Anda di halaman 1dari 52

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Infeksi Tropis

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

DEMAM TYPHOID

Disusun oleh:
Deseli Eka Rahmawati
1710029021

Pembimbing:
dr. Hj. Sukartini, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
AGUSTUS 2018

i
LEMBAR PENGESAHAN

TUTORIAL KLINIK

DEMAM THYPOID

Diajukan dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu


Kesehatan Anak

Oleh:
Deseli Eka Rahmawati NIM. 1710029021

Pembimbing:

dr. Hj. Sukartini, Sp.A

SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
AGUSTUS 2018

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan Tutorial tentang “Demam Typhoid”. Tutorial ini
disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Anak Rumah
Sakit Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan
terima aksih kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Samarinda.
2. dr. Soehartono, Sp.THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. dr. William S. Tjeng, Sp.Aselaku kepala SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
4. dr. Hendra, Sp. A, sebagai Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Anak
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
5. dr. Hj. Sukartini, Sp.A, selaku pembimbing dalam penyusunan tugas tutorial
klinik ini yang telah memberikan banyak waktu dan kesempatan untuk
memberikan bimbingan.
6. Rekan sejawat dokter muda stase Ilmu Anak yang telah bersedia memberikan
saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
7. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam referat ini, sehingga
penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan. Akhir kata, semoga
dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Samarinda, Agustus 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

DEMAM TYPHOID ................................................................................................ i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.2 Tujuan .............................................................................................................2


BAB 3 ................................................................................................................... 22

TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 22

BAB 4 ................................................................................................................... 40

PEMBAHASAN ................................................................................................... 40

4.1 Anamnesis ....................................................................................................40


4.2 Pemeriksaan Fisik .........................................................................................42
4.3 Pemeriksaan Penunjang ...................................................................................42
4.5 Penatalaksanaan ............................................................................................44
BAB 4 ................................................................................................................... 46

DAFTAR PUSTAKA ............................................ Error! Bookmark not defined.

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella
typhi. Salmonella Paratyphi A, B dan C juga dapat menyebabkan infeksi yang disebut
demam paratifoid. Demam tifoid dan paratifoid termasuk ke dalam demam enterik.
Demam enterik masih sering terjadi di negara berkembang, terutama pada daerah
endemik sekitar 90% dari demam enterik adalah demam tifoid. Demam tifoid endemis
di negara berkembang khususnya Asia Tenggara. Demam tifoid terjadi di seluruh
dunia, terutama Negara berkembang dengan sanitasi yang buruk. Menurut Badan
Kesehatan Dunia WHO, jumlah kasus demam tifoid di seluruh dunia mencapai 16-33
juta dengan 500-600 ribu kematian tiap tahunnya. Delapan puluh persen kasus tifoid di
dunia berasal dari Banglades, Cina, India, Indonesia, Laos, Nepal, Pakistan.
Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000 per tahun di Amerika Selatan dan
900/100.000 per tahun di Asia. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular
yang dapat terjadi pada anak maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan
terkena demam tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa.
Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19
tahun mencapai 91% kasus. (Nelwan, 2012; Soedarmo, Garna, Hadinegoro, & Satari,
2015)
Menurut laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi Kalimantan
Timur, kasus tifoid sebagian besar terdeteksi berdasarkan diagnosis oleh tenaga
kesehatan dengan prevalensi rata-rata 1,8%. Tifoid klinis tersebar di seluruh kelompok
umur dan terbanyak ditemukan pada kelompok umur antara 3 – 19 tahun, terendah pada
bayi dengan 0.6% dan relative lebih tinggi diwilayah perdesaan dibandingkan
perkotaan. Prevalensi tifoid ditemukan cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan
pendidikan rendah (RISKESDAS, 2009). Demam tifoid merupakan penyakit yang
hampir semua ditemukan terjadi pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan
yang rendah serta hygiene dan sanitasi yang buruk. Dalam beberapa penelitian yang

1
dilakukan di Indonesia, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan kebiasaan cuci
tangan sebelum makan, kebiasaan cuci tangan setelah BAB, kebiasaan jajan di pinggir
jalan, hygiene perorangan dan kualitas air bersih keluarga dengan kejadian demam
tifoid pada anak (Karim, Arsin, & Ansar, 2015; Seran, Palandeng, & Kallo, Mei 2015;
Nurlaila, Trisnawati, & Selviana, 2013).
Gejala klinis demam tifoid sangat luas sehingga selain ketajaman klinis,
diperlukan pemilihan pemeriksaan penunjang yang tepat. Pemeriksaan Widal yang
selama ini banyak digunakan dalam diagnosis demam tifoid, telah terbukti mempunyai
sensitifitas dan spesifisitas rendah, sehingga tidak lagi direkomendasikan. Pemeriksaan
kultur darah/ urin/ feses merupakan baku emas diagnosis tifoid, akan tetapi
memerlukan tenaga ahli, waktu dan biaya cukup besar. Saat ini, berbagai pemeriksaan
serologis demam tifoid terus berkembang sebagai alternatif diagnosis. Pemeriksaan
dapat dilakukan secara ELISA, rapid test, hemaglutinasi atau PCR menggunakan
spesimen darah, urin atau saliva. Masing-masing tes memiliki sensitivitas/ spesifisitas
berbeda dalam mendiagnosis demam tifoid. Selain itu pemberian antibiotik empiris
yang tepat pada pasien demam tifoid sangat penting, karena dapat mencegah
komplikasi dan mengurangi angka kematian (IDAI, 2016).

1.2 Tujuan
Penulisan tugas ini bertujuan untuk :
1) Menambah ilmu dan pengetahuan mengenai penyakit demam tifoid yang
dilaporkan.
2) Membandingkan informasi yang terdapat pada literatur dengan kenyataan yang
terdapat langsung pada kasus.
3) Mendiagnosa dengan cepat dan menyusun rencana tatalaksana yang tepat kepada
pasien.

2
BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
Identitas pasien I
Nama : An. MAS
Usia : 7 Tahun 6 Bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 25 Kg
Tinggi Badan : 133 cm
Anak ke : Pertama dari dua bersaudara
Agama : Islam
Alamat : Jl. Bayur pondok labu RT. 21 Sempaja Utara

Identitas pasien II
Nama : An. AP
Usia : 6 tahun 3 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 15 Kg
Tinggi Badan : 100 cm
Anak ke : Kedua dari dua bersaudara
Agama : Islam
Alamat : Jl. Bayur pondok labu RT. 21 Sempaja Utara

Identitas Orang Tua


Nama Ayah : Tn. S
Usia : 39 Tahun
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jl. Bayur pondok labu RT. 21 Sempaja Utara

3
Pendidikan terakhir : SD
Pernikahan ke : pertama

Nama Ibu : Ny. J


Usia : 39 tahun
Pekerjaan : IRT
Alamat : Jl. Bayur pondok labu RT. 21 Sempaja Utara
Pendidikan terakhir : SMA
Pernikahan ke : pertama

MRS Pasien I tanggal 10 Juli 2018, Pukul 20.20 WITA


MRS Pasien II tanggal 14 Juli 2018 Pukul 02.30 WITA

2.2 Anamnesa
Anamnesa dilakukan langsung terhadap kedua pasien pada tanggal 17 Juli
2018, di ruang Melati. Autoanamnesa oleh pasien dan heteroanamnesa oleh ibu
kandung pasien.

