Anda di halaman 1dari 9

TRADISI NGABEN, BENTUK IKHLAS MASYARAKAT HINDU BALI KEPADA

ORANG YANG SUDAH TIADA

Indonesia mempunyai keunikan dari ragam suku dan budaya. Saking banyaknya suku-suku di
Indonesia, berbagai ritual unik dalam kehidupan sehari-hari pun banyak bertebaran di
berbagai daerah. Ritual-ritual unik ini seakan menjalar di setiap inci kegiatan masyarakatnya.
Contoh dari salah satunya adalah seperti ritual atau tradisi kematian. Yah, seperti yang
diketahui, bagi hampir semua suku bangsa di Indonesia, kematian adalah momen yang sangat
besar. Seperti halnya kelahiran atau pernikahan, kematian juga harus disambut dengan acara
besar meskipun itu acara duka cita. Nah, itulah yang dilakukan masyarakat Hindu Bali.
Mereka menggelar sebuah tradisi unik yang dilakukan untuk mengikhlaskan orang yang
sudah tiada. Tradisi tersebut diberi nama ngaben.

Bagi umat Hindu Bali, ngaben menjadi salah satu bagian dalam kehidupan mereka. Melalui
ngaben, pihak keluarga menyatakan ikhlas akan kepergian anggota mereka. Ada beberapa
makna ngaben, salah satunya berasal dari kata api baik nyata maupun abstrak dari puja
mantra pendeta. Nah, untuk mengetahui lebih lanjut lagi mengenai ngaben, silahkan lihat
penjelasannya di bawah ini.

PENGERTIAN NGABEN

Upacara Ngaben adalah upacara pembakaran mayat atau kremasi umat Hindu Bali.
Masyarakat Hindu Bali memiliki ritual dalam memperlakukan leluhur atau sanak saudara
yang telah meninggal. Mereka menyelenggarakan upacara kremasi yang disebut Ngaben,
yaitu ritual pembakaran mayat sebagai simbol penyucian roh orang yang meninggal.

Asal kata ngaben ada tiga pendapat. Ada yang mengatakan berasal dari kata beya yang
artinya bekal, ada yang merunutkan dari kata ngabu atau menjadi abu dan mengaitkan dengan
kata ngaben yaitu penyucian dengan menggunakan api. Dalam agama Hindu, dewa pencipta
atau Dewa Brahma juga dikenal sebagai dewa api. Oleh sebab itu, Upacara Ngaben dapat
dilihat sebagai membakar kotoran berupa jasad kasar yang melekat pada roh (disebut pralina
atau meleburkan jasad) dan mengembalikan roh kepada Sang Pencipta.
Ritual Ngaben diselenggarakan secara meriah bersama ratusan hingga ribuan orang yang
terdiri dari saudara maupun penduduk setempat. Upacara pembakaran mayat yang dilakukan
di Bali ini, dilakukan khususnya oleh yang beragama Hindu, dimana Hindu adalah agama
mayoritas di Pulau Seribu Pura ini. Di dalam Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra
Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur. Makna upacara Ngaben pada intinya
adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya.
Seorang Pedanda mengatakan manusia memiliki Bayu, Sabda, Idep dan setelah meninggal
Bayu, Sabda, Idep itu dikembalikan ke Brahma, Wisnu, Siwa.

Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak saudara dari orang yang
meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak terhadap orang tuanya. Dalam sekali
upacara ini biasanya menghabiskan dana 15 juta s/d 20 juta rupiah. Upacara ini biasanya
dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa
kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal karena itu dapat menghambat
perjalanan sang arwah menuju tempatnya.

Hari pelaksanaan Ngaben ditentukan dengan mencari hari baik yang biasanya ditentukan oleh
Pedanda. Beberapa hari sebelum upacara Ngaben dilaksanakan keluarga dibantu oleh
masyarakat akan membuat “Bade dan Lembu” yang sangat megah terbuat dari kayu, kertas
warna-warni dan bahan lainnya. “Bade dan Lembu” ini merupakan tempat mayat yang akan
dilaksanakan Ngaben.

ASAL-USUL UPACARA ADAT NGABEN

Bali merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki penduduk terbanyak pemeluk
agama hindu, dengan kepemelukan agama hindu ini penduduk bali memiliki kpercayaan
layaknya pemeluk hindu pada umumnya yang memilki kepercayaan terhadap roh. Menurut
masyaratakat ini setelah sesorang meninggal, rohnya tetap hidup untuk itu mereka
mempunyai upacara yang khas dalam penyelenggaraan jazad seseorang yang berpulang yang
disebut Pitra Yajna dimana rangkaian dari upacara ini biasa dikenal dengan Istilah Ngaben/
Palebon/ Pralina dll dan disesuaikan dengan tingkat dan kedudukan seseorang yang
bernilai “Desa-Kala-Patra-Nista-Madya-Utama”.

Ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat, kendatipun dari asal-
usul etimologi, itu kurang tepat, sebab ada tradisi ngaben yang tidak melalui pembakaran
mayat. Ngaben sesungguhnya berasal dari kata beya artinya biaya atau bekal, kata beya ini
dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Kata meyanin sudah menjadi
bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wadhana. Boleh juga disebut Ngabeyain. Kata
ini kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi ngaben.

Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya yang disebut-sebut dalam lontar adalah
atiwa-atiwa. Kata atiwa inipun belum dapat dicari asal usulnya kemungkinan berasal dari
bahasa asli Nusantara(Austronesia), mengingat upacara sejenis ini juga kita jumpai pada suku
dayak, di Kalimantan yang disebut tiwah. Demikian juga di Batak kita dengar dengan sebutan
tibal untuk menyebutkan upacara setelah kematian itu.

Upacara ngaben atau meyanin atau juga atiwa-atiwa untuk umat Hindu di pegunungan
Tengger dikenal dengan nama entas-entas. Kata entas mengingatkan kita pada upacara pokok
ngaben di Bali. Yakni Tirta pangentas yang berfungsi untuk memutuskan hubungan kecintaan
sang atma (roh) dengan badan jasmaninya dan mengantarkan atma ke alam pitara. Dalam
bahasa lain di Bali, yang berkonotasi halus, ngaben itu disebut Palebon yang berasal dari kata
lebu yang artinya prathiwi atau tanah.

Dengan demikian Palebon berarti menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada
dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanamkan kedalam tanah. Namun cara
membakar adalah yang paling cepat.Tempat untuk memproses menjadi tanah disebut
pemasmian dan arealnya disebut tunon. Tunon berasal dari kata tunu yang berarti membakar.
Sedangkan pemasmian berasal dari kata basmi yang berarti hancur. Tunon lain katanya
adalah setra atau sema. Setra artinya tegal sedangkan sema berasal dari kata smasana yang
berarti Durga. Dewi Durga yang beristana di Tunon ini.

Diantara pendapat diatas, ada satu pendapat lagi yang terkait dengan pertanyaan itu. Bahwa
kata Ngaben itu berasal dari kata ‘api’. Kata api mendapat prefiks ‘ng’ menjadi ‘ngapi’ dan
mendapat sufiks ‘an’ menjadi ‘ngapian’ yang setelah mengalami proses sandi
menjadi ‘ngapen’. Dan karena terjadi perubahan fonem ‘p’ menjadi ‘b’ menurut hukum
perubahan bunyi ‘b-p-m-w’ lalu menjadi ‘ngaben’. Dengan demikian kata Ngaben
berarti ‘menuju api’.

Secara garis besarnya Ngaben itu dimaksudkan adalah untuk memproses kembalinya Panca
Mahabhuta di alam besar ini dan mengantarkan Atma (Roh) kealam Pitra dengan
memutuskan keterikatannya dengan badan duniawi itu. Dengan memutuskan kecintaan
Atma (Roh) dengan dunianya, Ia akan dapat kembali pada alamnya, yakni alam Pitra.
Kemudian yang menjadi tujuan upacara ngaben adalah agar ragha sarira (badan atau
tubuh) cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu Panca Maha Bhuta di alam ini dan Atma
dapat selamat dapat pergi ke alam pitra. Oleh karenanya ngaben tidak bisa ditunda-tunda,
mestinya begitu meninggal segera harus diaben.

Agama Hindu di India sudah menerapkan cara ini sejak dulu kala, dimana dalam waktu yang
singkat sudah diaben, tidak ada upacara yang menjelimet, hanya perlu Pancaka tempat
pembakaran, kayu-kayu harum sebagai kayu apinya dan tampak mantram-mantram atau
kidung yang terus mengalun. Agama Hindu di Bali juga pada prinsipnya mengikuti cara-cara
ini. Cuma saja masih memberikan alternatif untuk menunggu sementara, mungkin
dimaksudkan untuk berkumpulnya para sanak keluarga, menunggu dewasa (hari
baik) menurut sasih dll, tetapi tidak boleh lewat dari setahun. Tetapi sebenarnya dengan
mengambil jenis ngaben sederhana yang telah ditetapkan dalam Lontar, sesungguhnya
ngaben akan dapat dilaksanakan oleh siapapun dan dalam keadaan bagaimana juga.

