Anda di halaman 1dari 20

Hakekat Rukun Islam Menurut Syekh Siti 

Jenar

1. Syahadat (Sasahidan Ingsun Sejati)


Selama ini, syahadat umumnya hanya dipahami sebagai
bentuk mengucapkan kata “Asyhadu an la ilaha illa Allah,
wa asyhadu anna Muhammad al-rasul Allah”. Dan karena
hanya pengucapan, wajar jika tidak memiliki pengaruh
apa-apa terhadap mental manusia. Siapapun toh dapat
mengucapkannya, walau kebanyakan tidak
memahaminya. Padahal makna sesungguhnya bahwa
syahadat adalah “kesaksian” bukan “pengucapan” kalimat
yang menyatakan bahwa ia telah bersaksi.
Ketika kita mengucakan kata “Allah”, maka kata ini harus
hadir dan lahir dari keyakinan yang mendalam. Pada saat
pengucapan, kita harus yakin bahwa Allah “ada” pada diri
nabi-Nya, dan bahwa setiap diri kita mampu membawa
peran nabi tersebut. Dalam ma’rifat, nabi dan kenabian
sebagai suatu hal yang selalu hidup. Dan ketika person
nabi terakhir diberi label “Muhammad”, maka ia adalah
langsung dari nur dan ruh Muhammad, dan menyandang
nama spiritual sebagai “Ahmad”. Dan ketika kata “Ahmad”
disebutkan, Nabi Muhammad sering mengemukakan
bahwa “ana Ahmad bila mim” (aku adalah Ahmad yang
tanpa mim), yakni “Ahad”. Ketika suku bangsa dzahir
“arab” disebutkan, beliau sering mengemukakan “ana
‘arabun bila “Ain”, (aku adalah “Arab tanpa ‘Ain), yakni
“Rabb”. Inilah kesaksian itu, atau syahadat.
Kalau kita membayangkan nabi secara fisikal maka kita
akan menghayalkan tentang nabi. Nah, pada saat Allah
kita rasakan hadir atau bersemayam dalam diri Nabi yang
berada di kedalaman lubuk hati kita, maka terlepaslah
ucapan “Muhammad al-Rasul Allah” sebagai kesaksian.
Lalu kesaksian ini kita lepaskan ke dalamDzat Allah.
Sehingga kemudian tercipta apa yang disebut sebagai
“Tunggal ing Allah hiya kang amuji hiya kang pimuji”,
kemanunggalan dengan Allah sehingga baik yang memuji
dan yang dipuji tidak dapat dipisahkan.
Pada konteks syahadat yang seperti itulah kemudian lahir
ajaran tentang “wirid sasahidan” dari Syekh Siti Jenar,
dalam bentuk pengucapan hati sebagai berikut
(Sholikhin: 2004, 182-183)
Ingsun anakseni ing datingsun dhewe
Satuhune ora ono pangeran among ingsun
Lan nekseni satuhune Muhammad iku utusaningsun
Iya sejatine kang aran Allah iku badaningsun
Rasul iku rahsaningsun
Muhammad iku cahyaningsun
Iya ingsun kang urip tan kena ing pati
Iya ingsun kang eling tak kena lali
Iya ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir ing
kahanan jati
Iya ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji
Iya ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana
ora kekurangan ing pakerti
Byar
Sampurna padhang terawangan
Ora kerasa apa-apa
Oa ana katon apa-apa
Mung ingsun kang nglimputi ing alam kabeh
Kalawan kodratingsun.

Artinya:
Aku bersaksi di hadapan Dzat-ku sendiri
Sesungguhnya tiada tuhan selain Aku

2
Aku bersaksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku
Sesungguhnya yang disebut Allah itu badan-Ku
Rasul itu rasa-Ku
Muhammad itu cahaya-Ku
Akulah yang hidup tidak terkena kematian
Akulah yang senantiasa ingat tanpa tersentuh lupa
Akulah yang kekal tanpa terkena perubahan di segala
keadaan
Akulah yang selalu mengawasi dan tidak ada sesuatupun
yang luput dari pengawasan-Ku
Akulah yang maha kuasa, yang bijaksana, tiada
kekurangan dalam pengertian
Byar
Sempurna terang benderang
Tidak terasa apa-apa
Tidak kelihatan apa-apa
Hanya aku yang meliputi seluruh alam
Dengan kodrat-Ku

Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa kesaksian


tersebut diperoleh berdasarkan lelaku. Maka setelah
lahirnya kesaksian tersebut juga harus disertai dengan
lelaku pula. Yaitu diikuti dengan semedi atau dzikir rasa
sehingga kemudian dapat mengalami mati dalam hidup
dan hidup dalam mati. Dzikir seperti ini dilakukan dengan
meng-heneng-kan diri dan mengheningkan cipta serta
karsa sehingga kembali tercipta kesatuan hati, pikiran
dan rasa hidup. Hal ini dilakukan dengan menyatukan
pancaindera, memejamkan mata dan mengarahkannya ke
pucuk hidung (pucuking ghrana), sambil menyatukan
denyut jantung, harus diatur pula pernapasan yang masuk
dan keluar jangan sampai tumpang tindih.