Pasien I
Keluhan Utama
Demam

Riwayat Penyakit Sekarang


 Pasien dibawa ke IGD RSUD Abdul Wahab Sjahranie oleh orang tuanya
karena demam hari ke 7 (mulai Selasa 3/7/18, siang). Demam biasanya muncul
saat sore dan malam hari dan mereda saat pagi hari. Ibu pasien mengatakan
demam mereda bila dikompres dan diberikan obat penurun panas, tetapi
keesokan harinya demam timbul lagi, serta suhunya lebih tinggi dari
sebelumnya. Saat demam pasien biasanya menggigil dan ada mengigau saat
tidur di malam hari. Demam disertai keluhan lain seperti mual, nyeri perut

4
terutama ulu hati, BAB kuning cair dengan ampas (+) lendir (-) darah (-) sejak
3 hari SMRS, BAK (+) normal, batuk (+) pilek (+) sejak 1 minggu SMRS,
perdarahan (-), dan nafsu makan menurun. Selain itu lidah pasien terlihat kotor
ditutupi oleh selaput putih ditengah lidah, ujung dan tepi lidah kemerahan.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Tidak ada riwayat penyakit terdahulu pada pasien

Riwayat Alergi
 Riwayat alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


 Adik pasien juga terdiagnosa dengan demam typhoid
 HT (-), DM (-), Asma (-)

Riwayat Kebiasaan
Sebelum sakit ibu pasien mengatakan kedua anaknya sering makan jajanan es
dan pentol di pinggir jalan, kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan sebelum
BAB kurang diperhatikan oleh Ibu pasien selama ini dan Ibu juga tidak pernah
menyuruh anaknya untuk mencuci tangan telebih dahulu sebelum makan dan BAB. Ibu
pasien juga mengatakan bahwa anaknya ketika pulang sekolah jarang makan masakan
di rumah namun sering membeli jajanan di warung. Kondisi rumah pasien memiliki
jamban terpisah dengan rumah yang terletak ± 10 meter di belakang rumah. Ibu pasien
mengaku selama ini memasak makanan sendiri dirumah, sayur dicuci terlebih dahulu,
dan mengkonsumsi air minum yang direbus sendiri. Sumber air berasal dari sumur Bor
yang terkadang bila hujan dapat keruh sehingga harus di endapkan terlebih dahulu. Air
tersebut juga biasa digunakan untuk memasak dan mencuci pakaian sehari-hari.Orang
tua pasien juga mengatakan bahwa lingkungan rumah sekitar dekat dengan tempat
penampungan sampah umum dengan jarak sekitar ± 50 meter.

5
Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Berat badan lahir : 3500 gram
Panjang badan lahir : OT lupa
Berat badan sekarang : 25 kg
Tinggi badan sekarang: 133 cm
Gigi keluar : OT lupa
Tersenyum : OT lupa
Miring : OT lupa
Tengkurap : OT lupa
Duduk : OT lupa
Merangkak : OT lupa
Berdiri : OT lupa
Berjalan : OT lupa
Berbicara : OT lupa
Makan dan Minum Anak
ASI : ASI hingga usia 2 bulan
Susu sapi : 2 bulan – 2 tahun
Makanan lunak : 6 bulan
Makan padat dan lauknya : 11 bulan

Pemeriksaan Prenatal
Periksa di : Klinik bidan
Penyakit kehamilan : Tidak ada
Obat-obat yang sering diminum : Tidak ada

Riwayat Kelahiran
Lahir di : Klinik bidan
Ditolong oleh : Bidan
Usia dalam kandungan : Aterm
Jenis partus : Spontan pervaginam

6
Keluarga Berencana
Keluarga Berencana : tidak ada

Jadwal Imunisasi
OT mengatakan anak divaksin rutin sesuai jadwal imunisasi
Imunisasi Usia saat imunisasi
I II III IV Booster Booster
I II
BCG 1 bulan - - - - -
Polio 1 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - -
Campak 9 bulan - - - - -
DPT 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
Hepatitis B 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - -

2.3 Pemeriksaan Fisik


Dilakukan pada tanggal 10 Juli 2018
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Berat Badan : 25 Kg
Panjang Badan : 133 cm
Tanda Vital : Tekanan Darah 100/60 mmHg
Nadi 98 x/menit
Pernafasan 28 x/menit
Temperatur axila 38o C
Kepala/leher
Rambut : Warna hitam, tebal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor,
diameter 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+), edema palpebra (-/-)
Hidung : Sekret hidung (-), pernafasan cuping hidung (-)

7
Mulut : Mukosa bibir tampak basah, sianosis (-), perdarahan (-), faring
hiperemis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thorax
Paru: Inspeksi : Tampak simetris, pergerakan simetris, retraksi
supra sternum (-), retraksi supraclavicula (-),
Palpasi : Pelebaran ICS (-), fremitus raba D=S
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, Ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung: Inspeksi :Ictus cordis tampak pada ICS 5 midclavicularis
sinistra
Palpasi :Ictus cordis teraba pada ICS 5 midclavicularis
sinistra
Perkusi : Normal pada batas jantung
Auskultasi : S1S2 kesan normal
Abdomen
Inspeksi : Cembung, scar (-)
Palpasi : Soefl, nyeri tekan epigastrium (+), organomegali (-), turgor
kembali cepat
Perkusi : Timpani, acites (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas
Ekstremitas superior : Akral hangat, pucat (-/-), edem (-/-)
Ekstremitas inferior : Akral hangat, pucat (-/-), edem (-/-)

8
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
a. Laboratorium 10 Juli 2018
Pemeriksaan yang Hasil yang Nilai Normal
dialkukan didapat
Leukosit 4.290/mm3 4.500 – 14.500/ mm3
Hemoglobin 10.4 g/dl 14,0 – 18,0 g/dl
Hematokrit 29.4 % 35,0 – 45,0%
Trombosit 70.000 / mm3 150.000 – 450.000/ mm3
MCV 68.1 fl 81.0 – 99.0 %
MCH 24 pg 27.0 – 31.0 pg
MCHC 35.3 g/dl 33.0 – 37.0 g/dl
Eritrosit 4.31 ul 3.90 – 5.90 ul

3 Diagnosis Kerja (IGD)


Prolong Fever + Trombositopenia Suspect Demam Thypoid

4 Penatalaksanaan IGD
1. IVFD DS ½ NS 20 tpm

2. Inj Ceftriaxone 625 mg/ 12 jam iv bolus

3. Paracetamol syr 3 x cth II

4. Cek DL Serial/ hari, IgG IgM anti dengue, IgG IgM salmonella, tubex

Lembar Follow Up
Tanggal Pemeriksaan Terapi
11 Juli 2018 S: demam↑↓, nyeri perut ulu hati A : Obs. Febris, DD
(perawatan H-1) (+), BAB cair (+), mengigau (+), 1. Demam Typhoid
2. DHF

9
mual (-), nafsu makan↓, batuk
(+) Planning pemeriksaan:
O: KU sedang, kesadaran cm, - DL, UL
akral hangat, anemis (-/-), lidah - Salmonella Typhi IgM
kotor (+), sariawan - Dengue Test IgM, IgG
TD: 110/90, N: 68x/menit, RR: - Widal
20x/menit, T: 37.7 oC - Tubex

Lab (11/07/18) jam 08.14 P : - IVFD RL


Hb: 10.9 g/dl 1600cc/24jam
Ht: 30.8% - Ceftriaxone inj 2 x 1gr/ IV
Leukosit: 6.570/ mm3 - Paracetamol inf 3 x
Trombosit: 70.000/ mm3 250mg/IV
MCV: 79.9 fl - Antasida 3 x ½tab PO
MCH: 26.6 pg - CTM 2,5mg dan
MCHC: 33.3 g/dl Ambroxol 12,5mg (pulv
3x1)
12 Juli 2018 S: demam↑↓, nyeri perut ulu hati A : Demam Typhoid
(perawatan H-2) (+), mengigau (+), mual (-), - ISPA
nafsu makan↓, batuk (+) P : - IVFD RL
O: KU sedang, kesadaran cm, 1600cc/24jam
akral hangat, anemis (-/-), lidah - Ceftriaxone inj 2 x 1gr/ IV
kotor (+), sariawan - Paracetamol inf 3 x
TD: 110/90, N: 70x/menit, RR: 250mg/IV
21x/menit, T: 37.8 oC - Ranitidin 2 x 50mg
- CTM 2,5mg dan
Lab (12/07/18) Ambroxol 12,5mg (pulv
Hb: 10.4 g/dl 3x1)
Ht: 29%

10
Leukosit: 6.200/ mm3
Trombosit: 117.000/ mm3
- Pemriksaan Urine Lengkap
DBN

Lab (12/07/18)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
IMUNO- SEROLOGI
Salmonella typhi – O (+) 1/320 Negatif
Salmonella typhi – H (+) 1/320 Negatif
Salmonella paratyphi A – O (+) 1/160 Negatif
Salmonella paratyphi A – H (+) 1/80 Negatif
Salmonella paratyphi B – O (+) 1/80 Negatif
Salmonella paratyphi B – H (+) 1/160 Negatif
Salmonella paratyphi C – O (+) 1/80 Negatif
Salmonella paratyphi C – H (+) 1/80 Negatif

