Anda di halaman 1dari 10

APPROACHES TO TOURISM PLANING

Pariwisata akan terwujud dengan adanya suasana dan fasilitas pendukung, lingkungan
alam dan sosial ekonomi serta masyarakat dan pengunjung dengan berbagai macam
ketertarikan. Ada lima pendekatan untuk perencanaan wisata yang diidentifikasikan
oleh para ahli. Lima pendekatan ini dapat diterapkan pula dalam perencanaan wisata
bahari dan cagar alam. Empat diantaranya dikemukakan oleh Getz (1987:45) dan
ditambah lagi satu pendekatan yang dikemukakan oleh Page (1995:185). Pendekatan-
pendekatan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Boosterism
Boosterism telah menjadi suatu pendekatan yang dominan dalam
pengembangan dan perencaan pariwisata sejak pariwisata massal dimulai.
Boosterism merupakan suatu pendekatan sederhana yang melihat pariwisata
sebagai suatu atribut positif bagi suatu tempat dan penghuninya. Obyek-obyek
yang terdapat di suatu lingkungan dalam hal ini adalah sumber daya alam dan
budaya yang dianggap sebagai objek yang akan diekspolitasi untuk
kepentingan pariwisata ditawarkan sebagai aset bagi pengembangan
kepariwisataan tanpa memperhatikan dampaknya terhadap ekonomi, sosial,
dan lingkungan. Menurut Hall (1991:22) nyaris dapat dikatakan bukan sebagai
suatu bentuk dari perencanaan pariwisata. Masyarakat setempat tidak
dilibatkan dalam proses perencanaan dan daya dukung wilayah yang ada tidak
begitu dipertimbangkan. Sebagai contoh pendekatan boosterism dalam
pariwisata paling cocok untuk diterapkan dalam penyelenggaraan acara-acara
besar, seperti Olimpiade, Asian Games, dan lain sebagainya, dimana acara-
acara besar tersebut secara otomatis sangat baik untuk pertumbuhan pariwisata
kota penyelenggara dan regional (Olds 1998; Nauright and Shimmer 2005).
Pendekatan ini lebih ditunjukan untuk meningkatkan promosi wisata disuatu
daerah daripada memastikan demand sesuai dengan sumberdaya dan daya
dukung sosial suatu daerah.

2. The economic tradition: tourism as an industry


Pendekatan ini merupakan pendekatan yang sangat luas digunakan oleh kota-
kota yang menganggap pariwisata sebagai suatu industri yang dapat
mendatangkan manfaat-manfaat ekonomi bersama-sama dengan penciptaan
lapangan kerja serta munculnya kesempatan-kesempatan dalam pembangunan
daerah melalui penyediaan insentif keuangan, pemasaran dan bantuan promosi
serta meningkatkan ekonomi warga sekitar. Konsep utama penedekatan ini
adalah pariwisata sebagai suatu ekspor bagi sistem perkotaan serta promosi
dan pemasaran adalah alat yang digunakan untuk menarik pengunjung yang
akan memberikan manfaat ekonomi pada destinasi wisata tersebut. Menurut
(Hall dan Brown 2006) dalam pendekatan The Economic-Industry ini masalah
siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dari pengembangan
pariwisata bisanya tidak muncul.