3
Biasanya praktik sasahidan ini akan berujung pada
bercampurnya rasa hati dan hilangnya segenap perasaan.
Kalau sudah mencapai kondisi ini, maka harus diturunkan
ke dalam jiwa dan menyebar ke seluruh sel-sel dan syaraf
tubuh. Sehingga akan tercapailah ketiadaan rasa apapun
dan akan memunculkan sikap ke-waskitha-an (eling lan
waspadha).
Dengan demikian wajar jika pada kesimpulannya tentang
makna syahadat, Syekh Siti Jenar memberikan makna
syahadat sebagai etos gerak, etos kerja yang positif,
progresif, dan aktif. Syekh siti jenar mengemukakan
bahwa syahadat tauhid dan syahadat rasul mengandung
makna jatuhnya rasa (menjadi etos), kesejatian rasa
(unsur motorik), bertemunya rasa (ide aktif dan kreatif),
hasil karya yang maujud serta dampak terhadap
kesejatian kehidupan (Sholikhin: 2004, 187). Itulah
makna syahadat yang sesungguhnya dari sang insan
kamil.

2. Sholat
“Peliharalah shalatmu dan shalat wustha. Berdirilah
untuk Allah (dalam shalat) yang khusyuk” (QS Al.
Baqarah/ 2:238). Ini adalah penegasan dari Allah tentang
kewajiban dan keharusan memelihara shalat, baik segi
dzahir maupun batin dengan titik tekan “khusyuk”,
kondisi batin yang mantap.
Secara lahir, shalat dilakukan dengan berdiri, membaca
Al-Fatihah, sujud, duduk dsb. Kesemuanya melibatkan
keseluruhan anggota badan. Inilah shalat jasmani dan
fisikal. Karena semua gerakan badan berlaku dalam
semua shalat, maka dalam ayat tersebut disebut

4
shalawaati (segala shalat) yang berarti jamak. Dan ini
menjadi bagian pertama, yakni bagian lahiriah.
Bagian kedua adalah tentang shalat wustha, yaitu yang
secara sufistik adalah shalat hati. Wustha dapat diartikan
pertengahan atau tengah-tengah. Karena hati terletak di
tengah, yakni di tengah “diri”, maka dikatakan shalat
wustha sebagai shalat hati. Tujuan shalat ini adalah untuk
mendapatkan kedamaian dan ketentraman hati. Hati
terletak di tengah-tengah, antara kiri dan kanan, antara
depan dan belakang, atas dan bawah, serta antara baik
dan jahat. Hati menjadi titik tengah, poin pertimbangan.
Hati juga diibaratkan berada diantara dua jari Allah,
dimana Allah membolak-balikkannya ke mana saja yang
ia kehendaki. Maksud dari dua jari Allah adalah dua sifat
Allah, yaitu sifat Yang Menghukum dan Meng-adzab
dengan sifat Yang Indah, Yang Kasih Sayang, dan Yang
Lemah Lembut.
Sholat dan ibadah yang sebenarnya adalah sholat serta
ibadahnya hati, kondisi khusyu’ menghadapi kehidupan.
Bila hati lalai dan tidak khusyuk, maka jasmaniahnya akan
berantakan. Sehingga kalau ini terjadi, kedamaian yang
didambakan akan hancur pula. Apalagi shalat jasmani
hanya bisa dicapai dengan hati yang khusyuk. Kalau hati
tidak khusyuk, serta tidak dapat konsentrasi pada arah
yang dituju dari shalat, maka hal itu tidak bisa disebut
shalat. Juga tidak akan dapat dipahami apa yang
diucapkan, dan tentu apa pun yang dilakukan dengan
bacaan dan gerakannya tidakakan bisa mengantarkan
sampai kepada Allah.
Urgensi ke-khusyuk-an ini berhubungan dengan inti
shalat sebagai doa. Doa atau munajat, bukan sekedar
permintaan hamba kepada Allah, akan tetapi berarti juga

