Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KEGIATAN

UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT (UKM)

3.1.5 PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT MENULAR


DAN TIDAK MENULAR

PEMBERANTASAN PENYAKIT TUBERKULOSIS


PUSKESMAS KEBUMEN I TRIWULAN TAHUN 2016

Disusun Oleh:
dr. Nur Jiwo Wicaksono
dr. Louis Hadiyanto

Pembimbing:
dr. Rahmi Asfiyatul Jannah

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


UPTD UNIT PUSKESMAS KEBUMEN I
KABUPATEN KEBUMEN
2016
BAB I
LATAR BELAKANG

Tuberkulosis (TB) pada umumnya disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis namun dapat juga disebabkan oleh bakteri-bakteri lain seperti
Mycobacterium bovis atau Mycobacterium africanum. Tuberkulosis sampai saat
ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia. Menurut
laporan WHO diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 dimana
1,1 juta orang diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif, 450.000 orang
menderita Tuberculosis Multi Drugs Resistance (TBMDR) dan 170.000 orang
diantaranya meninggal dunia.
Pengobatan kasus TB merupakan salah satu strategi utama dalam
pengendalian TB. Pada tahun 1994 WHO meluncurkan sebuah strategi
pengendalian TB yang diimplementasikan secara internasional, yaitu DOTS
(Direct Observed Treatment Short-course). Lima elemen strategi DOTS meliputi
(1) Komitmen politis yang berkesinambungan; (2) Akses terhadap pemeriksaan
mikroskopis dahak yang berkualitas; (3) Kemoterapi standar jangka pendek untuk
semua kasus TB dengan manajemen kasus yang tepat, termasuk pengawasan
langsung pengobatan; (4) Keteraturan penyediaan obat yang dijamin kualitasnya;
(5) Sistem pencatatan dan pelaporan yang memungkinkan penilaian hasil pada
semua pasien dan penilaian kinerja keseluruhan program.
Pengobatan TB dilakukan dengan beberapa prinsip, antara lain
pemberian OAT harus dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. OAT tunggal
(monoterapi) tidak dibenarkan untuk digunakan. Pemakaian OAT-Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Untuk
menjamin kepatuhan pasien menelan obat, pengawasan langsung (DOTS)
dilakukan oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Terdapat beberapa indikator pada TB yang terdiri dari variabel kualitatif
dan kuantitatif. Variabel kualitatif terdiri dari komitmen politis, pemeriksaan

2
mikroskopis untuk deteksi kasus, kemoterapi standar jangka pendek TB,
penguatan sistem kesehatan, pelibatan semua pemberi pelayanan kesehatan,
pemberdayaan pasien dan komunitas, mengatasi tantangan TB/HIV, MDR-TB dan
tantangan lainnya. Sedangkan variabel kuantitatif terdiri dari angka penjaringan
suspek, Case Detection Rate (CDR), angka konversi, angka kesembuhan (cure
rate), angka keberhasilan (Success Rate), dan angka kesalahan laboratorium.
Pada tahun 2012 di Indonesia ditemukan kasus baru TB BTA (+)
sebanyak 202.301 kasus. Angka penemuan kasus (Case Detection Rate = CDR)
mengalami peningkatan yang signifikan dari 21% menjadi 82,38% pada tahun
2010 hingga 2012. Begitu juga dengan angka keberhasilan (Success Rate = SR)
yang menunjukkan peningkatan dari tahun 2010 yaitu 87% menjadi 90,2% pada
tahun 2012. Angka keberhasilan ini telah memenuhi target WHO yaitu minimal
85%.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2010,
angka kejadian TB Paru di Provinsi Jawa Tengah sebesar 107/100.000 penduduk.
CDR per Kabupaten atau Kota yang capaiannya di bawah rata-rata sebanyak 18
kabupaten. Kesadaran penderita untuk minum obat secara teratur mengalami
peningkatan dilihat dari capaian kesembuhan melalui program DOTS sebesar
90,57%. Pada tahun 2013, Angka penemuan kasus baru (CDR) di Provinsi Jawa
Tengah sebesar 58,46%, di bawah target nasional sebesar 60%.
Di Kabupaten Kebumen, cakupan CDR mengalami peningkatan dari
tahun 2010-2014, walaupun belum memenuhi target kabupaten yaitu 70%. Pada
tahun 2014 terjadi kenaikan CDR menjadi 60,06%. Sedangkan untuk wilayah
kerja Puskesmas Kebumen I berdasarkan data yang didapat dari petugas Program
Penanggulangan Tuberkulosis (P2TB), cakupan CDR di tahun 2014 sebesar 46%,
Angka Kesembuhan 82%. Keduanya masih di bawah target nasional.

