Anda di halaman 1dari 31

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka


2.1.1 Nilai Pelanggan
Konsep dari nilai pelanggan adalah pengambilan keputusan dan tindakan yang penting, harus

menunjukkan prioritas perusahaan berkaitan dengan kepuasan pelanggan. Nilai pelanggan merupakan

salah satu konsep pemasaran dalam meningkatkan kepuasan pelanggan, dengan nilai pelanggan yang

tepat akan membantu produk tersebut selangkah lebih maju dibanding dengan pesaing. Kualitas dari nilai

memainkan peran kunci dalam memantau apakah tujuan jangka panjang, menengah, dan pendek

organisasi sesuai dengan aspirasi yang diinginkan. Tolok ukur nilai pelanggan adalah lamanya waktu

adopsi terhadap harapan dan kebutuhan pelanggan dan banyaknya informasi yang diadopsi oleh

perusahaan, untuk membangun nilai pelanggan (Lam et.al., 2004;Evans 2002).

Kepuasan pelanggan, kualitas jasa/layanan dan customer value memiliki keterkaitan erat.

Kualitas jasa dapat diukur berdasarkan insiden spesifik maupun secara kumulatif/general. Manajemen

kualitas jasa membutuhkan tiga aspek, yakni merancang produk jasa, merancang lingkungan jasa, dan

menyampaikan jasa yang berkualitas. Sedangkan customer value tidak hanya mencakup kualitas, tetapi

juga harga. Tawaran akan berhasil jika memberikan nilai dan kepuasan kepada pembeli sasaran. Pembeli

memilih diantara beraneka ragam tawaran yang dianggap memberikan nilai yang paling banyak

Berdasarkan teori Kotler & Armstrong (2008:31) nilai dapat dilihat terutama sebagai kombinasi

mutu, jasa dan harga yang disebut sebagai tiga serangkai nilai pelanggan. Nilai meningkat mengikuti

mutu dan jasa serta menurun mengikuti harga walaupun faktor-faktor lain juga dapat memainkan peran

penting. Kotler & Keller (2009:25) mengungkapkan bahwa:

“suatu perusahaan berhasil menawarkan produk/jasa kepada pelanggan apabila mampu


memberikan nilai dan kepuasan (value and satisfaction). Nilai adalah konsumen atas seluruh
kemampuan produk untuk memuaskan kebutuhannya. Untuk mendapatkan nilai pelanggan yang
sesuai dengan persepsi pelanggan, maka suatu perusahaan harus selalu mengikutinya dengan
menyediakan produk/jasa yang sesuai, karena nilai pelanggan selalu berubah sepanjang waktu.”

Nilai yang diberikan merupakan perkiraan atas seluruh kemampuan produk untuk memuaskan

kebutuhannya. Menciptakan pelanggan tersebut tidaklah mudah. Perusahaan membutuhkan

membutuhkan produk yang memiliki nilai yang sesuai dengan persepsi nilai pelanggan yang berlaku.

1
Nilai yang diterima pelanggan juga diungkapkan Fandy Tjiptono (2008:301) sebagai berikut:

“Nilai yang diterima pelanggan sebagai selisih antara total customer value (jumlah nilai bagi
pelanggan) dan total customer cost (biaya total bagi pelanggan). Total customer value (jumlah
nilai bagi pelanggan) adalah kumpulan manfaat yang diharapkan oleh pelanggan dari produk atau
jasa tertentu. Total customer cost (biaya total pelanggan) adalah kumpulan pengorbanan yang
diperkirakan pelanggan akan terjadi dalam mengevaluasi, memperoleh dan menggunakan produk
atau jasa tersebut.”

Secara sederhana, seorang konsumen akan merasa puas jika dalam mengkonsumsi produk,

konsumen tersebut mendapatkan Customer Value yang positif. Hasil Customer Value yang positif

menunjukan bahwa sebuah produk dipersepsi dengan baik oleh konsumen, dalam arti konsumen merasa

mendapat manfaat untuk (perceived benefits) yang lebih besar dibanding biaya yang harus dikeluarkan

untuk mengkonsumsi produk tersebut (perceived costs). Sebaliknya Customer Value yang negatif

menunjukan konsumen cenderung tidak puas dengan produk tersebut (perceived banefits). Customer

value atau nilai pelanggan menurut Kotler dan Keller (2009:143):

“customer delivered value is the difference between total customer value and total customer cost.
Total customer cost is the bundle of benefits customer expect from a given product or service,
Total customer cost is the bundle of cost customer expect to incur in eveluating, obtaining, using
and disposing of the product or service.”

Nilai bagi pelanggan adalah selisih antara nilai pelanggan total dan biaya pelanggan total. Nilai

pelanggan total adalah sekumpulan manfaat yang diharapkan oleh pelanggan dari produk atau jasa

tertentu. Biaya pelanggan total adalah sekumpulan biaya yang diharapkan oleh konsumen yang

dikeluarkan untuk mengevaluasi, mendapatkan, menggunakan dan membuang produk atau jasa.

Menurut Andre Luiz (2007:1) customer value is understood as one of the constructs that best

explains consumer decision making. Nilai pelanggan dipahami sebagai salah satu konstruksi yang paling

menjelaskan pengambilan keputusan konsumen. Selanjutnya, Kemudian, menurut Flint et al., (1997)

dalam Mikko Pynnonen (2011:2) customer value is what the customer wants from the market and is

willing to pay for. Nilai pelanggan adalah apa yang pelanggan inginkan dari pasar dan bersedia

membayar.

Sementara itu, Jens J. Dahlgaard (2007:46) mengemukakan customer value is the summation of

benefits minus the sacrifices that result as consequence of a customer using a product or service to meet

certain needs. Nilai pelanggan adalah penjumlahan dari manfaat dikurangi pengorbanan yang hasil

sebagai konsekuensi dari pelanggan menggunakan produk atau jasa untuk memenuhi kebutuhan tertentu.
2
Selanjutnya, menurut Best (2008:213) nilai pelanggan (customer value) merupakan selisih antara

nilai yang diperoleh pelanggan dengan memiliki dan menggunakan suatu produk, dengan biaya yang

dikeluarkan untuk memperoleh produk tersebut.

Kemudian menurut Wahyuningsih (2004:9) menyimpulkan bahwa nilai pelanggan didefinisikan

dari perspektif pelanggan dan nilai pelanggan memegang peranan penting dalam strategi pemasaran.

Dalam pengembangan konsepnya dinyatakan bahwa, “Customer Value defined as a difference between

total benefits and total sacrifices perceived by Customer. Total benefit / manfaat meliputi : manfaat

fungsional, sosial dan emosional sedangkan sacrifices / pengorbanan yang meliputi pengorbanan

fungsional, sosial, dan emosional.

Nilai pelanggan ini pada akhirnya akan diterima oleh konsumen dan menjadi apa yang disebut

dengan customer perceived value, yang didefinisikan oleh Kotler&Keller (2009:133):

“Customer perceived value is the difference between the prospective customer’s evaluation of all
the benefits and all the costs of an offering and the perceived alternatives”

Customer perceived value adalah perbedaan berbagai kegunaan dan biaya antara sebuah

penawaran dengan keseluruhan alternatif yang diterima oleh calon konsumen berdasarkan hasil dari

sebuah proses evaluasi. Persepsi konsumen terhadap nilai atas kualitas yang ditawarkan relative lebih

tinggi dari pesaing akan mempengaruhi tingkat loyalitas konsumen, semakin tinggi persepsi nilai yang

dirasakan oleh pelanggan, maka semakin besar kemungkinan terjadinya hubungan (transaksi). Pelanggan

membentuk suatu harapan akan nilai dan bertindak berdasarkan kualitas nilai dari pelayanan, kualitas,

harga dan image. Nilai dapat dihasilkan pada situasi ketika pelanggan dan pengguna bersama-sama

berada pada situasi yang dapat menciptakan kepuasan, kepuasan yang superior, bahkan ketidakpuasan,

semua itu tergantung dari pelanggan dalam menggunakan produk tersebut.

Suatu produk atau jasa yang dibeli pelanggan dari perusahaan semakin memuaskan jika

pelanggan itu mendapatkan value yang tinggi. Customer value semakin penting untuk dipertimbangkan

oleh perusahaan dan menjadi bagian integral strategi perusahaan, khususnya dalam strategi pemasaran

produknya Secara garis besarnya, nilai pelanggan merupakan kumpulan manfaat yang diharapkan akan

diperoleh pelanggan dari produk atau jasa tertentu atau perbedaan antara apa yang pelanggan dapatkan

dari produk, dan apa yang dia harus berikan untuk mendapatkannya.

3
Pada suatu perusahaan pertukaran bisnis pelanggan atau pembeli secara hati-hati mengevaluasi

pembeliannya yang bertujuan untuk menghasilkan manfaat dari bisnisnya pada permintaan sebuah produk

yang digunakan terhadap sejumlah biaya yang digunakan dari penawaran produk tersebut yang memiliki

nilai produk dan terdiri atas service, kualitas, image dan harga.

Dari konsep dan beberapa definisi tentang nilai pelanggan di atas dapat dikembangkan secara

komprehensif, bahwa secara garis besar nilai pelanggan merupakan perbandingan antara manfaat

(benefits) yang dirasakan oleh pelanggan dengan apa yang pelanggan bayarkan (cost) untuk mendapatkan

atau mengkonsumsi produk tersebut. Sehingga nilai pelanggan merupakan suatu preferensi yang

dirasakan oleh pelanggan dan evaluasi terhadap atribut-atribut produk serta berbagai konsekuensi yang

timbul dari penggunaan suatu produk untuk mencapai tujuan dan maksud pelanggan.

