Antituberkulosis
Terdiri dari 2 kelompok, yaitu:
1. obat primer, efektivitas tinggi dengan toksisitas dapat
diterima, seperti INH, rifampisin, etambutol,
streptomisin, pirazinamid
2. obat sekunder, kurang efektif dan digunakan karena
pertimbangan resistensi atau kontra indikasi, seperti
etionamid, PAS, sikloserin, amikasin, kanamisin
Streptomisin
Aktivitas Antituberkulosis
obat TB pertama yang dinilai efektif, tidak ideal
sebagai obat tunggal
in vitro bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman
TB (KHM: 0,4 g/ml)
in vivo bersifat supresi, bukan eradikasi kuman TB
Resistensi
makin lama terapi, makin meningkat resistensi
resistensi akibat mutasi?
bila kavitas tidak menutup atau BTA sputum tetap (+)
dalam 2-3 bulan berarti kuman telah resisten terapi
tidak efektif
dihindari dengan kombinasi dengan anti TB lain
Farmakokinetik
absorpsi dari tempat suntikan, hampir semua berada
dalam plasma, hanya sedikit yang masuk ke eritrosit
27
terdistribusi ke seluruh cairan ekstrasel, sukar
berdifusi ke cairan intrasel
dapat mencapai kavitas
1/3 streptomisin yang berada dalam plasma berikatan
dengan protein plasma
waktu paruh 2-3 jam, memanjang pada gagal ginjal
sehingga menimbulkan efek samping
ekskresi melalui filtrasi glomerulus
50-60% diekskresi utuh dalam 24 jam (sebagian besar
dalam 12 jam)
Efek Nonterapi
ototoksik (N. VIII) akibat dosis besar jangka lama
pemeriksaan audiometri
nefrotoksik
sakit kepala, malaise, parestesi di muka dan mulut,
kesemutan di tangan
reaksi hipersensitivitas, reaksi anafilaktik,
agranulositosis, anemia aplastik
tidak dianjurkan pada trimester pertama kehamilan
Interaksi
dengan penghambat neuromuskuler terjadi potensiasi
penghambatan
dengan obat ototoksik (furosemid dan asam etakrinat)
dan obat nefrotoksik
Isoniazid
28
Aktivitas Antituberkulosis
in vitro bakteriostatik & bakterisid thd kuman TB
(KHM: 0,025-0,05 g/ml)
lebih aktif daripada streptomisin
Mekanisme Kerja
mekanisme pasti belum diketahui
diduga menghambat biosintesis asam mikolat (unsur
penting dinding sel mikobakterium)
Resistensi
terjadi akibat kegagalan obat mencapai kuman atau
kuman tidak menyerap obat
menimbulkan strain baru yang resisten
Farmakokinetik
absorpsi baik pada pemberian oral dan parenteral
kadar puncak dicapai dalam 1-2 jam setelah
pemberian oral
metabolisme melalui asetilasi di hati (asetilator cepat
dan lambat)
waktu paruh 1-3 jam, memanjang pada gangguan
fungsi hati
mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan
tubuh (termasuk cairan pleura dan asites)
kadar di CSS 20% kadar plasma
75-95% diekskresi melalui urin dalam waktu 24 jam
sebagai metabolit (asetil INH dan asam nikotinat
sebagai hasil proses hidrolisis)
sebagian kecil diekskresi sebagai isonikotinil glisin,
isonikotinil hidrazon dan N-metil INH
29
Efek Nonterapi
reaksi hipersensitivitas: demam, kelainan
morbiliform, makulopapular, urtikaria
reaksi hematologik: agranulositosis, trombositopenia,
anemia
vaskulitis, arthritis
perubahan neurologis: neuritis perifer,
menghilangnya vesikel sinaps, membengkaknya
mitokondria, pecahnya akson terminal atasi
dengan pemberian piridoksin (B6)