BAB II

3
PERMASALAHAN

Tuberkulosis masih menjadi permasalahan kesehatan di dunia. Target


nasional untuk penanggulangan TB memang telah tercapai, namun hal tersebut
tidak dapat menggambarkan kondisi penanggulangan TB pada masing-masing
daerah-daerah di Indonesia. Berikut merupakan jumlah pasien TB berdasarkan
tipe, konversi, dan kesembuhan, dan pengobatan lengkap pada tahun 2016 di
triwulan I di wilayah kerja Puskesmas Kebumen I.

No Indikator Triwulan Total


I (2015) I (2016) III IV
1. Suspek TB 46 74 39 209
Paru
2. TB Baru BTA 5 3 3 4 17
(+)
3. TB Kambuh 0 0 0 0 0
4. TB Pindahan 1 0 1 4 6
5. TB Anak 0 0 0 1 1
6. TB BTA (-), 2 0 0 3 5
Rontgen (+)
7. TB Semua 6 4 8 23
Tipe
8. TB Paru Baru 4 4 2 14
BTA (+)
Konversi (+)
9. TB Paru Baru 3 0 0 5
BTA (+)
Sembuh
10. TB Paru Baru 5 0 0 7
BTA (+)
Sembuh dan
Lengkap
Tabel 1. Profil penderita TB Puskesmas Kebumen 1 Triwulan I Tahun 2015 dan
2016

Berdasarkan data di atas, maka dapat dilakukan penghitungan dan


analisis indikator-indikator program TB sebagai berikut.

4
1. Angka penjaringan suspek
Merupakan jumlah suspek yang diperiksa dahaknya di antara 100.000
penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini digunakan
untuk mengetahui akses pelayanan dan upaya penemuan pasien dalam wilayah
tertentu, dengan memperhatikan kecenderungan dari waktu ke waktu
(triwulan/tahunan). Rumus yang digunakan adalah:

Jumlah suspek yang


diperiksa x 100.000
Jumlah penduduk

Angka penjaringan suspek di Puskesmas Kebumen I tahun 2015:

209
42.36 x 100.000 = 493,33
5

2. Proporsi pasien TB BTA positif di antara suspek


Merupakan persentase pasien TB BTA positif yang ditemukan di antara seluruh
suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses
penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek.
Rumus yang dipakai adalah:

Jumlah pasien TB BTA positif yang ditemukan


x 100%
Jumlah seluruh suspek TB yang diperiksa

Proporsi pasien TB TBA (+) di antara suspek di Puskesmas Kebumen I tahun


2015:

17
20 x 100% = 8,1%
9

Jika < 5% : penjaringan suspek terlalu longgar, atau negatif palsu


Jika > 15%: penjaringan suspek terlalu ketat, atau positif palsu
3. Proporsi pasien TB paru BTA positif di antara semua pasien TB paru
tercatat/ sudah diobati

5
Merupakan persentase pasien TB BTA positif diantara semua pasien TB semua
tipe. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien TB yang menular
di antara seluruh pasien TB paru yang diobati. Rumus yang digunakan adalah:
Jumlah pasien TB BTA (+) baru & kambuh
x 100%
Jumlah seluruh pasien TB (semua Tipe)

