Anda di halaman 1dari 30

Tugas Individu

ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN DAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP


STRATEGIS PT FREEPORT INDONESIA DI PAPUA

Diajukan untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester Green Economy and Trade
Kelas C Ekonomi Islam Semester 3
Dosen Pengampu:

Disusun oleh

Adisti Mutiara Azzahra 1851010166

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


JURUSAN EKONOMI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
1438/2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah swt. yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya berupa ilmu pengetahuan, kesehatan, dan petunjuk makalah dengan
judul “Analisis dampak lingkungan dan kajian lingkungan hidup strategis PT Freeport
Indonesia di Papua” ini dapat diselesaikan.

Shalawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad
SAW dan para sahabat yang telah memperjuangkan islam sehingga dapat berkembang
dengan baik hingga sekarang. Dalam makalah ini kami menyadari masih banyak kekurangan
dan kesalahan, “Bahwa tidak ada gading yang tak retak dan bukanlah gading kalau tidak
retak”. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati saya, mohon maaf jika terdapat ketidak
kesempurnaan dari makalah saya ini.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT, saya berserah diri. Semoga makalah ini dapat
menambah wawasan dan member manfaat bagi semua. Amin, Ya Rabal ‘Alamiin.

Bandar Lampung, 7 Desember 2019


Penulis,

Adisti Mutiara Azzahra

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................1
C. Manfaat................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Sinonim................................................................................................................2
B. Antonim...............................................................................................................3
C. Analogi.................................................................................................................5
D. Kelompok Kata....................................................................................................7

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...........................................................................................................11
B. Saran.....................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Memanfaatkan alam beserta isinya untuk kebaikan umat manusia, adalah
prinsip utama manusia sebagai seorang khalifah di muka bumi yang ingin
menjalankan berbagai kegiatan ekonomi. Dibalik kalimat sederhana itu, terdapat
limpahan makna yang memenuhinya. Mudah dibacakan, sulit dijalankan. Karena
pada hakikatnya, seluruh pelaku ekonomi akan cenderung menjalankan tujuannya
tanpa menilik dari kacamata orang lain. Yang mana, kerap terjadi berbagai
permasalahan akibat jalannya aktivitas ekonomi tersebut.
Pertambangan biji tembaga dan emas PT Freeport Indonesia sejak dimulai
operasi komersialnya pada tahun 1972 telah membuang tailing sisa pengolahan biji
melalui Sungai Ajkwa. Dari awal produksinya yang hanya 16.000 ton biji perhari,
telah meningkat secara tajam saat ini menjadi sekitar 223.000 ton perhari dari target
300.000 ton perhari.1 Pembuangan limbah hasil tambang yang terus meningkat
sehingga terjadi pengendapan pada sungai Ajkwa dan dam tailing yang berdampak
pada lingkungan telah meresahkan masyarakat karena terjadi kerusakan lingkungan
seperti matinya tumbuhan mangrove, hutan sagu serta tanaman sayur mayur. Hal ini
disebabkan karena terjadinya kontaminasi dari limbah tailing melalui angin serta air
hujan terhadap tumbuhan dan tanaman – tanaman pada kawasan ini.
Menilik dari prinsip ekonomi yang telah disinggung di atas, maka dapat
dengan jelas terlihat bahwa PT Freeport Indonesia telah melanggar asas-asas tertulis
maupun tidak, yang mana dengan dijalankannya proyek tersebut telah membahwa
dampak negatif bagi masyarakat dan alam sekitar. Meski telah kita ketahui bahwa
dengan berdirinya PT Freeport Indonesia, pun telah membawa sisi positif bagi
negara maupun daerah di sekitarnya.

1
Amelia Dwi Astuti, “Implikasi Kebijakan Indonesia dalam Menangani Kasus Pencemaran Lingkungan
oleh PT. Freeportterhadap Keamanan Manusia di Mimika Papua”, Journal of International Relations,
Volume 4, Nomor 3, 2018, hlm. 3.

1
Atas dasar hal inilah, suatu hal yang dikira penulis sangat penting untuk di
bahas lebih dalam mengenai Analisis dampak lingkungan dan kajian lingkungan
hidup strategis PT Freeport Indonesia di Papua.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat ditentukan rumusan
masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari Analisis Dampak Lingkungan atau AMDAL?
2. Apa pengertian dari Kajian Lingkungan Hidup Strategis atau KLHS?
3. Bagaimana Kinerja Pendistribusian dan Pembuangan Limbah di PT Freeport
Indonesia di Mimika Papua?
4. Bagaimana Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Pencemaran Limbah
Pabrik di PT Freeport Indonesia di Mimika Papua?
5. Bagaimana mengenai Dampak Positif dan Negatif Proyek Perusahaan PT
Freeport Indonesia di Mimika Papua?
6. Bagaimana Analisis Kajian Lingkungan Hidup Strategis PT Freeport Indonesia
di Mimika Papua?
C. Manfaat
1. Untuk mengetahui pengertian dari Analisis Dampak Lingkungan atau AMDAL.
2. Untuk mengetahui pengertian dari Kajian Lingkungan Hidup Strategis atau
KLHS.
3. Untuk mengetahui Kinerja Pendistribusian dan Pembuangan Limbah di PT
Freeport Indonesia di Mimika Papua.
4. Untuk mengetahui Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Pencemaran Limbah
Pabrik di PT Freeport Indonesia di Mimika Papua.
5. Untuk mengetahui Dampak Positif dan Negatif Proyek Perusahaan PT Freeport
Indonesia di Mimika Papua.
6. Untuk mengetahui Bagaimana Analisis Kajian Lingkungan Hidup Strategis PT
Freeport Indonesia di Mimika Papua.

2
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL)


Secara formal Analisis Dampak Lingkungan (ADL) berasal dari Undang-
undang National Environmenal Protection Act (NEPA) 1969 di Amerika Serikat.
Dalam Undang-undang ini ADL dimaksudkan sebagai alat untuk merencanakan
tindakan preventif terhadap kerusakan lingkungan yang mungkin akan ditimbulkan
oleh suatu aktivitas pembangunan yang sedang direncanakan.2 Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Environmental Impact Analysis (EIA) adalah
hasil studi mengenai dampak penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan
terhadap lingkungan hidup. Menurut Fola S. Ebisemiju (1993) AMDAL muncul
sebagai jawaban atas keprihatinan tentang dampak negatif dari kegiatan manusia,
khususnya pencemaran lingkungan akibat kegiatan industri pada tahun 1960-an.3
Sejak itu, AMDAL telah menjadi alat utama untuk melaksanakan kegiatan-
kegiatan manajemen yang bersih lingkungan dan selalu melekat pada tujuan
pembangunan yang berkelanjutan. Pada dasarnya AMDAL adalah keseluruhan
dokumen studi kelayakan lingkungan yang terdiri dari Kerangka Acuan (KA),
Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan
(RKL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Dari pengertian tersebut,
Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) hanya merupakan salah satu dokumen
dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Perkembangan aspek
sosial dalam AMDAL lebih dinamis dari perkembangan AMDAL itu sendiri.
Dalam bab pembukaan dari Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, disebutkan bahwa lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

2
Otto Soemarwoto, Analisis Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994, hal.4
3
Fola S. Ebisemiju, Environmental Impact Assessment: Making it Work in Developing Countries, Journal
of Environmental Management, 1993, Vol. 38.

3
Dari rumusan ini jelas bahwa, Undang-undang tersebut secara eksplisit
memperhatikan lingkungan sosial. Lingkungan hidup, menurut Undang-undang ini,
merupakan sebuah sistem yang terdiri dari lingkungan hayati, lingkungan non
hayati dan lingkungan sosial.
Di Indonesia pada khususnya, dan di negara berkembang pada umumnya,
masalah penegakan hukum lingkungan mungkin masih merupakan suatu simponi
yang sumbang yang gemanya sangat kecil, atau bahkan tidak ada sama sekali.
Gemanya akan terkalahkan oleh kasus-kasus pidana korupsi, kriminal atau masalah
white crime yang bobotnya "menggelegar". Beda dengan kasus hukum lingkungan.
Orang hanya memandang dengan sebelah mata. Kita tidak mempermasalahkan hal
itu, karena orang mungkin tidak tahu atau belum mengetahui secara benar, bahwa
bencana lingkungan itu bahayanya lebih besar dari yang diperkirakan. Mungkin
orang itu memiliki pikiran sempit, dan tidak memiliki wawasan tentang lingkungan
hidup. Lahirnya UU Nomor 4 Tahun 19824 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian diperbaharui dengan UU Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup diharapkan mampu menjawab
tantangan kedepan tentang permasalahan yang menyangkut pemanfaatan
lingkungan termasuk dalam hal ini adalah masalah pengelolaan sampah kota.