5
sebagai arena pertemuan. Dan tempat pertemuan itu
adalah di dalam hati. Maka jika hati tertutup di dalam
shalat, tidak peduli akan makna shalat rohani, shalat yang
dilakukan tersebut tidak akan memberikan manfaat apa
pun. Sebab semua yang dilakukan jasmaninya sangat
tergantung kepada hati sebagai Dzat untuk
badan. “Ingatlah bahwa dalam tubuh itu ada sekeping
daging, apabila daging itu baik, baiklah seluruh tubuh itu.
Dan apabila ia rusak, rusak pulalah semua tubuh itu.
Daging itu adalah hati. “ (sabda Rasulullah)
Ke-khusyuk-an hati akan membawa sholat yang
menghasilkan kesehatan hati. Shalat khusyuk akan
menjadi obat bagi hati yang rusak dan jahat serta
berpenyakit. Maka shalat yang baik haruslah dengan hati
yang sehat dan baik pula, bukan dengan hati yang rusak,
yakni hati yang tidak dapat hadir kepada Allah.
Jika shalat dari sisi jasmaniah-fisik memiliki keterbatasan
dalam semua hal, baik tempat, waktu, kesucian badan,
pakaian, dsb, maka shalat dari segi rohaniah tidak
terbatas dan tidak dilaksanakan pada waktu-waktu
tertentu. Shalat secara rohaniah tidak terikat oleh ruang
dan waktu. Shalat ini selalu dilakukan terus menerus
sejak di dunia hingga akhirat. Masjid untuk shalat rohani
terletak dalam hati. Jamaahnya terdiri dari anggota-
anggota batin atau daya-daya rohaniah yang ber-dzikir
dan membaca al-asma’ al-husna dalam bahasa alam
rohaniah. Imam dalam shalat rohani adalah kemauan atau
keinginan (niat) yang kuat. Dan kiblatnya adalah Allah.
Inilah shalat tarek dan sholat daim yang diajarkan oleh
Syekh Siti Jenar.
Shalat yang demikian itu hanya dapat dilakukan oleh hati
yang ikhlas, hati yang tidak tidur, dan hati yang tidak

6
mati. Hati dan jiwa seperti itu kekal dan selalu beribadah
atau shalat ketika jasmaninya sedang tertidur atau
terjaga. Ibadah hati dilakukan sepanjang hayat, dan
sepanjang hayatnya adalah untuk beribadah.
Inilah ibadah orang yang sudah mencapai ma’rifatullah,
tempat penyucian tertinggi. Di tempat itu, ia ada tanpa
dirinya. Karena dirinya telah fana’, telah hilang lenyap.
Ingatannya yang teguh dan suci tercurah hanya kepada
Allah.
Namun tentu saja ini berlaku setelah semua shalat-shalat
fardhu dan nawafil dilaksanakan secara konsisten. Jadi,
tempat suci tersebut baru bisa dijangkau setelah semua
shalat syari’at itu sempurna, lalu masuk ke dalam shalat
thariqat dan ma’rifat. Maka tidak bisa diartikan bahwa
jika sudah berada di tingkatan ini, lalu tidak lagi
melakukan shalat sama sekali. Bahkan sering dalam
shalat itulah mereka mengalami fana’ dalam munajat-nya
sehingga ibadah yang dilakukannya itu menyita banyak
waktu. Hanya saja bentuk shalat dalam arti gerakan dan
bacaan tertentu sudah tidak mengikat lagi. Shalat
ditegakkan atas kemerdekaan rohani dalam menempuh
laku menuju Allah.
Pada tingkatan ini tidak ada lagi bacaan di mulut. Tidak
ada lagi gerakan berdiri, ruku’, sujud, dsb. Dia telah
berbincang dengan Allah sebagaimana firman-Nya “Hanya
Engkau yang kami sembah, dan hanya Engkaulah kami
memohon pertolongan” (QS Al-Fatihah/1: 5)
Firman tersebut menunjukkan betapa tingginya
kesadaran insan kamil, yakni mereka yang telah melalui
beberapa tingkatan alam rasa dan pengalaman rohani
sehingga tenggelam dalam lautan tauhid atau Ke-Esaan
Allah dan ber”padu” dengan-Nya. Nikmat yang mereka

