Oleh
Yuniwati Soetrisno
2019.06.02.0021
KARYA ILMIAH
A. Latar Belakang
profesi Advokat merupakan profesi yang terhormat juga karena tugas dari
praktek seiring waktu dengan kian bertambahnya jumlah orang yang menjalani
dan adanya kesempatan bagi sebagian dokter untuk lebih banyak berhubungan
dengan pasien dan bertemu pasien sebanyak mungkin hal demikian membuat
dengan melakukan rangkap jabatan sebagai advokat. Pada situasi dimana dokter
juga merangkap sebagai advokat , harus dijelaskan status dan perannya agar
konflik kepentingan bisa dipastikan tidak terjadi. Untuk bisa membuktikan bahwa
seorang dokter bisa merangkap menjadi advokat dan itu tidak bertentangan
dengan kode etik, baik itu kode etik dokter maupun kode etik advokat. Kode etik (
termasuk kode etik dokter dan advokat ) tidak dapat dikategorikan / termasuk
dalam peraturan perundang- undangan karena kode etik adalah aturan yang dibuat
diatur dalam pasal 7 (1) Undang Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
sebagai berikut :
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
undangan maka penulis terlebih dahulu melihat definisi dari peraturan perundang
memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam peraturan perundang - undangan. Kode etik yang penulis akses
dan Kebudayaan Republik lndonesia adalah norma dan asas yang diterima oleh
batasan dari peraturan perundang - undangan yang dijelaskan diatas maka kode
karena kode etik adalah aturan yang dibuat untuk suatu kelompok tertentu.
Demikian halnya dengan kode etik dokter dan kode etik advokat yang dibentuk
- undangan serta pembentukan kode etik itu tidak melalui prosedur yang telah
ditetapkan dalam Undang - Undang. Norma - norma yang terdapat dalam kode
etik merupakan norma - norma yang berasal dari dalam lingkungan organisasi
profesi itu sendiri sehingga kekuatan mengikatnya tidak ada. Kode etik
merupakan bagian dari hukum positif tertulis tetapi perlu di ketahui bahwa kode
etik profesi tidaklah sama dengan undang - undang. Seorang ahli profesi yang
melanggar kode etik profesi menerima sangsi dan atau denda dari induk organisasi
dihakimi/diadili oleh lembaga peradilan yang berwenang untuk itu. Demikian juga
halnya akibat hukum dari rangkap jabatan sebagai dokter dan advokat adalah tidak
B. Rumusan Masalah
dapat dipahami secara lebih jelas dan mudah maka dapatlah dirumuskan
sebagai advokat ?
2) Apakah praktik rangkap jabatan ini memiliki akibat hukum bagi dokter
dan advokat apabila ditinjau dari Undang - Undang No. 29 tahun 2008
tentang kode etik dokter dan Undang - Undang no.18 tahun 2003 tentang
Tujuan penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1) Untuk mengetahui akibat hukum bagi dokter yang rangkap jabatan sebagai
tidak ada dampak dari atau akibat hukum bagi dokter merangkap jabatan
sebagai advokat.
2) Untuk menganalisis mengenai akibat hukum bagi dokter yang rangkap jabatan
sebagai advokat adalah dipandang hal yang perlu sebagai pertahanan dalam
jabatan itu sangat diperlukan selama tidak melanggar Undang - Undang No.29
tahun 2008 tentang Kedokteran dan Undang - Undang No. 18 tahun 2003
tentang Advokat.
5
D. Tipe Penelitian
Penelitian ini dilatar belakangi bahwa dalam Undang Undang nomor 29 Tahun
2008 tentang kedokteran dan undang undang no.18 tahun 2003 tentang advokat
masih belum terdapat kejelasan mengenai pengaturan rangkap jabatan yang
dilakukan oleh dokter merangkap sebagai advokad dan juga tidak menjelaskan
akibat hukumnya. Sehubungan dengan itu rangkap profesi dokter dan pengacara
memberikan kesempatan untuk meningkatkan keadilan dalam kasus malpraktik.
