Anda di halaman 1dari 7

Perceived Value (Persepsi nilai yang dirasakan konsumen)

Menurut Kotler dan Keller (2012) dalam bukunya yang berjudul

Management Marketing 14th Edition mengatakan bahwa manajemen pemasaran

merupakan sebuah seni dan ilmu dalam menentukan target pasar, menentukan,

memelihara dan mengembangkan pelanggan melalui menciptakan, menyampaikan

dan mengkomunikasikan sebuah nilai superior kepada pelanggan. Nilai

merupakan segala hal yang dianggap penting bagi setiap individu atau

masyarakat. Menurut Sumarwan (2011) sebuah nilai akan berlangsung lama dan

sulit berubah, hal ini kemudian akan memengaruhi pada sikap dan perilaku dalam

pengambilan keputusan. Oleh karena itu, perusahaan perlu untuk menyampaikan

nilai organisasi untuk membentuk nilai pada konsumen yang akan berdampak

pada peningkatan jumlah penjualan. Sebuah nilai perusahaan dapat berupa

penyataan misi dan tujuan organisasi.

Sebuah organisasi bisnis perlu memperhatikan nilai-nilai yang dirasakan

oleh konsumen atas produk maupun jasa yang diberikan, karena menurut Kotler

dan Keller (2016) salah satu dari tugas manajemen pemasaran adalah

menghantarkan dan mengomunikasikan nilai. Sebuah nilai yang dihantarkan

meliputi segala aktivitas yang dilakukan perusahaan untuk membuat produk dan

layanan lebih mudah didapatkan oleh konsumen. Sedangkan mengomunikasikan

nilai meliputi penyusunan program-program komunikasi pemasaran seperti iklan,

promosi penjualan, acara dan hubungan masyarakat. Perusahaan tidak dapat

mengetahui secara pasti apa yang dirasakan oleh konsumen. Setiap konsumen

merasakan arti nilai yang berbeda-beda apabila dikaitkan dengan jenis produk
atau layanan, dan karakteristik pribadi konsumen. Nilai (value) yang dirasakan

tersebut menurut Zeithaml (1988) dapat dijelaskan ke dalam empat bagian yang

berbeda, yaitu: 1) nilai sebagai harga yang rendah (value as low price), 2) nilai

adalah segala keinginan konsumen akan suatu produk (value as whatever the

consumer wants in a product), 3) nilai merupakan kualitas yang didapatkan dari

sejumlah harga yang telah dibayarkan (value as the quality get from the price the

customer pay), dan 4) nilai dianggap sebagai apa yang didapatkan untuk apa yang

telah diberikan (value as what is get for what is give). Craven dan Piercy dalam

Oesman (2010) mengatakan bahwa nilai yang diharapkan pelanggan merupakan

selisih dari persepsi pelanggan terhadap manfaat dari produk atau jasa dengan

biaya total untuk mendapatkannya. Nilai konsumen (consumer value) merupakan

nilai yang dirasakan selama dan/atau sesudah penggunaan dari sebuah produk

(Rivière & Mencarelli, 2012).

Perceived value atau persepsi nilai terjadi ketika seseorang meyakini

bahwa produk yang diinginkan adalah layak untuk dibeli. Persepsi ini terbentuk

dari pendapat yang bermunculan di masyarakat dan sejumlah manfaat yang

dirasakan oleh konsumen apabila melakukan pembelian. Sebuah persepsi yang

dihasilkan oleh konsumen terhadap suatu produk atau jasa dapat meningkatkan

penjualan produk, karena persepsi didukung oleh adanya harapan konsumen

terhadap produk tersebut. Sebagaimana definisi persepsi menurut Kotler dan

Keller (2016) merupakan proses dalam memilih, mengatur, dan menerjemahkan

masukan informasi untuk menciptakan persepsi yang tidak hanya berfokus pada

stimuli fisik tetapi juga stimuli interpersonal dan lingkungan sekitar. Selain itu,
persepsi nilai yang dirasakan oleh pelanggan merupakan selisih antara manfaat

