KONSIDERAN
Bagian “Menimbang” dalam suatu peraturan perundang-undangan adalah hal yang sangat penting. Menimbang memuat uraian singkat pokok-pokok pikiran
yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Sedangkan Mengingat memuat dasar hukum yakni
dasar kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan itu dan peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan itu, yang memuat
unsur-unsur filosofis, juridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya. Unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan
alasan pembentukannya ini penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik,
yang meliputi beberapa asas, salah satu asasnya adalah asas dapat dilaksanakan. Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara
filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari
Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya
menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan
aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut
persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa
persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari
Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.
Bahwa untuk mewujudkan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang terencana, terpadu, dan berkelanjutan dibutuhkan penataan dan perbaikan
mekanisme Pembentukan Peraturan Perundangundangan sejak perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan hingga pengundangan
dengan menambahkan antara lain pengaturan mengenai metode omnibus dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta memperkuat keterlibatan
dan partisipasi masyarakat yang bermakna. Metode omnibus sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang No. 13/2022 adalah merupakan metode penyusunan
Peraturan Perundang-undangan dengan: a. memuat materi muatan baru; b. mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang
diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama; dan/atau c. mencabut Peraturan Perundang-undangan yang jenis dan
hierarkinya sama, dengan menggabungkannya ke dalam satu Peraturan Perundang-undangan untuk mencapai tujuan tertentu.
Yang akan dicabut dalam RUU Kesehatan Omnibus kali ini adalah 9 Undang-undang antara lain: Undang-Undang No. 36/2009 tentang Kesehatan itu
sendiri, Undang-Undang No. 4/1984 tentang Wabah, Undang-Undang No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang No. 44/2009 tentang Rumah
Sakit, Undang-Undang No. 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa, Undang-Undang No. 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, Undang-Undang No. 38/2014 tentang
Keperawatan, Undang-Undang No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Undang-Undang No. 4/2019 tentang Kebidanan. Sehingga dapat dilihat bahwa
RUU Kesehatan dengan metode Omnibus adalah gabungan dari muatan-muatan yang ada pada Peraturan Perundang-undangan di atas. Adapun kemunculan
Peraturan Perundang-undangan tidak terlepas dari sisi historisnya. Dari ke-9 Undang-Undang yang dicabut maka secara historis kemunculannya adalah sebagai
berikut:
1. Undang-Undang No. 4/1984 tentang Wabah
2. Undang-Undang No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran
3. Undang-Undang No. 36/2009 tentang Kesehatan
4. Undang-Undang No. 44/2009 tentang Rumah Sakit,
5. Undang-Undang No. 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa
6. Undang-Undang No. 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan
7. Undang-Undang No. 38/2014 tentang Keperawatan
8. Undang-Undang No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
9. Undang-Undang No. 4/2019 tentang Kebidanan.
Sehingga dapat dilihat bahwa kemunculan Undang-Undang Praktik Kedokteran yang masih berlaku saat ini adalah muncul sebelum Undang-Undang
Kesehatan yang juga masih berlaku saat ini. Dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan maka keduanya adalah sama, yaitu sama-sama Undang-Undang
yang mana dalam hierarki sesuai Pasal 7 UU No. 12/2011 adalah sama-sama berada dibawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang mempunyai kekuatan hukum yang sama. Ketika munculnya Undang-Undang No. 36/2009 tentang
Kesehatan, bahwa didalamnya tidak diatur sama sekali tentang praktik kedokteran, tidak ada kata satupun “praktik kedokteran” dalam Undang-undang tersebut,
sebab hal itu sudah diatur dalam Undang-undang lainnya, sehingga bisa disimpulkan jika kita mau menggabungkan minimal 2 undang-undang yaitu Undang-
Undang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Kesehatan maka hamper pasti seluruh muatan yang ada di kedua Undang-undang ini harus digabungkan
karena memang berbeda sekali muatan pengaturannya.
Didalam konsideran menimbang UU Praktik Kedokteran disebutkan bahwa: bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan
umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa kesehatan sebagai hak asasi
manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan
yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat; c. bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara
terus-menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, lisensi, serta pembinaan, pengawasan, dan
pemantauan agar penyelenggaraan praktik kedokteran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Disinilah pentingnya profesi dokter bahwa
“penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan upaya Kesehatan adalah dilaksanakan oleh
seorang dokter”. Karena esensi yang sangat penting ini maka dokter dibuat kusus pada waktu itu yaitu dengan membentuk Undang-Undang Praktik Kedokteran,
sehingga kedepan dalam RUU Kesehatan Omnibus ini maka esensi semestinya tidak hilang, sebab sampai saat ini di semua lini pelayanan Kesehatan yang dicari
adalah dokter oleh pasien, dan sampai saat ini dokter menjadi tumpuan bahkan menjadi sasaran tembak jika ada sengketa karena dianggap yang paling
bertanggungjawab terhadap pelayanan Kesehatan. Sehingga poin C pada Konsideran Menimbang Undang-Undang Praktik Kedokteran tidak boleh dihilangkan
dari Konsideran RUU Kesehatan Omnibus.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal Tanggapan Hasil Kritisi dari UU yang lain Usulan/Penjelasan
Pasal 1 Pasal 1 Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Definisi Kesehatan tetap sama dengan UU 1. Tidak ada usulan
1. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, Kesehatan yang lama
mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan
setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis.
2. Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau 2. Definisi upaya Kesehatan tetap sama 2. Tidak ada usulan
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu dengan UU Kesehatan yang lama
dan berkesinambungan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam
bentuk promotif, preventif, kuratif, dan/atau
rehabilitative oleh pemerintah dan/atau masyarakat. 3. Definisi pelayanan Kesehatan tetap sama 3. Tidak ada usulan
3. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dengan UU Kesehatan yang lama, hanya
dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan yang saja yang baru diringkas
diberikan secara langsung kepada perseorangan
atau masyarakat untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam
bentuk enteri, preventif, kuratif, dan/atau enteriive.
4. Sumber Daya Kesehatan adalah segala bentuk 4. Definisi sumber daya Kesehatan tetap 4. Tidak ada usulan
fasilitas, tenaga, perbekalan kesehatan, enter sama dengan UU Kesehatan yang lama
informasi, teknologi, dan dana yang dimanfaatkan
untuk menyelenggarakan Upaya Kesehatan yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat, pemerintah
daerah, dan/atau masyarakat.
5. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang 5. Dibandingkan dg UU Kes yg lama, UU 5. Tidak ada usulan
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta Tenaga kesehatan, maka definisi Tenaga
memiliki sikap profesional, pengetahuan, dan Kesehatan ada penambahan “memiliki
keterampilan melalui pendidikan tinggi, yang untuk sikap profesional, pengetahuan, dan
jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk keterampilan melalui pendidikan tinggi”.
melakukan upaya kesehatan. Pendidikan Tinggi adalah jenjang
pendidikan setelah pendidikan menengah
yang mencakup program diploma, program
sarjana, program magister, program doktor,
dan program profesi, serta program
spesialis, yang diselenggarakan oleh
perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan
bangsa Indonesia (UU 12/2012 ttg Dikti).
Tenaga Medis masuk kategori Tenaga
Kesehatan?
RUU Kes pasal 184 (13): Jenis Tenaga
Kesehatan yang termasuk dalam kelompok
Tenaga Kesehatan tradisional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf l terdiri atas
Tenaga Kesehatan tradisional ramuan atau
jamu, Tenaga Kesehatan tradisional
tiongkok (traditional chinese medicine), dan 6. Tidak ada usulan
6. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah tempat yang pengobat tradisional.--> Pendidikan Tinggi?
digunakan untuk menyelenggarakan Pelayanan 6. Definisi ada sedikit perubahan, pada UU
Kesehatan kepada perorangan maupun masyarakat, Kes yang lama ada alat dihilangkan, jadi
dengan pendekatan enteri, preventif, kuratif, dan/atau hanya tempat saja
enteriive yang dilakukan oleh pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
7. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya 7. Tetap
disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan 7. Definisi Puskesmas mengambil dari PMK
masyarakat dan upaya kesehatan perorangan tingkat 43/2019 ttg Puskesmas.
pertama, dengan lebih mengutamakan upaya enteri
dan preventif di wilayah kerjanya.
8. Rumah Sakit adalah institusi Pelayanan Kesehatan
yang menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan 8. Tetap
perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat 8. Definisi Rumah Sakit tetap sesuai UU No.
darurat. 44/2009 ttg RS
9. Perbekalan Kesehatan adalah semua bahan dan 9. Tetap
peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan. 9. Definisi Perbekalan Kesehatan tetap sama
10. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat dengan UU Kesehatan yang lama 10. Sesuai RUU
tradisional, dan kosmetik, suplemen kesehatan, dan
obat kuasi. 10. Definisi sediaan farmasi berubah, ada
penambahan suplemen Kesehatan dan
obat kuasi (sediaan yang mengandung
11. Alat Kesehatan adalah enteri, enteri, mesin dan/atau bahan aktif dengan efek farmakologi untuk 11. Tetap ?
enteri yang tidak mengandung obat yang digunakan mengatasi keluhan ringan)
untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan 11. Definisi alat Kesehatan ada penambahan
meringankan penyakit, merawat orang sakit, disbanding UU Kesehatan yang lama, yaitu
memulihkan Kesehatan pada manusia, dan/atau reagen in vitro dan kalibrator, perangkat
membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh, lunak, bahan atau material yang digunakan
reagen in vitro dan kalibrator, perangkat lunak, bahan tunggal atau kombinasi untuk menghalangi
atau material yang digunakan tunggal atau kombinasi pembuahan, desinfeksi Alat Kesehatan, dan
untuk menghalangi pembuahan, desinfeksi Alat pengujian in vitro terhadap spesimen dari
Kesehatan, dan pengujian in vitro terhadap enteri tubuh manusia, dan dapat mengandung
dari tubuh manusia, dan dapat mengandung obat obat yang tidak mencapai kerja utama pada
yang tidak mencapai kerja utama pada tubuh tubuh manusia melalui proses farmakologi,
manusia melalui proses farmakologi, imunologi, atau imunologi, atau metabolisme untuk dapat
enteri untuk dapat membantu fungsi atau kerja yang membantu fungsi atau kerja yang diinginkan
diinginkan. 12. Tetap
12. Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga yang
selanjutnya disingkat PKRT adalah alat, bahan, atau
campuran bahan untuk pemeliharaan dan perawatan, 12. Definisi Perbekalan Kesehatan Rumah
baik langsung maupun tidak langsung berdampak Tangga mengacu pada PMK No. 62/2017
terhadap Kesehatan manusia, yang ditujukan untuk
penggunaan di rumah tangga dan fasilitas umum. 13. Tetap
13. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk
produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi
atau menyelidiki enter fisiologi atau keadaan patologi 13. Tetap sama dengan Pasal 1 item nomor 8
dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, UU Kesehatan yang lama
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan, 14. Tetap
dan kontrasepsi untuk manusia.
14. Obat Tradisional adalah bahan, ramuan bahan, atau
produk yang mengandung bahan yang berasal dari 14. Sama dg Pasal 1 item nomor 9 UU Kes
bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan ikan, bahan lama ditambah “atau sudah terbukti
mineral alam, bahan alam lain, sediaan sarian berkhasiat dan aman digunakan untuk
(enteri) dapat dalam bentuk tunggal atau campuran pencegahan, pengobatan, perawatan,
dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah dan/atau memelihara kesehatan
digunakan untuk pengobatan atau sudah terbukti berdasarkan pembuktian secara empiris
berkhasiat dan aman digunakan untuk pencegahan, dan/atau ilmiah”
pengobatan, perawatan, dan/atau memelihara
kesehatan berdasarkan pembuktian secara empiris 15. Tetap
dan/atau ilmiah, dan dapat diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat.
15. Teknologi Kesehatan adalah segala bentuk alat
dan/atau metode yang ditujukan untuk membantu 15. Tetap Pasal 1 item 10 UU Kesehatan 16. Tetap
menegakkan enteri, pencegahan, dan penanganan
permasalahan kesehatan manusia.
16. Sistem Informasi Kesehatan adalah enter yang
mengintegrasikan berbagai tahapan pengumpulan 16. Mengacu pada PP 46/2014 dengan sedikit
data, pemrosesan, pelaporan, dan penggunaan perubahan: Sistem Informasi Kesehatan
informasi yang diperlukan untuk meningkatkan adalah seperangkat tatanan yang meliputi
efektivitas dan efisiensi Pelayanan Kesehatan serta data, informasi, indikator, prosedur,
mengarahkan tindakan atau keputusan yang berguna perangkat, teknologi, dan sumber daya
dalam mendukung pembangunan kesehatan. manusia yang saling berkaitan dan dikelola
secara terpadu untuk mengarahkan
tindakan atau keputusan yang berguna 17. Tetap
dalam mendukung pembangunan
kesehatan.
17. Telekesehatan adalah pemberian dan fasilitasi 17. Telekesehatan terminologi baru
layanan kesehatan yang bersifat nonklinis termasuk 18. Tetap
Pendidikan penyedia dan pasien, layanan informasi
kesehatan, dan layanan mandiri melalui
telekomunikasi dan teknologi komunikasi digital.
18. Telemedisin adalah pemberian dan fasilitasi layanan 18. Telemedisin terminologi baru
kesehatan yang bersifat klinis termasuk asuhan Telemedicine adalah pemberian pelayanan
medis/klinis dan/atau layanan konsultasi kesehatan, kesehatan jarak jauh oleh professional
melalui telekomunikasi dan teknologi komunikasi kesehatan dengan menggunakan teknologi
digital. informasi dan komunikasi, meliputi pertukaran
informasi diagnosis, pengobatan, pencegahan
penyakit dan cedera, penelitian dan evaluasi, 19. Tetap
dan pendidikan berkelanjutan penyedia
layanan kesehatan untuk kepentingan 20. Tetap
peningkatan kesehatan individu dan
masyarakat. (PMK 20/2019, Perkonsil 74/2020)
19. Pasien adalah setiap orang yang memperoleh 19. Definisi pasien terjadi penyeragaman, tidak
Pelayanan Kesehatan dari Tenaga Kesehatan. ada lagi istilah klien. 21. Tetap
20. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap 20. Definisi registrasi mengacu pada Pasal 1
Tenaga Kesehatan yang telah memiliki sertifikat item 9 UU Tenaga Kesehatan
kompetensi, sertifikat profesi, atau telah mempunyai 22. Tetap
kualifikasi tertentu lain untuk menjalankan praktik.
21. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat 21. Definisi surat tanda registrasi mengacu
STR adalah bukti tertulis yang diberikan kepada pada Pasal 1 item 10 UU Tenaga
Tenaga Kesehatan yang telah diregistrasi. Kesehatan 23. Tetap
22. Surat Izin Praktik yang selanjutnya disingkat SIP 22. Definisi SIP mengacu pada Pasal 1 item 11
adalah bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah UU Tenaga Kesehatan
kepada Tenaga Kesehatan sebagai pemberian
kewenangan untuk menjalankan praktik.
23. Wabah Penyakit Menular yang selanjutnya disebut 23. Perubahan yg pada ntinya sama:kejadian
Wabah adalah kejadian luar biasa penyakit menular berjangkitnya suatu penyakit menular dalam 24. Tetap
yang jumlah kasus dan/atau kematiannya meningkat masyarakat yang jumlah penderitanya
dan menyebar dalam skala luas yang dapat meningkat secara nyata melebihi dari pada
menimbulkan bencana nonalam. keadaan yang lazim pada waktu dan 25. Tetap
daerah tertentu serta dapat menimbulkan
malapetaka.
24. Kewaspadaan Wabah adalah serangkaian kegiatan 24. Definisi Kewaspadaan Wabah baru
sebagai sikap tanggap menghadapi kemungkinan
terjadinya Wabah. 26. Tetap
25. Kejadian Luar Biasa yang selanjutnya disingkat KLB 25. Definisi KLB mengacu pada PMK
adalah meningkatnya penyakit menular akut dan/atau 1501/2010
kematian yang bermakna secara epidemiologis di
suatu daerah pada kurun waktu tertentu yang dapat 27. Tetap
menyebabkan terjadinya Wabah.
26. Pintu Masuk Negara yang selanjutnya disebut Pintu 26. Definisi Pintu masuk negara mengacu pada
Masuk adalah tempat masuk dan keluarnya alat Pasal 1 item 3 UU Kekarantinaan
angkut, orang, dan/atau barang dari dan ke luar
negeri, baik berbentuk enteri, bandar udara, maupun 28. Tetap
pos lintas batas negara.
27. Definisi Otoritas karantina baru
27. Otoritas Karantina Kesehatan adalah institusi yang
diberikan tugas dan fungsi menyelenggarakan
urusan kesehatan di Pintu Masuk, dan enteri atau
bandar udara yang melayani lalu lintas enteri.
28. Petugas Karantina Kesehatan adalah Tenaga 29. Tetap
28. Definisi Petugas karantina Kesehatan
Kesehatan terlatih yang ditunjuk oleh Otoritas baru
Karantina Kesehatan untuk melakukan pengawasan
dan tindakan penanggulangan terhadap alat angkut, 30. Tetap
orang, dan barang di Pintu Masuk.
29. Daerah Terjangkit adalah daerah yang secara
epidemiologis terdapat penyebaran penyakit 29. Daerah Terjangkit baru
dan/atau faktor risiko penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah. 31. Organisasi profesi untuk dokter sesuai UU PK
30. Dokumen Karantina Kesehatan adalah surat adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan
keterangan kesehatan yang dimiliki setiap alat 30. Definisi Dokumen karantina Kesehatan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter
angkut, orang, dan barang yang memenuhi mengacu pada Pasal 1 item 30 UU gigi (item nomor 12)
persyaratan baik nasional maupun internasional. Kekarantinaan Kesehatan
31. Organisasi Profesi adalah wadah untuk berhimpun 31. Definisi Organisasi profesi mengacu pada
Tenaga Kesehatan yang seprofesi. Pasal 1 item 16 UU Tenaga Kesehatan,
tidak ada kata-kata satu profesi satu
organisasi dapat timbul banyak 32. Tetap
organisasi dalam satu profesi
32. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik 32. Pemerintah Pusat tetap
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan 33. Tetap
negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil
Presiden dan enteri sebagaimana dimaksud dalam
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia
34. Tetap
Tahun1945.
33. Pemerintah Daerah tetap 35. Gawat Darurat adalah Keadaan Klinis pasien
33. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai
yang membutuhkan Tindakan medis segera
unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang
guna penyelamatan nyawa dan pencegahan
memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang
kecacatan lebih lanjut
menjadi kewenangan daerah otonom.
34. Menteri tetap 36. Kolegium
34. Menteri adalah enteri yang menyelenggarakan
37. Pendidikan Tinggi
urusan pemerintahan di bidang Kesehatan.
38. Sertifikat kompetensi
39. Satuan kredit profesi
40. akreditasi
Pasal 2 UU lama tetap
Undang-Undang ini diselenggarakan berdasarkan asas: Yang dihilangkan 2 asas: penghormatan
a. perikemanusiaan; gender dan norma agama digabung ke asas
b. keseimbangan; non diskriminatif
c. manfaat; Yang ditambahkan 12 asas:
d. ilmiah; 1. ilmiah (UU PK, UU Keperawatan, UU
e. pemerataan; kebidanan),
f. etika dan profesionalitas; 2. pemerataan (UU Tenkes),
g. pelindungan dan keselamatan; 3. etika dan profesionalitas (UU RS, UU
h. penghormatan terhadap hak dan kewajiban; Tenkes),
i. keadilan; 4. keselamatan (UU PK, keperawatan,
j. ketertiban; kebidanan)
k. nondiskriminatif; 5. ketertiban,
l. partisipatif; 6. partisipatif,
m. kepentingan umum; 7. kepentingan umum (UU Karantina),
n. keterpaduan; 8. keterpaduan (UU Karantina),
o. kesadaran hukum; 9. kesadaran hukum (UU Karantina),
p. kedaulatan negara; 10. kedaulatan negara (UU Karantina),
q. kelestarian lingkungan hidup; dan 11. kelestarian lingkungan hidup, dan
r. norma sosial budaya. 12. norma sosial budaya
Pasal 3 UU Lama: meningkatkan kesadaran, kemauan, -
Undang-Undang ini dibentuk dengan tujuan untuk: dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
a. meningkatkan pembudayaan masyarakat hidup agar terwujud derajat kesehatan masyarakat
sehat; yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi
b. meningkatkan akses dan mutu Pelayanan Kesehatan pembangunan sumber daya manusia yang
dan Sumber Daya Kesehatan; produktif secara sosial dan ekonomis.
c. meningkatkan pengelolaan sumber daya manusia Ada tambahan, lebih lengkap
yang efektif dan efisien;
d. memenuhi kebutuhan masyarakat akan Pelayanan
Kesehatan;
e. meningkatkan ketahanan kesehatan dalam
menghadapi KLB atau Wabah;
f. menjamin pendanaan yang selalu tersedia dan
transparan, efektif dan efisien, serta berkeadilan;
g. pengembangan dan pemanfaatan Teknologi
Kesehatan yang berkelanjutan; dan
h. memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi
masyarakat dan Tenaga Kesehatan dalam
melaksanakan Upaya Kesehatan termasuk
penanggulangan Wabah.
BAB II
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal Tanggapan Hasil Kritisi dari UU yang lain Usulan/Penjelasan
Bagian Ke Satu Hak -
Pasal 4
(1) Setiap orang berhak atas Kesehatan. Tetap, Pasal 4 UU Kes Ayat (2) tambahan
(2) Hak atas Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan hak untuk memperoleh
Pelayanan Kesehatan dari Fasilitas Pelayanan
Kesehatan agar dapat mewujudkan derajat
Kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 5 Tetap, Pasal 5 UU Kes , tambahan ayat (3) -
(1) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh dikecualikan saat penanggulangan wabah
Pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu, dan
terjangkau.
(2) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
memperoleh akses atas Sumber Daya Kesehatan.
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan
bertanggung jawab menentukan sendiri Pelayanan
Kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Hak secara
mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dikecualikan untuk Pelayanan Kesehatan yang
diperlukan dalam rangka penanggulangan KLB atau
Wabah.
Pasal 6 Tetap, Pasal 6 UU Kes -
Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang
sehat bagi pencapaian derajat Kesehatan.
BAB III
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
BAB IV
PENYELENGGARAAN KESEHATAN
Pasal 86
(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh dilakukan untuk tujuan
penyembuhan penyakit dan pemulihan
Kesehatan.
(2) Organ dan/atau jaringan tubuh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang dikomersialkan atau
diperjualbelikan.
Pasal 87 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Pendonor pada transplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh terdiri atas
pendonor hidup dan pendonor matibatang
otak.
(2) Pendonor hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan pendonor yang
organ dan/atau jaringannya diambil pada
saat yang bersangkutan masih hidup atas
persetujuan yang bersangkutan.
(3) Pendonor mati batang otak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan
pendonor yang organ dan/atau jaringannya
diambil pada saat yang bersangkutan telah
dinyatakan mati batang otak di Rumah
Sakit.
Pasal 88 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi
sistem jantung-sirkulasi dan sistem
pernafasan terbukti telah berhenti secara
permanen, atau apabila kematian batang
otak telah dapat dibuktikan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penentuan kematian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Menteri.
Pasal 89 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Setiap orang yang mati batang otak
dianggap menyetujui menjadi pendonor
organ dan/atau jaringannya, kecuali orang
yang bersangkutan sewaktu hidupnya telah
menyatakan secara tertulis tidak setuju
menjadi pendonor.
(2) Orang yang menyatakan tidak setuju
mendonorkan organ sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak diprioritaskan
mendapatkan organ donor.
(3) Organ dan/atau jaringan pada orang mati
batang otak sebagaimana dimaksud ayat (1)
hanya dapat diambil setelah keluarga
terdekatnya tidak keberatan.
Pasal 90 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Setiap pendonor organ berhak memperoleh
prioritas sebagai resipien apabila
memerlukan transplantasi organ.
(2) Calon resipien diurutkan dalam suatu
daftar tunggu yang transparan dan
akuntabel melalui system informasi digital
dengan mempertimbangkan berbagai
faktor.
Pasal 91 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh hanya dapat dilakukan oleh Tenaga
Kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan dan dilakukan di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan yang ditetapkan oleh
Menteri.
(2) Transplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh dari pendonor hidup harus
memperhatikan Kesehatan pendonor yang
bersangkutan.
(3) Transplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh dilakukan melalui kegiatan:
a. pendaftaran calon pendonor dan calon
resipien di bank organ dan/atau jaringan
melalui Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
b. pemeriksaan kelayakan calon pendonor
dilihat dari segi kesehatan, psikologis,
dan sosio yuridis;
c. pemeriksaan kecocokan antara pendonor
dan resipien organ dan/atau jaringan
tubuh; dan
d. operasi transplantasi dan
penatalaksanaan pascaoperasi
transplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh.
Pasal 92 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Menteri berwenang mengelola pelayanan
transplantasi organ dalam rangka
peningkatan upaya transplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh.
(2) Kewenangan pengelolaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan:
a. membentuk sistem informasi transplantasi
organ dan/atau jaringan tubuh;
b. sosialisasi dan peningkatan peran serta
masyarakat sebagai pendonor organ
dan/atau jaringan tubuh demi
kepentingan kemanusiaan dan pemulihan
Kesehatan;
c. pengelolaan data pendonor dan resipien
organ dan/atau jaringan tubuh; dan
d. pendidikan dan penelitian yang
menunjang kegiatan pelayanan
transplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh.
(3) Dalam melaksanaan upaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri
bekerjasama dengan kementerian/lembaga
terkait dan Pemerintah Daerah.
(4) Untuk mendukung pelaksanaan
peningkatan upaya transplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat
membentuk komite.
Pasal 93 Sesuai uu 36/2009 tetap
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah
dan/atau resipien dapat memberikan
penghargaan kepada pendonor transplantasi
organ.
Pasal 94 Sesuai uu 36/2009 tetap
Ketentuan mengenai penyelenggaraan
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3 Sesuai uu 36/2009 tetap
Terapi Berbasis Sel Punca dan Sel
Pasal 95
Terapi berbasis sel punca dan sel baik yang
berasal dari manusia maupun dari hewan
hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti
keamanan dan kemanfaatannya.