Perusahaan membutuhkan produk yang berisi nilai yang sesuai dengan persepsi nilai pelanggan

yang berlaku. Selain itu perusahaan menghadapi tantangan tersendiri dalam menghadapi konsumennya,

karena pada saat ini konsumen dapat lebih leluasa memilih produk, merek, dan produsen yang sesuai

dengan kebutuhan dan keinginannya.

Pelanggan biasanya menghadapi sederetan besar produk dan jasa yang dapat memuaskan

kebutuhan tertentu. Seorang pelanggan membuat keputusan pembelian berdasarkan persepsi terhadap

nilai yang melekat pada berbagai produk dan jasa tersebut. Wahyuningsih dalam Vanessa Gaffar (2004:8)

mengembangkan suatu model mengenai komponen dari nilai pelanggan yang terdiri dari manfaat dan

korbanan. Berikut ini Gambar 2.1 tentang Components of Customer Value:

(Sumber: Wahyuningsih dalam Vannesa Gaffar , 2004:8)


GAMBAR 2.3
COMPONENTS OF CUSTOMER VALUE

4
Berdasarkan Gambar 2.1 mengenai komponen customer value dapat dilihat bahwa manfaat dan

korbanan yang diterima pelanggan terdiri dari manfaat dan korbanan fungsional, manfaat dan korbanan

sosial, serta manfaat dan korbanan emosional. Semua ini dinamakan sebagai nilai fungsional, nilai sosial

serta nilai emosional. Komponen nilai fungsional, nilai sosial serta nilai emosional dapat dijadikan suatu

ukuran dalam menentukan nilai pelanggan pada suatu perusahaan.

2.1.1.2 Dimensi Nilai Pelanggan

Dimensi nilai pelanggan yang dikemukakan Kotler & Keller (2009:161) adalah sebagai berikut:

1. Total customer benefit (manfaat total yang dirasakan pelanggan) adalah nilai yang ditawarkan dari

suatu produk berupa fungsi ekonomi, dan manfaat phsychology yang diharapkan pelanggan dari

sejumlah biaya yang dikeluarkan karena manfaat dari produk, pelayanan, personnel dan image.
2. Total customer cost (biaya total pelanggan) adalah kumpulan pengorbanan yang diperkirakan

pelanggan akan terjadi dalam mengevaluasi, memperoleh dan menggunakan produk atau jasa

tersebut dengan sejumlah biaya yang dikeluarkan.

Berikut disajikan dimensi nilai pelanggan pada Gambar 2.10 sebagai berikut:

Customer Value

Total customer benefit Total customer cost

Product benefit Monetary cost

Service benefit Time cost

Personnel benefit Energy cost

Image benefit Psychological

(Sumber : Kotler dan Keller, Kevin Lane. 2009. Marketing Management. New Jersey: Pearson
Education International.
Gambar 2.2
DIMENSI NILAI PELANGGAN

5
Dimensi nilai yang dikemukakan oleh Holbrook dalam Fandy Tjiptono (2008:297) sebagai

berikut:

1. Nilai menyangkut preferensi, yang secara umum diinterpretasikan favorable disposition, general

liking, emosi positif, penilaian positif/baik, tendensi untuk menyukai, sikap “pro” versus

“kontra”.
2. Nilai itu tidak sepenuhnya subjektif dan tidak sepenuhnya objektif, namun lebih merupakan

interaksi subjek-objek.
3. Nilai bersifat relatif, karena tergantung pada peringkat atau ranking sebuah objek dari pada objek

lainnya (komparatif), berbeda antar individu (personal), dan tergantung pada konteks penilaian,

evaluative yang digunakan (situasional)


4. Nilai bersifat eksperiensial, dimana nilai dalam perilaku konsumen tidak terletak pada pembelian

atau perolehan suatu objek tetapi lebih pada pengalaman konsumsi yang didapatkan dari objek

bersangkutan.

Kombinasi antara efektifitas dan efisiensi menghasilkan empat kemungkinan penyampaian nilai

bagi pelanggan, yaitu effectivness value, efficiency value, best value dan poor value. Kondisi idealnya

tentu saja adalah best value, dimana efektifitas dan efisiensi terwujud secara simultan. Menurut Sweeney

& Soutar dalam Fandy Tjiptono (2008:298) dimensi nilai terdiri dari empat aspek utama sebagai berikut:

1. Emotional Value yaitu utilitas yang berasal dari perasaaan atau afektif/emosi yang positif yang

ditimbulkan dari mengkonsumsi produk.


2. Social Value yaitu utilitas yang diharapkan dari kemampuan produk untuk meningkatkan

konsekompetitif diri sosial konsumen.


3. Quality/performance value yaitu utilitas yang didapatkan dari produk karena reduksi biaya jangka

pendek dan biaya jangka panjang.


4. Price/Value for Money yaitu utilitas yang diperoleh dari persepsi terhadap kualitas dan kinerja

yang diharapkan atas produk.

Pada suatu studi, Wang et.al.,(2004) membagi dimensi nilai pelanggan menjadi nilai fungsional,

nilai ekonomi, nilai emosional dan nilai pengorbanan. Apabila keempat komponen tersebut dapat berjalan

secara terintegrasi dengan baik, maka semakin tinggi nilai pelanggan akan berdampak terhadap

peningkatan kepuasan pelanggan. Keempat komponen tersebut di atas akan benar-benar menjadi

komponen penting dan dipercaya mampu menghasilkan kepuasan pelanggan apabila perusahaan lebih

baik dalam mengelola aktivitas orientasi pelanggan. Lebih lanjut kepuasan pelanggan menciptakan fungsi

yang terintergrasi dan memberi sesuatu yang baik melalui nilai pelanggan. Fungsi dan dukungan tersebut
6
berdasarkan pada karangka kerja yang dibangun berlandaskan hubungan dan interaksi yang tercipta dari

nilai pelanggan pemahaman atas apa yang menjadi keinginan dan harapan pelanggan, sehingga tercapai

strategy yang dapat dihandalkan untuk dapat memenangkan persaingan.

Menurut Fandy Tjiptono (2008:307) mengungkapkan bahwa:

“konsep customer value tidak hanya mencakup kualitas, namun juga sebuah harga. Sebuah jasa
tertentu bisa saja memiliki kualitas unggul, namun dievaluasi bernilai rendah karena harganya
terlalu mahal. Sebagaimana halnya dengan kepuasan, loyalitas dan kualitas jasa, konsep customer
value juga perlu dikembangkan. Salah satu ukuran yang dikembangkan untuk mengevaluasi
customer value adalah Perval (Perceived Value). Selain itu pengukuran customer value bisa pula
didasarkan pada tiga peran utama dalam keputusan pembelian yaitu user value, buyer value dan
payer value.”

Menurut Woodruff (R.Billinton 2006:25) pengukuran customer value terdiri dari 3 tingkatan,

yaitu: atribut produk dan jasa, konsekuensi produk dan jasa, dan tujuan pelanggan. Definisi masing-

masing tingkatan pada hirarki tersebut adalah:

1. Atribut produk atau jasa (product attributes): dasar hirarki, yaitu pelanggan belajar berpikir

mengenai produk atau jasa sebagai rangkaian dari atribut dan kinerja atribut.
2. Konsekuensi produk atau jasa (product consequences): konsekuensi yang diinginkan oleh

pelanggan ketika informan membeli dan menggunakan produk.


3. Maksud dan tujuan pelanggan (customer goals and purposes): maksud dan tujuan pelanggan yang

dicapai melalui konsekuensi tertentu dari penggunaan produk dan jasa tersebut.

Kepuasaan merupakan tingkat perasaan konsumen yang diperoleh setelah melakukan/menikmati

sesuatu. Dengan demikian dapat diartikan kepuasaan konsumen merupakan perbedaan antara yang

diharapkan konsumen (nilai harapan) dengan situasi yang diberikan perusahaan di dalam usaha

memenuhi harapan konsumen. Soelasih (2004:86) mengemukakan bahwa :

1. Nilai harapan = nilai persepsi maka konsumen puas.

2. Nilai harapan < nilai persepsi maka konsumen sangat puas.

3. Nilai harapan > nilai persepsi maka konsumen tidak puas.

Adapun manfaat yang dirasakan pelanggan terdiri dari manfaat product, service, personnel and

image, sedangkan korbanan atau biaya yang dikeluarkan pelanggan adalah berupa monetary, time, energy

and psychic cost. Manfaat berhubungan dengan kehandalan, daya tahan, kinerja dan nilai jual kembali

7
dari produk atau jasa yang ditawarkan. Manfaat pelayanan atau service adalah sejauh mana produk atau

jasa tertentu yang ditawarkan berhubungan dengan penyampaian, pelatihan serta pemeliharaannya.

Berdasarkan cara pandang diatas maka pelanggan tidak hanya menerima kualitas tetapi juga

mereka harus merasakan bahwa mereka sudah menerima nilai yang sepantasnya dibandingkan dengan

biaya yang mereka keluarkan. Oleh karena itu penciptaan nilai terdiri dari service, kualitas, image dan

price.

Penciptaan nilai dapat diperoleh melalui service (pelayanan), kualitas, image dan price.

Kombinasi gabungan ini dapat diimplementasikan pada perusahaan. Terkadang service merupakan faktor

penting dalam menumbuhkan atau menciptakan penyampaian nilai pada pelanggan yang digunakan

dalam perusahaan baik produk maupun jasa.