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


IMUNO- SEROLOGI
Dengue Ig G Negatif Negatif
Dengue Ig M Negatif Negatif
Salmonella typhi Ig G Negatif Negatif
Salmonella typhi Ig M Positif Negatif
Tubex ( + ) Skala 6 0-2

Lembar Follow Up
Tanggal Pemeriksaan Terapi
13 Juli 2018 S: demam↑↓, mengigau (+), A : Demam Typhoid
(perawatan H-3) mual (-), nafsu makan↓, batuk - ISPA
(+), nyeri perut kanan atas (+)
P : - IVFD NS
1600cc/24jam

11
O: KU sedang, kesadaran cm, - Ceftriaxone inj 2 x 1gr/ IV
akral hangat, anemis (-/-), lidah - Paracetamol inf 3 x
kotor (+), sariawan 250mg/IV
TD: 110/90, N: 71x/menit, RR: - Ranitidin 2 x 50mg
23x/menit, T: 37.8 oC - CTM 2,5mg dan
Ambroxol 12,5mg (pulv
Lab (13/07/18) 3x1)
Hb: 9.6 g/dl
Ht: 26%
Leukosit: 4.900/ mm3
Trombosit: 118.000/ mm3
14 Juli 2018 S: demam↑↓, mual (-), nafsu A : Demam Typhoid
(perawatan H-4) makan minum (+), batuk (+) , - ISPA
nyeri perut kanan atas (+)
O: KU sedang, kesadaran cm, P : - IVFD RL
akral hangat, anemis (-/-), 1600cc/24jam
sariawan - Ceftriaxone inj 2 x 1gr/ IV
TD: 120/80, N: 70x/menit, RR: - Paracetamol inf 3 x
21x/menit, T: 36.6 oC 250mg/IV
- Ranitidin 2 x 50mg
- CTM 2,5mg dan
Lab (14/07/18) Ambroxol 12,5mg (pulv
Hb: 10.6 g/dl 3x1)
Ht: 28.3%
Leukosit: 5.370/ mm3
Trombosit: 113.000/ mm3

16 Juli 2018 S: demam(-), mual (-), nafsu A : - Demam Typhoid


(perawatan H-6) makan minum (+), batuk (-) , - ISPA

12
nyeri perut kanan atas (+)
berkurang P:
O: KU sedang, kesadaran cm, - Aff infus
akral hangat, anemis (-/-), - Ampicilin 2x 500 mg
sariawan
TD: 110/80, N: 77x/menit, RR:
22x/menit, T: 36.5 oC

17 Juli 2018 S: Tidak ada keluhan (-) A : - Demam Typhoid


(perawatan H-7) O: KU sedang, kesadaran cm, - ISPA
akral hangat, anemis (-/-),
sariawan P:
TD: 110/80, N: 77x/menit, RR: - Pasien boleh pulang
22x/menit, T: 36.5 oC

Pasien II
Keluhan Utama
Demam

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien dibawa ke IGD karena demam, hari ke 6 (mulai Minggu 8/7/18, siang),
demam biasanya pagi hari menurun, muncul saat sore dan malam hari, reda bila
dikompres dan diberikan obat penurun panas, tetapi keesokan harinya demam timbul
lagi, serta suhunya lebih tinggi dari sebelumnya. Saat demam pasien biasanya
menggigil, saat demam tinggi pasien juga ada mengigau terutama di malam hari.
Demam disertai keluhan batuk (+) pilek (+) sejak 6 hari SMRS, setelah demam pasien
banyak berkeringat, keluhan lain sesak (-), kejang (-). Demam disertai keluhan mual
dan nyeri perut sejak 3 hari SMRS, muntah (-), BAB cair dengan ampas (+), lendir

13
darah (-), perdarahan (-), BAK normal, dan nafsu makan menurun. Selain itu lidah
pasien terlihat kotor ditutupi oleh selaput putih ditengah, bagian ujun dan tepi lidah
kemerahan selain itu pasien juga mengeluhkan sariawan pada bibirnya.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Tidak ada riwayat penyakit terdahulu pada pasien

Riwayat Alergi
 Riwayat alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


 Kakak pasien juga terdiagnosa dengan demam typhoid
 HT (-), DM (-), Asma (-)

Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Berat badan lahir : 3500 gram
Panjang badan lahir : OT lupa
Berat badan sekarang : 15 kg
Tinggi badan sekarang: 100 cm
Gigi keluar : OT lupa
Tersenyum : OT lupa
Miring : OT lupa
Tengkurap : OT lupa
Duduk : OT lupa
Merangkak : OT lupa
Berdiri : OT lupa
Berjalan : OT lupa
Berbicara : OT lupa

14
Makan dan Minum Anak
ASI : ASI hingga usia 1 minggu
Susu sapi : Mulai usia 1 minggu hingga usia 2 tahun
Makanan lunak : Mulai usia 6 bulan
Makan padat dan lauknya : Mulai usia 12 bulan

Pemeriksaan Prenatal
Periksa di : Klinik bidan
Penyakit kehamilan : Tidak ada
Obat-obat yang sering diminum : Tidak ada

Riwayat Kelahiran
Lahir di : Klinik bidan
Ditolong oleh : Bidan
Usia dalam kandungan : Aterm
Jenis partus : Spontan pervaginam

Keluarga Berencana
Keluarga Berencana : tidak ada
Jadwal Imunisasi
OT mengatakan anak divaksin rutin sesuai jadwal imunisasi
Imunisasi Usia saat imunisasi
I II III IV Booster Booster
I II
BCG 1 bulan - - - - -
Polio 1 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - -
Campak 9 bulan - - - - -
DPT 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
Hepatitis B 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - -

15
2.3 Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal 14 Juli 2018
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Berat Badan : 15 Kg
Panjang Badan : 100 cm
Tanda Vital : Tekanan Darah 90/60 mmHg
Nadi 117 x/menit
Pernafasan 25 x/menit
Temperatur axila 36,4o C
Kepala/leher
Rambut : Warna hitam, tebal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor,
diameter 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+), edema palpebra (-/-)
Hidung : Sekret hidung (-), pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : Mukosa bibir tampak basah, sianosis (-), perdarahan (-), faring
hiperemis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thorax
Paru: Inspeksi : Tampak simetris, pergerakan simetris, retraksi
supra sternum (-), retraksi supraclavicula (-),
Palpasi : Pelebaran ICS (-), fremitus raba D=S
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, Ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung: Inspeksi :Ictus cordis tampak pada ICS 5 midclavicularis
sinistra
Palpasi :Ictus cordis teraba pada ICS 5 midclavicularis
sinistra
Perkusi : Normal pada batas jantung

16
Auskultasi : S1S2 kesan normal
Abdomen
Inspeksi : Cembung, scar (-)
Palpasi : Soefl, nyeri tekan epigastrium (+), organomegali (-), turgor
kembali cepat
Perkusi : Timpani, acites (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas
Ekstremitas superior : Akral hangat, pucat (-/-), edem (-/-)
Ekstremitas inferior : Akral hangat, pucat (-/-), edem (-/-)

4.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
b. Laboratorium 14 Juli 2018
Pemeriksaan yang Hasil yang Nilai Normal
dialkukan didapat
Leukosit 7.340/mm3 4.500 – 14.500/ mm3
Hemoglobin 9.0 g/dl 14,0 – 18,0 g/dl
Hematokrit 25.0 % 35,0 – 45,0%
Trombosit 174.000/ mm3 150.000 – 450.000/ mm3
MCV 74.8 fl 81.0 – 99.0 %
MCH 27.1 pg 27.0 – 31.0 pg
MCHC 36.2 g/dl 33.0 – 37.0 g/dl
Eritrosit 3.34 ul 3.90 – 5.90 ul
Natrium 130 mmol/L 135 – 155 mmol/L
Kalium 2.7 mmol/L 3.6 – 5.5 mmol/L
Chloride 90 mmol/L 98 – 108 mmol/L
Urinalisa
Berat Jenis 1.0005 1.003-1.300