Yang penting tujuan utama upacara ngaben dapat terlaksana. Sementara menunggu waktu
setahun untuk diaben, sawa (jenasah/ jasad/ badan kasar orang yang sudah meninggal) harus
dipendhem (dikubur) di setra (kuburan). Untuk tidak menimbulkan sesuatu hal yang tidak
diinginkan, sawa pun dibuatkan upacara-upacara tirta pengentas. Dan proses pengembalian
Panca Maha Bhuta terutama Unsur Prthiwinya akan berjalan dalam upacara mependhem ini.
Ngaben selalu berkonotasi pemborosan, karena tanpa biaya besar kerap tidak bisa ngaben.

Dari sini muncul pendapat yang sudah tentu tidak benar yaitu: Ngaben berasal dari kata
Ngabehin, artinya berlebihan. Jadi tanpa mempunyai dana berlebihan, orang tidak akan
berani ngaben. Anggapan keliru ini kemudian mentradisi. Akhirnya banyak umat Hindu yang
tidak bisa ngaben, lantaran biaya yang terbatas. Akibatnya leluhurnya bertahun-tahun
dikubur. Hal ini sangat bertentangan dengan konsep dasar dari upacara ngaben itu.

MAKSUD DAN TUJUAN DIADAKANNYA NGABEN

Setelah diketahui apa yang menjadi latar belakang upacara ngaben itu, maka dapatlah
dirumuskan maksud dan tujuan upacara itu. Secara garis besarnya, ngaben itu dimaksudkan
adalah untuk memproses kembalinya atau mengembalikan unsur yang menjadikan badan atau
ragha kepada asalnya di alam ini dan untuk mengantarkan Atma ke alam Pitra dengan
memutuskan keterikatannya dengan badan duniawi (ragha sarira).
Dalam perjalanan Atma itu perlu bekal atau “beya” yang merupakan oleh-oleh bagi saudara
empatnya yang sudah menunggu dalam wujud sebagai kala, yaitu: Dorakala, Mahakala, Jogor
Manik, Suratma. Dengan bekal atau beya itu diharapkan Atma dapat kembali dengan selamat.
Kemudian yang menjadi tujuan upacara ngaben adalah agar ragha sasira cepat dapat kembali
kepada asalnya di alam ini dan bagi atma dengan selamat dapat pergi ke alam Pitra. Oleh
karenanya, ngaben sesungguhnya tidak bisa ditunda-tunda. Mestinya begitu meningga segera
harus diaben.

Agama Hindu di India sudah menerapkan cara ini sejak dulu kala. Sang Yudhistira
mengabenkan para pahlawan yang gugur di medan juang di Tegal Kurusetra, seketika hanya
dengan saraa “Catur wija”. Para pembesar India seperti Nyonya Indira Gandhi, dalam waktu
singkat sudah diaben. Tidak ada upakara yang menjelimet hanya pperlu “Pancaka” tempat
pembakaran, kayu-kayu harum sebagai kayu apinya dan tampak mantram-mantram atau
kidung yang terus menerus mengalun.

Agama Hindu di Bali juga pada prinsipnya mengikuti cara-cara ini. Cuma saja masih
memberikan alternatif untuk menunggu sementara. Diberikan menunggu sementara, mungkin
dimaksudkan untuk berkumpulnya para sanak keluarga, menunggu hari baik menurut sasih
(bulan) dan lain-lain tetapi jangan menunggu lewat setahun, kalau lewat bisa menjadi bhuta
cuil sawa itu.

Jadi sebenarnya kita di Bali hanya diberikan kesempatan tidak lewat setahun. Sementara
menunggu waktu setahun untuk diaben, sawa harus dipendhem (dikubur) di
setra (kuburan). Untuk tidak menyebabkan suatu hal yang tidak diinginkan, sawa yang
dipendhempun dibuatkan upacara-upacara tirtha pangentas (air suci). Dan proses
pengembalian ragha sarira kepada alam akan berjalan dalan upacara maphendem ini. Jadi
tujuan upacara ngaben pada pokoknya yaitu:

 Melepaskan Sang Atma dari ikatan duniawi


 Untuk mendapatkan keselamatan dan kesenangan

 Untuk mendapatkan sorga pagi Sang Pitra

RANGKAIAN UPACARA NGABEN

Mungkin kita pernah melihat, saat ada iring-iringan upacara ngaben melewati perempatan
jalan, maka akan diputar 3 kali dengan arah berlawanan jarum jam. Bagi orang awam atau
yang tidak mengerti maksudnya akan bertanya, mengapa harus diputar dan apa maknanya?

Dalam upacara ini tidak ada tangisan keluarga karena mereka menganggap bahwa mayat
hanya tidak ada untuk beberapa saat dan menjalanai reinkarnasi yaitu menjalani kehidupan
terakhir di Moksha yang mereka kenal dengan keadaan saat jiwa telah melepaskan diri dari
reinkarnasi dan roda kematian.

