DOSEN PENGAMPU
DESSY SISKA ANASTASIA, S.Farm., M.Sc., Apt.
NIP. 198912102019032014
MUH. AKIB YUSWAR, M. Sc, Apt
NIP. 198309162008121002
ASISTEN PRAKTIKUM
MAYA WIDYA ASTUTI WULANDARI
NIM. I1022151027
KELOMPOK : 1 Reguler : A2
I. Latar Belakang
Penanganan nyeri menurut Three Step Ladder WHO (World Health Organization)
dibedakan atas intensitasnya. Nyeri ringan dapat ditangani dengan parasetamol atau NSAID
(Non-Steroid Anti Inflamatory Drugs) atau kombinasi NSAID dengan analgesik adjuvant. Nyeri
sedang dapat ditangani dengan NSAID atau kombinasi NSAID dengan analgesik adjuvant atau
kombinasi NSAID dan analgesik adjuvant dengan opioid lemah. Nyeri berat dapat ditangani
dengan NSAID, opioid kuat, kombinasi NSAID dengan opioid kuat, atau kombinasi NSAID dan
opioid kuat dengan analgesik adjuvant. Pada penanganan nyeri kronik akan berbeda
penanganannya dengan nyeri akut.(1)
Parasetamol atau asetaminofen merupakan obat analgesik antipiretik yang sangat populer
di masyarakat dan biasa digunakan sebagai pereda nyeri dari nyeri ringan sampai sedang.
Parasetamol bekerja dengan menghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan. Parasetamol
telah terbukti efek analgesik dan antipiretiknya, namun efek antiinflamasinya sangat lemah dan
mulai banyak digunakan sebagai pereda rasa nyeri akut pasca operasi.(1) Parasetamol berguna
untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti nyeri kepala, malaria, nyeri paska melahirkan dan
keadaan lain.(2)
Parasetamol tergolong obat yang agak sukar larut dalam air, kelarutannya dalam air 1:70.
Suatu obat harus mempunyai kelarutan dalam air agar manjur secara terapi sehingga obat masuk
ke sistem sirkulasi dan menghasilkan efek terapeutik. Untuk obat-obat yang akan dibuat dalam
sediaan berbentuk larutan harus diperhatikan kelarutannya karena dapat mempengaruhi
(3)
absorbsinya. Paracetamol diabsorbsi baik dalam saluran pencernaan ketika digunakan secara
per oral, untuk memudahkan pemberian obat dan mempercepat absorbsi maka obat paracetamol
dapat dijumpai dalam bentuk kapsul karena kelarutannya sangat kecil.(2)
Kapsul merupakan sediaan obat campuran kering bahan obat atau zat kimia yang
dihaluskan, yang ditujukan untuk pemakaian oral atau untuk pemakaian lunak.(4) Kapsul
terbungkus oleh cangkang kapsul keras dan lunak. Kapsul cangkang keras lebih stabil karena
diproduksi dengan tujuan single use, sedangkan kapsul cangkang lunak stabilitasnya buruk
karena berbentuk cair. Keuntungan sediaan kapsul antara lain dapat menutupi bau dan rasa yang
tidak enak dan mudah ditelan. Kerugian sediaan kapsul antaralain tidak dapat digunakan untuk
sediaan zat yang mudah menguap dan higroskopis, tidak dapat dibagi-bagi, dan susah digunakan
untuk pasien yang sulit menelan.(5)
II. Preformulasi
Acetaminophen(6)
Struktur kimia
Chlorphemiramine Maleate(7)
Struktur kimia
Epexol(8)
Struktur kimia
V. Pendekatan Formula
No. Bahan Jumlah Fungsi Bahan Alasan Penambahan
1 Paracetamol 100 mg Zat Aktif Karena paracetamol
merupakan obat
analgesik, antipiretik
dan tidak menyebabkan
iritasi dan peradangan
lambung
2 Chlorpheniramine 0,5 mg Antihistamin Berkerja dengan
menghambat kerja
histamin
3 Epexol 5 mg Obat penyakit Untuk mengurangi rasa
saluran sakit pada tenggorokan
pernafasan
VI. Perhitungan
1. Paracetamol
100 mg x 10 bungkus = 1000 mg = 1gram
9 / 20 x 4000 = 1800 mg (per hari)
1800 mg/3 = 600 mg (per 1x pakai)
100mg x 3 = 300 mg (TOD)
2. Chlorpheniramine
0,5 mg x 10 bungkus = 5 mg = 0,005 g
9/20 x 500 = 225 mg (per hari)
225 mg / 3 = 75 mg (per 1x pakai)
0,5 mg x 3 = 0,15 mg (TOD)
3. Epexol
5 mg x 10 bungkus = 50 mg = 0,05g
9/20 x 75 = 33,75 mg (per hari)
33,75 mg / 3 = 11,25 mg (per 1x pakai)
5 mg x 3 = 15 mg (OD)
VII. Penimbangan
Jumlah dalam Jumlah
No. Bahan
formula penimbangan
1 Paracetamol 100 mg 1g
2 Chlorpheniramine 0,5 mg 0,005 g
3 Epexol 5 mg 0,05 g
X. Evaluasi Sediaan
Jumlah Hasil
No. Jenis evaluasi Prinsip evaluasi Syarat
sampel pengamatan
1 Uji pH Nilai pH larutan 1 - pH yang stabil
ditentukan secara adalah 5-7
potensiometri dengan
menggunakan
elektroda kaca,
elektroda referensi
dan pH meter digital.
