Ketika kita mengucakan kata “Allah”, maka kata ini harus hadir dan lahir dari
keyakinan yang mendalam. Pada saat pengucapan, kita harus yakin bahwa Allah
“ada” pada diri nabi-Nya, dan bahwa setiap diri kita mampu membawa peran nabi
tersebut. Dalam ma’rifat, nabi dan kenabian sebagai suatu hal yang selalu hidup.
Dan ketika person nabi terakhir diberi label “Muhammad”, maka ia adalah langsung
dari nur dan ruh Muhammad, dan menyandang nama spiritual sebagai “Ahmad”.
Dan ketika kata “Ahmad” disebutkan, Nabi Muhammad sering mengemukakan
bahwa “ana Ahmad bila mim” (aku adalah Ahmad yang tanpa mim), yakni
“Ahad”. Ketika suku bangsa dzahir “arab” disebutkan, beliau sering
mengemukakan “ana ‘arabun bila “Ain”, (aku adalah “Arab tanpa ‘Ain),
yakni “Rabb”. Inilah kesaksian itu, atau syahadat.
Kalau kita membayangkan nabi secara fisikal maka kita akan menghayalkan
tentang nabi. Nah, pada saat Allah kita rasakan hadir atau bersemayam dalam diri
Nabi yang berada di kedalaman lubuk hati kita, maka terlepaslah ucapan
“Muhammad al-Rasul Allah” sebagai kesaksian. Lalu kesaksian ini kita lepaskan ke
dalamDzat Allah. Sehingga kemudian tercipta apa yang disebut sebagai “Tunggal
ing Allah hiya kang amuji hiya kang pimuji”, kemanunggalan dengan Allah sehingga
baik yang memuji dan yang dipuji tidak dapat dipisahkan.
Pada konteks syahadat yang seperti itulah kemudian lahir ajaran tentang “wirid
sasahidan” dari Syekh Siti Jenar, dalam bentuk pengucapan hati sebagai berikut
(Sholikhin: 2004, 182-183)
Dengan demikian wajar jika pada kesimpulannya tentang makna syahadat, Syekh
Siti Jenar memberikan makna syahadat sebagai etos gerak, etos kerja yang positif,
progresif, dan aktif. Syekh siti jenar mengemukakan bahwa syahadat tauhid dan
syahadat rasul mengandung makna jatuhnya rasa (menjadi etos), kesejatian rasa
(unsur motorik), bertemunya rasa (ide aktif dan kreatif), hasil karya yang maujud
serta dampak terhadap kesejatian kehidupan (Sholikhin: 2004, 187). Itulah makna
syahadat yang sesungguhnya dari sang insan kamil.
2. Sholat
“Peliharalah shalatmu dan shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalat)
yang khusyuk” (QS Al. Baqarah/ 2:238). Ini adalah penegasan dari Allah tentang
kewajiban dan keharusan memelihara shalat, baik segi dzahir maupun batin dengan
titik tekan “khusyuk”, kondisi batin yang mantap.
Secara lahir, shalat dilakukan dengan berdiri, membaca Al-Fatihah, sujud, duduk
dsb. Kesemuanya melibatkan keseluruhan anggota badan. Inilah shalat jasmani
dan fisikal. Karena semua gerakan badan berlaku dalam semua shalat, maka dalam
ayat tersebut disebut shalawaati (segala shalat) yang berarti jamak. Dan ini
menjadi bagian pertama, yakni bagian lahiriah.
Bagian kedua adalah tentang shalat wustha, yaitu yang secara sufistik adalah
shalat hati. Wustha dapat diartikan pertengahan atau tengah-tengah. Karena hati
terletak di tengah, yakni di tengah “diri”, maka dikatakan shalat wustha sebagai
shalat hati. Tujuan shalat ini adalah untuk mendapatkan kedamaian dan
ketentraman hati. Hati terletak di tengah-tengah, antara kiri dan kanan, antara
depan dan belakang, atas dan bawah, serta antara baik dan jahat. Hati menjadi
titik tengah, poin pertimbangan. Hati juga diibaratkan berada diantara dua jari
Allah, dimana Allah membolak-balikkannya ke mana saja yang ia kehendaki.
Maksud dari dua jari Allah adalah dua sifat Allah, yaitu sifat Yang Menghukum dan
Meng-adzab dengan sifat Yang Indah, Yang Kasih Sayang, dan Yang Lemah
Lembut.
Sholat dan ibadah yang sebenarnya adalah sholat serta ibadahnya hati, kondisi
khusyu’ menghadapi kehidupan. Bila hati lalai dan tidak khusyuk, maka
jasmaniahnya akan berantakan. Sehingga kalau ini terjadi, kedamaian yang
didambakan akan hancur pula. Apalagi shalat jasmani hanya bisa dicapai dengan
hati yang khusyuk. Kalau hati tidak khusyuk, serta tidak dapat konsentrasi pada
arah yang dituju dari shalat, maka hal itu tidak bisa disebut shalat. Juga tidak akan
dapat dipahami apa yang diucapkan, dan tentu apa pun yang dilakukan dengan
bacaan dan gerakannya tidakakan bisa mengantarkan sampai kepada Allah.
Urgensi ke-khusyuk-an ini berhubungan dengan inti shalat sebagai doa. Doa atau
munajat, bukan sekedar permintaan hamba kepada Allah, akan tetapi berarti juga
sebagai arena pertemuan. Dan tempat pertemuan itu adalah di dalam hati. Maka
jika hati tertutup di dalam shalat, tidak peduli akan makna shalat rohani, shalat
yang dilakukan tersebut tidak akan memberikan manfaat apa pun. Sebab semua
yang dilakukan jasmaninya sangat tergantung kepada hati sebagai Dzat untuk
badan. “Ingatlah bahwa dalam tubuh itu ada sekeping daging, apabila
daging itu baik, baiklah seluruh tubuh itu. Dan apabila ia rusak, rusak
pulalah semua tubuh itu. Daging itu adalah hati. “ (sabda Rasulullah)
Ke-khusyuk-an hati akan membawa sholat yang menghasilkan kesehatan hati.
Shalat khusyuk akan menjadi obat bagi hati yang rusak dan jahat serta
berpenyakit. Maka shalat yang baik haruslah dengan hati yang sehat dan baik pula,
bukan dengan hati yang rusak, yakni hati yang tidak dapat hadir kepada Allah.
Jika shalat dari sisi jasmaniah-fisik memiliki keterbatasan dalam semua hal, baik
tempat, waktu, kesucian badan, pakaian, dsb, maka shalat dari segi rohaniah tidak
terbatas dan tidak dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Shalat secara rohaniah
tidak terikat oleh ruang dan waktu. Shalat ini selalu dilakukan terus menerus sejak
di dunia hingga akhirat. Masjid untuk shalat rohani terletak dalam hati. Jamaahnya
terdiri dari anggota-anggota batin atau daya-daya rohaniah yang ber-dzikir dan
membaca al-asma’ al-husna dalam bahasa alam rohaniah. Imam dalam shalat
rohani adalah kemauan atau keinginan (niat) yang kuat. Dan kiblatnya adalah
Allah. Inilah shalat tarek dan sholat daim yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar.