Berikut ini rangkaian upacara adat ngaben di bali:

Ngulapin

Upacara ini dimaksudkan untuk memanggil Sang Atma. Upacara ini dilaksanakan jika
seseorang meninggal di luar rumahnya atau di Rumah Sakit. Disetiap daerah di Bali dapat
berbeda-beda tergantung tata cara dan tradisi setempat, misalnya ada yang melaksanakan di
perempatan jalan, pertigaan jalan, dan kuburan setempat.

Nyiramin/Ngemandusin

Yaitu upacara memandikan jenazah, biasa dilakukan di halaman rumah keluarga yang
bersangkutan. Prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol seperti bunga melati
di rongga hidung, belahan kaca di atas mata, daun intaran di alis, dan perlengkapan lainnya
yang tujuannya adalah untuk mengembalikan fungsi-fungsi dari bagian tubuh yang tidak
digunakan ke asalnya dan apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali agar
dianugrahi badan yang lengkap /tidak cacat.
Ngajum Kajang

Ini adalah selembar kertas putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku,
pendeta atau tetua adat setempat. Setelah selesai ditulis maka para kerabat dan keturunan dari
yang bersangkutan akan melaksanakan upacara ngajum kajang dengan cara menekan kajang
itu sebanyak 3x, sebagai simbol kemantapan hati para kerabat melepas kepergian mendiang
dan menyatukan hati para kerabat sehingga mendiang dapat dengan cepat melakukan
perjalanannya ke alam selanjutnya.

Ngaskara

Ngaskara bermakna penyucian roh mendiang. Penyucian ini dilakukan dengan tujuan agar
roh yang bersangkutan dapat bersatu dengan Tuhan dan bisa menjadi pembimbing kerabatnya
yang masih hidup di dunia.

Mameras

Mameras berarti sudah berhasil/sukses. Upacara ini dilakukan apabila yang meninggal sudah
memiliki cucu. Karena cucu akan menuntun mendiang melalui doa.

Papegatan

Papegatan artinya putus, makna upacara ini adalah untuk memutuskan hubungan duniawi dan
cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua hal tersebut akan menghalangi perjalan sang roh
menuju Tuhan. Dengan upacara ini pihak keluarga berarti telah secara ikhlas melepas
kepergian mendiang ke tempat yang lebih baik. Sarana dari upacara ini adalah sesaji (banten)
yang disusun pada sebuah lesung batu dan diatasnya diisi dua cabang pohon dadap yang
dibentuk seperti gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon tersebut.
Nantinya benang ini akan diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum keluar
rumah hingga putus.

Pakiriman Ngutang

Setelah upacara papegatan maka akan dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat,
jenazah beserta kajangnya kemudian dinaikan ke atas Bade/Wadah, yaitu menara pengusung
jenazah (hal ini tidak mutlak harus ada, dapat diganti dengan keranda biasa yang disebut
Pepaga). Dari rumah yang bersangkutan anggota masyarakat akan mengusung semua
perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi oleh suara Baleganjur (gong khas Bali) yang
bertalu-talu dan bersemangat, atau suara angklung yang terkesan sedih.
Di perjalan menuju kuburan jenazah ini akan diarak berputar 3x berlawanan arah jarum jam
yang bermakna sebagai simbol mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke tempatnya
masing-masing. Selain itu perputaran ini juga bermakna: Berputar 3x di depan rumah
mendiang sebagai simbol perpisahan dengan sanak keluarga. Berputar 3x di perempatan dan
pertigaan desa sebagai simbol perpisahan dengan lingkungan masyarakat. Berputar 3x di
muka kuburan sebagai simbol perpisahan dengan dunia ini.

Ngeseng

Ini adalah upacara pembakaran jenazah tersebut, jenazah dibaringkan di tempat yang telah
disediakan disertai sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri kemudian diperciki oleh
pendeta yang memimpin upacara dengan Tirta Pangentas yang bertindak sebagai api abstrak
diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta, setelah selesai kemudian barulah jenazah dibakar
hingga hangus, tulang-tulang hasil pembakaran kemudian digilas dan dirangkai lagi dalam
buah kelapa gading yang telah dikeluarkan airnya.

Nganyud

Nganyud adalah menghanyutkan abu jenazah di sungai atau di laut. Nganyud bermakna
sebagai ritual untuk menghanyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam roh
mendiang.

Makelud

Upacara Makelud biasanya dilaksanakan 12 hari setelah upacara pembakaran jenazah. Makna
dari upacara makelud adalah membersihkan dan menyucikan kembali lingkungan keluarga
akibat kesedihan yang dialamikeluarga ditinggalkan. Filosofis 12 hari kesedihan ini diambil
dari Wiracarita Mahabharata, saat Sang Pandawa mengalami masa hukuman 12 tahun di
tengah hutan.

Anda mungkin juga menyukai