B. Kajian Lingkungan Hidup Strategis atau KLHS


Sejak tahun 1990-an di dunia internasional telah berkembang Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau Strategic Environmental Assessment
(SEA). KLHS merupakan penyempurnaan dari AMDAL sebagai instrument
lingkungan hidup yang sudah ada sebelumnya. Jika AMDAL hanya hadir pada
tingkat proyek, maka KLHS ada pada Kebijakan, Rencana, dan atau Program
(KRP) pembangunan. Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2007) memberikan
definisi KLHS yang dipandang sesuai untuk Indonesia dengan memperhatikan
kondisi sumberdaya alam, lingkungan hidup, sosial, ekonomi, politik, serta
kapasitas SDM dan institusi di masa mendatang, yaitu:

4
Melser Peter, Report on the First International Conference on Social Impact Assesment: Advancing the
State of the Art. Social Impact Assesment Newsletter. 75/76, New York: Social Impact Assessment
Centre, 1982, p. 8.

4
“Suatu proses sistematis untuk mengevaluasi pengaruh lingkungan dan menjamin
diintegrasikannya prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pengambilan keputusan
yang bersifat strategis”.
Tujuan KLHS hakikatnya adalah lahirnya kebijakan, rencana, dan program
yang melalui proses partisipasi, transparan, dan akuntabel dengan memperhatikan
aspek lingkungan hidup dan keberlanjutan. Hal ini tercermin dalam prinsip-prinsip
KLHS sebagaimana diletakkan oleh Sadler dan Verheem (1996) serta Sadler dan
Brook (1998) antara lain:5
1. Sesuai kebutuhan (fit-for the purpose) ƒ
2. Berorientasi pada tujuan (objectives led) ƒ
3. Bermotif keberlanjutan (sustainability driven) ƒ
4. Lingkupnya komprehensif (comprehensive scope) ƒ
5. Relevan dengan kebijakan (decision relevant)
Untuk lingkup Indonesia, KLH (2007) memformulasikan 3 nilai yang penting
untuk dianut dalam aplikasi KLHS, yaitu:
1. Keterkaitan (interdependency)
Penyelenggaraan KLHS harus mempertimbangkan keterkaitan antara satu
komponen dengan komponen lain, antara satu unsur dengan unsur lain, antara
lokal dan global, antar sektor, antar daerah, dan sebagainya. Atau dengan kata
lain KLHS diaplikasikan secara komprehensif dan holistik.
2. Keseimbangan (equilibrium)
KLHS harus senantiasa dijiwai oleh nilai-nilai keseimbangan, seperti
keseimbangan kepentingan sosial ekonomi dengan lingkungan hidup,
keseimbangan kepentingan jangka panjang dan jangka pendek, keseimbangan
pusat- daerah, dan lainnya.
3. Keadilan (justice)
Nilai keadilan akan membatasi akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam
atau modal atau pengetahuan, sehingga hasil KLHS berupa kebijakan, rencana,
dan program tidak menyebabkan marginalisasi kelompok masyarakat tertentu.

5
Widodo B., “KLHS untuk Pembangunan Daerah yang Berkelanjutan”, Jurnal Sains Teknologi dan
Lingkungan, Volume 4, Nomor 1, Januari 2012, hlm. 44.

5
UNEP dan Sadler mengidentifikasi adanya 4 model pendekatan/kelembagaan
KLHS, antara lain sebagai berikut:6
1. KLHS dengan kerangka dasar AMDAL (EIA Mainframe)
KLHS dalam model ini secara formal ditetapkan sebagai bagian dari peraturan
perundangan AMDAL atau melalui peraturan lain namun memiliki prosedur
yang terkain dengan AMDAL.
2. KLHS sebagai kajian penilaian keberlanjutan lingkungan (Enviromental
Appraisal Style)
KLHS model ini menggunakan proses yang terpisah dengan system AMDAL.
Prosedur dan pendekatannya telah dimodifikasi hingga memiliki karakteristik
sebagai penilaian lingkungan.
3. KLHS sebagai kajian terpadu atau penilaian keberlanjutan (Integrated
Assessment/Sustainability Appraisal)
KLHS ditempatkan sebagai bagian dari kajian yang lebih luas untuk menilai
atau menganalisis dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup secara
terpadu. Banyak pihak menempatkan model ini bukan sebagai KLHS melainkan
Kajian Terpadu untuk Jaminan Keberlanjutan (ISA)
4. KLHS sebagai pendekatan untuk pengelolaan berkelanjutan sumberdaya alam
(Sustainable Resource Management)
KLHS diaplikasikan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dan
dilaksanakan sebagai bagian tak terpisahkan dari hierarki system perencanaan
penggunaan lahan dan sumberdaya alam serta sebagai bagian strategi spesifik
pengelolaan sumberdaya alam.

C. Perusahaan Tambang PT Freeport Indonesia di Mimika Papua


PT. Freeport Indonesia merupakan anak perusahaan Freeport-McMoran
Copper & Gold Inc dan beroperasi di Indonesia berdasarkan Kontrak Karya yang
ditandatangani pada tahun 1967. Beroperasinya PT. Freeport di Indonesia
menunjukksn bahwa Pemerintah telah memberikan wewenang secara legal bagi PT.

6
Widodo B., “KLHS untuk Pembangunan Daerah yang Berkelanjutan”, Jurnal Sains Teknologi dan
Lingkungan, Volume 4, Nomor 1, Januari 2012, hlm. 45.

6
Freeport untuk melakukan pertambangan dengan telah memenuhi persyaratan
beroperasinya perusahaan berdasarkan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia.
PT. Freeport merupakan anak perusahaan Freeport-McMoran Copper & Gold
Inc. yaitu perusahaan tambang internasional utama dengan pusat di Phoenix,
Arizona, Amerika Serikat. PT. Freeport beroperasi di Indonesia berdasarkan
Kontrak Karya yang ditandatangani pada tahun 1967 berdasarkan UU 11/1967
mengenai PMA. Berdasarkan KK ini, Freeport memperoleh konsesi penambangan
di wilayah seluas kurang lebih 1,000 hektar. Masa berlaku KK pertama ini adalah
30 tahun. Kemudian pada tahun 1991 KK Freeport di perpanjang menjadi 30 tahun
dengan opsi perpanjangan 2 kali masing-masing 10 tahun.7
Pencemaran oleh PT. Freeport menjadi krisis lingkungan hidup di Mimika
merupakan konsekuensi atas pembangunan dan kemajuan industri pertambangan
secara besar-besaran. Krisis lingkungan hidup utamanya adalah pencemaran polusi
udara dan polusi air yang bukan hanya berdampak pada kerusakan dan kerugian
secara ekologis melainkan juga berdampak pada terganggunya aspek-aspek dalam
keamanan manusia, khsususnya dalam keamanan lingkungan, ekonomi, pangan,
kesehatan, dan pribadi.

7
Amelia Dwi Astuti, “Implikasi Kebijakan Indonesia dalam Menangani Kasus Pencemaran
Lingkungan oleh PT. Freeportterhadap Keamanan Manusia di Mimika Papua”, Journal of International
Relations, Volume 4, Nomor 3, 2018, hlm. 2.