Shalat yang demikian itu hanya dapat dilakukan oleh hati yang ikhlas, hati yang
tidak tidur, dan hati yang tidak mati. Hati dan jiwa seperti itu kekal dan selalu
beribadah atau shalat ketika jasmaninya sedang tertidur atau terjaga. Ibadah hati
dilakukan sepanjang hayat, dan sepanjang hayatnya adalah untuk beribadah.
Inilah ibadah orang yang sudah mencapai ma’rifatullah, tempat penyucian tertinggi.
Di tempat itu, ia ada tanpa dirinya. Karena dirinya telah fana’, telah hilang lenyap.
Ingatannya yang teguh dan suci tercurah hanya kepada Allah.
Namun tentu saja ini berlaku setelah semua shalat-shalat fardhu dan nawafil
dilaksanakan secara konsisten. Jadi, tempat suci tersebut baru bisa dijangkau
setelah semua shalat syari’at itu sempurna, lalu masuk ke dalam shalat thariqat
dan ma’rifat. Maka tidak bisa diartikan bahwa jika sudah berada di tingkatan ini,
lalu tidak lagi melakukan shalat sama sekali. Bahkan sering dalam shalat itulah
mereka mengalami fana’ dalam munajat-nya sehingga ibadah yang dilakukannya
itu menyita banyak waktu. Hanya saja bentuk shalat dalam arti gerakan dan
bacaan tertentu sudah tidak mengikat lagi. Shalat ditegakkan atas kemerdekaan
rohani dalam menempuh laku menuju Allah.
Pada tingkatan ini tidak ada lagi bacaan di mulut. Tidak ada lagi gerakan berdiri,
ruku’, sujud, dsb. Dia telah berbincang dengan Allah sebagaimana firman-
Nya “Hanya Engkau yang kami sembah, dan hanya Engkaulah kami memohon
pertolongan” (QS Al-Fatihah/1: 5)
Firman tersebut menunjukkan betapa tingginya kesadaran insan kamil, yakni
mereka yang telah melalui beberapa tingkatan alam rasa dan pengalaman rohani
sehingga tenggelam dalam lautan tauhid atau Ke-Esaan Allah dan ber”padu”
dengan-Nya. Nikmat yang mereka rasakan saat itu tidak dapat diungkapkan
dengan kata-kata. Hanya orang yang mengalaminya yang dapat mengalaminya
yang dapat mengartikan kenikmatan tersebut. Namun mereka pun sering tidak
mau mengungkapkannya. Tidak ingin membocorkan rahasia Ketuhanan yang
tersimpan di dalam lubuk hatinya oleh Allah.
Hal tersebut sama halnya dengan hakikat takbir, yang bukan semata-mata ucapan
“Allahu Akbar”. Takbir merupakan pengucapan yang lahir dari firman Allah yang
memuji kebesaran Dzat-Nya. Jadi, takbir sebenarnya merupakan suara Tuhan yang
meminjam mulut hamba-Nya. Bukan hasil dari dorongan emosional. Karenanya,
takbir sejati adalah menyatakan kebesaran Allah dari af’al Allah sendiri. Takbir
sejati merupakan penghayatan diri terhadap sifat Allah. Dan takbir sejati adalah
penyebutan nama-Nya yang lahir dari kehendak-Nya semata. Dengan takbir yang
demikian itu maka yang lain menjadi sangat kecil, dan menjadi tidak ada. Yang ada
hanya Allah. Ke mana pun kita menghadap yang ada hanya Wajah Allah.
Maka setelah berpadu ibadah lahir dan batin secara harmonis, sempurnalah ibadah
seseorang. Hati dan ruh seperti tergambar itu membawanya masuk ke Hadirat
Allah. Hatinya ber”padu” mesra dengan Allah. Dalam alam nyata ia menjadi hamba
yang wara’ dan ‘alim. Dalam alam rohani ia menjadi ahli ma’rifah yang telah
sampai pada peringkat kesempurnaan mengenal Allah. Inilah makna bahwa shalat
adalah perjalanan menuju Allah. Hasilnya adalah bahwa shalat yang dilaksanakan
mencegah perilaku yang keji dan munkar. Sebaliknya menghasilkankehalusan dan
kemuliaan budi dan perilaku.
Syekh Siti Jenar mengkritik pelaksanaan hukum fikih pada masa walisanga karena
ibadah-ibadah formal tersebut telah kehilangan makna dan tujuan, kehilangan arti,
dan hikmah kehidupan. Hal itu menjadikan semua ajaran agama yang diajarkan
oleh para ulama ketika itu menjadi kebohongan yang meninabobokkan publik
dengan hanya menginginkan surga kelak yang belum ada kenyataanya.
Oleh karenanya Syekh Siti Jenar mengajarkan praktik shalat fungsional, berbeda
dengan para wali pada masanya. Shalat tarek sebagai bentuk ketaatan syari’at, dan
shalat daim sebagai shalat yang tertanam dalam jiwa, dan mewarnai seluruh
pekerti kehidupan. Seseorang yang melaksanakan pekerjaan profesionalnya secara
benar, disiplin, ikhlas, dan karena melaksanakan fungsi lillahi ta’ala, maka orang
tersebut disebut melaksanakan shalat. Itulah bagian dari shalat da’im.
Namun ternyata, ajaran shalat fungsional tersebut tidak hanya menjadi milik Syekh
Siti Jenar. Di dalam Suluk Wujil bait 12-13, sebuah naskah yang ditulis pada awal
abad ke-17, yang disebut-sebut sebagai warisan ajaran Sunan Bonang,
menyebutkan ajaran shalat sebagai berikut:
Maka jelaslah bahwa shalat lima waktu yang hanya dilakukan berdasarkan ukuran
formalitas, hanya sebentuk tata krama, aturan keberagamaan. Sementara shalat
daim yang merupakan shalat yang sebenarnya. Yakni, kesadaran total akan
kehadiran dan keberadaan Hyang Maha Agung di dalam dirinya, dan dia merasakan
dirinya sirna. Sehingga semua tingkah lakunya adalah shalat. Diam, bicara, dan
semua gerak tubuhnya merupakan shalat. Wudhu, membuang air besar, makan
dan sebagainya adalah tindakan sembahyang. Inilah hakikat dari niat sejati dan
pujian yang tiada putus. Ya, shalat yang mampu membawa pelakunya untuk
menebar kekejian dan ke-mungkar-an. Mampu menghadirkan rahmatan lil ‘alamin.
3. Puasa
Puasa dalam ketentuan syariat adalah menahan diri dari makan, minum dan
bersetubuh. Sejak masuk subuh hingga masuk waktu maghrib. Sedangkan puasa
dari segi rohani bermakna membersihkan semua pancaindera dan pikiran dari hal-
hal yang haram, selain menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkannya
yang telah ditetapkan dalam puasa syariat. Dalam puasa harus diusahakan
keduanya berpadu secara harmonis.
Puasa dari segi rohani akan batal bila niat dan tujuannya tergelincir kepada sesuatu
yang haram, walau hanya sedikit. Puasa syari’at berkait dengan waktu, tetapi
puasa rohani tidak pernah mengenal waktu. Terus menerus dan berlangsung
sepanjang hayat du dunia dan akhirat. Inilah puasa yang hakiki, seperti yang
dikenal oleh orang yang hati dan jiwanya bersih. Puasa adalah pembersihan diatas
pembersihan.