Proporsi pasien TB paru BTA (+) di antara semua pasien TB paru


tercatat/sudah diobati di Puskesmas Kebumen I tahun 2015:
7
2 x 100% = 30,4%
3

Bila angka ini kurang dari 65%, artinya mutu diagnosis rendah dan kurang
memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular (pasien BTA
Positif)
4. Angka penemuan kasus (Case detection rate = CDR)
Merupakan persentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan
dibanding jumlah pasien baru TB BTA positif yang diperkirakan ada
dalam wilayah tersebut. Rumus yang digunakan adalah:
Jumlah pasien baru TB BTA positif yang dilaporkan
x 100%
Perkiraan jumlah (insidens) pasien baru TB BTA Positif

Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh dari perhitungan


insidens kasus TB paru BTA(+) dikali jumlah penduduk, yaitu 110 per 100.000
penduduk, sehingga didapatkan angka 46.
110
100.00 x 42.365 = 46,6
0

Angka penemuan kasus di Puskesmas Kebumen I tahun 2015:


1
7
x 100% = 36,9%%
4
6

Target CDR dalam Program Nasional TB minimal 70%.


5. Proporsi Pasien TB Anak Diantara Seluruh Pasien TB

6
Adalah persentase pasien TB anak (<15 tahun) diantara seluruh pasien TB yang
tercatat. Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan
ketepatan dalam mendiagnosis TB pada anak. Rumus yang dapat digunakan:

Jumlah pasien TB Anak (< 15 tahun) yang


ditemukan x 100%
Jumlah seluruh pasien TB yang tercatat

Proporsi pasien TB anak di atara seluruh pasien TB di Puskemas Kebumen I tahun


2015:
1
2 x 100% = 4,3%
3

Angka ini berkisar 15%. Bila angka ini terlalu besar dari 15%, kemungkinan
terjadi overdiagnosis.
6. Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate = CNR)
Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan dan
tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini apabila
dikumpulkan serial, akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus
dari tahun ke tahun di wilayah tersebut. Rumus yang digunakan:
Jumlah pasien TB (semua tipe) yg
dilaporkan x 100.000
Jumlah penduduk

Angka notifikasi kasus di Puskesmas Kebumen I tahun 2015:


23
42.36 x 100.000 = 54,3
5

Angka ini berguna untuk menunjukkan "trend" atau kecenderungan meningkat


atau menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut.
7. Angka Konversi (Conversion Rate)
Adalah persentase pasien TB paru BTA positif yang mengalami konversi
menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif. Indikator ini
berguna untuk mengetahui secara cepat kecenderungan keberhasilan
pengobatan. Rumus yang dipakai:

7
Jumlah pasien baru TB paru BTA positif yang konversi
x 100%
Jumlah pasien baru TB paru BTA positif yang diobati

Angka konversi di Puskesmas Kebumen I tahun 2015:


1
4
x 100% = 82,3%
1
7

Angka minimal yang harus dicapai adalah 80 %. Angka konversi yang tinggi
akan diikuti dengan angka kesembuhan yang tinggi pula.
8. Angka Kesembuhan (Cure Rate)
Angka yang menunjukkan persentase pasien TB BTA positif yang sembuh
setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien TB BTA positif yang
tercatat. Rumus yang digunakan:
Jumlah pasien baru TB BTA positif yang sembuh
x 100%
Jumlah pasien baru TB BTA positif yg diobati

Angka kesembuhan di Puskemas Kebumen I tahun 2015:


5
1 x 100% = 50%
0

Perhitungan di atas berdasarkan data triwulan I dan triwulan II.