Pasal 96 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Terapi berbasis sel punca dan sel hanya
dapat dilakukan untuk tujuan
penyembuhan penyakit dan pemulihan
Kesehatan, serta dilarang untuk tujuan
reproduksi.
(2) Sel punca sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak boleh berasal dari sel punca
embrionik.
Pasal 97 Sesuai uu 36/2009 tetap
Ketentuan lebih lanjut mengenai terapi
berbasis sel punca dan sel sebagaimana
dimaksud pada Pasal 95 dan Pasal 96 diatur
dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 4 Implan Obat dan/atau Alat Sesuai uu 36/2009 tetap
Kesehatan
Pasal 98
(1) Pemasangan implan Obat dan/atau Alat
Kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya
dapat dilakukan oleh Tenaga Kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan
serta dilakukan di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara
penyelenggaraan pemasangan implan Obat
dan/atau Alat Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan standar pelayanan, standar
profesi, dan standar prosedur operasional.
Paragraf 5 Bedah Plastik Rekonstruksi dan Sesuai uu 36/2009 tetap
Estetika
Pasal 99
(1) Bedah plastik rekonstruksi dan estetika
hanya dapat dilakukan oleh Tenaga
Kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu.
(2) Bedah plastik rekonstruksi dan estetika
tidak boleh bertentangan dengan norma
yang berlaku dalammasyarakat dan tidak
ditujukan untuk mengubah identitas.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara
bedah plastic rekonstruksi dan estetika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Menteri.
Bagian Kedua Belas Pelayanan Kedokteran Sesuai uu 36/2009 tetap
untuk Kepentingan Hukum
Pasal 100
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
bertanggung jawab dalam penyelenggaraan
pelayanan kedokteran untuk kepentingan
hukum.
(2) Penyelenggaraan pelayanan kedokteran
untuk kepentingan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk
memperoleh fakta dan temuan yang dapat
digunakan sebagai dasar dalam
memberikan keterangan ahli.
(3) Penyelenggaraan pelayanan kedokteran
untuk kepentingan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada
Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang
memenuhi persyaratan.
(4) Permintaan dan tata cara pemberian
pelayanan kedokteran untuk kepentingan
hukum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 101 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Pelayanan kedokteran untuk kepentingan
hukum terdiri atas:
a. pelayanan kedokteran terhadap orang
hidup; dan
b. pelayanan kedokteran terhadap orang
mati.
(2) Pelayanan kedokteran untuk kepentingan
hukum terhadap orang hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a ditujukan
untuk mengetahui keadaan dan sifat
kecederaan, penyebab kecederaan, adanya
kekerasan/hubungan seksual, dampak
terhadap Kesehatan baik fisik maupun jiwa,
kecakapan hukum seseorang, dan temuan
lain yang berhubungan dengan tindak
pidana dan pelakunya.
(3) Pelayanan kedokteran untuk kepentingan
hukum terhadap orang mati sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan
terhadap mayat yang kematiannya diduga
merupakan akibat atau berhubungan
dengan suatu tindak pidana.
(4) Dalam rangka melakukan pelayanan
kedokteran untuk kepentingan hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
dilakukan bedah mayat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan,
dan/atau pemeriksaan laboratorium dan
pencitraan (imaging) pascakematian (virtual
autopsy).
(5) Pelayanan kedokteran untuk kepentingan
hukum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sampai dengan (4) dilakukan oleh dokter
sesuai dengan keahlian dan
kewenangannya.
Pasal 102 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Untuk kepentingan hukum dan
administratif kependudukan, setiap orang
yang meninggal harus diupayakan untuk
diketahui sebab kematian dan identitasnya.
(2) Dalam rangka upaya penentuan sebab
kematian seseorang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan audit
kematian termasuk autopsi verbal, bedah
mayat klinis, dan/atau pemeriksaan
laboratorium dan pencitraan (imaging)
pascakematian (virtual autopsy).
(3) Pelaksanaan bedah mayat klinis atau
pemeriksaan laboratorium dan pencitraan
(imaging) pascakematian (virtual autopsy)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
dilakukan dengan persetujuan keluarga
orang yang meninggal.
(4) Dalam rangka upaya penentuan identitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan upaya identifikasi mayat sesuai
dengan standar.
(5) Pelaksanaan upaya penentuan sebab
kematian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dapat dipadukan dengan
kegiatan penelitian, pendidikan dan
pelatihan, termasuk bedah mayat anatomis.
(6) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat bertanggung jawab atas upaya
penentuan sebab kematian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan identifikasi
mayat sebagaimana dimaksud pada ayat
(4).
Pasal 103 Sesuai uu 36/2009 tetap
Tindakan bedah mayat oleh Tenaga Kesehatan
harus dilakukan sesuai dengan norma sosial
budaya, norma kesusilaan, dan etika profesi.
Pasal 104 Sesuai uu 36/2009 tetap
Biaya pemeriksaan Kesehatan terhadap
korban tindak pidana dan/atau pemeriksaan
mayat untuk kepentingan hukum
ditanggung oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah melalui anggaran
pendapatan dan belanja negara dan anggaran
pendapatan dan belanja daerah.
Pasal 105 Sesuai uu 36/2009 tetap
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan
kedokteran untuk kepentingan hukum diatur
dalam Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga Belas Penanggulangan Sesuai uu 36/2009 tetap
Gangguan Penglihatan dan Gangguan
Pendengaran
Pasal 106
(1) Penanggulangan gangguan penglihatan dan
gangguan pendengaran merupakan semua
kegiatan yang dilakukan meliputi
pelayanan promotif, preventif, kuratif,
dan/atau rehabilitatif yang ditujukan untuk
meningkatkan derajat Kesehatan indera
penglihatan, dan pendengaran masyarakat.
(2) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung
jawab bersama Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
Pasal 107 Sesuai uu 36/2009 tetap
Ketentuan lebih lanjut mengenai
penanggulangan gangguan penglihatan dan
pendengaran diatur dengan Peraturan
Menteri.
Bagian Keempat Belas Kesehatan Jiwa Sesuai uu 36/2009 tetap
Pasal 108
(1) Upaya Kesehatan jiwa ditujukan agar
setiap orang mencapai Kesehatan jiwa yang
menjamin perkembangan fisik, mental,
spiritual, dan sosialnya sehingga dapat
menyadari kemampuan sendiri, mampu
mengatasi tekanan, bekerja secara
produktif, dan memberikan kontribusi
untuk komunitasnya.
(2) Upaya Kesehatan jiwa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
bagi orang dengan gangguan jiwa dan orang
dengan masalah kejiwaan.
(3) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat bertanggung jawab
menciptakan kondisi Kesehatan jiwa yang
setinggi-tingginya dan menjamin
ketersediaan, aksesibilitas, mutu, dan
pemerataan Upaya Kesehatan jiwa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
berkewajiban untuk mengembangkan
Upaya Kesehatan jiwa berbasis masyarakat
sebagai bagian dari Upaya Kesehatan jiwa
keseluruhan, termasuk mempermudah
akses masyarakat terhadap Pelayanan
Kesehatan jiwa.
Pasal 109 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Masyarakat berhak mendapatkan informasi
dan edukasi yang benar mengenai
Kesehatan jiwa.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditujukan untuk menghindari pelanggaran
hak asasi seseorangyang dianggap
mengalami gangguan Kesehatan jiwa.
(3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
bertanggung jawab menyediakan layanan
informasi dan edukasi tentang Kesehatan
jiwa.
Pasal 110 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Upaya penyembuhan orang dengan
gangguan jiwa merupakan tanggung jawab
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat.
(2) Upaya penyembuhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Tenaga Kesehatan yang memiliki keahlian
dan kewenangan dan di tempat yang tepat
dengan tetap menghormati hak asasi
Pasien.
(3) Untuk merawat orang dengan gangguan
jiwa, digunakan fasilitas pelayanan di
bidang Kesehatan jiwa yang memenuhi
syarat dan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 111 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Fasilitas pelayanan di bidang Kesehatan
jiwa meliputi:
a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan
b. fasilitas pelayanan di luar sector
Kesehatan dan fasilitas pelayanan berbasis
masyarakat.
(2) Fasilitas pelayanan di luar sector
Kesehatan dan fasilitas pelayanan berbasis
masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dapat menyelenggarakan
upaya perawatan orang dengan gangguan
jiwa dengan cara bekerja sama dengan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang ada di
wilayahnya.
(3) Fasilitas pelayanan di luar sektor
Kesehatan dan fasilitas pelayanan berbasis
masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b wajib memiliki izin dan
memenuhi persyaratan keamanan,
keselamatan, kenyamanan, dan
kemudahan.
(4) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
bertanggung jawab untuk melakukan
pengawasan terhadap fasilitas pelayanan di
luar sektor Kesehatan dan fasilitas
pelayanan berbasis masyarakat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan,
persyaratan, dan pengawasan fasilitas
pelayanan di luar sector Kesehatan dan
fasilitas pelayanan berbasis masyarakat
diatur dalam Peraturan Pemerintah
Sesuai uu 36/2009 tetap
Pasal 112 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Penatalaksanaan orang dengan gangguan
jiwa yang dilakukan secara rawat inap
harus mendapatkan persetujuan tindakan
secara tertulis dari orang dengan gangguan
jiwa yang bersangkutan.
(2) Dalam hal orang dengan gangguan jiwa
dianggap tidak cakap dalam membuat
keputusan, persetujuan tindakan dapat
diberikan oleh:
a. suami/istri;
b. orang tua, anak, atau saudara
sekandung yang paling sedikit berusia
17 (tujuh belas) tahun;
c. wali atau pengampu; atau
d. pejabat yang berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Dalam hal orang dengan gangguan jiwa
dianggap tidak cakap dan pihak yang
memberikan persetujuan tindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
ada, tindakan medis yang ditujukan untuk
mengatasi tindakan kedaruratan dapat
diberikan tanpa persetujuan.
(4) Penentuan kecakapan orang dengan
gangguan jiwa sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan oleh dokter spesialis
kedokteran jiwa atau dokter yang
memberikan layanan medis saat itu.
(5) Orang dengan gangguan jiwa yang telah
dilakukan penyembuhan berhak
menentukan tindakan medis yang akan
dilakukannya.
Pasal 113 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Penatalaksanaan terhadap orang dengan
gangguan jiwa dengan cara lain di luar ilmu
kedokteran hanya dapat dilakukan apabila
manfaat dan keamanannya dapat
dipertanggungjawabkan serta tidak
bertentangan dengan norma sosial budaya.
(2) Penatalaksanaan terhadap orang dengan
gangguan jiwa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibina dan diawasi oleh Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah agar manfaat
dan keamanannya dapat
dipertanggungjawabkan.
Pasal 114 Sesuai uu 36/2009 tetap
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
bertanggung jawab melakukan
penatalaksanaan terhadap orang dengan
gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang,
mengancam keselamatan dirinya dan/atau
orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban
dan/atau keamanan umum.
Pasal 115 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Orang dengan gangguan jiwa mempunyai
hak yang sama sebagai warga negara.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi persamaan perlakuan dalam
setiap aspek kehidupan, kecuali peraturan
perundang-undangan menyatakan lain.
(3) Setiap orang dilarang melakukan
pemasungan, penelantaran, kekerasan,
dan/atau menyuruh orang lain untuk
melakukan pemasungan, penelantaran,
dan/atau kekerasan terhadap penderita
gangguan jiwa atau tindakan lainnya yang
melanggar hak asasi penderita gangguan
jiwa
Pasal 116 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Untuk kepentingan penegakan hukum,
seseorang diduga orang dengan gangguan
jiwa yang melakukan tindak pidana harus
mendapatkan pemeriksaan Kesehatan jiwa.
(2) Pemeriksaan Kesehatan jiwa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk:
a. menentukan kemampuan seseorang
dalam mempertanggungjawabkan tindak
pidana yang telah dilakukannya;
dan/atau
b. menentukan kecakapan hukum
seseorang untuk menjalani proses
peradilan.
Pasal 117 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Untuk kepentingan keperdataan, seseorang
yang diduga kehilangan kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum harus
mendapatkan pemeriksaan Kesehatan jiwa.
(2) Prosedur penentuan kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 118 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Pemeriksaan Kesehatan jiwa untuk
kepentingan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 116 dan Pasal 117
dilakukan oleh tim.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diketuai oleh dokter spesialis kedokteran
jiwa dan dapat melibatkan dokter spesialis
lain, dokter umum, dan/atau psikolog
klinis.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman
pemeriksaan Kesehatan jiwa untuk
kepentingan hukum diatur dalam
Peraturan Menteri.
Pasal 119 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Untuk melaksanakan pekerjaan tertentu
atau menduduki jabatan tertentu, wajib
dilakukan pemeriksaan Kesehatan jiwa.
(2) Pemeriksaan Kesehatan jiwa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan
sebelum melaksanakan pekerjaan tertentu
atau menduduki jabatan tertentu sesuai
kebutuhan.
(3) Dalam hal diperlukan, pemeriksaan
Kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dilakukan selama dan
sesudah melaksanakan pekerjaan tertentu
atau menduduki jabatan tertentu sesuai
kebutuhan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman
pemeriksaan Kesehatan jiwa untuk
kepentingan pekerjaan atau jabatan
tertentu diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 120 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Pemerintah Pusat bertanggung jawab
mendirikan Rumah Sakit jiwa sebagai pusat
rujukan.
(2) Pemerintah Daerah provinsi bertanggung
jawab mendirikan paling sedikit 1 (satu)
Rumah Sakit jiwa atau Rumah Sakit umum
dengan unggulan Pelayanan Kesehatan
jiwa.
(3) Pemerintah Pusat dapat membantu
Pemerintah Daerah provinsi dalam
mendirikan Rumah Sakit jiwa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 121 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Setiap Rumah Sakit jiwa wajib
menyediakan ruang untuk Pasien
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif.
(2) Setiap Rumah Sakit jiwa wajib
menyediakan ruangan khusus untuk anak,
wanita, dan lanjut usia.
Pasal 122 Sesuai uu 36/2009 tetap
Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya
Kesehatan jiwa diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kelima Belas Penanggulangan Penyakit Sesuai uu 36/2009 tetap
Menular dan Tidak Menular
Paragraf 1
Penyakit Menular
Pasal 123
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat bertanggung jawab melakukan
penanggulangan penyakit menular melalui
kegiatan pencegahan, pengendalian,
pemberantasan dan/atau penanganan
penyakit menular serta akibat yang
ditimbulkannya.
(2) Penanggulangan penyakit menular
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk melindungi masyarakat
dari tertularnya penyakit, menurunkan
jumlah yang sakit, cacat, dan/atau
meninggal dunia, serta untuk mengurangi
dampak sosial dan ekonomi akibat penyakit
menular.
(3) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
dapat menetapkan program
penanggulangan penyakit menular tertentu
sebagai prioritas nasional atau daerah.
(4) Program penanggulangan penyakit menular
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) harus didukung dengan pengelolaan
yang meliputi penetapan target dan strategi
penanggulangan, dan penyediaan sumber
daya yang diperlukan.
(5) Program Penanggulangan Penyakit Menular
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diselenggarakan melalui Upaya Kesehatan
dengan mengutamakan Upaya Kesehatan
masyarakat.
(6) Penanggulangan penyakit menular
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan berbasis wilayah.
(7) Pelaksanaan penanggulangan penyakit
menular sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dilakukan melalui lintas sektor.
(8) Dalam melaksanakan penanggulangan
penyakit menular sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dapat melakukan kerja
sama dengan negara lain.
Pasal 124 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Pencegahan penularan penyakit menular
wajib dilakukan oleh masyarakat termasuk
penderita penyakit menular melalui
perilaku hidup bersih dan sehat.
(2) Dalam pelaksanaan penanggulangan
penyakit menular, Tenaga Kesehatan yang
berwenang dapat memeriksa tempat-tempat
yang dicurigai berkembangnya vektor dan
sumber penyakit lain
Pasal 125 Sesuai uu 36/2009 tetap
Ketentuan lebih lanjut mengenai
penanggulangan penyakit menular
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 dan
Pasal 124 diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 126 Sesuai uu 36/2009 tetap
Dalam hal kejadian penyakit menular
mengalami peningkatan yang mengarah pada
KLB atau Wabah, Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat wajib
melakukan upaya penanggulangan.
Paragraf 2 Penanggulangan Penyakit Tidak Sesuai uu 36/2009 tetap
Menular
Pasal 127
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat melakukan penanggulangan
penyakit tidak menular
melalui kegiatan pencegahan,
pengendalian, dan penanganan penyakit
tidak menular beserta akibat yang
ditimbulkannya.
(2) Penanggulangan penyakit tidak menular
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk meningkatkan
pengetahuan, kesadaran, kemauan
berperilaku sehat dan mencegah terjadinya
penyakit tidak menular beserta akibat yang
ditimbulkan, menurunkan jumlah yang
sakit, cacat, dan/atau meninggal dunia,
serta untuk mengurangi dampak sosial dan
ekonomi akibat penyakit tidak menular.
(3) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
menetapkan program penanggulangan
penyakit tidak menular tertentu sebagai
prioritas nasional atau daerah.
(4) Program penanggulangan penyakit tidak
menular tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) harus didukung dengan
pengelolaan yang meliputi penetapan target
dan strategi penanggulangan, dan
penyediaan sumber daya yang diperlukan.
(5) Program penanggulangan penyakit tidak
menular tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diselenggarakan melalui
Upaya Kesehatan dengan mengutamakan
Upaya Kesehatan masyarakat.
Pasal 128 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Pengendalian penyakit tidak menular
dilakukan dengan pendekatan surveilans
faktor risiko, registri penyakit, dan
surveilans kematian.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bertujuan memperoleh informasi yang
esensial serta dapat digunakan untuk
pengambilan keputusan dalam upaya
pengendalian penyakit tidak menular.
(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui kerja sama lintas
sektor dan dengan membentuk jejaring,
baik nasional maupun internasional.
Pasal 129 Sesuai uu 36/2009 tetap
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah
bersama masyarakat bertanggung jawab
untuk melakukan komunikasi, informasi,
dan edukasi yang benar tentang faktor risiko
penyakit tidak menular yang mencakup
seluruh fase kehidupan.
Pasal 130 Sesuai uu 36/2009 tetap
Ketentuan lebih lanjut mengenai
penanggulangan penyakit tidak menular
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127
sampai dengan Pasal 129 diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Keenam Belas Kesehatan Sekolah Sesuai uu 36/2009 tetap
Pasal 131
(1) Kesehatan sekolah diselenggarakan untuk
meningkatkan kemampuan hidup sehat
dan lingkungan hidup sehat bagi peserta
didik, pendidik, dan tenaga kependidikan,
serta masyarakat sekitar sekolah.
(2) Kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diselenggarakan pada sekolah
formal dan informal, atau lembaga
pendidikan lain.
(3) Kesehatan sekolah dilaksanakan melalui:
a. pendidikan dan promosi Kesehatan;
b. Pelayanan Kesehatan sekolah; dan
c. pembinaan Kesehatan lingkungan
sekolah.
(4) Kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan oleh tenaga
pendidik dan Tenaga Kesehatan pada
Puskesmas atau Fasilitas Pelayanan
Kesehatan tingkat pertama lain.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Kesehatan
sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketujuh Belas Kesehatan Olahraga Sesuai uu 36/2009 tetap
Pasal 132
(1) Upaya Kesehatan olahraga ditujukan
untuk meningkatkan derajat Kesehatan dan
kebugaran jasmani masyarakat melalui
aktifitas fisik, latihan fisik, dan/atau
olahraga.
(2) Peningkatan derajat Kesehatan dan
kebugaran jasmani masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan upaya dasar dalam
meningkatkan prestasi belajar, kerja, dan
olahraga.
Pasal 133 Sesuai uu 36/2009 tetap
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat bertanggung jawab
menyelenggarakan Upaya Kesehatan
olahraga yang didukung dengan penyediaan
sumber daya yang dibutuhkan.
Bagian Kedelapan Belas Kesehatan Sesuai uu 36/2009 tetap
Lingkungan
Pasal 134
Upaya Kesehatan lingkungan ditujukan untuk
mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat,
baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang mencapai derajat
Kesehatan yang setinggi-tingginya
Pasal 135 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat menjamin ketersediaan
lingkungan yang sehat dan tidak
mempunyai risiko buruk bagi Kesehatan
melalui penyelenggaraan Kesehatan
lingkungan.
(2) Penyelenggaraan Kesehatan lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui upaya penyehatan,
pengamanan, dan pengendalian.
(3) Upaya penyehatan, pengamanan, dan
pengendalian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan untuk memenuhi
standar baku mutu Kesehatan lingkungan
dan persyaratan Kesehatan.
(4) Kesehatan lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan
pada lingkungan permukiman,
tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat
dan fasilitas
umum.
Pasal 136 Sesuai uu 36/2009 tetap
Ketentuan lebih lanjut mengenai Kesehatan
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 134 dan Pasal 135 diatur
dengan Peraturan Pemerintah
Bagian Kesembilan Belas Kesehatan Kerja Sesuai uu 36/2009 tetap
Pasal 137
(1) Upaya Kesehatan kerja ditujukan untuk
melindungi pekerja agar hidup sehat dan
terbebas dari gangguan kesehatan serta
pengaruh buruk yang diakibatkan oleh
pekerjaan.
(2) Upaya Kesehatan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan di tempat
kerja baik pada sektor formal maupun
informal, dan di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.
(3) Upaya Kesehatan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku
juga bagi Kesehatan pada lingkungan
Tentara Nasional Indonesia baik darat, laut,
maupun udara serta Kepolisian Republik
Indonesia.
(4) Upaya Kesehatan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diselenggarakan sesuai dengan standar
Kesehatan kerja yang ditetapkan oleh
Menteri.
(5) Pengelola tempat kerja wajib menaati
standar Kesehatan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dan menjamin
lingkungan kerja yang sehat.
(6) Pengelola tempat kerja wajib bertanggung
jawab atas kecelakaan kerja yang terjadi di
lingkungan kerja, dan penyakit akibat kerja
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 138 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Pemberi kerja wajib menjamin Kesehatan
pekerja melalui upaya promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif serta wajib
menanggung seluruh biaya pemeliharaan
Kesehatan pekerjanya.
(2) Pekerja dan setiap orang yang berada di
lingkungan tempat kerja wajib menciptakan
dan menjaga Kesehatan tempat kerja yang
sehat dan menaati peraturan yang berlaku
di tempat kerja.
(3) Pemberi kerja menanggung biaya atas
gangguan Kesehatan akibat kerja yang
diderita oleh pekerja sesuaidengan
peraturan perundang-undangan.
(4) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
memberikan dorongan dan bantuan untuk
pelindungan pekerja melalui sistem
jaminan Kesehatan bagi pekerja.
Pasal 139 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Dalam penyeleksian pemilihan calon
pegawai/pekerja pada
perusahaan/instansi, hasil pemeriksaan
Kesehatan secara fisik dan mental
digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam pengambilan keputusan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 140 Sesuai uu 36/2009 tetap
Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya
Kesehatan kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 137 sampai dengan Pasal 139
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua Puluh Kesehatan Matra Sesuai uu 36/2009 tetap
Pasal 141
(1) Kesehatan matra sebagai bentuk khusus
Upaya Kesehatan diselenggarakan untuk
mewujudkan derajat Kesehatan yang
setinggi-tingginya dalam lingkungan matra
yang serba berubah maupun di lingkungan
darat, laut, dan udara.
(2) Kesehatan matra meliputi Kesehatan
lapangan,Kesehatan kelautan dan bawah
air, serta Kesehatan kedirgantaraan.
(3) Penyelenggaraan Kesehatan matra harus
dilaksanakan sesuai dengan standar dan
persyaratan.
(4) Ketentuan mengenai Kesehatan matra
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Kedua Puluh Satu Pelayanan Sesuai uu 36/2009 tetap
Kesehatan pada Bencana
Pasal 142
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat bertanggung jawab atas
ketersediaan sumber daya, fasilitas, dan
pelaksanaan Pelayanan Kesehatan secara
menyeluruh dan berkesinambungan pada
bencana.
(2) Pelayanan Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan
kesiapsiagaan bencana, Pelayanan
Kesehatan pada tanggap darurat bencana,
dan Pelayanan Kesehatan pada
pascabencana termasuk pemulihan fisik
dan mental.
(3) Pelayanan Kesehatan sebagaimana
dimaksud padaayat (2) termasuk pelayanan
kegawatdaruratan yang bertujuan untuk
menyelamatkan nyawa dan mencegah
kecacatan lebih lanjut.
(4) Pelayanan Kesehatan pada bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
melibatkan kelompok masyarakat terlatih.
(5) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
menjamin pendanaan Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Pendanaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan BelanjaNegara, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, bantuan
masyarakat, atau sumber lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 143 Sesuai uu 36/2009 tetap
Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan pada
bencana diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 144 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Dalam keadaan darurat, setiap Fasilitas
Pelayanan Kesehatan baik pemerintah
maupun swasta wajib memberikan
Pelayanan Kesehatan pada bencana untuk
penyelamatan nyawa, pencegahan
kecacatan lebih lanjut, dan kepentingan
terbaik bagi Pasien.
(2) Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam
memberikan Pelayanan Kesehatan pada
bencana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilarang menolak Pasien dan/atau
meminta uang muka terlebih dahulu.
Pasal 145 Sesuai uu 36/2009 tetap
Pemerintah menjamin pelindungan hukum
bagi setiap orang dan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan yang memberikan Pelayanan
Kesehatan pada bencana.
Bagian Kedua Puluh Dua Pengamanan dan Sesuai uu 36/2009 tetap
Penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Perbekalan Kesehata Rumah
Tangga
Pasal 146
(1) Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
PKRT harus aman, berkhasiat/bermanfaat,
bermutu, dan terjangkau.
(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian
dan kewenangan dilarang mengadakan,
menyimpan, mengolah, mempromosikan,
dan mengedarkan Obat dan bahan yang
berkhasiat Obat.
(3) Ketentuan mengenai pengadaan,
penyimpanan, pengolahan, promosi,
peredaran Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan PKRT harus memenuhi
standar dan persyaratan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pemerintah Pusat berkewajiban membina,
mengatur, mengendalikan, dan mengawasi
pengadaan, penyimpanan, pengolahan,
promosi, dan peredaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Pasal 147 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Setiap orang yang memproduksi,
menyimpan, mengedarkan, dan
menggunakan Obat yang mengandung
narkotika dan psikotropika wajib memenuhi
standar dan/atau persyaratan tertentu.