kejang, neuritis optik (atropi), kedut otot, vertigo,
ataksia, parestesia, stupor, ensefalopati toksik
kelainan mental: euphoria, penurunan memori,
hilangnya pengendalian diri, psikosis, sedasi yang
berlebihan dan inkoordinasi (bersama fenitoin)
ikterus, kerusakan hati (nekrosis multilobular),
peningkatan SGOT dan SGPT
mulut kering, abdominal discomfort,
methemoglobinemia, tinitus, retensi urin
Status Pengobatan
preventif: tunggal
kuratif: kombinasi
30
Rifampisin
Aktivitas Antituberkulosis
in vitro menghambat pertumbuhan M. tuberculosis
(KHM 0,005-0,2 g/ml)
in vivo meningkatkan aktivitas streptomisin dan INH
menghambat pertumbuhan kuman gram positif dan
negatif
gram positif: penisilin G>rifampisin> eritromisin,
linkomisin, sefalotin
gram negatif: rifampisin<tetrasiklin, kloramfenikol,
kanamisin, kolistin
mekanisme kerjanya menghambat DNA-dependent
RNA polymerase dengan menekan mula terbentuknya
rantai dalam sintesis RNA
Farmakokinetik
absorpsi dihambat oleh makanan dan PAS
kadar puncak dicapai setelah 2-4 jam pemberian oral
75% terikat pada protein plasma
difusi baik ke berbagai jaringan termasuk otak (warna
merah pada urin, tinja, sputum, airmata, keringat)
mengalami deasetilasi, dalam waktu 6 jam obat dalam
empedu berupa deasetil rifampisin yang bersifat aktif
menginduksi metabolisme; walaupun bioavailabilitas
tinggi eliminasi meningkat pada pemberian berulang
waktu paruh eliminasi 1,5-5 jam dan memanjang
pada gangguan fungsi hati, memendek pada
pemberian berulang
31
ekskresi melalui empedu dan mengalami sirkulasi
enterohepatik
30% diekskresi melalui urin (sebagian besar dalam
bentuk utuh) tidak perlu penyesuaian dosis pada
insufisiensi renal
juga diekskresi melalui ASI
Efek Nonterapi
ruam kulit, mual, muntah, flu like syndrome, nefritis
interstisial, nekrosis tubular akut, trombositopenia
hepatotoksisitas: ikterus, hepatitis, sindrom
hepatorenal, peningkatan aktivitas SGOT, SGPT dan
alkali fosfatase
gangguan saluran cerna: abdominal discomfort, mual,
muntah, kolik, diare
gangguan neurologis: lelah, mengantuk, sefalgia,
ataksia, sukar konsentrasi
reaksi hipersensitivitas: demam, pruritus, urtikaria,
kelainan kulit, eosinofilia, sakit pada lidah, hemolisis,
hemoglobinuria, hematuria, insufisiensi renal
gangguan hematologik: trombositopenia, leukopenia,
anemia
efek teratogenik? Hindari pemberian pada masa
hamil (menembus sawar uri)
Interaksi Obat
PAS menghambat absorpsi rifampisin
Rifampisin menginduksi metabolisme ADO,
kortikosteroid, kontrasepsi oral efektivitas
berkurang
Rifampisin mengganggu metabolisme vitamin D
osteomalasia
32
Disulfiram dan probenesid menghambat ekskresi
rifampisin melalui ginjal
Rifampisin meningkatkan hepatotoksisitas INH
Etambutol
Aktivitas Antituberkulosis
hanya efektif untuk kuman TB
bersifat tuberkulostatik hanya aktif terhadap sel
yang sedang tumbuh
menekan pertumbuhan kuman TB yang resisten
terhadap INH dan streptomisin
mekanisme kerja menghambat sintesis metabolit sel
sehingga metabolisme sel terhambat dan sel mati
dapat timbul resistensi bila digunakan tunggal
Farmakokinetik