Angka Kesembuhan minimal untuk pasien baru TB paru : 85%
9. Angka Keberhasilan Pengobatan
Adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB baru BTA positif yang
menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap)
diantara pasien baru TB paru BTA positif yang diobati. Rumus
Jumlah pasien baru TB BTA positif (sembuh+ lengkap)
x 100%
Jumlah pasien baru TB BTA positif yg diobati

Angka keberhasilan pengobatan di Puskemas Kebumen I tahun 2015:

7
1 x 100% = 41,17%
7

8
Rangkuman hasil dan analisis indikator keberhasilan P2TB di Puskesmas
Kebumen I tahun 2015 disajikan dalam tabel berikut.
No Indikator Rujukan 2015 Keterangan
1 Angka penjaringan suspek - 493,33
2 Proporsi pasien TB BTA positif di 5%-15% 8,1 % Penjaringan
antara suspek suspek optimal
3 Proporsi pasien TB paru BTA ≥ 65% 30,4% Mutu diagnosis
positif di antara semua pasien TB kurang
paru tercatat/sudah diobati
4 Proporsi Pasien TB Anak Diantara < 15% 4,3% Mencapai target
Seluruh Pasien TB
5 Angka penemuan kasus (Case ≥ 70% 36,9% Belum
detection rate = CDR) mencapai
target
6 Angka notifikasi kasus ( Case - 54,3 -
Notification Rate = CNR)
7 Angka Konversi (Conversion Rate) ≥ 80% 82,3% Mencapai target
8 Angka Kesembuhan (Cure Rate) ≥ 85% 50% Belum
Mencapai
target
9 Angka Keberhasilan Pengobatan - 41,17% -
10 Angka Kesalahan Laboratorium Data tidak tersedia
11 Angka Keberhasilan Rujukan
12 Angka Default
Tabel 2. Indikator Penanggulangan TB Puskesmas Kebumen 1 tahun 2015

Berdasarkan tabel di atas didapatkan permasalahan P2TB Puskesmas


Kebumen I:
1. Angka penemuan kasus (Case detection rate = CDR) belum mencapai target.
2. Proporsi pasien TB paru BTA positif di antara semua pasien TB paru
tercatat/sudah diobati belum mencapai target.
3. Angka kesembuhan (Cure Rate) belum mencapai target.

BAB III
PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI

9
Dari hasil analisis data dan pencapaian target pada indikator-indikator
Penanggulangan TB, didapatkan tiga permasalahan yaitu :
1. Proporsi pasien TB paru BTA positif di antara semua pasien TB paru
tercatat/sudah diobati belum mencapai target.
Proporsi pasien TB paru BTA positif di antara semua pasien TB paru
tercatat/sudah diobati adalah presentase pasien TB paru BTA positif diantara
semua pasien TB paru yang tercatat. Dalam kasus ini prosentase belum
memenuhi target, yang artinya prioritas penemuan pasien TB yang menular
(BTA positif) diantara seluruh TB paru yang diobati belum maksimal atau
dapat disebut mutu diagnosis rendah. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain:
a. Pengambilan sampel
Kualitas sampel yang tidak adekuat, pengambilan sampel hanya P dan S
b. Pembuatan sediaan
Bisa disebabkan oleh pembuatan sediaan yang jelek dan pengecatan yang
jelek.
c. Pembacaan sediaan
Pembacaan tidak cukup atau salah baca.
d. Pencatatan dan pelaporan
Terjadinya positif atau negatif palsu (data pasien salah).
2. Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR) yang di bawah
target.
CDR yang rendah mengindikasikan belum optimalnya kinerja puskesmas
dalam menemukan kasus-kasus baru TB. Penyebab hal ini :
a. Kurangnya jumlah petugas P2TB Puskemas Kebumen, bahkan
merangkap tugas lain (menjadi laborat). Saat kesadaran masyarakat
rendah dalam memeriksakan dahaknya, maka petugas P2TB perlu turun
ke lapangan melakukan contact tracing. Wilayah kerja puskesmas yang
cukup luas dengan jumlah petugas yang terbatas, menjadi kendala yang
berarti dalam melakukan contact tracing. Kader-kader pun tidak semua
bisa membantu karena kesibukan masing-masing, dan tidak semua kader
memiliki pengetahuan tentang penyakit TB yang baik.
b. Jarak yang jauh antara rumah dan puskesmas membuat masyarakat malas
untuk memeriksakan dahaknya, terlebih pemeriksaan dahak dilakukan 3