(2) Penggunaan Obat yang mengandung
narkotika dan psikotropika hanya dapat
dilakukan berdasarkan resep dokter atau
dokter gigi dan dilarang untuk
disalahgunakan.
(3) Ketentuan mengenai produksi,
penyimpanan, peredaran, serta penggunaan
Obat yang mengandung narkotika dan
psikotropika sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 148 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Pengamanan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan dan PKRT diselenggarakan
untuk melindungi masyarakat dari bahaya
yang disebabkan oleh penggunaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT yang
tidak memenuhi persyaratan mutu
dan/atau keamanan dan/atau
khasiat/kemanfaatan.
(2) Penggunaan Obat dan Obat Tradisional
harus dilakukan secara rasional.
(3) Penggunaan Alat Kesehatan harus
dilakukan secara tepat guna dan
memperhatikan keselamatan Pasien.
Pasal 149 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Sediaan Farmasi yang berupa Obat dan
bahan baku Obat harus memenuhi syarat
farmakope Indonesia dan/atau standar
lainnya.
(2) Sediaan Farmasi yang berupa Obat
Tradisional harus memenuhi standar
dan/atau persyaratan berupa farmakope
herbal Indonesia dan/atau standar lainnya.
(3) Sediaan Farmasi yang berupa kosmetik
harus memenuhi standar dan/atau
persyaratan berupa kodeks kosmetik
Indonesia dan/atau standar lainnya.
(4) Alat Kesehatan dan PKRT harus memenuhi
standar dan/atau persyaratan yang
ditentukan.
(5) Ketentuan mengenai standar dan/atau
persyaratan Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan ditetapkan oleh Menteri.
(6) Ketentuan mengenai standar dan/atau
persyaratan untuk PKRT dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 150 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Setiap orang yang memproduksi dan/atau
mengedarkan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan PKRT harus memenuhi
perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
PKRT hanya dapat diedarkan setelah
memenuhi perizinan berusaha dari
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya berdasarkan
norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya berdasarkan
norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat
berwenang mencabut perizinan berusaha
dan memerintahkan penarikan dari
peredaran Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan PKRT yang telah
memperoleh perizinan berusaha, yang
terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu,
keamanan, dan/atau kemanfaatan.
(4) Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
PKRT sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat disita dan dimusnahkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan
berusaha terkait Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan PKRT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 151 Sesuai uu 36/2009 tetap
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 152 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Praktik kefarmasian harus dilakukan oleh
tenaga kefarmasian sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian,
praktik kefarmasian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapatdilakukan
oleh Tenaga Kesehatan tertentu secara
terbatas.
(3) Ketentuan mengenai praktik kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua Puluh Tiga Pengamanan Sesuai uu 36/2009 tetap
Makanan dan Minuman
Pasal 153
Setiap orang dan/atau badan hukum yang
memproduksi, mengolah, serta
mendistribusikan makanan dan minuman
dan/atau yang diperlakukan sebagai
makanan dan minuman hasil teknologi
rekayasa genetik, harus menjamin agar aman
bagi manusia, hewan untuk konsumsi
manusia, dan lingkungan
Pasal 154 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Setiap orang dan/atau badan hukum yang
memproduksi dan mempromosikan produk
makanan dan minuman dan/atau yang
diperlakukan sebagai makanan dan
minuman hasil olahan teknologi dilarang
menggunakan kata-kata yang mengecoh
dan/atau yang disertai klaim yang tidak
dapat dibuktikan kebenarannya.
(2) Bagi setiap orang dan/atau badan hukum
yang melanggar ketentuan larangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenakan sanksi administratif oleh
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
sesuaidengan kewenangannya berupa
perintah penarikan produk.
Pasal 155 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Makanan dan minuman untuk dikonsumsi
oleh masyarakat harus memenuhi standar
dan/atau persyaratan Kesehatan.
(2) Makanan dan minuman hanya dapat
diedarkan setelah memenuhi perizinan
berusaha dari Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Makanan dan minuman yang tidak
memenuhi ketentuan standar dan/atau
persyaratan Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk
diedarkan, serta harus ditarik dari
peredaran, diamankan/disita untuk
dimusnahkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan
berusaha terkait makanan dan minuman
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 156 Sesuai uu 36/2009 tetap
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
bertanggung jawab mengatur dan mengawasi
produksi, pengolahan, pendistribusian
makanan dan minuman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 153 sampai dengan
Pasal 155.
Bagian Kedua Puluh Empat Pengamanan Zat Sesuai uu 36/2009 tetap
Adiktif
Pasal 157
(1) Pengamanan penggunaan bahan yang
mengandung zat adiktif diarahkan agar
tidak mengganggu dan membahayakan
kesehatan perorangan, keluarga,
masyarakat, dan lingkungan.
(2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi tembakau, produk yang
mengandung tembakau atau tidak
mengandung tembakau, baik yang berupa
rokok atau bentuk lain yang bersifat adiktif,
yang penggunaannya dapat menimbulkan
kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat
sekelilingnya.
(3) Produksi, peredaran, dan penggunaan
bahan yang mengandung zat adiktif harus
memenuhi standar dan/atau persyaratan
yang ditetapkan.
Pasal 158 Sesuai uu 36/2009 tetap
Setiap orang yang memproduksi atau
memasukkan zat adiktif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 157 ayat (2) dalam
bentuk rokok atau bentuk lain yang
penggunaannya seperti rokok ke wilayah
Indonesia wajib mencantumkan peringatan
Kesehatan.
Pasal 159 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Kawasan tanpa rokok terdiri atas:
a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
b. tempat proses belajar mengajar;
c. tempat anak bermain;
d. tempat ibadah;
e. angkutan umum;
f. tempat kerja; dan
g. tempat umum dan tempat lain yang
ditetapkan.
(2) Pemerintah Daerah wajib menetapkan
kawasan tanpa rokok di wilayahnya.
(3) Khusus bagi tempat kerja dan tempat
umum dan tempat lainnya yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
f dan huruf g wajib menyediakan tempat
khusus untuk merokok.
Pasal 160 Sesuai uu 36/2009 tetap
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan
bahan yang mengandung zat adiktif diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua Puluh Lima Pelayanan Sesuai uu 36/2009 tetap
Kesehatan Tradisional
Pasal 161
(1) Berdasarkan cara pengobatannya,
Pelayanan Kesehatan tradisional terbagi
menjadi:
a. Pelayanan Kesehatan tradisional yang
menggunakan keterampilan; dan/atau
b. Pelayanan Kesehatan tradisional yang
menggunakan ramuan.
(2) Pelayanan Kesehatan tradisional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibina dan diawasi oleh Pemerintah agar
dapat dipertanggungjawabkan manfaat
dan keamanannya serta tidak
bertentangan dengan norma sosial
budaya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
dan jenis Pelayanan Kesehatan tradisional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 162 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Setiap orang yang melakukan Pelayanan
Kesehatantradisional yang menggunakan
alat dan teknologi wajib memenuhi
perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan
berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.
Pasal 163 Sesuai uu 36/2009 tetap
(1) Masyarakat diberi kesempatan yang
seluas-luasnya untuk mengembangkan,
meningkatkan dan menggunakan
Pelayanan Kesehatan tradisional yang dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya.
(2) Pemerintah mengatur dan mengawasi
Pelayanan Kesehatan tradisional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dengan didasarkan pada keamanan,
kepentingan, dan pelindungan masyarakat.
BAB VI
FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
Pasal 176
(1) Puskesmas mempunyai tugas
melaksanakan kebijakan kesehatan untuk
mencapai tujuan pembangunan kesehatan
di wilayah kerjanya.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Puskesmas
memiliki fungsi penyelenggaraan Upaya
Kesehatan Masyarakat tingkat pertama di
wilayah kerjanya dan penyelenggaraan
Upaya Kesehatan Perorangan tingkat
pertama di wilayah kerjanya.
(3) Penyelenggaraan Upaya Kesehatan
masyarakat tingkat pertama dan Upaya
Kesehatan Perorangan tingkat pertama
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
bertujuan untuk mewujudkan wilayah kerja
Puskesmas yang sehat, dengan masyarakat
yang:
a. memiliki perilaku sehat yang meliputi
kesadaran, kemauan, dan kemampuan
hidup sehat;
b. mampu menjangkau Pelayanan
Kesehatan bermutu;
c. hidup dalam lingkungan sehat; dan
d. memiliki derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya, baik individu, keluarga,
kelompok, maupun masyarakat.
Pasal 177
(1) Penyelenggaraan Upaya Kesehatan
masyarakat tingkat pertama dan Upaya
Kesehatan Perorangan tingkat pertama oleh
Puskesmas dilakukan melalui
pengoordinasian Sumber Daya Kesehatan
di wilayah kerja Puskesmas.
(2) Puskesmas melakukan pembinaan
terhadap Fasilitas Pelayanan Kesehatan
tingkat pertama di wilayah kerjanya.
(3) Untuk mencapai tujuan pembangunan
kesehatan, Puskesmas mengintegrasikan
program yang dilaksanakannya.
Pasal 178
Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan Puskesmas diatur dalam
Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah
Bagian Ketiga Rumah Sakit
Pasal 179 UU no 44 th 2009 tentang Rumah Sakit dalam pasal
(1) Rumah Sakit menyelenggarakan Pelayanan 453 termasuk yang akan dihapus
Kesehatan perorangan yang dilakukan
secara paripurna dengan menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan
gawat darurat.
(2) Selain menyelenggarakan Pelayanan
Kesehatan perorangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Rumah Sakit dapat
menyelenggarakan fungsi pendidikan dan
penelitian di bidang Kesehatan.
(3) Setiap Rumah Sakit harus
menyelenggarakan tata Kelola Rumah Sakit
dan tata kelola klinis yang baik.
Pasal 180
(1) Rumah Sakit dapat diselenggarakan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau
masyarakat.
(2) Rumah Sakit yang didirikan oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
harus berbentuk unit pelaksana teknis dari
instansi yang bertugas di bidang
Kesehatan, unit organisasi yang bersifat
khusus, atau instansi tertentu, dengan pola
pengelolaan badan layanan umum atau
badan layanan umum daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Rumah Sakit yang didirikan oleh
masyarakat harus berbentuk badan hukum
yang kegiatan usahanya hanya bergerak di
bidang perumahsakitan kecuali Rumah
Sakit yang diselenggarakan oleh badan
hukum yang bersifat nirlaba.
Pasal 181
(1) Rumah Sakit dapat ditetapkan menjadi
Rumah Sakit pendidikan setelah memenuhi
persyaratan dan standar Rumah Sakit
pendidikan.
(2) Rumah Sakit pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Rumah Sakit yang bekerja sama dengan
institusi pendidikan di bidang Kesehatan
dalam menyelenggarakan pendidikan
profesi dan profesi spesialis serta yang
lebih tinggi di bidang Kesehatan; dan
b. Rumah Sakit yang secara mandiri
menyelenggarakan pendidikan profesi
spesialis dan yang lebih tinggi di bidang
Kesehatan.
(3) Dalam penyelenggaraan Rumah Sakit
pendidikan dapat dibentuk jejaring Rumah
Sakit pendidikan.
(4) Rumah Sakit pendidikan ditetapkan oleh
Menteri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rumah
Sakit pendidikan diatur dalam Peraturan Peraturan Pemerintah
Pemerintah.
Pasal 182
Rumah Sakit mempunyai kewajiban:
a. memberikan informasi yang benar tentang
pelayanan Rumah Sakit kepada
masyarakat;
b. memberi Pelayanan Kesehatan yang aman,
bermutu, antidiskriminasi, dan efektif
dengan mengutamakan kepentingan Pasien
sesuai dengan standar pelayanan Rumah
Sakit;
c. memberikan pelayanan gawat darurat
kepada Pasien;
d. berperan aktif dalam memberikan
Pelayanan Kesehatan pada bencana;
e. menyediakan sarana dan pelayanan bagi
masyarakat tidak mampu atau miskin;
f. melaksanakan fungsi sosial;
g. membuat, melaksanakan, dan menjaga
standar mutu Pelayanan Kesehatan di
Rumah Sakit sebagai acuan dalam
melayani Pasien;
h. menyelenggarakan rekam medis;
i. menyediakan sarana dan prasarana umum
yang layak, antara lain sarana ibadah,
parkir, ruang tunggu, sarana untuk
penyandang disabilitas, ibu menyusui,
anak-anak, dan lanjut usia;
j. merujuk Pasien jika tidak sesuai dengan
kompetensi layanannya;
k. menolak keinginan Pasien yang
bertentangan dengan standar profesi dan
etika serta peraturan perundangundangan;
l. memberikan informasi yang benar, jelas,
dan jujur mengenai hak dan kewajiban
Pasien;
m. menghormati dan melindungi hak-hak
Pasien;
n. melaksanakan etika Rumah Sakit;
o. memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan
penanggulangan bencana;
p. melaksanakan program pemerintah di
bidang Kesehatan baik secara regional
maupun nasional;
q. membuat daftar tenaga medis yang
melakukan praktik kedokteran atau
kedokteran gigi dan Tenaga Kesehatan
lainnya;
r. menyusun dan melaksanakan peraturan
internal Rumah Sakit (hospital by laws);
s. melindungi dan memberikan bantuan
hukum bagi semua petugas Rumah Sakit
dalam melaksanakan tugas;dan
t. memberlakukan seluruh lingkungan Rumah
Sakit sebagai kawasan tanpa rokok.
Pasal 183
Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan Rumah Sakit diatur dalam
Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah
BAB VII
TENAGA KESEHATAN
Pasal 21
(1) Perguruan tinggi yang memenuhi
persyaratan pendirian dan dinyatakan
berhak menyelenggarakan program
pendidikan tertentu dapat memberikan
gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai
dengan program pendidikan yang
diselenggarakannya.
(2) Selain perguruan tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pemberian gelar
profesi dapat diberikan oleh institusi
penyelenggara Pendidikan profesi tertentu. Tidak Ada Tidak ada
(3) Perseorangan, organisasi, atau
penyelenggara pendidikan yang:
a. bukan merupakan perguruan tinggi
dilarang memberikan gelar akademik,
profesi, atau vokasi; dan
b. bukan merupakan institusi
penyelenggara pendidikan profesi
tertentu dilarang
memberikan gelar profesi.
(4) Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanya
digunakan oleh lulusan dari perguruan
tinggi yang dinyatakan berhak memberikan
gelar akademik, profesi, atau vokasi.
(5) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), gelar profesi juga dapat
digunakan oleh lulusan dari institusi
penyelenggara Pendidikan profesi tertentu
yang dinyatakan berhak memberikan gelar
profesi.
(6) Penggunaan gelar akademik, profesi, atau
vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dan ayat (5) hanya dibenarkan dalam
bentuk dan singkatan yang diterima dari
penyelenggara pendidikan yang
bersangkutan.
(7) Penyelenggara pendidikan yang tidak
memenuhi persyaratan pendirian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau
penyelenggara pendidikan bukan perguruan
tinggi atau institusi penyelenggara
pendidikan profesi tertentu yang
melakukan tindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi Tidak Ada Tidak ada
administratif berupa penutupan
penyelenggaraan pendidikan.
(8) Gelar akademik, profesi, atau vokasi yang
dikeluarkan oleh penyelenggara pendidikan
yang tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dinyatakan tidak sah. Tidak ada Tidak ada
(9) Ketentuan mengenai gelar akademik,
profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
3. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 25
diubah sehingga
Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
(1) Perguruan tinggi dan institusi
penyelenggara pendidikan profesi tertentu
menetapkan persyaratan kelulusan untuk
mendapatkan gelar akademik, profesi, atau
vokasi.
(2) Lulusan perguruan tinggi dan institusi
penyelenggara pendidikan profesi tertentu
yang karya ilmiahnya digunakan untuk
memperoleh gelar akademik, profesi, atau
vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut
gelarnya.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan kelulusan
dan pencabutan gelar akademik, profesi,
atau vokasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
4. Ketentuan ayat (6) Pasal 50 diubah
sehingga Pasal 50 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 50
(1) Pengelolaan sistem pendidikan nasional
merupakan tanggung jawab menteri.
(2) Pemerintah menentukan kebijakan
nasional dan standar nasional pendidikan
untuk menjamin mutu pendidikan
nasional.
(3) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
menyelenggarakan sekurang-kurangnya
satu satuan pendidikan pada semua
jenjang pendidikan untuk dikembangkan
menjadi satuan pendidikan yang bertaraf
internasional.
(4) Pemerintah daerah provinsi melakukan
koordinasi atas penyelenggaraan
pendidikan, pengembangan tenaga
kependidikan, dan penyediaan fasilitas
penyelenggaraan pendidikan lintas daerah
kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan
dasar dan menengah.
(5) Pemerintah kabupaten/kota mengelola
Pendidikan dasar dan pendidikan
menengah, serta satuan pendidikan yang
berbasis keunggulan lokal.
(6) Perguruan tinggi dan institusi
penyelenggara pendidikan profesi tertentu
menentukan kebijakan dan memiliki
otonomi dalam mengelola Pendidikan di
lembaganya.
(7) Ketentuan mengenai pengelolaan
Pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Institusi penyelenggara pendidikan profesi tertentu Perlu pengaturan lebih lanjut agar ada
dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan selain PT dapat tidak berbadan hukum sinkronisasi dg peraturan peundangan yang lain.
Peraturan Pemerintah. bertentangan dengan dasar p eraturan
5. Diantara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 53 perundangan yang lain dan berimplikasi terhadap
disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a), keabsahan penyelenggaraan dan produk
sehingga Pasal 53 berbunyi sebagai berikut: pendidikan.
Pasal 53
(1) Penyelenggara dan/atau satuan
pendidikan formal yang didirikan oleh
Pemerintah atau masyarakat berbentuk
badan hukum Pendidikan. (1a)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bagi institusi
penyelenggara Pendidikan profesi tertentu.
(2) Badan hukum pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berfungsi
memberikan pelayanan pendidikan kepada
peserta didik.
(3) Badan hukum pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berprinsip nirlaba
dan dapat mengelola dana secara mandiri
untuk memajukan satuan pendidikan.
(4) Ketentuan tentang badan hukum
pendidikan diatur dengan Undang-Undang
tersendiri.
Pasal 202
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 158, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5336) Pasal 1 ayat 8 a (tambahan ttg pengertian insitusi Perlu pengaturan lebih detail dalam peraturan
diubah sebagai berikut: penyelenggaran pendidikan profesi tertentu adalah perundangan turunannya.
1. Ketentuan angka 2 diubah dan diantara RS pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan
angka 8 dan angka 9 Pasal 1 disisipkan 1 profesi spesialis dan yang lebih tinggi)
(satu) angka yakni angka 8a, sehingga Pasal
1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud
dengan:
1. Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara.
2. Pendidikan Tinggi adalah jenjang
pendidikan setelah pendidikan menengah
yang mencakup program diploma, program
sarjana, program magister, program doktor,
dan program profesi, serta program
spesialis, yang diselenggarakan oleh
perguruan tinggi atau institusi
penyelenggara Pendidikan profesi tertentu
berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.
3. Ilmu Pengetahuan adalah rangkaian Pasal 1 ayat 8 a (tambahan ttg pengertian insitusi Perlu pengaturan lebih detail dalam peraturan
pengetahuan yang digali, disusun, dan penyelenggara pendidikan profesi tertentu adalah perundangan turunannya.
dikembangkan secara sistematis dengan RS pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan
menggunakan pendekatan tertentu, yang profesi spesialis dan yang lebih tinggi)
dilandasi oleh metodologi ilmiah untuk
menerangkan gejala alam dan/atau
kemasyarakatan tertentu.
4. Teknologi adalah penerapan dan
pemanfaatan berbagai cabang Ilmu
Pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi
pemenuhan kebutuhan dan kelangsungan
hidup, serta peningkatan mutu kehidupan
manusia.
5. Humaniora adalah disiplin akademik yang
mengkaji nilai intrinsik kemanusiaan.
6. Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan
yang menyelenggarakan Pendidikan Tinggi.
7. Perguruan Tinggi Negeri yang selanjutnya
disingkat PTN adalah Perguruan Tinggi
yang didirikan dan/atau diselenggarakan
oleh Pemerintah.
8. Perguruan Tinggi Swasta yang selanjutnya
disingkat PTS adalah Perguruan Tinggi yang
didirikan dan/atau diselenggarakan oleh
masyarakat.
8a. Institusi Penyelenggara Pendidikan Profesi
Tertentu adalah rumah sakit pendidikan
yang menyelenggarakan pendidikan profesi
spesialis dan yang lebih tinggi.
9. Tridharma Perguruan Tinggi yang
selanjutnya disebut Tridharma adalah
kewajiban Perguruan Tinggi untuk
menyelenggarakan Pendidikan, penelitian,
dan pengabdian kepada masyarakat.
10. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan
menurut kaidah dan metode ilmiah secara
sistematis untuk memperoleh informasi,
data, dan keterangan yang berkaitan
dengan pemahaman dan/atau pengujian
suatu cabang ilmu pengetahuan dan
teknologi. Tidak ada Tidak ada
11. Pengabdian kepada Masyarakat adalah
kegiatan sivitas akademika yang
memanfaatkan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi untuk memajukan kesejahteraan
masyarakat dan mencerdaskan kehidupan
bangsa.
12. Pembelajaran adalah proses interaksi
mahasiswa dengan dosen dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar.
13. Sivitas Akademika adalah masyarakat
akademik yang terdiri atas dosen dan
mahasiswa.
14. Dosen adalah pendidik profesional dan
ilmuwan dengan tugas utama
mentransformasikan, mengembangkan, dan
menyebarluaskan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi melalui Pendidikan, Penelitian,
dan Pengabdian kepada Masyarakat.
15. Mahasiswa adalah peserta didik pada
jenjang Pendidikan Tinggi.
16. Masyarakat adalah kelompok warga
negara Indonesia nonpemerintah yang
mempunyai perhatian dan peranan dalam
bidang Pendidikan Tinggi.
17. Program Studi adalah kesatuan kegiatan
Pendidikan dan pembelajaran yang
memiliki kurikulum dan metode
pembelajaran tertentu dalam satu jenis
pendidikan akademik, pendidikan profesi,
dan/atau pendidikan vokasi.
18. Standar Nasional Pendidikan Tinggi Tidak ada Tidak ada
adalah satuan standar yang meliputi
standar nasional pendidikan, ditambah
dengan standar penelitian, dan standar
pengabdian kepada masyarakat.
19. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut
Pemerintah, adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-
UndangDasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
20. Pemerintah Daerah adalah gubernur,
bupati, atau walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
21. Kementerian adalah perangkat pemerintah
yang membidangi urusan pemerintahan di
bidang pendidikan.
22. Kementerian lain adalah perangkat
pemerintah yang membidangi urusan
pemerintahan di luar bidang pendidikan.
23. Lembaga selanjutnya Pemerintah disingkat
Nonkementerian yang LPNK adalah
Lembaga pemerintah pusat yang
melaksanakan tugas pemerintahan
tertentu.
24. Menteri adalah menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pendidikan.
2. Ketentuan ayat (3) huruf e diubah dan
diantara ayat (4) dan ayat (5) Pasal 7
disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (4a),
sehingga pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Menteri bertanggung jawab atas Tidak ada Tidak ada
penyelenggaraan Pendidikan Tinggi.
(2) Tanggung jawab Menteri atas
penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup pengaturan, perencanaan,
pengawasan, pemantauan, dan evaluasi
serta pembinaan dan koordinasi.
(3) Tugas dan wewenang Menteri atas
penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
meliputi:
a. kebijakan umum dalam pengembangan
dan koordinasi Pendidikan Tinggi sebagai
bagian dari sistem pendidikan nasional
untuk mewujudkan tujuan Pendidikan
Tinggi;
b. penetapan kebijakan umum nasional dan
penyusunan rencana pengembangan
jangka panjang, menengah, dan tahunan
Pendidikan Tinggi yang berkelanjutan;
c. peningkatan penjaminan mutu, relevansi,
keterjangkauan, pemerataan yang
berkeadilan,dan akses Pendidikan Tinggi
secara berkelanjutan;
d. pemantapan dan peningkatan kapasitas
pengelolaan akademik dan pengelolaan
sumber daya Perguruan Tinggi;
e. pemberian dan pencabutan izin yang
berkaitan dengan penyelenggaraan
Perguruan Tinggi kecuali pendidikan tinggi
keagamaan dan Pendidikan Tinggi bidang
kesehatan yang diselenggarakan oleh
Institusi Penyelenggara Pendidikan
Tertentu;
f. kebijakan umum dalam penghimpunan
dan pendayagunaan seluruh potensi
masyarakat untuk mengembangkan
Pendidikan Tinggi;
g. pembentukan dewan, majelis, komisi,
dan/atau konsorsium yang melibatkan
Masyarakat untuk merumuskan kebijakan
pengembangan Pendidikan Tinggi; dan
h. pelaksanaan tugas lain untuk menjamin
pengembangan dan pencapaian tujuan
Pendidikan Tinggi.
(4) Dalam hal penyelenggaraan pendidikan
tinggi keagamaan, tanggung jawab, tugas,
dan wewenang dilaksanakan oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang agama.
(4a) Dalam hal penyelenggaraan Pendidikan
Tinggi bidang kesehatan oleh Institusi
Penyelenggara Pendidikan Profesi Tertentu,
tanggung jawab, tugas dan wewenang
dilaksanakan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan berkoordinasi dengan
Menteri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung
jawab Menteri atas penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), tugas dan wewenang Menteri
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
3. Diantara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 25
disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (2a),
sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
(1) Program spesialis merupakan pendidikan Dosen pengajar spesialis bergelar doktor atau Perlu ditinjau ulang
keahlian lanjutan yang dapat bertingkat dokter spesialis dengan masa kerja minimal 2
dan diperuntukkan bagi lulusan program tahun . Kriteria dokter spesialis dengan masa
profesi yang telah berpengalaman sebagai kerja minimal 2 tahun menjadi dosen prodi
profesional untuk mengembangkan bakat spesialis perlu dicermati kelayakannya.
dan kemampuannya menjadi spesialis.