3. The land-use/physical/spatial approach


Pendekatan ini didasarkan pada tradisi “penggunaan lahan” geografis dan
perencana-perencana dengan pendekatan rasional untuk perencanaan
lingkungan perkotaan. Tujuan umum dari pendekatan ini adalah untuk
menyediakan struktur kegiatan spasial (atau penggunaan lahan) yang dalam
beberapa hal akan jauh lebih baik karena penggunaan lahan dan spasial ruang
sudah direncanakan matang matang dari sebelumnya. Untuk meminimalisir
dampak wisatawan terhadap lingkungan fisik, banyak pengelola kawasan
wisata berupaya untuk memanipulasi pola perjalanan pengunjung dengan
memusatkan atau menyebarkan wisatawan di daerah sensitif, misalnya
pengelompokan pengunjung di kawasan-kawasan utama, atau pemecahan
untuk menghindarkan terlalu terkonsentrasinya pengunjung di satu kawasan,
dan pemecahan untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya konflik-
konflik. Sebagai contoh, banyak taman nasional dan taman laut memiliki
rencana pengelolaan yang membagi-bagi bagian-bagian taman dalam
kaitannya dengan tingkat kunjungan tertentu, penyediaan pengalaman yang
diinginkan, dan sifat sumber daya itu sendiri. Menurut Lindberg dan
McKercher (19997:72) “Segera setelah suatu objek wisata mulai meunjukan
tanda-tanda kerusakan melalui eksploitasi pariwisata berlebihan, pengelola
harus memindahkan kegiatan wisata ke lokasi lain untuk mencegah kerusakan
fisik dan spatial di lokasi tersebut tidak semakin parah. Namun strategi ini bisa
jadi salah arah jika tidak ditangani dan di kontrol dengan baik karena
pemindahan kegiatan wisata ke tempat yang baru dapat merusak spasial dan
fisik tempat baru sebelum lokasi yang lama selesai dipulihkan.” Perencanaan
penggunaan lahan dalam hal pariwisata berupaya untuk mengintegrasikan
keprihatinan perencanaan sosial dan budaya yang berkaitan dengan aspek
aspek ekologis lingkungan, terutama karena pendekatan The land-
use/physical/spatial approach ini berusaha untuk menanggapi tantangan
pembangunan berkelanjutan (Gunn 2002). Hanya saja satu kritik bagi
pendekatan ini adalah masih kurang mempertimbangkan dampak sosial dan
kultural dari wisata perkotaan.

4. Community Oriented Tourism Plannning


Merupakan pendekatan yang lebih menekankan pada pentingnya keterlibatan
maksimal dari masyarakat setempat di dalam proses perencanaan. Craik
(1988: 26) berpendapat bahwa melibatkan masyarakat dalam mengembangkan
pariwisata dianggap penting tidak hanya dari perspektif etis tentang perlunya
keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, tetapi juga
karena tanpa keterlibatan masyarakat pertumbuhan dan perkembangan
pariwisata akan menjadi semakin sulit. McIntosh dan Goeldner (1986: 308,
310) berpendapat bahwa dalam mengembangkan pariwisata berbasis
komunitas harus memiliki lima tujuan yaitu:
1. Menyediakan kerangka kerja untuk meningkatkan standar hidup
masyarakat lokal melalui manfaat ekonomi pariwisata;
2. Mengembangkan infrastruktur dan menyediakan fasilitas rekreasi
untuk penghuni dan pengunjung;
3. Memastikan bahwa jenis-jenis pengembangan di dalam pusat-pusat
pengunjung dan resor-resor sesuai dengan visi misi daerah;
4. Membuat program pembangunan yang konsisten dengan filosofi
budaya, sosial dan ekonomi pemerintah dan masyarakat lokal; dan
5. mengoptimalkan kepuasan pengunjung.

