Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Telah diketahui bersama bahwa dalam ilmu mantiq, salah satu pembahasan yang
harus diketahui dalam hubunganya dengan ilmu mantiq adalah adanya lafadz-lafadz
kully yang memiliki munasabah (keterkaitan/pertalian hubungan) diantara satu
dengan yang lain, baik dalam makna pada lafadz-lafadz maupun antara satu dengan
lafadz lainya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan mafhum dan mushadaq ?
2. Apa yang dimaksud dengan tuqabilul alfad ?
3. Apa yang dimaksud dengan nisbatul baina kuliyyin ?
BAB II

PEMBAHASAN
A. Al-Mafhum dan al-Mashadaq

Setiap lafadz kulli itu mempunyai dua aspek, jika ditinjau dari indikasinya, yaitu
mengindikasikan suatu makna, seperti kata “manusia” mengindikasikan hewan yang
dapat berbicara (dengan akal pikiran) dan juga mengindikasikan segala bentuk mufrad
atau perindividu yang dibenarkan dengan makna tersebut.1

Jadi, al-mafhum, al-haqiqah atau al-mahiyah adalah makna yang diindikasikan oleh
lafadz kulli atau pemahaman apa saja dari suatu lafadz. Sedangkan, al-mashadaq adalah
segala bentuk mufrad atau perindividu yang dapat dibenarkan dengan makna tersebut
atau segala penamaan eks yang benar atau sesuai dalam suatu lafadz.2

Ketika kita melihat mafhum kulli dari lafadz samak (ikan), maka akan terlihat bahwa
lafadz ini memuat segala bentuk satuan dari lafadz tersebut, baik berupa ikan laut
ataupun ikan sungai misalkan. Jadi, kalau kita tambahkan atau spesifikkan pemahaman
lafadz samak dengan sifat laut, semisal perkataan: samak bahri (ikan laut), maka kita
akan menemukan bahwa setelah dispesifikan, lafadz ini tidak akan memuat segala bentuk
yang termuat oleh lafadz samak saja.3

Dari sini, kita pahami bahwa ketika mafhum kulli-nya ditambahkan, maka
berkuranglah mashadaq-nya (apa yang termuatnya) dan ketika mafhum kulli-nya
berkurang, maka bertambahlah mashadaq-nya. Ungkapan lain berbunyi: katsrah al-
quyud taqallul al-mashadaqat (banyaknya batasan menyebabkan sedikitnya apa yang
termuatnya).4

Contoh:

i). Lafadz al-insan (‫)اإلنسان‬

penjelasan:

1
Muhammad Nur al-Ibrahimi, Ilm al-Manthiq, (Surabaya: BALABUKU, cet: kelima), hlm 17.
2
Ibid dan Ibtisam binti Ahmad Jamal, al-Qiyas wa Makanatuhu fi al-Manthiqal-Yunani, hlm 12.
3
........., Ilm al-Manthiq, hlm 17.
4
Ibid.
kata ini memberikan adanya dua dilalah, yaitu:

-pertama adalah al-mafhum, yaitu: konsep yang ada didalam diri manusia, artinya dilalah
untuk konsep atau pengertian diri manusia sendiri, yaitu bahwa al-insan (‫ )اإلنسان‬adalah
hayawanun nathiqun (‫)حيوان ناطق‬.

-kedua adalah al-mashadaq, yaitu suatu benda yang ada didalam realitas yang dikenai
lafadz, artinya dilalah yang ditujukan kepada insan atau yang dikenai oleh lafadz insan,
yaitu mnusia-manusia yang jumlahnya sudah mencapai milyaran di permukaan bumi.

B. Taqabul al-Alfadz (perbandingan lafadz)

Al-Taqabul adalah dua lafadz yang tidak bisa berkumpul dalam satu tema (pokok
pembahasan ) pada satu zaman, seperti lafadz hadlir dan gha’ib, mutakallim dan la
mutakallim, ibn dan ab, aswad dan abyadl.

Lafadz-lafadz di atas dinamakan mutaqabilah. Jadi, al-mutaqabilain adalah dua


lafadz yang tidak bisa berkumpul dalam satu tema pada satu zaman.