pH meter
dioperasikan sesuai
petunjuk. Pertama
aparat dikalibrasikan
menggunakan
penyangga dari pH
4.9 dan 7. 1 gram
bubuk ekstrak
diambil dan
dilarutkan dalam 100
mL air demineral.
Elektroda direndam
dalam larutan dan pH
diukur. Untuk kapsul
yang digunakan
adalah bubuk dari
satu kapsul.(4)
2 Uji waktu 6 kapsul dimasukkan 1 - Waktu yang
hancur ke dalam keranjang, diperlukan untuk
keranjang diturun- menghancurkan
naikkan secara keenam kapsul
teratur 30 kali tiap tidak boleh lebih
menit. Digunakan dari 15 menit.(9)
media air bersuhu
37±2ºC. Dilakukan
pengamatan terhadap
kapsul, semua kapsul
harus hancur, kecuali
bagian dari cangkang
kapsul.(2)
3 Uji 20 kapsul ditimbang. 1 - Perbedaan dalam
keseragaman Timbang lagi kapsul persen bobot isi
bobot satu persatu. Isi tiap kapsul
kapsul dikeluarkan, terhadap bobot
ditimbang seluruh rata-rata tiap isi
bagian cangkang kapsul tidak
kapsul, bobot isi boleh lebih dari
kapsul dan bobot ±7,5 % dan
rata-rata tiap isi untuk setiap 2
kapsul dihitung.(9) kapsul tidak
boleh dari
±15%.(9)
4 Uji variasi Ditimbang 20 kapsul 1 - Persyaratan uji
berat dan ditentukan berat dipenuhi jika
rata-ratanya.(4) tidak satu pun
dari berat
masing-masing
kapsul yang
kurang dari 90%
atau lebih dari
110% dari berat
rata-rata.(4)
5 Uji Uji keseragaman isi 1 - Persyaratan
keseragaman dilakukan dengan dipenuhi jika 9
isi menimbang 30 dari 10 kapsul
kapsul, 10 mempunyai
diantaranya diperiksa kisaran potensi
dengan prosedur spesifik dari 85
khusus.(4) sampai 115%,
dan yang
kesepuluh tidak
diluar 75 sampai
125 %.(4)
6 Uji Satu kapsul 1 - Wiremesh pada
desintergasi dimasukkan ke titik tertinggi
untuk kapsul masing-masing adalah minimal
tabung dan 25 mm di bawah
menambahkan disk permukaan air,
untuk setiap tabung, dan di titik
dan ditambah 100 rendah
mL air, dioperasikan setidaknya 25
dan dijaga pada suhu mm diatas
37±2ºC.(4) bagian bawah
gelas.(4)
XI. Hasil Percobaan (untuk Laporan)
No. Perlakuan Pengamatan
1. Disiapkan alat dan bahan Alat :
1. Cangkang kapsul
2. Mortir dan stamper
3. Sedotan
4. Sudip
5. Sumpit
Bahan :
1. CTM 5 mg
2. Epexol 50 mg
3. Paracetamol 100 mg
2. Digerus SA/SL di dalam mortir agar Pori pori mortir tertutup
pori pori mortir tertutup
3. Dimasukkan CTM, Epexol, dan Bahan – bahan berada di dalam mortir
Paracetamol ke dalam mortir
4. Digerus semua bahan hingga menjadi Terbentuk serbuk homogen dan bewarna
homogen kuning pucat
5. Dibagi serbuk menjadi 10 bagian sama Serbuk terbagi sama rata
rata
6. Dimasukkan masing-masing bagian ke Serbuk berada di cangkang kapsul nomor
dalam cangkang kapsul yang sesuai 00
dengan kapasitasnya
7. Dipadatkan bahan di dalam kapsul Isi kapsul memadat
menggunakan sumpit
8. Ditambahkan SA/SL jika semua bahan -
telah di masukkan tetapi isi kapsul
belum penuh
9. Ditutup kapsul, dimasukkan ke dalam -
plastik klip dan diberi etiket putih
XII. Pembahasan (untuk Laporan)