Puasa tidak bermakna kalau tidak membawa pelakunya kepada kedekatan terhadap
Allah. Orang awam akan cepat berbuka begitu waktu buka tiba. Tetapi orang yang
rohaninya ikut berpuasa, tidak akan pernah berhenti berpuasa secara rohani
walaupun secara fisik ia juga berbuka sebagaimana orang lain.
Jika orang awam merasakan kebahagiaan berpuasa saat berbuka dan pada saat
melihat datangnya bulan Syawal setelah satu bulan berpuasa penuh, maka lain bagi
orang yang ‘arif. Orang yang telah berma’rifat lebih mengutamakan dimensi
spiritual. Ia akan menganggap kenikmatan berbuka adalah pada waktu kelak ia
memasuki taman surga dan menikmati segala hal di dalamnya. Sedangkan maksud
kenikmatan ketika melihat adalah kenikmatan yang diperoleh bila mereka dapat
melihat Allah dengan matahati sebagai salah satu efek dari puasanya.
Namun masih ada jenis puasa yang lebih tinggi, yakni puasa hakiki atau puasa
yang sebenarnya. Puasa ini memiliki martabat yang lebih bagus dari kedua puasa
diatas. Puasa ini adalah puasa menahan hati dari menyembah, memuji, memuja,
dan mencari ghairullah (yang selain Allah). Puasa ini dilakukan dengan cara
menahan mata hati dari memandang ghairullah, baik yang lahir maupun yang
batin. Namun walaupun seseorang telah sampai kepada tahapan puasa hakiki,
puasa wajib tetap dibutuhkan sebagai aplikasi syari’atnya, dan sebagai cara serta
sarana menggapai kesehatan fisik. Sebaliknya, jika puasa hanya memenuhi
ketentuan syariat, maka “iku wis palson kabeh”, hanya sebentuk kebohongan
beragama semata. Puasa merupakan tindakan rohani untuk mereduksi watak-
watak kedzaliman, ketidakadilan, egoisme, dan keinginan yang hanya untuk dirinya
sendiri. Inilah yang diajarkan Syekh Siti Jenar. Buahnya adalah kejujuran terhadap
diri sendiri, orang lain dan kejujuran di hadapan Tuhan tentang kenyataan dan
eksistensi dirinya.
Dalam puasa hakiki, hati dibutakan dari pandangan terhadap ghairullah dan tertuju
hanya kepada Allah serta cinta kepada-Nya. Dengan puasa hakiki inilah esensi
penciptaan akan terkuak. Manusia adalah rahasia Allah dan Allah rahasia bagi
manusia. Rahasia itu berupa nur Allah. Nur itu adalah titik tengah (centre) hati
yang diciptakan dari sesuatu yang unik dan gaib. Hanya ruh yang tahu semua
rahasia itu. Ruh juga menjadi penghubung rahasia antara Khaliq dan makhluk.
Rahasia itu tidak tertarik dan tidak pernah menaruh cinta kepada selain Allah.
Dengan puasa hakiki, ruh itu diaktifkan. Oleh karenanya jika ada setitik dzarrah
pun cinta terhadap ghairullah, batallah puasa hakiki. Jika puasa hakiki batal maka
kita mengulanginya, menyalakan kembali niat, dan harapan kepada Allah di dunia
dan akhirat. Puasa hakiki hanyalah menempatkan Allah di dalam hati, menjalani
proses kemanunggalan meng-Gusti-kan perwatakan kawula.
Dengan puasa hakiki, maka kita akan menyadari bahwa sebenarnya puasa
merupakan hadiah Allah untuk umat manusia. Sehingga bagi hamba Allah yang
telah mencapai ma’rifat, akhirnya puasa wajib dan sunnah bukanlah berbeda.
Secara lahiriah keduanya memang berbeda dari segi waktu dan cara
pelaksanaannya, akan tetapi secara batiniah, esensi kedua jenis puasa itu tidak
berbeda. Dengan berpuasa secara hakiki, tidak ada sekat wajib atau sunnah lagi,
yang ada adalah menikmati hadiah dari Allah bagi rohani kita.
Sehingga dengan pemahaman dan pelaksanaan puasa yang seperti itu, maka
akhirnya puasa tersebut akan mampu menjadi katalisator bagi hawa nafsu kita, dan
hati akan semakin berkilau oleh bilasan nurullah. Ia akan menjadi motor penggerak
bagi ruh al-idhafi, sebagai efek kebeningan hatinya yang dengan itulah keseluruhan
kehidupan akan ditunjukkan menuju kearah al-Haqq, Illahi Rabbi.
Bagi Syekh Siti Jenar, puasa hakiki akan melahirkan watak manusia yang pengasih.
Mengantarkan kesadaran untuk selalu ikut berperan serta mengangkat harkat dan
derajat kemanusiaan, berperan aktif memerangi kemiskinan, dan selalu menyertai
sesama manusia yang berada dalam penderitaan. Puasa hakiki adalah kesadaran
batin untuk menjadikan hawa nafsu sebagai hal yang harus dikalahkan, dan ke-
dzalim-an sebagai hal yang harus ditundukkan.
Oleh Syekh Siti Jenar, puasa secara lahir disubstitusikan dengan kemampuan untuk
melaparkan diri. Bukan sekedar mengatur ulang pola makan di bulan Ramadhan,
tetapi mampu “ngelakoni weteng kudu luwe”, membiasakan diri lapar, bukan
membiarkan kelaparan. Sehingga terciptalah sistem masyarakat yang terkendali
hawa nafsunya. Dan tentu saja, Syekh Siti Jenar tidak memaknai “kudu luwe”
sebagai alasan lembeknya manusia secara fisik. Hal tersebut harus
dikontekstualisasikan dengan kecukupan gizi yang harus terpenuhi bagi aktivitas
fisik. Yang terpenting adalah kemauan dan kesadaran untuk berbagi, untuk tidak
hanya memuaskan apa yang menjadi tuntutan hawa nafsunya.
4.Zakat
Syekh Siti Jenar memberikan makna aplikatif zakat sebagai sikap menolong orang
lain dari penderitaan dan kekurangan. Menolong orang lain agar dapat hidup,
menikmati hidup, sekaligus mampu bereksis menjalani kehidupan. Syekh Siti Jenar
sendiri bertani yang merupakan pekerjaan favorit pada masa hidupnya. Namun
tidak semua masyarakat petani berhasil hidupnya sebagaimana pula tidak selalu
berhasil baik dari panennya. Yang tidak berhasil panennya tentu mengalami
kekurangan bahkan kelaparan. Syekh Siti Jenar selalu membantu mereka yang
kurang berhasil tadi dengan memberikan sebagian hasil panennya dari tanahnya
yang luas kepada mereka itu. Inilah yang disebut sebagai zakat secara fungsional.
