Anda di halaman 1dari 16

Asas Kejelasan Rumusan dalam RUUPK

RANCANGAN UNDNG UNDANG PRATIK KEPERAWATAN DARI ASPEK


KEJELASAN RUMUSAN.

Tulisan ini merupakan penggalan dari hasil kajian/penelitian tentang RUU Praktik
Keperawatan dalam Perspektif UU NO: 10 tahun2004, yang saya laksanakan dalam rangka
penyelesaian tugas akhir, barangkali ada manfaat bagi pembaca.

1. Asas Kejelasan Rumusan.

Pasal 5 Undang Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, huruf “e” yaitu Yang dimaksud dengan asas “kejelasan rumusan” adalah bahwa
setiap Peraturan Perundang undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan
Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa
hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya.

Secara teknis, penyusunan Rancangan Undang Undang Praktik Perawat harus mengikuti
pedoman teknis yang telah diatur dalam ayat (2) Pasal 44 Undang-Undang No. 10, tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan:

Ayat (2)

Ketentuan mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang
Undang ini. [1]

Untuk pembahasan lebih lanjut tentang teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan,


sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah
dimengerti, dalam pembahasan Rancangan Undang Undang Praktik Keperawatan
dikelompokan berdasarkan kerangka peraturan perundang-undangan, yaitu dikelompokan
kedalam kelompok judul, pembukaan dan batang tubuh dan penutup.

Teknis pembahasan Rancnagan Undang Undang Praktik Keperawatan dari kejelasan


rumusan, akan dilakukan secara simultan. Pembahasan satu topik tertentu akan ditinjau dari
teknik penyusunannya, pilihan kata atau terminologinya serta bahasa yang digunankannya
dan dibahas berurutan sebagai berikut:

1. Judul.

Judul perundang-undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun perundangan


atau penetapan dan nama Peraturan Perundang-undangan, disususun singkat yang dapat
mencerminkan isi Perundang-undangan dan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang
diletakan ditangah margin tanpa diakhiri dengan tanda baca. Dalam Rancangan Undang
Undang Praktik Keperawatan disusun sebagai berikut:

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR………………………………….

TENTANG

PRAKTIK KEPERAWATAN
Dari teknis penulisannya, judul Rancangan Undang Undang Praktik Keperawatan tersebut
telah memenuhi syarat, namun dari penggunaan pilihan kata atau terminologinya perlu
dibahas yaitu pada penggunaan kata Praktik Keperawatan dalam Rancangan Undang
Undang tersebut.

Penggunaan kata “Praktik Keperawatan” dalam Rancangan Undang Undang Praktik


Keperawatan menurut peneliti perlu dibahas lebih dalam sebagaimana telah disinggung secara
singkat dibagian depan, dengan alasan, pertama, istilah ini menjadi kata kunci dalam
Rancangan Undang – undang ini, yang menjadi obyek sekaligus subyek dan akan banyak
digunakan dalam setiap pembahasan, kedua, istilah Keperawatan mempunyai makna ganda,
yaitu dari sisi pengetahuan dan dari sisi Peraturan Perundang-undangan.

Dari sisi pengetahuan, Keperawatan merupakan ilmu yang mandiri, ilmu yang mempunyai
obyek yang berbeda dengan ilmu lain, dapat dikembangkan, memiliki metode pemecahan
masalah tersendiri yang dirangkum dalam sebuah definisi sebagaimana , yaitu:

Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses
kehidupan manusia. [2]

Demikian juga bagi bidan, dalam melaksanakan profesinya didasarkan pada ilmu kebidanan,
ilmu yang mandiri seperti halnya ilmu keperawatan.

Selanjutnya ditinjau dari Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana tercantum pada ayat


(3) Pasal 2, Peraturan Pemerintan Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, menyatakan
Tenaga Keperawatan terdiri dari Perawat dan Bidan. Hal ini menunjukan bahwa dalam
Keperawatan terdapat dua profesi, yaitu profesi perawat dan bidan. Jika dalam rancangan
Rancangan Undang Undang ini menggunakan istilah “Praktik Keperawatan”, dengan
demikian dapat diasumsikan Rancangan Undang Undang Praktik keperawatan ini untuk
Profesi Perawat maupun Profesi Bidan. Padahal pada kenyataannya Rancnagan Uundang
Undang Praktik Keperawatan sama sekali tidak menyentuh tentang Praktik Bidan.

Mengacu pada uraian tersebut untuk kepentingan Perundang-undangan yang berlaku maka
penggunaan terminologi / kata Rancnagan Undang Undang Praktik Keperawatan adalah
tidak tepat dan yang tepat digunakan kalimat Rancangan Undang Undang Praktik Perawat.

Namun demikian kalau tetap menggunakan kata Keperawatan dengan alasan kata tersebut
diambil dari ilmu yang mendasari, maka untuk menghindari kerancuan pelaksanaan
Peraturan perundang-undangan, harus dirubah dulu Pasal 2 ayat (1), Peraturan Pemerintah
No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan menjadi:

(1). Tenaga kesehatan terdiri dari:

a. …

b. tenaga perawat

c. tenaga bidan

d. …dst,

sehingga ayat (3) tidak ada lagi yang menyebutkan tenaga keperawatan terdiri dari perawat
dan bidan.
1. Pembukaan.