7
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Kinerja Pendistribusian dan Pembuangan Limbah PT Freeport Indonesia


Keberadaan PT. Freeport untuk melakukan pertambangan memiliki resiko
yang tinggi dan dampak meluas yang seharusnya telah diketahui. Kilang
pemrosesan berada pada ketinggian 3.000 m, curah hujan tahunan di daerah tersebut
4.000-5.000 mm, sedangkan kaki bukit menerima curah hujan tahunan lebih tinggi
yaitu 12.100 mm dan suhu berkisar 18-30 derajat Celcius. Dengan kondisi alam
seperti ini, kawasan di bawah areal pertambangan PT. Freeport mempunyai tingkat
kerawanan tinggi terhadap bencana tanah longsor. Bencana tanah longsor di wilayah
pertambangan PT. Freeport sering kali terjadi, yaitu 9 Oktober 2003 di bagian
selatan area tambang terbuka Grasberg menewaskan 13 orang karyawan, 5 Mei
2008 di camp 35 mil 72 Tembaga pura yang menimbun 20 pendulang emas
tradisional, 13 Desember 2009 di Bukit Astonel mil 72 dengan 1 orang meninggal
dan 5 orang luka-luka, 14 Mei 2013 di Area Quality Management Service Mil 74
dimana 40 karyawan yang sedang mengikuti pelatihan terjebak reruntuhan sebanyak
28 orang tewas, serta 1 Desember 2013 di Area Ground Mil 74 menyebabkan 1
orang tewas dan 1 orang luka-luka.
Kegiatan pertambangan juga mempengaruhi lingkungan hidup karena PT.
Freeport telah menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat
pembuangan limbah operasional penambangan (tailing) di sungai, hutan, estuari dan
telah mencapai kawasan laut.8 PT. Freeport Indonesia juga merupakan perusahaan
yang belum memiliki izin penggunaan kawasan hutan terutama diwilayah kawasan
hutan lindung. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 mengamanatkan bahwa
aktivitas penambangan tidak dibolehkan di kawasan hutan lindung.
Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Pemerintah Indonesia
melakukan perubahan Undang-Undang Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009
yang jelas menyatakan akan menindak tegas setiap aktor baik individu, kelompok,
maupun korporasi yang jelas melakukan pencemaran lingkungan melebihi baku

8
Amelia Dwi Astuti, “Implikasi Kebijakan Indonesia dalam Menangani Kasus Pencemaran
Lingkungan oleh PT. Freeportterhadap Keamanan Manusia di Mimika Papua”, Journal of International
Relations, Volume 4, Nomor 3, 2018, hlm. 4

8
mutu yang ditentukan (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 69). Pada
tahun 2012 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk tim yang bertugas
mengevaluasi kontrak pertambangan skala besar yang tertuang dalam Keputusan
Presiden Nomor 3 Tahun 2012 tentang Tim Evaluasi untuk Penyesuaian Kontrak
Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara. Tetapi, hasil tim
evaluasi ini tidak disampaikan kepada publik hingga berakhirnya masa jabatan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selesai.
Masa Presiden Joko Widodo PT. Freeport Indonesia akhirnya setuju untuk
melepas saham (divestasi) dengan total sebesar 51 persen kepada pihak nasional.9
Hal ini merupakan satu dari empat poin negosiasi yang disepakati PT. Freeport
seiring perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan
Khusus (IUPK). Sayangnya, dua kali renegoisasi masa Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono tahun 2014 dan masa Joko Widodo tahun 2017 sama sekali tidak
memasukkan poin masalah pencemaran dan kerusakan sebagai kesepakatan untuk
segera diselesaikan sebelum kontrak diperpanjang. Padahal fenomena ini sangat
krusial untuk diselesaikan karena kegiatan pertambangan mempengaruhi lingkungan
serta keamanan manusia bagi masyarakat di Mimika Papua. Hal ini bertentangan
dengan melanggar prinsip pembangunan berwawasan lingkungan yang diamanatkan
UUD 1945 pasal 33 ayat (3) “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”
Krisis lingkungan hidup utamanya adalah pencemaran polusi udara dan
polusi air yang bukan hanya berdampak pada kerusakan dan kerugian secara
ekologis melainkan juga berdampak pada terganggunya aspek-aspek dalam
keamanan manusia, khsususnya dalam keamanan lingkungan, ekonomi, pangan,
kesehatan, dan pribadi. Kebijakan Indonesia dalam menangani kasus pencemaran
lingkungan berimplikasi terhadap keamanan manusia karena masalah pencemaran
oleh PT. Freeport tahun 2004 2017 belum juga selesai. Akibatnya menurut konsep
human security pencemaran mengancam aspek-aspek kehidupan manusia dimana
terjadi pencemaran terhadap keamanan lingkungan seperti rusaknya ekosistem

9
Amelia Dwi Astuti, “Implikasi Kebijakan Indonesia dalam Menangani Kasus Pencemaran
Lingkungan oleh PT. Freeportterhadap Keamanan Manusia di Mimika Papua”, Journal of International
Relations, Volume 4, Nomor 3, 2018, hlm. 5.

9
alami, menurunnya mata pencaharian dan pemasukan dalam mencari ikan akibat
pencemaran disungai dari segi keamanan ekonomi, pasokan air dan udara bersih
serta makanan yang terkontaminasi kadar logam yang mengancam keamanan
pangan, kehidupan masyarakat disekitar tambang yang belum direhabilitasi dari
pencemaran lingkungan dari segi keamanan kesehatan, serta keamanan pribadi
untuk mendapatkan hidup bersih dan layak serta keamanan karena adanya potensi
ancaman militer di sekitar wilayah pertambangan.

B. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Pencemaran Limbah Pabrik PT


Freeport Indonesia
Kasus pencemaran lingkungan oleh PT. Freeport telah bergulir sejak tahun
2000 dimana telah terjadi pendangkalan sungai serta tanah longsor yang memakan
korban jiwa disekitar tambang.10 Kemudian tahun 2006 LSM Wahana Lingkungan
Hidup (Walhi) merilis laporan tentang dampak pertambangan PT. Freeport
berdasarkan sejumlah laporan pemantauan oleh pemerintah dan perusahaan yang
tidak dipublikasikan untuk umum. Laporan tersebut memaparkan dampak
pencemaran dan kerusakan lingkungan oleh PT. Freeport di udara, air, kerusakan
lingkungan, serta menyalahi ketentuan Amdal diluar wilayah yang telah diatur. PT.
Freeport telah mencemari lingkungan akibat limbah sisa pertambangan, air sungai,
pengendapan sedimen, kandungan limbah logam dan berbahaya, serta penggunaan
hutan lindung berdasarkan data yang dirilis oleh LSM Wahana Lingkungan Hidup
(Walhi) serta Program Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perusahaan tersebut
membuang tailing dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) melalui
Sungai Ajkwa. Limbah ini telah mencapai pesisir laut Arafura. Tailing yang
dibuang PT. Freeport ke Sungai Ajkwa melampaui baku mutu total suspend solid
(TSS) yang diperbolehkan menurut hukum Indonesia. Limbah tailing PT. Freeport
juga telah mencemari perairan di muara Sungai Ajkwa dan mengontaminasi
sejumlah besar jenis mahluk hidup serta mengancam perairan dengan air asam
tambang berjumlah besar.

10
Amelia Dwi Astuti, “Implikasi Kebijakan Indonesia dalam Menangani Kasus Pencemaran
Lingkungan oleh PT. Freeportterhadap Keamanan Manusia di Mimika Papua”, Journal of
International Relations, Volume 4, Nomor 3, 2018, hlm. 5.