7
rasakan saat itu tidak dapat diungkapkan dengan kata-
kata. Hanya orang yang mengalaminya yang dapat
mengalaminya yang dapat mengartikan kenikmatan
tersebut. Namun mereka pun sering tidak mau
mengungkapkannya. Tidak ingin membocorkan rahasia
Ketuhanan yang tersimpan di dalam lubuk hatinya oleh
Allah.
Hal tersebut sama halnya dengan hakikat takbir, yang
bukan semata-mata ucapan “Allahu Akbar”. Takbir
merupakan pengucapan yang lahir dari firman Allah yang
memuji kebesaran Dzat-Nya. Jadi, takbir sebenarnya
merupakan suara Tuhan yang meminjam mulut hamba-
Nya. Bukan hasil dari dorongan emosional. Karenanya,
takbir sejati adalah menyatakan kebesaran Allah dari af’al
Allah sendiri. Takbir sejati merupakan penghayatan diri
terhadap sifat Allah. Dan takbir sejati adalah penyebutan
nama-Nya yang lahir dari kehendak-Nya semata. Dengan
takbir yang demikian itu maka yang lain menjadi sangat
kecil, dan menjadi tidak ada. Yang ada hanya Allah. Ke
mana pun kita menghadap yang ada hanya Wajah Allah.
Maka setelah berpadu ibadah lahir dan batin secara
harmonis, sempurnalah ibadah seseorang. Hati dan ruh
seperti tergambar itu membawanya masuk ke Hadirat
Allah. Hatinya ber”padu” mesra dengan Allah. Dalam alam
nyata ia menjadi hamba yang wara’ dan ‘alim. Dalam alam
rohani ia menjadi ahli ma’rifah yang telah sampai pada
peringkat kesempurnaan mengenal Allah. Inilah makna
bahwa shalat adalah perjalanan menuju Allah. Hasilnya
adalah bahwa shalat yang dilaksanakan mencegah
perilaku yang keji dan munkar. Sebaliknya
menghasilkankehalusan dan kemuliaan budi dan perilaku.

8
Jika shalat telah dihilangkan makna hakikatnya, hanya
menjadi sekedar pelaksanaan hukum fikih sebagaimana
tampak pada kebanyakan manusia dewasa ini, maka
shalat tersebut telah kehilangan makna fungsionalnya.
Hal inilah yang telah mendatangkan kritik tajam dari
Syekh Siti Jenar.
Sadat salat pasa tan apti
Seje jakat kaji mring Mekah
Iku wes palson kabeh
Nora kena ginugu
Sadayeku durjaning bumi
Ngapusi liyan titah
Sinung swarga besuk
Wong bodho anu auliya
Tur nyatane pada bae durung uning
Artinya:
Syahadat, sholat, puasa semua tanpa makna
Termasuk zakat dan haji ke Mekah
Itu semua telah menjadi palsu
Tidak bisa dijadikan anutan
Hanya menghasilkan kerusakan di bumi
Membohongi makhluk lain
Hanya ingin surga kelak
Orang bodoh mengikuti para wali
Sementara kenyataannya sama saja belum mencapai
tahapan hening
Syekh Siti Jenar mengkritik pelaksanaan hukum fikih
pada masa walisanga karena ibadah-ibadah formal
tersebut telah kehilangan makna dan tujuan, kehilangan
arti, dan hikmah kehidupan. Hal itu menjadikan semua
ajaran agama yang diajarkan oleh para ulama ketika itu
menjadi kebohongan yang meninabobokkan publik

9
dengan hanya menginginkan surga kelak yang belum ada
kenyataanya.
Oleh karenanya Syekh Siti Jenar mengajarkan praktik
shalat fungsional, berbeda dengan para wali pada
masanya. Shalat tarek sebagai bentuk ketaatan syari’at,
dan shalat daim sebagai shalat yang tertanam dalam jiwa,
dan mewarnai seluruh pekerti kehidupan. Seseorang yang
melaksanakan pekerjaan profesionalnya secara benar,
disiplin, ikhlas, dan karena melaksanakan fungsi lillahi
ta’ala, maka orang tersebut disebut melaksanakan shalat.
Itulah bagian dari shalat da’im.
Namun ternyata, ajaran shalat fungsional tersebut tidak
hanya menjadi milik Syekh Siti Jenar. Di dalam Suluk
Wujil bait 12-13, sebuah naskah yang ditulis pada awal
abad ke-17, yang disebut-sebut sebagai warisan ajaran
Sunan Bonang, menyebutkan ajaran shalat sebagai
berikut:
Utamaning sarira puniki
Angrawuhana jatining salat
Sembah lawan pamujine
Jatining salat iku
Dudu ngisa tuwin magerib
Sembahyang araneka
Wenange punika
Lamun aranana salat
Pun minangka kekembanging salat daim
Ingaran tata krama
Endi ingaran sembah sejati
Aja nembah yen tan katingalan
Temahe kasor kulane
Yen sira nora weruh
Kang sinembah ing donya iki