Sediaan yang dibuat pada praktikum Formulasi Sediaan Farmasi Dasar ini adalah sediaan
kapsul. Pengertian kapsul sendiri adalah sediaan obat campuran kering bahan obat atau zat kimia
yang dihaluskan, yang ditujukan untuk pemakaian oral atau untuk pemakaian lunak(4). Kapsul
terbungkus oleh cangkang kapsul keras (capsulae durae, hard capsul) dan lunak (capsulae
molles, soft capsul). Kapsul cangkang keras lebih stabil karena diproduksi dengan tujuan single
use, sedangkan kapsul cangkang lunak stabilitasnya buruk karena berbentuk cair. Pada praktikum
ini, jenis kapsul yang digunakan adalah kapsul cangkang keras. Ciri-ciri yang ada pada cangkang
keras yaitu bagian kapsul terdiri dari tubuh dan tutup, tersedia dalam bentuk kosong, isinya
biasanya tetapi dapat juga cair, hanya memiliki satu cara pemakaian yaitu per oral, dan bentuknya
hanya satu macam dengan berbagai ukuran(10).
Ukuran kapsul menunjukkan ukuran volume dari kapsul dan dikenal 8 macam ukuran
yang dinyatakan dalam nomor kode. 000 ialah ukuran terbesar dan 5 ukuran terkecil. Untuk
kapsul ukurannya adalah 000, 00, 0, 1, 2, 3, 4, dan 5. Sedangkan, untuk hewan 10, 11, dan 12.
Umumnya nomor 00 adalah ukuran terbesar yang dapat diberikan kepada pasien(10). Pada
praktikum ini, ukuran kapsul yang digunakan adalah 00 karena menyesuaikan jumlah bahan yang
telah dihitung.
Secara spesifik, sediaan kapsul yang dibuat adalah sediaan kapsul parasetamol. Parasetamol
tergolong obat yang agak sukar larut dalam air, kelarutannya dalam air adalah 1:70. Suatu obat
harus mempunyai kelarutan dalam air agar manjur secara terapi sehingga obat masuk ke sistem
sirkulasi dan menghasilkan efek terapeutik. Untuk obat-obat yang akan dibuat dalam sediaan
berbentuk larutan harus diperhatikan kelarutannya karena dapat mempengaruhi absorbsinya(3).
Paracetamol diabsorbsi baik dalam saluran pencernaan ketika digunakan secara per oral, untuk
memudahkan pemberian obat dan mempercepat absorbsi maka obat paracetamol dapat dijumpai
dalam bentuk kapsul karena kelarutannya sangat kecil(2).
Dalam membuat suatu obat dalam sediaan kapsul terdapat kelebihan dan juga kekurangan.
Keuntungan yang didapat dari sediaan kapsul antara lain dapat tertutupinya bau dan rasa yang
tidak enak dan menjadikannya mudah ditelan. Selain itu, kelebihan sediaan kapsul adalah
bentuknya yang menarik dan praktis, cepat hancur/larut di dalam perut sehingga bahan cepat
segera diabsorbsi usus, dan kapsul dapat diisi dengan cepat tidak memerlukan bahan penolong
seperti pada pembuatan pil atau tablet. Sedangkan, kerugian suatu obat dibuat dibuat dalam
sediaan kapsul antara lain tidak dapat digunakan untuk sediaan zat yang mudah menguap dan
higroskopis, tidak dapat dibagi-bagi, tidak untuk zat-zat yang bereaksi dengan cangkang kapsul,
dan susah digunakan untuk pasien yang sulit menelan seperti balita(5).