10
Tailing adalah bahan buangan hasil tambang tembaga dan emas pada
perusahan tambang PT Freeport Indonesia yang berlokasi di Tembagapura Timika
Papua. Bahan buangan ini telah menjadi perhatian yang sangat serius baik kepada
masyarakat maupun kepada pemerintah dengan terus meningkatnya hasil buangan
sisa pengolahan tambang tersebut yang kini menjadi permasalahan pada dampak
lingkungan khususnya di kawasan wilayah daerah penanmbangan kota Timika
Papua. Pertambangan biji tembaga dan emas PT Freeport Indonesia sejak dimulai
operasi komersialnya pada tahun 1972 telah membuang tailing sisa pengolahan biji
melalui Sungai Ajkwa. Dari awal produksinya yang hanya 16.000 ton biji perhari,
telah meningkat secara tajam saat ini menjadi sekitar 223.000 ton perhari dari target
300.000 ton perhari. Pembuangan limbah hasil tambang yang terus meningkat
sehingga terjadi pengendapan pada sungai Ajkwa dan dam tailing yang berdampak
pada lingkungan telah meresahkan masyarakat karena terjadi kerusakan lingkungan
seperti matinya tumbuhan mangrove, hutan sagu serta tanaman sayur mayur. Hal
ini disebabkan karena terjadinya kontaminasi dari limbah tailing melalui angin serta
air hujan terhadap tumbuhan dan tanaman – tanaman pada kawasan ini.
Dari hasil audit lingkungan yang dilakukan oleh Parametrix terungkap bahwa
tailing yang dibuang PT. Freeport merupakan bahan yang mampu menghasilkan
cairan asam berbahaya bagi kehidupan akuatik. Pencemaran air yang dilakukan
oleh PT Freport telah melanggar Undang-undang nomor 7 tahun 2004 tentang
sumber daya air Pasal 4 “Sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan
hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras.” Pasal
5 “Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan
pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan
produktif.” Bahkan sejumlah spesies akuatik sensitif di sungai Ajkwa telah punah
akibat tailing PT. Freeport.
Menurut perhitungan Greenomics Indonesia, biaya yang dibutuhkan untuk
memulihkan lingkungan yang rusak adalah Rp 67 trilyun.11 PT. Freeport
mengklaim, sepanjang 1992-2005 Pemerintah Pusat mendapatkan keuntungan
langsung US$ 3,8 miliar atau kurang lebih Rp 36 trilyun. Namun, juga dihitung dari

11
Amelia Dwi Astuti, “Implikasi Kebijakan Indonesia dalam Menangani Kasus Pencemaran
Lingkungan oleh PT. Freeportterhadap Keamanan Manusia di Mimika Papua”, Journal of
International Relations, Volume 4, Nomor 3, 2018, hlm. 3.

11
perkiraan biaya lingkungan yang harus dikeluarkan, Indonesia dirugikan sekitar Rp
31 trilyun. Beberapa media dan lembaga swadaya masyarakat (LSM)
mengungkapkan bahwa aktivitas pertambangan PT. Freeport telah menimbulkan
kerusakan lingkungan yang kian parah. Pencemaran dan kerusakan lingkungan
oleh PT. Freeport telah bergulir sebelum tahun 2000. Tetapi, hasil pencemaran
tersebut baru dirilis oleh Walhi pada tahun 2006. Pencemaran masih berlangsung
diperkuat oleh temuan tim audit BPK tahun 2013 serta hasil evaluasi program
pengelolaan lingkungan oleh Kementerian Lingkungan tahun 20152016. Sanksi
administratif yang telah diberikan Pemerintah Indonesia kepada PT. Freeport
ternyata belum memberikan efek jera karena pencemaran masih terus berlansung
bahkan menjadi ancaman bagi keamanan manusia di Mimika. Keamanan manusia
melihat kerusakan lingkungan merupakan ancaman bagi kehidupan manusia yang
seharusnya tinggal dengan aman serta hidup dengan baik. Kebijakan pemerintah
dalam menangani lingkungan harus mendapat perhatian lebih dan tindakan serius
dari negara karena berkaitan dengan hajat hidup masyarakat serta peran negara
dalam menjamin hak-hak hidup yang mendasar bagi warga negaranya.
Menurut Prof Dr Warjono Soemodinoto dari Departemen Tambang ITB
mengatakan bahwa ada dua jenis limbah yang dihasilkan PT Freeport Indonesia
yakni limbah penambangan dan limbah pengolahan berupa tailing dan limbah –
limbah ini dibuang langsung ke sungai Ajkwa.12
Tailing yang dibuang ini dalam volume yang sangat besar karena dari 100%
biji yang diolah hanya menghasilkan 3 – 5 % konsentrat sedangkan 95 – 97 %
merupakan tailing. Dari kedua jenis hasil limbah tailing yang dibuang dan
mempengaruhi lingkungan adalah limbah tailing yang berasal dari tambang yang
dicuci karena mengandung 2% tembaga dan logam berat lainnya seperti Arsen
(As), Kadmium (Cd), Timbal (pb), Merkuri (Hg), Sianida (Cn) danlainnya. Akibat
dari adanya kandungan mineral berbahaya yang terdapat pada limbah tailing ini
yang berdampak pada kehidupan manusia maupun tumbuhan seperti tercemar air
yang mengakibatkan ikan menjadi mati, hutan mangrove dan sagu serta tanaman
lainnya juga menjadi mati. Penelitian mengenai dampak lingkungan terhadap
pencemaran limbah tailing menurut Hidayati dan kawan – kawan tahun 2009
12
Hasan Erwin Laonso, “Studi Eksperimental Tingkat Rembesan Tailing Tambang PT Freeport
Indonesia dengan Stabilisasi Tanah Aspal Emulsi”, Makassar 90245, hlm. 3.

12
sedimen atau pengendapan tailing yang mengadung bahan – bahan berbahaya tidak
menutup kemungkinan akan mencemari air tanah.
Monitoring report PT Freeport Indonesia pada Juni 2006 melalui Departemen
Lingkungan Hidup menemukan sekitar 15 jenis tanaman yang dipanen dan
dikumpulkan terbukti terkontaminasi logam berat. Diantaranya Seledri, Sawi Hijau,
Bayam Merah, Bayam Hijau, Kangkung, Sawi “petsay”, Buncis, Bengkoang,
Kentang, Singkong, Talas, Padi, Ketimun “Hercules”, Mentimun Hijau “Rocket”
dan Mentimun ‘Venus”. Pada Tanaman Kol logam Zinc (Zn) tinggi terbukti
kandungan logam berat melampaui batas normal yaitu 5,45% di atas batas ambang
dari 4.00%.
Berikut ini adalah Dampak Positif dan Negatif Proyek Perusahaan PT Freeport
Indonesia di Mimika Papua.
a) Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi, merupakan salah satu faktor utama yang berpengaruh terhadap
kehidupan masyarakat dikampung Waa untuk dapat bertahan hidup. Hal ini
dilihat dari pendapatan yang diperoleh oleh masyarakat kampung Waa, melalui
proses mendulang emas dan kemudia emas tersebut dipertukarkan melalui uang
untuk menjunjang berbagai kehidupan ekonomi.13 Sejak semula, masyarakat
belum mengetahui cara mendulang namun dengan adanya aktivitas perusahaan
pertambangan Freeport, kemudian menjadi magnet penarik bagi masyarakat
tiap-tiap suku yang ada di wilayah area sekitar kontrak kerja Freeport seperti; suku
Dani, Damal, Moni, Nduga, Mee/Ekari untuk masuk menempati wilayah Timika
dan Tembagapura. Sebagian besar dari masyarakat ini berasal dari daerah Ilaga,
Beoga, Nduga, dan Paniai. Masyarakat yang memiliki pendidikan, dapat
memperoleh pekerjaan untuk menjadi buru dan karyawan Freeport. Namun
sebagian besar masyarakat yang belum memiliki pendidikan yang berasal dari
masyarakat golongan bawah dapat memilih untuk menjadi pendulang emas.
Masyarakat pendulang emas ini masuk ke wilayah Timika dan Tembagapura
semenjak adanya aktivitas penambangan PT Freeport Indonesia, sebagian
masyarakat masuk mengikuti hubungan keluarga dan kerabat yang sudah menjadi
karyawan dan buru Freeport. Setelah masyarakat mengetahui dengan adanya emas
13
Mahmud, S., 1992. Sistem Ekonomi Tradisional sebagai Perwujudan Tanggapan Masyarakat
Terhadap Lingkungannya Provinsi Daerah Istimewa Aceh