Al-Taqabul terbagi menjadi tiga bagian:

1. Perbandingan antara peniadaan dan penetapan, seperti lafadz insan dan la insan,
wujud dan la wujud. Jadi, tidak bisa kita mengartikan suatu hal dengan kata” insan
wa la insan (manusia dan bukan manusia) pada satu waktu, tapi suatu hal tersebut
hanya dari salah satu keduanya. Al-Mutaqabilan ini dinamakan al-naqidlain ( dua
lafadz yang berlawanan) dan bisa kita definisikan kedua lafadz ini dengan artian
dua lafadz yang tidak bisa berkumpul secara bersamaan dalam satu tema dan pada
satu waktu serta keduanya tidak bisa dihilangkan pada satu waktu.

2. Perbandingan dua lafadz dari segi tidak mungkin untuk mengumpulkan keduanya
bersamaan dalam satu tema pada satu waktu, tapi memungkinkan tidak
menggunakan kedua lafadz tersebut secara bersamaan pada satu waktu, seperti
kata “putih” dan “hitam”. Kata “putih” dan “hitam” itu tidak bisa berkumpul
secara bersamaan dalam satu hal pada satu waktu. Jadi, tidak bisa kita
mengartikan sesuatu dengan kata “putih” dan “hitam” pada satu waktu, tapi kata
“putih” dan “hitam” terkadang dapat dihilangkan bersamaan pada satu waktu,
seperti mengartikan sesuatu dengan kata “merah”. Al-Taqabul ini dinamakan
taqabul al-dliddlain (perbandingan dua lafadz yang berlawanan). Al-Didlain
didefinikan dengan artian dua hal yang tidak bisa berkumpul pada satu zaman,
tapi terkadang keduanya dapat dihilangkan.

3. Perbandingan dua lafadz dari segi tidak mungkin salah satunya terpikirkan tanpa
adanya yang lain, seperti kata “suami” dan “istri”, “guru” dan “murid”.
Perbandingan ini dinamakan taqabul al-mutadlayifain. Al-Mutadlayifain
didefinisikan dengan artian dua lafadz yang tidak bisa terpikirkan salah satunya
tanpa adanya yang lain atau dua lafadz yang salah satu keduanya akan
tergambarkan dikarenakan adanya lafadz yang lain.5

C. Al-Nisbah Bain al-Kulliyain (Hubungan Antara Dua Lafadz Kulli)

Ketika kita menimbang antara masing-masing dua lafadz kulli, maka terbagi menjadi:

1. Dua lafadz yang tunggal mengenai mafhum dan mashadaq-nya, seperti lafadz
asad dan ghadlanfar, qalam dan yara’, jahim dan sa’ir. Hubungan antara dua
lafadz diatas dinamakan al-taraduf (sinonim) dan kedua lafadz kulli tersebut
dinamakan mutaradifain (dua lafadz yang satu makna).6

2. Dua lafadz yang tunggal mengenai mashadaq-nya saja tidak mengenai mafhum-
nya, seperti lafadz al-nathiq (yang dapat berbicara dengan akal pikiran) dan al-
qabil li al-ta’lim al-raqi (yang ingin diajari serta terdidik). Mashadaq kedua
lafadz diatas sama, yaitu al-insan (manusia), tetapi mafhum-nya lafadz al-nathiq
bukan mafhum-nya lafadz al-qabil li al-ta’lim al-raqi. Hubungan ini dinamakan
al-tasawi, kedua lafadz diatas dinamakan mutasawiyain.7

3. Dua lafadz yang berbeda mengenai mafhum dan mashadaq-nya, seperti lafadz
faras dan syajarah, bait dan nahr. Hubungan antara kedua lafadz ini dinamakan
al-tabayun (kontradiksi). Kedua lafadz kulli tersebut dinamakan mutabayinain
(dua lafadz yang saling kontradiksi).8

5
Muhammad bin Maflah, Ushul al-Fiqh, vol 3 hlm 1215 dan ...., Ilm al-Manthiq, hlm 18.
6
Ibid, 19-20.
7
Ibid.
8
Ibid.
4. Dua lafadz yang salah satu keduanya lebih umum maknanya secara mutlak
daripada yang lain, seperti kata “tambang” dan “tembaga”. Jadi, kata “tambang”
itu lebih umum maknanya daripada kata “tembaga”. Kata “tambang” dapat
memuat segala bentuk satuan dari kata “tembaga” dan juga yang lainnya, semisal
emas dan perak. Hubungan kedua lafadz kullli ini dinamakan al-‘umum wa al-
khusus al-mutlak.9