17
Warna kuning kuning
Kejernihan Agak Keruh Jernih
pH 6.0 4.8-7.8
Leukosit 3-5 0-1
Eritrosit 5-10 0-1

5 Diagnosis Kerja (IGD)


Observasi Febris hari ke VI + hipokalemia + ISK

6 Penatalaksanaan IGD
1. IVFD KAEN 3B 1200 cc/ 24 jam

2. Inj Ceftriaxone 600 mg/ 12 jam iv bolus

3. Paracetamol syr 3 x 11⁄2 cth

4. Cek Tubex dan SE

Lembar Follow Up
Tanggal Pemeriksaan Terapi
14 Juli 2018 S: demam↑↓, batuk (+) pilek (+) A : Observasi Febris hari ke
(perawatan H-1) BAB cair (+) nyeri perut (+) VI + hipokalemia + susp.
O: KU sedang, kesadaran cm, Thypoid dd infeksi dengue +
akral hangat, anemis (-/-) susp ISK
TD: 90/60, N: 117x/menit, RR:
25x/menit, T: 36,4oC

Lab (14/7/18) P:
Leukosit: 7.340/mm3 - IVFD KAEN 3B 1200 ml/
Hb: 9.0 g/dl hari
Ht: 25.0 % - Inj Ceftriaxone 600mg/12j

18
MCV: 74.8 fl - Paracetamol syr 3 x 7,5 ml
MCH: 27.1 pg
- Oralit ad libitum
MCHC: 36.2 g/dl
Trombosit: 174.000 / mm3 - Diet lunak TKTP

Planning pemeriksaan:
Electrolyte
-Cek SE post koreksi
Na 130
- Kultur urine
K 2.7
- Anti Dengue IgG IgM
Cl 90
- Tubex

Urinalisis
Warna Kuning
Kejernihan agak keruh
pH 6.0
Leukosit 3-5
Eritrosit 5-10
16 Juli 2018 S: demam↑↓, batuk (+) pilek A : Demam thypoid + susp
(perawatan H-2) (+), mual (+), muntah (-) nyeri ISK
perut (+) BAB cair ampas (+)
O: KU sedang, kesadaran cm, P : IVFD D51⁄2 NS 1200
akral hangat, anemis (-/-) ml/ hari
TD: 90/70, N: 99x/menit, RR: - Inj Ceftriaxone 600mg/12j
o
27x/menit, T: 37 C
- Asparte 3 x 250 mg

Lab (16/7/18) - Paracetamol syr 3 x 11⁄2


Leukosit: 7.060/mm3 cth
Hb: 9.1 g/dl
Ht: 25.6 % - Ranitidine 2 x 30 mg po

MCV: 77.5 fl - Oralit ad libitum

19
MCH: 27.5 pg - Diet lunak TKTP
MCHC: 35.5g/dl
Trombosit: 194.000 / mm3

Kimia Klinik
Na 134
K 3.3
Cl 92

Imunoserologi
Dengue Ig G : negative
Dengue Ig M : negative
Tubex : (+) skala 6

Urinalisa
BJ 1.003
Warna Kuning
Kejernihan Jernih
Ph 7.0
Leukosit 0-1
Eritrosit 2-5
17 Juli 2018 S: demam↑↓, batuk (+) pilek (-), A : Demam Typhoid + susp
(perawatan H-3) mual (-), muntah (-) nyeri perut ISK
(-) BAB cair ampas (-)
O: KU sedang, kesadaran cm, P : IVFD D51⁄2 NS 1200
akral hangat, anemis (-/-) ml/ hari
TD: 90/60, N: 99x/menit, RR: - Inj Ceftriaxone 600mg/12j
o
24x/menit, T: 36.2 C
- Asparte 3 x 250 mg

20
- Paracetamol syr 3 x 11⁄2
cth

- Ranitidine 2 x 30 mg po

- Oralit ad libitum

- Diet lunak TKTP

18 Juli 2018 S: demam (-),batuk (-) pilek (-), A : Demam Typhoid


(perawatan H-4) mual (-), muntah (-) nyeri perut
(-) BAB cair ampas (-) P:
O: KU sedang, kesadaran cm, - aff infus
akral hangat, anemis (-/-) - Diet lunak TKTP
TD: 100/70, N: 97x/menit, RR:
24x/menit, T: 37oC

Hasil pemeriksaan kultur urine


(18/7/18) :
Tidak ada pertumbuhan
bakteri aerob dan jamur
19 Juli 2018 S: keluhan tidak ada (-) A : Demam thyfoid
(perawatan H-5) O: KU sedang, kesadaran cm,
akral hangat, anemis (-/-) P:
TD: 100/70, N: 97x/menit, RR: - Pasien boleh pulang
24x/menit, T: 37oC

21
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi dan Etiologi Demam Tifoid

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang
berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur
endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel
fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch.
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan
demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama
dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini biasanya
disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai
baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid (Soedarmo, Garna,
Hadinegoro, & Satari, 2015).

Bakteri Salmonella Typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak berspora,


motil, berflagel, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 370C,
bersifat fakultatif anaerob dan hidup subur pada media yang mengandung
empedu. Bakteri Salmonella Typhi memiliki beberapa komponen antigen antara
lain (Soedarmo, Garna, Hadinegoro, & Satari, 2015):
1) Antigen O (antigen somatik), terletak pada lapisan luar tubuh kuman. Bagian
ini mempunyai struktur lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin.
Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap
formaldehid.
2) Antigen H (antigen flagela), terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3) Antigen Vi, terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis.

22
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang disebut aglutinin
(Parry, Hien, Dougan, White, & Farrar, 2013).

Salmonella Typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan bagaian


terluar dari dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah dilepaskan,
lipopolisakarida dan lipid A. Antibodi O, H dan Vi akan membentuk antibodi
agglutinin di dalam tubuh. Sedangkan, Outer Membran Protein (OMP) pada
Salmonella Typhi merupakan bagian terluar yang terletak di luar membran
sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel dengan lingkungan
sekitarnya. OMP sebagain besar terdiri dari protein purin, berperan pada
patogenesis demam tifoid dan antigen yang penting dalam mekanisme respon
imun host (Parry, Hien, Dougan, White, & Farrar, 2013).

3.2 Epidemiologi
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi
masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-negara
subtropis pun prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih di negara
berkembang. WHO mencatat lebih dari 17 juta kasus demam tifoid terjadi di
seluruh dunia, dengan angka kematian mencapai 600.000, dan 90% dari angka
kematian tersebut terdapat di negara-negara Asia (WHO, 2010).
Indonesia merupakan salah satu negara dengan insidens demam tifoid,
dilaporkan 180,3 per 100,000 penduduk. Menurut laporan hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) Provinsi Kalimantan timur, kasus tifoid sebagian besar
terdeteksi berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan dengan prevalensi rata-
rata 1,8%. Tifoid klinis tersebar di seluruh kelompok umur dan terbanyak
ditemukan pada kelompok umur antara 3 – 19 tahun, terendah pada bayi dengan
0.6% dan relative lebih tinggi diwilayah perdesaan dibandingkan perkotaan.
Prevalensi tifoid ditemukan cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan
pendidikan rendah (RISKESDAS, 2009).

23
3.3 Patogenesis

Salmonella Typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia. Manusia yang


terinfeksi bakteri Salmonella Typhi dapat mengekskresikannya melalui sekret
saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu yang bervariasi. Patogenesis
demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism,
yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan
hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus
mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3)
bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang
meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan
air ke dalam lumen intestinal (Soedarmo, Garna, Hadinegoro, & Satari, 2015).

Jalur Masuknya Bakeri ke Dalam Tubuh


Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2)
banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang
biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk
dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja
meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria,
post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton
Pump Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan
ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman
akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang
melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke
lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-
sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam

24
makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel-
sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia
kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen
usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke
dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis
kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya
akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise,
mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan
mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak-anak gangguan mental ini
biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut-
turut.
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.