10
Kadi anulup kaga
Punglune den sawur
Manuke mangsa kenaa
Awekasa amangeran adan sarpin
Sembahe siya-siya.
Artinya:
Unggulnya diri itu mengetahui hakikat shalat, sembah dan
pujian. Shalat yang sebenarnya bukan mengerjakan shalat
Isya dan maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila itu
disebut shalat, maka hanyalah hiasan dari shalat daim.
Hanyalah tata krama . manakah yang disebut shalat yang
sesungguhnya itu? Janganlah menyembah jikalau tidak
mengetahui siapa yang disembah. Akibatnya dikalahkan
oleh martabat hidupmu. Jika didunia ini engkau tidak
mengetahui siapa yang disembah, maka engkau seperti
menyumpit burung. Pelurunya hanya disebarkan, tapi
burungnya tak ada yang terkena tembakan. Akibatnya
cuma menyembah ketiadaan, suatu sesembahan yang sia-
sia.
Maka jelaslah bahwa shalat lima waktu yang hanya
dilakukan berdasarkan ukuran formalitas, hanya
sebentuk tata krama, aturan keberagamaan. Sementara
shalat daim yang merupakan shalat yang sebenarnya.
Yakni, kesadaran total akan kehadiran dan keberadaan
Hyang Maha Agung di dalam dirinya, dan dia merasakan
dirinya sirna. Sehingga semua tingkah lakunya adalah
shalat. Diam, bicara, dan semua gerak tubuhnya
merupakan shalat. Wudhu, membuang air besar, makan
dan sebagainya adalah tindakan sembahyang. Inilah
hakikat dari niat sejati dan pujian yang tiada putus. Ya,
shalat yang mampu membawa pelakunya untuk menebar

11
kekejian dan ke-mungkar-an. Mampu menghadirkan
rahmatan lil ‘alamin.

3. Puasa
Puasa dalam ketentuan syariat adalah menahan diri dari
makan, minum dan bersetubuh. Sejak masuk subuh
hingga masuk waktu maghrib. Sedangkan puasa dari segi
rohani bermakna membersihkan semua pancaindera dan
pikiran dari hal-hal yang haram, selain menahan diri dari
perkara-perkara yang membatalkannya yang telah
ditetapkan dalam puasa syariat. Dalam puasa harus
diusahakan keduanya berpadu secara harmonis.
Puasa dari segi rohani akan batal bila niat dan tujuannya
tergelincir kepada sesuatu yang haram, walau hanya
sedikit. Puasa syari’at berkait dengan waktu, tetapi puasa
rohani tidak pernah mengenal waktu. Terus menerus dan
berlangsung sepanjang hayat du dunia dan akhirat. Inilah
puasa yang hakiki, seperti yang dikenal oleh orang yang
hati dan jiwanya bersih. Puasa adalah pembersihan diatas
pembersihan.
Puasa tidak bermakna kalau tidak membawa pelakunya
kepada kedekatan terhadap Allah. Orang awam akan
cepat berbuka begitu waktu buka tiba. Tetapi orang yang
rohaninya ikut berpuasa, tidak akan pernah berhenti
berpuasa secara rohani walaupun secara fisik ia juga
berbuka sebagaimana orang lain.
Jika orang awam merasakan kebahagiaan berpuasa saat
berbuka dan pada saat melihat datangnya bulan Syawal
setelah satu bulan berpuasa penuh, maka lain bagi orang
yang ‘arif. Orang yang telah berma’rifat lebih
mengutamakan dimensi spiritual. Ia akan menganggap
kenikmatan berbuka adalah pada waktu kelak ia

12
memasuki taman surga dan menikmati segala hal di
dalamnya. Sedangkan maksud kenikmatan ketika melihat
adalah kenikmatan yang diperoleh bila mereka dapat
melihat Allah dengan matahati sebagai salah satu efek
dari puasanya.
Namun masih ada jenis puasa yang lebih tinggi, yakni
puasa hakiki atau puasa yang sebenarnya. Puasa ini
memiliki martabat yang lebih bagus dari kedua puasa
diatas. Puasa ini adalah puasa menahan hati dari
menyembah, memuji, memuja, dan mencari ghairullah
(yang selain Allah). Puasa ini dilakukan dengan cara
menahan mata hati dari memandang ghairullah, baik yang
lahir maupun yang batin. Namun walaupun seseorang
telah sampai kepada tahapan puasa hakiki, puasa wajib
tetap dibutuhkan sebagai aplikasi syari’atnya, dan sebagai
cara serta sarana menggapai kesehatan fisik. Sebaliknya,
jika puasa hanya memenuhi ketentuan syariat, maka “iku
wis palson kabeh”, hanya sebentuk kebohongan
beragama semata. Puasa merupakan tindakan rohani
untuk mereduksi watak-watak kedzaliman, ketidakadilan,
egoisme, dan keinginan yang hanya untuk dirinya sendiri.
Inilah yang diajarkan Syekh Siti Jenar. Buahnya adalah
kejujuran terhadap diri sendiri, orang lain dan kejujuran
di hadapan Tuhan tentang kenyataan dan eksistensi
dirinya.
Dalam puasa hakiki, hati dibutakan dari pandangan
terhadap ghairullah dan tertuju hanya kepada Allah serta
cinta kepada-Nya. Dengan puasa hakiki inilah esensi
penciptaan akan terkuak. Manusia adalah rahasia Allah
dan Allah rahasia bagi manusia. Rahasia itu berupa nur
Allah. Nur itu adalah titik tengah (centre) hati yang
diciptakan dari sesuatu yang unik dan gaib. Hanya ruh

