Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

Beton prategang merupakan kombinasi yang ideal dari 2 (dua) bahan yang
berkekuatan tinggi modern, yaitu beton dan baja mutu tinggi. Hal ini dicapai dengan cara
menarik baja dan menahannya pada beton sehingga membuat beton dalam keadaan tertekan.
Kombinasi aktif ini menghasilkan perilaku yang lebih baik dari individu kedua bahan itu
sendiri. Baja adalah bahan liat dan dibuat untuk bekerja dengan kekuatan tarik yang tinggi
oleh prategang. Beton adalah bahan getas yang apabila ditarik kemampuannya menahan
tekan tidak berkurang. Gaya prategang berarti mengakibatkan tegangan permanen di dalam
struktur dengan tujuan memperbaiki perilaku dan kekuatannya pada berbagai macam
pembebanan.

Perbedaan utama antara beton bertulang dan beton prategang.


Beton bertulang :
Cara bekerja beton bertulang adalah mengkombinasikan antara beton dan baja tulangan
dengan membiarkan kedua material tersebut bekerja sendiri-sendiri, dimana beton bekerja
memikul tegangan tekan dan baja penulangan memikul tegangan tarik. Jadi dengan
menempatkan penulangan pada tempat yang tepat, beton bertulang dapat sekaligus memikul
baik tegangan tekan maupun tegangan tarik.

Beton prategang :
Pada beton prategang, kombinasi antara beton dengan mutu yang tinggi dan baja bermutu
tinggi dikombinasikan dengan cara aktif, sedangan beton bertulang kombinasinya secara
pasif. Cara aktif ini dapat dicapai dengan cara menarik baja dengan menahannya kebeton,
sehingga beton dalam keadaan tertekan. Karena penampang beton sebelum beban bekerja
telah dalam kondisi tertekan, maka bila beban bekerja tegangan tarik yang terjadi dapat di-
eliminir oleh tegangan tekan yang telah diberikan pada penampang sebelum beban bekerja.
BAHAN- BAHAN BAHAN-BAHAN BAHAN-BAHAN
YANG TAHAN YANG TAHAN YANG TAHAN
TERHADAP TEKAN TERHADAP TARIK TARIK & TEKAN

BATU TALI BAMBU BATANG KAYU

BETON BATANG & BAJA PROFIL


KAWAT BAJA STRUKTURAL

KOMBINASI BETON
PASIF BERTULANG

BETON BAJA TUL.


MUTU TINGGI MUTU TINGGI

KOMBINASI BETON
AKTIF PRATEGANG

Gambar 1.1 Perkembangan bahan-bahan bangunan (Lin, 2000)

KONSEP DASAR BETON PRATEGANG


Umun
Beton prategang adalah beton yang mengalami tegangan dalam (internal) dengan
besar dan distribusi sedemikian rupa sehingga dapat mengimbangi sampai batas tertentu
tegangan yang terjadi akibat beban luar (external). Pada elemen-elemen beton bertulang,
sistem prategang dilakukan dengan menarik tulangannya. Pemberian tegangan internal dapat
meningkatkan kemampuan struktur beton yang bersifat kuat menahan tekan namun lemah
menahan tarik. Tegangan internal tersebut didesain agar dapat mengatasi tegangan eksternal
yang terjadi akibat beban luar, misalnya beban mati dan beban hidup. Dengan tegangan
internal tersebut, pengaruh tegangan tarik beton akibat beban eksternal terhadap beton dapat
dikurangi atau ditiadakan, sehingga beton tersebut bebas dari retak-retak rambut yang terjadi
akibat adanya tegangan tarik. Dengan kata lain gaya pratekan akan memberikan tegangan
tekan awal yang berlawanan dengan gaya tarik yang ditimbulkan oleh beban kerja sehingga
tegangan tarik total akan berkurang atau hilang sama sekali.
Beberapa keuntungan penggunaan struktur beton prategang, antara lain :
1. Balok yang ringan, langsing dan kaku
2. Retak kecil tidak ada sehingga dapat mencegah terjadinya korosi baja tulangan
3. Lintasan tendon dapat diatur untuk menahan gaya geser
4. Penghematan maksimum dapat dicapai pada struktur bentang panjang, lebih
ekonomis bila dibandingkan dengan struktur beton bertulang konvensional
5. Dapat digunakan untuk struktur pracetak yang dapat memberikan jaminan kualitas
yang lebih baik, kemudahan dan kecepatan dalam konstruksi serta biaya awal lebih
murah.
Secara umum ada tiga konsep yang dapat dipakai untuk menjelaskan dan
menganalisis sifat-sifat dasar beton prategang, yang dapat dijelaskan secara singkat sebagai
berikut :

Konsep dasar prategang


Konsep dasar dalam perencanaan elemen beton prategang adalah tegangan pada
beton dihitung langsung dari gaya internal prategang dan beban eksternal. Distribusi
tegangan menurut konsep ini dapat dilihat pada gambar 2.1.

P P.e. y M . y
f=   ……………………………………………………… …(2.1)
A I I

(a) Balok diberi gaya prategang secara eksentris dan beban luar
 

Akibat Gaya Akibat Gaya Akibat Momen Akibat Gaya

Prategang Pengaruh Prategang Eksternal M Prategang Eksentris


Beban Langsung Eksenteris dan Momen
Eksternal M

Gambar 2.1 Distribusi tegangan sepanjang penampang beton prategang eksentris

2.1.2 Metode C - Line


Konsep ini mempertimbangkan beton prategang sebagai kombinasi dari baja dan
beton seperti pada beton bertulang, dimana baja menahan tegangan tarik dan beton menahan
tekan. Dengan demikian kedua bahan membentuk tahanan untuk menahan momen eksternal,
sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2.2. Konsep ini berdasarkan metode perancangan
kuat batas dan juga dapat dipakai dalam keadaan elastis.

(a) Bagian balok prategang (b) Bagian balok bertulang

Gambar 2.2. Momen penahan internal pada balok beton prategang dan beton bertulang

2.1.3 Load balancing


Gaya prategang sebagai usaha untuk menyeimbangkan gaya-gaya pada sebuah balok.
Pada keseluruhan desain struktur beton prategang, pengaruh dari gaya prategang dipandang
sebagai penyeimbang berat sendiri. Dari gambar 2.3 beban merata (w b) yang bekerja
terdistribusi secara merata ke arah atas dinyatakan dalam formula :
8.P.e
wb  ………………………………………………………….(2.2)
L2

Beton sebagai benda bebas


Gambar 2.3 Balok prategang dengan tendon parabola (Lin, 2000)

2.2 Material Beton Prategang

2..2.1 Beton
Beton yang digunakan pada beton prategang disyaratkan beton normal dengan mutu
lebih besar dari 30 MPa, workabilitas tinggi, dapat mencapai kekuatan tertentu dalam waktu
singkat dan kehilangan prategang (loss of prestressed) yang kecil.
Dalam perencanaan beton prategang yang didasarkan pada beban kerja, tegangan-
tegangan dibatasi oleh tegangan-tegangan ijin. Tegangan ijin beton untuk komponen struktur
lentur pada tahap beban kerja adalah sebagai berikut (SK-SNI T-15-1991-3) sebagai berikut :
a. Sesaat setelah pemindahan gaya prategang (initial transfer)
Pada saat transfer, tegangan tidak boleh melebihi :
1) Serat atas (tarik) : ft,i = 0,25 f ' c ,i ……………………………(2.3)
2) Serat bawah (tekan) : fc,i = 0,60. f’c,i……………………………....(2.4)
b. Pada saat kondisi beban kerja/beban layan (service)
Pada saat kondisi layan tegangan-tegangan tidak boleh melebihi :
1) Serat atas (tekan) : fc,s = 0,45 f’c,s ………...……………………(2.5)
2) Serat bawah (tarik) : ft,s = 0,50 f 'c,s …………………….……..(2.6)

2.2.2 Baja mutu tinggi


Pada dasarnya terdapat 2 (dua) jenis baja yang digunakan dalam struktur beton
prategang yaitu baja mutu tinggi yang disebut tulangan aktif yang mengalami gaya prategang
dan baja non-prategang sebagai tulangan pasif yang terbuat dari mild steels dan cold-worked
steels. Mild steels adalah baja yang biasa digunakan sebagai tulangan pada beton bertulang.
Cold-worked steels adalah baja sedang (medium strength steels) yang memiliki karakteristik
lekatan yang kuat (deformed bars) yang dibentuk melalui proses cold rolling.

Tegangan (N / mm2)
2000

1600 Kawat baja mutu tinggi

1200 0,2 %

800
Baja lunak
400

0
0 2 4 6 8 10
Regangan (%)

Gambar 2.4 Diagram tegangan – regangan baja struktur

Tegangan (%)
1800
Prestressing strands
1600 Prestressed wire (7 mm)

1400

1200
Bristrand
1000 High alloy bar

800

600
High strengh reinforced steel
400

200 Mild steel

0
0 10 20 30
Regangan (%)

Gambar 2.5 Diagram tegangan – regangan variasi baja struktur


Baja yang digunakan dalam struktur prategang adalah baja mutu tinggi dengan
kekuatan tarik yang sangat tinggi dan initial stress antara 100.000 psi – 200.000 psi. Baja
mutu tinggi memiliki tegangan tark ijin sebagai berikut :
a. Akibat gaya penjangkaran/ pengangkuran
fs,I ≤ 0,94. fpy dan
fs,I ≤ 0,85. fpu ……………………………………………………….(2.7)
b. Sesaat setelah pemindahan gaya prategang
fs,I ≤ 0,82. fpy dan
fs,I ≤ 0,74. fpu ……………………………………………………….(2.8)
c. post-tensioning tendon
fs,I ≤ 0,70. fpu ……………………………………………………….(2.9)
d. Penentuan nilai fpy untuk post-tensioning tendon ditetapkan sebagai berikut :
1) Stress-relieved tendons : fpy = 0,85 fpu
2) Low-relaxxations tendons : fpy = 0,90 fpu
Macam-macam baja prategang yang biasa digunaka adalah :
a. Wire : kawat baja pejal dalam gulungan
b. Bar : kawat baja pejal dalam lonjoran
c. Strand : sekelompok kawat digabung dan dipintal pada arah longitudinal

2.2.3 Selonsong (duck) untuk sistem pasca tarik


Menurut SK SNI T-15 1991-03, selongsong untuk tendon yang digrout atau tanpa
lekatan harus kedap air dan tidak reaktif dengan beton, tendon atau bahan pengisinya.
Apabila digunakan kawat majemuk, kawat untaian atau batang tendon yang digrout,
selongsong harus mempunyai diameter paling sedikit 6 mm dari diameter tendon dan
mempunyai luas penampang dalam paling sedikit dua kali luas tendon.
Ada dua macam selubung (conduit/duck), yaitu untuk system prategang dengan
lekatan (bonded system) dan yang tanpa lekatan (unbonded system). Jika tendon harus diberi
lekatan, umumnya digunakan selubung yang terbuat dari logam baja yang digalvanisasi,
selubung plastic berulir atau selubung karet. Sedangkan apabila tendon harus tanpa lekatan,
biasanya dipakai plastic atau kertas tebal sebagai pembungkus dan tendon diberi minyak
(grease) untuk mempermudah penarikan dan mencegah karatan.
2.2.4 Bahan untuk grouting
Bahan pengisi selubung tendon disuntikkan ke selongsong berfungsi antara lain
untuk merekatkan tendon ke beton setelah penarikan (metode pascatarik) dan untuk
mencegah baja berkarat. Bahan untuk grouting biasanya terdiri dari Semen Portland dan air,
sedangkan untuk selubung yang besar sering ditambah pasir. Bahan tambahan campuran
grouting yang boleh digunakan adalah bahan yang tidak mengandung kalsium klorida dan
tidak mempunyai pengaruh buruk terhadap grouting, baja dan beton.