5. Dua lafadz yang mana sebagian bentuk mufrad yang termuat oleh salah satu
keduanya itu memang bentuk dari apa yang dapat dibenarkan oleh lafadz lain, tapi
masing-masing kedua lafadz ini memuat bentuk mufrad yang tidak dimuat oleh
lafadz lain, seperti kata “manusia” dan “putih”. Masing-masing keduanya dapat
membenarkan kata “manusia putih”, tapi kata “manusia” saja tanpa “putih” itu
memuat kata “orang negro”, demikian juga kata “putih” saja tanpa “manusia” itu
memuat kata “salju”. Hubungan ini dinamakan al-‘umum wa al-khusus al-wajhi.

9
Ibid.
BAB III
KESIMPULAN
1. Mafhum adalah menunjukkan adanya sesuatu kosep atau pengertian yang ada di
dalam diri. Dengan kata lain, mafhum dapat diartikan sebagai lafadz yang
menunjukkan makna global (umum).sedangkan mashadaq adalah menunjukkan
kepada adanya sesuatu yang terkena atau dikenai konsep atau pengertian bertalian
atau terkait. Atau lebih mudahnya adalah lafadz yang termasuk rincian atau bagian
dari mafhum.
2. Al-Taqabul adalah dua lafadz yang tidak bisa berkumpul dalam satu tema (pokok
pembahasan ) pada satu zaman, seperti lafadz hadlir dan gha’ib, mutakallim dan
la mutakallim, ibn dan ab, aswad dan abyadl. Al-Taqabul terbagi menjadi tiga
bagian:
a. Perbandingan antara peniadaan dan penetapan, seperti lafadz insan dan la
insan, wujud dan la wujud
b. Perbandingan dua lafadz dari segi tidak mungkin untuk mengumpulkan
keduanya bersamaan dalam satu tema pada satu waktu, tapi memungkinkan
tidak menggunakan kedua lafadz tersebut secara bersamaan pada satu waktu,
seperti kata “putih” dan “hitam”.
c. Perbandingan dua lafadz dari segi tidak mungkin salah satunya terpikirkan
tanpa adanya yang lain, seperti kata “suami” dan “istri”, “guru” dan “murid”.
3. Al-Nisbah Bain al-Kulliyain (Hubungan Antara Dua Lafadz Kulli), terbagi
menjadi lima:
a. Dua lafadz yang tunggal mengenai mafhum dan mashadaq-nya, seperti lafadz
asad dan ghadlanfar, qalam dan yara’, jahim dan sa’ir.
b. Dua lafadz yang tunggal mengenai mashadaq-nya saja tidak mengenai
mafhum-nya, seperti lafadz al-nathiq (yang dapat berbicara dengan akal
pikiran) dan al-qabil li al-ta’lim al-raqi (yang ingin diajari serta terdidik).
c. Dua lafadz yang berbeda mengenai mafhum dan mashadaq-nya, seperti lafadz
faras dan syajarah, bait dan nahr.
d. Dua lafadz yang salah satu keduanya lebih umum maknanya secara mutlak
daripada yang lain, seperti kata “tambang” dan “tembaga”. Jadi, kata
“tambang” itu lebih umum maknanya daripada kata “tembaga”.
e. Dua lafadz yang mana sebagian bentuk mufrad yang termuat oleh salah satu
keduanya itu memang bentuk dari apa yang dapat dibenarkan oleh lafadz lain,
tapi masing-masing kedua lafadz ini memuat bentuk mufrad yang tidak dimuat
oleh lafadz lain, seperti kata “manusia” dan “putih”.
DAFTAR PUSTAKA

Ibtisam Binti Ahmad Jamal, Al-Qiyas Wa Makanatuhu Fi Al-Manthiqal-Yunani.

Muhammad Bin Maflah, Ushul Al-Fiqh.

Muhammad Nur Al-Ibrahimi, Ilm Al-Manthiq, (Surabaya: Balabuku, Cet: Kelima).

Anda mungkin juga menyukai