Dalam sistematika teknis penyusunan Peraturan Perundang -undangan yang merupakan


bagian tak terpisahkan dari Undang Udang No. 10 Tahun 2004, memuat aturan pokok yang
harus diikuti, termasuk dalam kelompok pembukaan terdiri atas lima bagian:

1) Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa.

Pada pembukaan tiap jenis Peraturan Perundang – Undangan sebelum nama jabatan
pembentuk Peraturan Perundang-Undangan tercantum frase DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.

2) Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang- udangan.

Jabatan pembentuk Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital


yang diletakan di tengah margin dan diakhiri dengan tanda baca koma. Dalam Rancangan
Undang Undang Praktik Keperawatan masih belum lengkap sesuai dengan ketentuan, yaitu
pada pemberian tanda baca koma (,)

3) Konsideran

Konsideran diawali dengan kata menimbang, memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran
yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Prundang – Undangan yang
dalam penulisannya diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma ( ;
).Ketentuan tersebut dalam Rancnagan Undang Undang Praktik Keperawatan tersebut telah
memuat kata “menimbang”,

4) Pokok pikiran.

Di dalam konsideran memuat 6 pokok pikiran, mengandung satu kesatuan pengertian


pentingnya peraturan perundang-undangan tentang Praktik Keperawatan dalam ikut
membangun masyarakat yang sehat.

a) Pokok pikiran pertama dan kedua merupakan unsur filosofis bahwa untuk mencapai
salah satu indikator kesejahteraan umum, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan
Undang Undang Dasar 1945, harus ditumbuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup
sehat bagi seluruh masyarakat yang diselenggarakan melalui upaya kesehatan. Dari pokok
pikiran pertama makna yang terkadung didalamnya adalah bahwa Pancasila merupakan
Norma Fundamental Negara yang merupakan norma hukum tertinggi[3]. Selanjutnya
dijelaskan pula bahwa Pancasila sebagai Norma Fundamental Negara dan sekaligus sebagai
cita hukum merupakan sumber dan dasar serta pedoman bagi Batang Tubuh Undang Undang
Dasar 1945 sebagai Aturan Dasar Negara / Aturan Pokok Negara serta peraturan perundang-
undangan lainnya. Sebagai norma hukum menurut D.W.P. Reuter dalam Maria Farida Indrati
S (2007), sifat norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa perintah;
larangan; pengijinan dan pembebasan. Dengan konsideran yang berisi pokok-pokok pikiran
tersebut menunjukan bahwa rumusan Rancangan Undang Undang Praktik Keperawatan
dalam menyusun isi / materi muatan rancangan selalu berpedoman pada Norma Fundamental
Negara, yaitu Pancasila.

b) Pokok pikiran ketiga, merupakan unsur sosiologis, mengandung pengertian bahwa


dalam menyelenggarakan upaya kesehatan yang salah satu pelaksananya adalah perawat
harus dilandasi oleh kaidah etik, nilai-nilai moral dan dilandasi oleh standart profesi.
Implementasi upaya kesehatan tersebut dilaksanakan dengan kemampuan bertindak yang
diukur melalui standar kompetensi sebagai ukuran salah atau benar dan untuk mengetaui
kaidah nilai dan norma dalam berinteraksi, digunakan untuk menilai baik atau buruk, yang
dibingkai dalam sebuah ukuran yang disebut dengan kode etik profesi.

c) Pokok pikiran ke- empat, lima dan enam merupakan pokok pikiran perlunya
kepastian dan perlindungan hukum akibat munculnya kewenangan, hak dan kewajiban, baik
bagi pasien sebagai penerima jasa pelayanan maupun perawat dalam menjalankan tugas
profesi. Khusus untuk pokok pikiran ke-lima yang dinyatakan dalam kalimat:

Bahwa penyelenggaraan pratik keperawatan dan penyelesaian masalah yang timbul dalam
penyelenggaraan praktik keperawatan perlu keterlibatan profesi.

Pokok pikiran ini sangat teknis dan merupakan bagian dari upaya penyelesaian hukum dan ini
sudah merupakan bagian dari pokok pikiran ke-enam. Disamping itu dalam penyelesaian
masalah hukum sebenarnya tidak hanya keterlibatan profesi tetapi juga keluarga, lembaga
terkait lainnya, sehingga untuk kepentingan ini sudah tercakup dalam pokok pikiran ke-enam.

Dalam memberikan tanda baca tidak semua uraian pokok pikiran mengacu pada sistematika
pembuatan rancangan perundang-undangan seberti yang digariskan nomer urut 21, Undang
Undang No. 10 Tahun 2004, yang menyatakan:

Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjat dan dirumuskan dalam satu kalimat yang
diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma ( ; ).