Namun dalam membela sebuah kasus medis dokter yang merangkap profesi sebagai
advokat bisa hadir dalam dua sisi, yaitu sebagai pembela kolega terhadap gugatan
tidak masuk akal dari pasiennya atau membela pasien dengan gugatan malpraktik
yang lebih jelas. Dokter dan advokat rentang terhadap konflik kepentingan
dikarenakan loyalitas ganda yang diperankan oleh dokter dan advokat pada saat
berperkara. Jika melirik Undang – Undang nomor 18 tahun 2003 memang mengatur
sejumlah bentuk larangan rangkap profesi bagi seorang Advokat. Dalam Pasal 20
aturan tersebut misalnya Advokat dilarang memegang jabatan lain yang
bertentangan dengan tugas dan martabat profesinya. Sebagaimana diketahui
Advokat juga merupakan profesi yang diambil sumpahnya oleh negara, yaitu Ketua
Pengadilan Tinggi sesuai domisili hukumnya. Namun terkait dengan substansi
dibalik larangan Advokat memegang dan atau merangkap jabatan lain terkesan tidak
memiliki alasan yang tepat, dan menurut penulis apa substansi Advokat dilarang
merangkap jabatan sebagai dokter bila alasannya tidak jelas.
Sedangkan Undang – Undang nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik Kedokteran
dan Undang – Undang nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
menyebutkan anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tidak boleh rangkap jabatan
“Dalam Kepengurusan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) artinya dalam Peraturan
Perundang – Undangan nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Dokter tidak terdapat
larangan bahwa seorang Dokter merangkap jabatan sebagai Advokat”.
Ketentuan Pasal 1 angka 4, angka 12, angka 13, serta Pasal 14 ayat (1) huruf
6
a,Pasal 29 ayat (3) huruf d, dan Pasal 38 ayat (1) huruf c, Undang – Undang nomor
29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, serta Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat
(3), dan pasal 39 ayat (2), Undang – Undang nomor 20 Tahun 2013 tentang
Pendidikan Kedokteran. Menurut Penulis kewenangan IDI dalam penerbitan
Sertifikat Kompetensi dan Rekomendasi izin praktik dokter menjadikan IDI super
body dan super power. Hal tersebut dinilai Penulis dapat menciptakan perilaku
sewenang – wenang tanpa memperdulikan Peraturan Perundang – Undangan yang
berlaku. Dengan demikian akibat hukum dari rangkap jabatan oleh Dokter dan
Advokat tidak ada akibat hukumnya karena tidak adanya kejelasan. Pada sisi lain
yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan sebenarnya bukan terletak pada
rangkap jabatan oleh dokter dan advokat akan tetapi keberadaan pengurus IDI dan
KKI terutama dalam perumusan regulasi dan hal ini tidak sesuai dengan prinsip
kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD
1945.
Menurut Undang – Undang 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
menyebutkan Pasal 14 ayat (1) huruf a adalah sepanjang unsur organisasi profesi
kedokteran tersebut tidak dimaknai “tidak merangkap jabatan sebagai pengurus
IDI”.
peraturan yang jelas khususnya dalam hal rangkap jabatan profesi Dokter dan
Advokat.
hukum yang dilakukkan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.
jabatan profesi dokter dan advokat dengan cara mengamati dengan melalui
sumber kajian dan pembahasan yang dapat menunjukan fakta secara logis, supaya
atau jurnal yang telah membahas jual beli menggunakan prinsip prinsip
umum hukum Islam .Data yang diperlukan penulis ini yaitu data sekunder,
yaitu data yang sudah dalam bentuk jadi,52 yang bisa dijadikan sebagai data
8
55
yang relevan dengan fenomena sosial yang tengah dicermati . Studi
3) Analisis Data
dari yang umum ke yang khusus dengan cara menerapkan suatu norma
dari yang khusus ke yang umum dengan cara membuat suatu generalisasi dari
52
Undang – Undang Dasar 1945
9
Dari hasil penelitian yang akan penulis lakukan, tesis akan disusun sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini dimuat tentang hal-hal yang berkenaan dengan dekripsi
Dasar 1945.
Pada bab ini dimuat tentang hal-hal yang berkenaan praktik rangkap
10
Pada bab ini dimuat pembahasan masalah yang akan diungkap dalam
tesis ini, yaitu akibat hukum dalam rangkap jabatan profesi dokter dan
advokat yang tidak dihadiri langsung (bil ghaib) oleh para pihak, serta
KESIMPULAN
Pada bab terakhir ini memuat kesimpulan dari apa yang telah
implisit rangkap jabatan yang di lakukan oleh dokter dan advokat tidak
mersangkap profesi sebagai advokat bisa hadir dalam dua sisi yaitu
SARAN