Suka memberi adalah sifat-Nya, dan Dia senang melihat hamba-Nya mencontoh
sifat suka memberi yang menjadi sifat-Nya itu. Perbendaharaan Tuhan tidak akan
kosong, dan bila Allah memberi Dia akan memberi dengan tangan-Nya yang
terbuka. “Barang siapa yang datang membawa amal yang baik, maka ia akan
mendapat pahala sebanyak sepuluh kali lipat dari kita, dan barangsiapa yang
datang membawa perbuatan yang jahat, dia tidak mendapatkan pembalasannya,
melainkan yang seimbang dengan kejahatannya, sedangkan mereka sedikit pun
tidak dianiaya.” (QS Al-An’am/6: 160)
Sehingga terhadap harta pinjaman dan titipan dari Allah, kita melakukan penyucian
diri dengan mengeluarkan zakat, bersedekah, serta berbuat amal jariyah. Dalam
hal inilah, patokan kita bukan sekedar patokan minimal 2,5%, namun bisa lebih
dari itu. Bahkan para sufi terkadang berzakat 100% dari seluruh harta yang
diterimanya. Selain ia membersihkan dari daki-daki dunia, ia juga memanjangkan
umur dan menyelamatkan diri dari siksa sengsara akhirat. Betapa beruntungnya
para pemilik harta yang menyedekahkan hartanya sehingga ia mendapatkan
ganjaran yang tidak dapat ditebus dengan uang nantinya. “Mereka yang
menyedekahkan hartanya kepada orang lain, hartanya tidak akan berkurang.
Bahkan, harta itu akan bertambah, dan bertambah.” (Sabda Nabi).
Jadi, pemahaman sufi atas harta jelas. Harta dan semua yang ada adalah milik
Tuhan. Manusia diberi limpahan-Nya agar digunakan sebagai alat bagi perjalanan
rohaninya menuju Tuhan. “Kamu tidak akan sampai kepada ketaatan yang
sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa
saja yang kamu nafkahkan itu, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali
Imran/3:92). Zakat bagi para sufi merupakan langkah untuk memberikan “kado”
atau hadiah terindah untuk Tuhan, sekaligus untuk manusia dengan disertai
kebersihan niat jiwa, dan kesucian hati. Tegasnya, sebagaimana dikemukakan
Syekh Siti Jenar, zakat adalah kesediaan untuk menolong manusia yang
kekurangan, baik harta fisik maupun harta rohani sehingga mereka terhindar dari
kemiskinan, kekurangan, kelaparan fisik maupun spiritual. Betapa indahnya dunia
jika dihuni manusia sufi seperti ini.
5.Haji
Haji menurut Islam-Jawa yang sebagian merupakan warisan ajaran Syekh Siti
Jenar tidak lain adalah olah spiritual. Karena kalau hanya sekedar mengunjungi
Makkah dalam arti fisik, bagi orang Islam-Jawa itu cukup dengan “ngeraga sukma”.
Dalam arti seseorang mampu pergi ke Makkah kapan saja dia mau. Oleh
karenanya, bagi mereka, Makkah letaknya bukanlah sebatas geografis, yakni
terletak di Dataran Arab Saudi. Bagi Muslim-Jawa, Makkah berada di dalam spirit
manusia yang tidak ditempuh dengan hanya menggunakan bekal rupiah. Hal ini
dapat ditinjau dari ungkapan dalam Suluk Wijil:
Artinya:
Maulana Maghribi berkata demikian,” Baiklah engkau kembali, yang
engkau cari tidak ada di Makkah. Makkah yang terletak di barat(Nusa
Jawa) itu, Makkah tiruan namanya. Batu yang dibuat sebagai tempat
menghadap adalah buatan Nabi Ibrahim. Jika Nusa Jawa engkau
tinggalkan, akan menjadi kafir// Tak ada yang tahu dimana Makkah yang
sebenarnya. Meski ia harus berjalan dari kecil hingga tua. Tak akan
mencapai tujuan. Jika ada bekal sampai di Makkah dan menjadi Wali, maka
bekalnya sangat mahal, sukar diperoleh. Bukan rupiah maupun dinar bekal
tersebut. Tapi keberanian, kesanggupan mati, dan sabar serta ikhlas di
dunia).
Dari penuturan suluk wujil tersebut, jelas bahwa haji adalah olah spiritual untuk
mencapai keyakinan hidup yang hak, yaitu berani dan sanggup mati dalam
kebenaran, serta sabar dan ikhlas dalam hidup di dunia. Dimana ruh masih
terpenjara dalam wadaq ini. Hidup ikhlas adalah hidup tidak terkontaminasi nafsu
berebut kuasa, harta, kelezatan hidup di dunia (Chodjim, 2002,209). Maka
keikhlasan menjalani hidup menjadi tujuan dari haji. Untuk dapat ikhlas perlu laku
atau olah spiritual.
Untuk mampu memperoleh laku yang benar, juga diperlukan keberanian dan
kesanggupan memilih jalan yang diyakini benar. Sebagiannya adalah keberanian
dan kesanggupan untuk hidup bersahaja dan bersih dari segala perbuatan yang
tercela dan mungkar. Hati terbebas dari segala iri, dengki, dendam, kesumat, kikir
dan tamak. Pikiran bersih dari keterikatan dengan kelezatan dunia. Rohani
dimerdekakan, dan keberagamaan tidak terbelenggu oleh sekedar formalitas. Dan
untuk itu semua dibutuhkan kesabaran, memiliki daya juang, dan tidak mudah
menyerah dalam upaya mencapai tujuan. Tegar dan kokoh dalam perjuangan hidup
yang benar, dan kemauan mempertahankan keyakinan atas kebenaran itu.
Di balik kesabaran itu, juga tersembul kemauan menjaga harmonisme segala hal di
dunia ini. Tidak egois, tidak mau menang sendiri, tidak menyerobot hak orang lain.
tidak mempermainkan kekuasaan, tidak melanggar hak-hak orang lain. ia selalu
memperjuangkan hak hidup dengan tanpa mengorbankan hak orang lain. ia
memperjuangkan haknya sekaligus hak orang lain.
Muslim Jawa dalam beragama tidak hanya terikat pada simbol. Sehingga termasuk
Ka’bah misalnya, yang berada di Makkah hanya disebut sebagai tiruan yang dibuat
manusia. Ka’bah yang sesungguhnya tidak diketahui letaknya karena berada di
alam spiritual. Ka’bah diri berada di kedalaman ceruk hati. Oleh karenanya
kebenaran dan kejujuran tidak harus diburu di Makkah, justru di Jawa juga
menyediakan banyak ajaran spiritual yang jika ditinggalkan untuk memburu di
Makkah, malah membuat orang Jawa akan menjadi kafir. Yakni akan kehilangan
kebijaksanaan tradisional dan spiritualitas yang genuine dari kedalaman dirinya
sendiri. Untuk menciptakan kesejahteraan, ketentraman, dan untuk mampu
mendekati Tuhan, ternyata memang seharusnya tidak boleh meninggalkan
kebijaksanaan yang berakar pada tradisi ritual dari bangsa lain. Allah menyediakan
semua tempat dengan ragam hikmah (wisdom)-nya masing-masing. Untuk itulah
konsep keberbedaan harus disatukan dalam kerangka lita’aruf (saling mengenal).
Mereka yang mampu mengenal hikmah yang beragam itu disebut Allah sebagai
mereka yang paling sanggup mencapai ketakwaan.
Sajatine ora ana apa-apa awit duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji,
kang ana dhingin Ingsun, sajatine kang maha suci anglimputi ing sipat Ingsun,
anartaning asman Ingsun, amratandhani ing apngalIngsun. (Sesungguhnya tidak
ada apa-apa karena pada waktu masih dalam keadaan kosong, belum ada
sesuatupun, yang ada hanyalah Aku. Tidak ada tuhan selain Aku. Aku adalah
hakikat Zat yang Maha Suci yang meliputi sifat-Ku, yang menyertai Nama-Ku, dan
yang menandai perbuatanKu.).