Penggunaan kata Praktik Keperawatan, jika mengacu pada hasil bahasan tentang judul
Rancangan Undang-undang, maka kata Praktik Keperawatan yang tercantum dalam pokok
pikiran ke-tiga, ke-empat, kelima dan keenam perlu disesuaikan menjadi Praktik Perawat.

5) Terminologi dan susunan kalimat dan bahasa.

Dilihat dari sisi terminologi dan susunan bahasa pada pokok pikiran pertama dan pokok
pikiran ke-dua menurut peneliti dapat digabung menjadi satu, dengan pertimbangan: Isi yang
terkadung dalam pokok pikiran pertama memuat tujuan pembangunan kesehatan, pokok
pikiran ke-dua beirisi tindakan yang perlu dilakukan, yaitu dengan upaya-upaya kesehatan.

Disamping itu dari terminologinya pokok pikiran tersebut mengandung beberapa pemahaman:

a) Pemahaman sebagai Hak Asasi Manusia.

Dari susunan kalimat bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia, tidak tepat
penempatannya. Sebab kalau demikian antara pokok pikiran pertama dan pokok pikiran kedua
tidak menjadi satu kesatuan pengertian. Bukan berarti hak asasi manusia tidak penting,
namum dalam kontek ini Hak Asasi Manusia telah diatur tersendiri melalui Undang Undang
No: 39, Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

b) Kalimat ”harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada
seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan
terjangkau”. Kalimat tersebut tidak sesuai dengan konsideran Undang Undang No. 23 Tahun
1992 yang runtut yang mengandung pokok pikiran pertama bahwa kesehatan sebagai unsur
kesejahteraan umum, sebagaimana termuat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945, bahwa pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi
derajat kesehatan, sebagagaimana tujuan pembangunan kesehatan di Indonesia dan
dilanjutkan pokok pikiran bahwa diperlukan upaya kesehatan yang menyeluruh dan terpadu
tidak terbatas pada kualitasnya dan keterjangkauannya saja.
c) Selanjutnya tentang penggalan kalimat …penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang
berkualitas dan terjangkau…,pertanyaan yang muncul, apakah pembangunan kesehatan hanya
diperlukan itu, bagaimana dengan unsur lainnya, sehingga kalimat tersebut tidak mewakili
seluruh kebutuhan pembangunan kesehatan, bagaimana dengan unsur ke-komprehensifan-
nya, bagaimana dengan keterpaduannya.

6) Dasar Hukum.

Pengertian dasar hukum dalam pembuatan rancangan undang-undang sebagaimana


Sistematika Teknik Penyusunan Peraturan Perunddang-undangan Undang Undang No. 10
Tahun 2004, dijelaskan:

No: 26.Dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-undangan


dan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan Peraturan Perundang-
undangan tersebut.

No: 27.Peraturan Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan
Perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.

Dalam Rancangan Undang Undang Praktik Keperawatan ini menggunakan dasar hukum :

a) Undang Undang Dasar tahun 1945 Pasal 20 dan Pasal 21 ayat (1). Penggunaan dasar
hukum Undang Undang Dasar tahun 1945 dalam penyusunan Rancangan Undang-undang
Praktik Keperawatan ini sudah sesuai dengan ketentuan Sistematika teknik Penyusunan
Peraturan Perundang-undangan no: 27 sebagaimana tersebut diatas. Jika ditelusuri melalui
pasal-pasal yang ada dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,
pasal yang digunakan tersebut masih merupakan pasal dalam Undang Undang Dasar tahun
1945 sebelum amandement, sebab dalam Pasal 21 setelah amandemen tidak memiliki ayat
sebagaimana tertulis dalam Dasar Hukum pembuatan Rancangan Undang Undang Praktik
Keperawatan ini. Dari sisi isi materi Pasal 20 dan Pasal 21 Undang Undang Dasar Tahun
1945, baik sebelum maupun sesudah amandemen berisikan tentang hak dan kewajiban serta
tata cara atau mekanisme yang berhubungan dengan kewenangan penyusunan Peraturan
Perundang-undangan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden
Republik Indonesia.

b) Undang Undang No: 23 Tahun 1992, Tentang Kesehatan. Ketentuan yang digariskan
oleh Undang Undang No. 10 Tahun 2004, sebagaimana Sistematika Teknik Penyusunan
Peraturan Perundang – undangan No. 27 diatas, penggunaan dasar hukum Undang Undang
No. 23 tahun 1992 adalah tepat. Dan tidak mencantumkan secara spesifik pasal-pasal yang
digunakan sesuai dengan Undang Undang No. 10 Tahun 2004, tentang Sistematika Teknik
Penyususnan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan:

No. 31.Dasar hukum yang bukan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 tidak perlu
mencantumkan pasal, tetapi cukum mencantumkan nama judul Peraturan Perundang-
undangan.

Jika dihubungkan penggunaan dasar hukum sebagaimana dikendaki dalam Sistematika


Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, dengan Peraturan Perundang-undangan
yang memerintahkan pembuatan Peraturan Perundang-undangan tentang Praktik
Keperawatan, baik dalam Undang Undang Dasar 1945 maupun dalam Undang Undang No.
23 Tahun 1992, tidak ada pasal ataupun ayat dalam Peraturan Perundang –undangan tersebut
yang nyata-nyata tertulis memerintahkan untuk itu.