Prosedur pembuatan kapsul parasetamol yang pertama yaitu ditimbang bahan yaitu
Paracetamol sebanyak 100 mg, CTM sebanyak 5 mg, dan Epexol sebanyak 50 mg. Kemudian
SA/SL digerus di mortir agar pori-pori mortir tertutup. Tertutupnya pori-pori mortir ini
diharapkan dapat mencegah serbuk hasil gerusan masuk ke dalam pori-pori mortir yang kemudian
akan mengurangi jumlah bahan yang seharusnya dijadikan sediaan. Lalu, dimasukkan
paracetamol, CTM, dan epexol ke dalam mortir yang sudah ditutup pori-porinya. Digerus semua
bahan hingga homogen. Obat yang sebelumnya berbentuk tablet harus digerus karena agar dapat
dimasukkan ke dalam cangkang kapsul. Kemudian, dibagi semua bahan yang telah digerus
menjadi 10 bagian secara rata. Selanjutnya, dimasukkan masing-masing bagian ke dalam kapsul
yang sesuai dengan kapasitasnya, padatkan bahan di dalam kapsul. Jika semua bahan telah masuk
ke dalam kapsul tetapi kapsul belum padat, maka dapat ditambahkan SA/SL. Terakhir, kapsul
ditutup, dimasukkan kapsul ke dalam plastik klip, dan ditempel etiket warna putih.
Ada 3 macam cara pengisian kapsul, kapsul yang dimaksud dalam hal ini dalah kapsul
keras. Pertama dengan tangan, pengisian cara ini merupakan pengisian dengan cara yang paling
sederhana yakni dengan tangan, tanpa bantuan alat lain. Cara ini sering dikerjakan di apotek untuk
melayani resep dokter. Pada pengisian dengan cara ini sebaiknya digunakan serung tangan untuk
mencegah alergi yang mungkin timbul karena petugas tidak tahan terhadap obat tersebut. Untuk
memasukkan obat dapat dilakukan dengan cara serbuk dibagi sesuai dengan jumlah kapsul yang
diminta lalu tiap bagian serbuk dimasukkan ke dalam badan kapsul dan ditutup. Kedua dengan
alat bukan mesin. Alat yang dimaksud disini adalah alat yang menggunakan tangan manusia.
Dengan menggunakan alat ini akan didapatkan kapsul yang lebih seragam dan pengerjaannya
lebih cepat sebab sekali cetak dapat dihasilkan berpuluh-puluh kapsul. Alat ini terdiri dari dua
bagian yaitu bagian yang tetap dan bagian yang bergerak. Cara pemakaian alat ini yaitu dengan
membuka kapsul kemudian badan kapsul dimasukkan ke dalam lubang dari bagian alat yang tidak
bergerak. Serbuk yang akan dimasukkan ke dalam kapsul dimasukkan/ditaburkan pada
permukaan kemudian dirataknan dengan kertas film, kemudian kapsul ditutupi dengan cara
merapatkan atau menggerakan bagian yang bergerak, dengan cara demikian semua kapsul akan
tertutup. Terakhir dengan alat mesin, untuk menghemat tenaga dalam rangka memproduksi
kapsul secara besar-besaran dan untuk menjaga keseragaman dari kapsul tersebut, perlu
dipergunakan alat yang serba otomatis mulai dari membuka, mengisi sampai dengan menutup
kapsul. Dengan cara ini dapat diproduksi kapsul dengan jumlah besar dan memerlukan tenaga
sedikit serta keseragamannya lebih terjamin(10). Pada praktikum ini, pengisian kapsul
menggunakan alat bukan mesin berupa cetakan kapsul untuk mengefektifkan waktu.
Penutupan kapsul yang berisi serbuk dapat dilakukan dengan cara yang biasa yakni
menutupkan bagian tutup ke dalam badan kapsul tanpa penambahan bahan perekat. Penutupan
cangkang kapsul dapat juga dilakukan dengan pemanasan langsung, menggunakan energi
ultrasonik atau pelekatan menggunakan cairan campuran air-alkohol. Untuk menutup kapsul
yang berisi cairan perlu dilakukan cara khusus seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Cara
paling sederhana ialah menambahkan bahan perekat agar isinya tidak keluar atau bocor. Caranya
oleskan sedikit campuran air-alkohol pada tepi luar bagian badan kapsul, kemudian ditutup
sambil diputar. Untuk melihat adanya kebocoran kapsul tersebut, kapsul diletakkan di atas kertas
saring kemudian digerakkan ke depan dan ke belakang hingga menggelinding beberapa kali.