10
kali (sewaktu-pagi-sewaktu) dan 2 diantara 3 pemeriksaan tersebut harus
dilakukan di depan petugas kesehatan.
c. Kesadaran masyarakat yang rendah untuk memeriksakan dahaknya.
3. Angka Kesembuhan (Cure Rate) belum mencapai target
Angka kesembuhan menunjukkan prosentase pasien baru TB paru BTA
positif yang sembuh setelah pengobatan, diantara pasien baru TB BTA positif
yang tercatat. Namun disini angka kesembuhan masih belum mencapai target
hal ini disebabkan oleh beberapa hal:
a. Faktor obat
Dapat disebabkan oleh panduan obat yang tidak adekuat, dosis obat yang
tidak cukup, tidak teratur minum obat, jangka waktu pengobatan yang
kurang dari semestinya, dan terjadinya resistensi obat.
b. Faktor penyakit
Biasanya disebabkan oleh lesi yang terlalu luas, adanya penyakit lain
yang mengikuti, adanya gangguan imunologis.
c. Faktor dari penderita
Kurangnya pengetahuan mengenai TB, kekurangan biaya, malas berobat,
dan merasa sembuh.

Berdasarkan penjabaran di atas, maka alternatif pemecahan masalah yang


disarankan :

1. Menaikan mutu diagnosis


a. Pengambilan sampel yang adekuat.
Pasien diberitahu bahwa contoh uji dahak sangat bernilai untuk
menentukan status penyakitnya, karena itu anjuran pemeriksaan SPS
untuk pasien baru dan SP untuk pasien dalam pemantauan pengobatan
harus dipenuhi. Dahak yang baik adalah yang berasal dari saluran nafas
bagian bawah, berupa lendir yang berwarna kuning kehijauan
(mukopurulen). Pasien berdahak dalam keadaan perut kosong, sebelum
makan/minum dan membersihkan rongga mulut terlebih dahulu dengan
berkumur air bersih. Bila ada kesulitan berdahak pasien harus diberi obat
ekspektoran yang dapat merangsang pengeluaran dahak dan diminum
pada malam sebelum mengeluarkan dahak. Olahraga ringan sebelum
berdahak juga dapat merangsang dahak keluar. Dahak adalah bahan
infeksius sehingga pasien harus berhati-hati saat berdahak dan mencuci

11
tangan. Pasien dianjurkan membaca prosedur tetap pengumpulan dahak
yang tersedia di tempat/ lokasi berdahak.
b. Memperbaiki kualitas laboratorium.
Laboratorium mikroskopis TB minimal terdiri dari :
 Ruang pendaftaran/ ruang tunggu.
Ruang ini harus memiliki ventilasi yang cukup melalui pengaturan
sirkulasi udara yang baik.
 Lokasi pengumpulan dahak
Lokasi harus memiliki ventilasi yang baik dan terkena paparan sinar
matahari langsung untuk menghindari infeksi. Sebaiknya tidak
berada di dekat kumpulan orang banyak, agar memberikan rasa
nyaman kepada pasien untuk berdahak dengan bebas. Prosedur tetap
pengumpulan dahak harus dipasang di lokasi pengumpulan dahak
agar pasien dapat membacanya terlebih dahulu. Harus tersedia
sarana cuci tangan : air mengalir dan sabun cair agar pasien mencuci
tangannya setelah pengumpulan dahak.
 Ruang kerja laboratorium
Akses ke ruang ini hanya terbatas untuk petugas laboratorium, pintu
harus selalu tertutup untuk mencegah turbulensi udara yang dapat
mencemari lingkungan. Pencahayaan harus cukup terang baik
bersumber dari sinar matahari maupun aliran listrik. Letak meja
kerja harus dipertimbangkan agar aliran udara tidak mengarah
kepada petugas. Sebaiknya udara mengalir dari arah belakang
petugas laboratorium.
 Ruang administrasi
Dalam keadaan keterbatasan ruang, ruangan administrasi dapat
bersatu dengan ruang kerja laboratoium tetapi harus memiliki meja
terpisah.
c. Melakukan pelatihan teknis laboratorium secara berkesinambungan
dengan Training need assessment yang baik agar pelatihan tepat sasaran.
2. Peningkatan CDR :
a. Penambahan jumlah petugas P2TB.
b. Mengoptimalkan para kader dalam melakukan contact tracing. Agar
semua kader dapat berperan serta, hal yang dapat dilakukan adalah
dengan menyepakati waktu untuk pelaksanaan contact tracing, dan