75-80% diserap dari saluran cerna
kadar puncak plasma dicapai setelah 2-4 jam
pemberian oral
waktu paruh eliminasi 3-4 jam
33
kadar dalam eritrosit 1-2 kali kadar dalam plasma
eritrosit sebagai depot
tidak menembus sawar otak, tetapi pada meningitis
TB ditemukan dalam CSS
50% diekskresi melalui urin dalam bentuk utuh, 10%
dalam bentuk metabolit (derivat aldehid dan asam
karboksilat) dalam waktu 24 jam
ekskresi ginjal melalui filtrasi glomerulus dan sekresi
tubuli
Efek Nonterapi
ruam kulit, demam, pruritus, nyeri sendi, gangguan
saluran cerna, malaise, sakit kepala, pusing, bingung,
disorientasi, halusinasi, kaku dan kesemutan di jari,
reaksi anafilaksis, leukopenia
neuritis retrobulbar: bilateral, penurunan visus,
hilangnya kemampuan membedakan warna,
pengecilan lapangan pandang, skotoma sentral dan
lateral
peningkatan kadar asam urat karena penurunan
ekskresi asam urat melalui ginjal
Pirazinamid
Aktivitas Antituberkulosis
bakterisid yang kuat untuk BTA
dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase menjadi asam
pirazinoat yang bersifat tuberkulostatik pada media
asam
34
mekanisme kerja?
Farmakokinetik
mudah diserap di usus dan terdistribusi ke seluruh
tubuh
kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 2 jam,
waktu paruh 10-16 jam
asam pirazinoat dihidroksilasi menjadi asam
hidropirazinoat
ekskresi terutama melalui filtrasi glomerulus
Efek Nonterapi
gangguan hati: ikterus, nekrosis hati, peningkatan
SGOT dan SGPT
menghambat ekskresi asam urat (pirai)
artralgia, anoreksia, mual, muntah, disuria, malaise,
demam
Regimen Pengobatan
1. pengobatan jangka panjang: 18 bulan tanpa
rifampisin
2. pengobatan jangka pendek: 6-8 bulan dengan
rifampisin
Paduan terapi:
1. 9HR
2. HR/8H2R2, bila ada kuman yang resisten obat
ditambah dengan pirazinamid atau etambutol.
Pemeriksaan BTA sputum dilakukan setiap bulan
35
sampai hasilnya negatif. Pengobatan diteruskan
minimal 6 bulan setelah BTA negatif.
3. 2HRZ/4HR
4. 2HRZ/4H2R2
5. 2HRZ/4H3R3
6. 2H3R3Z3/4H3R3
7. 2HRZE/4H3R3
8. 2HRZ/2H3R3
36
disembuhkan, terutama penderita menular (Basil Tahan
Asam (BTA) positif.
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan
Rumah Tangga (2001) menunjukkan bahwa TB
menduduki ranking ketiga sebagai penyebab kematian
(9,4% dari total kematian) setelah sistem sirkulasi dan
sistem pernafasan. Pada survei yang sama angka
kesakitan TB di Indonesia ketika itu sebesar 800/100.000
penduduk. Namun pemeriksaan ini memiliki kelemahan,
yakni hanya berdasarkan gejala tanpa pemeriksaan
laboratorium (Badan Litbangkes, 2002). Estimasi incidence
rate TB di Indonesia berdasarkan pemeriksaan sputum
(BTA positif) adalah 128/100.000 penduduk untuk tahun
2003, sedangkan untuk tahun yang sama estimasi TB
semua kasus (prevalensi) adalah 675 per 100.000
penduduk (WHO, 2005). Berdasarkan kultur yang
dilakukan pada 11 provinsi, definite case sebesar
186/100.000 penduduk. Hasil kultur mengindikasikan
potensi masalah penyakit TB di masyarakat, sementara
pengetahuan mayarakat terhadap TB dan penularannya
ternyata sangat rendah.
39
transferin dan protein lain dengan fungsi opsonik
seperti glutamin.