Perencanaan pariwisata berbasis komunitas adalah tanggapan terhadap


kebutuhan untuk mengembangkan pedoman yang lebih dapat diterima secara
sosial untuk perluasan pariwisata. Sebagai contoh, Cooke (1982) kepekaan
sosial terhadap pariwisata memberikan beberapa wawasan penting tentang
cara di mana dampak sosial pariwisata terhadap masyarakat dapat diperbaiki
melalui langkah-langkah perencanaan yang tepat. Cooke (1982)
mengidentifikasi kondisi yang sesuai untuk pengembangan pariwisata berbasis
komunitas lokal yaitu:
 wisatawan menghormati tradisi dan nilai-nilai budaya setempat;
 memberikan peluang untuk masyarakat lokal dapat terlibat dalam
industri pariwisata melalui keputusan yang dibuat oleh pemerintah
setempat; dukungan masyarakat untuk program relawan pariwisata;
dan masyarakat berpartisipasi aktif dalam arah pengembangan wisata;
 pariwisata adalah andalan ekonomi, kompatibel dengan sektor
ekonomi lainnya, atau dipandang sebagai alternatif yang diinginkan
untuk industri lain;
 membuat tema dan acara yang menarik wisatawan yang didukung
dan dikembangkan oleh masyarakat setempat.
Kondisi yang tidak sesuai untuk pengembangan pariwisata berbasis komunitas
lokal menurut Cooke (1982) yaitu:
 wisatawan tidak dapat menghormati tradisi dan nilai-nilai lokal;
 ketidakpastian tentang arah pengembangan pariwisata di masa depan
yang berkaitan dengan masyarakat lokal;
 pengunjung dilayani lebih baik daripada masyarakat lokal oleh
pemerintah
 masyarakat lebih merasa bahwa infrastruktur dan fasilitas yang telah
dirancang lebih dipentingkan untuk wisatawan daripada masyarakat
setempat;
 konflik yang terkait penggunaan sumber daya alam.
Cooke merekomendasikan bahwa semua perencanaan pariwisata harus
didasarkan pada tujuan dan prioritas penduduk, sehingga objek wisata lokal
hanya dipromosikan jika didukung oleh penduduk lokal. Oleh karena itu,
pendekatan masyarakat terhadap perencanaan pariwisata merupakan bentuk
perencanaan 'bottom-up', yang menekankan pengembangan pariwisata di
masyarakat. Seperti yang diakui Blank (1989: 4), “Komunitas adalah tujuan
sebagian besar wisatawan. Karena itu di masyarakatlah pariwisata terjadi.
Jadi seharusnya pengembangan dan pengelolaan industri pariwisata harus
dibawa secara efektif agar dapat bertahan di masyarakat“. Namun ada
beberapa kendala keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pariwisata
telah diidentifikasi oleh Murphy (2004):
 beberapa anggota masyarakat umumnya mengalami kesulitan dalam
memahami masalah perencanaan yang rumit dan teknis;
 beberapa anggota masyarakat tidak selalu sadar atau memahami
proses pengambilan keputusan;
 kesulitan dalam mencapai dan mempertahankan proses pengambilan
keputusan;
 sikap apatis banyak warga;
 peningkatan biaya untuk otoritas perencanaan;
 perpanjangan proses pengambilan keputusan;
 efek buruk pada efisiensi pengambilan keputusan.

Masalah lebih lanjut dalam memanfaatkan komunitas dalam perencanaan


pariwisata adalah struktur pemerintahan. Sifat sistem tata kelola mengarah
pada kesulitan dalam memastikan bahwa kebijakan pariwisata di berbagai
tingkat pemerintahan cukup terkoordinasi dan bahwa keputusan dan kebijakan
di satu tingkat tidak bertentangan dengan keputusan di tempat lain. Misalnya,
keputusan masyarakat berbasis lokal tidak mengizinkan pengembangan
pariwisata di lokasi tertentu mungkin bertentangan dengan rencana pariwisata
regional atau nasional yang telah disusun oleh pemerintah. Terlepas dari
kesulitan dalam menerapkan pendekatan komunitas untuk pengembangan
pariwisata, elemen-elemen dari pendekatan ini telah terbukti efektif dalam
perencanaan pariwisata berbasis komunitas. Jika pariwisata ingin menjadi
industri yang berhasil dan mandiri, banyak yang perlu diadvokasi dan
direncanakan serta dikelola sebagai industri sumber daya terbarukan,
berdasarkan kapasitas lokal dan pengambilan keputusan masyarakat (Murphy
1985: 153).