Apabila kapsul tersebut bocor akan meninggalkan noda pada kertas. Di dalam pabrik yang besar
penutupan kapsul dilakukan secara otomartis. Sebagai cairan penutup pada umumnya larutan
gelatin yang diberikan tambahan zat warna, sehingga kapsul yang telah ditutup akan kelihatan
semacam pita yang berwarna. Warna ini dapat dipergunakan sebagai tanda pengenal dari suatu
pabrik(10). Pada praktikum ini, cara penutupan kapsul dilakukan dengan menutupkan bagian tutup
ke dalam badan kapsul tanpa penambahan bahan perekat, hal ini dikarenakan isi dari kapsul yang
dibuat berupa serbuk sehingga tidak dibutuhkan cara khusus seperti yang dilakukan pada sediaan
kapsul yang berisi cairan.
Salah satu tujuan dari pemberian obat berbentuk kapsul adalah untuk menutup rasa dan bau
yang tidak enak dari bahan obatnya. Sesuai dengan tujuan tersebut maka bagian luar dari kapsul
harus bebas dari sisa bahan obat yang mungkin menempel pada dinding kapsul. Untuk itu kapsul
perlu dibersihkan dahulu. Kapsul harus dalam keadaan bersih sebelum diserahkan pada pasien,
terutama untuk kapsul yang dibuat dengan tangan. Caranya letakkan kapsul diatas sepotong kain
(linnen, wol) kemudian digosok-gosokkan sampai bersih(10). Tetapi dalam praktikum ini, sediaan
yang dibuat tidak dilakukan pembersihan karena keterbatasan pengetahuan pada saat pembuatan
sediaan.
Dalam pembuatan kapsul harus dipenuhi beberapa syarat. Suatu kapsul dikatakan
memenuhi syarat apabila telah melewati tahap pengujian. Uji sediaan kapsul yaitu uji pH, uji
waktu hancur, uji keseragaman bobot, uji variasi berat, uji keseragaman isi, dan uji desintergrasi
untuk kapsul. Pertama, uji pH. Nilai pH larutan ditentukan secara potensiometri dengan
menggunakan elektroda kaca, elektroda referensi dan pH meter digital. pH meter dioperasikan
sesuai petunjuk. Pertama, aparat dikalibrasikan menggunakan penyangga dari pH 4.9 dan 7. 1
gram bubuk ekstrak diambil dan dilarutkan dalam 100 mL air demineral. Elektroda direndam
dalam larutan dan pH diukur. Untuk kapsul yang digunakan adalah bubuk dari satu kapsul(4). pH
yang stabil dari sebuah sediaan kapsul adalah 5-7. Kedua, uji waktu hancur. Uji ini dilakukan
dengan memasukkan 6 kapsul ke dalam keranjang, keranjang diturun-naikkan secara teratur 30
kali tiap menit. Digunakan media air bersuhu 37±2ºC. Dilakukan pengamatan terhadap kapsul,
semua kapsul harus hancur, kecuali bagian dari cangkang kapsul(2). Waktu yang diperlukan untuk
menghancurkan keenam kapsul tidak boleh lebih dari 15 menit(9). Ketiga, uji keseragaman bobot
yang dilakukan dengan cara menimbang 20 kapsul. Timbang lagi kapsul satu persatu. Isi kapsul
dikeluarkan, ditimbang seluruh bagian cangkang kapsul, bobot isi kapsul dan bobot rata-rata tiap
isi kapsul dihitung(9). Perbedaan dalam persen bobot isi tiap kapsul terhadap bobot rata-rata tiap
isi kapsul tidak boleh lebih dari ±7,5 % dan untuk setiap 2 kapsul tidak boleh dari ±15% (9).
Keempat, uji variasi berat dengan menimbang 20 kapsul dan ditentukan berat rata-ratanya(4).
Persyaratan uji dipenuhi jika tidak satu pun dari berat masing-masing kapsul yang kurang dari
90% atau lebih dari 110% dari berat rata-rata(4). Kelima, uji keseragaman isi. Uji keseragaman isi
dilakukan dengan menimbang 30 kapsul, 10 diantaranya diperiksa dengan prosedur khusus(4).
Persyaratan dipenuhi jika 9 dari 10 kapsul mempunyai kisaran potensi spesifik dari 85 sampai
115%, dan yang kesepuluh tidak diluar 75 sampai 125 %(4). Terakhir, uji desintergasi untuk
kapsul dilakukan dengan satu kapsul dimasukkan ke masing-masing tabung dan menambahkan
disk untuk setiap tabung, dan ditambah 100 mL air, dioperasikan dan dijaga pada suhu 37±2ºC(4).