Penjelasan;
Yang menyatakan sebagai Dzat yang Maha Suci ialah hidup kita pribadirupa kita
pribadi diliputi warna Dzat yang Elok, menyertai nama ialah nama kita pribadi yang
diakui sebagai Dzat yang Kuasa, sebagai tandanya tingkah laku kita pribadi
mencerminkan perbuatan Dzat yang Sempurna. dengan bertambahnya rahsa Dzat
yang Agung, semua sifat ialah
Dzat mempunyai sifat seperti gula dan manisnya (tak dapat dipisahkan), sifat
menyertai nama seperti matahari dan sinarnya (tak dapat dibedakan), nama
menandai perbuatan seperti cermin dan bayangannya (perbuatan selalu
mengikuti), sedang perbuatan menjadi wahana Dzat seperti samudera dan
ombaknya.
Sesungguhnya AKU adalah Dzat yang Maha Kuasa, yang berkuasa menciptakan
segala sesuatu, jadi seketika, sempurna karena kodratKU, di situ telah nyata tanda
perbuatanKU yang sebagai pembuka kehendakKU, yang pertama AKU menciptakan
Kayu bernama Sajaratul yakin tumbuh di dalam alam adam makdum (hampa
kosong) yang azali dan kekal abadi. Kemudian Cahaya bernama Nur Muhammad,
berikutnya Kaca bernama Mir’atul haya’i, selanjutnya Nyawa bernama Roh Idhofi,
pelita bernama ‘Kandil’, Permata (sesotya) bernama Dharrah, lalu dinding
pembatas bernama Hijab. yang menjadi sekat penampakan-Ku.
Nasehat di atas menunjukkan pada kita bahwa AKU (Allah) merupakan dzat yang
Maha Kuasa yang kuasa menciptakan segala sesuatu hanya dengan satu sabda saja
yaitu KUN, maka seketika jadi (FA YAKUN), semua ciptaannya sempurna sebagai
pertanda perbuatan (af’al) KU (Allah).
– Pertama diciptakan adalah Pohon (kayu) bernama Sajaratul Yakin, sajaratul kaun
(pohon kejadian) yang merupakan awal dan asal mula penciptaan tumbuh di alam
hampa sunyi senyap abadi (Ahadiyat) tumbuh dari benih Kaf dan Nun.
– Kedua diciptakan Cahaya yang diberi nama Nur Muhammad. Nur Muhammad ini
merupakan bibit alam semesta, tercipta dari hasil penyaringan benih Kun sampai
murni dan ditambah sinar HidayahNya lalu ditenggelamkan dalam lautan ar-
Rahmah. (Hadis) seperti burung merak permata putih berada arah sajaratul yakin,
hakikat cahaya, tajali Zat berada dalam nukat gaib, merupakan sifat Atma
(Wahdat).
– Keempat diciptakan Nyawa yang diberi nama Roh Idhofi, artinya nyawa yang
jernih. Hadist ; ia berasal dari Nur Muhammad ; hakikat sukma yang diakui
keadaan Dzat, merupakan perbuatan Atma (alam Arwah).
– Kelima diciptakan Lentera yang diberi nama Kandil, artinya lampu tanpa api.
Hadis; berupa permata, cahaya berkilauan tanpa kaitan. Itulah keadaan Nur
Muhammad dan tempat berkumpul semua roh, hakikat angan angan diakui sebagai
bayangan Dzat, bingkai Atma (alam Misal).
Sajatine manungsa iku rahsanIngsun lan Ingsun iku rahsaning manungsa, karana
Ingsun anitahake adam asal saka anasir patang prakara, bumi, geni, angin, banyu.
Iku kang dadi kawujudaning sipat Ingsun, ing kono Ingsun panjingi mudah limang
prakara, nur, rahsa, roh, napsu, budi. Iya iku minangka warananing wajah Ingsun
kang maha suci.
Sesungguhnya manusia itu rahsaKU dan AKU itu rahsanya manusia, karena AKU
menciptakan Adam berasal dari empat perkara; bumi, api, angin, air. Itu sebagai
perwujudan sifatKU, di sana AKU tempatkan lima perkara, nur, rahsa, roh, nafsu,
budi. Itulah sebagai perwujudan wajahKU yang Maha Suci.
Nasehat ke-3 menerangkan bahwa manusia diciptakan sebagai ‘rahsa’ (bukan rasa,
sebab antara rasa dan rahsa dalam keilmuan jawa berbeda) dari Allah, dan Allah itu
sebagai ‘rahsa’ dari manusia. Yang dimaksud adalah bahwa Allah menciptakan
manusia menurut gambaranNya atau menurut citraNya, seperti pernah saya
kemukakan bahwa pada tubuh manusia tertulis huruf ALLAH, yaitu : (terlihat saat
mengangkat kedua tangan, seperti dalam takbiratul ihram, membaca allahu akbar)
– alif sebagai garis dari ujung jari tangan kanan turun hingga ke ujung jari kaki
kanan,
– lam pertama dari ujung jari tangan kanan turun melalui bahu kanan dan naik ke
puncak kepala,
– lam kedua dari puncak kepala turun melalui bahu kiri dan naik hingga ujung jari
tangan kiri,
– ha sebagai garis dari ujung jari tangan kiri turun hingga ujung jari kaki kiri.
Dan manusia diciptakan berasal dari empat unsur yang merupakan gambaran
sifatNya yaitu bumi, api, angin dan air.
Bumi dalam tubuh kita terwujud pada hal-2 yang bersifat kedagingan, dan dibagi
menjadi dua hal yaitu yang merupakan unsur dari bapak berupa tulang, otot, kulit
dan otak, dan unsur dari ibu berupa daging, darah, sungsum dan jerohan.
Api dalam tubuh menjadikan empat nafsu yaitu aluamah, amarah, supiyah dan
mutmainah.
Angin dalam tubuh kita terwujud dalam empat hal yaitu napas, tannapas, anapas
dan nupus.
– Napas merupakan ikatan badan fisik, bertempat di hati suwedhi, yaitu jembatan
hati, berpintu di lisan
– Nupus merupakan ikatan rahsa, bertempat di hati fuad yang putih yaitu jembatan
jantung, berpintu di mata.
Air dalam tubuh menjadikan empat elemen roh yaitu roh hewani, roh nabati, roh
rabbani dan roh nurrani.
Setelah empat unsur alam terbentuk dalam tubuh manusia, kemudian Allah
menempatkan pula lima hal yaitu dzat hamba sebagai gambaran wajahNya yaitu
nur, rahsa, roh, nafsu dan budi.
– Nur, merupakan terangnya cahya, jika mewakili Dzat Yang Maha Suci dapat
menerangi lahir batin
– Rahsa, rasa jika mewakili Dzat Yang Maha Suci dapat menumbuhkan daya
ketenteraman di lahir batin
– Roh, penglihatan roh jika mewakili Dzat Yang Maha Suci menjadikan penguasaan
sempurna
– Nafsu, kekuatan nafsu jika mewakili Dzat Yang Maha Suci menumbuhkan
kekuatan kehendak yang sentosa
– Budi, penciptaan budi jika mewakili Dzat Yang Maha Suci menumbuhkan daya
cipta yang sentosa.