2.3 Sistem Beton Prategang


Ada beberapa macam system beton prategang ditinjau dari beberapa segi, yaitu :
1. Ditinjau dari keadaan distribusi tegangan pada beton :
a. Full prestressing
Suatu system yang dibuat sedemikian rupa sehingga tegangan yang terjadi
adalah tekan pada seluruh penanpang. Secara teoritis system ini tidak
memerlukan tulangan pasif.
b. Partial prestressing
Dalam memikul beban, kabel baja pretegang bekerja sama dengan tulangan
pasif dengan tujuan agar struktur berperilaku lebih daktail.
2. Ditinjau dari cara penarikan
a. Pratarik (pre-tensioning)
Pada metode penegangan pratarik, tendon prategang diberi gaya dan ditarik
lebih dahulu sebelum dilakukan pengecoran beton dalam perangkat cetakan
yang telah dipersiapkan. Setelah beton cukup keras, penjangkaran dilepas dan
terjadi pelimpahan gaya tarik baja menjadi tegangan tekan pada beton. Cara
ini umum digunakan oleh perusahaan beton precast karena tempat
pengecoran permanent, kualitas terjamin dan dapat diproduksi dalam jumlah
yang banyak dalam waktu yang singkat.

(a) Tendon dipasang di antara angkur penahan

(b) Acuan dipasang dan beton dicor didalamnya

(c) Gaya dilimpahkan ke dalam beton

Gambar 2.7 Penegangan system pratarik

b. Pascatarik (post-tensioning)
Pada metode ini beton lebih dahulu dicetak dengan disiapkan lubang (duck) atau
alur untuk penempatan tendon. Apabila beton sudah mengeras dan cukup kuat,
kemudian tendon ditarik, ujung-ujungnya diangkur. Selanjutnya lubang
digrouting.

(a) Beton dicor dengan menempatkan tendon pada alur


(b) Baja ditegangkan setelah beton mencapai kekuatan yang diperlukan

(c) Gaya desak dilimpahkan ke dalam beton dengan penegangan

Gambar 2.8 Penegangan system pascatarik

3. Ditinjau dari penempatan kabel


a. Internal prestressing
Kabel prategang ditempatkan di dalam tampang beton
b. External prestressing
Kabel prategang ditempatkan di luar tampang beton
4. Ditinjau dari hubungan lekatan dengan beton
a. Bonded tendon
Setelah penarikan tendon, dilakukan grouting atau injeksi pasta semen ke dalam
selubung kabel. Setelah bahan grouting mengeras terjadilah lekatan tendon
dengan beton disekelilingnya.
b. Unbonded tendon
Tendon prategang hanya dibungkus agar tidak terjadi lekatan dengan beton.
5. Ditinjau dari bentuk geometri lintasan tendon
a. Lengkung, biasanya digunakan pada system pasca tarik (post-tensioning)
b. Lurus, banyak dijumpai pada sisten pratarik (pre-tensioning)
c. Patah, dijumpai pada system balok prasetak (precast)

2.4 Tahap Pembebanan


Dalam perancangan beton prategang, pembebanan tidak hanya ditinjau berdasarkan
beban eksternal yang bekerja seperti beban mati dan beban hidup, tetapi juga terhadap
kombinasi beban-beban tersebut dengan gaya prategang yang bekerja pada penampang
beton. Diantara tahap pembebanan tersebut yang paling kritis biasanya pada saat baja
ditegangkan (initial stage) dan pada masa pelayanan (service stage) atau masa akhir (final
stage).
1.Initial stage (initial transfer)
Initial stage merupakan suatu tahap dimana gaya prategang dipindahkan pada beton
dan biasanya belum bekerja beban luar selain berat sendiri dan beban pelaksanaan. Pada
tahap ini gaya prategang bekerja maksimum sebab belum terjadi kehilangan prategangan,
sedangkan kekuatan beton minimum kerena umur beton masih relative muda, sehingga
tegangan pada beton menjadi kritis. Pada system pratarik (pre-tensioning) untuk
mempercepat proses penarikan, tendon dilepaskan pada saat beton mencapai kekuatan 60%-
80% kekuatan yang disyaratkan yaitu pada umur 28 hari. Pada system pasca tarik (post-
tensionung), tendon dapat tidak ditarik sekaligus tetapi ditarik dalam dua atau tiga tahap
untuk memberikan kesempatan pada beton untuk mencapai kekuatan yang disyaratkan gaya
prategang diterapkan sepenuhnya.
2. Final stage
Tahap ini biasanya terjadi pembebanan yang paling berat untuk kondisi masa
pelayanan. Dalam analisis biasanya kehilangan prategang telah mencapai maksimum dan
kombinasi beban luar mencapai nilai terbesar yaitu meliputi berat sendiri, beban mati, beban
hidup, beban kejut dan beban-beban lainnya.

1) Initial stage
Sisi atas : ftop = -Pi / Ac + Pi . e / St - Mi / St  ft,I ………….(2.10)
Sisi bawah : fbot = -Pi / Ac - Pi . e / St + Mi / St  fc,I …………(2.11)
Pi /Ac Pi.e / St Mi /St  ft,I = 0,25 f’c,i
Mi Mi
+ + =
e
Pi Pi
Pi /Ac Pi.e / Sb Mi /Sb  fc,I = 0,60 f’c,i

Gambar 3.3 Tegangan – regangan saat initial stage

2) Initial final
Sisi atas : ftop = -Ps / Acp + Ps . e / Stp- Ms / Stp  fc,s ………...(2.12)
Sisi bawah : fbot = -Ps / Acp – Ps . e / Sbp+ Ms / Sbp  fc,I ….……(2.13)
Ps /Acp Ps.e / Stp Ms /Stp  fc,s = 0,45 f’c,s
Ms Ms
+ + =
e
Ps Ps
Ps /Acp Ps.e / Stb Ms /Stb  ft,s = 0,50 f’c,s

Gambar 3.4 Tegangan – regangan saat final stage

BAB III
ANALISIS DAN DESAIN BALOK BETON PRATEGANG

3.1 U m u m
Perencanaan balok beton prategang secara keseluruhan meliputi beberapa tahapan
sebagai berikut :
a. Penentuan dimensi awal dan analisis penampang
b. Analisis pembebanan
c. Analisis mekanika (perhitungan momen dan gaya lintang)
d. Penentuan tipe, jumlah dan lintasan tendon
e. Penentuan gaya prategang
f. Perhitungan kehilangan gaya prategang (loss of prestressed)
g. Kontrol tegangan dan lendutan ijin
h. Perhitungan momen kapasitas
i. Perhitungan tulangan geser
j. Perhitungan sambungan geser (shear connector)
k. Perencanaan end block

3.2 Analisis Penampang Balok


Ada beberapa bentuk penampang balok beton yang digunakan yaitu penampang
persegi, penampang I (semetris dan tak semetris), penampang T dan penampang kotak (box).
Perbedaan system pratarik dan pascatarik dalam penegangan tendon akan berpengaruh
terhadap perhitungan tegangan-tegangan yang terjadi baik dalam tahap initial stage maupun
final stage. Perbedaan perhitungan tegangan dipengaruhi oleh sifat-sifat penampang dan ada
atau tidaknya lekatan antara beton dengan tendon seperti pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Pengaruh system penegangan dalam tahap pembebanan


Sistem Penegangan Initial stage Final stage
Pre-tensioning (pratarik) Atrans, ytrans, Itrans Atrans, ytrans, Itrans
Post-tensioning (pascatarik Agross, ygross, Igross Atrans, ytrans, Itrans

Pada penarikan pre-tensioning, pada saat transfer maupun service sudah ada lekatan
sempurna antara tendon dengan beton , sehingga dalam perhitungan digunakan penampang
transformasi (tansformations sections) untuk kedua kombinasi pembebanan tersebut (A trans,
ytrans, Itrans).
Sedangkan pada penarikan post-tensioning, pada saat dilakukan penarikan tendon,
selubung (duck) belum digrouting, sehingga masih dimungkinkan terjadi gerakan relatif
tendon di dalam selubung. Sehingga pada saat transfer digunakan penampang gross beton
murni (Agross, ygross, Igross). Pada waktu proses penarikan selesai dilakukan, duck
digrouting,setelah pasta semen mengeras terjadilah kesatuan antara beton dan baja sehingga
pada kondisi pelayanan (service) digunakan penampang transformasi dengan
memperhitungkan luas lubang yang telah digrouting (Atrans, ytrans, Itrans).
ytt

ybt

e
t

(a) Penampang kotor (Gross sections)


ytt

et
ybt

(a) Penampang transformasi (Transformations sections)

Gambar 3.1 Perhitungan sifat-sifat tampang

Dengan besaran penampang gross section pada gambar 3.1(a), dapat diperoleh Agross,
ytg, ybg dan Igross. Sedangkan untuk transformations section pada gambar 3.1(b), digunakan
persamaan sebagai berikut :
Ep
n= …………………………………………………………….………(3.1)
Ec

Atrans = Agross + (n-1) Ap…………………………………………………..(3.2)


n = luas lubang belum diperhitungkan dalam Agross
(n-1) = luas lubang sudah masuk dalam perhitungan Agross
Agross . ybg  ( n  1) Ap . ybs
ybt = …………………………………………....(3.3)
Atrans

Itrans = Igross + Agross (ybg – ybt)2 + (n-1) Ap (ybt – ybs)2 + Ip………………...(3.4)



Ip = D4 ~0………………………………………………………….....(3.5)
64

3.3 Analisis dan Perancangan Berdasarkan Tegangan Kerja


Agar diperoleh hasil rancangan yang menjamin keamanan, beberapa pendekatan
perancangan dapat diterapkan. Metode perancangan disarankan dalam peraturan beton
adalah perancangan tegangan kerja (working stress design / WSD), dan perancangan
kekuatan batas (ultimite strength design), dimana metode kuat batas akan dibahas lebih
lanjut pada bagian lain bab ini.
Pada pendekatan perancangan tegangan kerja, tegangan akibat beban kerja dibatasi
oleh tegangan ijin dan struktur diasumsikan elastis linear. Keamanan dipenuhi dengan
membatasi tegangan akibat beban luar tidak terlalu besar dibandingkan dengan tegangan ijin.
Tegangan ijin ditetapkan sesuai dengan peraturan atau berdasarkan saran produsen material.