Wiremesh pada titik tertinggi adalah minimal 25 mm di bawah permukaan air, dan di titik rendah
setidaknya 25 mm diatas bagian bawah gelas(4). Keenam uji kapsul yang akan menunjukkan
apakah sediaan yang dibuat baik atau tidak, tidak ada yang dilakukan. Hal ini dikarenakan
keterbatasan waktu dalam pembuataan sediaan. Jadi dalam pembuataan sediaan kapsul ini tidak
dapat disimpulkan apakah sediaan kapsul yang dibuat sudah memenuhi syarat atau tidak untuk
menjadi sediaan kapsul yang baik.
Pada praktikum ini, yang menjadi zat aktif adalah parasetamol karena memiliki porsi
paling besar dalam bahan yang ditimbang. Parasetamol atau asetaminofen merupakan obat
analgesik antipiretik yang sangat populer di masyarakat dan biasa digunakan sebagai pereda nyeri
dari nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol bekerja dengan menghambat prostaglandin yang
lemah pada jaringan. Parasetamol telah terbukti efek analgesik dan antipiretiknya, namun efek
antiinflamasinya sangat lemah dan mulai banyak digunakan sebagai pereda rasa nyeri akut pasca
operasi(1). Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti nyeri kepala, malaria,
nyeri pasca melahirkan, dan keadaan lain(2).
XIII. Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kapsul merupakan sediaan
obat campuran kering bahan obat atau zat kimia yang dihaluskan, yang ditujukan untuk
pemakaian oral atau untuk pemakaian lunak. Keuntungan dari penggunaan kapsul adalah tidak
adanya bau dan rasa yang ditimbulkan dan kekurangannya adalah sulit digunakan untuk pasien
dengan kondisi susah menelan.
Parasetamol atau asetaminofen merupakan obat analgesik antipiretik yang sangat populer
di masyarakat dan biasa digunakan sebagai pereda nyeri dari nyeri ringan sampai sedang.
Parasetamol bekerja dengan menghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan. Parasetamol
telah terbukti efek analgesik dan antipiretiknya, namun efek antiinflamasinya sangat lemah dan
mulai banyak digunakan sebagai pereda rasa nyeri akut pasca operasi(1). Parasetamol berguna
untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti nyeri kepala, malaria, nyeri pasca melahirkan, dan
keadaan lain(2).
Ditutup dengan kepala kapsul Dimasukkan kapsul ke dalam Ditempel etiket warna putih
plastik klip
Artkel Penelitian
Kata Kunci: ABSTRAK: Parasetamol merupakan obat yang agak sukar larut dalam
parasetamol, air. Absorbsi obat sukar larut atau agak sukar larut dalam air dipengaruhi
Ryoto®, oleh laju pelarutan. Solubilisasi merupakan alternatif untuk meningkatkan
sugar ester, kelarutan obat dalam air dengan penambahan surfaktan. Penambahan
propilen glikol, surfaktan Ryoto® sugar ester dan kosolven propilen glikol dilakukan untuk
solubilisasi. menentukan konsentrasi Ryoto® sugar ester dan prolilen glikol yang dapat
meningkatan kelarutan dan stabilitas sediaan. Solubilisasi parasetamol
dengan penambahan Ryoto® sugar ester tanpa propilen glikol dan
kombinasi penambahan Ryoto® sugar ester dan propilen glikol pada
konsentrasi dibawah titik CMC (Critical Micell Concentration), pada titik
CMC dan diatas titik CMC berturut-turut adalah 0,005 mg/ml, 0,006 mg/
ml dan 0,007 mg/ml dengan 10% propilen glikol. Kelarutan parasetamol
tertinggi dicapai pada formula 7 dengan kombinasi penambahan Ryoto®
sugar ester (0,007 mg/ml) dan propilen glikol (10%) yaitu dengan
persentase perolehan kembali 99,6%, serta pada kombinasi ini juga
diperoleh stabilitas sediaan yang paling bagus yaitu tidak terjadinya
perubahan warna pada sediaan selama penyimpanan pada suhu kamar
dan ditempat yang terlindung dari cahaya matahari langsung selama satu
bulan. Penambahan surfaktan Ryoto® sugar ester dan propilen glikol dapat
meningkatkan kelarutan dan stabilitas sediaan solubilisasi parasetamol.