Oleh karena itulah beberapa orang mengatakan bahwa manusia mempunyai sifat-
sifat Tuhan dan juga mempunyai kesucian wajah Tuhan.
Wejangan ke-4 Pambukaning tata malige ing dalem betalmakmur
sajatine Ingsun anata malige ana sajroning betalmakmur, iku omah enggoning
parameyan Ingsun, jumeneng ana sirahing Adam. Kang ana sajroning sirah iku
dimak, yaiku utek, kang ana antaraning utek iku manik, sajroning manik iku budi,
sajroning budi iku napsu, sajroning napsu iku suksma, sajroning suksma iku rahsa,
sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran anging Ingsun, dat kang nglimputi
ing kahanan jati.
Sesungguhnya AKU bertahta dalam Baitul Makmur, itu rumah tempat pestaKU,
berdiri di dalam kepala Adam. Yang pertama dalam kepala itu ‘dimak’ yaitu otak,
yang ada di antara otak itu ‘manik’ di dalam ‘manik’ itu budi, di dalam budi itu
nafsu, di dalam nafsu itu suksma, di dalam suksma itu rahsa, di dalam rahsa itu
AKU, Tidak ada Tuhan selain AKU, Dzat yang meliputi keberadaan yang
sesungguhnya.
Nasehat ini menyatakan bahwa Allah bertahta atau bersinggasana di dalam baitul
makmur, yang berada di dalam kepala manusia. Barangkali kalau memakai bahasa
orang-orang reiki yang dimaksud dengan baitul makmur adalah cakra mahkota
yang ada di puncak kepala. Di dalam kepala manusia terdapat otak. Di antara otak
itu sendiri terdapat lapisan-2 sebagai berikut :
Dan sesungguhnya tidak ada Tuhan selain hanya AKU, Dzat yang meliputi
segalanya.
Dalam nasehat ini Allah menyatakan bahwa diriNya bertahta di baitul muharram
yang menjadi tempat larangan, berada di dalam dada manusia. Mungkin yang
dimaksud adalah cakra jantung. Disebutkan bahwa di dalam dada manusia itu
terdapat susunan sebagai berikut :
Kembali di wejangan ke-5 ini ditegaskan bahwa tidak ada Tuhan selain AKU (Allah),
dzat yang meliputi keberadaan sesungguhnya (kahanan jati). Mengapa itu perlu
ditegaskan, karena untuk menghindari salah pengertian bagi mereka yang telah
mendapatkan wejangan ini, jangan sampai karena merasa bahwa AKU (Allah)
bertahta di kepala dan di dalam manusia, lalu manusia tersebut mengaku dirinya
sebagai Tuhan, maka manusia tersebut telah jauh tersesat.
sajatine Ingsun anata malige ana sajroning betalmukadas, iku omah enggoning
pasucen Ingsun, jumeneng ana ing kontholing adam. Kang ana sajroning konthol
iku prinsilan, kang ana ing antaraning pringsilan ikku nutpah, yaiku mani, sajroning
mani iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning wadi iku manikem, sajroning
manikem iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun. Ora ana pangeran anging Ingsun
dat kang anglimputi ing kaanan jati, jumeneng sajroning nukat gaib, tumurun dadi
johar awal, ing kono wahananing alam akadiyat, wahdat, wakidiyat, alam arwah,
alam misal, alam ajsam, alam insan kamil, dadining manungsa sampurna yaiku
sajatining sipatIngsun.
Buah pelir : Keadaan purba, diresapi rasa birahi, menimbulkan asmaranala, yaitu
tertariknya hati.
Kedua wahdat
Ketiga wahidiyah
Keempat arwah
Kelima missal
Keenam ajsam
Ingsun anekseni satuhune ora ana Pangeran anging Ingsun lan anekseni Ingsun
satuhune muhammad iku utusan Ingsun
AKU menyaksikan bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali AKU dan AKU
menyaksikan sesungguhnya muhammad itu adalah utusanKU.
Ini adalah wirid rahasia, yang hanya boleh diamalkan oleh orang yang sudah
mengetahui hakikat diriNya, yang telah mengerti sangkan paraning dumadi (asal
muasal kejadian ). Wirid ini dibaca dalam rasa terdalam, dalam sirr yang hanya
dapat di dengar oleh dirinya dan Tuhannya dalam keadaan hening dengan
menempatkan diri dalam martabat Ahadiyat, merasa dirinya lenyap tak berwujud
yang ada hanya wujud Dzat Allah yang tak teridentifikasikan oleh panca indera.
“ Aku menyaksikan (dengan mata hatiku) bahwa tidak ada apa apa (hampa) selain
hanya (wujud) Allah saja. Dan Aku menyaksikan (dengan mata kepalaku) bahwa
sesungguhnya alam semesta ini (yang diciptakan dari Nur Muhammad) hakikatnya
adalah utusan (yang bertugas memperlihatkan sifat, nama, af’al) Allah.
Ingsun anekseni ing DatIngsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran anging Ingsun,
lan anekseni Ingsun satuhune muhammad iku utusanIngsun. Iya sejatine kan aran
Allah iku badanIngsun, rasul iku rahsaNingsun, muhammad iku cahayaNingsun. Iya
Ingsun kang urip tan kena ing pati, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya
Ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir ing kaanan jati, iya Ingsun kang
waskitha, ora kasamaran ing sawiji-wiji. Iya Ingsun kang amurba amisesa, kang
kawasa wicaksana ora kekurangan ing pakerthi, byar sampurna padhang
terawangan, ora karasa apa-apa, ora ana katon apa-apa, amung Ingsun kang
anglimputi ing alam kabeh kalawan kodratIngsun
AKU menyaksikan pada DzatKU sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali
AKU, dan menyaksikan AKU sesungguhnya muhammad itu utusanKU.
Sesungguhnya yang bernama Allah itu badanKU, rasul itu rahsaKU, muhammad itu
cahayaKU. AKUlah yang hidup tidak bisa mati, AKUlah yang ingat tidak bisa lupa,
AKUlah yang kekal tidak bisa berubah dalam keberadaan yang sesungguhnya,
AKUlah waskita, tidak ada tersamar pada sesuatu pun. AKUlah yang berkuasa
berkehendak, yang kuasa bijaksana tidak kurang dalam tindakan, terang sempurna
jelas terlihat, tidak terasa apa pun, tidak kelihatan apa pun, kecuali hanya AKU
yang meliputi alam semua dengan kuasa (kodrat)KU.
Nasehat ini merupakan penutup yang berupa sahadat atau penyaksian. Nasehat
pertama sampai dengan kedelapan merupakan satu rangkaian yang tidak boleh
diputus, sebab jika terputus maka pemahamannya akan berkurang.
Mengawinkan badan dan nyawa; Allah yang mengawinkan, Rasul sebagai walinya,
Muhammad penghulunya, dan saksi empat orang malaikat. Yakni Aku yang
mengawini badanKu sendiri, sepertemuan dengan suksmaKu, dengan rahsaKu,
sebagai wali, disyatikan oleh cahayaKu, disaksikan malaikat empat; Jibril ialah
pengucapKu, Mikail penciumanKu. Israfil penglihatanKu, dan Izrail pendengaranKu,
serta mas kawinnya sempurna karena kodratKu.