Selain service, mutu atau kualitas (quality) merupakan hal yang penting dalam membentuk nilai

pelanggan, karena mutu berhubungan dengan perusahaan. Bahwa mutu itu selaras dengan spesifikasi

yang merupakan tindakan yang dilakukan oleh perusahaan.

Membangun nilai pelanggan yang langsung adalah menciptakan nilai dan kepuasan yang unggul.

Pelanggan yang puas akan menjadi pelanggan yang setia dan memberikan pasar bisnis yang lebih besar

kepada pasar. Nilai pelanggan merupakan evaluasi pelanggan tentang perbedaaan antara semua

keuntungan dan biaya yang harus dikeluarkan.

Selanjutnya, Fandy Tjiptono (2008:307) mengungkapkan bahwa konsep customer value tidak

hanya mencakup kualitas, namun juga sebuah harga. Sebuah jasa tertentu bisa saja memiliki kualitas

unggul, namun dievaluasi bernilai rendah karena harganya terlalu mahal. Sebagaimana halnya dengan

kepuasan, loyalitas dan kualitas jasa, konsep customer value juga perlu dikembangkan. Salah satu ukuran

yang dikembangkan untuk mengevaluasi customer value adalah Perval (Perceived Value). Selain itu

pengukuran customer value bisa pula didasarkan pada tiga peran utama dalam keputusan pembelian yaitu

user value, buyer value dan payer value.

2.1.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Customer Value

Faktor-faktor dalam nilai pelanggan meliputi nilai produk, nilai layanan, nilai personil dan nilai

citra. Faktor-faktor ini merupakan manfaat yang dirasakan pelanggan atas produk atau jasa yang

ditawarkan perusahaan. Untuk mendapatkan faktor-faktor dalam nilai pelanggan tersebut seorang
8
pelanggan perlu melakukan pengorbanan moneter yang berarti pengorbanan uang, pengorbanan waktu,

pengorbanan tenaga dan pengorbanan psikologi (Laksana, 2008:15).

Menurut Philip Kotler (2000:41) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan

pelanggan, bisa dilihat dari Gambar 2.11, sebagai berikut :

Nilai yang diberikan


kepada pelanggan

Nilai Pelanggan Total Biaya Pelanggan Total

Nilai Produk Biaya Moneter

Nilai Pelayanan Biaya Waktu

Nilai Karyawan Biaya Energi

Nilai Citra Biaya Mental

(Sumber : Kotler dan Keller (Helena Journal 2005:36)

GAMBAR 2.3
PENENTU-PENENTU NILAI YANG DIBERIKAN KE PELANGGAN

Menurut Kotler (2009:68) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan

pelanggan adalah sebagai berikut:

a. Nilai Produk

Nilai produk merupakan daya guna suatu produk/barang dalam memuaskan kebutuhan konsumen

yang merupakan selisih antara manfaat yang dirasakan pelanggan atas produk yang diterimanya

dengan pengorbanan yang dilakukannya.

b. Nilai Layanan

Nilai layanan merupakan kemampuan suatu produk/barang dalam memberikan kemudahan

kepada konsumen yang merupakan selisih antara manfaat yang dirasakan pelanggan atas layanan

yang diterimanya dengan pengorbanan yang dilakukannya.


9
c. Nilai Personil

Nilai personil merupakan kemampuan suatu produk/barang dalam mencukupi kebutuhan

pribadi/private konsumen yang merupakan selisih antara manfaat yang dirasakan pelanggan atas

terwujudnya gambaran personil yang diharapkan pelanggan dengan pengorbanan yang

dilakukannya.

d. Nilai Citra

Nilai citra merupakan kemampuan suatu produk/barang dalam memberikan gambaran diri

seorang/sekelompok konsumen yang merupakan selisih antara manfaat yang dirasakan pelanggan

atas terwujudnya citra yang diharapkan pelanggan dengan pengorbanan yang dilakukannya.

Sementara itu menurut Best (2008:23) pengorbanan yang dilakukan pelanggan untuk

memperoleh manfaat atas produk atau jasa yang ditawarkan meliputi:

a. Pengorbanan Moneter

Merupakan pengorbanan dalam bentuk uang yang dikeluarkan pelanggan untuk memperoleh

manfaat dari produk atau jasa yang ditawarkan.

b. Pengorbanan Waktu

Merupakan pengorbanan dalam bentuk waktu yang diluangkan oleh pelanggan untuk mencari dan

memilih produk atau jasa yang ditawarkan.

c. Pengorbanan Tenaga

Merupakan pengorbanan dalam bentuk tenaga yang dilakukan/dikeluarkan oleh pelanggan untuk

mencari dan memilih produk atau jasa yang ditawarkan.

d. Pengorbanan Psikologi

Merupakan pengorbanan secara psikologi (pikiran, perasaan, perbuatan) yang diberikan oleh

pelanggan untuk mencari dan memilih produk atau jasa yang ditawarkan.

Kenyataan di atas disebabkan karena para pelanggan memperkirakan tawaran mana yang akan

memberikan nilai tertinggi. Mereka bertindak dalam rangka memaksimumkan nilai, dengan dibatasi oleh

biaya pencarian serta keterbatasan pengetahuan, mobilitas, dan penghasilan. Mereka akan membentuk

nilai dan bertindak berdasarkan harapan itu. Nilai yang dipikirkan pelanggan adalah selisih antara
10
evaluasi calon pelanggan atas semua manfaat serta semua biaya tawaran tertentu dan alternatif lain yang

dipikirkan.

Kenyataan apakah suatu tawaran memenuhi harapan akan nilai mempengaruhi kepuasan dan

kemungkinan keputusan pembelian kembali. Pembeli akan puas setelah pembelian tergantung pada

kinerja tawaran dalam memenuhi harapan pembeli. Kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa

seseorang yang muncul setelah membandingkan antara nilai produk yang ditawarkan terhadap nilai

produk yang diharapkan. Apabila proses perbandingan terhadap nilai tersebut memberikan kepuasan

kepada pelanggan, maka pelanggan akan membuat keputusan pembelian terhadap produk yang

ditawarkan (Best, 2008:24).

Pelanggan akan lebih memilih produk sesuai daya beli yang dimilikinya dengan

mempertimbangkan nilai pelanggan (customer value) neto tertinggi yang akan diterimanya. Nilai

pelanggan (customer value) neto adalah selisih total customer value dengan total customer cost. Untuk

meningkatkan nilai pelanggan tersebut, pemasar harus dapat mengidentifikasi sumber-sumber nilai

pelanggan secara cermat, agar strategi pemasarannya tepat.

Memberikan nilai pelanggan yang tinggi atau yang memenuhi harapan mereka adalah mutlak

bagi perusahaan yang ingin mempertahankan pelanggan dalam jangka waktu panjang, karena dengan

memenuhi perasaan senang dan menghindarkan perasaan kecewa pelanggan, berarti proses bisnis akan

terus berlangsung dan perusahaan akan terus berkembang. Dan pada saat ini banyak perusahaan yang

memfokuskan pada nilai pelanggan yang terus ditingkatkan, karena para pelanggan dengan mudah untuk

mengalihkan keputusan pembeliannya bila mendapatkan tawaran dengan nilai pelanggan yang lebih baik.

Apalagi kondisi sekarang lebih kompetitif bagi perusahaan dalam hal persaingan untuk memikat hati para

konsumen. Sedikit saja inovasi dalam penawaran produk, para pelanggan akan segera membuat suatu

pertimbangan untuk mengalihkan keputusan pembeliannya pada produk tersebut.

Kenyataan lainnya adalah bahwa para pembeli pada dewasa ini akan membuat keputusan

pembelian produk dari perusahaan yang mereka yakini menawarkan nilai bagi pelanggan atau produk

yang memberikan added value yang lebih baik dari produk sejenis.

2.1.2 Citra Merek

2.1.2.1 Definisi Citra Merek


11
Brand Image (citra merek) merupakan representasi dari keseluruhan persepsi terhadap merek dan

dibentuk dari informasi dan pengalaman masa lalu terhadap merek itu. Citra terhadap merek berpengaruh

dengan sikap yang berupa keyakinan dan preferensi terhadap suatu merek. Konsumen yang memiliki citra

yang positif terhadap suatu merek, akan lebih memungkinkan untuk melakukan pembelian. (Setiadi,

2007: 47).

Brand image atau citra merek mengacu pada skema memori akan sebuah merek, yang berisikan

interpretasi konsumen atas atribut, kelebihan, penggunaan, situasi, para pengguna, dan karakteristik

pemasar dan/atau karakteristik pembuat dari produk/merek tersebut. Citra merek adalah apa yang

konsumen pikirkan dan rasakan ketika mendengar atau melihat nama suatu merek. (Hawkins, Best dan

Coney, 2008: 57). Citra merek merupakan serangkaian asosiasi yang ada dalam benak konsumen terhadap

suatu merek, biasanya terorganisasi menjadi suatu makna. Pengaruh terhadap suatu merek akan semakin

kuat jika didasarkan pada pengalaman dan mendapat banyak informasi.

Citra atau asosiasi merepresentasikan persepsi yang bisa merefleksikan kenyataan yang objektif

ataupun tidak. Citra yang terbentuk dari asosiasi inilah yang mendasari dari keputusan membeli bahkan

loyalitas merek (brand loyalty) dari konsumen. Konsumen lebih sering membeli produk dengan merek

yang terkenal karena merasa lebih nyaman dengan hal-hal yang sudah dikenal. Adanya asumsi bahwa

merek terkenal lebih dapat diandalkan, selalu tersedia dan mudah dicari, dan memiliki kualitas yang tidak

diragukan, sehingga merek yang lebih dikenal lebih sering dipilih konsumen daripada merek yang tidak.