Peran Endotoksin
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan
otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel
di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti

25
gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi
makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika
untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang
dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang
tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis

Respons Imunologik
Pada demam tifoid terjadi respons imun humoral maupun selular baik di
tingkat local (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan teapi bagaimana
mekanisme imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan maupun eliminasi
terhadap Salmonella Thypii tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa
imunitas seluler lebih berperan. Penurunan jumlah limfosit T ditemukan pada
pasien sakit berat dengan demam tifoid. Karier memperlihatkan gangguan
reaktivitas seluler terhadap antigen Salmonella thypii pada uji hambatan migrasi
leukosit. Pada karier tifoid, sejumlah besar basilvirulen melewati usus tiap harinya
dan dikeluarkan dalam tinja tanpa memasuki epitel pejamu. (Soedarmo, Garna,
Hadinegoro, & Satari, 2015)

26
Gambar 3.1 Skema Patofisiologi Demam Tifoid

Cara Penularan dan Faktor-faktor yang Berperan


Basil Salmonella menular ke manusia melalui makanan dan minuman. Jadi
makanan atau minuman yang dikonsumsi manusia telah tercemar oleh komponen feses
atau urin dari pengidap tifoid.
Beberapa kondisi kehidupan manusia yang sangat berperan, pada penularan
adalah :
 Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak
terbiasa. Hal ini jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta pengasuh
anak
 Higiene makanan dan minuman yang rendah.

27
Faktor ini paling berperan pada penularan tifoid diantaranya :
o Makanan yang dicuci dengan air yang terkontaminasi (seperti sayur-
sayuran dan buah-buahan.
o Sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia
o Makanan yang tercemar dengan debu, sampah, dihinggapi lalat, air minum
yang tidak dimasak dan sebagainya
o Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran
dan sampah yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan
o Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai
o Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat
o Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna
o Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid (KEMENKES, 2008)

3.3 Manifestasi Klinis

Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata
antara 10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis
ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat hingga harus
dirawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur Salmonella, status nutrisi, dan
imunologik pejamu serta lama sakit dirumah.

Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.
Pada era pemakaian antibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada
kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart
yang ditandai dengan demam timbul insidious, kemudian naik secara bertahap setiap
harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam
akan bertahan tinggi dan pada minggu ke 4 demam turun perlahan secara lisis,
kecuali apabila terjadi focus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka
demam akan menetap. Banyak orang tua pasien demam tifoid melaporkan bahwa
demam lebih tinggi saat sore hari dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya.
Pada saat demam sudah tinggi, dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti

28
kesadaran berkabut atau delirium, atau penurunan kesadaran apatis sampai koma.

Gejala klinis demam tifoid pada bayi seringkali berupa gastroenteritis dan
sepsis. Bayi biasanya tertular dari ibu yang menderita demam tifoid. Pada kelompok
usia kurang dari 5 tahun, gejala yang muncul lebih ringan dan tidak spesifik, kadang
hanya berupa demam disertai gejala gastrointestinal, namun bila tidak terdiagnosis
dengan cepat, dapat mengalami penyulit yang berat. Pada kelompok usia diatas 5
tahun (usia sekolah), gejala klasik demam tifoid biasa dijumpai. Setelah seorang
terinfeksi S. Typhi, periode asimtomatik berlangsung 7 sampai 14 (kisaran 3-60) hari.

Onset bakteremia ditandai gejala demam dan malaise. Pasien umumnya


datang ke RS menjelang akhir minggu pertama, dengan gejala demam, gejala mirip
influenza, nyeri kepala, anoreksia, nausea, nyeri perut, radang tenggorokan, batuk
kering dan mialgia. Lidah tampak kotor dengan putih ditengah sedang tepi dan
ujungnya kemerahan, nyeri abdomen, diare, obstipasi, hepatomegali dan
splenomegali jarang ditemukan. Bradikardia relatif dan konstipasi juga dapat
ditemukan pada demam tifoid.

Rose spot berupa lesi makulopapular dengan diameter sekitar 1-5 mm


dilaporkan pada 5%-30% kasus, tetapi jarang ditemukan pada ras Asia. Ruam ini
muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2-3 hari. Pada kasus berat,
komplikasi yang bisa terjadi antara lain anikterik hepatitis, supresi sumsum tulang,
ileus paralitik, miokarditis, psikosis/ ensefalopati, kolesistitis, osteomyelitis,
peritonitis, pneumonia, hemolisis dan syndrome of inappropriate release of
antidiuretic hormone (SIADH) (Soedarmo, Garna, Hadinegoro, & Satari, 2015;
IDAI, 2016)

3.4 Penegakan Diagnosis

Anamnesis

- Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir
minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi

- Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala,

29
nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung

- Pada demam ifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang dan
icterus

Pemeriksaan Fisis

- Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi.
Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid
yaitu dibagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus,
hepatomegali lebih sering dijumpai daripada splenomegali (Soedarmo, Garna,
Hadinegoro, & Satari, 2015)

Pemeriksaan Penunjang

Darah tepi perifer:

- Anemia, pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe


atau perdarahan usus.

- Leukopenia, namun jarang kurang dari 3000/ul

- Limfositosis relatif

- Trombositopenia, terutama pada demam tifoid berat

Pemeriksaan serologi:

- Serologi Widal : kenaikan titer S.Thypi titer O 1:200 atau kenaikan 4 kali titer
fase akut ke fase konvalesens

- Kadar IgM dan IgG (Typhi-dot)

Pemeriksaan biakan Salmonela

- Biakan darah tertutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit

- Biakan sumsum tulang masil positif sampai minggu ke-4

Pemeriksaan Radiologik:

- Foto thoraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia

30
- Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti
perforasi usus atau perdarahan (Pudjiadi, 2009).

Menurut Rekomendasi IDAI mengenai Pemeriksaan Penunjang Diagnostik


Demam Tifoid : (IDAI, 2016)
a. Kultur
Sampai saat ini baku emas diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan kultur.
Pemilihan spesimen untuk kultur sebagai penunjang diagnosis pada demam minggu
pertama dan awal minggu kedua adalah darah, karena masih terjadi bakteremia. Hasil
kultur darah positif sekitar 40%-60%. Sedangkan pada minggu kedua dan ketiga
spesimen sebaiknya diambil dari kultur tinja (sensitivitas <50%) dan urin (sensitivitas
20-30%). Sampel biakan sumsum tulang lebih sensitif, sensitivitas pada minggu
pertama 90% namun invasif dan sulit dilakukan dalam praktek.
b. Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. Typhi hanya membutuhkan waktu
kurang dari 8 jam, dan memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga lebih unggul
dibanding pemeriksaan biakan darah biasa yang membutuhkan waktu 5–7 hari. In-
flagelin PCR terhadap S. Typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%.
Pemeriksaan nestedpolymerase chain reaction (PCR) menggunakan primer H1-d dapat
digunakanuntuk mengamplifikasi gen spesifik S. typhi dari darah pasien dan merupakan
pemeriksaan diagnostik cepat yang menjanjikan. Pemeriksaan nested PCR terhadap gen
flagelin (fliC) dari S. typhi dapat dideteksi dari spesimen urin 21/22 (95.5%), dikuti dari
spesimen darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22 (68,1%) Sampai saat ini, pemeriksaan PCR
di Indonesia masih terbatas dilakukan dalam penelitian.
c. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologis demam tifoid secara garis besar terbagi atas pemeriksaan
antibodi dan pemeriksaan antigen. Pemeriksaan antibodi paling sering dilakukan saat
ini, termasuk didalamnya adalah test Widal, test Hemagglutinin (HA), Countercurrent
immunoelectrophoresis (CIE), dan test cepat/ rapid test (Typhidot, TUBEX).
Sedangkan pemeriksaan antigen S. Typhii dapat dilakukan melalui pemeriksaan protein