12
pastinya semua kader harus memiliki pengetahuan yang cukup baik
tentang penyakit TB.
c. Bekerja sama dengan bidan desa dan kader-kader dalam penyetoran
dahak. Dan yang tidak kalah penting bidan dan kader harus melihat
sendiri pasien mengeluarkan dahaknya sehingga dapat memastikan yang
dikeluarkan adalah dahak bukan air liur atau lendir.
3. Meningkatkan angka kesembuhan
a. Petugas kesehatan perlu memberikan pengarahan pada penderita TB Paru
pada saat pengambilan obat untuk meningkatkan keteraturan berobat.
b. Bagi penderita TB paru diharapkan diharapkan penderita agar teratur
berobat. Selain itu, penderita diharapkan mengkonsumsi makanan
bergizi, serta istirahat cukup dengan ventilasi yang baik.
c. Bagi keluarga diharapkan berperan aktif dalam mengawasi dan
memberikan dukungan kepada penderita agar menyelesaikan pengobatan
sampai selesai dan dinyatakan sembuh
BAB IV
PELAKSANAAN

A. Contact Tracing
Contact tracing dilaksanakan di Desa Bandung pada tanggal 6 April
2016. Dipilih Desa Bandung karena di desa tersebut terdapat pasien TB yang
bermasalah selama pengobataan dan ditakutkan berisiko besar dalam
menularkan kuman TB pada masyarakat di sekitarnya. Selama contact
tracing terdata 12 sampel dahak dari 2 kepala keluarga, yang terdiri dari 12
sampel dahak biasa.

B. Home visit
Satu pasien yang menderita TB dilakukan kunjungan rumah
bersamaan dengan contact tracing di Desa Bandung.
Nama : Ny. R
Umur : 45 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah tangga
Masalah : Tetangga Ny. R mengalami batuk-batuk lama yang
gejalanya mirip dengan yang dialami Ny. R

13
Solusi : Edukasi untuk taat dalam pengobatan TB,
menggunakan masker dan tidak membuang dahak
sembarangan.
Kunjungan rumah dilaksanakan pada tanggal 6 April 2016 di Desa
Bandung.
I. Identitas Penderita
Nama : Ny. R
Usia : 45 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Bandung
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Suku Bangsa : Jawa
PMO : Suami Penderita
II. Anamnesis
Anamnesis didapatkan secara autoanamnesis pada tanggal 6 April 2016,
pukul 10.00 WIB di rumah pasien.
A. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke puskesmas dengan keluhan sesak nafas disertai
batuk berdahak yang tidak kunjung sembuh sejak tiga bulan yang lalu.
Pasien juga mengeluhkan demam yang naik turun, berat badan turun, dan
berkeringat pada malam hari. Pasien mengatakan, saat datang ke
puskesmas, dilakukan pemeriksaan sputum dengan hasil BTA (+). Pasien
datang ke puskesmas untuk pemeriksaan dahak atas inisiatif pasien dan
keluarga. Menurut pengakuan pasien, di sekitar rumah maupun
lingkungan kerja pasien, ada tetanga yang sedang menderita batuk lama.
B. Riwayat penyakit dahulu
1. Riwayat DM : disangkal
2. Rowayat hipertensi : disangkal
3. Riwayat batuk darah : disangkal
4. Riwayat alergi : disangkal
C. Riwayat sosial ekonomi
Pasien merupakan seorang Ibu Rumah tangga yang tinggal satu
rumah dengan 4 anggota keluarganya. Pasien berobat dengan
menggunakan fasilitas BPJS Jamkesmas