(Aaker, 2005: 38).

Citra merek meliputi pengetahuan dan kepercayaan akan atribut merek (aspek kognitif),

konsekuensi dari penggunaan merek tersebut, dan situasi penggunaan yang sesuai, begitu juga dengan

evaluasi, perasaan dan emosi yang diasosiasikan dengan merek tersebut (aspek Afektif). Citra merek

didefinisikan sebagai persepsi konsumen dan preferensi terhadap merek, sebagaimana yang direfleksikan

oleh berbagai macam asosiasi merek yang ada dalam ingatan konsumen. Meskipun asosiasi merek dapat

terjadi dalam berbagai macam bentuk tapi dapat dibedakan menjadi asosiasi performansi dan asosiasi

imajeri yang berhubungan dengan atribut dan kelebihan merek. (Peter dan Olson, 2007: 35).

Citra merek adalah kesan keseluruhan terhadap posisi merek ditinjau dari persaingannya dengan

merek lain yang diketahui konsumen, apakah merek tersebut dipandang konsumen sebagai merek yang

kuat. Sebagian alasan konsumen memilih suatu merek karena mereka ingin memahami diri sendiri dan
12
untuk mengkomunikasikan aspek diri ke orang lain. Citra merek ini bisa diukur dengan menanyakan

atribut apa dari suatu merek-merek pilihan konsumen dalam satu kategori produk, yang membedakannya

dengan merek lain, mengapa atribut-atribut itu penting dan mengapa alasan itu penting bagi konsumen.

Hasil penelitian (Sirgy dkk, 2007: 37) menemukan bahwa serangkaian perasaan, ide, dan sikap

yang dimiliki konsumen terhadap suatu merek merupakan aspek penting dalam perilaku pembelian. Citra

merek didefinisikan sebagai sekumpulan atribut spesifik yang berelasi dengan produk, merek, dan

konsumen serta pengetahuan, perasaan, dan sikap terhadap merek yang disimpan individu di dalam

memori. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagai simbol, merek sangat mempengaruhi status dan harga

diri konsumen.

Penelitian ini juga menyebutkan bahwa suatu merek lebih mungkin dibeli dan dikonsumsi jika

konsumen mengenali hubungan simbolis yang sama antara citra merek dengan citra diri konsumen baik

citra diri ideal ataupun citra diri aktual (Jamal dan Goode, 2007: 12). Produk dan merek memiliki nilai

simbolis untuk setiap individu, yang melakukan evaluasi berdasarkan kekonsistensian dengan gambaran

atau citra personal akan diri sendiri. Terkadang citra merek tertentu sesuai dengan citra diri konsumen

sedangkan merek lain sama sekali tidak memiliki kecocokan.

2.1.2.1 Faktor-faktor yang Membentuk Brand Image (Citra Merek)

Citra merek sering terkonseptualisasi sebagai sebuah koleksi dari semua asosiasi yang

berhubungan dengan sebuah merek. citra merek terdiri dari (a) faktor fisik: karakteristik fisik dari merek

tersebut, seperti desain kemasan, logo, nama merek, fungsi dan kegunaan produk dari merek itu dan (b)

faktor psikologis: dibentuk oleh emosi, kepercayaan, nilai, kepribadian yang dianggap oleh konsumen

menggambarkan produk dari merek tersebut. Jadi, citra merek sangat erat kaitannya dengan apa yang

orang pikirkan, rasakan terhadap suatu merek tertentu sehingga dalam citra merek faktor psikologis lebih

banyak berperan dibandingkan faktor fisik dari merek tersebut.

Menurut Hogan (2005: 97) citra merek merupakan asosiasi dari semua informasi yang tersedia

mengenai produk, jasa dan perusahaan dari merek yang dimaksud. Informasi ini didapat dari dua cara;

yang pertama melalui pengalaman konsumen secara langsung, yang terdiri dari kepuasan fungsional dan

kepuasan emosional.

13
Merek tersebut tidak hanya dapat bekerja maksimal dan memberikan performansi yang dijanjikan

tapi juga harus dapat memahami kebutuhan konsumen, mengusung nilai-nilai yang diinginkan oleh

kosumen dan juga memenuhi kebutuhan individual konsumen – yang akan mengkontribusi atas hubungan

dengan merek tersebut. Kedua, persepsi yang dibentuk oleh perusahaan dari merek tersebut melalui

berbagai macam bentuk komunikasi, seperti iklan, promosi, hubungan masyarakat (public relations),

logo, fasilitas retail, sikap karyawan dalam melayani penjualan, dan performa pelayanan. Bagi banyak

merek, media dan lingkungan dimana merek tersebut dijual dapat mengkomunikasikan atribut-atribut

yang berbeda.

Setiap alat pencitraan ini dapat berperan dalam membina hubungan dengan konsumen. Hal ini

penting demi kesuksesan sebuah merek, jika semua faktor ini dapat berjalan sejajar atau seimbang, ketika

nantinya akan membentuk gambaran total dari merek tersebut. Gambaran inilah yang disebut citra merek

atau reputasi merek, dan citra ini bisa berupa citra yang positif atau negatif atau bahkan diantaranya.

Citra merek terdiri dari atribut objektif/instrinsik seperti ukuran kemasan dan bahan dasar yang

digunakan, serta kepercayaan, perasaan dan asosiasi yang ditimbulkan oleh merek produk tersebut.

(Arnould, Price dan Zinkan, 2005: 37). Citra merek merepresentasikan inti dari semua kesan mengenai

suatu merek yang terbentuk dalam benak konsumen. Kesan-kesan ini terdiri dari:

1. Kesan mengenai penampilan fisik dan performansi produk;

2. Kesan tentang keuntungan fungsional produk;

3. Kesan tentang orang-orang yang memakai produk tersebut;

4. Semua emosi dan asosiasi yang ditimbulkan produk itu;

5. Semua imajeri dan makna simbolik yang terbentuk dalam benak konsumen termasuk juga imajeri

dalam istilah karakteristik manusia;

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa citra merek merupakan ‘totalitas’ terhadap suatu merek

yang terbentuk dalam persepsi konsumen. (Sengupta, 2005: 84). Citra pada suatu merek merefleksikan

image dari perspektif konsumen dan melihat janji yang dibuat merek tersebut pada konsumennya. Citra

merek terdiri atas asosiasi konsumen pada kelebihan produk dan karakteristik personal yang dilihat oleh

konsumen pada merek tersebut. Menurut Joseph Plummer (dalam Aaker, 2005: 53), citra merek terdiri

dari tiga dimensi yaitu:

14
1. Product Attributes (Atribut Produk): yang merupakan hal-hal yang berkaitan dengan merek

tersebut sendiri seperti, kemasan, isi produk, harga, rasa,dll;

2. Consumer Benefits (Keuntungan Konsumen): yang merupakan kegunaan produk dari merek

tersebut;

3. Brand Personality (Kepribadian Merek): merupakan asosiasi yang membayangkan mengenai

kepribadian sebuah merek apabila merek tersebut seorang manusia;

Kotler dan Keller (2009: 40) mendefinisikan citra merek sebagai persepsi mengenai sebuah

merek sebagaimana direfleksikan oleh asosiasi merek yang terdapat dalam benak konsumen. Citra merek

terdiri dari dimensi-dimensi:

1. Attributes (Atribut), merupakan pendefinisian deskriptif tentang fitur-fitur yang ada dalam sebuah

produk atau jasa.

a. Product related attributes (atribut produk):

Didefinisikan sebagai bahan-bahan yang diperlukan agar fungsi produk yang dicari

konsumen dapat bekerja. Berhubungan dengan komposisi fisik atau persyaratan dari suatu

jasa yang ditawarkan, dapat berfungsi.

b. Non-product related attributes (atribut non-produk):

Merupakan aspek eksternal dari suatu produk yang berhubungan dengan pembelian dan

konsumsi suatu produk atau jasa. Terdiri dari: informasi tentang harga, kemasan dan desain

produk, orang, peer group atau selebriti yang menggunakan produk atau jasa tersebut,

bagaimana dan dimana produk atau jasa itu digunakan.

2. Benefits (Keuntungan), nilai personal yang dikaitkan oleh konsumen pada atribut-atribut produk

atau jasa tersebut.

a. Functional benefits, berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar seperti kebutuhan

fisik dan keamanan atau pemecahan masalah.

b. Experiental benefits, berhubungan dengan perasaan yang muncul dengan menggunakan

suatu produk atau jasa. Benefit ini memuaskan kebutuhan bereksperimen seperti kepuasan

sensori, pencarian variasi, dan stimulasi kognitif.


15
c. Symbolic benefits, berhubungan dengan kebutuhan akan persetujuan sosial atau ekspresi

personal dan self-esteem seseorang. Konsumen akan menghargai nilai-nilai prestise,

eksklusivitas dan gaya fashion dari sebuah merek karena hal-hal ini berhubungan dengan

konsep diri mereka.

3. Brand Attitude (Sikap merek), didefinisikan sebagai evaluasi keseluruhan atas suatu merek, apa

yang dipercayai oleh konsumen mengenai merek-merek tertentu – sejauh apa konsumen percaya

bahwa produk atau jasa tersebut memiliki atribut atau keuntungan tertentu, dan penilaian

evaluatif terhadap kepercayaan tersebut – bagaimana baik atau buruknya suatu produk jika

memiliki atribut atau keuntungan tersebut.