31
antigen dan protein Vibaik menggunakan ELISA/ koaglutinasi namun sampai saat ini
masih dalam penelitian jumlah kecil.
1. Pemeriksaan serologis test cepat/ rapid test
Pemeriksaan serologis test cepat antibodi S. Typhi saat ini merupakan
diagnostik bantu yang paling banyak dilaporkan dan dikembangkan, mengingat
sebagian besar penderita demam tifoid adalah penduduk negara berkembang dengan
sarana laboratoriumnya terbatas. Alat diagnostik seperti Typhidot dan Tubex
mendeteksi antibodi IgM terhadap antigen spesifik outermembrane protein (OMP) dan
O9 lipopolisakarida dari S. Typhi. Telah banyakpenelitian yang membuktikan bahwa
pemeriksaan ini memiliki sensitivitas spesifisitas hampir 100% pada pasien demam
tifoid dengan biakan darah positif S. Typhi. Pemeriksaan antibodi IgM terhadap antigen
O9 lipopolisakarida S. Typhi (Tubex)R dan IgM terhadap S. Typhi (Typhidot)R
memiliki sensitivitas dan spesifisitas berkisar 70% dan 80%. Studi meta analisis di
2015 menunjukkan bahwa Tubex TF memiliki sensitivitas 69% dan spesifisitas 88%.
Rapid Diagnostic Test (RDT) Tubex dan Typhidot tidak direkomendasi sebagai uji
diagnosis cepat tunggal, pemeriksaan kultur darah dan teknik molekuler tetap
merupakan baku emas. Hari pemeriksaan terbaik adalah pada anak dengan demam ≥5
hari. Penelitian di Palembang (2014), menunjukan bahwa pemeriksaan Tubex-TF
untuk deteksi antibodi IgM S. Typhi pada anak demam hari ke-4 dengan nested PCR
positif S. Typhi mendapatkan sensitivitas 63% dan spesifisitas 69%, nilai duga positif
43% dan nilai duga negatif 83%, sehingga pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada anak
dengan demam < 5 hari.
Pemeriksaan serologi dengan nilai ≥ 6 dianggap sebagai positif kuat. Namun,
interpretasi hasil serologi yang positif harus berhati-hati pada kasus tersangka demam
tifoid yang tinggal di daerah endemis. IgM anti Salmonella dapat bertahan sampai 3
bulan dalam darah. Positif palsu pada pemeriksaan TUBEX bisa terjadi pada pasien
dengan infeksi SalmonellaEnteridis, sedangkan hasil negatif palsu didapatkan bila
pemeriksaan dilakukan terlalu cepat. Perkembangan ilmu pengetahuan dalam
pemeriksaan serologis demam tifoid masih terus berkembang, antara lain dari spesimen
urin dan saliva.

32
Tabel 1 memperlihatkan perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang untuk demam
tifoid. Tabel I. Perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang untuk demam tifoid.

Uji diagnostik Sensitivitas (%) Spesifisitas (%) Keterangan


Pemeriksaan mikrobiologi
Biakan darah 40-80 NA Baku emas, namun
sensitivitas rendah di daerah
endemis karena penggunaan
antibiotic yang tinggi,
sehingga spesifisitas sulit
diestemasi
Biakan sumsum 55-67 30 Sensitivitas tinggi, namun
tulang invasif dan terbatas
penggunaannya
Biakan urin 58 NA Sensitivitas bervariasi
Biakan tinja 30 NA Sensitivitas rendah di negara
berkembang dan tidak
digunakan secara rutin untuk
pemantauan
Diagnostik molekular
PCR 100 100 Menjanjikan,namun laporan
awal menunjukkan
sensitivitas mirip biakan
darah dan spesifisitas rendah
Nested PCR 100 100 Menjanjikan dan
menggantikan biakan darah
sebagai baku emas baru
Diagnostik serologi

33
Widal 47-77 50-92 Klasik dan murah. Hasil
bervariasi di daerah endemis,
perlu standardisasi dan
kualitas kontrol dari reagen
Typhidot 66-88 75-91 Sensitivitas lebih rendah dari
Typhidot-M
Typhidot-M 73-95 68-95 Sensitivitas dan spesifisitas
lebih tinggi
Tubex 65-88 63-89 Hasil menjanjikan dan harus
diuji ditingkat komunitas
Lainnya
Deteksi antigen urin 65-95 NA Data awal
NA = not available

2. Pemeriksaan Widal
Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H dari S.
Typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas
dan spesifisitas yang rendah, sehingga penggunaannya sebagai satu-satunya pemeriksaan
penunjang di daerah endemis dapat mengakibatkan overdiagnosis. Pada umumnya
antibodi O meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal penyakit.
Interpretasi pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-hati karena
dipengaruhi beberapa faktor yaitu stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik
laboratorium, endemisitas dan riwayat imunisasi demam tifoid. Sensitifitas dan spesifisitas
Widal rendah tergantung, kualitas antigen yang digunakan, bahkan dapat memberikan hasil
negatif hingga 30% dari sampel biakan positif demam tifoid.
Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 69%, spesifisitas 83%.17 Hasil
pemeriksaan Widal positif palsu dapat terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-
typhoidal Salmonella, infeksi bakteri enterobacteriaceae lain, infeksi dengue dan malaria,
riwayat imunisasi tifoid atau standardisasi reagen yang kurang baik. Hasil negatif palsu

34
dapat terjadi karena teknik pemeriksaan tidak benar, penggunaan antibiotik sebelumnya,
atau produksi antibodi tidak adekuat.
Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak mempunyai arti penting
dan sebaiknya dihindari. Diagnosis demam tifoid baru dapat ditegakkan jika pada ulangan
pemeriksaan Widal selang 1-2 minggu terdapat kenaikan titer agglutinin O sebesar 4 kali.
Uji Widal memiliki beberapa keterbatasan sehingga tidak dapat dipercaya sebagai uji
diagnostik tunggal.

D. Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Leukopeni sering dijumpai
namun bisa terjadi leukositosis pada keadaan adanya penyulit misalnya perforasi.
Trombositopenia dapat terjadi, namun bersifat reversibel. Anemia pada demam tifoid
dapat disebabkan depresi sumsum tulang dan perdarahan intra intestinal. Pada hitung
jenis dapat ditemukan aneosinofilia dan limfositosis relatif. Pada demam tifoid dapat
terjadi hepatitis tifosa ditandai peningkatan fungsi hati tanpa adanya penyebab hepatitis
yang lain.

3.5 Penatalaksanaan Demam Tifoid

Antibiotik
- Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgbb/hari, oral atau IV,dibagi dalam 4
dosis selama 10-14 hari
- Amoksisilin 100 mg/kgbb/hari, oral atau intravena, selama 10 hari
- Kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari, oral, selama 10 hari
- Seftriakson 80 mg/kgbb/hari, intravena atau intramuskular, sekali sehari, selama 5 hari
- Sefiksim 10 mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari
- Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran
Deksametason1-3mg/kgbb/hari intravena, dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik

Bedah
Tindakan bedah diperlukan pada penyulit perforasi usus

35
Suportif
- Demam tifoid ringan dapat dirawat di rumah
- Tirah baring
- Isolasi memadai
- Kebutuhan cairan dan kalori dicukupi

Indikasi rawat
Demam tifoid berat harus dirawat inap di rumah sakit.
- Cairan dan kalori
- Terutama pada demam tinggi, muntah, atau diare, bila perlu asupan cairan dan
kalori diberikan melalui sonde lambung
- Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5 kebutuhan
dengan kadar natrium rendah
- Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan
- Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik
- Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan O2
- Pelihara keadaan nutrisi
- Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit
- Antipiretik, diberikan apabila demam > 39°C, kecuali pada pasien dengan riwayat
kejang demam dapat diberikan lebih awal
- Diet
- Makanan tidak berserat dan mudah dicerna
- Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih padat dengan
kalori cukup
- Transfusi darah: kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan
perforasi usus

Pemantauan

Terapi
- Evaluasi demam dengan memonitor suhu.Apabila pada hari ke-4-5 setelah pengobatan

36
demam tidak reda, maka harus segera kembali dievaluasi adakah komplikasi, sumber
infeksi lain, resistensi S.typhi terhadap antibiotik, atau kemungkinan salah menegakkan
diagnosis.
- Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu
makan membaik, klinis perbaikan, dan tidak dijumpai komplikasi. Pengobatan dapat
dilanjutkan di rumah.