3.3.1. Distribusi tegangan lentur balok beton bertulang


Pada perancangan tegangan kerja balok prategang, tegangan lentur pada serat terluar
umumnya ditinjau dalam 2 (dua) kondisi kritis yaitu pada saat setelah baja ditegangkan
(transfer/initial stage), dan pada masa pelayanan (service/final stage).

3.3.2 Perencanaan penampang


Dari persamaan tegangan kerja saat initial dan service, dapat ditentukan besar statis
momen St dan Sb minimum dari penampang yang dipilih.
St = I / yt …………………………………………………………………(3.10)
Sb = I / yb…………………………………………………………………(3.11)
Dalam melakukan perencanaan, perlu diperhatikan persyaratan ukuran penampang
struktur minimum ditinjau dari nilai statis momen penampang tersebut. Dengan substitusi
persamaan tegangan saat initial pada sisi bawah dan sisi atas, dapat diperoleh persamaan :
St  (Ms – Mi) / (ft,I – fc,I)…………………………………………………(3.12)
Dengan substitusi persamaan tegangan service pada sisi atas dan sisi bawah, dapat
memperoleh persamaan :
Sb  (Ms – Mi) / (ft,s – fc,s)…………………………………………………(3.13)
Persyaratan ukuran penampang struktur penampang struktur minimum tersebut
belum memperhitungkan pengaruh penempatan kabel tendon. Oleh karena itu dalam praktek
di lapangan diperlukan faktor pembesar yakni 1,20 untuk sistem post-tensioning dan 1,35
untuk sistem pre-tensioning.
Disamping itu masih ada persyaratan lain yang berkaitan dengan batasan besarnya
lendutan serta pertimbangan estetika.
3.3.3. Gaya prategang Pi dan Ps
Agar tegangan-tegangan ijin tidak terlampaui, perlu ditinjau batasan-batasan
besarnya gaya pratekan. Sebagai contoh yaitu suatu balok di atas perletakan sederhana, maka
pada tengah bentang harus ditinjau 2 (dua) hal sebagai berikut :
b. Kondisi awal (Pi, fc,I, Mi)
- Serat atas harus dibatasi terhadap tegangan tarik
- Serat bawah harus dibatasi terhadap tegangan tekan
c. Kondisi pelayanan (Ps, fc,s, Mi)
- Serat atas harus dibatasi terhadap tegangan tekan
- Serat bawah harus dibatasi terhadap tegangan tarik
Di bawah ini dihitung batasan gaya prategang, sebagai contoh 3 (tiga) kasus yang berbeda
sbagai berikut :
1. Kasus 1 (Tidak ada tarik pada balok)
Sebagai langkah awal pembatasan gaya prategang ini diberikan syarat atau batasan
bahwa beton tidak mengalami tegangan tarik (seluruh penampang terjadi tegangan
tekan).
Kondisi awal :
-Pi / A + Pi. e / St – Mi / St  0……………………………………(3.14)
-Pi . St / A + Pi. e – Mi / St  0……………………………………(3.15)
Jika kb = St / A, maka diperoleh :
-Pi . kb + Pi . e  Mi………………………………………………(3.16)
Pi  Mi / (e – kb)…………………………………….(3.17)
Dengan cara yang sama pada kondisi akhir diperoleh :
Ps  Ms / (e + kt)…………………………………….(3.18)
Dengan kt = Sb / A
2. Kasus 2 (Tarik terjadi pada balok)
Pada umumnya pada kondisi pelayanan masih diperkenankan terjadi tegangan tarik 
ft,s. Dengan nilai e yang sudah diketahui maka nilai Ps adalah (Collins, 1981) :
-Ps / A – Ps. e / Sb + Ms / Sb  ft,s
-Ps (1/ A + e / Sb)  Ms / Sb - ft,s
-Ps (Sb / A + e)  Ms - ft,s . Sb
-Ps (kt + e)  Ms - ft,s . Sb
Ps  (Ms - ft,s . Sb) / (kt + e)

3. Kasus 3
Dengan anggapan pada sisi tarik boleh terjadi tegangan tarik baik pada kondisi initial
maupun service. Besar batasan tegangan tarik (tegangan tarik ijin) adalah sama, yaitu
fmin dan tegangan ijin tekan fmaks maka akan diperoleh :
ft,I = ft,s = f,min
fc,I = fc,s = fmaks
Mi = Mmin
Ms = Mmaks
Mv = ML = Mmaks - Mmin
Anggapan ini belum mempertimbangkan adanya kehilangan prategang (loss of
prestressed).
Batasan-batasan gaya prategang adalah sebagai berikut :
1. P  [(Mv – (Sb + St). fmin)] / (Sb + St) / A
2. P  [(Mmaks – Sb . fmin)] / (Sb /A) + e
3. P  [ - Sb . fmin + St . fmaks] / (St /Sb) + A
Ketiga rumus di atas dengan tidak memperhitungkan adanya kehilangan gaya prategang.

Daerah Pemasangan Kabel Balok Prategang Pascatarik


Daerah pemasangan kabel pada balok pratekan pracetak komposit pascatarik ini
diberi batasan sehingga pusat gaya tekan (C), berada dalam daerah inti (core / kern),
sehingga tidak terjadi tegangan tarik. Jika tegangan tarik diperbolehkan, penempatan garis
c.g.s. (centre of gravity steel) boleh berada sedikit di luar daerah batas.
Daerah inti (core / kern)
Gaya prategang dalam suatu penampang apabila letaknya berada dalam kern sentral,
maka tidak akan terjadi tegangan tarik pada seluruh penampang. Daerah kern sentral untuk
penampang persegi seperti pada gambar 3.10, dengan k t dan kb sebagai batas kern atas dan
bawah.
h/6 h

b/6
b

Gambar 3.10 Daerah kern sentral penampang persegi (Nawy, 1996)


Kern batas merupakan suatu daerah dari penampang, dimana suatu gaya aksial tekan
tertentu dapat ditempatkan dan tegangan-tegangan yang terjadi tidak melampaui tegangan
tekan. Pada daerah inti atau teras penampang ini, suatu gaya tekan yang bekerja didalamnya
akan menghasilkan tekan pada seluruh penampang dan suatu gaya tarik dapat
mengakibatkan tarik pada seluruh penampang.
Teras dari bentuk penampang selain persegi (penampang I), dapat ditentukan dengan
menghitung kern atas (kt) dan kern bawah (kb), sebagi berikut

kt = Sb / Acp………………………………………………………….……..(2.24)
kb = St / Acp……………………………………….………………………..(2.25)

Batas atas dan batas bawah


Batas atas dan batas bawah tendon dengan memperbolehkan atau tidak
memperbolehkan terjadinya tegangan tarik diuraikan sebagai berikut ini :
a. Tegangan tarik tidak boleh terjadi
Apabila digunakan batasan bahwa beton tidak mengalami tegangan tarik (seluruh
penampang terjadi tegangan tekan), maka nilai ft,I maupun ft,s adalah sama dengan
nol. Batas bawah dan batas atas ditentukan berdasarkan eksentrisitas minimum (e min),
dan eksentrisitas maksimum (emaks) sebagi berikut :

e min = (Mmaks / Ps) – kt………………………….………………….(3.26)


e maks = (Mmin / Pi) + kb…………………………………………….(3.27)
e min = (Mmaks / Ps) – kt
e maks = (Mmin / Pi) + kb
kt kt

kb

Gambar 3.11 Daerah batas c.g.s. yang tidak memperbolehkan tegangan tarik beton

b. Tegangan tarik boleh terjadi


Batas atas dan batas bawah ditentukan berdasarkan eksentritas maksimum (emaks) dan
eksentritas minimum (emin), sebagai berikut :
e min = [(Mmaks – Sb . ft,s) / Ps] – kt………………………….……….(3.28)
e maks = [(Mmin + St . ft,i) / Pi] + kb………...……………………..….(3.29)
e min = [(Mmaks – Sb . ft,s) / Ps] – kt
e maks = [(Mmin + St . ft,i) / Pi] + kb
kt kt

kb

Gambar 3.12 Daerah batas c.g.s. yang tidak memperbolehkan tegangan tarik beton

Jika c.g.s. jatuh di atas batas atas pada setiap titik, maka daerah-C, yang bersesuaian
dengan momen Mmaks (momen akibat beban kerja total) dan gaya prategang, Pe akan jatuh di
atas kern atas menimbulkan tegangan tarik pada serat bawah. Dan apabila c.g.s. diletakkan di
atas batas bawah, maka daerah-C, akan berada di atas kern bawah dan tidak akan terjadi
tegangan tarik pada serat atas akibat beban gelagar (Mmin) dan gaya prategang Pi.
Posisi dan lebar daerah batas dapat manjadi petunjuk desain yang memadai dan
ekonomis, jika sebagian batas atas jatuh di luar atau terlalu dekat dengan serat bawah, maka
gaya pretegang (P) dan tinggi balok dapat dikurangi. Sedangkan apabila batas atas
memotong batas bawah. Hal tersebut berarti tidak ada daerah yang tersedia untuk letak c.g.s
maka gaya prategang (P) atau tinggi balok harus ditambah atau momen gelagar harus
ditambahkan untuk menurunkan batas bawah jika memungkinkan.
Kt kt

kb

(a) Batas atas terlalu dekat dasar balok

Kt kt

kb

(b) Batas atas terlalu jauh dasar balok

Kt kt

kb

(c) Batas atas dan batas bawah berpotongan


Gambar 3.13 Posisi yang tidak dikehendaki untuk daerah batas c.g.s.