7) Diktum.
Diktum terdiri atas: kata Memutuskan; kata Menetapkan; dan nama Peraturan Perundang-
undangan. Pada Undang Undang, sebelum kata Memutuskan dicantumkan frase Dengan
Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAR REPUBLIK INDONESIA dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA yang diletakan ditengah margin dan penulisan
lengkap.

Kemudian ditinjau dari pilihan kata dalam kalimat Undang-undang Praktik Keperawatan,
untuk kata Keperawatan, sesuai dengan uraian yang telah dibahas sebagaimana dalam
Kerangka Peraturan Perundang-undangan yang membahas masalah judul, dengan alasan
sebagaimana diuraikan pada halaman 70-71 penelitian ini, maka bunyi kalimatnya menjadi
Undang- Undang Praktik Perawat.

1. Batang Tubuh.

Batang tubuh Peraturan Perundang-undangan memuat semua substansi Peraturan Perundang-


undangan yang dirumuskan dalam pasal-pasal. Pada umumnya substansi dalam batang tubuh
dikelompokan kedalam: ketentuan umum; materi pokok yang diatur; ketentuan pidana;
ketentuan peralihan; ketentuan penutup.

1) Ketentuan Umum:

Ketentuan umum dalam Rancangan Undang Undang Praktik Keperawatan ada dalam Bab I,
dilihat dari Sistematika Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan secara umum
telah memenuhi aturan yang digariskan, antara lain adanya frase pembuka yang telah sesuai
dengan Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang akan dibuat, memuat batasan
pengertian atau definisi yang sering digunakan dalam pasal selanjutnya.

Telaah difokuskan pada pembuatan definisi atau batasan pengertian yang dicantumkan dalam
ketentuan umum. Definisi atau pengertian yang tercantum dalam Rancangan Undang-undang
Praktik Keperawatan sebagaimana dalam Pasal 1, tidak dapat menggambarkan definien yang
utuh, yang dapat membedakan satu definisi dengan yang lainnya. Seperti dalam membuat
definisi nomer satu sampai tiga, mendefinisikan ilmu dan lingkup keperwatan, definisi ke-4
sampai dengan ke-12 yaitu mendefinisikan jenis perawat.

Contoh dalam pembuatan definisi sebagaimana ketentuan umum no: 5, yang menyatakan:
Perawat terdiri dari perawat vokasional dan perawat profesional, kalau dicermati kalimat
tersebut bukan definisi perawat tetapi tidak lebih dari sebuah keterangan tentang macam atau
jenis perawat.

Demikian juga dalam pembuatan definisi Perawat, tidak memberikan gambaran yang utuh
tentang perawat. Hal ini disebabkan dalam menyusun definendumnya kurang lengkap, hanya
dilihat dari salah satu cirinya saja, sehingga akan memjadikan banyak definisi tentang
perawat. Kalau diperhatikan dari 26 jenis pengertian atau definisi yang dicantumkan dalam
ketentuan umum tidak ada yang nyata-nyata menjelaskan bahwa perawat adalah pemberi jasa
peleyanan keperawatan. Hal demikian akan mempersulit pemahaman pasal yang akan dibuat
selanjutnya. Sebagai contoh untuk memahami makna penerima dan pemberi jasa pelayan
keperawatan pada Pasal 3 huruf a, Rancangan Undang-Undang Praktik Keperawatan, yang
secara lengkap:

Pengaturan praktek keperawatan bertujuan:

1. memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima dan pemberi jasa
pelayanan keperawatan.
Kalimat dalam Pasal 3 Rancangan Undang-Undang Praktik Keperwatan tersebut kalau
diteliti kata demi kata yang disusun, selanjutnya dihubungkan dengan ke–26 pengertian atau
definisi yang ada dalam ketentuan umum, tidak ada definisi atau pengertian yang secara jelas
memberikan pemahaman bahwa penerima adalah pasien dan pemberi jasa adalah perawat.

Sedikitnya ada 7 definisi tentang perawat, yaitu mulai no:4 sampai dengan no: 10, dalam
definisi atau pengertian yang dicantumkan lebih banyak memberikan batasan pada perawat
berdasarkan jenis atau latar belakang pendidikan atau pelatihannya saja.

Selanjutnya kata Praktik Keperawatan, jika dimaksudkan untuk kepentingan hubungan


dengan Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada dan agar tidak menimbulkan
pemahaman keliru sebagaimana telah diulas dibagian lain, maka penggunaan kata akan lebih
sesuai kata Praktik Perawat. Sehingga penggunaan kata Praktik Keperawatan sebagaimana
tercantum pada kalimat No. 2 dan kalimat no. 18, pada Ketentuan Umum tersebut menjadi
Praktik Perawat.