Masuknya parasit dalam tubuh manusia
akan menyebabkan interaksi dengan status gizi,
yang mana besar kecilnya pengaruh interaksi
tersebut tergantung pada (1) pengaruh parasit
pada metabolisme host, (2) efek nutrisi host
terhadap perkembangan pertumbuhan populasi
parasit, (3) perkembangan respon imunitas dari
host dan (4) patofisiologi infeksi.
42
Penularan Penyakit TB
Jika seseorang penderita TB berbicara, meludah,
batuk, atau bersin, maka kuman-kuman TB berbentuk
batang (panjang 1-4 mikron, diameter 0,3-0,6 mikron)
yang berada di dalam paru-parunya akan menyebar ke
udara sebagai partikulat melayang (suspended particulate
matter) dan menimbulkan droplet infection. Basil TB
tersebut dapat terhirup oleh orang lain yang berada di
sekitar penderita. Basil TB dapat menular pada orang-
orang yang secara tak sengaja menghirupnya. Dalam
waktu satu tahun, 1 orang penderita TB dapat
menularkan penyakitnya pada 10 sampai 15 orang
disekitarnya.
Pencegahan Penyakit TB
Apabila batuk, menutup mulut, agar keluarga dan
orang lain tidak tertular
Jangan meludah di sembarang tempat
Gunakan tempat seperti tempolong atau kaleng yang
bertutup, dan diisi air sabun atau Lysol, untuk
menampung dahak
Buang tampungan dahak ke lubang WC atau timbun
ke dalam tanah di tempat yang jauh dari keramaian
43
TB karena terkena sinar ultra violet atau panas sinar
matahari. Pencahayaan yang cukup juga mencegah
kelembaban dalam ruang.
Menghindari kepadatan hunian, kepadatan hunian
bersama penderita TB aktif dalam rumah
memungkinkan kontak efektif untuk terjadinya
infeksi baru pada penghuni rumah
Mencegah kepadatan penduduk/permukiman untuk
menjamin ventilasi yang efektif.
Mencegah pencemaran udara yang bersumber dari
dalam rumah seperti pemakaian bahan bakar hayati
tanpa ventilasi efektif, merokok, dll.
Menghindari adanya lantai tanah dalam rumah,
karena lantai tanah dapat menambah kelembaban dan
memungkinkan perkembangbiakan parasit.
Strategi Pembelajaran
1. Tutorial pertama berupa pemahaman tentang skenario
dan dilanjutkan dengan curah pendapat antar
mahasiswa untuk menetapkan kata kunci dan learning
issues.
2. Belajar mandiri di perpustakaan dengan
memanfaatkan buku teks, jurnal, computer aided
learning, internet, dan lain-lain.
3. Konsultasi dengan narasumber untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih mendalam.
4. Tutorial kedua untuk menyampaikan informasi-
informasi yang didapat selama melakukan belajar
mandiri sesuai dengan learning issues yang telah
ditetapkan.
5. Praktikum di Laboratorium Keterampilan.
44
Referensi
1. Amin M, Alsagaff H, Saleh T. Pengantar Ilmu
Penyakit Paru. Airlangga University Press: 1989
2. Katzung BG, editor. Basic & Clinical
Pharmacology. Eighth Edition. New York: Lange
Medical Books, 2001: 9-33.
3. Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC, Fisher BD,
editors. Lippincott’s Illustrated Reviews:
Pharmacology. 2nd Editon. Philadelphia:
Lippincott-Raven Publishers, 1997.
4. Hardman JG, Limbird LE, Gilman AG, editors.
Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis
of Therapeutics. Tenth Edition. USA: McGraw-
Hill Companies, Inc., 2001: 31-43.
5. Farmakologi dan Terapi. Balai Penerbit FKUI.
6. SOP Pemeriksaan mikrobiologi klinik
7. Penuntun praktikum
8. Buku saku petugas program TB
9. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis
10. Buku ajar Mikrobiologi kedokteran, Staf pengajar
FKUI
45