yang ia terima dan biaya penawaran terhadap alternatifnya. Hal ini pun didukung

dengan pendapat Zeithaml (1988) bahwa persepsi nilai yang dirasakan oleh

konsumen merupakan penilaian yang berdasarkan persepsi “what is received what

is given” yang berarti adanya timbal balik antara pengorbanan dan manfaat yang

diperoleh secara keseluruhan dari penggunaan. Ketika konsumen dapat memenuhi

kebutuhannya, maka perusahaan sudah mendapatkan sebuah nilai dari apa yang

telah diberikan pada konsumen untuk masa waktu yang lama (Sweeney dan

Soutar, 2001). Akan tetapi sebelum perusahaan ingin menambahkan nilai lebih

pada produk ataupun jasa yang ditawarkan, perlu dipahami nilai apa yang dihargai

oleh konsumen.

Beberapa penelitian sudah dilakukan dalam mengukur perceived value,

menurut Woodall (dalam Mencarelli & Rivie`re, 2014) pada pelaksanaan B2C

terdapat dua kriteria yang digunakan untuk menyusun definisi nilai dalam

literatur: waktu di mana nilai dipelajari dan cara konsepnya. Berikut ini penjelasan

mengenai tiga jenis perceived value dapat dibuat sesuai dengan momen ketika

nilai dipelajari,

1. nilai pembelian (purchase value) merupakan nilai pembelian yang

didefinisikan oleh Zeithaml sebagai hasil membandingkan manfaat dan

pengorbanan yang dirasakan terkait dengan pembelian produk. Nilai

semacam ini, yang timbul sebelum apa yang ditawarkan benar-benar

dikonsumsi, berakar pada nilai tukar di bidang ekonomi dan

mencerminkan bentuk penilaian utilitarian yang mendasar.


2. nilai belanja (shopping value) merupakan definisi nilai dalam konteks

distribusi ritel yang spesifik. Nilai jenis ini muncul dari pengalaman

embelanja mengunjungi toko, yang dianggap sebagai bentuk penilaian

tersendiri. Ini terlepas dari jenis nilai lainnya dalam hal saat konsumen

mengalami perceived value.

3. nilai konsumsi (consumption value) merupakan nilai yang didefinisikan

oleh Holbrook sebagai preferensi relatif. Hal ini berarti nilai yang

menandai pengalaman interaksi antara subjek dan objek. Holbrook

mengusulkan sebuah tipologi yang diartikulasikan seputar tiga dimensi

kunci berikut ini: dimensi ontologis (orientasi intrinsik atau ekstrinsik),

dimensi praksiologis (orientasi aktif atau pasif) dan dimensi sosial

(orientasi individu atau interpersonal). Pendekatan ini berasal dari nilai

pakai dan mengarah pada konseptualisasi hedonis atau simbolik yang lebih

bernilai.

Sedangkan “value” secara konseptualiasi, nilai dapat diukur dengan tiga

pendekatan konsep sebagai berikut:

1. Aggregate one-dimensional conceptualization of value

“The value reflects a global valuation formed on the basis of value for

money” yang berarti sebuah nilai secara global terbentuk berdasarkan nilai

terhadap uang. Pada contoh pertama, nilai yang dirasakan dapat diwakili

oleh pendekatan agregat yang diartikulasikan seputar trade-off antara

manfaat dan pengorbanan. Pendekatan ini terdiri dari kegiatan

mendapatkan penilaian secara keseluruhan mengenai tingkat penilaian


penawaran. Sebuah nilai sebuah produk telah lama dibahas dengan cara

menggunakan gagasan sederhana tentang 'nilai uang' oleh karena itu,

dianggap sebagai konstruksi satu dimensi.

2. Aggregate multidimensional conceptualization of value

“The value reflects a global valuation arising from the trade-off between

various benefits and sacrifices” yang berarti nilai tersebut mencerminkan

penilaian global yang timbul dari trade-off antara berbagai manfaat dan

pengorbanan. Namun, karena sifat dari manfaat dan pengorbanan yang

dirasakan diperhitungkan telah menjadi beragam, ukuran agregat

multidimensional dari nilai yang dirasakan juga telah diajukan Lai (dalam

Mencarelli & Rivie`re, 2014).