(2) Program spesialis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diselenggarakan oleh
Perguruan Tinggi bekerja sama dengan
Kementerian, Kementerian lain, LPNK
dan/atau organisasi profesi yang
bertanggung jawab atas mutu layanan
profesi. (2a) Selain diselenggarakan oleh
Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), penyelenggaraan program
spesialis dapat diselenggarakan oleh
Institusi Penyelenggara Pendidikan Profesi
Tertentu dan dapat bekerja sama dengan
Perguruan Tinggi, kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan, Kementerian dan/atau
pihak lain sesuai dengan kebutuhan.
(3) Program spesialis sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) meningkatkan kemampuan
spesialisasi dalam cabang ilmu tertentu.
(4) Program spesialis wajib memiliki Dosen
yang berkualifikasi akademik minimum
lulusan program spesialis dan/atau lulusan
program doktor atau yang sederajat dengan
pengalaman kerja paling singkat 2 (dua)
tahun.
(5) Lulusan program spesialis berhak
menggunakan gelar spesialis.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai program
spesialis diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud
dengan:
1. Pendidikan Kedokteran adalah usaha sadar
dan terencana dalam pendidikan formal Tidak ada Tidak ada
yang terdiri atas pendidikan akademik dan
pendidikan profesi pada jenjang pendidikan
tinggi yang program studinya terakreditasi
untuk menghasilkan lulusan yang memiliki
Kompetensi di bidang kedokteran atau
kedokteran gigi.
2. Pendidikan Akademik adalah pendidikan
tinggi program sarjana dan/atau program
pascasarjana kedokteran dan kedokteran
gigi yang diarahkan terutama pada
penguasaan ilmu kedokteran dan ilmu
kedokteran gigi.
3. Pendidikan Profesi adalah Pendidikan
Kedokteran yang dilaksanakan melalui
proses belajar mengajar dalam bentuk
pembelajaran klinik dan pembelajaran
komunitas yang menggunakan berbagai
bentuk dan tingkat pelayanan kesehatan
nyata yang memenuhi persyaratan sebagai
tempat praktik kedokteran.
4. Fakultas Kedokteran adalah himpunan
sumber daya pendukung perguruan tinggi
yang menyelenggarakan dan mengelola
Pendidikan dokter.
5. Fakultas Kedokteran Gigi adalah himpunan
sumber daya pendukung perguruan tinggi
yang menyelenggarakan dan mengelola
Pendidikan Dokter Gigi.
6. Mahasiswa Kedokteran atau Mahasiswa
Kedokteran Gigi yang selanjutnya disebut
Mahasiswa adalah peserta didik yang
mengikuti Pendidikan Kedokteran.
7. Sarjana Kedokteran adalah lulusan
Pendidikan Akademik pada program
sarjana di bidang kedokteran, baik di dalam
maupun di luar negeri, yang diakui oleh
Pemerintah.
8. Sarjana Kedokteran Gigi adalah lulusan
Pendidikan Akademik pada program
sarjana di bidang kedokteran gigi, baik di
dalam maupun di luar negeri, yang diakui
oleh Pemerintah.
9. Dokter adalah dokter, dokter layanan
primer, dokter spesialis-subspesialis
lulusan pendidikan dokter, baik di dalam
maupun di luar negeri, yang diakui oleh
Pemerintah.
10. Dokter Gigi adalah dokter gigi, dokter gigi
spesialissubspesialis lulusan pendidikan
dokter gigi, baik di dalam maupun di luar
negeri, yang diakui oleh Pemerintah.
11. Dosen Kedokteran yang selanjutnya
disebut Dosen adalah pendidik profesional
dan ilmuwan dengan tugas utama
mentransformasikan, mengembangkan, dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan
teknologi, humaniora kesehatan, dan/atau
keterampilan klinis melalui pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat.
12. Tenaga Kependidikan Pendidikan
Kedokteran yang selanjutnya disebut
Tenaga Kependidikan adalah seseorang
yang berdasarkan pendidikan dan
keahliannya mengabdikan diri untuk
menunjang penyelenggaraan Pendidikan
Kedokteran.
13. Standar Nasional Pendidikan Kedokteran
Tidak ada Tidak ada
adalah bagian dari standar nasional
pendidikan tinggi yang merupakan kriteria
minimal dan harus dipenuhi dalam
penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran.
14. Kurikulum Pendidikan Kedokteran yang
selanjutnya disebut Kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran,
serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan Pendidikan
Kedokteran.
15. Rumah Sakit Pendidikan adalah rumah
sakit yang mempunyai fungsi sebagai
tempat pendidikan, penelitian, dan
pelayanan kesehatan secara terpadudalam
bidang Pendidikan Kedokteran, Pendidikan
berkelanjutan, dan pendidikan kesehatan
lainnya secara multiprofesi.
16. Rumah Sakit Pendidikan Umum adalah
rumah sakit umum yang digunakan untuk
memenuhi seluruh atau sebagian besar
kurikulum dalam rangka mencapai
kompetensi di bidang kedokteran atau
kedokteran gigi.
16a.Rumah Sakit Pendidikan Khusus adalah
rumah sakit khusus yang digunakan untuk
memenuhi seluruh atau sebagian besar
kurikulum dalam rangka mencapai
kompetensi di bidang kedokteran atau
kedokteran gigi.
17. Rumah Sakit Pendidikan Afiliasi adalah
rumah sakit khusus atau rumah sakit
dengan unggulan pelayanan kedokteran
tertentu yang digunakan untuk memenuhi Tidak ada
kurikulum dalam rangka mencapai Tidak ada
kompetensi di bidang kedokteran atau
kedokteran gigi.
18. Rumah Sakit Pendidikan Satelit adalah
rumah sakit umum yang digunakan untuk
memenuhi Kurikulum dalam rangka
mencapai Kompetensi di bidang kedokteran
atau kedokteran gigi.
18a. Institusi Pendidikan Kedokteran adalah
Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran
Gigi, dan Rumah Sakit Pendidikan untuk
memenuhi seluruh atau sebagian besar
kurikulum dalam rangka mencapai
kompetensi di bidang kedokteran atau
kedokteran gigi.
19. Wahana Pendidikan Kedokteran adalah
fasilitas selain Rumah Sakit Pendidikan
yang digunakan sebagai tempat
penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran.
20. Organisasi Profesi adalah organisasi yang
memiliki Kompetensi di bidang kedokteran
atau kedokteran gigi yang diakui oleh
Pemerintah.
21. Setiap orang adalah orang perseorangan
atau badan hukum.
22. Pemerintah Pusat yang selanjutnya
disebut Pemerintah adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Tambahan Pasal 5a : Pendidikan Kedokteran Perlu kajian yang cermat utk kelayakan RS
Indonesia Tahun 1945.
dapat diselenggarakan oleh RS Pendidikan dan pendidikan sebagai wahana pendidikan .
dapat bekerjasama dengan PT, Kementerian
Pendidikan atau Kementerain Kesehatan.setelah
23. Pemerintah Daerah adalah gubernur, mendapatkan ijin Kementerian yang diatur dalam
bupati, dan walikota, serta perangkat PP
daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan.
24. Menteri adalah menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pendidikan. Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 5A
(1) Selain diselenggarakan oleh perguruan
tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5, Pendidikan Kedokteran juga dapat
diselenggarakan oleh Rumah Sakit
Pendidikan dan dapat bekerja sama dengan
perguruan tinggi, kementerian yang
menyelenggarakan urusan di bidang
Pendidikan tinggi, kementerian yang
menyelenggarakan urusan di bidang
kesehatan, dan/atau pihak lain sesuai
dengan kebutuhan.
(2) Penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran
oleh Rumah Sakit Pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) setelah
mendapatkan izin dari Menteri dan menteri
yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran Tambahan dari peraturan perundangan Perlu masukan dari OP
oleh Rumah Sakit Pendidikan sebagaimana sebelumnya :Pasal 8 (2) Dalam hal mempercepat
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam terpenuhinya kebutuhan dokter layanan primer,
Peraturan Pemerintah. institusi pendidikan kedokteran dengan akreditasi
tertinggi dapat bekerjasama dengan institusi
pendidikan kedokteran setingkat lebih rendah
3. Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga Pasal 8 dalam menjalankan program dokter layanan
berbunyi sebagai berikut: primer. Program dokter layanan primer
Pasal 8 merupakan pilihan dari kelanjutan program
(1) Program dokter layanan primer, dokter profesi dokter dan program internship yang setara
spesialis- subspesialis, dan dokter gigi dengan program dokter spesialis --> diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Menteri.
spesialis-subspesialis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) huruf b
hanya dapat diselenggarakan oleh Institusi
Pendidikan Kedokteran yang memiliki
akreditasi kategori tertinggi.
(2) Dalam hal mempercepat terpenuhinya
kebutuhan dokter layanan primer, Institusi
Pendidikan Kedokteran dengan akreditasi
kategori tertinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan
Institusi Pendidikan Kedokteran yang
akreditasinya setingkat lebih rendah dalam
menjalankan program dokter layanan
primer.
(3) Program dokter layanan primer
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan pilihan dari kelanjutan program
profesi dokter dan program internsip yang
setara dengan program dokter spesialis.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai institusi
Pendidikan Kedokteran yang
menyelenggarakan program dokter layanan
primer, dokter spesialis subspesialis, dan Pengaturan tentang pengendalian laju produksi Tidak ada
dokter gigi spesialis-subspesialis Nakes Medis : Tambahan Pasal 9 (1a) Prodi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kedokteran dan Prodi kedokteran gigi hanya
sampai dengan ayat (3) diatur dalam menerima mahasiswa sesuai dengan kuota
Peraturan Menteri. nasional yang harus memperhatikan kebutuhan
dokter dan dokter gigi dalam yankes.
4. Diantara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 9
disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a),
sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Program studi kedokteran dan program
studi kedokteran gigi hanya dapat
menerima Mahasiswa sesuai dengan kuota
nasional.
(1a) Kuota nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memperhatikan
kebutuhan dokter dan dokter gigi dalam
pelayanan kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai kuota nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri setelah
berkoordinasi dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.
Pasal 12A
(1) Dalam rangka pemenuhan Dokter atau
Dokter Gigi, Menteri dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan berwenang menugaskan Penguatan kewenangan Kemenkes dalam
perguruan tinggi serta Rumah Sakit pengadaan SDM Nakes --> Tambahan Pasal 12 A : Perlu keterlibatan stake holder lain
Pendidikan yang telah memenuhi Dalam rangka pemenuhan Dokter dan Doker gigi
persyaratan untuk menyelenggarakan Menteri Kesehatan berwenang 1) menugaskan PT
program studi Dokter atau Dokter Gigi. serta RS pendidikan yang telah memenuhi
(2) Selain pemenuhan Dokter atau Dokter Gigi persyaratan untuk menyelenggarakan Prodi dokter
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atau dokter gigi. 2) Menugaskan institusi Pendikan
Menteri dan menteri yang Kedokteran serta RS Pendidikan yang telah
menyelenggarakan urusan pemerintahan di memenuhi syarat menyelenggarakan Prodi dokter
bidang kesehatan berwenang menugaskan spesialis dan dokter gigi Spesialis dan
3)menugaskan institusi pendidikan kedokteran
Institusi Pendidikan Kedokteran serta
serta RS pendidikan menyelenggarakan program
Rumah Sakit Pendidikan yang telah khusus akselerasi Dokter spesialis atau dokter gigi
memenuhi persyaratan untuk spesialis dengan menambah jumlah RS
menyelenggarakan program studi Dokter pendidikan dan dosen sesuai dengan
spesialis atau Dokter Gigi spesialis. kewenangannya.
(3) Dalam hal terdapat peningkatan
kebutuhan pelayanan kesehatan
spesialistik, Menteri dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan berwenang menugaskan
Institusi Pendidikan Kedokteran serta
Rumah Sakit Pendidikan untuk
menyelenggarakan program khusus
akselerasi Dokter spesialis atau Dokter Gigi
spesialis.
(4) Dalam rangka menyelenggarakan program
khusus akselerasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) Institusi Pendidikan
Kedokteran menambah jumlah Rumah
Sakit Pendidikan dan Dosen.
(5) Penambahan jumlah Rumah Sakit
Pendidikan dan dosen sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) difasilitasi oleh
Menteri dan menteri yang RS Pendidikan terdiri dari : RS Pendidikan Umum, Tidak ada
menyelenggarakan urusan pemerintahan di RS Pendidikan Khusus, RS pendidika Afiliasi dan
bidang kesehatan sesuai dengan RS Pendidikan Satelit. Perubahan Pasal 27 :
kewenangannya. Calon Mahasiswa harus lulus seleksi sesuai
Peraturan Perundadangan, lulus tes bakat dan
6. Ketentuan Pasal 15 diubah, sehingga Pasal kepribadian dan Seleksi penerimaan calon
15 berbunyi sebagai berikut: mahasiswa menjamin adanya kesempatan bagi
Pasal 15 calon mahasiswa dari daerah sesuai dengan
Rumah Sakit Pendidikan terdiri atas: kebutuhan dan gender serta daerah dengan
a. Rumah Sakit Pendidikan Umum; kondisi masyarakat berpenghasilan rendah.
b. Rumah Sakit Pendidikan Khusus;
c. Rumah Sakit Pendidikan Afiliasi; dan
d. Rumah Sakit Pendidikan Satelit.
Pasal 38A
(1) Dalam rangka percepatan pemerataan
pelayanan spesialistik, Mahasiswa program
profesi Dokter spesialis atau Dokter Gigi
spesialis harus mengikuti program bakti
kerja yang dilaksanakan untuk jangka
waktu tertentu pada akhir masa Tambahan Pasal 38 a)Utk percepatan pemerataan
pendidikan. pelayanan spesialistik , mahasiswa program dokter
(2) Program bakti kerja sebagaimana spesialis atau dokter gigi spesialis harus mengikuti
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di program bakti kerja untuk jangka waktu tertentu
rumah sakit yang ditunjuk dan pada akhir masa pendidikan yang dialksanakn di
diperhitungkan sebagai masa kerja. RS yang ditunjuk dan diperhitungkan sebagai
(3) Program bakti kerja sebagaimana masa kerja. Program masa bhakti diatur dalam
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Perauran Menteri.
diselenggarakan oleh Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai program
bakti kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur
dalam peraturan Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.
Pasal 204
Tidak ada Tidak ada
(1) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan
dilakukan oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat
sesuai dengan tugas dan fungsi
masingmasing berdasarkan ketentuan
peraturan perundangundangan.
2) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan memperhatikan aspek
pemerataan, pemanfaatan, dan/atau
pengembangan.
Pasal 205 Tidak ada Tidak ada
(1) Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib
memenuhi kebutuhan Tenaga Kesehatan
untuk Pelayanan Kesehatan dasar di
Puskesmas dan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan tingkat pertama lainnya milik
Pemerintah Daerah.
(2) Pemerintah Pusat dapat memberikan
insentif atau disinsentif kepada Pemerintah
Daerah kabupaten/kota dalam pemenuhan
kebutuhan Tenaga Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai insentif
atau disinsentif sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam Peraturan
Menteri.
Paragraf 2 Tidak ada Tidak ada
Pendayagunaan Tenaga Kesehatan di Dalam
Negeri
Pasal 206
(1) Dalam rangka pemerataan Pelayanan
Kesehatan dan pemenuhan kebutuhan
Pelayanan Kesehatan kepada masyarakat,
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
bertanggung jawab melakukan penempatan
Tenaga Kesehatan setelah melalui proses
seleksi.
(2) Penempatan Tenaga Kesehatan oleh Penempatan Nakes dalam penugasan khusus
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagai implementasi tanggung jawab pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam pemenuhan kebutuhan Nakes
dilaksanakan dengan cara:
a. pengangkatan sebagai pegawai negeri
sipil;
b. pengangkatan sebagai pegawai
pemerintah dengan perjanjian kerja;
atau
c. penugasan khusus.
(3) Selain penempatan Tenaga Kesehatan
dengan cara sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Pemerintah Pusat dapat
menempatkan Tenaga Kesehatan melalui
pengangkatan sebagai anggota TNI/POLRI.
(4) Pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil
dan pegawai pemerintah dengan perjanjian
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a dan huruf b serta penempatan
melalui pengangkatan sebagai anggota
TNl/POLRI sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Penempatan Tenaga Kesehatan melalui
penugasan khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c dilakukan oleh
Menteri dengan memperhatikan kebutuhan
Pelayanan Kesehatan, ketersediaan Tenaga
Kesehatan, dan daerah tertinggal,
perbatasan dan kepulauan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penugasan khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) diatur dalam Peraturan
Menteri.
Pasal 207 Tidak ada Tidak ada
(1) Dalam rangka pemerataan Tenaga
Kesehatan sesuai dengan kebutuhan
Pelayanan Kesehatan, Pemerintah Pusat
dan/atau Pemerintah Daerah dapat
memanfaatkan Tenaga Kesehatan lulusan
dari perguruan tinggi yang diselenggarakan
oleh Pemerintah Pusat atau masyarakat
untuk mengikuti seleksi penempatan.
(2) Tenaga Kesehatan yang telah lulus seleksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditempatkan pada Fasilitas Pelayanan
Kesehatan milik Pemerintah Pusat
dan/atau Pemerintah Daerah untuk jangka
waktu tertentu.
(3) Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau
kepala daerah yang membawahi Fasilitas
Pelayanan Kesehatan tersebut harus
mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan
insentif, jaminan keamanan, dan
keselamatan kerja Tenaga Kesehatan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penempatan Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 208 Tidak ada Tidak ada
(1) Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
dapat dipindahtugaskan antarprovinsi,
antarkabupaten, atau antarkota karena
alasan kebutuhan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan dan/atau promosi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Tenaga Kesehatan yang bertugas di daerah
tertinggal, perbatasan, dan kepulauan serta
daerah bermasalah kesehatan dapat
memperoleh kenaikan pangkat luar biasa
dan pelindungan dalam pelaksanaan tugas
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang undangan.
(3) Dalam hal terjadi kekosongan Tenaga
Kesehatan, Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah harus menyediakan
Tenaga Kesehatan pengganti untuk
menjamin keberlanjutan Pelayanan
Kesehatan pada Fasilitas Pelayanan
Kesehatan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan lebih Ianjut mengenai
pemindahtugasan Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
Tenaga Kesehatan yang bertugas di daerah
tertinggal, perbatasan, dan kepulauan serta
daerah bermasalah kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 209 Tidak ada Tidak ada
(1) Dalam rangka pemerataan akses Pelayanan
Kesehatan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat, Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintah Daerah bertanggung jawab
menempatkan Tenaga Kesehatan pada
daerah terpencil, daerah tertinggal,
perbatasan dan kepulauan, daerah
bermasalah kesehatan, atau daerah tidak
diminati untuk jangka waktu tertentu.
(2) Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diberikan insentif
tertentu dan/atau tunjangan daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penempatan dan pemberian insentif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 210 Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat
(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah menetapkan pola ikatan dinas utk memenuhi
Daerah dapat menetapkan pola ikatan kepentingan pembangunan kesehatan yang
dinas bagi calon Tenaga Kesehatan untuk selanjutnya diatur dalam PP
memenuhi kepentingan pembangunan
kesehatan.
(2) Selain pola ikatan dinas yang
diselenggarakan Pemerintah Pusat
dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), badan usaha atau
masyarakat dapat menetapkan pola ikatan
dinas dalam rangka memenuhi kepentingan
Pelayanan Kesehatan di masyarakat.
(3) Pelaksanaan pola ikatan dinas oleh badan
usaha atau masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diikuti dengan
penempatan Tenaga Kesehatan pada daerah
terpencil, daerah tertinggal, perbatasan dan
kepulauan, daerah bermasalah kesehatan,
atau daerah tidak diminati dalam rangka
dukungan pemerataan Tenaga Kesehatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola
ikatan dinas bagi calon Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Paragraf 3 Pendayagunaan Tenaga Cadangan Tenaga cadangan Kesehatan untuk Penaggulangan Tidak ada
Kesehatan Untuk Penanggulangan Kejadian KLB, Wabah dan darurat Bencana Lainnya.
Luar Biasa, Wabah, dan Darurat Bencana
Lainnya
Pasal 211
(1) Dalam rangka meningkatkan kapasitas
sumber daya manusia Kesehatan untuk
mendukung ketahanan Kesehatan,
Pemerintah Pusat membentuk tenaga
cadangan Kesehatan.
(2) Tenaga cadangan Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa Tenaga
Kesehatan dan non-Tenaga Kesehatan yang
dipersiapkan untuk dimobilisasi pada
penanggulangan KLB, Wabah, dan darurat
bencana lainnya.
(3) Tenaga cadangan kesehatan berupa non-
Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat berasal dari Tenaga
Kesehatan yang sudah tidak aktif lagi
menjalankan praktik Tenaga Kesehatan.
(4) Tenaga cadangan Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan
pengelolaan melalui proses Registrasi dan
kredensialing dengan memanfaatkan
teknologi informasi, pembinaan dan
peningkatan kapasitas tenaga cadangan
Kesehatan, serta pelaksanaan mobilisasi.
Pasal 212 Tidak ada Tidak ada
Tenaga cadangan Kesehatan yang ditugaskan
oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
211 dapat diberikan insentif dan/atau
tunjangan daerah sesuai dengan kemampuan
keuangan masing-masing daerah dan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 213 Tidak ada Tidak ada
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pendayagunaan tenaga cadangan Kesehatan
untuk penanggulangan KLB, Wabah, dan
darurat bencana lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 211 dan Pasal 212
diatur dalam Peraturan Menteri.
Paragraf 4 Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Tidak ada Tidak ada
Warga Negara Indonesia Ke Luar Negeri
Pasal 214
(1) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan warga
negara Indonesia ke luar negeri dapat
dilakukan dengan mempertimbangkan
keseimbangan antara kebutuhan Tenaga
Kesehatan di Indonesia dan peluang kerja
bagi Tenaga Kesehatan warga negara
Indonesia di luar negeri.
(2) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan warga
negara Indonesia ke luar negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Paragraf 5 Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Pasal baru : Pendayagunaan Nakes WNA lulusan Peran Kolegium dan OP tidak ada
Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri dan LN dan WNI lulusa LN Ke LN. Nakes WNA lulusan
Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia LN dan WNA lulusan LN yang praktik di Indonesia
Lulusan Luar Negeri wajib mengikuti evaluasi kompetensi meliputi
pemenuhan syarat administratif dan kemampuan
praktik yang sesuai dengan standar kompetensi
Pasal 215
Nakes di Indonesia.Penyetaraan kompetensi
(1) Tenaga Kesehatan warga negara Indonesia dilakukan Menteri dan bila kompeten akan
lulusan luar negeri dan Tenaga Kesehatan melakukan adaptasi di di Fasyankes. Bila belum
warga negara asing lulusan luar negeri yang kompeten aelanjutnya mengikuti penambahan
akan melaksanakan praktik di Indonesia kompetensi melalui fellowship atau pelatihan.
harus mengikuti evaluasi kompetensi. Lulusan LN yang mengikuti adaptasai harus ber-
(2) Evaluasi kompetensi sebagaimana STR dan SIP adaptasi.
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penilaian kelengkapan administratif; dan
b. penilaian kemampuan praktik.
(3) Penilaian kemampuan praktik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dilakukan setelah penilaian
kelengkapan administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a.
(4) Dalam rangka penilaian kemampuan
praktik sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b dilakukan penyetaraan
kompetensi dan/atau uji kompetensi.
(5) Penyetaraan kompetensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) bertujuan untuk
memastikan kesesuaian dengan standar
kompetensi Tenaga Kesehatan di
Indonesia.
(6) Penyetaraan kompetensi dan/atau uji
kompetensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dilakukan oleh Menteri.
(7) Hasil uji kompetensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) berupa:
a. kompeten; atau
b. belum kompeten.
(8) Dalam hal hasil uji kompetensi berupa
kompeten sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) huruf a, Tenaga Kesehatan warga
negara Indonesia lulusan luar negeri dan
Tenaga Kesehatan warga negara asing
lulusan luar negeri mengikuti adaptasi di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
(9) Dalam hal hasil uji kompetensi berupa
belum kompeten sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) huruf b, Tenaga Kesehatan
warga negara Indonesia lulusan luar negeri
dan Tenaga Kesehatan warga negara asing
lulusan luar negeri mengikuti penambahan
kompetensi melalui program fellowship atau
pelatihan.
Pasal 216 STR dan SIP adaptasi diterbitkan pemerintah
(1) Tenaga Kesehatan warga negara Indonesia
lulusan luar negeri dan Tenaga Kesehatan
warga negara asing lulusan luar negeri yang
akan mengikuti adaptasi di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan harus memiliki STR
adaptasi dan SIP adaptasi.
(2) STR adaptasi dan SIP adaptasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan oleh Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penerbitan STR adaptasi dan SIP adaptasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 217
Adaptasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
215 merupakan bagian akhir penilaian praktik
dan dimanfaatkan dalam upaya
pendayagunaan Tenaga Kesehatan.
Pasal 218 Bila telah berpengalaman lebih dari 5 tahun
(1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana praktek di luar negeri atau lulusan dari negara
dimaksud dalam Pasal 215, bagi: tertentu atau pakar bidang unggulan tertentu .
a. Tenaga Kesehatan warga negara
Indonesia lulusan luar negeri yang:
1. merupakan lulusan dari institusi
pendidikan tertentu di luar negeri atau
lulusan dari negara tertentu;
2. telah praktik paling sedikit 5 (lima) tahun
di luar negeri; atau
3. merupakan pakar dalam suatu bidang
unggulan
tertentu dalam Pelayanan Kesehatan; dan
b. Tenaga Kesehatan warga negara asing
lulusan luar negeri yang:
1. telah praktik paling sedikit 5 (lima) tahun
di luar negeri; atau
2. merupakan pakar dalam suatu bidang
unggulan tertentu dalam Pelayanan
Kesehatan, yang akan didayagunakan di
Indonesia, dilakukan evaluasi
kompetensi melalui penilaian portofolio.
(2) Lulusan dari institusi pendidikan tertentu Nakes WNA lulusan LN yg telah berpraktik lebih 5 Peran Kolegium dan OP tidak ada
di luar negeri atau lulusan dari negara tahun atau pakar bidang unggulan tertentu
tertentu, telah melakukan praktik paling dievaluasi kompetensinya dengan penilaian
sedikit 5 (lima) tahun di luar negeri atau prtofolio. Evaluasi kompetensi diatur dalam
merupakan pakar sebagaimana dimaksud Peraturan Menteri.
pada ayat (1) dibuktikan dengan surat
keterangan atau dokumen lain yang
diterbitkan oleh lembaga yang berwenang di
negara yang bersangkutan.