Korespondensi:
Deni Noviza
(deninoviza@ffarmasi.unand.ac.id )
132 Jurnal Sains Farmasi & Klinis (e-ISSN: 2442-5435) | Vol. 01 No. 02 | Mei 2015
Solubilsasi Parasetamol dengan Ryoto® Sugar Ester dan Propilen glikol | Noviza, dkk.
ABSTRAK
Latar Belakang : Kombinasi analgesik parasetamol dan tramadol sering digunakan untuk
menangani nyeri sedang hingga berat. Kombinasi tersebut memiliki efek sinergisme sehingga
efektif dalam menangani nyeri. Penggunaan kombinasi parasetamol dan tramadol dapat
menurunkan risiko kerusakan hepar.
Tujuan : Mengetahui pengaruh pemberian kombinasi analgesik parasetamol dan tramadol
terhadap kadar SGOT tikus wistar.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain Post-Test Only
Control Group Design. Sampel adalah 20 ekor tikus wistar jantan dengan kriteria tertentu, dibagi
secara acak menjadi 4 kelompok. Kelompok I merupakan kelompok kontrol, Kelompok II diberi
parasetamol dosis 9 mg, Kelompok III diberi tramadol 0,9 mg, dan Kelompok IV diberi
kombinasi parasetamol dosis 9 mg dan tramadol dosis 0,9 mg. Pemberian dilakukan secara oral
dengan sonde lambung 3 kali sehari selama 14 hari. Hari ke 15 tiap tikus dibius dan diambil
darahnya melalui pembuluh darah retroorbita untuk diukur kadar SGOT nya. Data yang
didapatkan di analisa menggunakan uji One-Way ANOVA dan uji Post-Hoc.
Hasil : Pada uji One-Way ANOVA didapatkan perbedaan yang signifikan (p=0,02) antara semua
kelompok. Pada uji Post-Hoc tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pada kontrol terhadap
perlakuan parasetamol (p=0,980), kontrol terhadap perlakuan tramadol (p=0,910), kontrol
terhadap perlakuan kombinasi (p=0,614), dan perlakuan tramadol terhadap perlakuan kombinasi
(p=0,218).Namun, terdapat perbedaan yang signifikan pada perlakuan parasetamol terhadap
perlakuan tramadol (p=0,003), dan perlakuan parasetamol terhadap perlakuan kombinasi
(p=0,037).
Simpulan : Tidak terdapat perbedaan kadar SGOT yang bermakna antara pemberian kombinasi
parasetamol dan tramadol dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Kata kunci : Parasetamol, tramadol, nyeri, kadar SGOT
ABSTRACT
EFFECT OF PARACETAMOL AND TRAMADOL ANALGESIC COMBINATION FOR
ASPARTAT AMINOTRANSFERASE LEVELS IN WISTAR RATS
Background : Analgesic combination of paracetamol and tramadol is frequently used for
moderate to severe pain management. These analgesic combination has synergism effect which
effectively relief the pain. The usage of these combination may decrease the liver damage.
417
JKD, Vol. 6, No. 2, April 2017 : 417-426
JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 6, Nomor 2, April 2017
Online : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Dana Tri Asmara, Taufik Eko Nugroho
Aim : To know the effect of analgesic combination of paracetamol and tramadol toward AST
levels of rats.
Methods : Experimental study Post-Test Only Control Group Design. The samples were 20 male
rats, randomized into 3 groups. Group I was a Control Group, Group II was given paracetamol 9
mg, Group III was given tramadol 0,9 mg, and Group IV was given the combination of
paracetamol 9 mg and tramadol 0,9 mg. Administration through gastric instillation thrice a day
for 14 days. Blood samples were collected at the 15th day through retroorbital vascular to measure
the AST levels. The data was analyzed using One-Way ANOVA Test and Post-Hoc Test.
Results : One-Way ANOVA test showed that there was significant difference (p=0,02) among all
groups. Post-Hoc test showed that there were no significant differences in the control group
toward Paracetamol Group (p=0,980), control group toward Tramadol Group (p=0,910), control
group toward Combination Group (p=0,614), and Tramadol Group toward Combination Group
(p=0,218). However, there were significant differences in the Group I toward Group II (p=0,003),
Paracetamol Group toward Combination Group (p=0,037).
Conclusion : There is no significant changes in AST levels between administration of
paracetamol and tramadol combination and control group.