“Aku Dzat Tuhan yang bersifat Esa, meliputi hamba-Ku, manunggal jadi satu
keadaan, menjadi sempurna lantaran kodrat-Ku”.
– Menyucikan Dzat
“Aku Dzat yang Maha Suci yang bersifat Kekal, yang Maha Menguasai, yang Kuasa
dan yang Sempurna, menjadi suci kembali Dzat-Ku lantaran kodrat-Ku”.
“Aku Dzat yang Maha Luhur, yang menjadi Raja Agung, yang Maha Menguasai,
yang Kuasa menciptakan istana-Ku, lengkap pula bala tentara-Ku, tak ada yang
kekurangan, kelihatan terbentang apa yang Kuciptakan, ada segala yang Kuingini,
datang dari segala yang Kukehendaki, lantaran kodrat-Ku”
– Meracut
“BadanKu yang tertinggal di alam dunia, bila telah berada pada zaman keramat
yang Maha Mulia, bulu, kulit, daging, darah, tulang dan sungsum, berasal dari
cahaya kembali menjadi cahaya, sempurna kembali padaKu, karena kodratKu”.
– Menarik
“Anak-Ku seterusnya ke atas dan ke bawah, semua yang pulang kembali ke zaman
keramat alam masing masing harap suci, mulia, sempurna seperti Aku, karena
kodratKu”.
“Aku jadikan alam dunia beserta isinya, dan setelah sampai batas waktunya, Aku
gulung kembali. Mulia sempurna menjadi satu dengan-Ku kembali, lantaran kodrat-
Ku”.
– Kesejahteraan Keturunan
“Semua makhluk-ku, sama melihat dan mendengar. Semoga belas kasih kepada-
Ku, karena kodrat-Ku”.
“Segala macam cahaya semua yang terliputi oleh Dzat-Ku. Akulah Dzat Gusti yang
bersifat Esa. Akulah Dzat Yang Maha Suci bersifat Kekal. Akulah Dzat yang Maha
Luhur menjadi Raja Agung, Maha Kuasa. Kuasa membinasakan badan-Ku, menarik
anak keturunan-Ku, menggulung dunia-Ku, menyebarkan keturunan-Ku,
menerapkan rasa kasih kepada hamba-Ku, menganggap anak kepada makhluk-Ku,
semuanya sempurna lantaran kodrat-Ku”.
Dalam budaya Jawa banyak serat yang diciptakan oleh nenek moyang kita. Salah
satunya adalah Serat Asmaralaya. Jika kita mempelajari serat Asmaralaya tersebut,
maka kita akan mengetahui dunung kita pribadi.
Dalam sebuah hadist di ajaran Islam disebutkan “Barangsiapa yang mengetahui
dirinya sendiri, maka ia akan tahu Tuhannya”. Nah, kalau Anda ingin mengetahui
diri Anda pribadi, tidak ada salahnya belajar pada Serat Asmaralaya. Serat
Asmaralaya tersebut antara lain berbunyi:
Ana wiku medhar ananing hyang agung
kang nglimputi dhiri
wayangan nya dumumung neng netranira
bunder nguwung lir sunaring surya nrawung
aran nur muhammad
weneh muwus jatining kang murbeng idhup
yaiku pramana
kang misesa ing sakalir
dumuning neng utyaka guruloka
iya iku tembung arab baitul makmur
Ada Orang Bijak menjelaskan adanya Hyang Agung
Yang menyelimuti diri
Gambarannya ada pada Matamu sendiri
Bentuknya bundar memancarkan sinar surya yang menerawang
Yang dijuluki Nur Muhammad
Memberikan kesejatian dalam hidup
Yaitu pramana
Yang menguasai segalanya
Letaknya ada di guruloka
Yaitu bahasa Arabnya baitul makmur
Serat asmalaya adalah salah satu serat Jawa yang berbentuk suluk atau piwulang,
berisikan ajaran suci berdasarkan ajaran Islam yang dipadukan dengan ajaran
kejawen. Lebih dari itu, serat ini adalah hasil pemikiran dan perenungan nenek
moyang kita. Serat ini penuh dengan pesan moral yang bernafaskan Islam. Ajaran
yang terkandung dalam serat ini erat kaitannya dengan perbuatan dan kelakuan
yang merupakan cerminan budi pekerti manusia.
1
Segala tuju asalnya dari Impian
Begitupula ku impikan Jeng Muhammad
Mengajarkan agama Islam
Dan sungguh aku terbuai dalam impian
Ketika terbangun Islam hanyalah berupa mutiara didasar laut
Maka aku pun terhanyut dalam lamunan kerinduan
2
Tak pernah selain Muhammad,
Nurnya cahaya semesta
Ku kira Betara
Atau ini hanya fata-morgana.
Gusti yang widi
Penguasa Muhammad yang diridhoi
Kalaulah Islam hakiki
Jadikanlah aku abdi.
Kemana harus kucari kebenaran sejati?
3
Akupun tanggalkan pakaian kebesaran,
Hingga telanjanglah aku dari segala kemewahan
Tapi sungguh itu belumlah cukup untuk menemukan
Karena aku harus mencari lautan yang menyimpan kekayaan
Dimanakah letak lautan hakiki?
akupun berjalan mencari guru sejati
Yang menunjukan lautan dan mengajar menyelami diri
4
Bayang-banyang cadar kemolekan
Membawa diri tertuju jalan kerinduan
Rindu adalah asal dari cinta
Maka inilah asmara
Kepergian moga laksana isra
Dari satu sungai menuju samudra
Atau dari pulau ke benua
Tekad adalah baja
Bila hanya diam membisu
Lalu hidup tak ada tuju
Maka semua kan berlalu
beku tetap sembilu
Biar ku tinggalkan istana…
5
Sampailah aku di gunung maarapi
Tempat Resi Danuarsih
Berujarlah sang Resi:
“Anakku,
Islam itu ada tapi tiada
Ada karena mimpimu adalah dari-Nya
Tiada karena kau harus menemukan adanya”
“Anakku,
Diamlah di gunung maarapi
Dan makanlah buah-buahan untuk menguatkan
Dan ku serahkan padamu ladang untuk bercocok tanam
Cangkul, tanami dan pergauli dengan sempurna”
6
Di gunung Marapi terhenti kaki
Memusatkan ruh indrawi pada satu Dzati
Terdiam membisu dalam hening malam
Menyatu pikiran dalam bayangan wajah Tuhan
Kemewahan dunia akan Morgana
bila kita melihat Djalal-Nya
Hanya satu Dzat yang hakiki
saat cinta-Nya menyapa diri
Naps ini moga bukan api
Pabila api ambilah hanya pelita
pelita akan tetap membara
Inilah yang dimaksud Mutmainah
Gunung Marapi
Menjadi paku bumi
Dan aku terpaku
Di dalam samadi
Diamnya naps adalah Ibadah
Semoga dapat Iradah
7
Aku berujar kepada Sang Resi:
Bapak Resi, kini telah bertambah kekuatanku
Telah kau berikan pusaka sebagai pendamping di perjalanan
Maka hamba mohon diri untuk mencari
8
Sampailah aku di gunung (se)jati
Sumber dari kayu Jati
Lalu ku daki inci demi inci
Terjatuh, terbangun, terjatuh, terbangun
karena tekad sampailah dipuncak gunung
Lalu terlihat sebuah gua dipuncaknya
Dan ku dapatkan seberkas cahaya disana
9
Berkatalah cahaya:
“Aku adalah Nur Jati
Aku adalah guru sejati,
Siapa yang mengenal aku maka lapang jalannya
Engkau telah datang ketempat yang benar
Marilah akan ku tunjukan jalan menuju Islam
Untuk dapat menjadi Islam
Harus mengetahui siapa Tuhan dan siapa Muhammad
La Illaha Illallah, Muhammadur Rasullullah
Pertama mengenai Tuhanmu Allah yang menciptakan jagat raya serta isinya
Kedua mengenai Muhammad sebagai utusan yang menjadi panutan
Dan keduanya telah setunggal dalam rasa
Nur Muhammad hakekatnya adalah cahaya semesta;
Karena mulanya semesta itu gelap, lalu diciptalah cahaya
Begitupula Nabi Muhammad, ia adalah cahayanya semesta
Karena kedatangannya jaman kegelapan berganti benderang
Dirimupun demikian,
kalau kau sudah dapat menemukan Muhammad dalam dirimu,
maka akan nampaklah Nurbuatmu
dan engkau akan menjadi Insan Kamil,
sempurna karena engkau telah menemukan Muhammad,
Siapa yang mengenal Muhammad maka mengenal Tuhannya.