13
yang tahu semua rahasia itu. Ruh juga menjadi
penghubung rahasia antara Khaliq dan makhluk. Rahasia
itu tidak tertarik dan tidak pernah menaruh cinta kepada
selain Allah. Dengan puasa hakiki, ruh itu diaktifkan. Oleh
karenanya jika ada setitik dzarrah pun cinta terhadap
ghairullah, batallah puasa hakiki. Jika puasa hakiki batal
maka kita mengulanginya, menyalakan kembali niat, dan
harapan kepada Allah di dunia dan akhirat. Puasa hakiki
hanyalah menempatkan Allah di dalam hati, menjalani
proses kemanunggalan meng-Gusti-kan perwatakan
kawula.
Dengan puasa hakiki, maka kita akan menyadari bahwa
sebenarnya puasa merupakan hadiah Allah untuk umat
manusia. Sehingga bagi hamba Allah yang telah mencapai
ma’rifat, akhirnya puasa wajib dan sunnah bukanlah
berbeda. Secara lahiriah keduanya memang berbeda dari
segi waktu dan cara pelaksanaannya, akan tetapi secara
batiniah, esensi kedua jenis puasa itu tidak berbeda.
Dengan berpuasa secara hakiki, tidak ada sekat wajib atau
sunnah lagi, yang ada adalah menikmati hadiah dari Allah
bagi rohani kita.
Sehingga dengan pemahaman dan pelaksanaan puasa
yang seperti itu, maka akhirnya puasa tersebut akan
mampu menjadi katalisator bagi hawa nafsu kita, dan hati
akan semakin berkilau oleh bilasan nurullah. Ia akan
menjadi motor penggerak bagi ruh al-idhafi, sebagai efek
kebeningan hatinya yang dengan itulah keseluruhan
kehidupan akan ditunjukkan menuju kearah al-Haqq,
Illahi Rabbi.
Bagi Syekh Siti Jenar, puasa hakiki akan melahirkan watak
manusia yang pengasih. Mengantarkan kesadaran untuk
selalu ikut berperan serta mengangkat harkat dan derajat

14
kemanusiaan, berperan aktif memerangi kemiskinan, dan
selalu menyertai sesama manusia yang berada dalam
penderitaan. Puasa hakiki adalah kesadaran batin untuk
menjadikan hawa nafsu sebagai hal yang harus
dikalahkan, dan ke-dzalim-an sebagai hal yang harus
ditundukkan.
Oleh Syekh Siti Jenar, puasa secara lahir disubstitusikan
dengan kemampuan untuk melaparkan diri. Bukan
sekedar mengatur ulang pola makan di bulan Ramadhan,
tetapi mampu “ngelakoni weteng kudu luwe”,
membiasakan diri lapar, bukan membiarkan kelaparan.
Sehingga terciptalah sistem masyarakat yang terkendali
hawa nafsunya. Dan tentu saja, Syekh Siti Jenar tidak
memaknai “kudu luwe” sebagai alasan lembeknya
manusia secara fisik. Hal tersebut harus
dikontekstualisasikan dengan kecukupan gizi yang harus
terpenuhi bagi aktivitas fisik. Yang terpenting adalah
kemauan dan kesadaran untuk berbagi, untuk tidak hanya
memuaskan apa yang menjadi tuntutan hawa nafsunya.