Keywords : Paracetamol, tramadol, pain, AST levels
PENDAHULUAN
Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan
tersebut. Berdasarkan intensitasnya, nyeri dibagi menjadi dua, yaitu dengan skala visual analog
score dengan skala 1-10, dan skala wajah Wong Baker dengan skala tanpa nyeri, nyeri ringan,
sedang, berat, dan tak tertahankan.1
Kategori nyeri tersebut didasarkan pada nyeri dengan gangguan fungsi pada pasien
kanker. Skala nyeri dihitung dengan skala numerik dari 0-10 berdasarkan gangguan nyeri dengan
fungsi, skala 0 mengindikasikan tidak ada nyeri, skala nyeri 1-4 mengindikasikan nyeri sedang,
skala 5-6 mengindikasikan nyeri sedang, dan skala 7-10 mengindikasikan nyeri berat.2
Nyeri juga diklasifikasikan menjadi nyeri akut dan kronik berdasarkan waktu durasi nyeri.
Nyeri kronik merupakan nyeri yang berlangsung sampai melebihi perjalanan suatu penyakit akut,
terjadi selama lebih dari 3 bulan. Nyeri kronik mungkin bisa disebabkan oleh proses-proses
penyakit yang berlangsung lama pada struktur somatic dan visera oleh disfungsi yang telah lama
drai susunan sistem saraf pusat atau susunan saraf tepi, atau oleh faktor-faktor psikopatologis dan
lingkungan.3
418
JKD, Vol. 6, No. 2, April 2017 : 417-426
JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 6, Nomor 2, April 2017
Online : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Dana Tri Asmara, Taufik Eko Nugroho
Berdasarkan Three Step Ladder WHO (World Health Organization), penanganan nyeri
dibedakan atas intensitasnya. Nyeri ringan dapat ditangani dengan parasetamol atau NSAID
(Non-Steroid Anti Inflamatory Drugs) atau kombinasi NSAID dengan analgesik adjuvant. Nyeri
sedang dapat ditangani dengan NSAID atau kombinasi NSAID dengan analgesik adjuvant atau
kombinasi NSAID dan analgesik adjuvant dengan opioid lemah. Nyeri berat dapat ditangani
dengan NSAID, opioid kuat, kombinasi NSAID dengan opioid kuat, atau kombinasi NSAID dan
opioid kuat dengan analgesik adjuvant. Pada penanganan nyeri kronik akan berbeda
4
penanganannya dengan nyeri akut.
Data statistika terbaru dari IASP menunjukkan bahwa satu dari lima orang menderita
nyeri kronik sedang hingga berat. Statistika lain juga menunjukkan bahwa nyeri merupakan
gejala tersering kedua setelah demam yang dialami oleh pasien HIV/AIDS yang biasanya sering
5
disebabkan oleh infeksi.
Parasetamol atau asetaminofen merupakan obat analgesik antipiretik yang sangat populer
6,7
di masyarakat dan biasa digunakan sebagai pereda nyeri dari nyeri ringan sampai sedang.
8
Parasetamol bekerja dengan menghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan. Parasetamol
telah terbukti efek analgesik dan antipiretiknya, namun efek antiinflamasinya sangat lemah dan
9
mulai banyak digunakan sebagai pereda rasa nyeri akut pasca operasi.
Tramadol merupakan obat analgesik yang bekerja secara sentral. Tramadol menginhibisi
pengambilan kembali dari norepinefrin dan 5-hidroksitripramin (5-HT) pada serabut saraf,
10
terutama pada reseptor μ-opioid agonist dan memengaruhi reseptor δ dan κ.
Penggunaan analgesik kombinasi digunakan untuk penanganan nyeri pada beberapa
11
Kombinasi analgesik parasetamol dan tramadol untuk nyeri pasca bedah
intensitas nyeri.
operasi telah diuji pada sebuah uji klinis, dan dibandingkan dengan penggunaan kapsul tramadol,
12
kombinasi analgesik parasetamol dan tramadol memberikan profil keamanan yang lebih baik.
Walaupun dengan profil keamanan yang lebih baik, parasetamol juga memiliki beberapa
efek samping. Pada dosis yang tinggi, dapat meningkatkan risiko gangguan pencernaan bagian
atas. Dan dengan penggunaan parasetamol diatas rentang dosis terapi, dapat menyebabkan
13
gangguan hati.
419
JKD, Vol. 6, No. 2, April 2017 : 417-426