Kehilangan Gaya Prategang


Di dalam rangkaian tahap perencanaan, analisis kehilangan gaya prategang sangat
penting. Secara umum, kehilangan prategang (loss of prestressed) dinyatakan sebagai
prategang aktif pada beton yang mengalami pengurangan secara berangsur-angsur sejak dari
tahap transfer yang diakibatkan oleh berbagai sebab. Pada perencanaan awal, gaya efektif
ditentukan lebih dahulu dengan memperkirakan kehilangan prategang total. Pada sistem
post-tensioning, digunakan perkiraan sebesar 15%-25%.
Berdasarkan waktu terjadinya, kehilangan prategang dikelompokkan menjadi 2 (dua)
yaitu :
1. Kehilangan prategang seketika (jangka pendek), yang disebabkan antara lain
oleh perpendekkan elastis beton, gesekan pada tendon dan gesekan pada
angker hidup.
2. Kehilangan prategang jangka panjang, yang disebabkab oleh susut dan
rangkak beton, relaksasi baja tendon serta pengaruh suhu.
Jenis kehilangan prategang yang terjadi pada sistem penegangan pasca tarik adalah sebagai
berikut :
1. Perpendekkan elastis beton, apabila tendon-tendon ditarik secara berturutan. Apabila
semua tendon ditarik secara bersamaan maka tidak ada kehilangan akibat deformasi
elastis.
2. Relaksasi tegangan pada baja.
3. Susut beton.
4. Rangkak beton.
5. Gesekan pada tendon dan angker mati.
6. Slip pada pengangkeran (draw-in)
Kehilangan prategang secara umum dipengaruhi oleh :
1. Mutu beton.
2. Jenis baja prategang
3. Lintasan tendon.
4. Gaya prategang awal.
5. Keadaan lingkungan.
6. Bentuk tampang balok.
3.5.1. Kehilangan prategang akibat perpendekan elastis beton
Segera setelah pelimpahan gaya prategang dari baja kepada beton (transferred) maka
terjadilah regangan pada beton yang diikuti pula oleh bajanya. Perpendekan pada beton akan
mengakibatkan pemendekan dan berkurangnya tegangan pada baja.
Kehilangan tegangan yang terjadi akibat perpendekan elastis dari beton sendiri
dibedakan berdasarkan cara penegangannya.
a. Sistem pre-tensioning
1) Pada beban sentris
ES = Pi / (Ac.Eci + As.Es)…………………………………………(3.30)
Kehilangan tegangan pada baja :
fs,ES = EES. = Es.Pi / (Ac.Eci + As.Es)……………………………(3.31)
Jika n = Es / Eci dan At = Ac + n.Asi , maka
fs,ES = n.Pi / At……………………………………………………(3.32)
2) Pada beban eksentris dan beban mati sudah bekerja, tegangan pada beton pada titik
berat baja prategang adalah :
fc,ES = Ps / A + Ps. e2 / I + MD.e / I,
Dengan Ps = 0,90 Pi (just after transfer)
fc,ES = n.fs,ES ………………………………………………………(3.33)
b. Sistem post-tensioning
Besarnya kehilangan prategang pada sistem post-tensioning dipengaruhi oleh jumlah
tendon dan cara penarikan masing-masing tendon. Jika jumlah tendon adalah n, ditegangkan
secara secara berurutan, maka besarnya kehilangan prategang akibat perpendekan elastik
beton pada tendon ke-j karena penarikan tendon ke-j+1 adalah :
(fs)j = n. fs.As / Ac(1 + ej. ek / r2)…………………………………………(3.34)
Kehilangan prategang total :
fs = fs.As / As…………………………………………………………….(3.35)
r = (I / A)1/2

3.5.2. Kehilangan prategang akibat relaksasi tegangan pada baja


Relaksasi adalah berkurangnya tegangan tarik akibat regangan yang konstan seperti
gambar 3.14. Gaya prategang pada baja prategang dengan perpanjangan yang konstan dan
dijaga tetap pada suatu selang waktu akan berkurangnya secara perlahan-lahan seperti pada
gambar 3.15. Besarnya pengurangan tergantung pada lamanya waktu dan perbandingan
fpi/fpy.

Gambar 3.14 Berkurangnya tegangan tarik akibat regangan konstan

Peraturan PCI membatasi basarnya gaya pategang awal (segara setelah


pengangkuran) sebesar fpi = 0,70 fpu. Dari gambar 3.15 terlihat bahwa makin besar tegangan
tetap akan menghasilkan kehilangan tegangan akibat relaksasi yang makin besar pula. Ini
adalah alasan untuk membatasi tegangan awal maksimum. Penggunaan untaian kawat
dengan relaksasi yang rendah akan sangat mengurangi kehilangan tegangan (maksimum
3,5%) dan makin banyak dipakai secara meluas walaupun harganya lebih mahal
dibandingkan dengan untaian kawat stress-relieved.
fp/fpi(%)
100 0,60 = fpi/fpy
90 0,70
80 0,80
70 0,90
60
50
10 100 1000 10.000 100.000 (Waktu,jam)
Gambar 3.15 Kurva relaksasi baja untuk kawat untuk strand stress-relieved (Lin, 2000)

Balok prategang mengalami perubahan regangan baja yang konstan di dalam tendon
bila terjadi rangkak yang tergantung pada waktu, perpendekkan elastis (kehilangan gaya
prategang seketika setelah peralihan), dan susut beton. Pengurangan tegangan tendon
mengakibatkan berkurangnya kehilangan prategang akibat relaksasi, dirumuskan dengan
persamaan :
RE = [Kre – J(SH + CR + ES)]C…………………………………………..(3.37)
Nilai Kre, J dan C adalah nilai pada tabel 3.2 dan tabel 3.3.

Tabel 3.2 Nilai Kredan J (Lin, 2000)


Tipe Tendona Kre (Mpa) J
270 Grade stress-relieved
strand wire or wire (1860) 138 0.15
250 Grade stress-relieved
strand wire or wire (1720) 128 0.14
240 or 235 Grade stress-relieved
strnd wire or wire (1665 Mpa or 1620Mpa) 121 0.13
270 Grade low-relaxation strand (1860 Mpa) 35 0.040
250 Grade low-relaxation strand (1720 Mpa) 32 0.037
240 or 235 Grade low-relaxation strand (1655
Mpa or 1620 Mpa) 30 0.035
145 or 160 Grade low-relaxation strand (1000
Mpa or 1100 MPa) 41 0.050

Tabel 3.3 Nilai C (Lin, 2000)


Fpi/fpu Stress-relieved strand or Stress-relieved bar or Low-
wire relaxations strand or wire

0.75 1,45 1.00


0.74 1,36 0.95
0.73 1,27 0.90
0.72 1,18 0.85
0.71 1,09 0.80
0.70 1,00 0.75
0.69 0,94 0.70
0.68 0,89 0.66
0.67 0,83 0.61
0.66 0,78 0.57
0.65 0,73 0.53
0.64 0,68 0.49
0.63 0.63 0.45

3.5.3 Kehilangan prategang akibat rangkak beton


Rangkak pada beton murni didefinisikan sebagai deformasi yang tergantung pada
waktu yang diakibatkan oleh tegangan seperti pada gambar 3.16. Pada sistem prategang,
balok memberikan respon elastik terhadap gaya prategang saat peralihan, rangkak pada
beton akan terjadi untuk jangka panjang akibat beban yan terus-menerus bekerja tetapi
dengan laju perubahan yang sangat kecil pada saat yang akan datang.
f
Loading
Unloading
t

e s
s

Rangkak Pemulihan

Gambar 3.1 Deformasi beton akibat tegangan yang konstan


Rangkak dianggap terjadi dengan beban mati permanen yang ditambahkan pada
komponen struktur setelah beton diberi gaya prategang. Bagian dari regangan tekan awal
disebabkan pada beton segera setelah peralihan gaya prategang dikurangi oleh regangan tarik
yang dihasilkan dari beban mati permanen. Kehilangan gaya prategang akibat rangkak untuk
komponen struktur dengan tendon terekat dihitung dari persamaan berikut
CR = Kcr (Eps / Ec) (fc,ir – fcds)………………………………………………(3.38)
Dengan Kcr = 1,60 untuk komponen struktur pascatarik, f c,ir adalah tegangan beton pada garis
yang malalui titik barat baja, (c.g.s.), akibat gaya prategang efektif segera setelah gaya
prategang telah bekerja pada beton pada kondisi tranfer, dan fcds adalah tegangan beton pada
titik berat tendon akibat seluruh beban mati yang bekerja pada komponen struktur setelah
diberi gaya prategang, yang dapat dihitung melalui persamaan :
fcir = [(fbot – ftop) (h – ed) / h ] + ftop……………………………………….(3.39)
untuk kondisi awal (transfer), dan
fcir = [(fbot – ftop) (h – ed) / h ] + ftop……………………………………….(3.40)
untuk kondisi akhir (service), dan

3.5.4. Kehilangan prategang akibat susut beton


Susut beton terjadi karena peristiwa panguapan air pada beton sepanjang proses
evaporasi yang menjadikan beton mangalami perpendekan secara bertahap. Karena pada
beton terjadi perubahan volume, maka akan terjadi kehilangan gaya prategang pada bajanya.
Evaluasi kehilangan prategang akibat susut merupakan salah satu bagian penting dalam
mendisain struktur beton pratekan.
Susut pada beton dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti rangkak, perbandingan
antara volume dan permukaan, kelembaban relatif dan waktu dari akhir masa perawatan
basah sampai bekerjanya gaya prategang. Karena susut tergantung pada waktu, maka
kehilangan tegangan batas yang dialami pada tahun pertama sekitar 80%.
Komponen struktur pascatarik akan lebih menguntungkan apabila susut terjadi
sebelulum penarikan sistem prategang. Susut yang terjadi lebih kecil dari susut yang terjadi
dari sistem pratarik (Lin, 2000).
SH = 8,2 x 10-6. Ksh.Eps (1 – 0,06 V / S) (100 – RH)…………………………..(3.41)
Nilai 8,2 x 10-6 merupakan ultimite shrinkage strain (SH,U) dan Ksh adalah nilai yang diambil
dari tabel 3.4, dengan catatan bahwa nilai K sh tersebut berlaku untuk beton yang mengeras
pada udara terbuka.
Tabel 3.4 Nilai Ksh untuk komponen struktur pascatarik (Lin, 2000)
Jangka waktu setelah perawatan
basah sampai pada pelaksanaan 1 3 5 7 10 20 30 60
prategang (hari)
Ksh 0.9 0.8 0.8 0.7 0.7 0.6 0.58 0.4
2 5 0 7 3 4 5