14
Kesan : ekonomi kurang

D. Riwayat Sanitasi
Pasien tinggal di sebuah rumah dengan keadaan sebagai berikut.
 Ventilasi dan pencahayaan ruangan masih kurang.
 Tampak ruangan penuh dengan barang - barang.
 Dapur dan kamar mandi dalam satu ruangan
 Lantai yang tidak berkeramik

III. Pemeriksaan Fisik


A. Status Generalis
Keadaan umum : Tampak baik
Kesadaran : Compos mentis GCS : E4M6V5
Vital sign : Tekanan darah :120/80 mmHg
Nadi : 80x/menit, isi cukup, reguler
Respirasi : 23 x/menit
Suhu : 37,5oC
Sebelum Pengobatan Setelah Pengobatan
BB 39 kg 40 kg
TB 161 cm 161 cm

Pemeriksaan Fisik:
1. Kepala:
Mata : Konjungtiva anemis (-/-),sklera ikterik (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-/-)
2. Leher :
Retraksi supra sterna (-)
Pembesaran kelenjar limfe tidak ditemukan
Kelemahan otot leher (-)
3. Toraks
Pulmo : simetris, gerak dada kanan dan kiri sama, retraksi intercostae
(-/-), retraksi epigastrik (-), SD bronkovesikuler, Wh : (-/- ), Rh: (-/-)
Jantung : Bunyi jantung I-II regular, bising jantung tidak ditemukan.
4. Abdomen :

15
Datar, BU (+) normal, supel, timpani, pembesaran hepar (-),
pembesaran lien (-)
5. Ekstremitas :
Clubbing finger (-), edema (-)
Kekuatan : tangan 5/5 kaki 5/5
Tonus otot : Normotonus
IV. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan BTA (+) pada tanggal 08 Januari 2016
2. Pemeriksaan BTA (-) pada tanggal 7 April 2016
V. Diagnosis
Pasien TB Paru BTA (+) Kasus baru Dalam Pengobatan OAT (FDC) Kategori
I Fase intensif
VI. Penatalaksanaan
1.Fase intensif :
FDC 3 kaplet/hari, masing masing kaplet berisi Rifampicin 150 mg;
Isoniazid 75 mg; Pirazinamid 400 mg dan Etambutol 275 mg.
2. Fase lanjutan :
FDC 3 tablet/minggu, masing-masing tablet berisi Rifampicin 150 mg dan
Etambutol 275 mg.

INTERVENSI : Konseling Individu


No Permasalahan Konseling
1. Ventilasi dan pencahayaan Dianjurkan untuk membuka jendela tiap
ruangan masih kurang. hari, agar sirkulasi udara dan
pencahyaan cukup masuk ke ruangan
yang dihuni pasien.
2. Tampak ruangan penuh dengan Mengajurkan untuk merapikan kamar
barang - barang. dan menyimpan baju dengan rapi di
lemari sehingga kamar lebih bersih dan
tidak lembab.
3. Dapur dan kamar mandi dalam Menganjurkan untuk memberikan sekat
satu ruangan antara dapur dan kamar mandi
4. Konseling mengenai OAT Mengajurkan agar rutin minum OAT
dan menjelaskan efek samping dari
masing – masing OAT. Memotivasi

16
pasien agar tidak putus minum OAT.
Tabel 3. Permasalahan beserta konseling keadaan rumah pasien TB