Untuk definisi yang lain berkisar pada pendefinisian perangkat administrasif ada pada definisi
no. 13 dan 21; definisi tentang praktik keperawatan ada pada no. 22; definisi tentang
organisasi pada no. 23 sampai dengan 25 dan definisi lain ada di nomer 26, sudah cukum
jelas.

2) Materi pokok.

Materi pokok dalam Rancangan Undang-Undang Praktik Keperawatan ada 8 Bab, yaitu:
Asas dan Tujuan; Lingkup Praktik Perawat; Konsil Keperawatan Indonesia; Standar
Pendidikan Profesi Keperawatan; Pendidikan Keperawatan Berkelanjutan; Registrasi
Perawat; Penyelenggaraan Praktik Perawat; yang masing masing bab dibahas secara simultan
berdasarkan pengelompokan substansi materi yang diatur, sistematika dan pilihan kata atau
terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti,

a) Pengelompokan substansi materi.

Dalam penjelasan Sistematika Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan No 83,


dijelaskan materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab ketentuan umum, dan
jika tidak ada pengelompokan bab, materi pokok diletakan setelah pasal-pasal.

Dari pengelompokan substansi materi, ketentuan yang digariskan dalam Sistematika Teknik
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dijelaskan, bahwa sedapat mungkin dihindari
adanya bab ketentuan lain atau sejenisnya. Materi yang bersangkutan diupayakan untuk
masuk kedalam bab yang ada atau dapat pula dimuat dalam bab tersendiri dengan judul yang
sesuai dengan materi yang diatur. Pengelompokan sedapat mungkin secara sistematis dalam
buku, bab, bagian dan paragraf.

Sehubungan ketentuan tersebut, materi Bab III Pasal 4, tentang ruang lingkup praktik
keperawatan dengan materi Bab VIII dari Pasal 37 sampai dengan Pasal 48 tentang
penyelenggaraan praktik keperawatan perlu dikaji ulang dalam penataan sistematika teknis
penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan sebab memiliki materi muatan yang
terkait satu dengan lainnya.

Substansi lain yang perlu pengkajian adalah Pasal 10 huruf ”e” Rancangan Undang-Undang
Praktik Perawat bahwa Konsil Keperawatan mempunyai tugas menetapkan sanksi terhadap
kesalahan praktik yang dilakukan perawat dengan materi muatan yang ada pada Pasal 55
Rancangan Undang-Undang Praktik Keperawatan.
b) Keterkaitan substansi materi.

Keterkaitan substansi materi dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya dalam


rancangan ini perlu perhatian seksama. Hal ini dalam rangka mengahindari benturan dalam
pelaksanaannya.

Sebagai contoh ada pada Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Rancangan Undang-Undang Praktik
Keperawatan, khusunya Pasal 9 ayat (1) huruf ”b” yang secara lengkap ketentuan tersebut
sebagai berikut,

Pasal 9.

(1) Konsil keperawatan Indonesia mempunyai tugas:

1. Melakukan uji kompetensi dan registrasi perawat.


2. Mengesahkan standar pendidikan perawat
3. Membuat peraturan peraturan terkait dengan praktik perawat untuk melindungi
masyarakat.

Kalau pendidikan perawat sebagai bagian dari Sistem Pendidikan Nasional maka untuk
menentukan tsandartnya telah ditentukan melalui Pasal 35 ayat (4), Undang-Undang No. 20
tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa ketentuan
mengenai standart Nasional Pendidikan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 30 ayat (2) Rancangan Undang-Undang Praktik Keperawatan yang menyatakan,
Pemberian sebuatan bagi RN dan LPN yang ditetapkan Konsil Keperawatan bertentangan
dengan Pasal 21 ayat (7), Undang-Undang No. 20 tahun 2003, tentang ketentuan mengenai
gelar akademik, profesi atau vokasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Keterkaitan lain adalah Pasal 4 huruf ”d” Rancangan Undang-Undang Praktik Keperawatan
yang menyatakan lingkup Praktik Keperawatan adalah memberikan pengobatan dan tindakan
medis terbatas kemudian dikaitkan pula dengan Pasal 40 ayat (1) sampai dengan ayat (3)
Rancangan Undang-Undang Praktik Keperawatan:

Pasal 40.

(1) Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan atau nyawa klien dan atau pasien ,
perawat dapat melakukan tindakan diluar kewenangan.

(2) Dalam keadaan luar biasa / bencana, perawat dapat melakukan tindakan diluar
kewenangan untuk membantu mengatasi keadaan luar biasa atau bencana tersebut.

(3) Perawat yang bertugas didaerah yang sulit terjangkau dapat melakukan tindakan diluar
kewenangannya sebagai perawat.

(4) Ketentuan mengenai daerah yang sulit terjangkau ditetapkan oleh pemerintah melalui
peraturan tersendiri.