3.5.5 Kehilangan prategang akibat gesekan


Kehilangan prategang akibat gesekan hanya terjadi pada sistem pascatarik yang
timbul akibat adanya gesekan antara tendon dengan selubung dan antara kawat untaian
dalam satu tendon. Kehilangan prategang ini dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor yaitu pengaruh
panjang dan kelengkungan. Pengaruh panjang jumlah gesekan yang akan dijumpai jika
tendon lurus. Tetapi dalam prakten tendon tidak dapat lurus sepenuhnya. Dan gesekan tetap
ada diantara tendon dan bahan sekelilingnya. Gesekan ini disebabkan oleh adanya perubahan
sudut teoritik dan perubahan sudut tak terduga (wobbling effect). Gesekan ini mengakibatkan
kehilangan tegangan yang semakin bertambah menurut jaraknya.
Teg. tendon
Td
To T1

(a)
Tmin
(b)
Jarak (x)
Angker mati Angker hidup

Tendon
Gambar 3.17 Variasi tegangan pada tendon akibat gaya gesekan (Lin, 2000)
To = Tegangan awak
Td = Tegangan pendongkrakan sementara
Ti = Tegangan setelah pelepasan
Tmin = Tegangan minimum
(a) = Kehilangan gaya prategang akibat gesekan yang rendah
(b) = Kehilangan gaya prategang akibat gesekan yang tinggi

Menurut Lin (2000), tendon prategamg sepanjang dx yang titik beratnya mengikuti busur
lingkaran dengan jari-jari R, seperti pada gambar 3.18 (b), perubahan sudut tendon akibat
lengkungan sepanjang dx adalah :
d =dx / R…………………………………………………………………………(3.42)
Untuk elemen yang kecil sepanjang dx, tegangan pada tendon dapat diambil tetap dan sama
dengan P, yang membentuk sudut d adalah :
N = P. d = P. dx / R……………………………………………………………(3.43)
Jumlah kehilangan gaya prategang akibat gesekan dP sekeliling dx dinyatakan dengan
tekanan dikalikan dengan koefisien gesekan  , jadi :
dP = -.N = -. P.dx / R = -.P.d…………………………………………….(3.44)
dP /P = - . d………………………………………………………………..…..(3.45)

 radian Lintasan tendon


Po

x
(a) Lintasan tendon

N = Po.d
R d
Po Po Po

Px = Po- dPo Po
dPo Po Po.d
dx

Kehilangan gaya prategang Tekanan normal N


Akibat gesekan dP akibat prategang P

(b) Kehilangangaya prategang akibat gesekan sepanjang dx

Gambar 3.18 Curvature frictions loss Nawy, 1996)

Persamaan (3.38), diintegrasikan kedua sisinya diperoleh :


Loge P = - .…………………………………………………………………….(3.46)
Jika  = L / R, untuk penampang dengan konstanta R, maka akan diperoleh persamaan yang
konvensional yakni :
Px = Po. E- = Po. e-  (L / R)…………………………………………………..(3.47)
Apabila akan dihitung kehilangan prategang akibat gesekan karena bentuk tendon yang turun
naik atau pengaruh panjang tendon, maka :
Loge P = - KL atau Px = Po. e-KL……………………………….……….(3.48)
Jika pengaruh panjang dan kelengkungan tendon digabungkan maka dapat ditulis dengan
sederhana
Loge P = - . - KL…………………………………………………………….(3.49)
Sesuai dengan ganbar 3.18 (b), besarnya gaya prategang P x, pada suatu jarak x dari ujung
penarikan mengikuti suatu fungsi eksponensial sebagai berikut (Lin, 2000)
Px = Po. e-  + KL)…………………………….………………………………..(3.50)
Tabel 3.5 Nilai koefisien wobble (K) dan koefien kelengkungan () (Lin, 2000)
Tipe tendon Koefisien wobble (K) Koefisien
per meter kelengkungan ()
Tendons in flexible metal sheatibg
Wure tendons 0,0033 – 0,0049 0, 15 – 0,25
7 – wire tendons 0,0016 – 0,0066 0,15 – 0,25
High-strength 0,0003 – 0,0020 0,08 – 0,30
Tendons in rigid metal duct
7 – wire strand 0,007 0,15 – 0,25
Mastic-coated tendons
Wire-tendons and 7- wire strands 0,0010 – 0,0066 0,05 – 0,15
Pre-greased tendons
Wire-tendons and 7- wire strands 0,0033 – 0,0066 0,05 – 0,15

3.5.6 Kehilangan prategang akibat slip /tarik masuk pada tendon (draw-in)
Kehilangan prategang ini timbul akibat penguncian baji pada angker hidup pada
sistem pascatarik (post-tensioning system). Apabiala kabel ditarik dan dongkrak dilepaskan
untuk mentransfer prategang beton, pasak-pasak gesekan yang dipasang untuk memegang
kawat-kawat dapat menggelincir pada jarak yang pendek sebelum kawat-kawat
menempatkan diri secara kokoh diantara pasak-pasak tadi. Besarnya penggelinciran
tergantung pada tipe pasak dan tegangan pada kawat. Misalnya pada sistem VSL, tendon
kembali sebesar 6 mm, segera setelah draw-in. Karena adanya gesekan tendon, maka
pengaruh tarik masuk ini terjadi hanya sepanjang x dari angker hidup.
Diagram gaya miring pada daerah angker hidup sampai berjarak x, disebabkan oleh
adanya gesekan antara tendon dengan selubung tendon.
Xas = [(set.Aps.Eps) / P]1/2………………………………………………………(3.51)

Angker mati Angker hidup


A B
C Tendon
Gaya saat penarikan

Gaya setelah draw-in

PA PX PC PB

Gambar 3.19 Tarik masuk tendon (draw-in)

Dalam tabel 3.6. disajikan perkiraan kehilangan tegangan baja prategang untuk
metode pratarik (pre-tensioning) maupun pascatarik (post-tensioning).

Tabel 3.6. Kehilangan tegangan baja prategang


MetodePenarikan
No. Uraian Pratarik (%) Pascatarik
(%)
1 Perpendekan elastik dan lenturan 4 1
2 Rangkak beton 6 5
3 Susut beton 7 6
4 Relaksasi baja 8 8
Jumlah 25 20

3.6 Analisis Kuat Batas Lentur


Pada analisis kuat batas beban kerja rencana dikalikan faktor beban dan struktur
direncanakan untuk menahan beban terfaktor tersebut pada kapasitas batasnya. Beban
terfaktor yang berkaitan dengan janis beban bertujuan untuk mengurangi derajat
kemajemukan dan ketidaktentuan dari beban-beban tersebut. Pendekatan ini lebih relistis
dari perancangan tegangan kerja dimana semua beban diperlakukan sama. Pada kondisi
batas, kuat batas lentur ditentukan berdasarkan konsep kompabilitas regangan dengan
memperhitungkan regangan-regangan yang terjadi pada saat transfer prategang.
Menurut SK-SNI-T-15-1991-03, struktur lentur prategang harus direncanakan/
dihitung dengan metode kuat batas. Komponen struktur mencapai keadaan batas seimbang
jika regangan beton pada serat tepi tertekan b = 0,003 dan tegangan baja tarik mencapai
luluh. Untuk perhitungan kuat batas tendon pratekan fy boleh diganti fps.
b
Nd
g.n c a
dp d
Asp As Nt,sp
sp2 sp1 Nt,s
sp1 = deformasi awa tendon
sp2 = deformasi total tendon
Gambar 3.20 Keadaan batas seimbang struktur
Pada kondisi seimbang :
Nd = Nt,sp + Nt,s………………………………………………………………….(3.52)
Mn= Nt,sp (dp – a/2) + Nt,s (dp – a/2)…………………………………………..(3.53)
Fungsi tulangan pasif pada penampang beton prategang parsial antara lain
memperbesar kapasitas lentur penampang dan memperkecil lebar retak sehingga baja
prategang bisa bebas dari korosi.
Pada kondisi batas, kuat batas lentur harus dihitung berdasarkan konsep
kompatibilitas regangan, dengan memperhitungkan regangan-regangan yang terjadi pada
saat transfer gaya pratekan. Jika tidak dihitung secara teliti, apabila fse (fse – Ps /Asp), tidak
kurang dari 0,50.fpu (fse  0,50.fpu, nilai perkiraan fps dapat ditentukan dengan rumusan berikut
(SK-SNI-T-15-1991-03) :
a. Komponen struktur yang menggunakan tendon dengan lekatan penuh
fps =fpu[1-p /1(p.fpu /f’c + d / dp ( - ’)]……………………………………(3.54)
Jika pengaruh tulangan tekan diperhitungkan, maka :
[(p.fpu /f’c + d / dp ( - ’)]  0,17…………………………………………….(3.55)
d’0,15dp………………………………………………………..………………….(3.56)
dengan :
p = 0,28 untuk fpy / fpu  0,85
p = 0,40 untuk fpy / fpu  0,90
1 = 0,85 – 0,008 (f’c – 30)………………………………………………..(3.57)
p = Aps / b.dp……………………………………………………………....(3.58)
 =  . fy / f’c = As . fy / b.d.f’c…………………………………………….(3.59)
’ = ’ . fy / f’c = As’ . fy / b.d.f’c………………………………………….(3.60)
Untuk menjamin penampang tulangan liat (daktail), p dibatasi :
p = p . fps / f’c  0,36.1…………………………………………………(3.61)
b. Komponen struktur yang menggunakan tendon pratekan tanpa lekatan
1) Jika L / h  35
fps = fse + 70 + f’c / 100.p  fpy………………………………………..(3.62)
 fse + 400
fse = Ps / Asp………………………………………………………………..(3.63)
dengan fse adalah tegangan efektif tendon (sudah memperhitungkan kehilangan rategang)
2) Jika L / h  35
fps = fse + 70 + f’c / 300.p  fpy………………………………………..(3.64)
 fse + 200
Apabila fse  0,50 fpu, maka nilai fps ditentukan dari strain compatibility (kompatibilitas
regangan). Sebagai langkah awal, nilai fps diasumsikan lebih dulu (Nawy, 1996)
fps  0,90 fpu…………………………………………………………………………(3.65)
1 = fpe / Eps…………………………………………………………………….….(3.66)
2 = Pe / AcE ( 1 + e2/ r2)…..………………………………………………….….(3.67)
a = Aps . fps / 0,85 . f’c . b…………………………………………………………(3.68)
c = a / 1……………………………………………………………………………(3.69)
3 = c (d – c ) / c…………………………………………………………...(3.70)
ps = 1 + 2 + 3 ……………………………………………………………(3.71)
Nilai fps ditentukan dari diagram tegangan-tegangan pada gambar 2.21
Stress (ksi 103)
280
MPa
210 1500