BAB V
MONITORING DAN EVALUASI

I. Penemuan Kasus Tuberkulosis


Penemuan kasus bertujuan untuk mendapakan kasus TB melalui
serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap suspek TB, pemeriksaan
fisik dan laboratories, menentukan diagnosis dan menentukan klasifikasi
penyakit dan tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar
sembuh dan tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan
penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan
klasifikasi penyakit dan tipe pasien.
Strategi penemuan
a. Penemuan pasien TB, secara umum dilakukan secara pasif dengan
promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh
petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan
penemuan tersangka pasien TB.
b. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap:
1. kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti
pada pasien dengan HIV
2. kelompok yang rentan tertular TB seperti di rumah tahanan, lembaga
pemasyarakatan (para narapidana), mereka yang hidup pada daerah
kumuh, serta keluarga atau kontak pasien TB,
3. anak dibawah lima tahun pada keluarga TB
4. Kontak dengan pasien TB resistan obat
c. Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki
gejala:
1. batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti
dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah,
sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan

17
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
meriang lebih dari satu bulan.
2. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka
setiap orang yang datang ke Fasyankes dengan gejala tersebut di atas,
dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu
dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
Pemeriksaan dahak
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
1. S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali.
2. P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas di Fasyankes.
3. S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.
b. Uji Kepekaan Obat TB
Uji kepekaan obat TB bertujuan untuk resistensi M. Tuberkulosis terhadap
OAT. Pemeriksaan tersebut ditujukan untuk diagnosis pasien TB yang
memenuhi kriteria suspek TB-MDR.
II. Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis TB paru
a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
b. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan
dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya.
c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
Diagnosis TB ekstra paru

18
a. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk
pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran
kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang
belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
b. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan
atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena

Bagan 1. Alur diagnosis TB paru

III. Pengobatan Tuberkulosis


Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan

19
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
a. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia:
 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
b. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini
terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu
paket untuk satu pasien.
c. Paket Kombipak, merupakan paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk
blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam
pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
d. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket,
dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin

20
kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket
untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya.
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3). Paduan OAT ini diberikan untuk pasien
baru:
o Pasien baru TB paru BTA positif.
o Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
o Pasien TB ekstra paru
b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3). Paduan OAT ini diberikan
untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
o Pasien kambuh
o Pasien gagal
o Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
IV. Pengawasan Menelan Obat
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka
pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan
diperlukan seorang PMO.
a. Persyaratan PMO
o Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas
kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati
oleh pasien.
o Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
o Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
o Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama
dengan pasien
b. Siapa yang bisa jadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa,
Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak
ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader
kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau
anggota keluarga.
c. Tugas seorang PMO
o Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai
selesai pengobatan.
o Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.

21
o Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang
telah ditentukan.
o Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang
mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera
memeriksakan diri ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
o Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien
mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan.
d. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada
pasien dan keluarganya:
o TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
o TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
o Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya
o Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
o Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
o Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera
meminta pertolongan ke Fasyankes.

V. Pemantauan Dan Hasil Pengobatan Tb


Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan
pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap
Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena
tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan
pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil
pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah
satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak
tersebut dinyatakan positif.

22
Tabel 4. Tindak lanjut hasil pemeriksaan ulang dahak

23
Tabel 5.Tatalaksana pasien yang tidak berobat secara teratur

24
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2.


Jakarta.
Depkes RI. 2013. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Tuberkulosis. Jakarta.
Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen. 2013. Profil Kesehatan Kabupaten
Kebumen 2012. Kebumen.
Kemenkes RI. 2013. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Tuberkulosis. Jakarta.
Kemenkes RI. 2014. Pendoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta.
Kemenkes RI. 2014. Profil Kesehatan Indonesia 2013. Jakarta.
Puskesmas Kebumen I. 2015. Profil Kesehatan UPT Dinas Kesehatan Unit
Puskesmas Kebumen I Kabupaten Kebumen Tahun 2014. Kebumen.

25

Anda mungkin juga menyukai