4.Zakat
Syekh Siti Jenar memberikan makna aplikatif zakat
sebagai sikap menolong orang lain dari penderitaan dan
kekurangan. Menolong orang lain agar dapat hidup,
menikmati hidup, sekaligus mampu bereksis menjalani
kehidupan. Syekh Siti Jenar sendiri bertani yang
merupakan pekerjaan favorit pada masa hidupnya.
Namun tidak semua masyarakat petani berhasil hidupnya
sebagaimana pula tidak selalu berhasil baik dari
panennya. Yang tidak berhasil panennya tentu mengalami
kekurangan bahkan kelaparan. Syekh Siti Jenar selalu
membantu mereka yang kurang berhasil tadi dengan

15
memberikan sebagian hasil panennya dari tanahnya yang
luas kepada mereka itu. Inilah yang disebut sebagai zakat
secara fungsional.
Suka memberi adalah sifat-Nya, dan Dia senang melihat
hamba-Nya mencontoh sifat suka memberi yang menjadi
sifat-Nya itu. Perbendaharaan Tuhan tidak akan kosong,
dan bila Allah memberi Dia akan memberi dengan tangan-
Nya yang terbuka. “Barang siapa yang datang membawa
amal yang baik, maka ia akan mendapat pahala sebanyak
sepuluh kali lipat dari kita, dan barangsiapa yang datang
membawa perbuatan yang jahat, dia tidak mendapatkan
pembalasannya, melainkan yang seimbang dengan
kejahatannya, sedangkan mereka sedikit pun tidak
dianiaya.” (QS Al-An’am/6: 160)

Sebagaimana makna katanya, zakat memiliki kegunaan


sebagai arena pembersihan harta dan jiwa. Terutama
membersihkan dari keegoan, sehingga tujuan zakat
rohani menjadi tercapai. “Siapakah yang mau
meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik maka
Allah akan melipatgandakan balasan pinjaman itu
untuknya, dia akan mendapatkan pahala yang banyak”.
(QS Al Hadid/57:11). Inilah hakikat pahala zakat, baik
jasmani maupun rohani.
Sehingga terhadap harta pinjaman dan titipan dari Allah,
kita melakukan penyucian diri dengan mengeluarkan
zakat, bersedekah, serta berbuat amal jariyah. Dalam hal
inilah, patokan kita bukan sekedar patokan minimal 2,5%,
namun bisa lebih dari itu. Bahkan para sufi terkadang
berzakat 100% dari seluruh harta yang diterimanya.
Selain ia membersihkan dari daki-daki dunia, ia juga
memanjangkan umur dan menyelamatkan diri dari siksa

16
sengsara akhirat. Betapa beruntungnya para pemilik
harta yang menyedekahkan hartanya sehingga ia
mendapatkan ganjaran yang tidak dapat ditebus dengan
uang nantinya. “Mereka yang menyedekahkan hartanya
kepada orang lain, hartanya tidak akan berkurang.
Bahkan, harta itu akan bertambah, dan bertambah.”
(Sabda Nabi).

Jadi, pemahaman sufi atas harta jelas. Harta dan semua


yang ada adalah milik Tuhan. Manusia diberi limpahan-
Nya agar digunakan sebagai alat bagi perjalanan
rohaninya menuju Tuhan. “Kamu tidak akan sampai
kepada ketaatan yang sempurna sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa
saja yang kamu nafkahkan itu, maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya.” (QS Ali Imran/3:92). Zakat bagi para sufi
merupakan langkah untuk memberikan “kado” atau
hadiah terindah untuk Tuhan, sekaligus untuk manusia
dengan disertai kebersihan niat jiwa, dan kesucian hati.
Tegasnya, sebagaimana dikemukakan Syekh Siti Jenar,
zakat adalah kesediaan untuk menolong manusia yang
kekurangan, baik harta fisik maupun harta rohani
sehingga mereka terhindar dari kemiskinan, kekurangan,
kelaparan fisik maupun spiritual. Betapa indahnya dunia
jika dihuni manusia sufi seperti ini.

5.Haji
Haji menurut Islam-Jawa yang sebagian merupakan
warisan ajaran Syekh Siti Jenar tidak lain adalah olah
spiritual. Karena kalau hanya sekedar mengunjungi
Makkah dalam arti fisik, bagi orang Islam-Jawa itu cukup
dengan “ngeraga sukma”. Dalam arti seseorang mampu

17
pergi ke Makkah kapan saja dia mau. Oleh karenanya, bagi
mereka, Makkah letaknya bukanlah sebatas geografis,
yakni terletak di Dataran Arab Saudi. Bagi Muslim-Jawa,
Makkah berada di dalam spirit manusia yang tidak
ditempuh dengan hanya menggunakan bekal rupiah. Hal
ini dapat ditinjau dari ungkapan dalam Suluk Wijil:
Samana ngling Molana Maghribi
Singgih pakanira awangsal
Nora ing Mekah rekeh
Ing Mekah kulon iku
Mekah tiron wastanireki
Watu ingkang kinarya
Pangadhepan iku
Nabi Ibrahim akarya
Nusa Jawa yen tuwan tinggala kapir
Lan tuwan awangsul
Nora ana weruh ing Mekah iki
Alit mila teka ing awayah
Mang tekaa parane
Yen ana sangunipun
Tekeng Mekah tur dadi wali
Sangunipun alarang
Dahat dening ewuh
Dudu srepi dudu dinar
Sangunipun kang sura lagaweng pati
Sabar lila ing donya