Penyulit
- Intraintestinal: perforasi usus atau perdarahan saluran cerna: suhu menurun, nyeri
abdomen, muntah, nyeri tekan pada palpasi, bising usus menurun sampai menghilang,
defance musculaire positif, dan pekak hati menghilang.
- Ekstraintestinal: tifoid ensefalopati, hepatitis tifosa, meningitis, pneumonia, syok septik,
pielonefritis, endokarditis, osteomielitis,

Antibiotik merupakan terapi utama pada demam tifoid, karena pada


dasarnya patogenesis infeksi Salmonella Typhi berhubungan dengan keadaan
bakterimia. Pemberian terapi antibiotik demam tifoid pada anak akan
mengurangi komplikasi dan angka kematian, memperpendek perjalan penyakit
serta memperbaiki gambaran klinis salah satunya terjadi penurunan
demam.2Namun demikian pemberian antibiotik dapat menimbulkan drug
induce fever, yaitu demam yang timbul bersamaan dengan pemberian terapi
antibiotik dengan catatan tidak ada penyebab demam yang lain seperti adanya
luka, rangsangan infeksi, trauma dan lain- lain. Demam akan hilang ketika terapi
antibiotik yang digunakan tersebut dihentikan.

1. Kloramfenikol

Kloramfenikol merupakan antibiotik lini pertama terapi demam tifoid


yang bersifat bakteriostatik namun pada konsentrasi tinggi dapat bersifat
bakterisid terhadap kuman- kuman tertentu serta berspektrum luas.Dapat
digunakan untuk terapi bakteri gram positif maupun negatif.Kloramfenikol

37
terikat pada ribosom subunit 50s serta menghambat sintesa bakteri sehingga
ikatan peptida tidak terbentuk pada proses sintesis protein
kuman.Sedangkan mekanisme resistensi antibiotik ini terjadi melalui
inaktivasi obat oleh asetil transferase yang diperantarai faktor-R.Masa paruh
eliminasinya pada bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam.Dosis
untuk terapi demam tifoid pada anak 50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-
4 dosis.Lama terapi 8-10 hari etelah suhu tubuh kembali normal atau 5-7
hari setelah suhu turun.Sedangkan dosis terapi untuk bayi 25-50 mg/kgBB.

2. Seftriakson

Seftriakson merupakan terapi lini kedua pada kasus demam tifoid dimana
bakteri Salmonella Typhi sudah resisten terhadap berbagai obat. Antibiotik
ini memiliki sifat bakterisid dan memiliki mekanisme kerja sama seperti
antibiotik betalaktam lainnya, yaitu menghambat sintesis dinding sel
mikroba, yang dihambat ialah reaksi transpeptidase dalam rangkaian reaksi
pembentukan dinding sel.Dosis terapi intravena untuk anak 50-100
mg/kg/jam dalam 2 dosis, sedangkan untuk bayi dosis tunggal 50
mg/kg/jam.

3. Ampisilin

Ampisilin memiliki mekanisme kerja menghambat pembentukan


mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba.Pada
mikroba yang sensitif, ampisilin akan menghasilkan efek bakterisid.Dosis
ampisilin tergantung dari beratnya penyakit, fungsi ginjal dan umur
pasien.Untuk anak dengan berat badan <20 kg diberikan per oral 50-100
mg/kgBB/hari dalam 4 dosis, IM 100-200 mg/kg/BB/hari dalam 4
dosis.Bayi yang berumur <7 hari diberi 50 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis,
sedangkan yang berumur >7 hari diberi 75 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis.

4. Kotrimoksasol

38
Kotrimoksasol merupakan antibiotik kombinasi antara trimetoprim dan
sulfametoksasol, dimana kombinasi ini memberikan efek
sinergis.Trimetoprim dan sulfametoksasol menghambat reaksi enzimatik
obligat pada mikroba.Sulfametoksasol menghambat masuknya molekul P-
Amino Benzoic Acid (PABA) ke dalam molekul asam folat, sedangkan
trimetoprim menghambat enzim dihidrofolat reduktase mikroba secara
selektif.Frekuensi terjadinya resistensi terhadap kotrimoksasol lebih rendah
daripada masing-masing obat, karena mikroba yang resisten terhadap salah
satu komponen antibiotik masih peka terhadap komponen lainnya.Dosis
yang dianjurkan untuk anak ialah trimetoprim 8 mg/kgBB/hari dan
sulfametoksasol 40 mg/kgBB/hari diberikan dalam 2 dosis.

5. Sefotaksim

Sefotaksim merupakan antibiotik yang sangat aktif terhadap berbagai


kuman gram positif maupun gram negatif aerobik.Obat ini termasuk dalam
antibiotik betalaktam, di mana memiliki mekanisme kerja menghambat
sintesis dinding sel mikroba.Mekanisme penghambatannya melalui reaksi
transpeptidase dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel.Dosis terapi
intravena yang dianjurkan untuk anak ialah 50 – 200 mg/kg/h dalam 4 – 6
dosis. Sedangkan untuk neonatus 100 mg/kg/h dalam 2 dosis. (Soedarmo,
Garna, Hadinegoro, & Satari, 2015)

39
BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Anamnesis
 Pasien I : Pasien dibawa ke IGD RSUD Abdul Wahab Sjahranie oleh orang
tuanya karena demam hari ke 7 (mulai Selasa 3/7/18, siang). Demam
dirasakan sudah ± 1 minggu SMRS. Demam biasanya muncul saat sore dan
malam hari dan mereda saat pagi hari. Ibu pasien mengatakan demam
mereda bila dikompres dan diberikan obat penurun panas, tetapi keesokan
harinya demam timbul lagi, serta suhunya lebih tinggi dari sebelumnya. Saat
demam pasien biasanya menggigil dan ada mengigau saat tidur di malam
hari. Demam disertai keluhan lain seperti mual, nyeri perut terutama ulu
hati, BAB kuning cair dengan ampas (+) lendir (-) darah (-) sejak 3 hari
SMRS, BAK (+) normal, batuk (+) pilek (+) sejak 1 minggu SMRS,
perdarahan (-), dan nafsu makan menurun. Selain itu lidah pasien terlihat
kotor ditutupi oleh selaput putih ditengah lidah, ujung dan tepi lidah
kemerahan.
 Pasien II : Pasien dibawa ke IGD karena demam, hari ke 6 (mulai Minggu
8/7/18, siang), demam biasanya pagi hari menurun, muncul saat sore dan
malam hari, reda bila dikompres dan diberikan obat penurun panas, tetapi
keesokan harinya demam timbul lagi, serta suhunya lebih tinggi dari
sebelumnya. Saat demam pasien biasanya menggigil, saat demam tinggi
pasien juga ada mengigau terutama di malam hari. Demam disertai keluhan
batuk (+) pilek (+) sejak 6 hari SMRS, setelah demam pasien banyak
berkeringat, keluhan lain sesak (-), kejang (-). Demam disertai keluhan mual
dan nyeri perut sejak 3 hari SMRS, muntah (-), BAB cair dengan ampas (+),
lendir darah (-), perdarahan (-), BAK normal, dan nafsu makan menurun.
Selain itu lidah pasien terlihat kotor ditutupi oleh selaput putih ditengah,
bagian ujun dan tepi lidah kemerahan selain itu pasien juga mengeluhkan
sariawan pada bibirnya.

40
Teori Kasus
Pasien I
- Demam naik secara bertahap tiap hari,
Demam hari ke-7,
mencapai suhu tertinggi pada akhir
-Demam biasanya muncul saat sore dan malam
minggu pertama, minggu kedua
hari dan mereda saat pagi hari
demam terus menerus tinggi
-Saat demam pasien biasanya menggigil dan ada
- Anak sering mengigau (delirium),
mengigau saat tidur di malam hari.
malaise, letargi, anoreksia, nyeri
-mual, nyeri perut terutama ulu hati, BAB kuning
kepala, nyeri perut, diare atau
cair dengan ampas (+) lendir (-) darah (-) sejak 3
konstipasi, muntah, perut kembung
hari SMRS, BAK (+) normal, batuk (+) pilek (+)
- Pada demam tifoid berat dapat
sejak 1 minggu SMRS, perdarahan (-), dan nafsu
dijumpai penurunan kesadaran,
makan menurun. Selain itu lidah pasien terlihat
kejang, dan ikterus
kotor ditutupi oleh selaput putih ditengah lidah,
- Selain gejala – gejala yang disebutkan
ujung dan tepi lidah kemerahan.
diatas, pada penelitian sebelumnya
juga didapatkan gejala yang lainnya
Pasien II
seperti sakit kepala, batuk, lemah dan
-demam, hari ke 6
tidak nafsu makan.
-demam biasanya pagi hari menurun, muncul saat
sore dan malam hari
-Saat demam pasien biasanya menggigil, ada
mengigau terutama di malam hari.
- batuk (+) pilek (+) sejak 6 hari SMRS pasien
banyak berkeringat, mual dan nyeri perut sejak 3
hari SMRS, muntah (-), BAB cair dengan ampas
(+), lendir darah (-), perdarahan (-), BAK normal,
dan nafsu makan menurun. Selain itu lidah pasien
terlihat kotor ditutupi oleh selaput putih ditengah,
bagian ujun dan tepi lidah kemerahan selain itu
pasien juga mengeluhkan sariawan pada bibirnya.