140 1000

70 500

0
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 (Strain)

Gambar 3.21 Diagram tegangan – regangan prestressing strand (Nawy, 1996)

Analisa momen kapasitas ini merupakan perencanaan dengan Load Resistance


Factor Design (LRFD), yang mendasarkan perencanaan dengan membandingkan kekuatan
yang telah diberi suatu faktor reduksi kekuatan (), terhadap beban terfaktor yang
direncanakan bekerja pada struktur tersebut. Faktor reduksi kekuatan () ini diperlukan
untuk menjaga kemungkinan kurangnya kekuatan struktur, sedangkan faktor beban (),
digunakan untuk mengantisipasi kemungkinan kelebihan beban.
Struktur dan komponen struktur harus direncanakan hingga semua penampang
mempunyai kuat rencana minimum sama dengan kuat perlu agar struktur dan komponen
struktur tersebut memenuhi syarat kekuatan dan laik pakai terhadap bermacam-macam
beban. Kuat perlu (U), yang menahan beban mati (DL) dan beban hidup (LL) paling tidak
harus sama dengan :
U = D . DL + L.LL …………………………………………………..(3.72)
Faktor beban sesuai dengan SK-SNI-T-15-1991-03 adalah D = 1,20 dan L = 1,60.

1. Analisa sebagai balok T murni


Balok beton dianalisa sebagai balok T murni apabila sumbu netral plastis terletak
pada balok beton sendiri, dan bukan pada plat (slab beton). Analisa balok T murni ini juaga
dibagi 2 (dua), berdasarkan letak sumbu netral plastisnya, apakah terletak pad flens balok
beton atau tidak.
T = Aps . fps………………………………………………………………(3.73)
C1 = 0,85 . f’cbalok tweb (a – tplat – tflens)…………………………………...(3.74)
C2 = 0,85 . f’cbalok a. tflens………………………………………………...(3.75)
C3 = 0,85 . f’cplat. bplat . tplat………………..……………………………..(3.76)
Berdasarkan 2 (dua) kondisi di atas maka perhitungan menjadi sebagai berikut :
a. Sumbu netral plastis terletak pada balok beton
Terjadi apabila tinggi blok tegangan tekan (a), melampaui ketebalan slab beton
maupun flens balok beton.
a = [(T – C2 – C3) (0,85. f’c .tweb)] + tplat + tflens…………………………(3.77)
d = h + tplat + ed …………………………………………………………(3.78)
Kukuatan nominal pada kondisi ini :
Mn = C2 [d – (a – tflens – tplat) / 2] + C3 (d – tplat) / 2……………………...(3.79)
MR =  Mn ………………………………………………………………(3.80)
2. Analisa sebagai balok persegi
Analisa ini dilakukan apabila sumbu netral plastis terletak pada plat (slab beton) atau
a  tplat.
a= Aps . fps / 0,85 f’cplat .bplat …………………………………………….(3.81)
Kekuatan nominal pada kondisi ini :
Mn = T (d – a/2)………………………………………………….………(3.82)
MR =  Mn
Tulangan Geser
Analisis kuat geser untuk komponen struktur beton prategang pada dasarnya sama
dengan yang dikerjakan untuk beton bertulang biasa. Kuat geser nominal total Vn dinyatakan
sebagai jumlah kuat geser yang disumbangkan oleh beton (Vc) dan tulangan geser (Vs).
Vn = Vc + Vs ……………………………………………………………(3.83)
Sesuai dengan SK-SNI-T-15-1991-03, apabila gaya prategang efektif tidak kurang
dari 40% kuat tarik tulangan baja lentur, Vc dapat dihitung dari persamaan :
Vc,mim = (f’c) . bw . dp / 6 ………………………………………………(3.84)
Vc = [(0,05(f’c) + 5.Vu . dp / Mu)]. bw . dp …………………………….(3.85)
Vc,maks = 0,40 (f’c) . bw . dp …………………………………………….(3.86)
dp  0,80.h dan (Vu . dp / Mu)  1,0 ……………………………………(3.87)
Sedangkan kontribusi tulangan geser Vs adalah :
Vs = Av . fy . dp / s………………………………………………………...(3.88)
Atau dengan tulangan spasi tulangan geser sebagai berikut :
S = Av . fy . dp / Vs ………………………………………………………..(3.89)
Untuk komponen struktur prategang dengan gaya prategang efektif tidak kurang dari 40%,
kuat tarik tulangan lentur, maka luas tulangan geser minimum :
Av = [(Aps . fpu . s) (dp . bw)1/2] / 80 . fy . dp ………………………………(3.90)
Av = 50 . bw . s / fy jika Vu /   Vc / 2 …………………………….(3.91)
Atau dengan spasi penulangan geser sebagai berikut :
smaks = Av . 80 fy . dp / Aps . fpu (dp / bw)1/2 ………………………………..(3.92)
smaks = 0,75.h atau h/2 atau 24” (60 cm)
smaks = Av . fy / 50 . bw jika, Vu /   Vc / 2 ……………………………(3.93)

Dengan kelengkungan tendon yang dimaksudkan untuk mengurangi eksentrisitas atau


memperkecil momen lentur di ujung balok, akan berakibat timbulnya gaya vertikal, P v ke
atas. Gaya ini sangat bermanfaat untuk melawan gaya geser ayng diakibatkan oleh beban
luar. Batasan yang berlaku adalah :
Vu – Pv  0,60. Vn …………………………………………………………(3.94)

End Block
End block adalah daerah yang berada di ujung balok pratekan yang mempunyai
konsentrasi yang tingga dan berpotensi untuk terjadi bahaya retak. Daerah ini biasanya
diambil sepanjang tinggi balok, dimanapada jarak ini terjadi peralihan dari gaya pratekan
terpusat menjadi keadaan tegangan merata.
Pada daerah angkur atau blok ujung (end block), suatu elemen beton prategang
pascatarik, keadaan distribusi tegangannya rumit dan bersifat tiga dimensi. Pada sistem
pascatarik, kawat-kawat prategang dipasang didalam saluran kabel (duck) kemudian
ditegangkan dan diangkurkan pada end block. Akibatnya gaya besar yang terpusat dalan
daerah yang relatif sempit bekarja pada blok ujung sehingga menimbulkan tegangan-
tegangan geser dan transversal. Tegangan-tegangan transversal yang timbul ini bersifat tarik
disepanjang bentang yang panjang. Untuk menahan tarikan ini maka harus diberi tulangan
yang cukup karena baton lemah terhadap tarikan.
A

h
2.ypo

Gambar 3.24 End Block beton prategang


Gaya tarik pemecah dinyatakan sebagai suatu bagian dari gaya aksial yang diberikan
oleh suatu tendon terhadap suatu blok ujung beton bujur sangkar. Tarikan pemecah
bervariasi menurut perbandingan luas yang dibebani tehadap luas pendukung blok ujung.
Distribusi tulangan daerah ujung berdasarkan pada distribusi tegangan tarik tersebut. Dalam
perhitungan pada blok ujung oleh Guyon, rumus pendekatan penentuan gaya tarik memecah
T adalah sebagai berikut :
1. Angkur sentris
T = (P / 3,2) [(1 – (2ypo / h)] …………………………………………….(3.95)
2. Angkur eksentris
T = (P / 3,0) [(1 – (2ypo / yo)] …………………………………………….(3.96)

P yo
2ypo 2yo h
yo

yo yo
2yo Tegangan merata

Gambar 3.25 Distribusi gaya pada end block (Raju, 1989)


Luas total tulangan vertikal yang dibutuhkan menjadi :
As = T / fs ………………………………………………………………...(3.97)
Berdasarkan ACI (1997), perlu diperlukan pengontrolan tegangan beton di belakang plat
angkur pada waktu sesaat setelah pengangkuran dan setelah terjadi kehilangan prategang
(Nawy, 1996).
1. Sesaat setelah pengangkuran
bi = 0,80. f’c . (A2 / A1 – 0,20)  1,25 . f’c,i …………………………..(3.98)
A2 / A1  2,70 ………………………………………………………….(3.99)
2. Setelah terjadi kehilangan prategang
bi = 0,60. f’c . (A2 / A1 – 0,20)  f’c,i …………….…………………..(3.100)
A2 / A1  2,70 ………………………………………………………….(3.101)

BAB IV
BALOK PRATEGANG GELAGAR MENERUS

4.1. Intilah Umum


Sebelum membahas mengenai balok beton prategang dengan gelagar menerus,
beberapa istilah umum yang digunakan pada sub-sub bab berikutnya, antara lain sebagai
berikut :
1. Momen primer
Adalah momen akibat gaya prategang yang besarnya adalah gaya prategang dikalikan
eksentrisitas kabel (terhadap c.g.c.) pada masing-masing potongan. Diagram momen primer
sama dengan profil kabel.
Contoh-contoh :
a. Kabel lurus
Momen primer = P . e ………………………………………………….(4.1)

e P P

(-)
Gambar 4.1 Diagram momen primer pada kabel lurus

b. Kabel lengkung

e e
A e1 D e2 B e3 E C

(-) (+) (-)