Citra suatu merek dapat menentukan titik perbedaan yang mengindikasikan suatu merek superior

dibandingkan dengan alternatif merek lain dalam satu kategori produk. Titik perbedaan suatu merek dapat

diekspresikan melalui berbagai kelebihan merek seperti:

1. Kelebihan fungsional yang mengklaim performansi superior atau keuntungan ekonomi,

kenyamanan, penghematan uang dan efisiensi waktu, kesehatan, serta harga murah.

2. Kelebihan emosional untuk membuat konsumen percaya bahwa dengan menggunakan

suatu merek, ia akan menjadi penting, spesial, ataupun merasa senang. Merek menawarkan

kesenangan, membantu atau meningkatkan citra diri dan status, dan hubungannya dengan orang

lain. Kelebihan emosional menggeser fokus dari merek dan fungsi produknya ke pengguna dan

perasaan yang didapat ketika menggunakan merek tersebut. Kelebihan ini berhubungan dengan

mempertahankan keinginan dan kebutuhan dasar manusia, termasuk juga keinginan konsumen

untuk mengekspresikan diri, pengembangan diri dan prestasi, serta determinasi diri.

3. Pengakuan superioritas bisa juga didukung oleh pembentukan citra merek yang

direpresentasikan oleh orang-orang yang menggunakan merek tersebut – misalnya menggunakan

selebriti atau atlit dalam iklan. (Tybout dan Calkins, 2005: 97).

2.1.3 Kepuasan Pelanggan


2.1.3.1 Definisi Kepuasan Pelanggan

16
Kepuasan pelanggan adalah bagian yang berhubungan dengan penciptaan nilai pelanggan. Karena

terciptanya kepuasan pelanggan berarti memberikan manfaat bagi perusahaan yaitu, diantaranya

hubungan antara perusahaan dengan pelanggannya menjadi harmonis, memberikan dasar yang baik atau

terciptanya kepuasan pelanggan serta membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut yang

menguntungkan bagi perusahaan, sehingga timbul minat dari pelanggan untuk membeli atau

menggunakan jasa perusahaan tersebut. Kepuasan pelanggan dihasilkan dari kualitas baik barang maupun

jasa yang ditawarkan kepada pelanggan oleh perusahaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingginya

derajat kepuasan pelanggan dipengaruhi oleh tingginya derajat kualitas produk (barang dan jasa yang

ditawarkan) kepada pelanggan (Lee et.al.,2000; Lee et.al.,2001). Memberikan manfaat bagi perusahaan

yaitu, diantaranya hubungan antara perusahaan dengan pelanggannya menjadi harmonis, memberikan

dasar yang baik atau terciptanya kepuasan pelanggan serta membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke

mulut yang menguntungkan bagi perusahaan, sehingga timbul minat dari pelanggan untuk membeli atau

menggunakan jasa perusahaan tersebut. Kepuasan pelanggan dihasilkan dari kualitas baik barang maupun

jasa yang ditawarkan kepada pelanggan oleh perusahaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingginya

derajat kepuasan pelanggan dipengaruhi oleh tingginya derajat kualitas produk (barang dan jasa yang

ditawarkan) kepada pelanggan (Lee et.al.,2000; Lee et.al.,2001). memberikan pelayanan yang memadai

atau berkualitas, sehingga pelanggan merasa puas (Caruana, et.,al., 2000).

Kepuasan adalah penilaian konsumen terhadap produk atau jasa yang dirasakan, apakah produk

atau jasa tersebut sesuai dengan kebutuhan dan harapan konsumen atau tidak. Bila produk atau jasa

tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan dan harapan maka dapat diasumsikan bahwa konsumen tidak puas

terhadap produk dan jasa tersebut. Namun penilaian terhadap pelayanan dapat berubah-ubah sesuai

dengan individu yang menggunakanya, situasi, dank arena faktor experience. Semakin rutin seorang

mengkonsumsi suatu jasa, maka tingkat kepuasannya pun akan semakin menurun.

Saat ini customer satisfaction atau kepuasan pelanggan menjadi fokus perhatian oleh hampir

semua pihak, baik pemerintah, pelaku bisnis, pelanggan dan sebagainya. Hal ini disebabkan semakin

baiknya pemahaman mereka atas konsep kepuasan pelanggan sebagai strategi untuk memenangkan

persaingan di dunia bisnis. Kepuasan pelanggan merupakan hal yang penting bagi penyelenggara jasa,

karena pelanggan akan menyebarluaskan rasa puasnya kepada calon pelanggan, sehingga akan menaikkan

reputasi pemberi jasa.


17
Terdapat beberapa definisi yang lazim digunakan untuk menggambarkan customer satisfaction

atau kepuasan pelanggan. Menurut Buttle (2007) dalam Supriadi Setiawan (2011:44) berpendapat bahwa

“kepuasaan pelanggan adalah respon berupa perasaan puas yang timbul karena pengalaman menggunakan

suatu produk, atau sebagian kecil dari pengalaman itu”.

Kemudian Menurut Walter (2008:6) customer satisfaction in the sense of our definition to have a

positive impact on the trade-off between perceived benefits and sacrifices in a business relationship with

a supplier. Kepuasan pelanggan memiliki dampak positif pada trade-off antara manfaat yang dirasakan

dan pengorbanan dalam hubungan bisnis dengan pemasok. Sedangkan menurut Tse and Wilton (2009:18)

dalam Muzammil Hanif (2010:45) customer satisfaction is defined as an "evaluation of the perceived

discrepancy between prior expectations and the actual performance of the product". Kepuasan pelanggan

didefinisikan sebagai evaluasi "dari kesenjangan yang dirasakan antara sebelum harapan dan kinerja

aktual dari produk.

Berdasarkan beberapa uraian definisi mengenai kepuasan pelanggan, maka peneliti

menyimpulkan bahwa kepuasan pelanggan dapat diartikan sebagai suatu perbandingan antara apa yang

diharapkan oleh pelanggan mengenai produk/jasa yang dibelinya dan persepsi kinerja persepsinya

terhadap kinerja dari produk/jasa yang diterimanya. Singkatnya, kepuasan adalah perbandingan antara

persepsi atas sesuatu yang “diterima” konsumen (costumer’s perception) dengan harapan konsumen

(customer’s expectation).

Diskonfirmasi ekspektasi dipengaruhi oleh ekspektasi sebelum membeli dan kinerja setelah

membeli, jika hal tersebut sesuai maka akan menimbulkan kepuasan. Spreng, MacKenzie & Olshavsky

mendefinisikan “Perceived performance sebagai keyakinan menyangkut atribut produk, tingkat atribut

produk, atau hasil” Spreng et al, dalam Fandy Tjiptono & Gregorius Chandra (2007:206) sebagaimana

dapat dilihat pada Gambar 2.4

Ekspektasi Pra-Pembelian

Diskonfirmasi Ekspektasi Kepuasan

Persepsi Kinerja Purnabeli

18
Sumber: Fandy Tjiptono & Gregorius Chandra (2007:206)

GAMBAR 2.4

MODEL DISKONFIRMASI EKSPEKTASI

Menurut Oliver yang dikutip dalam Fandy Tjiptono & Gregorius Chandra (2007:206) “Perceived

performance adalah persepsi terhadap jumlah atribut produk atau jasa dari hasil yang diterima”.

Pengukuran perceived performance masih menjadi topik kontroversial. Sejumlah pakar

berargumen bahwa ukuran perceived performance rancu atau tumpang tindih dengan konstruk lainnya,

sementara pakar lainnya berpendapat bahwa justru ukuran ini yang harus menjadi fokus para peneliti dan

manajer. Dalam berbagai model kepuasan pelanggan, perceived performance kadang ditempatkan sebagai

pemicu diskonfirmasi, kadangkala sebagai pemicu langsung untuk kepuasan.

Kepuasan sendiri dalam pemasaran memiliki posisi yang sangat penting. Menurut Kottler dan

Keller (2009:34), memposisikan kepuasan konsumen dalam pemasaran sebagai respon yang diberikan

oleh konsumen atas barang/jasa yang diperolehnya berdasarkan kebutuhannya akan barang/jasa tersebut.

2.1.3.2 Dimensi Kepuasan Pelanggan

Terdapat beberapa metode yang bisa dipergunakan setiap perusahaan untuk mengukur dan

memantau kepuasan pelanggannya dan pelanggan pesaing. Menurut Kotler Keller (2009:179) mengukur

kepuasaan pelanggan dengan cara:

a. Pembelanjaan Siluman

Perusahaan memperkerjakan seorang menjadi pembelanja potensial dan melaporkan tentang hal-

hal kuat dan lemah yang dialami dalam membeli produk perusahaan dan produk pesaing.

b. Memantau angka kehilangan pelanggan


Perusahaan dapat mengontak pelanggan yang telah berhenti membeli atau yang sudah beralih ke

pemasok lain untuk mempelajari mengapa ini bisa terjadi.


c. Survey berkala
Perusahaan dapat menelusuri kepuasan pelanggan secara langsung.

Menurut Hanif (2010:47) kepuasan pelanggan memiliki dimensi yaitu:

19
a. Price fairness
Price fairness merupakan kesesuaian harga yang diterima oleh pelanggan dari produk yang ditawarkan

pada konsumen.
b. Customer service
Pelayanan pelanggan merupakan penyediaan macammacam barang yang diinginkan langganan dan

menawarkan pada harga yang pantas di tempat yang menarik, menyenangkan dan mudah tercapai.