41
4.2 Pemeriksaan Fisik
Teori Kasus
- Tanda klinis yang didapatkan pada anak dengan Pasien I
demam tifoid antara lain adalah pembesaran  Hepatomegali (-),
beberapa organ yang disertai dengan nyeri splenomegaly (-)
perabaan, antara lain hepatomegali dan  Nyeri tekan pada perut (+)
splenomegali.  Kesadaran : composmentis
- Penderita demam tifoid dapat disertai dengan atau Pasien II
tanpa gangguan kesadaran.  Hepatomegali (-),
- Pada punggung dan anggota gerak dapat splenomegaly (-)
ditemukan roseola, yaitu bintik kemerahan karena  Nyeri tekan pada perut (+)
emboli dalam kapiler kulit.  Kesadaran : composmentis
- Kadang-kadang ditemukan ensefalopati, relatif
bradikardi dan epistaksis pada anak usia > 5 tahun

4.3 Pemeriksaan Penunjang


Teori Kasus
Pasien I :
Darah Lengkap:
Uji serologis widal Hb: 10.9 g/dl
Ht: 30.8%
- Uji ini merupakan suatu metode serologik yang
Leukosit: 6.570/ mm3
memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen
Trombosit: 70.000/ mm3
somatik (O).
MCV: 79.9 fl
- Titer yang bernilai > 1/200 dan
atau MCH: 26.6 pg
menunjukkan kenaikan 4 kali, maka diagnosis MCHC: 33.3 g/dl
demam tifoid dapat ditegakkan.Titer tersebut
mencapai puncaknya bersamaan dengan Pemeriksaan Widal:
penyembuhan penderita. Salmonella typhi – O (+) 1/320

42
Salmonella typhi – H
- Uji serologis ini mempunyai berbagai kelemahan
Salmonella paratyphi A – O (+)
baik sensitivitas maupun spesifisitasnya yang 1/160
rendah dan intepretasi yang sulit dilakukan.
Salmonella paratyphi A – H
Namun, hasil uji widal yang positif akan
Salmonella paratyphi B – O
memperkuat dugaan pada penderita demam Salmonella paratyphi B – H
tifoid. Salmonella paratyphi C – O
Salmonella paratyphi C-H
Darah tepi perifer:
Imunoserologi
- Anemia, pada umumnya terjadi karena Dengue Ig G Negatif
supresi sumsum tulang, defisiensi Fe atau Dengue Ig M Negatif
perdarahan usus. Salmonella typhi Ig G Negatif
Salmonella typhi Ig M Positif
- Leukopenia, namun jarang kurang dari
3000/ul
Tubex ( + ) Skala 6
- Limfositosis relatif

- Trombositopenia, terutama pada demam Pasien II :


tifoid berat
Darah lengkap
- Leukosit: 7.060/mm3
Pemeriksaan serologis test cepat/ rapid test
Hb: 9.1 g/dl
Pemeriksaan serologis test cepat antibodi S. Ht: 25.6 %
Typhi saat ini merupakan diagnostik bantu yang MCV: 77.5 fl
paling banyak dilaporkan dan dikembangkan,. MCH: 27.5 pg
Alat diagnostik seperti Typhidot dan Tubex MCHC: 35.5g/dl
mendeteksi antibodi IgM terhadap antigen Trombosit: 194.000 / mm3
spesifik outermembrane protein (OMP) dan O9
lipopolisakarida dari S. Typhi. Pemeriksaan Kimia Klinik
serologi dengan nilai ≥ 6 dianggap sebagai Na 134
positif kuat. K 3.3
Cl 92

Imunoserologi
Dengue Ig G : negative
Dengue Ig M : negative

43
Tubex : (+) skala 6

4.5 Penatalaksanaan
Teori Kasus

Antibiotik Pasien I

- Kloramfenikol (drug of choice) 50- 1. IVFD DS ½ NS 20 tpm

100 mg/kgbb/hari, oral atau IV, 2. Inj Ceftriaxone 625 mg/ 12 jam

dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 iv bolus

hari 3. Paracetamol syr 3 x cth II

- Amoksisilin 100 mg/kgbb/hari,


4. Cek DL Serial/ hari, IgG IgM
oral atau intravena, selama 10 hari
anti dengue, IgG IgM salmonella,
- Kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari,
tubex
oral, selama 10 hari
- Seftriakson 80 mg/kgbb/hari, intravena
atau intramuskular, sekali sehari, selama 5
hari Pasien II

- Sefiksim 10 mg/kgbb/hari, oral, 1. IVFD KAEN 3B 1200 cc/ 24

dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari jam

- Kortikosteroid diberikan pada


2. Inj Ceftriaxone 600 mg/ 12
kasus berat dengan gangguan
jam iv bolus
kesadaran Deksametason1-
3mg/kgbb/hari intravena, dibagi 3 3. Paracetamol syr 3 x 11⁄2 cth
dosis hingga kesadaran membaik
4. Cek Tubex dan SE

Bedah

Tindakan bedah diperlukan pada


penyulit perforasi usus

44
Suportif

- Demam tifoid ringan dapat


dirawat di rumah
- Tirah baring
- Isolasi memadai
- Kebutuhan cairan dan kalori
dicukupi
-

45
BAB 4
KESIMPULAN

Telah dilakukan pemeriksaan pada kedua pasien laki-laki usia 7 tahun dan
perempuan usia 6 tahun yang didiagnosis dengan Demam Typhoid, dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang didapatkan penegakkan
diagnosis dan penatalaksanaan yang telah dilakukan sebagian besar sesuai dengan
literatur yang mendukung pada kasus tersebut.

46
DAFTAR PUSTAKA

Hadinegoro, S. R., Moedjito, I., & Chairulfatah, A. (2014). Pedoman Diagnosis


dan Tatalaksana Infeksi VIrus Dengue Pada Anak. Jakarta: UKK Infeksi
dan Penyakit Tropis Ikatan Dokter Indonesia.
IDAI. (2016). Rekomendasi IDAI mengenai Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
Demam Tifoid. REKOMENDASI No.018/Rek/PP IDAI/VII/2016.
Karim, Z., Arsin, A. A., & Ansar, J. (2015). Hubungan personal hygiene dengan
kejadian demam tifoid pada anak di puskesmas galut. Departemen
Epidemiologi Universitas Hasanuddin.
KEMENKES. (2008). Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia NOMOR 364/MENKES/SK/V/2008.
Nelwan, R. (2012). Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Cermin Dunia
Kedokteran, 39(4), 247-250.
Nurlaila, S., Trisnawati, E., & Selviana. (2013). Faktor-faktor yang berhubungan
dengan demam thypoid pada pasien yang dirawat di RSU Dr Soedarso
Pontianak. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Ponianak.
Parry, M., Hien, T., Dougan, G., White, N., & Farrar, J. (2013). A Review of
Thypoid Fever. New England Journal of Medicine, 1770-1782.
Pudjiadi, A. H. (2009). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: IDAI.
RISKESDAS. (2009). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
Provinsi Kalimantan Timur. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Seran, E., Palandeng, H., & Kallo, V. (Mei 2015). Hubungan personal hygienen
dengan kejadian demam tifoid di wilayah kerja puskesmas tumaratas.
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi.
Soedarmo, S. S., Garna, H., Hadinegoro, S. R., & Satari, H. I. (2015). Buku Ajar
Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
WHO. (2010). Background document: The diagnosis, treatment and prevention of
thypoid fever. World Health Organization, 17-18.

47
48

Anda mungkin juga menyukai