Telaah yang perlu dilakukan terhadap materi muatan tersebut adalah dari sisi ilmu dan
kewenangan dan dari sisi sosiologi / emperisnya. Aspek ilmu, Keperawatan mendasari
tindakannya pada area akibat dari penyakit yang diderita oleh karena kelemahan, keterbatasan
/ ketidak mampuan dan atau ketidak-tahuannya, sedangkan pengobatan tidak termasuk area
itu. Kalau kemudian ditambah kata yang menyatakan ”terbatas”, sebagaimana Pasal 4 huruf ”
d ” atau kata ”membantu mengatasi keadaan luar biasa atau keadaan bencana” , atau kata
”didaerah yang sulit terjangkau”, sebagaimana Pasal 40 ayat (2) dan (3), menjadikan area
tersebut menjadi kewenangan Praktik Keperawatan maka untuk kepastian hukumnya akan
mengalami kesulitan.

Oleh karena itu, mensikapi masalah tersebut perlu kajian mendalam dari aspek kultur, sosial
demografi, budaya dan ekonomi serta politik secara komprehensive untuk mendapatkan jalan
keluar yang terbaik demi kesehatan bangsa.

Selanjutnya telaah secara sosiologis / emperis, kegiatan pelayanan kesehatan oleh perawat
khususnya kegiatan mandiri telah berlangsung lama sesuai Pasal 4 huruf ”d” dan juga seperti
yang tercantum dalam Pasal 40 Rancangan Undang-Undang Praktik Keperawatan tersebut.

Ketentuan lain dalam pasal Rancangan Undang-Undang Praktik Keperawatan yang perlu
ditelaah ada dalam Pasal 10 Rancangan Undang-Undang Praktik Keperawatan dikaitkan
dengan Pasal 54, ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, tentang Kesehatan, pada ayat
(2) tersebut, menyatakan bahwa Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian
sebagaimana dimaksud ayat (1) ditentukan oleh Majelais Disiplin Tenaga Kesehatan. Majelis
Disiplin Tenaga Kesehatan dibentuk melalui Keputusan Presiden RI No. 56 tentang Majelis
Disiplin tenaga Kesehatan yang secara rinci memuat penanganan terhadap ada atau tidaknya
kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Dengan demikian ketentuan Pasal 10 Rancangan
Undang-Undang Praktik Keperawatan khususnya huruf ”d” dan ”e” yang menyatakan
wewenang Konsil Keperawatan Indonesia ”Menetapkan ada tidaknya kesehatan yang
dilakukan perawat dan Menetapkan sangsi terhadap kesalahan praktik yang dilakukan
perawat” berbenturan dengan Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 yang
sudah ada.

Oleh karena itu, untuk mensikapi masalah keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan
khususnya terhadap Undang-Undang perlu kajian mendalam, demikian juga dari aspek
kultur, sosial demografi, budaya dan ekonomi serta politik secara komprehensive untuk
mendapatkan jalan keluar yang terbaik demi kesehatan bangsa.

c) Pendelegasian Kewenangan.

Dalam ketentuan tentang pendelegasian kewenangan sebagaimana ditentukan dalam


Sistematika Teknik Penyusunan peraturan Perundang-undangan No. 173 menyatakan bahwa
Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada menteri atau pejabat yang
setingkat menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis, kemudian No. 175
menyatakan ‘hindari pendelegasian kewenangan mengatur secara langsung dari Undang-
undang kepada direktur jendral atau pejabat yang setingkat.

Mengingat ketentuan tersebut diatas, maka ketentuan Pasal 26, ayat (2) yang berisi tentang
pendidikan dan pelatihan keperawatan berkelanjutan dilaksanakan oleh organisasi profesi
perlu dikaji ulang. Pasal 29 ayat (4), memberikan pendelegasian yang tidak jelas. Pasal 30, 36
yang mendelegasikan pada Konsil Keperawatan. Pasal 40 pendelegasian yang tidak jelas.

d) Rumusan Norma Pasal dan susunan kalimat.

Sesuai dengan ketentuan Sistematika Teknik Penyusunan Perundang-undangan Undang-


Undang No. 10 Tahun 2004, No. 58, bahwa Pasal merupakan satuan aturan dalam Peraturan
Perundang-undangan yang memuat satu norma dan dirumuskan dalam satu kalimat yang
disusun secara singkat, jelas dan lugas. Selanjutnya ketentuan No. 64 menyatakan bahwa satu
ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam satu kalimat utuh.

Menganalisa rumusan pasal-pasal dan ayat Rancangan Undang-Undang Praktik Keperawatan


dengan ketentuan tersebut, akan disampaikan beberapa contoh yang perlu dikaji lagi.
Susunan Bab II tentang Asas dan Tujuan dilihat dari Sistematika Teknis Penyusunan
Perundang-undangan yang digariskan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, terutama dalam
penggunaan rumusan norma pasal, akan disampaikan contohdibawah ini:

Pasal 2.

Praktik Keperawatan dilaksanakan berdasarkan Pancasila dan berlandaskan pada nilai ilmiah,
etika dan etiket, manfaat, keadilan , kemanusiaan, keseimbangan dan perlindungan serta
keselamatan penerima dan pemberi pelayanan keperawatan.

Pasal 3.