Sedangkan menurut Tax et al., (2008), kepuasan pelanggan dapat diukur melalui rasa senang,

rasa puas dan kepuasan terhadap sistem layanan purna jual. Sementara itu, dalam Majalah Marketing

05/X/Mei 2010 CCSL (Center for Customer Satisfaction & Loyalty) kepuasan pelanggan dapat diukur

melalui Accessibility, Service Process, People, Service Complaint Handling, Quality of Repair Result.

2.1.3.4 Tipe-tipe Kepuasaan dan Ketidakpuasaan Pelanggan

Stauss & Neuhaus membedakan tiga tipe kepuasan dan dua tipe ketidakpuasan berdasarkan

kombinasi antara emosi-emosi spesifik terhadap penyedia jasa, ekspektasi menyangkut kapabilitas kinerja

masa depan pemasok jasa, dan minat berperilaku untuk memilih lagi penyedia jasa yang bersangkutan.

Stauss et al, dalam Fandy Tjiptono & Gregorius Chandra (2007:202) sebagai berikut:

1) Demanding Customer Satisfaction

Tipe ini merupakan tipe kepuasan yang aktif. Relasi dengan penyedia jasa diwarnai emosi positif,

terutama optimisme dan kepercayaan. Berdasarkan pengalaman positif di masa lalu, pelanggan

dengan tipe kepuasan ini berharap bahwa penyedia jasa akan mampu memuaskan ekspektasi

mereka yang semakin meningkat di masa depan. Selain itu mereka bersedia meneruskan relasi

yang memuaskan dengan penyedia jasa.

2) Stable Customer Satisfaction

Pelanggan dalam tipe ini memiliki tingkat aspirasi pasif. Mereka menginginkan segala sesuatunya

tetap sama.

3) Resigned Customer Satisfaction

Pelanggan dalam tipe ini juga merasa puas. Namun, kepuasannya bukan disebabkan oleh

pemenuhan ekspektasi, akan tetapi lebih didasarkan pada kesan bahwa tidak realistis untuk

berharap lebih. Perilaku konsumen tipe ini cenderung pasif.

4) Stable Customer Dissatisfaction


20
Pelanggan dalam tipe ini tidak puas terhadap kinerja penyedia jasa, namun mereka cenderung

untuk tidak melakukan apa-apa. Relasi mereka dengan penyedia jasa diwarnai emosi negatif dan

asumsi bahwa ekspektasi mereka tidak akan terpenuhi di masa datang dan tidak melihat adanya

peluang untuk perubahan atau perbaikan.

5) Demanding Customer Dissatisfaction

Tipe ini bercirikan tingkat aspirasi aktif dan perilaku demanding. Pada tingkat emosi,

ketidakpuasannya menimbulkan protes dan oposisi. Hal ini menyiratkan bahwa mereka akan aktif

dalam menuntut perbaikan.

2.1.3.5 Metode Pengukuran Kepuasan Pelanggan

Terdapat beberapa metode yang bisa dipergunakan setiap perusahaan untuk mengukur dan

memantau kepuasan pelanggannya dan pelanggan pesaing, yaitu:

1. Sistem Keluhan dan Saran

Setiap organisasi yang berorientasi pada pelanggan (customer-oriented) perlu menyediakan

kesempatan dan akses yang mudah dan nyaman bagi para pelanggannya guna menyampaikan saran,

kritik, pendapat, dan keluhan mereka. Media yang digunakan bisa berupa kotak saran yang ditempatkan

di lokasi-lokasi strategis (yang mudah dijangkau atau sering dilewati pelanggan), kartu komentar (yang

bisa diisi langsung maupun yang dikirim via pos kepada perusahaan), saluran telepon khusus bebas pulsa,

websites, dan lain-lain.

2. Ghost Shopping (Mystery Shopping)

Salah satu cara memperoleh gambaran mengenai kepuasan pelanggan adalah dengan

mempekerjakan beberapa orang ghost shoppers untuk berperan atau berpura-pura sebagai pelanggan

potensial produk perusahaan dan pesaing. Mereka diminta berinteraksi dengan staf penyedia jasa dan

menggunakan produk/jasa perusahaan. Berdasarkan pengalamannya tersebut, kemudian diminta

melaporkan kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan pesaing.

3. Lost Customer Analysis

Perusahaan yang kehilangan langganan mencoba untuk menghubungi pelanggan tersebut dan

dibujuk kenapa mereka berhenti, pindah ke perusahaan lain, dan sebagainya. Dengan informasi yang
21
diperoleh maka perusahaan dapat lebih meningkatkan kinerjanya dengan cara meningkatkan kepuasan

para pelanggan.

4. Survei Kepuasan Pelanggan

Sebagian besar riset kepuasan pelanggan dilakukan dengan menggunakan survei, baik survei

melalui pos, telepon, e-mail, websites, maupun wawancara langsung. Pengukuran kepuasan yang

dilakukan perusahaan yaitu dengan menggunakan survei kepuasan, di antaranya dengan wawancara atau

menyebarkan kuesioner kepada pelanggan melalui pernyataan kepada pelanggan dengan ungkapan sangat

tidak puas, kurang puas, cukup puas, puas, dan sangat puas.

2.1.4 Keunggulan Bersaing


2.1.4.1 Pengertian Keunggulan Bersaing

Bila sebuah perusahaan mengimplementasikan sebuah nilai dalam penciptaan strategi yang

diimplementasikan secara tidak berkelanjutan oleh pesaing potensial, maka kita dapat mengatakan bahwa

perusahaan telah memiliki competitive advantage (keunggulan bersaing). Dan apabila sebuah perusahaan

mengimplementasikan penciptaan suatu nilai dalam strateginya dan tidak secara terus menerus

diimplementasikan oleh pesaing potensial dan dimana perusahaan lain tidak memiliki kemampuan untuk

menirunya, dapat dikatakan bahwa perusahaan telah memiliki competitive advantage (keunggulan

bersaing).

Keunggulan bersaing merupakan keunggulan yang dicapai melalui nilai pelanggan yang

superior dengan menciptakan suatu strategi bersaing untuk mencapai kemampulabaan dan pertumbuhan

(Bennett and Smith, 2002:75). Menurut Christensen (2010:21) mengemukakan bahwa “competitive

advantage is whatever value a business provides that motivates its customers (or end users) to purchase

its products or services rather than those of its competitors and that poses impediments to imitation by

actual or potential direct competitors.” Keunggulan kompetitif adalah nilai bisnis apa pun yang

disediakan untuk memotivasi pelanggan (atau pengguna akhir) untuk membeli produk atau layanan

daripada para pesaingnya. Keunggulan bersaing dapat dilakukan melalui penurunan biaya,

mengembangkan produk yang lebih baik, dan menyediakan yang lebih baik pelayanan kepada pelanggan

di pasar ekspor dengan membuat investasi yang diperlukan dalam proses ekspor (Koksal, 2009:21).

Sedangkan Matear (2000:783) competitive advantage is derived from innovation, reputation, architecture
22
and control of strategic assets. Keunggulan kompetitif berasal dari inovasi, arsitektur reputasi, dan

pengendalian aset strategis. Selain itu, Daniel Prior (2008:3) keunggulan kompetitif berasal dari

keuntungan posisional yang dilakukan dalam sebuah industri.

Dessler (2007: 21) mendefinisikan keunggulan bersaing adalah faktor-Faktor yang dimiliki suatu

organisasi untuk membedakan produk atau pelayanannya dari pesaingnya untuk meningkatkan pangsa

pasar. Selanjutnya Heizer dan Render (2000) menyatakan bahwa keunggulan bersaing adalah kemampuan

organisasi merumuskan strategi penempatan posisi perusahaan yang baik dalam industri. Dengan dua

prinsip utama untuk memperoleh keunggulan bersaing dalam bisnis yaitu dengan menciptakan nilai

konsumen dan unik.

Lebih luas lagi Spulber (2004) mengungkapkan bahwa perusahaan dengan keunggulan bersaing

mampu menciptakan nilai (creating value) ekonomi yang lebih besar untuk pemegang saham/owner,

konsumen, supplier, dibandingkan pesaing-pesaingnya. Dan Jay dan Barry (2001) dalam Heizer dan

Render (2000) berpendapat bahwa keunggulan bersaing merupakan implikasi penciptaan sistem yang

unik dan unggul dibandingkan dengan pesaingnya, idenya dengan menciptakan nilai (creating value)

konsumen dan langkah yang berkesinambungan melalui diferensiasi, biaya rendah, dan kemampuan

merespon.

Analisis keunggulan bersaing menunjukkan perbedaan dan keunikannya di antara para pesaing.

Sumber keunggulan bersaing itu adalah keterampilan, sumber daya dan pengendalian yang superior.

Keterampilan yang superior memungkinkan organisasi untuk memilih dan melaksanakan strategi yang

akan membedakan organisasi dari persaingan. Keterampilan mencakup kemampuan teknis, manajerial

dan operasional.