13
dari sisa pengolahan tambang yang dibuang oleh Freeport, maka masyarakat
masuk menguasai wilayah sepanjang pemukiman sungai Wanagon untuk
menjadi pendulang emas. Kondisi ekonomi pada masyarakat ini juga dapat
dipengaruhi, karena masyarakat pendulang emas sebagian besar berasal dari
golongan masyarakat kelas bawah yang belum memiliki pendidikan. Sehingga
mereka memili untuk menjadi pendulang emas, selain itu dari hasil dulang emas
tersebut memberikan keuntungan yang besar. Jika dibandingan dengan
penghasilan buruh karyawan Freeport. Dengan demikian limbah tailings yang
dibuang oleh Freeport tersebut, dengan adanya kegiatan produksi masyarakat
menjadi lahan pekerjaan mereka.
b) Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan, memiliki hubungan timbal balik terhadap kehidupan
masyarakat di kampung Waa. Dampak positif, dilihat dari cara pemanfaatan
lingkungan alam sekitarnya, seperti membuat rumah honai dan kem, kemudian
memperoleh kayu sebagai sumberdaya ekonomi untuk membuat tempat
dulang, dan sebagai kayubakar. Selain itu, masyarakat juga dapat bercocok
tanam dengan menanam seperti; sayur-mayur, ubi, talas dan tebu. Masyarakat
juga dapat memperoleh sumber pangan dari hutan secara langsung seperti
seperti sayur-mayur untuk kebutuhan mengonsumsinya. Kondisi lingkungan
yang tersedia semuanya ini berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup
masyarakat.
Faktor yang membuat masyarakat dapat bertahan hidup di kampung Waa,
adalah dengan adanya limbah tailings.14 Limbah tailings ini, karena mengandung
dengan emas sebagai sumberdaya ekonomi, maka masyarakat dapat bertahan
dengan menghadapi limbah tailings tersebut, tanpa mempertimbangkan
pengaruh dari dampak limbah terhadap kondisi kehidupan mereka. Hubungan
manusia dengan limbah tailings, dalam hal ini diketahui sebagai bukan manusia
yang mempengaruhi limbah tailings, tetapi limbah tailings yang mempengaruhi
kehidupan masyarakat dikampung Waa dari dampak positif dan negatif yang
diperolehnya. Sehingga hal ini dapat diketahui dari perilaku dalam

14
Arianto, N. T., 2012. Pola Penggunaan Lahan Alang-Alang di Lereng Tambora-Sumbawa: Kajian
Ekologi Kebudayaan di Tiga Desa. Departemen Antropologi, FISIP Unair.

14
memanfaatkan limbah tailings tersebut untuk dapat bertahan hidup. Terkait
dengan hal ini Notoatmodjo, 1997 mengatakan, bahwa perilaku baru terjadi
apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, melalui
rangsangan yang dapat menghasilkan perilaku tertentu.15 Sedangkan menurut
Robert Kwich, perilaku merupakan tindakan organisme yang dapat diamati dan
dipelajari. Perilaku manusia pada dasarnya adalah proses interaksi individu
dengan lingkungannya sebagai manifestasi hayati.16
c) Faktor Sosiologi
Faktor sosiologi masyarakat dikampung Waa, dilihat dari cara memproduksi
masyarakat dari hasil ekononi yang diperolah dapat berperan untuk menunjang
kehidupan sosial bagi masyarakat. Objek yang diamati dalam sosiologi, yaitu
tata kelakuan, kebiasaan, kebudayaan, norma, nilai sebagai tata cara hidup pada
masyarakat. Sosiologi sebagai ilmu yang mengkaji tentang masyarakat dengan
masalah yang dihadapinya. Masyarakat sebagai objek sosiologi dipelajari
melalui proses persoalan yang timbul antara hubungan pada masyarakat. Proses
persoalan yang dipelajari dalam hubungan yang timbul antar masyarakat, yaitu
kebudayaan, tata kelakuan, kebiasaan dan norma yang dapat diamati melalui
pola hubungan khusus pada masyarakat dari sistem yang sudah terpolah.
Faktor sosial ini juga berpengaruh pada masyarakat dikampung Waa dari pola
kebiasaan, tradisi, norma dan nilai yang terdapat pada masyarakat. Kebiasaan,
sebagai suatu keadaa perilaku hidup yang mendorong untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tanpa berfikir menimbang atau mengulangi sesuatu dalam
rentang waktu lama dan berdekatan. Kebiasaan masyarakat mendulang emas di
sungai Wanagon menjadi daya pengikat yang lebih kuat dari hasil keuntungan
ekonomi yang diperolehnya. Kebiasaan mendulang masyarakat ini juga sudah
menjadi lingkungan yang terpola pada masyarakat dari aktivitas mendulang di
lingkungan yang memilik resiko berbahaya yang tidak dapat dipertimbangkan
oleh masyarakat untuk terhindar dari dampak limbah tersebut.

15
Arianto, N. T., 2012. Pola Penggunaan Lahan Alang-Alang di Lereng Tambora-Sumbawa: Kajian
Ekologi Kebudayaan di Tiga Desa. Departemen Antropologi, FISIP Unair.

15
Norma dan nilai, sebagai patokan hidup dalam hubungan kebersamaan dan
solidaritas yang dimiliki pada masyarakat di kampung Waa. Kehidupan
masyarakat dikampung Waa dapat menyesuikan diri sesuai dengan nilai dan
norma yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Hal ini biasa terlihat melalui
hubungan toleransi yang melekat kuat pada masyarakat, melalui hubungan
keluarga, kerabat, suku dan sesama masyarat dalam hal saling menolong dan
membantu yang dilakukannya. Hubungan saling membantu dan menolong ini
sudah murupakan budaya yang melekat kuat pada masyarakat kampung Waa,
sehingga apabila keluarga, saudara atau kerabat mereka susah maka, mereka
akan saling mengharapkan bantuan dan saling membantu. Terkait dengan hal
ini, menurut Willian H. Havilan mengatakan bahwa kebudayaan adalah
seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota
masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para aggotanya, akan melahirkan
perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima oleh semua orang.
d) Faktor Kesehatan
Faktor kesehatan, sebagai permasalahan besar yang dialami oleh masyarakat di
kampung Waa dan Timika dari akibat pembuangan limbah tailing dari PT
Freeport secara langsung ke lingkungan dan sistem sungai.17 Sasaran dari
pembuangan limbah ini dapat mengarah terhadap persoalan kemanusiaan yang
selama ini ditutup-tutupi permasalahan limbah tailings agar tidak dapat
diketahui secara luas oleh masyarakat umum. Hal ini diketahui dari data rumah
sakit kabupaten Mimika dan distrik Tembagapura maupun Departemen
Lingkungan Hidup di Timika, dapat menutupi kasus data limbah tailings
terhadap permasalahan lingkungan dan kesehatan masyarakat, karena
departemen dan rumah sakit tersebut dapat dibiayai oleh Freeport. Hal ini
dilihat dari hasil kajian yang dilakukan, tidak ditemukan adanya kasus-kasus
kerusakan lingkungan penyakit lain paling tertinggi di Timika, seperti penyakit
Ispa (Infeksi Saluran Pernafasan), Dbd (Demam Berdarah), Diare, Malaria,
Angka kematian Ibu dan Anakpun berada paling tertinggi, yaitu 2000/100
kelahiran hidup. Meskipun jenis penyakit yang disebut ini dengan jenis

17
Soekidjo, N., 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta; Reneka Cipta.

16
penyakit lainnya sudah dikaji dari beberpa peneliti lain seperti; Walhi, 2006
dan Ratih, 2014. Namun peneliti-peneliti ini juga tidak menemukan angka
kematian dan keracunan yang disebabkan oleh limbah tailings.18 Sedangkan
dampak kerusakan lingkungan dari Walhi, 2006, menunjukkan status waspada
bagi masyarakat pendulang emas di sungai sungai Wanagon kampung Waa.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa kasus-kasus angka kematian dan
karacunan limbah tailings yang dapat ditimbulkan oleh perusahaan ini, tidak
dapat dijelaskan dan dipublikasikan ke publik. Namun dari pengamatan
dilapangan diketahui, bahwa terdapat kasus-kasus yang memprihatinkan bagi
kesehatan masyarakat secara khusus di kampung Waa, resiko kesehatan ini
telah disinggung penelitian sebelumnya dari walhi 2006, bahwa terdapat
ketidakpastian yang tinggi terhadap perkiraan resiko berbahaya dari dampak
limbah tailings terhadap kehidupan masyarakat yang mendulang disepanjang
sungai Wanagon. Ketidak pastian resiko ini telah didukung dengan fakta
penemuan lapangan, bahwa terdapat resiko yang membahayakan dan
mematikan bagi kehidupan masyarakat yang bertahan mendulang di sungai
Wanagon. Namun dari hasil kajian di lapangan diketahui bahwa masyarakat
tidak mau menghindar dari dampak limbah tailings tersebut, karena adanya faktor
ekonomi dan sosial yang mendukung kehidupan masyarakat. Terkait dengan
faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan. Menjelaskan beberapa faktor
yang mempengaruhi kesehatan, yaitu; lingkungan fisik, sosial budaya, perilaku,
populasi penduduk, ekonomi, faktor genetika, pengetahuan dan sebagainya.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa faktor kebertahanan masyarakat
dikampung Waa yang beresiko berbahaya dari limbah tailing, dapat
dipengaruhi dengan adanya faktor ekonomi dan sosial yang melekat kuat pada
masyarakat untuk dapat bertahan. Selain itu persoalan kebertahanan masyarakat
ini juga dilihat dari perilaku masyarakat yang sudah terpola pada lingkungan
yang sedemikian rupa. Hal ini akan terlihat melalui kehidupan masyarakat
mendulang di sungai Wanason yang sudah lama terbiasa dengan lingkungan
mendulang, mereka akan terbiasa dalam mendulang emas walaupun ada bau dan
dampak dari limbah tersebut yang sulit terhirupkan dan bertahan. Hal ini dilihat