5. A sustainable approach to tourism planning: towards integrated tourism


planning and development
Pendekatan ini adalah pendekatan yang diidentifikasi oleh Page, merupakan
pendekatan keberlanjutan yang berhubungan dengan masa depan atas sumber
daya dan efek-efek pembangunan ekonomi pada lingkungan yang mungkin
juga berpengaruh terhadap kultural dan sosial. Dalam konteks perencanaan
pariwisata, pembangunan berkelanjutan didasarkan pada beberapa prinsip
yang ditetapkan oleh the World Commission on the Environment and
Development (the Brundtland Commission) pada tahun 1987 yang menurut
Hall (1991) berhubungan dengan eguity, the needs of economically marginal
populations, and the idea of technological and social limitations on the ability
of the environment to meet present and future needs. Untuk menindak lanjuti
adanya beberapa prinsip tersebut diatas, Dutton dan Hall (1989)
mengidentifikasikan mekanisme-mekanisme yang dapat digunakan sebagai
pedoman pencapaian suatu pendekatan berkelanjutan yang realistik untuk
perencanaan pariwisata, yaitu:
 Mendorong kerjasama dan saling perhatian untuk meningkatkan
manfaat dari setiap pendekatan, sehingga perencanaan pariwisata
harus kooperatif dan didasarkan pada sistem pengendalian terpadu.
 Mengembangkan mekanisme koordinasi industri.
 Meningkatkan kepedulian konsumen mengenai pilihan-pilihan yang
berkelanjutan dan tidak-berkelanjutan, termasuk manfaat-manfaat
dari manajemen pengunjung.
 Meningkatkan kepedulian produsen atas manfaat-manfaat
perencanaan pariwisata yang berkelanjutan.
 Menggantikan pendekatan-pendekatan perencanaan konvensional
dengan perencanaan strategik, untuk ini disyaratkan semua pihak
yang berkepentingan membuat komitmen yang pasti untuk tujuan-
tujuan yang berkelanjutan.
 Memberi perhatian yang lebih besar atas keperluan perencanaan
kualitas pengalaman wisatawan, dengan suatu pandangan atas
keberlanjutan jangka panjang dari produk wisata, bersama-sama
dengan memantapkan atraksi dari kawasan tujuan wisata.
Pariwisata berkelanjutan dapat dikatakan sebagai pembangunan yang
mendukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil
secara etika dan sosial terhadap masyarakat. Artinya, pembangunan
pariwisata berkelanjutan merupakan upaya terpadu dan terorganisasi untuk
mengembangkan kualitas hidup dengan cara mengatur penyediaan,
pengembangan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya alam dan
budaya secara berkelanjutan. Pariwisata berkelanjutan dapat didefinisikan
sebagai pembangunan kepariwisataan yang sesuai dengan kebutuhan
wisatawan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan
memberi manfaat baik bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan
datang. Sebagai contoh, di Indonesia Kemenpar kini gencar melakukan
kampanye Pariwisata Berkelanjutan dengan menjadikan jurus 3P (Planet,
People, dan Prosperity) sebagai acuan dalam pengembangan pariwisata.
Aspek People merujuk pada keinginan wisatawan dengan mengajak
mereka berpartisipasi dalam berbagai kegiatan lokal. Sementara aspek
Planet merupakan kewajiban para wisatawan untuk turut serta merawat
dan menjaga tempat-tempat wisata. Pembangunan juga mesti
memperhatikan nilai-nilai ekonomis dari tempat wisata dan dampaknya
pada penduduk lokal yang tertuang dalam aspek Prosperity. Selain itu,
komitmen mempromosikan pariwisata berkelanjutan juga tertuang dalam
Peraturan Menteri Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi
Pariwisata Berkelanjutan yang mengadopsi standar internasional dari
Global Sustainable Tourism Council (GSTC). Karena itu, Kemenpar kini
mendorong semua daerah yang menjadi destinasi wisata di Indonesia
untuk berusaha mendapatkan sertifikasi pariwisata berkelanjutan sebagai
syarat menjadi destinasi wisata kelas dunia.