Pasal 219
Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi
kompetensi diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 220 Nakes asing dapat praktik di Indonesia dalam
Tenaga Kesehatan warga negara Indonesia rangka investasi atau non investasi dengan
lulusan luar negeri yang telah lulus evaluasi ketentuan terdapat permintaan dari pengguna
kompetensi dan akan melaksanakan Nakes WNA , dalam rangka alih teknologi dan ilmu
pengetahuan, selama 3 tahun dan dapat
praktik di Indonesia harus memiliki STR dan
diperpanjang, ber-STR dan ber-SIP.
SIP.
Pasal 221
Tenaga Kesehatan warga negara asing dapat
melakukan praktik di Indonesia dalam rangka
investasi atau noninvestasi, dengan
ketentuan:
a. terdapat permintaan dari pengguna Tenaga
Kesehatan warga negara asing;
b. untuk pelayanan dalam rangka alih
teknologi dan ilmu pengetahuan; dan
c. untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan
dapat diperpanjang selama memenuhi
persyaratan.
Pasal 222 Tidak ada Tidak ada
(1) Tenaga Kesehatan warga negara asing
lulusan luar negeri yang telah lulus proses
evaluasi kompetensi dan akan melakukan
praktik di Indonesia harus memiliki STR
sementara dan SIP.
(2) STR sementara bagi Tenaga Kesehatan
warga negara asing lulusan luar negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat
diperpanjang selama memenuhi
persyaratan.
(3) SIP bagi Tenaga Kesehatan warga negara
asing lulusan luar negeri berlaku sepanjang
STR sementara sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) masih berlaku.
Pasal 223 Tidak ada Tidak ada
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 222, Tenaga Kesehatan warga
negara asing harus memenuhi persyaratan
lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 224 Tidak ada Tidak ada
Tenaga Kesehatan warga negara asing lulusan
luar negeri yang telah mendapatkan izin
tinggal tetap dan akan berpraktik di
Indonesia, dapat diberikan STR.
Pasal 225 WNA peserta PPDS wajib ber-STR sementara Tidak ada
(1) Tenaga Kesehatan warga negara asing selama pendidikan.
lulusan luar negeri yang akan menjadi
peserta program Pendidikan spesialis di
Indonesia wajib memiliki STR sementara.
(2) STR sementara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berlaku selama masa
pendidikan.
Pasal 226 Tidak ada Tidak ada
(1) Tenaga Kesehatan warga negara asing
lulusan luar negeri yang akan memberikan
pendidikan dan pelatihan dalam rangka
alih ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
waktu tertentu, tidak memerlukan STR
sementara.
(2) Tenaga Kesehatan warga negara asing
lulusan luar negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus mendapat persetujuan
dari Menteri.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diberikan melalui penyelenggara
pendidikan dan pelatihan.
Pasal 227 STR sementara diatur dalam Peraturan Menteri. Tidak ada
Ketentuan lebih lanjut mengenai STR
sementara diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Kelima Tidak ada Tidak ada
Pelatihan Tenaga Kesehatan Dalam Rangka
Penjagaan dan Peningkatan Mutu
Pasal 228
(1) Dalam rangka penjagaan dan peningkatan
mutu Tenaga Kesehatan dilakukan
pelatihan dan kegiatan lain yang
mendukung kesinambungan dalam
menjalankan praktik.
(2) Penjagaan dan peningkatan mutu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Lembaga pelatihan yang
diakreditasi oleh Menteri.
(3) Penjagaan dan peningkatan mutu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan standar
penjagaan dan peningkatan mutu profesi.
(4) Pelatihan dan kegiatan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan
untuk proses sertifikasi melalui konversi ke
dalam satuan kredit profesi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan penjagaan dan
peningkatan mutu Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Menteri.
Pasal 229 Utk percepatan pemenuhan Dokter dan Dokter Perlu keterlibatan stake holder lain
(1) Dalam rangka peningkatan mutu Gigi Subspesia;is , Menteri dapat dapat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228 menyelenggarakan program pelatihan atau
serta percepatan pemenuhan Dokter fellowship di RS Pendidikan dan peserta program
dapat mengikuti RPL untuk mendapatkan gelar
subspesialis dan Dokter Gigi subspesialis,
subspesialis.
Menteri dapat menyelenggarakan program
pelatihan atau fellowship di Rumah Sakit
pendidikan.
(2) Dokter spesialis dan Dokter Gigi spesialis
sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat
mengikuti rekognisi pembelajaran lampau
untuk mendapatkan gelar subspesialis.
Pasal 230
Dalam rangka penjagaan dan peningkatan
mutu Tenaga Kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 228 dan Pasal
229, kepala daerah dan pimpinan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan bertanggung jawab atas
pemberian kesempatan yang sama kepada
Tenaga Kesehatan dengan mempertimbangkan
penilaian kinerja dan perilaku.
Bagian Keenam Pasal baru : STR wajib dimiliki Nakes yang STR berlaku tanpa batas waktu berpotensi tidak
Registrasi dan Perizinan Tenaga Kesehatan berpraktek diterbitkan oleh masing-masing ada monitoring dan evaluasi kompetensi yang
Paragraf 1 Registrasi kelompok Konsil atas nama Menteri setelah berisiko utk keselamatan pasien
memenuhi syarat dan berlaku tanpa jangka
Pasal 231 waktu. STR dapat dicabut dan diperbarui dalam
hal Nakes berubah kualifikasi kompetensi/profesi
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang akan
atau beralih profesi.
menjalankan praktik wajib memiliki STR.
(2) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan oleh konsil masing-masing
kelompok Tenaga Kesehatan atas nama
Menteri, setelah memenuhi persyaratan.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) meliputi:
a. memiliki ijazah pendidikan di bidang
kesehatan;
b. memiliki sertifikat kompetensi atau
sertifikat profesi;
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan
mental;
d. memiliki surat pernyataan telah
mengucapkan sumpah/janji profesi; dan
e. membuat pernyataan mematuhi dan
melaksanakan ketentuan etika profesi.
(4) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf b dikecualikan bagi Tenaga
Kesehatan dengan kualifikasi pendidikan
akademik.
(5) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku tanpa jangka waktu.
(6) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dapat dicabut dan diperbarui dalam hal
Tenaga Kesehatan:
a. berubah kualifikasi kompetensi/profesi;
dan/atau
b. beralih profesi.
Pasal 232 Tidak ada Tidak ada
STR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231
tidak berlaku apabila:
a. yang bersangkutan meninggal dunia;
b. dinonaktifkan atau dicabut atas
permintaan yang bersangkutan;
c. dicabut oleh konsil masing-masing
kelompok Tenaga Kesehatan atau
berdasarkan putusan pengadilan; atau
d. dicabut oleh konsil masing-masing
kelompok tenaga Kesehatan dengan
persetujuan Menteri.
Pasal 233 Ketentuan tata cara registrasi, non aktifasi dan Administrasi terakumulasi di Kemenkes
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara aktifasi STR di atur oleh Menteri.
Registrasi, penonaktifan, dan pengaktifan
kembali STR Tenaga Kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 231 dan Pasal
232 diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 2
Perizinan
Pasal 240
(1) Susunan organisasi konsil kedokteran
Indonesia terdiri atas:
a. pimpinan yang terdiri atas 1 (satu) orang
ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua;
dan
b. anggota.
(2) Pimpinan konsil kedokteran Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a ditunjuk oleh Menteri dengan
mempertimbangkan pengetahuan,
pengalaman, dan keahlian di bidang
kesehatan.
(3) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b merupakan keanggotaan dari
konsil kedokteran dan konsil kedokteran
gigi.
(4) Salah satu anggota konsil kedokteran dan
konsil kedokteran gigi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditunjuk sebagai
ketua merangkap anggota.
(5) Keanggotaan konsil kedokteran dan konsil
kedokteran gigi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) berasal dari kalangan profesi
dokter dan dokter gigi, kalangan
pemerintah, dan kalangan masyarakat.
(6) Keanggotaan konsil kedokteran Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 241
(1) Calon anggota konsil kedokteran Indonesia
harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. sehat jasmani dan rohani;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan berakhlak mulia;
d. berkelakuan baik;
e. pernah melakukan praktik dokter atau
dokter gigi paling sedikit 10 (sepuluh)
tahun dan memiliki STR bagi yang
berprofesi sebagai dokter atau dokter gigi;
f. cakap, jujur, memiliki moral, etika dan
integritas yang tinggi serta memiliki
reputasi yang baik;
g. tidak menjadi pengurus organisasi
politik, Organisasi Profesi, atau kolegium;
h. tidak menjabat dalam jabatan struktural
baik di pemerintahan maupun di luar
pemerintahan; dan
i. memiliki pengetahuan, keahlian, dan
pengalaman di salah satu bidang yang
terdiri atas:
1. pendidikan kedokteran;
2. perumahsakitan atau Fasilitas
Pelayanan Kesehatan lainnya;
3. mutu pelayanan publik;
4. hukum kesehatan;
5. kebijakan publik; dan/atau
6. sosial budaya.
(2) Calon anggota konsil kedokteran Indonesia
yang berasal dari kalangan pemerintah dan
masyarakat dikecualikan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
i angka 1.
Pasal 242
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengangkatan dan persyaratan pimpinan dan
anggota konsil kedokteran Indonesia diatur
dalam Peraturan Menteri.
Pasal 243
Pimpinan konsil kedokteran Indonesia bersifat
kolektif kolegial.
Pasal 244
(1) Konsil kedokteran Indonesia mempunyai
tugas merumuskan kebijakan internal dan
standardisasi pelaksanaan tugas konsil
kedokteran dan konsil kedokteran gigi.
(2) Pelaksanaan tugas perumusan kebijakan
internal konsil kedokteran Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
harmonis dengan peraturan
perundangundangan bidang kesehatan.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), konsil kedokteran
Indonesia mempunyai fungsi:
a. menyusun perencanaan pelaksanaan tugas
konsil kedokteran Indonesia;
b. melakukan identifikasi dan pengembangan
metodologi dan standardisasi pelaksanaan
tugas konsil kedokteran dan konsil
kedokteran gigi;
c. melakukan analisis manajemen risiko
pelaksanaan tugas konsil kedokteran dan
konsil kedokteran gigi;
d. membina konsil kedokteran dan konsil
kedokteran gigi;
e. melakukan koordinasi antarkonsil
kedokteran dan konsil kedokteran gigi;
f. mengelola sumber daya bersama dalam
konsil kedokteran dan konsil kedokteran
gigi;
g. memberikan masukan atau umpan balik
atas hasil pelaksanaan tugas konsil
kedokteran dan konsil kedokteran gigi;
h. menangani perselisihan atau permasalahan
antarkonsil kedokteran dan konsil
kedokteran gigi;
i. melakukan pemantauan terhadap
pencapaian target kinerja konsil kedokteran
dan konsil kedokteran gigi; dan
j. menyusun dan menyampaikan laporan
secara berkala kepada Menteri.
Pasal 245
(1) Konsil kedokteran dan konsil kedokteran
gigi mempunyai tugas melakukan Registrasi
dan pembinaan teknis keprofesian dokter
dan dokter gigi.
(2) Dalam menjalankan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), konsil kedokteran
dan konsil kedokteran gigi mempunyai
fungsi:
a. menerbitkan STR dokter dan dokter gigi
atas nama Menteri;
b. mencabut STR dokter dan dokter gigi
dengan persetujuan Menteri;
c. melakukan pengelolaan STR;
d. melakukan penonaktifan dan pengaktifan
kembali STR dengan persetujuan Menteri;
e. melakukan pembinaan di bidang teknis
keprofesian;
f. menyusun standar kompetensi;
g. melakukan pendataan tempat praktik
dokter dan dokter gigi berdasarkan SIP; dan
h. melakukan pendataan pelaksanaan
penjagaan dan peningkatan mutu dokter dan
dokter gigi.
(3) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) konsil kedokteran
dan konsil kedokteran gigi wajib menyusun
dan menyampaikan laporan pelaksanaan
tugas secara berkala kepada konsil
kedokteran Indonesia.
(4) Pembinaan teknis keprofesian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
f dilakukan sebagai dukungan terhadap
pembinaan dokter dan dokter gigi yang
dilaksanakan oleh Menteri.
(5) Pendataan tempat praktik dokter dan
dokter gigi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf h dilaksanakan berkoordinasi
dengan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan
fungsi konsil kedokteran dan konsil
kedokteran gigi diatur dalam Peraturan
Menteri.
Pasal 246
Menteri berwenang melakukan evaluasi dan
koreksi terhadap STR yang diterbitkan oleh
konsil kedokteran dan konsil kedokteran gigi.
Pasal 247
Masa bakti keanggotaan konsil kedokteran
Indonesia selama
5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali
untuk 1 (satu) kali
masa jabatan berikutnya
Pasal 248
Pimpinan dan anggota konsil kedokteran
Indonesia berhenti
atau diberhentikan karena:
a. berakhir masa jabatan;
b. mengundurkan diri atas permintaan
sendiri;
c. meninggal dunia;
d. bertempat tinggal tetap di luar wilayah
Republik
Indonesia;
e. tidak mampu melakukan tugas selama 10
(sepuluh) hari
kerja secara berturut-turut atau kumulatif
selama 28
(dua puluh delapan) hari kerja dalam 1 (satu)
tahun;
f. dipidana karena melakukan tindak pidana
kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh
kekuatan hukum tetap;
g. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai
pimpinan dan
anggota konsil kedokteran Indonesia;
dan/atau
h. tidak cakap dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya.
Pasal 249
(1) Selain berhenti karena alasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 248, pimpinan dan
anggota konsil kedokteran Indonesia dapat
diberhentikan sementara karena menjadi
tersangka dan ditahan atas suatu tindak
pidana.
(2) Jangka waktu pemberhentian sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terhitung sejak dilakukan penahanan.
Pasal 250
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pemberhentian anggota
konsil kedokteran Indonesia diatur dalam
Peraturan Menteri.
Pasal 251 Sekretariat KKI dibantu Sekretariat yang dibawah
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, konsil pimpinan tinggi madya pada Kemenkes,
kedokteran
Indonesia dibantu oleh sekretariat yang
berkedudukan di
bawah pimpinan tinggi madya pada
kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas
secretariat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Menteri.
Paragraf 3
Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
Pasal 252
(1) Susunan organisasi konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia
terdiri atas:
a. pimpinan yang terdiri atas 1 (satu) orang
ketua dan
4 (empat) orang wakil ketua; dan
b. anggota. Tidak ada
(2) Pimpinan konsil Tenaga Kesehatan Tidak ada
Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
ditunjuk
oleh Menteri dengan mempertimbangkan
pengetahuan,
pengalaman, dan keahlian di bidang
kesehatan.
3) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b
merupakan keanggotaan dari konsil masing-
masing
kelompok Tenaga Kesehatan.
(4) Salah satu anggota konsil masing-masing
kelompok
Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3)
ditunjuk sebagai ketua merangkap anggota.
(5) Keanggotaan konsil masing-masing
kelompok Tenaga
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) berasal
dari kalangan profesi Tenaga Kesehatan,
kalangan
pemerintah, dan kalangan masyarakat.
(6) Keanggotaan konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 253
(1) Calon anggota Konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. sehat jasmani dan rohani;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan
berakhlak mulia;
d. berkelakuan baik;
e. pernah melakukan praktik Tenaga
Kesehatan paling
sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki STR
bagi
yang berprofesi sebagai Tenaga Kesehatan;
f. cakap, jujur, memiliki moral, etika dan
integritas
yang tinggi serta memiliki reputasi yang baik;
g. tidak menjadi pengurus organisasi politik,
Organisasi Profesi, atau kolegium;
h. tidak menjabat dalam jabatan struktural
baik di
pemerintahan maupun di luar pemerintahan;
dan
i. memiliki pengetahuan, keahlian, dan
pengalaman di
salah satu bidang yang terdiri atas:
1. pendidikan Tenaga Kesehatan;
2. perumahsakitan atau Fasilitas Pelayanan
Kesehatan lainnya;
3. mutu pelayanan publik;
4. hukum kesehatan;
5. kebijakan publik; dan/atau
6. sosial budaya.
(2) Calon anggota Konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia yang
berasal dari kalangan pemerintah dan
masyarakat
dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) huruf i angka 1.
Pasal 254
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengangkatan dan
persyaratan pimpinan dan anggota konsil
Tenaga Kesehatan
Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 255
Pimpinan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
bersifat kolektif
kolegial.
Pasal 256
(1) Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
mempunyai tugas
merumuskan kebijakan internal dan
standardisasi
pelaksanaan tugas konsil masing-masing
kelompok
Tenaga Kesehatan.
(2) Pelaksanaan tugas perumusan kebijakan
internal konsil
Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) harus harmonis dengan
peraturan
perundang-undangan bidang kesehatan.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1), konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia
mempunyai fungsi:
a. menyusun perencanaan pelaksanaan tugas
konsil
Tenaga Kesehatan Indonesia;
b. melakukan identifikasi dan pengembangan
metodologi dan standardisasi pelaksanaan
tugas
konsil masing-masing kelompok Tenaga
Kesehatan;
c. melakukan analisis manajemen risiko
pelaksanaan
tugas konsil masing-masing kelompok Tenaga
Kesehatan;
d. membina konsil masing-masing kelompok
Tenaga
Kesehatan;
e. melakukan koordinasi antarkonsil masing-
masing
kelompok Tenaga Kesehatan;
f. mengelola sumber daya bersama dalam
konsil
masing-masing kelompok Tenaga Kesehatan;
g. memberikan masukan atau umpan balik
atas hasil
pelaksanaan tugas konsil masing-masing
kelompok
Tenaga Kesehatan;
h. menangani perselisihan atau permasalahan
antarkonsil masing-masing kelompok Tenaga
Kesehatan;
i. melakukan pemantauan terhadap
pencapaian target
kinerja konsil masing-masing kelompok
Tenaga
Kesehatan; dan
j. menyusun dan menyampaikan laporan
secara
berkala kepada Menteri
Pasal 257
(1) Konsil masing-masing kelompok Tenaga
Kesehatan
mempunyai tugas melakukan Registrasi dan
pembinaan
teknis keprofesian Tenaga Kesehatan.
(2) Dalam menjalankan tugas sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1), konsil masing-masing kelompok
Tenaga
Kesehatan mempunyai fungsi:
a. menerbitkan STR Tenaga Kesehatan atas
nama
Menteri;
b. mencabut STR Tenaga Kesehatan dengan
persetujuan Menteri;
c. melakukan pengelolaan STR;
d. melakukan penonaktifan dan pengaktifan
kembali
STR;
e. melakukan pembinaan di bidang teknis
keprofesian;
f. menyusun standar kompetensi;
g. melakukan pendataan tempat praktik
Tenaga
Kesehatan berdasarkan SIP; dan h.
melakukan pendataan pelaksanaan penjagaan
dan
peningkatan mutu Tenaga Kesehatan.
(3) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana
dimaksud
pada ayat (2) konsil masing-masing kelompok
Tenaga
Kesehatan wajib menyusun dan
menyampaikan laporan
pelaksanaan tugas secara berkala kepada
konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia.
(4) Pembinaan teknis keprofesian sebagaimana
dimaksud
pada ayat (2) huruf f dilakukan sebagai
dukungan
terhadap pembinaan Tenaga Kesehatan yang
dilaksanakan oleh Menteri.
(5) Pendataan tempat praktik Tenaga
Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf h
dilaksanakan berkoordinasi dengan
Pemerintah Daerah
kabupaten/kota.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan
fungsi Konsil
masing-masing kelompok Tenaga Kesehatan
diatur
dalam Peraturan Menteri.
Pasal 258
Menteri berwenang melakukan evaluasi dan
koreksi terhadap
STR yang diterbitkan oleh konsil masing-
masing Tenaga
Kesehatan.
Pasal 259
Masa bakti keanggotaan konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia
selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1
(satu) kali masa jabatan berikutnya.
Pasal 260
Pimpinan dan anggota Konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia
berhenti atau diberhentikan karena:
a. berakhir masa jabatan;
b. mengundurkan diri atas permintaan
sendiri;
c. meninggal dunia;
d. bertempat tinggal tetap di luar wilayah
Republik
Indonesia;
e. tidak mampu melakukan tugas selama 10
(sepuluh) hari
kerja secara berturut-turut atau kumulatif
selama 28
(dua puluh delapan) hari kerja dalam 1 (satu)
tahun;
f. dipidana karena melakukan tindak pidana
kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh
kekuatan hukum tetap;
g. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai
pimpinan dan
anggota Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia;
dan/atau
h. tidak cakap dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya.
Pasal 261
(1) Selain berhenti karena alasan sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 260, pimpinan dan anggota konsil
Tenaga
Kesehatan Indonesia dapat diberhentikan
sementara
karena menjadi tersangka dan ditahan atas
suatu tindak
pidana.
(2) Jangka waktu pemberhentian sementara
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terhitung sejak
dilakukan
penahanan.
Pasal 262
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pemberhentian anggota
konsil Tenaga Kesehatan Indonesia diatur
dalam Peraturan
Menteri.
Pasal 263
(1) Dalam melaksanakan tugasnya konsil
Tenaga Kesehatan
Indonesia dibantu oleh sekretariat yang
berkedudukan di
bawah pimpinan tinggi madya pada
kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang
Kesehatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas
sekretariat
sebagaiman dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri.
Paragraf 4 Tidak ada Tidak ada
Pendanaan
Pasal 264
Pendanaan untuk pelaksanaan tugas-tugas
konsil kedokteran
Indonesia, konsil Tenaga Kesehatan Indonesia,
konsil
kedokteran, konsil kedokteran gigi, dan konsil
masing-masing
kelompok Tenaga Kesehatan dibebankan
kepada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan sumber
lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Bagian Kedelapan Tidak ada Tidak ada
Hak dan Kewajiban
Paragraf 1
Hak dan Kewajiban Tenaga Kesehatan
Pasal 265
(1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan
praktik berhak:
a. memperoleh pelindungan hukum sepanjang
melaksanakan tugas sesuai dengan standar
profesi,
standar pelayanan profesi, dan standar
prosedur
operasional;
b. memperoleh informasi yang lengkap dan
benar dari
Pasien atau keluarganya;
c. menerima imbalan jasa/kinerja;
d. memperoleh pelindungan atas keselamatan,
kesehatan kerja dan keamanan;
e. memperoleh pelindungan atas perlakuan
yang tidak
sesuai dengan harkat dan martabat manusia,
moral,
kesusilaan, serta nilai-nilai sosial budaya;
f. mendapatkan kesempatan untuk
mengembangkan
profesinya;
g. menolak keinginan Pasien atau pihak lain
yang
bertentangan dengan standar profesi, kode
etik,
standar pelayanan, standar prosedur
operasional,
atau ketentuan peraturan perundang-
undangan;
dan
h. memperoleh hak lain sesuai dengan
ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Tenaga Kesehatan dapat menghentikan
Pelayanan
Kesehatan apabila memperoleh perlakuan
yang tidak
sesuai dengan harkat dan martabat manusia,
moral,
kesusilaan, serta nilai-nilai sosial budaya
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e termasuk
tindakan
kekerasan dan pelecehan.
Pasal 266
Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik
wajib:
a. memberikan Pelayanan Kesehatan sesuai
dengan
standar profesi, standar pelayanan profesi,
standar
prosedur operasional, dan etika profesi serta
kebutuhan
kesehatan Pasien;
b. memperoleh persetujuan dari Pasien atau
keluarganya
atas tindakan yang akan diberikan;
c. menjaga kerahasiaan kesehatan Pasien;
d. membuat dan menyimpan catatan
dan/atau dokumen
tentang pemeriksaan, asuhan, dan tindakan
yang
dilakukan; dan
e. merujuk Pasien ke Tenaga Kesehatan lain
yang
mempunyai kompetensi dan kewenangan yang
sesuai.
Pasal 267
Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik
pada Fasilitas
Pelayanan Kesehatan wajib memberikan
pertolongan pertama
kepada Pasien dalam keadaan gawat darurat
dan/atau pada
bencana.
Paragraf 2 Tidak ada Tidak ada
Hak dan Kewajiban Pasien
Pasal 268
Pasien mempunyai hak:
a. mendapatkan informasi mengenai
kesehatan dirinya;
b. mendapatkan penjelasan yang memadai
mengenai
Pelayanan Kesehatan yang diterimanya;
c. mendapatkan Pelayanan Kesehatan sesuai
dengan
kebutuhan medis;
d. menolak atau menyetujui tindakan medis;
e. mendapatkan akses terhadap informasi
yang terdapat di
dalam rekam medis;
f. meminta pendapat Tenaga Kesehatan lain
(second
opinion); dan
g. hak lain sesuai dengan peraturan
perundangan-
undangan.
Pasal 269 Tidak ada Tidak ada
Pasien mempunyai kewajiban:
a. memberikan informasi yang lengkap dan
jujur tentang
masalah kesehatannya;
b. mematuhi nasihat dan petunjuk Tenaga
Kesehatan;
c. mematuhi ketentuan yang berlaku di
Fasilitas Pelayanan
Kesehatan; dan
d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan
yang diterima
Pasal 270 Tidak ada Tidak ada
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan
kewajiban Te naga
Kesehatan dan Pasien diatur dalam Peraturan
Menteri.
Bagian Kesembilan Tidak ada Tidak ada
Penyelenggaraan Praktik
Paragraf 1
Umum
Pasal 271
Tenaga Kesehatan bertanggung jawab moral
untuk:
a. mengabdikan diri sesuai dengan bidang
keilmuan yang
dimiliki;
b. bersikap dan berperilaku sesuai dengan
etika profesi;
c. mengutamakan kepentingan Pasien dan
masyarakat di
atas kepentingan pribadi atau kelompok; dan
d. menambah ilmu pengetahuan dan
mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pasal 272 Tidak ada Tidak ada
(1) Dalam menjalankan praktik, Tenaga
Kesehatan yang
memberikan Pelayanan Kesehatan kepada
Pasien harus
melaksanakan upaya terbaik.
(2) Upaya terbaik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
dilakukan sesuai dengan norma, standar
pelayanan, dan
standar profesi, serta kebutuhan Kesehatan
Pasien.
(3) Upaya terbaik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak
menjamin keberhasilan Pelayanan Kesehatan
yang
diberikan.