18
Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Hlm. 21.

17
dari masyarakat yang baru masuk mendulang atau orang yang baru pertama kali
masuk di sungai Wanagon akan terasa sulit untuk bernafat bahkan cara
bernafaspun akan lebih cepat dari bau limbah yang membahayakan tersebut.

C. Analisis Kajian Lingkungan Hidup Strategis PT Freeport Indonesia


1. Kajian Ekologis
Menurut data yang dilansir Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(WALHI), aktivitas pertambangan Freeport telah menghasilkan 1 milyar ton
limbah industri dalam bentuk tailings yang mengandung Air Asam Batuan
(Acid Rock Drainage) ke sistem sungai Aghwagon-Otomona-Ajkwa, meskipun
pembuangan limbah tambang kedalam sungai telah dilarang oleh PP 82/2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.19
Pembuangan tailings yang mengandung Air Asam Batuan PT. Freeport ini jelas
telah memberikan dampak yang cukup serius bagi ekosistem sekitar, mulai dari
perusakan habitat muara, kontaminasi pada rantai makanan di muara khususnya
bagi spesies hewan dan tumbuhan yang berada disepanjang sungai Ajkwa serta
di kawasan Taman Nasional Lorentz.
Sungai Ajkwa merupakan satu dari tiga sungai yang menjadi tempat
pembuangan limbah Freeport. Sungai ini merupakan area yang memiliki
peranan penting bagi daerah sekitar serta penduduk lokal (Suku Kamoro) pada
khususnya. Dikarenakan pada muara sungai Ajkwa terdapat lingkungan daratan
dan perairan yang memiliki keragaman habitat diantaranya hutan bakau setinggi
25-30 meter, hutan rawa dan sagu lahan basah (Ratih, 2014). Suku Kamoro
adalah salah satu suku yang mendiami dataran rendah sejak dahulu kala dan
masyarakatnya memiliki ketergantungan pada air sungai untuk kelangsungan
hidup mereka.
Menurut penelitian antropologi oleh Universitas Cendrawasih dan
Australian National University menunjukkan persentase yang tinggi dari
keluarga-keluarga suku Kamoro yang menggunakan air sungai dalam kegiatan

19
Pramudya, Bob Ilham.2012. Kebobrokan Freeport Pencemaran Lingkungan & Pelanggaran HAM
Perusaan Emas Terbesar di Indonesia. Diunduh dalam
http://www.kompasiana.com/bobobladi/kebobrokan-freeport-pencemaran-lingkunganpelanggaran-ham-
perusaan-emas-terbesar-di-indonesia_5519c8bca33311a61bb6595c pada tanggal 07 Desember 2018
pukul 22.08 WIB.

18
sehari-hari. Mulai dari untuk mencuci (mencapai 95%) dan sebagai sumber air
minum utama (mencapai 60%).Disamping itu, sungai Ajkwa yang bermuara di
laut Arafura atau Arafuru juga merupakan sumber air bagi makhluk hidup di
Taman Nasional Lorentz, yang letaknya berdampingan dengan kawasan
Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, dapat
tercermin betapa pentingnya aliran sungai Ajkwa bagi kelangsungan hidup
manusia serta makhluk akuatik lainnya, yang hidup di sungai maupun di laut
Arafura atau Arafuru sehingga perlu dijaga kualitas airnya.
Dampak pencemaran PTFI yang mengakibatkan rusaknya sebagian
ekosistem perairan.20 Freeport mencemari sistem sungai dan lingkungan muara
sungai, juga melanggar standar baku mutu air sepanjang tahun 2004 hingga
2006. Dan yang tidak kalah parah adalah membuang Air Asam Batuan (Acid
Rock Drainage) tanpa memiliki surat izin limbah bahan berbahaya beracun.
Buangan Air Asam Batuan sudah sampai pada tingkatan yang melanggar standar
limbah cair industri, keadaan seperti ini membahayakan air tanah. Ratarata air
tanah yang berada di sekitar lokasi tambang PTFI telah mengalami pencemaran
logam yang sangat berat. Padahal, pemerintah telah menghimbau kepada pihat
terkait untuk membangun pos-pos pemantauan terhadap pengelolaan limbah,
tetapi himbauan tersebut gagal untuk di lakukan. Secara keseluruhan, PTFI
menyia-nyiakan 300 ribu ton limbah pertambangan dan sekitar 53.000 ton
tembaga per tahun, yang dibuang ke sungai sebagai Air Asam Batuan (Acid
Rock Drainage, ARD) dalam bentuk buangan (leachate) dan tailing. Tailing
merupakan suatu limbah yang dihasilkan dari aktifitas tambang emas dari proses
ekstrasi emas yang memiliki bentuk fisik berwujud gas, cair, dan padat. Tingkat
pencemaran logam berat semacam ini sejuta kali lebih buruk dibanding yang
bisa dicapai oleh standar praktik pencegahan pencemaran industri tambang.
Salah satunya dampak dari sedimentasi di sungai ajkwa. Sedimentasi ini
merupakan regenerasi di daerah ADA (daerah sekitar pertambangan yang
mengalami pencemaran).

20
Listiatoko, Ajun, dkk. 2012. Limbah Berbahaya dan Beracun (B3). Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada. Hlm. 7.

19
Pada daerah yang dimasuki tailing Freeeport menunjukan kandungan
logam berbahaya yang secara signifikan lebih tinggi dibanding dengan muara-
muara terdekat yang tak terkena dampak dan dijadikan acuan. Kandungan
logam tembaga berbahaya yang ditemukan adalah tembaga, arsenic, mangan,
timbal, perak dan seng. Kandungan logam berat seperti tembaga (Cu) yang
melampaui ambang batas yang diperkenankan. Kandungan tembaga terlarut
dalam efluent air limbah Freeport yang dilepaskan ke sungai maupun ke Muara
Sungai Ajkwa 2 kali lipat dari ambang yang diperkenankan. Sementara itu
untuk kandungan padatan tersuspensi (Total Suspended Solid) yang dibuang 25
kali lipat dari yang diperkenankan. Sedimentasi yang terjadi di perairan dapat
berpengaruh antara lain pada pendangkalan dan perubahan bentang alam dasar
laut, kesuburan perairan, dan keanekaragaman hayati. Hujan asam yang
diakibatkan oleh emisi gas karbondioksida hasil aktifitas pertambangan di PT.
Freeport juga telah menghilangkan biodiversitas di area baik yang dekat dengan
area pertambangan maupun area yang masih termasuk dalam wilayah tersebut.
Hujan asam yang dihasilkan dari limbah pertambangan telah mematikan 23.000
Ha wilayah kehutanan yang ada di wilayah tersebut. Hujan asam dapat
melarutkan nutrisi yang terdapat dalam tanah sehingga tumbuhan yang ada di
sana dapat mati karena tidak memeroleh nutrisi untuk pertumbuhan dan
perkembangannya. Zat kimia beracun seperti aluminium juga akan terlepas dan
bercampur dengan nutrisi. Apabila nutrisi ini diserap oleh tumbuhan maka akan
menghambat pertumbuhan dan mempercepat daun berguguran. Hujan asam
yang ini juga berakibat pada matinya ekosistem di perairan.
Contohnya pada Sungai Ajkwa di mana yang dulunya terdapat ikan-ikan
yang berkembang serta hidup dan dapat dikonsumsi oleh penduduk sekitar
namun sungai ini sudah tercemar oleh limbah serta telah tercampur oleh hujan
asam sehingga kehidupan ekosistem di perairan tersebut mati.21

21
Listiatoko, Ajun, dkk. 2012. Limbah Berbahaya dan Beracun (B3). Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada. Hlm. 7.