P . e1 P . e2 P . e3

Gambar 4.2 Diagram momen primer pada kabel lengkung


Momen pada titik yang ditinjau :
MA = 0 MC = 0 MD = - P . e3
MB = + P . e2 MD = - P . e1
2. Momen sekunder
Adalah momen yang diakibatkan oleh gaya reaksi kelebihan (akibat gaya redundant),
contahnya adalah sebagai berikut :
c. Kabel lengkung

e e
A e1 e2 B e3 C
LAB LBC

P PA PB PC P


A B C
q1 RB1 q2
(a) Beban eqivalen
q1 = 8.P.e1 / (LAB)2
q1 = 8.P.e2 / (LBC)2

A B C
RB2
(b) Unbalanced force

RB = RB1 + RB2

(c) Momen sekunder

Gambar 4.3 Diagram momen primer pada kabel lengkung

3. Momen resultan
Adalah jumlah momen primer dan memen sekunder.
4. C – line (compression line, pressure line, thrust line)
Adalah tempat kedudukan resultan gaya tekan (C), pada masing-masing potongan
balok.
C = Mresultan / P ……………………………………………………...……(4.2)
5. Kabel konkordan (Concordant cable atau tendon profile)
Jika letak c.g.s. berimpit dengan C – line maka dikatakan bahwa kabel tersebut
konkordan dengan C – line. Pada kabel konkordan, momen sekunder akibat gaya
berlebihan = 0.
C - line
e
A B C
Gambar 4.4 Kabel non concordant

C – line= c.g.s.
e
A B C
Gambar 4.5 Kabel concordant

6. Beban ekivalen
Adalah merupakan beban pengganti gaya kabel (perlu diperhatikan beban ekivalen ke
atas atau ke bawah).
q1 = 8. P . e / (LAB)2 ……………………………………………………………(4.3)
q1 = 8. P . e / (L1)2 ……………………………………………………………(4.4)
q1 = 8. P . e / (L2)2 ……………………………………………………………(4.5)
q1 = 8. P . e / (L3)2 ……………………………………………………………(4.6)

P P
e
A B C
PA PB PC
P q P
e1 e2 e3

q2
q1 q3
L1 L2 L3

Gambar 4.6 Beban eqivalen

6. Unbalanced force
Adalah beban eqivalen yang tidak dapat dipikul oleh konstruksi. Misalkan pada
perletakan A, bekerja beban eqivalen berupa momen, gaya horisontal dan gaya vertikal. Jika
A berupa sendi, maka momen yang bekarja di A merupakan unbalanced force (gaya yang
tidak seimbang). Jika berupa jepit, tidak ada unbalanced force yang bekerja di A.

4.2. Balok Pracetak (Precast) yang Digabung Sebagai Satu Kesatuan


Cap cable

e
A B C

Gambar 4.7 Kesatuan balok pracetak dengan Cap cable


Balok AB dan BC merupakan 2 (dua) balok pracetak post-tensioning dimana trase
kabelnya berbentuk parabola. Keduanya digabung dengan Cap cable sehingga menjadi balok
di atas perletakan.

4.3. Zetting (Penurunan) pada Perletakan Gelagar Menerus


Besarnya momen sekunder akibat penurunan tidak akan terjadi pada struktur gelagar
statis tertentu sehingga pada gelagar menerus momen sekunder akibat penurunan besarnya
sangat tergantung pada kekakuan gelagar dan besar penurunan itu sendiri.


A B C
MB MB

Gambar 4.8. Zetting (penurunan) pada perletakan gelagar menerus

MB = 3.EI.  / L2………………………………………………………………..(4.7)
Dengan :
MB = Momen sekunder akibat penurunan
E = Modulus elastisitas bahan
I = Momen inersia
L = Panjang bentang
Kalau dilihat dari besarnya momen akibat penurunan perletakan yang terjadi pada
gelagar menerus maka hendaknya bangunan bawah jembatan (pilar) harus benar-benar
berada pada tanah yang kuat dan stabil. Juga perlu diperhatikan bahwa displacement ini bisa
juga terjadi pada arah horisontal, yang mana prinsif perhitungannya tidak berbeda dengan
displacement arah vertikal.

4.4. Penenentuan Momen Sekunder dengan Rumus Persamaan Tiga Momen


Balok tiga (3) perletakan, trase kabel berbentuk parabola diagram momen primer
seperti pada gambar di bawah ini :
e e
e
A B C
LAB , IAB LBC , IBC

P.e P.e
x x

Gambar 4.9 Momen primer balok pada 3 (tiga) perletakan

MABLAB / IAB + 2MBA LAB / IAB + 2MBC LBC / IBC + MCB LBC / IBC =
-6/ LAB / IAB  Mx.x.dx -6/ LBc / IBcMx.x.dx ………(4.8)
Dimana MAB ,MBA, MBC , MCB .adalah momen sekunder.
M = P . e ……………………………………………………………….………….(4.9)
 P. e .x.dx = P e.x.dx …………………………………………………………..(4.10)
Dimana e.x.dx adalah luasan momen antara profil kabel dengan c.g.c. terhadap perletakan
ujung.

BAB V
SOAL DAN PENYELESAIAN

1. Perencanaan penampang
Diketahui balok beton prategang yang akan direncanakan sebagai jembatan .
a. Data beton
Bentang teoritis = 15 m
Kuat tekan awal (f’c,i) = 45 Mpa
Kuat tekan akhir (f’c,s) = 49 Mpa
Perbandingan h / b = 4,00
b. Data baja prategang
Diameter strand = 1/2 “ = 12,7 mm
Luas penampang efektif (Aps) = 0,9871 mm
Tegangan tarik batas (fpu) = 1900 Mpa
Modulus elastisitas (Eps) = 196.000 Mpa
Nilai asumsi draw-in = 8 mm
Jangka waktu setelah perawatan = 16 hari (metode post-tensioning)
c. Data tendon
Faktor ditribusi beban hidup = 1,00 = 100%
Persentase penarikan tendon = 76%
Diameter tendon = 100 mm
Jumlah maksimunstrand tiap tendon = 12 bh
Penyelesaian :
1. Pembebanan
a. Precast girder = perkiraan b = 300 mm dan h = 4.b = 250 (4) = 1.200 mm
= 0,3 x 1,2 x 25 kN/m3 x 2 = 18 kN / m
b. Deck slab = tslab x 1m pias x 2 arah x BJ beton
= 0,2 x 1 x 2 x 24 = 9,60 kN/m
c. Asapal = taspal x 1m pias x 2 arah x BJ aspal
= 0,05 x 1 x 2 x 22 = 2,20 kN/m
d. Air hujan = tair x 1m pias x 2 arah x BJ air
= 0,05 x 1 x 2 x 10 = 1,00 kN/m
e. Diafragma = tdiafragma x 1m pias x BJ beton
= 0,25 x 1 x 24 = 5,70 kN/m
f. Beban hidup = 17,50 kN/m

2. Analisa Material Beton Balok Girder


a. Tegangan ijin awal
Tegangan tekan = 0,60 f’c,i = 0,60 (-45) = -27,00 Mpa ………(1)
Tegangan tarik= 0,25 f’c,i = 0,60 45 = 1,67 Mpa ………...(2)
b. Tegangan ijin akhir
Tegangan tekan = 0,45 f’c,i = 0,45 (-49) = -22,05 Mpa ………(3)
Tegangan tarik= 0,50 f’c,i = 0,5049 = 3,50 Mpa ………..(4)
3. Analisis Penampang
Gunakan rumus pendekatan (post-tensioning method)
St  1,20 (Ms – Mi) / (ft,I – fc,s) ……………………………………….……(5)
Sb  1,20 (Ms – Mi) / (ft,s – fc,i) …………………………………………....(6)
Dengan
Mi = Momen akibat beban balok
= 1/8 (qgirder) (L2) = 1/8 (18 ) (152) = 506,25 kN.m …………….(7)
Ms = Momen akibat beban total
= 1/8 (qgirder) (L2) = 1/8 (54 ) (152) = 1.518,75 kN.m …………..(8)
Masukkan nilai-nilai pada persamaan (1) sampa1 (4) dan (7),(8) , ke persamaan (5)
St  1,20 (1.518.750.000 – 506.250.000) / (1,67 – 22,05)
St  49.681.105,86 mm3
Dengan :
St = Statis momen = 1/6 .b.h2
St= 56.617.271.84 mm3 = 1/6 .b.h2
Jika b = ¼ .h (sesuai soal), maka :
1/6 .b.h2 = 1/6 .(1/4.h).h2 = 1/24 . h3
Jadi : 1/24 . h3 =56.617.271.84 mm3
h = [(24) (56.617.271.84 mm3 )] = 1.126,8 mm

b = ¼. h
= ¼ (1.126,8 mm) = 281,7 mm
Masukkan nilai-nilai pada persamaan (1) sampa1 (4) dan (7),(8) , ke persamaan (6)
Sb  1,20 (1.518.750.000 – 506.250.000) / (3,40 – 27,00)
Sb  mm3
Dengan :
Sb = Statis momen = 1/6 .b.h2
Sb= 51.483.305,85 mm3 = 1/6 .b.h2
Jika b = ¼ .h (sesuai soal), maka :
1/6 .b.h2 = 1/6 .(1/4.h).h2 = 1/24 . h3
Jadi : 1/24 . h3 = 51.483.305,85 mm3
h = [(24) (51.483.305,85 mm3 )] = 1.073,06 mm
b = ¼. h
= ¼ (1.073,06 mm) = 268,3 mm
Kesimpulan :
Nilai maksimum b =281,7 mm , dibulatkan 300 mm
Nilai maksimum h = 1.126,8 mm , dibulatkan 1.200 mm (sesuai estimasi)

3. Analisis penampang
Balok pratekan penampang I, dengan penampang baja pratekan (Asp ) = 2.350 mm2,
tegangan ijin efektif (fse) = 1.100 Mpa, titik berat strand 115 mm dari tepi bawah. Sifat bahan
sebagai berikut : fpu = 1.860 Mpa dan f’c = 48 Mpa.
Hitunglah momen tahanan batas penampang (MR)

hflens = 175

dp = 785 h = 900
115
bw = 140
bflens = 460

Penyelesaian :
a. Rasio penulangan
p = Asp / bflens . dp
= 2.350 / (460 x 785)
= 0.00651
b. Tegangan baja pada kondisi batas
fsp = fpu (1 - 0,5 .p fpu /f’c)
= 1.860 ( 1 – 0,5 x 0.00651 x 1.860 / 48)
= 1.625 Mpa
c. Gaya tekan (T’) = Asp . fsp
= 2.350 (1.625)
= 3.819.000 N
d. Luas daerah tekan (Ac’) = T’ / 0 ,85 . f’c
A’C = 3.819.000 / 0,85 (48)
= 93.600 mm2
e. Luas flens = bflens x hflens
= 460 (175)
= 80.500 mm2
f. Luas badan di bawah flens yang mengalami tekan
Aw = 93.600 mm2 - 80.500 mm2
= 13.100 mm2
g. Tinggi penampang blok tekan
a = hflens + Aw / bw
= 175 + 13.100 / 140
= 269 mm (Penampang bersifat sebagai flens)
c = a / 0,85
= 316,47 mm
c a hflens = 175

grs. netral dp = 785 h = 900

115
bw = 140
bflens = 460

h. Indeks penulangan ()