Artinya:
Maulana Maghribi berkata demikian,” Baiklah engkau
kembali, yang engkau cari tidak ada di Makkah. Makkah
yang terletak di barat(Nusa Jawa) itu, Makkah tiruan
namanya. Batu yang dibuat sebagai tempat menghadap

18
adalah buatan Nabi Ibrahim. Jika Nusa Jawa engkau
tinggalkan, akan menjadi kafir// Tak ada yang tahu
dimana Makkah yang sebenarnya. Meski ia harus berjalan
dari kecil hingga tua. Tak akan mencapai tujuan. Jika ada
bekal sampai di Makkah dan menjadi Wali, maka bekalnya
sangat mahal, sukar diperoleh. Bukan rupiah maupun
dinar bekal tersebut. Tapi keberanian, kesanggupan mati,
dan sabar serta ikhlas di dunia).

Dari penuturan suluk wujil tersebut, jelas bahwa haji


adalah olah spiritual untuk mencapai keyakinan hidup
yang hak, yaitu berani dan sanggup mati dalam
kebenaran, serta sabar dan ikhlas dalam hidup di dunia.
Dimana ruh masih terpenjara dalam wadaq ini. Hidup
ikhlas adalah hidup tidak terkontaminasi nafsu berebut
kuasa, harta, kelezatan hidup di dunia (Chodjim,
2002,209). Maka keikhlasan menjalani hidup menjadi
tujuan dari haji. Untuk dapat ikhlas perlu laku atau olah
spiritual.
Untuk mampu memperoleh laku yang benar, juga
diperlukan keberanian dan kesanggupan memilih jalan
yang diyakini benar. Sebagiannya adalah keberanian dan
kesanggupan untuk hidup bersahaja dan bersih dari
segala perbuatan yang tercela dan mungkar. Hati terbebas
dari segala iri, dengki, dendam, kesumat, kikir dan tamak.
Pikiran bersih dari keterikatan dengan kelezatan dunia.
Rohani dimerdekakan, dan keberagamaan tidak
terbelenggu oleh sekedar formalitas. Dan untuk itu semua
dibutuhkan kesabaran, memiliki daya juang, dan tidak
mudah menyerah dalam upaya mencapai tujuan. Tegar
dan kokoh dalam perjuangan hidup yang benar, dan
kemauan mempertahankan keyakinan atas kebenaran itu.

19
Di balik kesabaran itu, juga tersembul kemauan menjaga
harmonisme segala hal di dunia ini. Tidak egois, tidak
mau menang sendiri, tidak menyerobot hak orang lain.
tidak mempermainkan kekuasaan, tidak melanggar hak-
hak orang lain. ia selalu memperjuangkan hak hidup
dengan tanpa mengorbankan hak orang lain. ia
memperjuangkan haknya sekaligus hak orang lain.
Muslim Jawa dalam beragama tidak hanya terikat pada
simbol. Sehingga termasuk Ka’bah misalnya, yang berada
di Makkah hanya disebut sebagai tiruan yang dibuat
manusia. Ka’bah yang sesungguhnya tidak diketahui
letaknya karena berada di alam spiritual. Ka’bah diri
berada di kedalaman ceruk hati. Oleh karenanya
kebenaran dan kejujuran tidak harus diburu di Makkah,
justru di Jawa juga menyediakan banyak ajaran spiritual
yang jika ditinggalkan untuk memburu di Makkah, malah
membuat orang Jawa akan menjadi kafir. Yakni akan
kehilangan kebijaksanaan tradisional dan spiritualitas
yang genuine dari kedalaman dirinya sendiri. Untuk
menciptakan kesejahteraan, ketentraman, dan untuk
mampu mendekati Tuhan, ternyata memang seharusnya
tidak boleh meninggalkan kebijaksanaan yang berakar
pada tradisi ritual dari bangsa lain. Allah menyediakan
semua tempat dengan ragam hikmah (wisdom)-nya
masing-masing. Untuk itulah konsep keberbedaan harus
disatukan dalam kerangka lita’aruf (saling mengenal).
Mereka yang mampu mengenal hikmah yang beragam itu
disebut Allah sebagai mereka yang paling sanggup
mencapai ketakwaan.

20

Anda mungkin juga menyukai