(4) Praktik Tenaga Kesehatan diselenggarakan
berdasarkan
kesepakatan antara Tenaga Kesehatan dengan
Pasien
berdasarkan prinsip kesetaraan dan
transparansi.
Pasal 273 Tidak ada Tidak ada
Dalam keadaan tertentu pelaksanaan praktik
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 272 dapat
memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi.
Pasal 274 Nakes yang berhalangan menyelenggarakan Tidak ada
(1) Tenaga Kesehatan yang berhalangan praktik harus membuat pemberitahuan atau
menyelenggarakan menunjuk Tenaga Kesehatan Pengganti.
praktik harus membuat pemberitahuan atau
menunjuk
Tenaga Kesehatan pengganti.
(2) Tenaga Kesehatan pengganti sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) merupakan Tenaga Kesehatan
yang
mempunyai SIP.
(3) Tenaga Kesehatan pengganti sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) harus memiliki kompetensi dan
keahlian
yang sama.
(4) Dalam hal Tenaga Kesehatan pengganti
tidak memiliki
kompetensi dan keahlian yang sama, Tenaga
Kesehatan tersebut harus menginformasikan
kepada Pasien yang
bersangkutan.
Pasal 275 Tidak ada Tidak ada
(1) Tenaga Kesehatan yang menyelenggarakan
praktik
perseorangan wajib menginformasikan
identitas yang
jelas termasuk nomor SIP dan STR pada
tempat praktik
perseorangannya.
(2) Dalam hal Tenaga Kesehatan yang
merupakan tenaga
medis berpraktik di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan,
pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib
memasang pengumuman daftar nama dan
jadwal praktik
tenaga medis.
(3) Setiap Tenaga Kesehatan dan pimpinan
Fasilitas
Pelayanan Kesehatan yang tidak
melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat
(2) dikenai sanksi administratif.
(4) Sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat
(3) dapat berupa:
a. teguran lisan;
b. peringatan tertulis;
c. denda administratif; dan/atau
d. pencabutan izin.
(5) Sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat
(4) dikenakan oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah
provinsi, dan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota sesuai
dengan kewenangannya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengenaan
sanksi administratif diatur dalam Peraturan
Menteri.
Pasal 276 Tidak ada Tidak ada
Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
dilarang
mendayagunakan Tenaga Kesehatan yang
tidak memiliki SIP
untuk melakukan praktik di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan
tersebut.
Paragraf 2 Tidak ada Tidak ada
Kewenangan
Pasal 277
(1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan
praktik harus
sesuai dengan kewenangan profesi yang
didasarkan pada
kompetensi yang dimilikinya.
(2) Tenaga Kesehatan yang memiliki lebih dari
satu jenjang
pendidikan memiliki kewenangan profesi
sesuai dengan
lingkup dan tingkat kompetensi dan
kualifikasi tertinggi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
kewenangan profesi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam
Peraturan Menteri.
Pasal 278
(1) Dalam keadaan tertentu, Tenaga
Kesehatan dapat
memberikan pelayanan di luar
kewenangannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pemberian pelayanan di
luar kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Menteri.
Paragraf 3 Tidak ada Tidak ada
Pendelegasian Wewenang
Pasal 279
(1) Tenaga Kesehatan dapat menerima
pendelegasian
wewenang untuk melakukan Pelayanan
Kesehatan
dengan kewajiban mempertanggungjawabkan
kepada
pendelegasi wewenang.
(2) Tanggung jawab hukum pendelegasian
wewenang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap
pada
pendelegasi wewenang.
(3) Penerima pendelegasian wewenang
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai
kompetensi
untuk melakukan tindakan dalam Pelayanan
Kesehatan
yang didelegasikan.
(4) Kompetensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3)
diperoleh melalui pelatihan khusus.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pendelegasian
wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sampai
dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan
Menteri.
Pasal 280 Tidak ada Tidak ada
(1) Tenaga Kesehatan dapat melaksanakan
pelayanan
kedokteran dan/atau pelayanan kefarmasian
secara
terbatas dalam hal:
a. tidak adanya tenaga medis dan/atau
apoteker di
suatu wilayah tempat Tenaga Kesehatan
bertugas;
b. kebutuhan program pemerintah; dan/atau
c. KLB, Wabah, dan darurat bencana lainnya.
(2) Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
merupakan tenaga keperawatan atau tenaga
kebidanan
untuk pelayanan kedokteran dan tenaga
kefarmasian
selain apoteker untuk pelayanan kefarmasian.
(3) Kondisi tidak adanya tenaga medis
dan/atau apoteker
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
ditetapkan
oleh camat.
(4) Pelaksanaan tugas dalam keadaan
keterbatasan tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh
Tenaga Kesehatan yang telah mengikuti
pelatihan
dengan memperhatikan kompetensi Tenaga
Kesehatan.
(5) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4)
dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintah
Daerah.
(6) Dalam menyelenggarakan pelatihan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), Pemerintah Pusat
dan/atau
Pemerintah Daerah dapat melibatkan
Organisasi Profesi
Tenaga Kesehatan terkait.
Pasal 281 Tidak ada Tidak ada
(1) Pelaksanaan pelayanan kedokteran
dan/atau pelayanan
kefarmasian secara terbatas untuk kebutuhan
program
pemerintah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 280 ayat (1) huruf b dilaksanakan
melalui penugasan Tenaga
Kesehatan oleh Pemerintah Pusat atau
Pemerintah
Daerah.
(2) Program pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
(3) Pelaksanaan program pemerintah
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
Tenaga
Kesehatan yang telah mengikuti pelatihan
dengan
memperhatikan kompetensi Tenaga
Kesehatan.
(4) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3)
dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintah
Daerah.
Pasal 282 Tidak ada Tidak ada
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
praktik Tenaga
Kesehatan diatur dalam Peraturan Menteri.
Paragraf 4 Tidak ada Tidak ada
Standar Profesi, Standar Pelayanan, dan
Standar Prosedur Operasional
Pasal 283
(1) Setiap Tenaga Kesehatan dalam
menjalankan praktik
berkewajiban untuk mematuhi standar
profesi, standar
pelayanan, dan standar prosedur operasional.
(2) Standar profesi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
untuk masing-masing jenis Tenaga Kesehatan
disusun
oleh Organisasi Profesi dan ditetapkan oleh
Menteri.
(3) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
dibedakan menurut jenis dan strata Fasilitas
Pelayanan
Kesehatan.
(4) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Menteri.
(5) Standar prosedur operasional sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Fasilitas
Pelayanan
Kesehatan.
Pasal 284 Tidak ada Tidak ada
(1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan
praktik dapat
melakukan penelitian dan pengembangan.
(2) Penelitian dan pengembangan sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) ditujukan untuk mendukung
pembangunan kesehatan di bidang ilmu
pengetahuan,
keahlian, kebijakan, dan teknologi melalui
Upaya
Kesehatan dan sumber daya kesehatan.
(3) Penelitian dan pengembangan sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 5 Tidak ada Tidak ada
Persetujuan Tindakan Pelayanan Kesehatan
Pasal 285
(1) Setiap tindakan Pelayanan Kesehatan
perorangan yang
dilakukan oleh Tenaga Kesehatan harus
mendapat
persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
diberikan setelah Pasien mendapat penjelasan
yang
memadai.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling
sedikit mencakup:
a. diagnosis;
b. indikasi;
c. tindakan Pelayanan Kesehatan yang
dilakukan dan
tujuannya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;
e. alternatif tindakan lain dan risikonya;
f. risiko bila tindakan tidak dilakukan; dan
g. prognosis setelah memperoleh tindakan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat
diberikan baik secara tertulis maupun lisan.
(5) Persetujuan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (4)
harus diperoleh sebelum dilakukannya
tindakan yang
invasif dan/atau mengandung risiko tinggi (6)
Persetujuan tindakan sebagaimana dimaksud
pada ayat
(4) dan ayat (5) diberikan oleh Pasien yang
bersangkutan.
(7) Dalam hal Pasien yang bersangkutan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) tidak mampu
memberikan
persetujuan, persetujuan tindakan dapat
diberikan oleh
yang mewakili.
(8) Persetujuan tertulis melakukan tindakan
Pelayanan
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sampai
dengan ayat (7) ditandatangani oleh Pasien
atau yang
mewakili, dan disaksikan oleh salah seorang
Tenaga
Kesehatan.
(9) Dalam hal keadaan Pasien sebagaimana
dimaksud pada
ayat (7) tidak cakap dan memerlukan
tindakan segera
akan tetapi tidak ada pihak yang dapat
dimintai
persetujuan, maka tidak diperlukan
persetujuan
tindakan.
(10) Tindakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (9)
dilakukan berdasarkan kepentingan terbaik
Pasien yang
diputuskan oleh Tenaga Kesehatan.
(11) Tindakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (10)
diinformasikan kepada Pasien setelah Pasien
telah cakap
atau yang mewakili telah hadir.
(12) Ketentuan mengenai tata cara
persetujuan tindakan
Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
sampai dengan ayat (11) diatur dalam
Peraturan Menteri.
Pasal 286 Tidak ada Tidak ada
(1) Selain mendapatkan penjelasan
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 285 ayat (3), Pasien juga
mendapatkan
penjelasan atas biaya Pelayanan Kesehatan
yang
diterimanya.
(2) Penjelasan atas biaya Pelayanan Kesehatan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh
Fasilitas
Pelayanan Kesehatan.
Pasal 287 Tidak ada Tidak ada
(1) Pelayanan Kesehatan masyarakat yang
merupakan
program pemerintah tidak memerlukan
persetujuan
tindakan.
(2) Pelayanan Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) tetap harus diinformasikan kepada
masyarakat
penerima Pelayanan Kesehatan tersebut.
Paragraf 6 Tidak ada Tidak ada
Rekam Medis
Pasal 288
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang memberikan
Pelayanan
Kesehatan perorangan wajib membuat rekam
medis.
(2) Dalam hal Pelayanan Kesehatan
perorangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan selain tempat
praktik
mandiri, penyelenggaraan rekam medis
merupakan
tanggung jawab Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.
(3) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
harus segera dilengkapi setelah Pasien selesai
menerima
Pelayanan Kesehatan.
(4) Setiap catatan rekam medis harus
dibubuhi nama,
waktu, dan tanda tangan Tenaga Kesehatan
yang
memberikan pelayanan atau tindakan.
(5) Rekam medis Pasien sebagaimana
dimaksud pada ayat
(3) harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya
oleh
Tenaga Kesehatan dan pimpinan Fasilitas
Pelayanan
Kesehatan.
Pasal 289 Tidak ada Tidak ada
(1) Dokumen rekam medis sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 288 merupakan milik Fasilitas
Pelayanan
Kesehatan.
(2) Setiap Pasien berhak untuk mengakses
informasi yang
terdapat dalam dokumen rekam medis
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib
menjaga keamanan,
keutuhan, kerahasiaan, dan ketersediaan data
yang
terdapat dalam dokumen rekam medis
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai rekam
medis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan
ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri
Pasal 290 Tidak ada Tidak ada
Tenaga Kesehatan yang memberikan
Pelayanan Kesehatan di
luar Pelayanan Kesehatan perorangan wajib
membuat catatan
Pelayanan Kesehatan yang dilakukan
Paragraf 7 Tidak ada Tidak ada
Rahasia Kesehatan Pasien
Pasal 291
(1) Setiap Tenaga Kesehatan dalam
melaksanakan
Pelayanan Kesehatan wajib menyimpan
rahasia
Kesehatan pribadi Pasien.
(2) Pembukaan rahasia Kesehatan pribadi
Pasien
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan
untuk kepentingan tertentu sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia
Kesehatan
pribadi Pasien diatur dalam Peraturan
Menteri.
Pasal 292 Tidak ada Tidak ada
(1) Tenaga Kesehatan wajib melaporkan
kepada aparat
penegak hukum jika dalam pemberian
Pelayanan
Kesehatan mengetahui atau menemukan
dugaan tindak
pidana.
(2) Wajib lapor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
dikecualikan dari rahasia Kesehatan.
Paragraf 8 Tidak ada Tidak ada
Kendali Mutu dan Kendali Biaya
Pasal 293
(1) Setiap Tenaga Kesehatan dalam
melaksanakan
Pelayanan Kesehatan wajib menyelenggarakan
kendali
mutu dan kendali biaya serta memperhatikan
keselamatan Pasien.
(2) Dalam rangka pelaksanaan kegiatan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan
audit
Pelayanan Kesehatan.
(3) Kendali mutu dan kendali biaya dalam
Fasilitas
Pelayanan Kesehatan merupakan tanggung
jawab
Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
(4) Pembinaan dan pengawasan ketentuan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(3) dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
Paragraf 9 Tidak ada Tidak ada
Pelindungan bagi Tenaga Kesehatan dan
Penerima Pelayanan Kesehatan
Pasal 294
Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik
berhak
mendapatkan pelindungan hukum sesuai
dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 295 Tidak ada Tidak ada
Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang
merupakan
Rumah Sakit membentuk komite medis,
komite keperawatan,
atau komite Tenaga Kesehatan lain sesuai
kebutuhan untuk
menjaga dan meningkatkan mutu pemberian
Pelayanan
Kesehatan.
Bagian Kesepuluh Sesuai dengan peraturan perundangan
Organisasi Profesi sebelumnya bahwa setiap jenis tenaga kesehatan
Pasal 296 membentuk 1 OP
(1) Tenaga Kesehatan harus membentuk
Organisasi Profesi
sebagai wadah untuk meningkatkan dan/atau
mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan,
martabat, dan etika profesi Tenaga Kesehatan.
(2) Setiap jenis Tenaga Kesehatan hanya dapat
membentuk
1 (satu) Organisasi Profesi.
(3) Pembentukan Organisasi Profesi
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Kesebelas Pengakan Displin Nakes dan Peserselisihan . Utk
Penegakan Disiplin Tenaga Kesehatan dan disiplin profesi , Menteri membentuk Majelis
Penyelesaian Disiplin Nakes permanen atau ad-hoc untuk
Perselisihan Nakes selain Kelompok Teanaga Medis.
Paragraf 1
Penegakan Disiplin Tenaga Kesehatan
Pasal 297
(1) Dalam menegakkan disiplin profesi Tenaga
Kesehatan,
Menteri membentuk majelis yang dapat
bersifat
permanen atau ad hoc.
(2) Majelis yang bersifat permanen
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memiliki fungsi untuk
penegakan disiplin
pada kelompok tenaga medis.
(3) Majelis yang bersifat ad hoc sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) memiliki fungsi untuk penegakan
disiplin pada
kelompok Tenaga Kesehatan selain kelompok
tenaga medis.
Pasal 298 Majelis Penegakan Disiplin Nakes bertanggung
(1) Majelis sebagaimana dimaksud dalam jawab pada Menteri melalui Konsil Kedokteran
Pasal 297 ayat (2) Indonesiaa atau Konsil masing-masing Kelompok
bertanggung jawab kepada Menteri melalui Nakes. Majelis ini sedikitnya terdiri dari 1 (satu)
konsil Ketua dan 2 orang anggota dengan penagmbilan
pengambila keputusan secara kolektif kolegial.
kedokteran Indonesia.
(2) Majelis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 297 ayat (3)
bertanggung jawab kepada Menteri melalui
konsil
masing-masing kelompok Tenaga Kesehatan.
Pasal 299 Tidak ada Tidak ada
(1) Keanggotaan majelis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
297 berasal dari kalangan profesi Tenaga
Kesehatan atas
usulan konsil kedokteran Indonesia dan konsil
masingmasing kelompok Tenaga Kesehatan
sesuai
kewenangannya.
(2) Majelis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas
seorang ketua dan paling sedikit 2 (dua) orang
anggota.
(3) Pengambilan keputusan majelis
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan secara kolektif
kolegial.
Pasal 300
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengangkatan,
masa bakti, dan persyaratan keanggotaan
majelis dalam
penegakan disiplin Tenaga Kesehatan diatur
dalam Peraturan
Menteri.
Pasal 301 Tidak ada Tidak ada
(1) Setiap orang yang mengetahui atau
kepentingannya
dirugikan atas tindakan Tenaga Kesehatan
dalam
menjalankan Pelayanan Kesehatan
mengadukan secara
tertulis kepada konsil kedokteran Indonesia
atau konsil
masing-masing kelompok Tenaga Kesehatan.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling
sedikit harus memuat:
a. identitas pengadu;
b. nama dan alamat tempat praktik Tenaga
Kesehatan
dan waktu tindakan dilakukan; dan
c. alasan pengaduan.
Pasal 302 Ketentuan baru : Majelis Penegakan Disiplin Nakes
(1) Majelis untuk penegakan disiplin Tenaga bertanggung jawab pada Menteri melalui Konsil
Kesehatan Kedokteran Indonesiaa atau Konsil masing-masing
memeriksa dan memberikan keputusan Kelompok Nakes. Majelis ini sedikitnya terdiri dari
1 (satu) Ketua dan 2 orang anggota dengan
terhadap
penagmbilan pengambilan keputusan
pengaduan yang berkaitan dengan disiplin
Tenaga
Kesehatan.
(2) Pemeriksaan majelis terhadap pengaduan
dapat
memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi
Pasal 303 Tidak ada Tidak ada
(1) Putusan majelis untuk penegakan disiplin
Tenaga
Kesehatan berupa pernyataan:
a. tidak melanggar disiplin profesi; dan
b. melanggar disiplin profesi.
(2) Pelanggaran disiplin profesi sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) diberi sanksi disiplin:
a. peringatan tertulis;
b. kewajiban mengikuti pendidikan atau
pelatihan di
institusi pendidikan tinggi bidang kesehatan
atau
Rumah Sakit pendidikan terdekat yang
memiliki
kompetensi untuk melakukan pelatihan
tersebut;
dan/atau
c. penonaktifan STR untuk sementara waktu.
(3) Putusan majelis sebagaimana dimaksud
pada ayat (2)
bersifat mengikat Tenaga Kesehatan, konsil
kedokteran
Indonesia dan konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia.
(4) Dalam hal Tenaga Kesehatan sudah
melaksanakan
sanksi yang dijatuhkan oleh majelis, aparat
penegak
hukum wajib mengutamakan penyelesaian
perselisihan
dengan mekanisme keadilan restoratif.
Pasal 304 Tidak ada Tidak ada
(1) Putusan majelis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 303
dapat diajukan peninjauan kembali kepada
Menteri.
(2) Peninjauan kembali sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) dapat diajukan apabila memenuhi
persyaratan:
a. ditemukan bukti baru;
b. kesalahan penerapan pelanggaran disiplin;
atau
c. terdapat dugaan konflik kepentingan pada
diri
majelis terhadap yang diperiksa.
Pasal 305 Tidak ada Tidak ada
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
tugas dan
fungsi majelis, tata cara penanganan kasus,
tata cara
pengaduan, dan tata cara pemeriksaan serta
pemberian putusan majelis dan tata cara
peninjauan kembali, dan
pelaksanaan sanksi disiplin diatur dalam
Peraturan Menteri.
Pasal 306 Tidak ada Tidak ada
Segala pendanaan kegiatan majelis dalam
penegakan disiplin
Tenaga Kesehatan dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara.
Paragraf 2 Tidak ada Tidak ada
Penyelesaian Perselisihan
Pasal 307
Setiap Pasien yang dirugikan akibat kesalahan
Tenaga
Kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai
dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 308 Tidak ada Tidak ada
Dalam hal Tenaga Kesehatan diduga
melakukan kesalahan
dalam menjalankan profesinya yang
menyebabkan kerugian
kepada Pasien, perselisihan yang timbul
akibat kesalahan
tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu
melalui alternatif
penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Pasal 309 Tidak ada Tidak ada
Pengaduan kepada majelis dalam rangka
penegakan disiplin
Tenaga Kesehatan dan penyelesaian sengketa
melalui
alternatif penyelesaian sengketa di luar
pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 297
sampai dengan
Pasal 308 tidak menghilangkan hak setiap
orang untuk
melaporkan adanya dugaan tindak pidana
kepada pihak yang
berwenang dan/atau menggugat kerugian
perdata ke
pengadilan.
Bagian Kedua Belas Tidak ada Tidak ada
Larangan
Pasal 310
Setiap orang dilarang:
a. menggunakan identitas berupa gelar atau
bentuk lain
yang menimbulkan kesan bagi masyarakat
seolah-olah
yang bersangkutan adalah Tenaga Kesehatan
yang telah
memiliki STR dan/atau SIP;
b. menggunakan alat, metode atau cara lain
dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat
yang
menimbulkan kesan seolah-olah yang
bersangkutan
adalah Tenaga Kesehatan yang telah memiliki
STR
dan/atau SIP; dan
c. melakukan praktik seolah-olah sebagai
Tenaga
Kesehatan yang telah memiliki STR dan/atau
SIP.
BAB VIII
PERBEKALAN KESEHATAN
Pasal 317
(1) Pendistribusian Perbekalan Kesehatan
dilakukan oleh
pelaku usaha sebagai distributor Perbekalan
Kesehatan
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
(2) Pendistribusian Perbekalan Kesehatan
harus dilakukan
sesuai dengan cara distribusi yang baik.
(3) Setiap distributor Perbekalan Kesehatan
berupa Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan harus
menyampaikan
laporan kegiatan pendistribusian kepada
Menteri.
Pasal 319
(1) Obat Tradisional digolongkan menjadi:
a. jamu; dan
b. Obat herbal.
(2) Jamu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a
terdiri atas:
a. jamu empiris;
b. jamu terstandar; dan
c. jamu fitofarmaka.
(3) Obat herbal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf
b terdiri atas:
a. Obat herbal terstandar;
b. Obat herbal fitofarmaka; dan
c. Obat herbal impor.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penggolongan Obat
Tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur
dalam Peraturan Menteri (1) Obat digolongkan
menjadi Obat dengan resep dokter dan
Obat tanpa resep dokter.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penggolongan Obat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam
Peraturan Menteri.
BAB IX
BAB X
SISTEM INFORMASI KESEHATAN
Pasal Tanggapan Hasil Kritisi dari UU yang lain Usulan/Penjelasan
Bagian Kesatu : Umum
Pasal 330 Pasal 330
(1) Dalam rangka menyelenggarakan Upaya
Kesehatan yang efektif dan efisien
diselenggarakan Sistem Informasi (1) Tetap
Kesehatan. (2) Sistem informasi kesehatan mengelola data
(2) Sistem Informasi Kesehatan individu (perseorangan) dan komunitas yang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terintegrasi secara nasional.
diselenggarakan oleh: (3) Sistem Informasi Kesehatan
a) Pemerintah Pusat; sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
b) Pemerintah Daerah; wajib diselenggarakan oleh:
c) Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan a) Pemerintah Pusat;
d) masyarakat, baik perorangan maupun b) Pemerintah Daerah;
kelompok c) Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan
(3) Penyelenggara Sistem Informasi d) masyarakat, baik perorangan maupun
Kesehatan wajib menghubungkan sistem kelompok Semua elemen yang
yang dikelolanya dengan sistem yang menyelenggarakan layanan kesehatan
mengintegrasikan seluruh Pelayanan (4) Tetap
Kesehatan yang diselenggarakan oleh
kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
(4) Kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan
dapat memberikan dukungan berupa (5) Tetap
bantuan teknis kepada penyelenggara
sistem sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dalam pengelolaan Sistem
Informasi Kesehatan
Pasal 331 Pasal 331
(1) Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan
melaksanakan tata kelola yang mendukung (1) Tetap
pelayanan dan pelaporan di bidang (2) Tata kelola Sistem Informasi Kesehatan
Kesehatan. sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(2) Tata kelola Sistem Informasi Kesehatan merupakan rangkaian kegiatan untuk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjamin mutu, keandalan system dan
merupakan rangkaian kegiatan untuk kerahasiaan data individu (perorangan)
menjamin mutu dan keandalan ystem. (3) Tetap
(3) Tata kelola Sistem Informasi Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) (4) Tetap
dituangkan dalam dokumen arsitektur (5) Tetap
Sistem Informasi Kesehatan. (6) Tetap
(4) Dokumen arsitektur Sistem Informasi (7) Tetap
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) Tetap
(3) meliputi: (9) Tetap
a. proses bisnis;
b. data dan informasi;
c. infrastruktur;
d. aplikasi;
e. keamanan; dan
f. layanan.
(5) Tetap
i
(2) Teknologi Kesehatan sebagaimana dimaksud UU RI No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan yang 2. Teknologi Kesehatan sebagaimana
pada ayat (1) termasuk perangkat keras dan tercantum dalam pasal 42 dinyatakan bahwa : dimaksud pada ayat (1) termasuk
perangkat lunak. perangkat keras dan perangkat lunak
Ayat 2. Teknologi kesehatan sebagaimana yang yang dapat digunakan untuk mencegah
dimaksud pada ayat (1) mencakup segala metode terjadinya penyakit, mendeteksi adanya
dan yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit, meringankan penderitaan akibat
penyakit, mendeteksi adanya penyakit, penyakit, menyembuhkan, memperkecil
meringankan penderitaan akibat penyakit, komplikasi dan memulihkan kesehatan
setelah sakit.
menyembuhkan, memperkecil komplikasi dan
memulihkan kesehatan setelah sakit.
Tetap sesuai RUU , ayat dibuat ayat 4
Pembangunan Iptek di Indonesia sudah menjadi
(3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah amanat yang tertuang dalam amandemen IV UUD
mendorong pemanfaatan produk Teknologi 1945 pasal 31 ayat ke 5 yang menyatakan bahwa
Kesehatan dalam negeri. pemerintah wajib memajukan iptek dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan Tetap sesuai RUU tetapi ayat dibuat ayat 3
bangsa untuk mewujudkan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia. Pernyataan tersebut
selanjutnya dituangkan dalam Undang-undang
No. 18 tahun 2002 tentang sistem nasional
penelitian, pengembangan, dan penerapan Iptek.
Dalam rangka melaksanakan amanat tersebut,
pemerintah wajib merumuskan arah, prioritas dan
kerangka kebijakan pembangunan iptek.
Pemerintah memiliki 3 upaya strategis dalam
pemanfaatan teknologi digital, yaitu dengan
meningkatkan literasi teknologi di kalangan
\ masyarakat, melakukan pencegahan terhadap
informasi yang belum jelas kebenarannya,
melakukan penindakan hukum dalam upaya
mengembangkan teknologi di Indonesia (No.