COMMUNITY ORIENTED TOURISM PLANNING DI PANTAI REBO DAN


PANTAI RAMBAK, BANGKA
Industri pariwisata saat ini menjadi salah satu industri yang mempunyai peran cukup
penting dalam pembangunan nasional berbagai negara. Di tahun 2017, secara global
industri pariwisata telah mengubah kehidupan jutaan orang melalui mendorong
pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, dan
mempercepat pembangunan serta penguatan toleransi (Crotti & Misrahi, 2017).
Kondisi yang sama juga terjadi di Indonesia di mana sektor pariwisata pada tahun
2016 menunjukkan perkembangan dan kontribusi yang terus meningkat dan semakin
signifikan terhadap Product Domestic Brutto (PDB) nasional sebesar 4,03% atau
senilai Rp. 500,19 triliun, dengan peningkatan devisa yang dihasilkan mencapai Rp.
176-184 triliun dan tenaga kerja pariwisata sebanyak 12 juta orang (Kementrian
Pariwisata, 2016).
Melihat pada potensi tersebut, pengembangan pariwisata mulai menjadi salah satu
program unggulan dalam pembangunan daerah. Pembangunan pariwisata yang
direncanakan dan dikelola secara berkelanjutan dengan berbasis pada masyarakat
akan mampu memberikan kontribusi terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dan menciptakan lapangan kerja. Di samping itu, pembangunan pariwisata
juga dapat menciptakan pendapatan yang dapat digunakan untuk melindungi dan
melestarikan budaya dan lingkungan dan secara langsung menyentuh masyarakat
setempat.

Salah satu daerah yang sedang giat dalam mengembangkan pariwisata adalah
Kabupaten Bangka. Kabupaten Bangka memiliki sumber daya alam yang potensial
dan menarik untuk dikembangkan sebagai tujuan wisata seperti kawasan pantai,
sumber air panas, peninggalan sejarah, serta kawasan gunung dan perbukitan. Lebih
lanjut, Kabupaten Bangka telah memiliki fasilitas yang mendukung sektor pariwisata
seperti 21 hotel, dengan 6 hotel diantaranya merupakan hotel berbintang. Selain itu,
jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Kabupaten Bangka juga menunjukkan
peningkatan tiap tahunnya. Di tahun 2014 terdapat 9 orang wisatawan mancanegara,
kemudian berturut-turut di tahun 2015 dan 2016 jumlah tersebut menjadi 48 orang
dan 71 orang wisatawan mancanegara. Di sisi lain, jumlah tenaga kerja di sektor
pariwisata mengalami penurunan. Di tahun 2013 jumlah tenaga kerja di sektor
pariwisata mencapai 501 orang, dan di tahun 2014 dan 2015 menurun menjadi 396
orang dan 393 orang. Selain itu, pendapatan di sektor pariwisata di tahun 2016 yang
tercatat hanya sebesar Rp. 240 juta (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangka, 2017).
Hal ini menjadi dasar diperlukannya suatu rencana pengembangan pariwisata yang
sesuai dengan karakteristik masyarakat di Kabupaten Bangka. Dengan kata lain,
pariwisata yang dapat meningkatkan pendapatan daerah sekaligus dapat membuka
lapangan kerja bagi masyarakat.