20
2. Kajian Sosial Ekonomi
Kedatangan PT. Freeport Indonesia di Mimika, Papua telah membawa
perubahan yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat Papua pada umumnya
dan masyarakat suku Kamoro pada khususnya. Perubahan yang cukup besar
tersebut dapat dilihat dari kehadiran PT. Freeport telah menimbulkan
kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial ini timbul dikarenakan Freeport gagal
dalam menepati janji untuk mensejahterakan hidup masyarakat Suku Kamoro
dan Suku Amungme, (yang merupakan penduduk asli Papua dimana perusahaan
ini melakukan penambangan). Menurut data Freeport tahun 2005, hanya 20%
dari tenaga kerja tambang yang berasal dari Papua.22 Kebanyakan dari mereka
bukan merupakan suku asli pemilik tanah dataran tinggi (Suku Amungme) dan
dataran rendah (Suku Kamoro) sekitar situs tambang. Hal yang lebih
mencengangkan adalah jumlah pekerja tambang yang berasal dari Suku
Kamoro, yang merupakan pemilik tradisional dari tanah di
dataran rendah, yang harus menerima dampak terberat akibat operasional
tambang tersebut bagi sumber daya alam produktif mereka hanya dipekerjakan
dalam jumlah yang sedikit.
Suku Kamoro adalah suku yang kebanyakan bermata pencaharian
sebagai nelayan. Dikarenakan lingkungan dataran rendah yang menjadi tempat
masyarakat Suku Kamoro mencari ikan, molusca dan tambelo telah tercemar
maka masyarakat beralih mata pencaharian dengan berusaha untuk mencari
sumber pendapatan lain. Masyarakat Suku Kamoro berusaha mencari sumber
pendapatan lain dengan mencari tempat lain yang letaknya lebih tinggi untuk
bertani dan beralih cara bercocok tanam. Disamping itu, mereka juga beralih
mata pencaharian dengan menjadi peternak.agar mereka dapat memenuhi
kebutuhan sehari-harinya untuk makan dan memperoleh penghasilan. Sejak
kedatanga PTFI pun, Suku Kamoro menjadi masyarakat marginal yang
kondisinya kurang diperhatikan oleh perusahaan dan pemerintah Indonesia.
Kemudian pada sosial-politik operasional PT. Freeport Indonesia di Mimika,
Papua telah membawa dampak bagi segala aspek kehidupan masyarakat Suku
Kamoro pada khususnya dan masyarakat Papua pada umumnya. Dampak
22
Listiatoko, Ajun, dkk. 2012. Limbah Berbahaya dan Beracun (B3). Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada. Hlm. 13.

21
tersebut diantaranya adalah timbulnya kesenjangan sosial, pencemaran
lingkungan, kerusakan lingkungan, hingga pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Dari kesemua itu memicu adanya protes atau aksi demonstrasi sebagai bentuk
ketidakpuasaan masyarakat akan keberadaan Freeport di Papua. Protes ini
aplikasikan masyarakat suku asli Papua dalam bentuk pemasangan patok-patok
silang pada lokasi operasional perusahaan, perusakan fasilitas dan
penyanderaan mobilmilik perusahaan. Kehadiran perusahaan berskala
internasional yang telah mengeksploitasi kekayaan alam Papua ini beresiko
tinggi terhadap lingkungan hidup. Karena sifat perusahaannya mengorbankan
aspek lingkungan hidup demi keberlangsungan kegiatan operasional
perusahaan. Dimulai dari adanya tindakan penebangan pohon untuk keperluan
konstruksi, penggundulan hutan sampai pada pembuangan limbah sisa hasil
ekstraksi kedalam badan sungai. Hal ini secara tidak langsung telah mengacam
kelestarian lingkungan hidup sekitar.
Seiring dengan perkembangan pembangunan dan perkembangan
masyarakat semakin sadar akan hak-haknya, diantaranya hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat (right to a decent environment). Dengan keuntungan
yang sedemikian besar, masyarakat Papua (khususnya suku Kamoro) yang
terkena dampaknya, sudah sewajarnya menuntut perhatian perusahaan untuk
memberikan jaminan dan pembagian keuntungan, baik itu dalam bentuk
peningkatan kesejahteraan hidup bahkan perbaikan kondisi sosial serta
kelestarian lingkungan hidup yang mengalami perubahan besar akibat kegiatan
operasionalisasi tambang emas dan tembaga melalui kegiatan CSRnya. Karena
semangat pembangunan sendiri ditujukan untuk kepentingan rakyat dan
dipergunakam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sesuai dengan bunyi
pasal 33 ayat 3 UUD 1945: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. 23

23
Listiatoko, Ajun, dkk. 2012. Limbah Berbahaya dan Beracun (B3). Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada. Hlm. 24.

22
3. Kajian Hukum
Dilihat dari kacamata hukum di Indonesia sendiri, sudah jelas bahwa
aktivitas tambang PTFI tidak sesuai dengan peraturan UU No. 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Minerba dan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 mengenai
substansi bumi, air dan kekayaan alam “dikuasai negara” dan “dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Apa yang terjadi selama ini
justru menimbulkan pertanyaan dimana peran pemerintah dalam menangani
kasus ini. Menurut berita yang dilansir tempo, WALHI pernah menuntut PTFI
karena dugaan pencemaran yang dilakukan dan meningkatkan kualitas air
Danau Wanagon dari unsur Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) menjadi
ambang batas baku air. 21 Majelis hakim pun memutuskan bahwa PTFI
bersalah dan diharuskan melakukan upaya-upaya perbaikan terhadap kerusakan
yang telah mereka lakukan, antaranya adalah meminimalkan pencemaran yang
dilakukan dan meningkatkan kualitas air Danau Wanagon dari unsur Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3) menjadi ambang batas baku air. Mengenai
pengawasan, majelis hakim memutuskan, akan dilakukan oleh lembaga-
lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah yang terkait. Bahkan, Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak pemerintah untuk
menutup PT Freeport Indonesia (FI) dan melakukan nasionalisasi aset terkait
dengan maraknya pelanggaran HAM atas operasi tersebut. 24 Sejak awal
penandatanganan Kontrak Karya tahun 1967, pemerintah Indonesia tidak sadar
bahwa kedatangan perusahaan Asing Freeport akan menjadi momok berbahaya
bagi negeri ini.
Mulanya kerjasama ini hanyalah strategi Presiden Soeharto untuk
menstabilkan kondisi ekonomi Indonesia yang kala itu sangat buruk
dikarenakan pergantian kepemimpinan dan sebagainya. Kemudian diadakan
renegosiasi kontrak karena diduga terjadi ketidakseimbangan pembagian hasil,
terjadinya manipulasi, penyalahgunaan jabatan, dan korupsi dalam pembuatan
kontrak.