311/HM/KOMINFO/12/2018)
UU RI No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan yang
(4) Teknologi Kesehatan sebagaimana dimaksud tercantum dalam pasal 42 dinyatakan bahwa
pada ayat (1) harus memenuhi standar
sesuai dengan ketentuan peraturan Ayat 3 : Ketentuan mengenai teknologi dan
perundang-undangan. produk teknologi kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
standar yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Pasal 338
(1) Dalam mengembangkan Teknologi Sesuai Standar Pedoman dan Standar Etik Tetap sesuai RUU
Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional
Pasal 337 dapat dilakukan penelitian dalam
laboratorium, penelitian terhadap manusia,
dan/atau penelitian terhadap hewan.
(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat Dalam pelaksanaan penelitian, peneliti wajib
(1) harus memiliki protokol penelitian yang mengindahkan kerangka budaya dan norma
jelas, menggunakan kaidah ilmiah yang bisa masyarakat selaras dengan aturan ilmu
diterima, lulus kaji etik, dan memiliki izin pengetahuan dan penelitian. Prinsip etik penelitian
dari pihak yang berwenang. berlaku untuk individu dan masyarakat di mana
penelitian akan dilakukan
(3) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat UU RI No 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional
(1) harus memperhatikan manfaat, risiko, Ilmu Pengetahuan dan Teknolog
keselamatan manusia, dan kelestarian Pasal 4 ayat 1: Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan
lingkungan hidup. dan Teknologi mengakui, menghormati,
mengembangkan, dan melestarikan
keanekaragaman pengetahuan tradisional,
kearifan local, sumber daya alam hayati dan
nirhayati, serta budaya sebagai bagian dari
identitas bangsa
(4) Dalam hal penelitian Kesehatan Sesuai dalam penjelasan yang tertuang dalam oleh
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) KEPK 2017, penelitian dengan subjek manusia
dilakukan terhadap manusia maka harus adalah hak istimewa, bukan hak yang diberikan
mendapat persetujuan dari pihak yang kepada peneliti oleh masyarakat. Oleh karena itu,
menjadi subjek penelitian. peneliti wajib mengikuti peraturan dan pedoman
tertulis. Komunitas riset harus berusaha untuk
memenuhi, semangat yang terkandung dalam
prinsip etik, dengan mengutamakan keselamatan
dan kesejahteraan peserta penelitian.
e. kepentingan umum;
f. penghormatan terhadap hak asasi
manusia;
g. etika, hukum, dan medikolegal; dan
h. sosial budaya.
(7) Penyelenggara biobank atau biorepositori
wajib menyimpan spesimen dan data di
dalam negeri.
(8) Penyelenggara biobank atau biorepositori
dapat mengintegrasikan data dan informasi
spesimen dengan Sistem Informasi
Kesehatan yang diselenggarakan oleh
kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara UU No 36 tahun 2019 Pasal 67 ayat 2 Ketentuan
pengambilan dan pengiriman spesimen mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
peraturan perundang-undangan. dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
Pasal 349
Peraturan Menteri Kesehatan RI No 82 tahun 2014 Pada peraturan sebelumnya dijelaskan secara
(1) Dalam rangka Kewaspadaan wabah
tentang Penanggulangan Penyakit Menular spesifik beberapa penyakit yang dapat
ditetapkan jenis penyakit yang berpotensi Pasal 6 (1) Terhadap jenis Penyakit Menular menimbulkan wabah (Pasal 4). Dan terdapat
menimbulkan Wabah. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pemerintah perbedaan karakteristik penetapan jenis wabah
(2) Jenis penyakit yang berpotensi atau Pemerintah Daerah dapat menetapkan (Pasal 3) dibandingkan RUU yang terbaru.
menimbulkan Wabah sebagaimana program penanggulangan sebagai prioritas
nasional atau daerah dengan kriteria sebagai
dimaksud pada ayat (1) dikategorikan
berikut: a. penyakit endemis lokal; b. Penyakit
dalam:
Menular potensial wabah; c. fatalitas yang
a. penyakit menular endemis tertentu; ditimbulkan tinggi/angka kematian tinggi; d.
memiliki dampak sosial, ekonomi, politik, dan
b. penyakit menular baru; dan/atau ketahanan yang luas; dan/atau e. menjadi
sasaran reduksi, eliminasi, dan eradikasi global.
c. penyakit menular lama yang muncul
kembali.
(3) Jenis penyakit yang berpotensi Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor Terdapat perbedaan berkaitan dengan kriteria
menimbulkan Wabah sebagaimana 1501/MENKES/PER/X/2010 tentang jenis suatu penyakit yang ditetapkan sebagai suatu
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan penyakit menular tertentu yang dapat wabah.
berdasarkan kriteria: menimbulkan wabah dan upaya penanggulangan
Pasal 3
a. penyakit yang disebabkan oleh agen Penetapan jenis-jenis penyakit menular tertentu
biologi; yang dapat menimbulkan wabah didasarkan pada
pertimbangan epidemiologis, sosial, budaya,
b. dapat menular dari manusia ke manusia keamanan, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan
dan/atau dari hewan ke manusia; teknologi, dan menyebabkan malapetaka di
c. berpotensi menimbulkan sakit yang masyarakat
parah, kecacatan, dan/atau kematian;
dan
d. berpotensi meningkat dan menyebar
secara cepat.
Pasal 357 UU No 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan Terdapat perbedaan terkait pernyataan pada UU
(1) Setiap nakhoda, kapten penerbang, atau kesehatan sebelumnya dengan RUU.
pengemudi pada saat kedatangan atau Pasal 19
melewati pos lintas batas negara wajib (2) Nahkoda pada kapal sebagaimana dimaksud
menginformasikan apabila terdapat orang pada ayat (1) wajib memberikan deklarasi
sakit dan/atau meninggal yang diduga kuat kesehatan maritime (maritime declaration of
diakibatkan oleh penyakit dan/atau faktor healt) kepada pejabat karantina kesehatan
risiko penyakit yang berpotensi pada saat kedatangan kapal
menimbulkan Wabah kepada Petugas
Karantina Kesehatan.
(2) Penyampaian informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), bagi nakhoda atau
kapten penerbang dilakukan dengan
menyerahkan dokumen:
a. Deklarasi Kesehatan Maritim (Maritime
Declaration of Health) untuk kapal; atau
b. Deklarasi Kesehatan Penerbangan
(Health Part of the Aircraft General
Declaration) untuk pesawat udara, pada
saat kedatangan kepada Petugas
Karantina Kesehatan.
(3) Nakhoda kapal atau kapten penerbang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilarang menurunkan atau menaikkan
orang dan/atau barang sebelum mendapat
surat persetujuan dari Otoritas Karantina
Kesehatan.
Pasal 358 Tidak ada Tidak ada
(1) Terhadap kendaraan darat yang terdapat
orang sakit dan/atau meninggal yang
diduga kuat diakibatkan oleh penyakit
dan/atau faktor risiko penyakit yang
berpotensi menimbulkan Wabah, Petugas
Karantina Kesehatan berwenang melakukan
pemeriksaan dan tindakan penanggulangan.
(2) Ketentuan mengenai kegiatan pemeriksaan
dan tindakan penanggulangan terhadap
kendaraan darat di pos lintas batas negara
diatur melalui perjanjian antara kedua
negara.
Pasal 359 Tidak ada Tidak ada
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan
terhadap kapal, pesawat udara, dan kendaraan
darat diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3 UU No 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan Peraturan terkait karantina pada alat transportasi
Dokumen Karantina Kesehatan kesehatan dan alat angkut di atur dalam UU No tahun 2018.
Pasal 360 Pasal 1 Terdapat beberapa perbedaan antara RUU dengan
(1) Setiap alat angkut yang datang dari atau (30) Dokumen karantina kesehatan adalah surat UU sebelumnya. Dimana pada UU sebelumnya
berangkat ke luar negeri harus dilengkapi keterangan kesehatan yang dimiliki setiap alat penjealsan terkait dokumen karantina dan
dengan Dokumen Karantina Kesehatan. angkut, orang, dan barang yang memenuhi kekarantinaan dijelaskan secara terperinci.
persyaratan baik nasional maupun Misalnya dibedakan terkait dokumen karantina
(2) Dokumen Karantina Kesehatan internasional untuk alat angkut orang, dan barang dan siapa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) saja yang memiliki wewenang berkaitand dengan
dimaksudkan sebagai alat pengawasan dan proses kekarantinaan.
pencegahan masuk dan/atau keluarnya
penyakit dan/atau faktor risiko penyakit
yang berpotensi menimbulkan Wabah.
(3) Dokumen Karantina Kesehatan Pasal 62
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri Dokumen karantina kesehatan untuk alat angkut
atas: terdiri atas
a. Deklarasi kesehatan
a. deklarasi kesehatan; b. Sertifikat persetujuan karantina
c. Sertifikat sanitasi
b. surat keterangan bebas karantina (free d. Sertifikat obat-obatan dan alat kesehatan
pratique); e. Buku kesehatan untuk kapal; dan
f. Surat persetujuan berlayar karantina
c. sertifikat sanitasi;
kesehatan (port health quarantine clearance)
d. sertifikat obat-obatan dan Alat untuk kapal
Kesehatan;
e. buku kesehatan untuk kapal; dan
f. surat persetujuan berlayar karantina
kesehatan (port health quarantine
clearance) untuk kapal.
(4) Dalam hal alat angkut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) membawa:
a. orang sakit, harus dilengkapi dengan
surat keterangan pengangkutan orang
sakit;
b. jenazah atau abu jenazah, harus
dilengkapi dengan surat ijin
pengangkutan jenazah atau abu jenazah
(human remains transport certificate),
dan surat keterangan kematian dari
Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
dan/atau
c. bahan berbahaya, harus dilengkapi
dengan sertifikat Kesehatan untuk
bahan berbahaya.
(5) Dalam hal alat angkut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang datang dari
atau berangkat ke negara yang
mempersyaratkan sertifikat vaksinasi
internasional (international certificate of
vaccination or prophylaxis), maka setiap
penumpang harus dilengkapi dengan
sertifikat vaksinasi internasional
(international certificate of vaccination or
prophylaxis).
(6) Dalam hal diperlukan Dokumen Karantina
Kesehatan untuk Obat, makanan, kosmetik,
Alat Kesehatan, dan bahan adiktif
berdasarkan permintaan negara tertentu,
Otoritas Karantina Kesehatan menerbitkan
sertifikat kesehatan atau surat keterangan
tentang Obat, makanan, kosmetik, Alat
Kesehatan, dan bahan adiktif.
(7) Dalam hal terdapat perkembangan regulasi
internasional mengenai Dokumen Karantina
Kesehatan, Menteri menetapkan
penyesuaian perubahan Dokumen
Karantina Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat
(6).
Pasal 361 Tidak ada Tidak ada
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan,
penerbitan, dan pembatalan Dokumen
Karantina Kesehatan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kelima
Daerah Wabah
Pasal 362
a. Menteri menetapkan atau mencabut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor Terdapat perbedaan antara penetapan suatu
penetapan daerah tertentu sebagai Daerah 1501/MENKES/PER/X/2010 tentang jenis daerah ditetapkan terjangkit wabah
Terjangkit Wabah. penyakit menular tertentu yang dapat
menimbulkan wabah dan upaya penanggulangan
b. Untuk menetapkan daerah tertentu sebagai Pasal 10
Daerah Terjangkit Wabah sebagaimana (1) Penetapan suatu daerah dalam keadaan wabah
dimaksud pada ayat (1) Menteri dilakukan apabila situasi KLB berkembang
mempertimbangkan aspek: atau meningkat dan berpotensi menimbulkan
malapetaka dengan mempertimbangkan
a. etiologi penyakit;
sebagai berikut
b. situasi kasus dan kematian; a. Secara epidemiologis data penyakit
menunjukkan peningkatan angka kesakitan
c. kapasitas Pelayanan Kesehatan; dan/atau angka kematian
dan/atau b. Terganggunya keadaan masyarakat
berdasarkan aspek sosial budaya ekonomi
d. kondisi masyarakat. dan pertimbangan keamanan
c. Ketentuan mengenai penetapan dan
pencabutan penetapan Daerah Terjangkit
Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 363 Tidak ada Tidak ada
Dalam hal Wabah berdampak mengancam dan
berpotensi mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang menyebabkan
jumlah korban, kerugian ekonomi, cakupan luas
wilayah yang terkena Wabah, dampak sosial
ekonomi yang ditimbulkan, kerusakan
lingkungan, Menteri mengusulkan penetapan
Wabah sebagai bencana nasional nonalam
kepada Presiden.
Pasal 364 Tidak ada Tidak ada
Dalam hal terjadi situasi Wabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 363, Presiden
menetapkan Wabah sebagai bencana nasional
nonalam sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Keenam
Penanggulangan Wabah Tidaka da Tidak ada
Pasal 365
Penanggulangan Wabah dilaksanakan segera
setelah penetapan Daerah Terjangkit Wabah
dengan memperhatikan asas kemanusiaan,
sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan.
Pasal 366 PP No 40 tahun 1991 tentang penangguangan Dalam penanganan wabah, selain upaya preventif
Penanggulangan Wabah dilakukan melalui penyakit menular Pasal 10-Pasal 17 dan kuratif juga diperlukan adanya upaya
kegiatan: Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 82 tahun promotive. Upaya promotive tersebut dapat
a. investigasi penyakit; 2014 tentang penanggulangan penyakit menular diwujudkan dalam promosi kesehatan. Sehingga
Pasal 11 RUU dapat ditambahkan terkait promosi
b. penguatan surveilans; (1) Upaya pencegahan, pengendalian, dan kesehatan.
pemberantasan dalam
c. penanganan penderita; Penanggulangan Penyakit Menular dilakukan
d. pengendalian faktor risiko; melalui kegiatan:
a. promosi kesehatan;
e. penanganan terhadap populasi berisiko; b. surveilans kesehatan;
c. pengendalian faktor risiko;
f. komunikasi risiko; dan/atau d. penemuan kasus;
g. tindakan penanggulangan lainnya. e. penanganan kasus;
f. pemberian kekebalan (imunisasi)
g. pemberian obat pencegahan secara massal; dan
h. kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 367
(1) Investigasi penyakit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 366 huruf a dilakukan untuk
mendapatkan informasi tentang etiologi
penyakit, sumber penyakit, dan cara
penularan atau penyebaran penyakit
Wabah.
(2) Informasi mengenai etiologi penyakit,
sumber penyakit dan cara penularan atau
penyebaran penyakit Wabah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai
pertimbangan dalam menentukan tindakan
penanggulangan.
Pasal 368 Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 82 tahun Peraturan sebelumnya menjelaskan leboh
(1) Penguatan surveilans sebagaimana 2014 tentang penanggulangan penyakit menular terperinci terkait dengan penguatan surveilans
dimaksud dalam Pasal 366 huruf b Pasal 15
dilakukan untuk penemuan kasus dan Surveilans kesehatan sebagaimana dimaksud
identifikasi mendalam tentang karakteristik dalam Pasal 11 ayat (1)
dari etiologi/agen penyakit dan faktor huruf b dilakukan untuk:
risikonya dengan berbasis laboratorium a. tersedianya informasi tentang situasi,
dan/atau penelitian ilmiah. kecenderungan penyakit,
dan faktor risikonya masalah kesehatan
(2) Surveilans sebagaimana dimaksud pada masyarakat dan faktorfaktor
ayat (1) dilakukan melalui kegiatan yang mempengaruhinya sebagai bahan
pengamatan yang sistematis dan terus pengambilan
menerus tentang kejadian penyakit dan keputusan dalam rangka pelaksanaan program
kondisi yang mempengaruhi terjadinya penanggulangan
peningkatan dan penularan penyakit untuk secara efektif dan efisien;
memperoleh dan memberikan informasi b. terselenggaranya kewaspadaan dini terhadap
guna mengarahkan tindakan kemungkinan
terjadinya KLB/wabah dan dampaknya;
penanggulangan penyakit secara efektif dan
c. terselenggaranya investigasi dan
efisien.
penanggulangan KLB/wabah;
dan
d. dasar penyampaian informasi kesehatan kepada
para pihak yang
berkepentingan sesuai dengan pertimbangan
kesehatan.
(2) Surveilans kesehatan diselenggarakan sesuai
dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 369 PP No 40 tahun 1991 tentng penanggulangan
(1) Penanganan penderita sebagaimana wabah penyakit menular
dimaksud dalam Pasal 366 huruf c Pasal 12
dilakukan upaya tata laksana penderita Tindakan pemeriksaan, pengobatan, perawatan,
sesuai dengan kebutuhan medis. isolasi penderita dan
tindakan karantina dilakukan di sarana pelayanan
(2) Penanganan penderita sebagaimana kesehatan, atau di tempat lain yang ditentukan.
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. isolasi;
b. karantina; dan/atau
c. pengobatan dan perawatan.
(3) Isolasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan atau tempat lain yang
memungkinkan penderita mendapatkan
akses Pelayanan Kesehatan untuk
mempertahankan kehidupannya.
(4) Karantina sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b dapat dilaksanakan di rumah,
rumah sakit, tempat kerja, alat angkut,
hotel, wisma, asrama, dan tempat atau
wilayah lainnya dengan mempertimbangkan
aspek epidemiologi.
(5) Karantina sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b dapat dilakukan terhadap orang,
barang, dan alat angkut.
(6) Pengobatan dan perawatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c
dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan sesuai dengan standar dan
peraturan perundang-undangan.
(7) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
bersama dengan masyarakat bertanggung
jawab memfasilitasi pelaksanaan isolasi
atau karantina.
(8) Dalam hal penderita sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) memenuhi kriteria untuk
dilakukan tindakan isolasi atau karantina,
wajib dilakukan isolasi atau karantina guna
mengurangi terjadinya penyebaran penyakit
Wabah.
Pasal 370 Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 82 tahun Peraturan sebelumnya menjelaskan leboh
(1) Pengendalian faktor risiko sebagaimana 2014 tentang penanggulangan penyakit menular terperinci terkait dengan pengendalian faktor
dimaksud dalam Pasal 366 huruf d Pasal 16 risiko
dilakukan untuk memutus rantai penularan (1) Pengendalian faktor risiko sebagaimana
penyakit dari faktor risiko yang dimaksud dalam Pasal 11
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan ayat (1) huruf c ditujukan untuk memutus rantai
perkembangan teknologi serta karakteristik penularan dengan
dari faktor risiko tersebut, termasuk cara:
kemungkinan pemusnahan faktor risiko a. perbaikan kualitas media lingkungan;
b. pengendalian vektor dan binatang pembawa
dimaksud.
penyakit;
(2) Penanganan faktor risiko sebagaimana c. rekayasa lingkungan; dan
dimaksud pada ayat (1) meliputi: d. peningkatan daya tahan tubuh.
(2) Perbaikan kualitas media lingkungan
a. penyehatan, pengamanan, dan sebagaimana dimaksud pada
pengendalian yang ditujukan untuk ayat (1) huruf a meliputi perbaikan kualitas air,
memperbaiki faktor risiko lingkungan udara, tanah, sarana
dan/atau memusnahkan agen biologi dan bangunan, serta pangan agar tidak menjadi
penyebab penyakit tempat
berkembangnya agen penyakit.
b. pencegahan dan pengendalian infeksi; (3) Perbaikan kualitas media lingkungan
dan/atau sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan melalui upaya penyehatan
c. penanganan jenazah.
dan pengamanan
terhadap media lingkungan.
(4) Pengendalian vektor dan binatang pembawa
penyakit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan sesuai
ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(5) Rekayasa lingkungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c
dilakukan paling sedikit dengan kegiatan
rehabilitasi lingkungan
secara fisik, biologi maupun kimiawi.
(6) Peningkatan daya tahan tubuh sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
huruf d paling sedikit dilakukan dengan perbaikan
gizi masyarakat.
Pasal 371
(1) Penanganan terhadap populasi berisiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 366
huruf e dilakukan untuk mencegah dan
mengurangi risiko penyebaran penyakit.
(2) Penanganan terhadap populasi berisiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pemberian kekebalan;
b. pemberian profilaksis; dan/atau
c. pembatasan kegiatan sosial
kemasyarakatan.
(3) Pembatasan kegiatan sosial kemasyarakatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
c meliputi:
a. peliburan sekolah dan tempat kerja;
b. pembatasan kegiatan keagamaan;
c. pembatasan kegiatan di tempat atau
fasilitas umum; dan/atau
d. pembatasan kegiatan lainnya.
Pasal 372 Tidak ada Tidak ada
(1) Komunikasi risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 366 huruf f dilakukan untuk
memberikan pemahaman kepada
masyarakat dan meningkatkan peran
masyarakat dalam upaya penanggulangan
Wabah.
(2) Komunikasi risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pemberian informasi dan/atau edukasi
kepada masyarakat; dan/atau
b. mobilisasi sosial.
Pasal 373 Tidak ada Tidak ada
(1) Dalam hal penanggulangan Wabah
diperlukan sampel dan/atau spesimen
untuk konfirmasi laboratorium,
pelaksanaan pengambilan sampel dan
konfirmasi dilakukan pada laboratorium
terdekat yang memiliki kemampuan.
(2) Pelaksanaan konfirmasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengutamakan
kedaulatan dan kepentingan nasional,
pemanfaatan untuk masyarakat, dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(3) Dalam hal konfirmasi laboratorium
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perlu
dilakukan antarnegara, pelaksanaannya
harus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur
mengenai perjanjian pengalihan material.
Pasal 374 Tidak ada Tidak ada
(1) Kegiatan penanggulangan Wabah
dilaksanakan secara terintegrasi,
komprehensif, dan tepat sasaran dengan
melibatkan kementerian/lembaga terkait
dan Pemerintah Daerah.
(2) Dalam penanggulangan Wabah, Pemerintah
Pusat dapat bekerja sama dengan negara
lain atau badan internasional.
Pasal 375 PP No 40 tahun 1991 tentang penanggulangan
Dalam hal pelaksanaan kegiatan wabah penyakit menular
penanggulangan Wabah mengakibatkan Pasal 30
kerugian harta benda pada masyarakat, (1) Semua biaya yang timbul dalam upaya
Pemerintah Pusat dapat memberikan ganti rugi. penanggulangan wabah dibebankan pada
anggaran instansi masing-masing yang terkait.
( 2) Biaya yang timbul dalam upaya
penanggulangan seperlunya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20, dibebankan pada
anggaran Pemerintah Daerah.
Pasal 376 Tidak ada Tidak ada
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
kegiatan penanggulangan Wabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 365 sampai dengan Pasal
375 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketujuh Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 82 tahun Terdapat perbedaan antara RUU dengan Peraturan
Kegiatan Pasca-Wabah 2014 tentang penanggulangan penyakit menular sebelumnya terkait mitigasi dampak bencana
Pasal 377 Pasal 26
(1) Untuk pemulihan pasca-Wabah dilakukan (1) Untuk mengurangi dampak kesehatan, sosial,
kegiatan normalisasi: dan ekonomi akibat Penyakit Menular, Pemerintah
dan Pemerintah Daerah melaksanakan mitigasi
a. Pelayanan Kesehatan; dan dampak melalui:
a. penilaian status kesehatan masyarakat
b. kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya berdasarkan penyelidikan epidemiologis;
masyarakat. b. memberikan jaminan kesehatan;
c. menghilangkan diskriminasi dalam memberikan
(2) Selain pemulihan sebagaimana dimaksud layanan dan
pada ayat (1) tetap dilakukan upaya dalam kehidupan bermasyarakat;
pencegahan terulangnya Wabah melalui d. menyelenggarakan program bantuan untuk
kegiatan: meningkatkan pendapatan keluarga; dan
e. pemberdayaan masyarakat.
a. penguatan surveilans Kesehatan; dan (2) Kegiatan mitigasi sebagaimana dimaksud pada
b. pengendalian faktor risiko. ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) wajib dilaksanakan oleh
Pemerintah Daerah kabupaten/kota,
Pemerintah Daerah provinsi, dan
Pemerintah Pusat secara terintegrasi,
komprehensif, tepat sasaran, dan
berkesinambungan sesuai dengan
kewenangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan kegiatan pasca-Wabah diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 82 tahun Pada Peraturan sebelumnya pelaporan dilakukan
Pelaporan 2014 tentang penanggulangan penyakit menular secara berjenjang, dimulai dari fasilitas pelayanan
Pasal 378 Pasal 38-Pasal 40 kesehatan, dinas kesehatan, hingga menteri
(1) Pemerintah Daerah kabupaten/kota dan
Pemerintah Daerah provinsi wajib
menyampaikan laporan pelaksanaan
Kewaspadaan Wabah, kegiatan
penanggulangan Wabah, dan/atau kegiatan
pasca-Wabah kepada Menteri secara
berkala.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling sedikit berisi perkembangan
situasi Wabah serta kegiatan
penanggulangan yang dilakukan.
Pasal 379
(1) Menteri wajib melaporkan setiap
perkembangan situasi Wabah dan kegiatan
penanggulangan Wabah kepada Presiden.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri
mengumumkan perkembangan Wabah
dengan memperhatikan dampak sosial,
ekonomi, budaya, politik, dan keamanan
yang mungkin timbul.
Bagian Kesembilan Tidak ada Tidak ada
Sumber Daya
Pasal 380
Sumber daya dalam upaya penanggulangan
Wabah meliputi:
a. sumber daya manusia;
b. teknologi;
c. sarana dan prasarana;
d. Perbekalan Kesehatan; dan
e. pendanaan.
Pasal 381 Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 82 tahun Tidak ada
Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud 2014 tentang penanggulangan penyakit menular
dalam Pasal 380 huruf a merupakan Tenaga Pasal 27
Kesehatan dan non-Tenaga Kesehatan sesuai (1) Sumber daya manusia dalam penyelenggaraan
kebutuhan. Penanggulangan Penyakit Menular meliputi tenaga
kesehatan dan tenaga non kesehatan yang
memiliki kompetensi yang sesuai dengan kegiatan
penanggulangan.
(2) Kemampuan teknis sumber daya manusia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh
melalui pendidikan dan/atau pelatihan yang
dibuktikan dengan sertifikat kompetensi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Pasal 382 Tidak ada Tidak ada
(1) Setiap Tenaga Kesehatan wajib ikut serta
dalam kegiatan penanggulangan Wabah.
(2) Dalam hal Tenaga Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi,
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
dapat melakukan mobilisasi tenaga
cadangan Kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 211.