Konsep keunggulan bersaing (competitive advantage) menurut Day dan Wensley (2002) diartikan

sebagai kompetisi yang berbeda dalam keunggulan keahlian dan sumber daya. Secara luas menunjukkan

apa yang diteliti di pasar yaitu keunggulan posisional berdasarkan adanya customer value yang unggul

atau pencapaian biaya relatif yang lebih rendah dan menghasilkan pangsa pasar dan kinerja yang

menguntungkan. Kemudian konsep keunggulan bersaing menurut Hunt dan Morgan (2005) merupakan

perubahan dari keunggulan komparatif dalam sumber daya dan keunggulan bersaing tersebut mengenai

pasar dan kinerja keuangan yang superior. Menguatkan pendapat Day dan Wensley, Hunt dan Morgan

(2005) menyebutkan sumber daya potensial dapat dikategorikan sebagai finansial, fisik, hukum, manusia,
23
organisasi, informasi dari konsumen, pemasok dan pelanggan. Idealnya, sebuah perusahaan menempati

posisi keunggulan bersaing adalah disebabkan keunggulan komparatif dalam sumber daya menghasilkan

nilai yang superior pada biaya yang lebih rendah. Menurut Hunt dan Morgan (2005) yang dipentingkan

adalah sumber daya yang menghasilkan nilai dan bukan pada diferensiasi, karena perbedaan sederhana

dengan pesaing tidak menentukan posisi. Sedangkan menurut Keegan (2004:325) keunggulan bersaing

ada kalau terdapat keserasian antara kompetensi yang membedakan dari sebuah perusahaan dan faktor-

faktor kritis untuk meraih sukses dalam industri yang menyebabkan perusahaan tadi mempunyai prestasi

yang jauh lebih baik dari pada pesaingnya.

Dari beberapa pendapat para pakar di atas dapat dinyatakan bahwa keunggulan bersaing

(competitive advantage) merupakan strategi formulasi perusahaan yang dirancang untuk mencapai

peluang-peluang yang menguntungkan dan tidak dapat ditiru oleh pesaing untuk memaksimumkan

pengembalian investasi perusahaan, yang dapat dilakukan melalui strategi inovasi, peningkatan kualitas,

dan strategi pengurangan biaya.

Keunggulan bersaing berkaitan dengan cara bagaimana perusahaan memilih dan benar-benar

dapat melaksanakan strategi generik ke dalam praktik (Porter, 2004). Semua bagian yang ada dalam

organisasi, baik yang berupa sumber daya maupun aktifitas, dapat menjadi keunggulan bersaing melalui 3

alternatif strategi: cost leadership, differentiation, atau focus. Menurut Homburg dan Pflesser (2000:456)

menyatakan bahwa keunggulan bersaing dapat diukur dari Financial Performance dan kinerja pasar.

Keunggulan bersaing dalam penelitian ini dilihat dari 3 indikator : (1) Posisi Pasar, (2) Posisi Keuangan,

(3) Posisi Persaingan. Dengan memperkenalkan suatu alat yang dikenal sebagai analisis rantai nilai,

manajemen dapat memisahkan aktifitas-aktifitas dasar yang dilakukan oleh perusahaan, mulai dari

aktivitas desain, proses produksi, pemasaran sampai dengan jasa pelayanan setelah penjualan dan semua

kegiatan pendukung mulai dari manajemen sumber daya manusia, infrastruktur, pembelian dan

pengembangan teknologi. Porter (2004) memberikan sebuah perspektif baru dan praktis tentang strategi

bersaing dengan memperlihatkan bagaimana semua aktifitas dasar dan aktifitas pendukung ini dapat

dipadukan sehingga membentuk sinergi yang pada gilirannya akan mendatangkan keunggulan bersaing.

Dengan menggunakan analisis rantai nilai ini, manajemen dapat melakukan aktivitas yaitu memahami

perilaku biaya, mengidentifikasi apa yang menciptakan nilai bagi pembeli, memilih strategi teknologi

24
yang mencerminkan signifikansi teknologi perusahaan untuk keunggulan bersaing dan memanajemeni

hubungan strategik antar unit usaha yang ada, dan sebagainya.

Gambar 2.5 Analisis Rantai Nilai Aktivitas Primer

Cravens (2009) mengemukakan bahwa keunggulan bersaing seharusnya dipandang sebagai suatu

proses dinamis bukan sekedar dilihat sebagai hasil akhir. Keunggulan bersaing memiliki tahapan proses

seperti terlihat pada gambar 2.5 yang terdiri atas sumber keunggulan, keunggulan posisi dan prestasi hasil

akhir serta investasi laba untuk mempertahankan keunggulan.

Sumber-sumber Positional advantage Hasil-hasil Kinerja


Keunggulan (keunggulan posisi) Satisfaction
Superior Skills Loyalty
Superior Resources Superior Customer Value Market Share
Lower Relative Cost Profitability

Investasi Profit Untuk


Menopang Keunggulan
Bersaing

Gambar 2.6
Elemen-elemen Keunggulan Bersaing

Analisis keunggulan bersaing menunjukkan perbedaan dan keunikannya di antara para pesaing.

Sumber keunggulan bersaing itu adalah keterampilan, sumber daya dan pengendalian yang superior.

25
Keterampilan yang superior memungkinkan organisasi untuk memilih dan melaksanakan strategi yang

akan membedakan organisasi dari persaingan. Keterampilan mencakup kemampuan teknis, manajerial

dan operasional. Sebagai contoh, pengetahuan tentang keinginan dan permintaan konsumen membantu

perusahaan dalam menggunakan kemampuannya untuk memuaskan konsumen. Sementara itu, sumber

daya yang superior memungkinkan pembentukan dimensi keunggulan.

Keunggulan posisi merupakan hasil produksi dengan biaya rendah (cost leadership) atau

diferensiasi yang memberikan keunggulan nilai bagi konsumen. Biaya yang lebih rendah memungkinkan

perusahaan memberikan nilai yang superior dengan pemberian harga yang lebih rendah dari para pesaing

untuk produk yang sama. Perbedaan penampilan produk yang sesuai dengan preferensi pembeli

menghasilkan manfaat unik yang dapat menutupi harga tinggi. Faktor penting dalam mencari keunggulan

adalah bagaimana mengambil keputusan bersaing. Pada saat keterampilan organisasi, sumber daya, dan

pengendalian digunakan untuk meperoleh nilai dan atau efisiensi biaya, keunggulan posisi telah menuju

pada prestasi dari hasil akhir (kepuasan konsumen, kesetiaan terhadap merek, pangsa pasar, dan

kemampuan mendapatkan laba. Keunggulan bersaing merupakan sasaran yang selalu berubah.

Karenanya, manajemen harus menggunakan sebagian labanya untuk mempertahankan keunggulan

tersebut.

Bagi produsen yang ingin menikmati keunggulan bersaing di pasar, perbedaan antara produknya

dan produk pesaing harus dapat dirasakan di pasaran. Mereka harus dapat merefleksikan pada beberapa

produk/atribut yang akan disampaikan, yang merupakan kriteria pokok pembelian (key buying criterion)

pasar. Kesenjangan kapasitas (a capability gap) adalah perbedaan antara posisi perusahaan dan pesaing

terkuat untuk kriteria pembelian. Keunggulan bersaing terjadi pada saat kemampuan perusahaan melebihi

pesaing terkuat untuk kriteria pembelian yang penting bagi para pembeli. Keunggulan bersaing diperoleh

dengan mencari aspek-aspek diferensiasi yang akan dinilai sebagai nilai superior oleh konsumen sasaran

dan yang tidak mudah diduplikasikan oleh pesaingnya.. Para pesaing selalu berusaha untuk mengurangi

atau menghilangkan kesenjangan kapasitas tersebut. Keunggulan dipertahankan dengan berjuang sekuat

tenaga untuk melakukan perbaikan secara terus menerus terhadap nilai yang diberikan pada para pembeli

dan atau mengurangi biaya dalam menyediakan produk atau jasa. Produk baru yang sesuai dengan

keinginan konsumen dan lebih baik ketimbang produk yang sudah ada juga dapat menciptakan

keunggulan. (Cravens, 2009).


26
2.1.4.1 Unsur - Unsur Keunggulan Bersaing

Perusahaan yang berada dalam struktur pasar persaingan tentunya memerlukan strategi untuk

memenangkan persaingan dalam suatu industri atau bidang bisnisnya. Strategi tersebut dikenal sebagai

strategi bersaing (competitive strategy) yaitu suatu kombinasi antara tujuan yang diperjuangkan

perusahaan dengan alat (kebijakan) yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Strategi bersaing

merupakan pencarian akan posisi yang menguntungkan dalam suatu industri tempat terjadinya

persaingan.

Posisi relatif suatu perusahaan dalam suatu industri menentukan apakah kemampulabaan

perusahaan berada di atas atau di bawah rata-rata industri. Kinerja perusahaan di atas rata- rata jangka

panjang akan merupakan keunggulan bersaing (competitive advantage) yang bersifat tahan lama. Untuk

memenangkan persaingan, ada dua dasar keunggulan bersaing suatu perusahaan yaitu biaya rendah

kepemimpinan biaya (cost leadership) dan diferensiasi (differentiation). Menurut Desleer (2007: 21)

keunggulan bersaiang meliputi keunggulan biaya, keunggulan diferensiasi dan nilai pelanggan.

Hal tersebut dipertegas oleh Crown (2001:159) yang perpendapat bahwa terdapat dua dasar

keunggulan bersaing, yaitu :

1. Keunggulan Biaya

Untuk mencapai keunggulan biaya, sebuah perusahaan harus siap menjadi produsen berbiaya rendah

dalam industrinya. Perusahaan harus memiliki cakupan yang luas dan melayani banyak segmen,

bahkan beroperasi didalam industri terkait. Sumber keunggulan biaya bervariasi dan tergantung

kepada struktur industri. Sumber tersebut mungkin mencakup : pengerjaan skala ekonomi, teknologi

milik sendiri, akses kebahan mentah dan lain-lain. Bila perusahaan dapat mencapai dan

mempertahankan keunggulan biaya, maka akan menjadi perusahaan dengan kinerja rata -rata dalam

industri asal dapat menguasai harga pada atau dekat rata-rata industri.