24
Ratih. 2014. eJournal Hubungan Internasional, 2014, 2, (2): 411-426. Dampak Operasional
PT. Freeport pada Kehidupan Suku Kamoro. Diakses pada tanggal 07 Desember 2019 dalam
http://ejournal.hi.fisipunmul.ac.id/site/wpcontent/uploads/2014/06/Ratih%20H%20PDF%20%2806-
03-14-0245-44%29.pdf

23
Selain itu, adanya praktik penyelundupan hukum yang berakibat
merugikan negara misalnya pembelian dan pengendalian kegiatan perusahaan.
Berdasarkan KK Pemerintah Indonesia dengan PTFI disepakati besar royalti
yang dibayarkan oleh PTFI ke Pemerintah sebesar 1% (satu persen).
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang
Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku di Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral, royalti PTFI menjadi 3.75% (tiga koma tujuh
puluh lima persen) untuk emas, perak, dan tembaga walaupun kenaikan dari 1%
(satu persen) menjadi 3.75% (tiga koma tujuh puluh ima persen) baru
dibayarkan PTFI pada tahun 2014. Pengenaan royalti hanya sebesar 1% (satu
persen) pada tahun 1991 ketika KK PTFI diperpanjang sesungguhnya bentuk
kasat mata pe-rela-an negara untuk tidak mendapatkan manfaat yang maksimal
dari kekayaan dalam yang diusahakan oleh PTFI. Bila tahun 1967 ketika PTFI
pertama kali datang ke Indonesia, Indonesia tidak memiliki kemampuan
finansial, teknologi, dan sumber daya manusia sehingga royalti 1% (satu
persen) dianggap sudah cukup baik bagi Pemerintah. Namun, kondisi tersebut
tersebut telah berubah di tahun 1991 ketika PTFI memperpanjang KK-nya
sampai dengan 2021 yang seharusnya royalti kepada negara tidak hanya sebesar
1% (satu persen).25 Ada persoalan kapasitas para pembuat kebijakan pada tahun
1991 yang rela negara hanya mendapat royalti 1% (satu persen) dari tiap
kilogram emas, tembaga, dan perak yang dihasilkan oleh PTFI. Permasalahan
terjadinya manipulasi, penyalahgunaan jabatan, dan korupsi dalam pembuatan
kontrak. KK PTFI baik KK 1967 atau KK Perpanjangan 1991 dibuat pada masa
rezim Presiden Soerhato. Walau menurut UUD 1945 bahwa tujuan penguasaan
sumber daya alam diselenggarakan guna sebesar-besar kamakmuran rakyat,
namun kepentingan “golongan tertentu” menjadi realitas yang tidak
terbantahkan dalam pengelolaan sumber daya alam tempo dulu ketika era
otoriter orde baru yang diperintah oleh Soeharto yang menguasai kekuatan
politik Indonesia. Sampai saat ini, isu ini masih hangat diperbincangkan dan
menimbulkan gonjangganjing di berbagai media.

25
Listiatoko, Ajun, dkk. 2012. Limbah Berbahaya dan Beracun (B3). Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada. Hlm. 30.

24
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil audit lingkungan yang dilakukan oleh Parametrix terungkap
bahwa tailing yang dibuang PT. Freeport merupakan bahan yang mampu
menghasilkan cairan asam berbahaya bagi kehidupan akuatik. Pencemaran air
yang dilakukan oleh PT Freport telah melanggar Undang-undang nomor 7 tahun
2004 tentang sumber daya air Pasal 4 “Sumber daya air mempunyai fungsi
sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan
secara selaras.” Pasal 5 “Negara menjamin hak setiap orang untuk
mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi
kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif.” Bahkan sejumlah spesies
akuatik sensitif di sungai Ajkwa telah punah akibat tailing PT. Freeport.
Menurut perhitungan Greenomics Indonesia, biaya yang dibutuhkan
untuk memulihkan lingkungan yang rusak adalah Rp 67 trilyun. 26 PT. Freeport
mengklaim, sepanjang 1992-2005 Pemerintah Pusat mendapatkan keuntungan
langsung US$ 3,8 miliar atau kurang lebih Rp 36 trilyun. Namun, juga dihitung
dari perkiraan biaya lingkungan yang harus dikeluarkan, Indonesia dirugikan
sekitar Rp 31 trilyun. Beberapa media dan lembaga swadaya masyarakat (LSM)
mengungkapkan bahwa aktivitas pertambangan PT. Freeport telah menimbulkan
kerusakan lingkungan yang kian parah. Pencemaran dan kerusakan lingkungan
oleh PT. Freeport telah bergulir sebelum tahun 2000. Tetapi, hasil pencemaran
tersebut baru dirilis oleh Walhi pada tahun 2006. Pencemaran masih
berlangsung diperkuat oleh temuan tim audit BPK tahun 2013 serta hasil
evaluasi program pengelolaan lingkungan oleh Kementerian Lingkungan tahun
20152016. Sanksi administratif yang telah diberikan Pemerintah Indonesia
kepada PT. Freeport ternyata belum memberikan efek jera karena pencemaran
masih terus berlansung bahkan menjadi ancaman bagi keamanan manusia di
Mimika. Keamanan manusia melihat kerusakan lingkungan merupakan ancaman

26
Amelia Dwi Astuti, “Implikasi Kebijakan Indonesia dalam Menangani Kasus Pencemaran
Lingkungan oleh PT. Freeportterhadap Keamanan Manusia di Mimika Papua”, Journal of
International Relations, Volume 4, Nomor 3, 2018, hlm. 3.

25
bagi kehidupan manusia yang seharusnya tinggal dengan aman serta hidup
dengan baik. Kebijakan pemerintah dalam menangani lingkungan harus
mendapat perhatian lebih dan tindakan serius dari negara karena berkaitan
dengan hajat hidup masyarakat serta peran negara dalam menjamin hak-hak
hidup yang mendasar bagi warga negaranya.

B. Saran
Pemerintah Indonesia selaku pemegang kekuasaan tertinggi kehilangan
kedaulatan di bidang lingkungan karena tidak mampu menekan PT. Freeport.
Bahkan Pemerintah juga telah melakukan kekerasan terhadap masyarakat Papua
akibat pencemaran yang tidak ditangani karena mereka tidak memperoleh hak
hidup dilingkungan yang bersih dan sehat. Pemerintah juga tidak menyediakan
informasi yang transparan bagi hasil audit lingkungan PT. Freeport. Hal ini
menimbulkan kecurigaan dan kerancuan informasi dimasyarakat. Akibatnya,
ruang publik tertutup untuk membahas dan menuntut masalah pencemaran dan
kerusakan lingkungan. Negara seharusnya dapat menekan PT. Freeport karena
negara merupakan otoritas tertinggi didalam negara. Ditambah lagi, PT. Freeport
merupakan perusahaan asing yang berpotensi mengancam keamanan manusia
melalui kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan. Ketidaktegasan
pemerintah dalam menegakan hukum lingkungan menunjukkan Indonesia
sebagai negara berkembang atau negara dunia ketiga masih berada dibawah
bayang-bayang negara maju atau home country darimana PT. Freeport berasal
yaitu Amerika Serikat. Dampak-dampak pencemaran dan kerusakan lingkungan
yang menyebabkan krisis lingkungan hidup meluas ke dalam beragam sektor
vital bagi kebutuhan manusia, seperti pangan, kesehatan, dan ekonomi. Dampak-
dampak yang ditimbulkan bukan hanya terjadi dalam jangka pendek, melainkan
juga jangka panjang khususnya apabila pemerintah Indonesia tidak segera
melakukan usaha untuk mengatasi krisis tersebut. Terlebih, dampak dari krisis
lingkungan juga telah berpotensi memicu konflik. Dampak-dampak yang
ditimbulkan bisa jadi akan semakin memburuk di kemudian hari sehingga
pemerintah Indonesia perlu mengambil tindakan dengan cepat dan tepat.

26
DAFTAR PUSTAKA

Ajun, Listiatoko. 2012. Limbah Berbahaya dan Beracun (B3). Yogyakarta:


Universitas Gajah Mada.
Amelia Dwi Astuti. 2019. Implikasi Kebijakan Indonesia dalam Menangani
Kasus Pencemaran Lingkungan oleh PT. Freeportterhadap Keamanan Manusia di
Mimika Papua. , Volume 4. Nomor 3.
Hasan Erwin Laonso. Makasar. Studi Eksperimental Tingkat Rembesan Tailing
Tambang PT Freeport Indonesia dengan Stabilisasi Tanah Aspal Emulsi. Makassar
90245.
Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Otto, Soemarwot. 1994. Analisis Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University
Press: Yogyakarta.
Soekidjo, N., 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta; Reneka Cipta.
Widodo B. 2012. KLHS untuk Pembangunan Daerah yang Berkelanjutan. Jurnal
Sains Teknologi dan Lingkungan. Volume 4. Nomor 1.

27

Anda mungkin juga menyukai