Kamu dan Tuhan telah setunggal dalam rasa.
Mengenai mutiara yang kau cari,
Hendaklah kau selami kedalam lautan hati.
Prabu Satmata (Sunan Giri) lantas berkata, mewedarkan kelebihannya, Tiada beda
dengan Allah Kuasanya, yang mengetahui pertama tiada lain kecuali Allah, yang
kedua Nur dan Badan fisik, yang ketiga Rasul, dan yang keempat Dzatullah.
Syeh Siti Jênar lantas berkata, mewedarkan kelebihannya, Dalam menyembah
Allah, yang sujud maupun yang rukuk adalah Allah, yang menyembah maupun
yang disembah adalah Allah, AKU-lah yang Berkuasa, Yang Berwenang tak lain juga
AKU.
Maka berkatalah seluruh Wali, Syeh Siti Jênar berpaham Qadariyyah, semuanya
adalah tunggal menurutnya, Siti Jênar menjawab, Dikatakan berpisah-pun tiada
tepat, dikatakan dekat-pun juga tidak benar, itulah Allah.
Prabu Satmata (Sunan Giri) lantas berkata, Yang kamu tunjuk sebagai Allah itu
jasad-mu, Syeh Lêmah Bang menjawab, tiada membicarakan Raga dan Jiwa
(Badan halus), semua tempat Roh telah ditinggalkan, semua tak lain hanya Allah,
sekehendak-Nya Berwenang.
Maka seluruh Wali berkata, Dirimu salah wahai Siti Jênar, mengatakan badan
fisikmu Allah, dan Allah berwujud dalam badan Siti Jênar, badan fisikmu tak kekal
didunia ini, Siti Jênar jelas telah salah, dia telah mengaku Hyang Suksma (Tuhan).
Dan tersebutlah pada pertemuan selanjutnya, (konon katanya) semua mewedarkan
mutiara ilmu, tiada memakai tirai rahasia lagi, semua membuka penutup ilmu, agar
tiada salah dalam memahami, disini agar jelas mana yang pemahamannya sesat,
akan tetapi pendapat Siti Jênar tetap tiada goyah.
Maka Prabu Satmata berkata, Syeh Lêmah Bang terlalu berani, daripada seluruh
saudara-saudara semuanya disini, padahal maksudnya tiadalah berbeda, tapi
terlalu jelas apa yang diucapkannya, bisa membuat salah paham, sehingga
membuat orang menjadi menggampangkan agama.
Akan banyak manusia yang malah bingung, jika tidak mendapatan pemahaman itu
dari seorang guru, akan banyak manusia yang menggampangkan, merasa telah
mendapatkan kabar rahasia, merasa telah mendapatkan hal yang sejati, tiada
berkehendak untuk mencari guru lagi, seolah enggan lagi untuk bertanya kepada
seorang guru.
Syeh MaulanaMaghribi pun hadir, seluruh orang besar keturunan dari Champa juga
datang ke masjid agung, ditambah dengan tujuh wali lainnya, semua kembali
mewedarkan mutiara ilmu, tiada beda dengan pertemuan yang terdahulu, Siti Jênar
kembali diperingatkan.
Syeh Maulana Maghribi lantas berkata, Benarkah nama tuan Siti Jênar? Siti Jênar
lantas menjawab, Allah namaku, tiada lagi Allah lain, yang mewujud dalam Siti
Jênar, sirna Siti Jênar hanya Allah yang nyata.
Maulana Maghribi berkata, Siti Jênar telah kafir, seluruh keturunan orang besar
Champa berkata pelan, Siti Jênar telah kafir dalam pandangan manusia, tetapi
entah didepan Allah, nyata telah kafir dalam pandangan manusia, dan orang seperti
inilah patut disebut kafir.
Maulana Maghribi berkata, Wahai para Wali percuma kalian mengajar jika
demikian, seluruh masjid kalian akan kosong, sedikit yang akan sembahyang
disana, agama akan rusak, semua orang akan menggampangkan, sepatutnya yang
salah harus dihukum dengan pedang.
Syekh Siti Jênar lantas menjawab, Sudah menjadi niatan saya, pintu surga telah
terbuka lebar, Siti Jênar lantas diikat, oleh empat orang santri, Syekh Siti Jênar
telah diputuskan untuk mendapat hukuman, dengan cara dipotong kepalanya.
Siti Jênar mendapat hukuman mati, karena berani mengaku Allah, anak gembala
itu segera, berlari ke arah para Wali dengan sesumbar, mendekat tepat dihadapan,
(Para Wali berkata) Masih ada Allah yang tertinggal, Allah yang menggembalakan
kambing.
Prabu Satmata lantas memerintahkan, Bunuh juga anak gembala itu, hukum-lah
jangan lama-lama lagi, tempatkan disebelah Siti Jênar, menjawab Siti Jênar,
Tempatkan disisiku, akan aku bawa serta dia.
Anak gembala berkata pelan, Jangan-lah tuan yang meninggal cukup hamba saja,
menangis sedihlah dia melihat gurunya hendak dibunuh, (Siti Jênar
berkata) Ikutlah mati bersamaku, sudah terbuka pintu surga, maka semua yang
hendak dihukum lehernya telah dipedang, tersenyum anak gembala.
Kanjengng Sunan Ratu Giri, tiada menyangka bahwasanya, jasad Siti Jênar masih
utuh, selama tiga hari terlihat bercahaya, lantas terdengar ucapan salam, Selamat
tinggal wahai paduka, (Jasad) Siti Jênar lantas hilang.
Begitu juga ketiga muridnya, semua jasadnya menghilang, tak ketinggalan jasad
anak gembala, juga ikut musnah, semuanya sirna, keheranan semua yang melihat,
kepada Syekh Siti Jênar dan semua muridnya.
Semua kisah yang sudah aku ceritakan, menunjukkan bahwasanya Syekh Lêmah
Bang, (Syekh Siti jenar) sangat yakin dan mantap, akan tetapi jarang bisa ditemui,
orang seperti Syekh Siti Jênar, kebanyakan hanya terhenti dimulut, jika mendapat
ancaman akan mundur ketakutan.