Terkait dengan pengembangan pariwisata, Page (2009) menyebutkan setidaknya


terdapat 5 (lima) pendekatan dalam pengembangan pariwisata yaitu:

1) Boostern approach.
2) The economic industry approach
3) The physical spatial approach.
4) The community approach.
5) Sustainable approach.
Pariwisata merupakan suatu aktivitas yang kompleks yang dapat dipandang sebagai
suatu sistem yang besar, yang terdiri dari beragam komponen seperti ekonomi,
ekologi, politik, sosial, budaya dan seterusnya. Ketika pariwisata dipandang sebagai
sebuah sistem, maka analisis tentang kepariwisataan tidak bisa dilepaskan dari
subsistem yang lain, seperti politik, sosial ekonomi, budaya dan seterusnya.
Subsistem tersebut memiliki hubungan saling ketergantungan dan saling terkait
(interconnectedness). Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pada salah satu
subsistem akan menyebabkan juga terjadinya perubahan pada subsistem yang lainnya,
sampai akhirnya kembali ditemukan harmoni yang baru. Pariwisata adalah sistem dari
berbagai elemen yang tersusun seperti sarang laba-laba : “like a spider’s web- touch
one part of it and reverberations will be felt throughout” (Mill & Marrison, 1985:19
dalam Philips and Pittman, 2009).

Pemahaman mengenai pariwisata sebagai suatu sistem tersebut menunjukkan bahwa


terdapat banyak aktor yang terlibat serta memiliki peran dalam menggerakkan sistem
pariwisata. Aktor-aktor tersebut, baik individu maupun kelompok, disebut pula
sebagai insan-insan pariwisata yang ada pada berbagai sektor yang terkait dengan
pariwisata. Secara umum, insan- insan pariwisata dikelompokkan dalam tiga pilar
utama, yaitu: (1) masyarakat, (2) swasta, dan (3) pemerintah. Pilar masyarakat
merujuk pada masyarakat umum yang ada pada destinasi atau lokasi wisata, sebagai
pemilik sah dari berbagai sumber daya yang merupakan modal pariwisata seperti
kebudayaan. Termasuk didalamnya tokoh- tokoh masyarakat, intelektual, Lembga
Swadaya Masyarakat, dan media massa. Pilar selanjutnya adalah pilar swasta yaitu
asosiasi usaha pariwisata dan para pengusaha yang terkait secara langsung maupun
tidak langsung dengan pariwisata. Pilar terakhir adalah pemerintah yang memiliki
wewenang pada berbagai wilayah administrasi, mulai dari pemerintah pusat, negara
bagian, provinsi, kabupaten, dan seterusnya (Pitana & Gayatri, 2005).

Mengacu pada pandangan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pengembangan


pariwisata sepantasnya melibatkan ketiga pilar tersebut. Pengembangan pariwisata
tidak hanya mengandalkan kemampuan bisnis dari pihak swasta. Tanpa adanya
dukungan dari pemerintah maupun masyarakat, maka pengembangan bisnis
pariwisata yang dijalankan oleh pihak swasta tidak dapat berjalan lancar. Begitupula
pengembangan pariwisata yang hanya dikelola oleh pemerintah, tanpa melibatkan
pilar lainnya. Pemerintah akan mengalami kesulitan dalam peningkatan investasi dan
modal dalam pengembangan pariwisata tersebut. Namun, hal yang paling penting
adalah keterlibatan dari pilar masyarakat yang selama ini sering kali diabaikan dalam
pengembangan pariwisata. Akibatnya masyarakat, terutama mereka yang tinggal di
wilayah atau destinasi wisata sering kali tidak ikut merasakan manfaat dari
pengembangan pariwisata di sekitar mereka. Jikapun terlibat maka peran yang mereka
jalankan sangat minimal sehingga tidak berdampak signifikan terhadap kesejahteraan
masyarakat local. Pada beberapa kasus, masyarakat local di sekitar destinasi wisata
hanya menjadi penonton sementara pada saat yang sama mereka terkena berbagai
dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang negative akibat dari pengembangan
wisata di daerah mereka (Anuar & Sood, 2017). Kondisi tersebut memunculkan
pandangan tentang pentingnya pengembangan pariwisata berbasis masyarakat. Seperti
yang telah disampaikan sebelumnya bahwa terdapat lima pendekatan dalam
pengembangan pariwisata, salah satunya adalah the community approach atau
pendekatan kemasyarakatan atau komunitas.

Anda mungkin juga menyukai