Pengaturan praktik keperawatan bertujuan:

1. memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima dan pemberi jasa
pelayanan keperawatan.
2. Mempertahankan dan meningkatkan mutu yankep yg diberikan oleh perawat

Penggunaan Asas Pancasila, dalam sebuah Peraturan Perundang-undangan sebagaimana


tercantum dalam Pasal 2 tersebut, terdapat pro dan kontra. Bagi yang sutuju mencantumkan
Pancasila digunakan sebagai asas dari sebuah Peraturan Perundang-undangan, seperti
Undang-Undang No. 20, Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang
No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004,
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dua contoh Undang-Undang yang
disebut terdahulu dalam penjelasan pasal yang memuat Asas Pancasila tidak ada penjelasan
tambahan dan hanya Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 terdapat penjelasan sebagai berikut:

Penjelasan Pasal 2

Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar
dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi
muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.

Undang-undang yang tidak menggunakan asas Pancasila contohnya adalah Undang-Undang


No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Pasal 2, menyatakan:

Pasal 2.

Pembangunan kesehatan diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan yang berdasarkan


Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata,
perikehidupan dalam keseimbangan serta kepercayaan akan kemampuan sendiri.

Kalau diperhatikan materi pasal 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
tersebut, juga berisisikan tentang isi materi yang ada dalam Pancasila.

Kemudian dilihat dari Norma pasal dalam hukum, Pasal 2 Rancangan Undang-Undang
Praktik Keperawatan, disamping terkandung asas, tetapi juga terkandung sasaran, sehingga
rumusan kalimat yang digunakan dalam Pasal 2 tersebut perlu dikaji lagi sebab susunan
kalimatnya tidak hanya berisi satu norma saja. Rumusan norma pasal-pasal yang lain dalam
Rancangan Undang-Undang yang perlu dikaji lagi adalah, Pasal 3 huruf ”b”, semua rumusan
Pasal 4, Pasal 5 tidak tercantum sebagai urutan pasal, karena dalam Rancangan Undang-
Undang Praktik Keperawatan Draf ke-20 tidak mencantumkan, Pasal 8, Pasal 10 huruf ”a”,
Pasal 14 ayat (4), Pasal 22, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), (2), (3), (4), Pasal 30 ayat (1),
Pasal 32 ayat (4). Pasal 37, Pasal 38 huruf ”c”, Pasal 39, Pasal 40 ayat (2).

[1] Rancangan Undang-Undang Praktik Perawat Draf ke-20 Tahun 2006 Pasal 1.

[2] Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, tentang Penyusunan Peraturan Perundang


Undangan, Pasal 48

[3] Maria Fariada Indrati S, Ilmu Perundang Undangan, Buku 1, Pasal 57


Jenis, Hierarki Dan Materi Muatan Peraturan
Perundang Undangan Pasal 7 ayat 1 UU No. 12 Tahun 2011, “Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan” terdiri atas :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik
Indonesia dalam Peraturan Perundang-undangan, memuat dasar dan garis besar hukum dalam
penyelenggaraan negara. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

UUD1945 mulai berlaku sejak 18 agustus 1945 sampai 27 desember 1949.

Setelah itu terjadi perubahan dasar negara yang mengakibatkan UUD 1945 tidak berlaku,
namun melalui dekrit presiden tanggal 5 juli tahun 1959, akhirnya UUD 1945 berlaku
kembali sampai dengan sekarang.

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)

Merupakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pengemban kedaulatan


rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR atau bentuk putusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang berisi hal-hal yang bersifat penetapan (beschikking). Pada
masa sebelum perubahan (amandemen) UUD 1945, ketetapan MPR merupakan Peraturan
Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-Undang.

Pada masa awal reformasi, ketetapan MPR tidak lagi termasuk urutan hierarki Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia. Contoh : TAP MPR NOMOR III TAHUN 2000
TENTANG SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA NOMOR III/MPR/2000

3. Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

Yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Perlu
diketahui bahwa undang-undang merupakan produk bersama dari presiden dan DPR (produk
legislatif), dalam pembentukan undang-undang ini bisa saja presiden yang mengajukan RUU
yang akan sah menjadi Undang-undang jika DPR menyetujuinya, dan begitu pula sebaliknya.

Undang-Undang memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi
posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan
tujuan dalam bentuk Negara. Contoh : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 2010 TENTANG “LARANGAN MEROKOK”

4. Peraturan Pemerintah (PP)

Peraturan Pemerintah (disingkat PP) adalah Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang


ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi
muatan

Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan Undang-Undang. Di


dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan bahwa Peraturan Pemerintah sebagai aturan
"organik" daripada Undang-Undang menurut hierarkinya tidak boleh tumpang tindih atau
bertolak belakang. Peraturan Pemerintah ditandatangani oleh Presiden.
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan
yang memaksa (negara dalam keadaan darurat), dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Perpu dibuat oleh presiden saja, tanpa adanya keterlibatan DPR;


2. Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut;
3. DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan;
4. Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.

Contoh : bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah


Haji sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan tuntutan masyarakat sehingga
perlu diganti dengan undang-undang yang baru; diganti dengan : UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN
IBADAH HAJI.