2. Keunggulan diferensiasi

Dalam hal diferensiasi, perusahaan harus menjadi unik dalam industrinya yang secara umum dihargai

oleh pembeli, jadi perusahaan dihargai karena keunikannya. Cara melakukan diferensiasi berbeda

27
untuk tiap industri dan pada umumnya dapat didasarkan kepada produk, sistem penyerahan,

pendekatan, pemasaran dan lain-lain.

Jika keunggulan bersaing didasarkan pada karakteristik struktural, seperti kekuatan pasar, skala

ekonomi, atau lini produk, maka saat ini penekanan pada bisnis untuk mengirimkan nilai superior secara

konsisten menjadi fokus pada pelanggannya. Untuk melakukan hal ini, maka keunggulan kompetitif

bukan hanya suatu fungsi dalam permainan suatu perusahaan, tetapi lebih bergantung pada kemampuan

perusahaan untuk berubah secara radikal. Maka ada empat kebutuhan pokok untuk sumber daya yang

harus dipenuhi untuk mencapai keunggulan bersaing yaitu (Javalgi, et. al., 2005:4).

1. Nilai. Dengan nilai tambah yang dimiliki akan meningkatkan keunggulan bersaing perusahaan.

2. Keunikan di antara perusahaan sejenis dan pesaing potensial. Jika suatu perusahaan memiliki

keunikan tersendiri maka akan semakin meningkatkan keunggulan bersaing yang dimilikinya di

antara pesaing.

3. Tidak dapat ditiru dengan sempurna. Perusahaan dengan produk yang tidak dapat ditiru pesaingnya

dengan sempurna telah memiliki nilai tambah dalam mencapai keunggulan bersaing.

4. Harus tidak ada strategi yang sama yang dapat menggantikan sumber daya. Jika tidak ada strategi

yang dapat menggantikan sumber daya maka suatu perusahaan akan mencapai keunggulan bersaing

tersendiri.

Pendapat di atas didukung oleh Ferdinand (2003) yang menyatakan bahwa berdasarkan teori

berbasis sumber daya, esensi keunggulan bersaing adalah kombinasi unik dari sumber daya dan

kapabilitas. Sedangkan untuk melanggengkan keunggulan bersaing tersebut, perusahaan seharusnya

memiliki sumber daya dan kapabilitas yang khas (company specific).

Sedangkan Day & Wensley dalam Hoffman (2000) berpendapat bahwa terdapat dua faktor yang

dapat mempengaruhi upaya perusahaan dalam rangka menciptakan keunggulan bersaing mereka, yaitu

kapabilitas yang unggul dan sumber daya yang unggul.

Dari berbagai pendapat mengenai unsur-unsur keunggulan bersaing, maka dapat disimpulkan

bahwa unsur-unsur keunggulan bersaing meliputi strategi penempatan posisi perusahaan yang baik dalam

industri. Unusr-unsur keunggulan bersaing merupakan penciptaan sistem yang unik dan unggul

dibandingkan dengan pesaingnya, idenya dengan menciptakan nilai (creating value) konsumen dan

langkah yang berkesinambungan melalui nilai, keunikan, tingkat kesulitan untuk ditiru, keunggulan biaya
28
serta keunggulan sumber daya lainnya.

2.2 Kerangka Pemikiran

Dalam era perdagangan bebas persaingan diantara perusahaan semakin tajam. Hal ini

menyebabkan tiap perusahaan berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas produknya dengan tujuan

untuk menciptakan keunggulan bersaing.

Nilai pelanggan merupakan salah satu konsep pemasaran dalam meningkatkan kepuasan

pelanggan, dengan nilai pelanggan yang tepat akan membantu produk tersebut selangkah lebih maju

dibanding dengan pesaing. Kualitas dari nilai memainkan peran kunci dalam memantau apakah tujuan

jangka panjang, menengah, dan pendek organisasi sesuai dengan aspirasi yang diinginkan. Tolok ukur

nilai pelanggan adalah lamanya waktu adopsi terhadap harapan dan kebutuhan pelanggan dan banyaknya

informasi yang diadopsi oleh perusahaan, untuk membangun nilai pelanggan (Lam et.al., 2004;Evans

2002). Nilai pelanggan merupakan sebuah rasio dari manfaat yang didapat oleh pelanggan dengan

pengorbanan. Perwujudan pengorbanan yang dilakukan oleh pelanggan sejalan dengan proses pertukaran

adalah biaya transaksi, dan risiko untuk mendapatkan produk (barang dan jasa) yang ditawarkan oleh

perusahaan. Ketika nilai yang dirasakan dari rasio yang dipersepsikan oleh pelanggan atas sejumlah

pengorbanan ekomomi dengan produk yang ditawarkan perusahaan tidak sesuai dengan harapan

pelanggan, maka akan memuncullah sikap tidak puas. Sebaliknya apabila sama atau melebihi harapan

pelanggan maka pelanggan akan merasa puas (Budiman 2003; Yang dan Peterson 2004).

Nilai bagi pelanggan adalah selisih antara nilai pelanggan total dan biaya pelanggan total. Nilai

pelanggan total adalah sekumpulan manfaat yang diharapkan oleh pelanggan dari produk atau jasa

tertentu. Biaya pelanggan total adalah sekumpulan biaya yang diharapkan oleh konsumen yang

dikeluarkan untuk mengevaluasi, mendapatkan, menggunakan dan membuang produk atau jasa. Menurut

Kotler & Keller (2009:161) nilai pelanggan memiliki dua dimensi yaitu total customer benefit dan total

customer cost. Total customer benefit adalah nilai yang ditawarkan dari suatu produk berupa fungsi

ekonomi, dan manfaat phsychology yang diharapkan pelanggan dari sejumlah biaya yang dikeluarkan

karena manfaat dari produk, pelayanan, personnel dan image. Total customer cost adalah kumpulan

pengorbanan yang diperkirakan pelanggan akan terjadi dalam mengevaluasi, memperoleh dan

29
menggunakan produk atau jasa tersebut dengan sejumlah biaya yang dikeluarkan. Salah satu factor yang

memiliki pengaruh nilai pelanggan adalah citra merek.

Citra merek merupakan apa yang dipersepsikan konsumen mengenai sebuah merek. Sebuah

merek yang baik dapat memberikan tanda adanya superiotas produk terhadap konsumen yang mengarah

pada sikap konsumen yang menguntungkan dan membawa kinerja penjualan dan keuangan yang lebih

baik bagi perusahaan. Citra yang positif menjadi salah satu hal yang penting. Sebab tanpa citra yang kuat

dan positif, sangatlah sulit bagi perusahaan untuk menarik pelanggan baru dan mempertahankan yang

sudah ada dan pada saat yang sama meminta mereka membayar dengan harga yang tinggi. Jika nilai dari

produk dapat dirasakan oleh pelanggan yang didukung oleh citra merek maka akan menciptakan

kepuasan pelanggan.

Kepuasan pelanggan merupakan konsep untuk mengukur prestasi perusahaan dalam pasar

terhadap suatu fokus dan nilai pelanggan. Setiap perusahaan berkepentingan untuk mengetahui

prestasinya sebagai cermin dari keberhasilan usahanya dalam persaingan pasar, fokus dan nilai pelanggan

yang berkualitas dapat menimbulkan daya terima pelanggan terhadap tingkatan kualitas, perbaikan pasar

dan kinerja. Berfokus pada aktifitas yang dilakukan dan pada nilai yang ditambahkan pada produk secara

Kepuasan pelanggan merupakan konsep untuk mengukur prestasi perusahaan dalam pasar terhadap suatu

fokus dan nilai pelanggan. Setiap perusahaan berkepentingan untuk mengetahui prestasinya sebagai

cermin dari keberhasilan usahanya dalam persaingan pasar, fokus dan nilai pelanggan yang berkualitas

dapat menimbulkan daya terima pelanggan terhadap tingkatan kualitas, perbaikan pasar dan kinerja.

Berfokus pada aktifitas yang dilakukan dan pada nilai yang ditambahkan pada produk secara langsung

sebagai akibat aktifitas fokus pelanggan. Kepuasan pelanggan adalah lebih relevan bagi bisnis untuk

mengukur nilai tambah hasil (Malhotra, et.al., 2004).Dengan tercapainya tingkat kepuasan pelanggan

yang optimal maka mendorong terciptanya loyalitas di benak pelanggan yang merasa puas tadi.

Keunggulan bersaing merupakan keunggulan yang dimiliki oleh suatu produk baik itu produknya

memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dari produk lain maupun produk tersebut unggul

dalam biaya. Keunggulan bersaing berkaitan dengan cara bagaimana perusahaan memilih dan benar-

benar dapat melaksanakan strategi generik ke dalam praktik (Porter, 1994). Semua bagian yang ada dalam

30
organisasi, baik yang berupa sumber daya maupun aktifitas, dapat menjadi keunggulan bersaing melalui 3

alternatif strategi: cost leadership, differentiation, atau focus.

Berdasarkan atas uraian diatas maka dapat dibuat paradigma sebagai berikut:

Nilai Pelanggan

Kepuasan Keunggulan
pelanggan bersaing

Gambar 2.2 Paradigma Penelitian


Citra Merek

2.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Nilai pelanggan berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan pada konsumen pengguna ponsel

Samsung
2. Citra merek berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan pada konsumen pengguna ponsel Samsung
3. Nilai pelanggan berpengaruh terhadap keunggulan bersaing melalui kepuasan pelanggan pada

konsumen pengguna ponsel Samsung


4. Citra merek berpengaruh terhadap keunggulan bersaing melalui kepuasan pelanggan pada konsumen

pengguna ponsel Samsung

31

Anda mungkin juga menyukai