Apf = 0,85.f’c (bflens – bw) (hfens / fsp)
= [ 0,85 (48) (460 – 140) (175)] / 1.625
= 1.406 mm
Apw = Asp - Apf
= 2.350 – 1.406
= 944 mm
pw = Apw / bw . dp
= 944 / (140)(785)
= 0,00859 mm
i. Momen untuk bagian flens
M’ = 0,85 . f’c (bflens – bw) hflens(dp – hflens /2)
= 0,85 (48) (460 – 140) (175)(785 – 175/2)
= 1.594.000.000 N.mm
j. Momen untuk bagian web (badan)
M = Apw . f’sp (dp – a /2)
= 944 (1.625)(785 – 269/2)
= 988.000.000 N.mm
k. Momen total
M’ + M = 1.594.000.000 N.mm + 988.000.000 N.mm
= 2.592.000.000 N.mm
l. Momen ultimit (MU)
MU =  Mtota;
= 0,80 (2.592.000.000) N.mm
= 2.333.000.000 N.mm

3.Soal analisis
Analisislah penampang persegi berikut dengan data beban dan bahan sbb :

ytt

h = 900 mm
ytb
d’ = 200 mm
b = 400 mm

Beban mati tambahan = qADL = 20 kN/m


Beban hidup = qLL = 15 kN/m
Bentang = Lt = 15 m
Berat isi beton = BJc = 25 kN/m3
Nilai banding Es / Ec =n =6
Tegangan baja ultimit = fpu = 1.850 Mpa
Tegangan tekan beton = f’c = 49 Mpa
Luas baja pratekan = Asp = 3.000 mm2
Diameter duck = 100 mm
Hitunglah gaya pratekan minimun (Pi,min)
Penyelesaian :
1. Menghitung momen ultimit (MU)
MADL = 1/8 . qADL. L2 = 1/8 (15)(15)2 = 421,875 kN.m
qDL = b x h x BJ = 0,40 x 0,90 x 25 = 9,00 kN/m
MDL = 1/8 . qADL. L2 = 1/8 (9)(15)2 = 253,125 kN.m
MLL = 1/8 . qLL. L2 = 1/8 (15)(15)2 = 421,875 kN.m
MU = 1,2 (MDL + 421,875 )
= 1.569.375.000 N.mm
NT = ND = Asp . fy
fy = 0,85 . fpu = 0,85 (1.850)
= 1.572,50 Mpa
NT = 3.000 ( 1.572,50)
= 4.717.500 N
a = NT / (0,85 . f’c.b)
= 4.717.500 / (0,85 x 49 x 400)
= 283,16 mm
MN = NT (d – a/2)
= 4.717.500 (700 – 283,16/2)
= 2.634,338648 kN.m
MR =  MN
= 0,80 (2.634,338648)
= 2.107,470918 kN.m
Menentukan garis netral elastis sebelum injeksi

ytg

e h = 900 mm
ybg
d’ = 200 mm
b = 400 mm

y = [(b x h) (h/2) - (1/4..D2)(700)]/ [(b x h) - (1/4..D2)]


= 444,42 mm = 0,44442 m
ytg =y = 444,42 mm
ybg = h - ytg = 900 – 444,42 = 455,58 mm
e = ybg – 200 = 455,58 – 200 = 255,58 mm
Ag = b x h - D2 / 4
= (400 x 900) - (1002) / 4 = 0,352146018 m
Ig = [1/12.b.h3 + (b.h) (h/2 – y)2] + [(D4/64) + (D2/4)(700)2]
= [1/12 (400)(9003)+(400 x 900)(450 – 444,42)] -
[.1004/64 + (.1002/4)(700)]
= 0,020457849 m4
Menghitung gaya pratekan (Pi)
a. Serat atas
(-P1/Ag) + (Pi. e.ytg / Ig) – (Mi.ytg / Ig)  ft,I
-Pi /0,352146018 + (Pi x 0,25558 x 0,44442 /0,020457849)
- (0,253125 x 0,44442) /0,020457849)  0,25 45
-2,897311 Pi + 5,552141068Pi – 5,498809406 = 1,677050983
2,712409968 Pi = 7,229192051
Pi = 2.665,228839 kN
a. Serat bawah
(-P1/Ag) - (Pi. e.ybg / Ig) + (Mi.ybg / Ig)  fc,i
-Pi /0,352146018 - (Pi x 0,25558 x 0,45558 /0,020457849)
+ (0,253125 x 0,45558) /0,020457849)  -0,60(45)
-2,897311 Pi - 5,691562998Pi + 5,77844225 = -27
8,588873998 Pi = -32,77844225
Pi = 3.816,38411 kN
Maka dipilih Pi = = 3.816,38411 kN
4. Kontrol tegangan – tegangan
Diketahui balok prategang dengan dimensi dan pembebanan sbb :

ytg

e h = 800 mm
ybg
d’ = 150 mm
b = 400 mm

Beban mati tambahan = qADL = 15 kN/m


Beban hidup = qLL = 10 kN/m
Bentang = Lt = 12 m
Berat isi beton = BJc = 25 kN/m3
Nilai banding Es / Ec =n =7
Tegangan baja ultimit = fpu = 1.850 Mpa
Tegangan tekan beton awal = f’c,i = 30 Mpa
Tegangan tekan beton akhir = f’c,s = 35 Mpa
Luas baja pratekan = Asp = 2.000 mm2
Diameter duck = 100 mm
Gaya prategang awal (Pi) = 1.400 kN
Kehilangan gaya prategang = 20% atau Ps = 0,80 Pi
Kontrollah :
a. Tegangan awal (initial transfer)
b. Tegangan akhir (final stage)
Penyelesaian :
a. Menghitung momen ultimit :
qDL = b.h.Bisi = 0,40 x 0,80 x 25 = 8,00 kN/m
MDL = 1/8.qDL.L2 = 1/8(8)(122) = 144 kN.m
MADLL = 1/8.qADL.L2 = 1/8(15)(122) = 270 kN.m
MLL = 1/8.qLL.L2 = 1/8(10)(122) = 180 kN.m
Mi = MDL
= 144 kN.m
Ms = MDL + MADL + MLL
=594 kN.m
a. Kontrol tegangan saat initial transfer
y = A.y / A
=[ (b.h)(h/2) – (D2/4)(h –d’)] / [(b x h ) – (. D2/4)]
= [(0,4 x 0,8)(0,4) – (. 0,12/4)(0,8-0,12)] /[ (0,4 x 0,8) – (. 0,12/4)]
= 0,393 m
ytg =y = 0,393 m
ybg = h - ytg = 0,8 – 0,393
= 0,407 m
Ag = [(b x h ) – (. D2/4)]
= 0,312 m2
e = ybg – d’
= 0,407 – 0,120
= 287 mm
Ig = [(1/12.b.h3 + (b.h)(h/2 –y)2] – [(.D4/64) + (.D2/4)(h – d’)2]
= 0,016435 m4

ytg = 393 mm

e = 287 mm h = 800 mm
ybg = 507 mm
d’ = 120 mm
b = 400 mm
1) Kontrol serat atas
-Pi / Ag + Pi . e .ytg/ Ig - Mi .ytg / Ig  ft,I
(-1.400 / 0,312) + 1.400 (0,287)(0,393)/0,016435 – 144 (0,393)/0,016435  0,2530
+ 471 kN/m2  1,37 N/mm2
+ 0,471 N/mm2  + 1,67 N/mm2 ………………………………………………(OK)
2) Kontrol serat bawah
-Pi / Ag - Pi . e .ybg/ Ig + Mi .ybg / Ig  fc,i
(-1.400 / 0,312) - 1.400 (0,287)(0,407)/0,016435 + 144 (0,407)/0,016435  0,6(30)
11.050 kN/m2  18 N/mm2
11,05 N/mm2  18 N/mm2 ………………..……………………………………(OK)

b. Kontrol tegangan saat final stage (service conditions)


y = A.y / A
=[ (b.h)(h/2) + (n - 1)Asp(h –d’)] / [(b x h ) + (n - 1)Asp]
= [(0,4 x 0,8)(0,4) + (6 - 1)(0,002)(0,8-0,12)] /[ (0,4 x 0,8) + (6 - 1)0,002]
= 0,410 m
ytt =y = 0,410 m
ybt = h - ytt = 0,8 – 0,410
= 0,390 m
Ag = [(b x h ) + (n - 1)Asp]
= (0,4 x 0,8) + (6 - 1)0,002
= 0,332 m2
e = ybg – d’
= 0,390 – 0,120
= 270 mm
Ig = [(1/12.b.h3 + (b.h)(h/2 –y)2] + [(.D4/64) + (.D2/4)(h – d’)2]
= 0,01797 m4

ytg = 410 mm

h = 800 mm
ybg = 390 mm e = 270 mm
d’ = 120 mm
b = 400 mm

3) Kontrol serat atas


-Ps / At + Ps . e .ytt/ It - Ms .ytt / It  fc,s
(-1.120 / 0,332) + 1.120 (0,270)(0,410)/0,01797 – 594 (0,410)/0,01797  0,5(35)
9.895 kN/m2  15,75 N/mm2
9,895 N/mm2  15,75 N/mm2 ………………………………………………(OK)
4) Kontrol serat bawah
-Ps / At - Ps . e .ybt/ It + Ms .ybt / It  ft,s
(-1.120 / 0,332) - 1.120(0,270)(0,390)/0,01797 + 594 (0,390)/0,01797 0,50(35)
2.830 kN/m2  2,958 N/mm2
2,830 N/mm2  2,958 N/mm2 ……………..……………………………………(OK)

-3,373 +6,899 -13,412 - 9,895


Ms Ms
+ + =
e
Ps Ps
-3,371 -6,563 +12, 766 +2,958

Anda mungkin juga menyukai