5. Peraturan Presiden (PP)

Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-


Undang sebagaimana mestinya. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan
yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

Contoh : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN


1987 TENTANG SATUAN TURUNAN, SATUAN TAMBAHAN, DAN SATUAN LAIN
YANG BERLAKU dan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR
48 TAHUN 1973 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN KEUANGAN
DAERAH.

6. Peraturan Daerah Provinsi

Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah


Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.

Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah Negara Indonesia adalah Negara yang
menganut asas desentralisasi yang berarti wilayah Indonesia dibagi dalam beberapa daerah
otonom dan wilayah administrasi. Daerah otonom ini dibagi menjadi daerah tingkat I dan
daerah tingkat II. Dalam pelaksanaannya kepala daerah dengan persetujuan DPRD dapat
menetapkan peraturan daerah. Peraturan daerah ini tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundangan diatasnya.

Contoh : PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA


NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PENDAFTARAN PENDUDUK DAN
PENCATATAN SIPIL DI PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA dan
PERDA NO. 10 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT
NOMOR: 10 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN PROVINSI JAWA
BARAT

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah


Kabupaten atau Kota dengan persetujuan bersama Bupati atau Walikota.

Contoh : PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II GRESIK”


NOMOR 01 TAHUN 1990 TENTANG PERUBAHAN PERTAMA PERATURAN
DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II GRESIK NOMOR 01 TAHUN 1989
TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN
DAERAH TINGKAT II GRESIK TAHUN ANGGARAN 1989/1990.

Piramida Tata Urutan Perundang-undangan Indonesia Sesuai Pasal 7 ayat 1 UU No. 12


Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan.

Perbedaan Hirarkhi Tata Urutan Perundang-undangan


Disahkannya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 ini mempunyai dampak hukum terhadap
Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan
dimana sesuai dengan asas bahwa ketika ada suatu peraturan perundang-undangan yang sama,
maka yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan yang baru. Hal ini dipertegas
dalam Pasal 102 dimana berbunyi :
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4389), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.
Sehingga dengan adanya Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 ini menggantikan Undang-
undang yang lama yaitu Undang-undang Nomor 10 tahun 2004. Perubahan yang mencolok
terdapat pada Hirarkhi Peraturan Perundang-undanganya dimana dalam UU No 10 tahun
2004.
Berdasarkan azas “lex superiori derogate lex inferiori” yang maknanya hukum yang unggul
mengabaikan atau mengesampingkan hukum yang lebih rendah. Maka kami merasa harus
memberikan penjelasan mengenai tata urutan perundang-undangan di Indonesia.

Definisi :

1. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum


yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-undangan.
2. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah hukum dasar (konstitusi) yang
tertulis yang merupakan peraturan negara tertinggi dalam tata urutan Peraturan
Perundang-undangan nasional.
3. Ketetapan MPR merupakan putusan MPR yang ditetapkan dalam sidang MPR, yang
terdiri dari 2 (dua) macam yaitu :
4. Ketetapan yaitu putusan MPR yang mengikat baik ke dalam atau keluar majelis;
5. Keputusan yaitu putusan MPR yang mengikat ke dalam majelis saja.
6. Undang-Undang (UU) adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dengan Persetujuan bersama Presiden.
7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) adalah Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, dengan ketentuan :
8. Perppu diajukan ke DPR dalam persidangan berikut;
9. DPR dapat menerima/menolak Perppu tanpa melakukan perubahan;
10. Bila disetujui oleh DPR, Perrpu ditetapkan menjadi Undang-Undang;
11. Bila ditolak oleh DPR, Perppu harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
12. Peraturan Pemerintah (PP) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan
oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
13. Peraturan Presiden (Perpres) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan
oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
14. Peraturan Daerah (Perda) Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan
Gubernur.
15. Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan
yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan
persetujuan Bupati/Walikota.

Dalam Peraturan Daerah ada tiga tingkat yakni Tingkat I ( provinsi), Tingkat II
(kbupaten/kota) dan Tingkat III (desa). Dengan demikian peraturan daerah yang dikeluarkan
oleh desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan Presiden, begitu pula dengan peraturan
pemerintah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Maksudnya ketentuan yang
tingkatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi sesuai
dengan urutan diatas.

Kewenangan pemerintah daerah dalam membentuk sebuah Peraturan Daerah berlandaskan


pada Pasal 18 ayat (6) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Peraturan Daerah
merupakan bagian integral dari konsep peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 1 ayat
(7) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.

Mengenai ruang lingkup Peraturan Daerah, diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004, yang menjelaskan bahwa Peraturan Daerah meliputi:

1. Perturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi
bersama dengan gubernur;
2. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
3. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama
lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

Jenis dan bentuk produk hukum daerah terdapat dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah, pasal
tersebut menyebutkan jenis dan bentuk produk hukum daerah terdiri atas:
1. Peraturan Daerah;
2. Peraturan Kepala Daerah;
3. Peraturan Bersama Kepala Daerah;
4. Keputusan Kepala Daerah; dan
5. Instruksi Kepala Daerah.

Anda mungkin juga menyukai