3. Analytical multidimensional conceptualization of value

“The value breaks down into separate facets reflecting varied sources of

valuation” yang berarti bahwa nilai diturunkan menjadi bagian-bagian

yang terpisah yang mencerminkan beragam sumber penilaian. Dari semua

pendekatan yang disebutkan oleh Mencarelli & Rivie`re (2014)

pengukuran perceived value yang paling efektif dilakukan pada bisnis

B2C adalah analytical multidimensional conceptualization of value.

Pendekatan ini dipilih karena dalam manajemen pemasaran diukur “value”

secara keseluruhan tidak hanya dari segi pertukaran manfaat dan biaya

saja. Konsep analytical multidimensional conceptualization of value

merupakan pengukuran perceived value yang lebih mendalam dari


berbagai macam sumber penilaian, karena nilai yang dirasakan oleh

konsumen berubah seiring waktu.

Persepsi nilai yang dirasakan oleh konsumen (perceived value)

akan sangat bervariasi tergantung pada proporsi nilai masing-masing

individu. Nilai proses perlu diperhatikan karena hal ini bertujuan untuk

mengoptimalkan proses-proses bisnis dan memandang waktu sebagai

sumber daya pelanggan yang berharga. Dalam mengoptimalkan proses

bisnis, perusahaan memberikan wewenang pada karyawannya untuk

mampu merespon pelanggan. Selain itu, sebuah produk/jasa/teknologi

harus memiliki nilai tambah berupa keistimewaan dan manfaat yang

kompetitif. Pemberian dukungan berupa kesiapan perusahaan dalam

menanggapi konsumen yang membutuhkan bantuan.

Menurut Sweeney & Soutar (2001) perceived value yang dirasakan

oleh konsumen dapat diukur dengan empat dimensi yaitu, emotional value

(nilai emosional), social value (nilai sosial), quality/performance value

(nilai kualitas/kinerja) dan price/value for money value (harga/nilai uang).

Adapun penjelasan dari dimensi-dimensi perceived value menurut

Sweeney & Soutar sebagai berikut :

1. emotional value (nilai emosional) merupakan utilitas yang berasal

dari komponen afektif yaitu perasaan positif dari mengkonsumsi

produk. Emotional value dirasakan ketika produk maupun jasa

yang diberikan dapat menimbulkan perasaan. Pada komponen ini

diasumsikan bahwa konsumen mengevaluasi beberapa alternatif


pilihan dan menggunakan keterkaitan emosionalnya untuk memilih

merek tujuan.

2. social value (nilai sosial) merupakan utilitas yang diperoleh dari

kemampuan produk untuk meningkatkan konsep diri-sosial

konsumen. Utilitas ini mengarah pada produk atau layanan, social

value berhubungan dengan penerimaan sosial dan peningkatan

citra diri di antara individu dan sosial. Dukungan pada pentingnya

reputasi sosial dalam bentuk harga akan mempengaruhi besarnya

penggunaan produk atau layanan yang dibagi dengan orang lain.

3. quality/performance value (nilai kualitas/kinerja) merupakan

utilitas yang didapatkan dari persepsi terhadap kualitas dan kinerja

yang diharapkan atas produk. Performance (kinerja) merupakan

hasil pengubahan dari dimensi kualitas yang merepresentasikan

totalitas kerja fisik yang dilakukan. Kinerja merupakan esensi kritis

pada setiap merek. Apabila sebuah merek tidak dapat menjalankan

fungsi sesuai rancangan untuk dapat dibeli, konsumen tidak akan

membeli produk dan merek yang memiliki ekuitas rendah.

4. price/value for money value (harga/nilai uang) merupakan utilitas

yang didapatkan dari produk dikarenakan pengaruh biaya jangka

pendek dan jangka panjang. Price (harga) merupakan definisi dari

nilai sebagai perceived brand utility yang relatif terhadap biaya, di

mana pemilihan konsumen atas merek tergantung pada perceived

balance antara harga dari produk dan semua utilitas di dalamnya.

Anda mungkin juga menyukai