Pasal 383 Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 82 tahun Tidaka ada
(1) Teknologi sebagaimana dimaksud dalam 2014 tentang penanggulangan penyakit menular
Pasal 380 huruf b berupa penerapan dan Pasal 31
pengembangan: (1) Dalam penyelenggaraan Penanggulangan
Penyakit Menular pemerintah, Pemerintah Daerah,
a. teknologi tepat guna; dan masyarakat harus memanfaatkan dan
mengembangkan teknologi yang diperlukan untuk
b. metode uji laboratorium; upaya kesehatan masyarakat dan upaya
c. metode pengobatan; kesehatan perorangan.
(2) Pemanfaatan dan pengembangan teknologi
d. teknologi manajemen informasi dan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung
komunikasi; dan oleh penelitian, penapisan teknologi, dan
pengujian laboratorium.
e. penelitian. (3) Pemanfaatan dan pengembangan teknologi
(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan tidak menimbulkan dampak
(1) huruf e diutamakan penelitian berbasis
negatif pada manusia dan lingkungan.
pelayanan.
Pasal 384 Tidak ada Tidak ada
Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 380 huruf c berupa seluruh fasilitas
yang diperlukan untuk mendukung kegiatan
Kewaspadaan Wabah, penanggulangan Wabah,
dan pasca-Wabah.
Pasal 385 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor Tidak ada
Perbekalan Kesehatan sebagaimana dimaksud 1501/MENKES/PER/X/2010 tentang jenis
dalam Pasal 380 huruf d meliputi Alat penyakit menular tertentu yang dapat
Kesehatan, Obat, vaksin, bahan medis habis menimbulkan wabah dan upaya penanggulangan
pakai, dan bahan/alat pendukung lainnya yang Pasal 25
diperlukan dalam menyelenggarakan kegiatan Dalam keadaan KLB/Wabah, pemerintah dan
Kewaspadaan Wabah, penanggulangan Wabah, pemerintah daerah wajib menyediakan perbekalan
dan pasca-Wabah. kesehatan meliputi bahan, alat, obat dan vaksin
serta bahan/alat pendukung lainnya
Pasal 386 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor Tidak ada
Pendanaan untuk upaya penanggulangan 1501/MENKES/PER/X/2010 tentang jenis
Wabah dibebankan pada Anggaran Pendapatan penyakit menular tertentu yang dapat
dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan menimbulkan wabah dan upaya penanggulangan
Belanja Daerah, dan/atau sumber lain yang sah Pasal 18
dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan (1) Pendanaan yang timbul dalam upaya
peraturan perundang-undangan. penanggulangan KLB/Wabah dibebankan pada
anggaran pemerintah daerah
(2) Dalam kondisi pemerintah daerah tidak
mampu menanggulangi KLB/Wabah maka
dimungkinkan untuk mengajukan permintaan
bantuan kepada Pemerintah atau pemerintah
daerah lainnya
Bagian Kesepuluh Tidak ada Tidak ada
Hak, Kewajiban, dan Larangan
Paragraf 1
Hak
Pasal 387
Setiap orang yang sakit atau diduga sakit akibat
penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah,
berhak mendapatkan Pelayanan Kesehatan yang
pembiayaannya ditanggung oleh Pemerintah
Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.
Pasal 388 Tidak ada Tidak ada
(1) Tenaga Kesehatan yang melaksanakan
upaya Penanggulangan Wabah berhak atas
pelindungan hukum dan keamanan serta
jaminan kesehatan dalam melaksanakan
tugasnya.
(2) Pelindungan hukum dan keamanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk pelindungan yang diberikan
kepada Tenaga Kesehatan dalam
melaksanakan kegiatan investigasi dan
memasuki wilayah atau mendapatkan akses
kepada masyarakat tertentu yang diduga
terjangkit penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah.
(3) Jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) termasuk mendapatkan
pelindungan diri dari risiko penularan.
Paragraf 2 Tidak ada Tidak ada
Kewajiban
Pasal 389
Setiap orang wajib mematuhi semua kegiatan
penanggulangan Wabah yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pasal 390 UU RI Nomor 4 tahun 1984 tentang wabah
(1) Setiap orang yang mengetahui adanya orang penyakit menular
sakit atau diduga sakit akibat penyakit yang Pasal 11
berpotensi menimbulkan Wabah harus (1) Barang siapa yang mempunyai tanggung
segera melaporkan kepada aparatur jawab dalam lingkungan tertentu yang
pemerintahan desa/kelurahan dan/atau mengetahui adanya penderita atau tersangka
Fasilitas Pelayanan Kesehatan terdekat. penderita penyakit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3, wajib melaporkan kepada
(2) Aparatur pemerintahan desa/kelurahan Kepala Desa atau Lurah dan/atau Kepala
dan/atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan Unit Kesehatan terdekat dalam waktu
yang menerima laporan sebagaimana secepatnya.
dimaksud pada ayat (1) atau yang (2) Kepala Unit Kesehatan dan/atau Kepala Desa
mengetahui adanya orang sakit atau diduga atau Lurah setempat sebagaimana dimaksud
sakit akibat penyakit yang berpotensi dalam ayat (1) masing-masing segera
menimbulkan Wabah wajib melaporkan melaporkan kepada atasan langsung dan
kepada perangkat daerah yang instansi lain yang bersangkutan. (3) Tata cara
menyelenggarakan urusan pemerintahan di penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
bidang Kesehatan setempat. dalam ayat (1) dan ayat (2) serta tata cara
penyampaian laporan adanya penyakit yang
dapat menimbulkan wabah bagi nakoda
kendaraan air dan udara, diatur dengan
(3) Aparatur pemerintahan desa/kelurahan
peraturan perundangundangan.
dan/atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan
yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi
administratif oleh Pemerintah Daerah atau
Pemerintah Pusat sesuai dengan
kewenangannya berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. usulan pemberhentian dari jabatannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 391 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
Dalam keadaan Wabah seluruh Fasilitas 1501/MENKES/PER/X/2010 tentang jenis
Pelayanan Kesehatan baik milik Pemerintah penyakit menular tertentu yang dapat
Pusat dan Pemerintah Daerah maupun swasta menimbulkan wabah dan upaya penanggulangan
wajib memberikan Pelayanan Kesehatan Pasal 24
terhadap orang sakit atau diduga sakit akibat Dalam keadaan KLB/Wabah seluruh fasilitas
penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah. pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun
swasta wajib memberikan pelayanan terhadap
penderita atau tersangka penderita
Pasal 392 Tidak ada Tidak ada
(1) Setiap orang yang mengelola bahan yang
mengandung penyebab dan/atau agen
biologi penyebab penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah wajib memenuhi
standar pengelolaan.
(2) Ketentuan mengenai standar pengelolaan
bahan yang mengandung penyebab
dan/atau agen biologi penyebab penyakit
yang berpotensi menimbulkan Wabah diatur
dalam Peraturan Menteri.
Pasal 393 Tidak ada Tidak ada
(1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tidak
memberikan Pelayanan Kesehatan terhadap
orang sakit atau diduga sakit akibat
penyakit yang berpotensi menimbulkan
Wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
391, dan setiap orang yang mengelola bahan
yang mengandung penyebab dan/atau agen
biologi penyebab penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah yang tidak memenuhi
standar pengelolaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 392 dikenakan sanksi
administratif oleh Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. denda administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3 UU RI Nomor 4 tahun 1984 tentang wabah Perlu adanya kejelasan terkait larangan penyebar
Larangan penyakit menular luasan agen biologi yang dapat menyebabkan
Pasal 394 Pasal 15 wabah, hal-hal yang perlu dimunculkan dalam UU
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan (1) Barang siapa dengan sengaja mengelola secara adalah
menyebarluaskan agen biologi penyebab tidak benar bahan-bahan sebagaimana diatur 1.) Unsur kesengajaan dan ketidaksengajaan
penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah dalam Undang-Undang ini sehingga dapat seperti apa yang dimaksud
secara langsung maupun tidak langsung. menimbulkan wabah, diancam dengan pidana 2.) Apakah diberikan pidana khusus berkaitan
penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dengan penyebarluasan agen biologis
dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 3.) Proses pengolahan agen biologis dalam taraf
100.000.000,- (seratus juta rupiah). apa yang diperbolehkan untuk di olah oleh
(2) Barang siapa karena kealpaannya mengelola pihak tertentu
secara tidak benar bahan-bahan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini sehingga dapat
menimbulkan wabah, diancam dengan pidana
kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun
dan/atau denda setinggi-tingginya Rp
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
(3) Apabila tindak pidana sebagainiana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan oleh suatu badan
hukum, diancam dengan pidana tambahan berupa
pencabutan izin usaha. (4) Tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
kejahatan dan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) adalah pelanggaran
Pasal 395 Pada pasal 45A ayat (1) UU ITE disebutkan, 1. Perlu terdapat penjelasan lebih lanjut terkait
Setiap orang dilarang menghalang-halangi setiap orang yang sengaja menyebarkan berita tindakan yang disebuh menghalang-halangi
pelaksanaan upaya penanggulangan Wabah. bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan upaya penanggulangan wabah, apakah dalam
kerugian konsumen dalam transaksi elektronik bentuk penyebaran Hoax, menghalangi
bisa dikenakan pidana penjara paling lama pemeriksaan pada masyarakat yang terjangkit
enam tahun dan/atau denda maksimal Rp 1 wabah, ataukah dalam bentuk lain
miliar 2. Perlu disebutkan sanksi apa yang diberikan
bagi orang yang menghalangi upaya
penanggulangan wabah
UU RI Nomor 4 tahun 1984 tentang wabah
penyakit menular
Pasal 14
(1) Barang siapa dengan sengaja menghalangi
pelaksanaan penanggulangan wabah
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini,
diancam dengan pidana penjara selama-
lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda
setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta
rupiah).
(2) Barang siapa karena kealpaannya
mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan
penanggulangan wabah sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini, diancam dengan
pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam)
bulan dan/atau denda setinggitingginya Rp
500.000,- (lima ratus ribu rupiah). (
(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah kejahatan dan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah
pelanggaran.
BAB XIII
PENDANAAN KESEHATAN
Pasal 405
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor
116, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor
5256) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan ayat (2) Pasal 7 diubah sehingga
Pasal 7
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) BPJS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 adalah
badan hukum publik berdasarkan Undang-
Undang
ini.
(2) BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(2) BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung jawab kepada Presiden melalui:
bertanggung jawab kepada Presiden dibawah
a. menteri yang menyelenggarakan urusan
pengendalian dewan Pengawas melalui :
pemerintahan di bidang kesehatan untuk
a. menteri yang menyelenggarakan urusan
BPJS
pemerintahan di bidang kesehatan untuk
Kesehatan; dan
BPJS Kesehatan; dan
b. menteri yang menyelenggarakan urusan
b. menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang ketenagakerjaan
pemerintahan di bidang ketenagakerjaan
untuk
untuk
BPJS Ketenagakerjaan.
BPJS Ketenagakerjaan.
2. Ketentuan Pasal 13 diubah, sehingga Pasal
13 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 10, BPJS berkewajiban untuk:
a. menggunakan Nomor Induk Kependudukan
sebagai
satu-satunya identitas Peserta;
b. mengembangkan aset Dana Jaminan Sosial
dan
aset BPJS untuk sebesar-besarnya
kepentingan
Peserta;
c. menyediakan, memberikan, dan/atau
menerbitkan
informasi publik yang berada di bawah
kewenangannya kepada pemohon informasi
publik,
selain informasi yang dikecualikan sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. memberikan Manfaat kepada seluruh
Peserta sesuai
dengan Undang-Undang tentang Sistem
Jaminan
Sosial Nasional;
e. memberikan informasi kepada Peserta
mengenai
hak dan kewajiban untuk mengikuti
ketentuan yang
berlaku;
f. memberikan informasi kepada Peserta
mengenai
prosedur untuk mendapatkan hak dan
memenuhi
kewajibannya;
g. memberikan informasi kepada Peserta
mengenai
saldo jaminan hari tua dan pengembangannya
1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun;
h. memberikan informasi kepada Peserta
mengenai
besar hak pensiun 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun;
i. membentuk cadangan teknis sesuai dengan
standar
praktik aktuaria yang lazim dan berlaku
umum;
j. melakukan pembukuan sesuai dengan
standar
akuntansi yang berlaku dalam
penyelenggaraan
Jaminan Sosial;
k. melaksanakan penugasan dari kementerian
yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang
kesehatan atau kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang
ketenagakerjaan;
l. melaporkan pelaksanaan setiap program,
termasuk
kondisi keuangan, secara berkala 6 (enam)
bulan
sekali kepada Presiden melalui menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang
kesehatan atau menteri yang
menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang
ketenagakerjaan,
dan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan, dengan
tembusan kepada DJSN;
m. menghubungkan sistem informasi yang
dikelolanya
dengan sistem informasi yang
mengintegrasikan
seluruh pelayanan kesehatan atau layanan
ketenagakerjaan yang diselenggarakan oleh
pemerintah; dan
n. melakukan koordinasi mengenai
penyelenggaraan
Jaminan Sosial dengan kementerian/lembaga
terkait. (1) Pemberi Kerja wajib mendaftarkan dirinya
dan pekerjanya yang belum terdaftar jaminan
3. Ketentuan Pasal 15 diubah, sehingga Pasal nasional sebagai Peserta kepada Badan
15 berbunyi Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan
sebagai berikut: program jaminan sosial yang diikuti.
Pasal 15
(1) Pemberi Kerja wajib mendaftarkan dirinya
dan
pekerjanya sebagai Peserta kepada Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan
program jaminan sosial yang diikuti.
(2) Dalam hal Pemberi Kerja tidak melakukan
pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),
Pekerja berhak untuk mendaftarkan diri
sebagai
Peserta atas tanggungan Pemberi Kerja.
(3) Pemberi Kerja dalam melakukan
pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
memberikan data dirinya dan Pekerjanya
berikut
anggota keluarganya secara lengkap dan
benar
kepada BPJS.
BAB XIV
KOMITE KEBIJAKAN SEKTOR KESEHATAN
Pasal Tanggapan Hasil Kritisi dari UU yang lain Usulan/Penjelasan
Bagian Kesatu
Pembentukan
Pasal 406
(1) Komite kebijakan sektor Kesehatan Tidak ada Tidak ada
merupakan wadah koordinasi dan
komunikasi dalam rangka akselerasi
pembangunan dan memperkuat ketahanan
sistem Kesehatan.
(2) Komite kebijakan sektor Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyelenggarakan pencegahan dan
penanganan berbagai permasalahan
kebijakan di bidang Kesehatan.
(3) Komite kebijakan sektor Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada
di bawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden.
(4) Komite kebijakan sektor Kesehatan Penyelenggaraan dan pembuatan suatu kebijakan Pasal 406 ayat (4) berubah menjadi:
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dibidang kesehatan memerlukan adanya Komite kebijakan sektor Kesehatan
atas: pertimbangan dari anggota tenaga kesehatan yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
turun langsung di masyarakat. Sehingga atas:
a. Menteri sebagai ketua merangkap diperlukan juga anggota yang memiliki latar
anggota; belakang dalam pelayanan kesehatan langsung a. Menteri sebagai ketua merangkap
(seperti Dokter dan perawat) agak kebijakan yang anggota;
b. Kepala lembaga pemerintahan
dibuat oleh Komite Kebiajak sektor Kesehatan
nonkementerian yang menyelenggarakan b. Kepala lembaga pemerintahan
dapat berjalan tepat sasaran
urusan pemerintahan di bidang nonkementerian yang menyelenggarakan
pengawasan Obat dan makanan sebagai urusan pemerintahan di bidang
anggota; pengawasan Obat dan makanan sebagai
anggota;
c. Kepala lembaga pemerintahan
nonkementerian yang menyelenggarakan c. Kepala lembaga pemerintahan
urusan pemerintahan kependudukan nonkementerian yang menyelenggarakan
dan keluarga berencana nasional sebagai urusan pemerintahan kependudukan
anggota; dan keluarga berencana nasional sebagai
anggota;
d. Ketua dewan jaminan sosial nasional
sebagai anggota; dan d. Ketua dewan jaminan sosial nasional
sebagai anggota; dan
e. Direktur utama badan penyelenggara
jaminan sosial kesehatan sebagai e. Direktur utama badan penyelenggara
anggota. jaminan sosial kesehatan sebagai
anggota.
f. Ketua Ikatan Dokter Indonesia sebagai
anggota
g. Ketua Persatuan Perawat Nasional
Indonesia sebagai anggota
Bagian Kedua
Tugas dan Wewenang Tidak ada Tidak ada
Pasal 407
Komite kebijakan sektor Kesehatan bertugas
mengoordinasikan pelaksanaan akselerasi
pembangunan dan memperkuat ketahanan
sistem Kesehatan.
Pasal 408 Tidak ada Tidak ada
(1) Komite kebijakan sektor Kesehatan
berwenang:
a. melakukan penelaahan terhadap
berbagai informasi dan data yang relevan
atau berpengaruh terhadap proses
akselerasi pembangunan Kesehatan;
menyusun strategi pencapaian dan
prioritas program dan kegiatan
pembangunan Kesehatan;
b. menetapkan kriteria dan indikator untuk
penilaian pelaksanaan program dan
kegiatan pembangunan Kesehatan;
c. melakukan penilaian terhadap kondisi
stabilitas dan ketahanan sistem
kesehatan;
d. menetapkan langkah koordinasi untuk
mencegah krisis kesehatan dan
memperkuat ketahanan sistem
Kesehatan;
e. merekomendasikan Pemerintah Daerah
melalui menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan dalam negeri
untuk mendukung pelaksanaan
akselerasi pembangunan dan
memperkuat ketahanan sistem
Kesehatan; dan
f. melakukan koordinasi peningkatan
program kesehatan masyarakat terutama
yang bersifat promotif dan preventif
dalam rangka akselerasi pembangunan
dan memperkuat ketahanan sistem
Kesehatan.
(2) Dalam melaksanakan kewenangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Komite kebijakan sektor Kesehatan dapat
melakukan koordinasi kepada
kementerian/lembaga, dan pemangku
kepentingan terkait.
Pasal 409 Tidak ada Tidak ada
(1) Komite kebijakan sektor Kesehatan
menyelenggarakan rapat secara berkala
atau sewaktu-waktu.
(2) Rapat secara berkala sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan 1
(satu) kali setiap 3 (tiga) bulan.
(3) Rapat sewaktu-waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan
berdasarkan permintaan anggota Komite
kebijakan sektor Kesehatan.
Pasal 410 Tidak ada Tidak ada
Ketua komite kebijakan sektor Kesehatan
melaporkan hasil pelaksanaan tugas kepada
Presiden paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun atau sewaktu-waktu jika
diperlukan.
Pasal 411 Tidak ada Tidak ada
Ketentuan lebih lanjut mengenai komite
kebijakan sektor Kesehatan diatur dengan
Peraturan Presiden.
BAB XV
PERAN SERTA MASYARAKAT
BAB XVI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 417
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Perlu adanya kriteria pengangkatan tenaga
dalam melakukan pengawasan sebagaimana pengawas yang ditunjuk. Apakah melibatkan
dimaksud dalam Pasal 416, dapat mengangkat tenaga kesehatan atau masyarakat umum
tenaga pengawas dengan tugas pokok untuk
melakukan pengawasan terhadap segala
sesuatu yang berhubungan dengan Sumber
Daya Kesehatan dan Upaya Kesehatan.
Pasal 418 Tidak ada Tidak ada
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 417, tenaga pengawas
mempunyai fungsi:
a. memasuki Fasilitas Pelayanan
Kesehatan dan setiap tempat yang
diduga digunakan dalam kegiatan yang
berhubungan dengan penyelenggaraan
Upaya Kesehatan;
b. memeriksa perizinan yang dimiliki oleh
Tenaga Kesehatan dan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan.
Pasal 419
Setiap orang yang bertanggung jawab atas Tidak ada Tidak ada
tempat dilakukannya pemeriksaan oleh tenaga
pengawas mempunyai hak untuk menolak
pemeriksaan apabila tenaga pengawas yang
bersangkutan tidak dilengkapi dengan tanda
pengenal dan surat perintah pemeriksaan.
Pasal 420 Tidak ada Tidak ada
Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan
adanya dugaan atau patut diduga adanya
pelanggaran hukum di bidang Kesehatan,
tenaga pengawas wajib melaporkan kepada
penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 421 Tidak ada Tidak ada
Ketentuan mengenai pelaksanaan pengawasan
kegiatan yang berhubungan dengan Sumber
Daya Kesehatan dan Upaya Kesehatan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 422
(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah 1. Terdapat peralihan kewenangan disbanding UU Perlu dicantumkan terkait sanksi dari pelanggaran
sesuai dengan kewenangannya berdasarkan sebelumnya, dari Menteri pada pemerintah tindakan adminsitratif seperti yang tercantum
norma, standar, prosedur, dan kriteria yang pusat atau daerah untuk mengawasi terkait pada UU No. 36 tahun 2009
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dapat pelanggaran administratif
mengenakan sanksi administratif terhadap 2. Tidak ada penjelasan terkait sanksi tindakan
Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan administratif bagi pelanggaran yang dilakukan
Kesehatan yang melanggar ketentuan oleh tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang kesehatan.
ini.
(2) Ketentuan mengenai pengenaan sanksi
administratif terhadap Tenaga Kesehatan
dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Menteri.
BAB XVII
PENYIDIKAN
Pasal Tanggapan Hasil Kritisi dari UU yang lain Usulan/Penjelasan
Pasal 423 Ayat (1) Tetap -
(1) Selain penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia, kepada pejabat pegawai negeri sipil
tertentu di lingkungan pemerintahan yang
menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan
juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
untuk melakukan penyidikan tindak pidana di
bidang Kesehatan.
(2) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil sebagaimana
Ayat (2) penegasan kewenangan Penyidik
dimaksud pada ayat (1) berwenang:
PPNS
a. menerima laporan dan melakukan pemeriksaan
Disesuaikan dengan KUHAP Pasal 7
atas kebenaran laporan serta keterangan tentang
tindak pidana di bidang Kesehatan; x
b. memanggil, memeriksa, menggeledah,
menangkap, atau menahan seseorang yang
diduga melakukan tindak pidana di bidang
Kesehatan;
c. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
d. melarang setiap orang meninggalkan atau
memasuki tempat kejadian perkara untuk
kepentingan penyidikan;
e. menyuruh berhenti orang yang dicurigai atau
tersangka dan memeriksa identitas dirinya; x
f. mencari dan meminta keterangan dan bahan
bukti dari orang atau badan hukum sehubungan
dengan tindak pidana di bidang Kesehatan;
g. menahan, memeriksa, dan menyita surat
dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di
bidang Kesehatan;
h. memeriksa dan menyita surat, dokumen,
dan/atau bahan/barang bukti lainnya dalam
perkara tindak pidana di bidang kesehatan;
i. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang
diduga terdapat surat, dokumen, atau benda lain
yang ada hubungannya dengan tindak pidana di
bidang Kesehatan;
j. mengambil foto dan sidik jari tersangka;
k. memanggil seseorang untuk diperiksa dan
didengar keterangannya sebagai tersangka atau
saksi;
l. meminta keterangan dari masyarakat atau
sumber yang berkompeten;
m. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana di bidang
Kesehatan;
n. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat
cukup bukti yang membuktikan adanya tindak
pidana di bidang Kesehatan; dan
o. mengadakan tindakan lain menurut hukum.
(3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan oleh penyidik pejabat pegawai negeri
sipil sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
Pasal 424 Penekanan bahwa penyidik PPNS berada -
Dalam melakukan penyidikan, penyidik pegawai negeri dibawah koordinasi penyidik POLRI sesuai
sipil berkoordinasi dan bekerja sama dengan penyidik di KUHAP Pasal 7
lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
dapat berkoordinasi serta bekerja sama dengan
penyidik di lingkungan Tentara Nasional Indonesia
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 425 Pasal baru -
Persyaratan, tata cara pengangkatan penyidik pegawai
negeri sipil, dan administrasi penyidikan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
BAB XVIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal Tanggapan Hasil Kritisi dari UU yang lain Usulan/Penjelasan
Pasal 426 tetap -
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi
tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 427 Tetap -
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi
program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) dipidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
BAB XIX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal Tanggapan Hasil Kritisi dari UU yang lain Usulan/Penjelasan
Pasal 449 Pembentukan PUU pelaksana maks 1 tahun -
Peraturan Perundang-undangan sebagai pelaksanaan
Undang- Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu)
tahun sejak tanggal pengundangan Undang-Undang ini.
Pasal 450 Peraturan pelaksanaan dari 14 UU: UU -
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua Wabah, UU sisdiknas, UU PK, UU SJSN, UU
peraturan pelaksanaan dari: Kesehatan, UU RS, UU BPJS, UU Dikti, UU
a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Dikdok, UU Kes Jiwa, UU TenKes, UU
Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Keperawatan, UU Kebidanan, UU
Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Kekarantinaan Kes masih berlaku sepanjang
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia tidak bertentangan atau belum diganti.
Nomor 3237);
b. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4301);
c. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4431);
d. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4456);
e. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
f. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
g. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5256);
h. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 158, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5336);
i. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang
Pendidikan Kedokteran (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 132, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5434);
j. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Jiwa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 185, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5571);
k. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5607);
l. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 307, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5612);
m. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 128,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6236);
n. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang
Kebidanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2019 Nomor 56, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6325),
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 451 KTI dan KKI baru harus dibentuk dalam waktu
Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dan konsil 2 tahun
kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 239 sampai dengan Pasal 264 harus dibentuk
paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini diundangkan.
Pasal 452 Jika belum terbentuk pakai KTI dan KKI yang -
Dalam hal Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dan lama
konsil kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 239 sampai dengan Pasal 264 belum
terbentuk, Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dan
Konsil Kedokteran Indonesia yang sudah terbentuk
sebelum undang-undang ini berlaku tetap menjalankan
tugas dan fungsinya sampai dengan diangkatnya
anggota konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dan konsil
kedokteran Indonesia berdasarkan undang-undang ini.
BAB XX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal Tanggapan Hasil Kritisi dari UU yang lain Usulan/Penjelasan
Pasal 453 Pencabutan 9 UU UU PK tidak dicabut
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang
Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3237);
b. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4431);
c. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
d. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
e. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Jiwa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 185, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5571); dan
f. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5607);
g. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 307, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5612);
h. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 128,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6236);
i. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang
Kebidanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2019 Nomor 56, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6325),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 454 - -
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus
ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 455 - -
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.