Anda di halaman 1dari 29

©2019

Editor: Herlina Agustin


Reviewer: Dadang Rahmat Hidayat, Santi Susanti, Dandi Supriadi
Desain Sampul dan Layouter: Tim Bitread

Diterbitkan oleh:
Bitread Publishing
PT. Lontar Digital Asia
www.bitread.co.id

ISBN: 978-623-224-230-2
ISBN (E): 978-623-224-231-9
Surel: info@bitread.co.id
Facebook: BitreadID
Twitter: BITREAD_ID
Android Digital Books: BitRead

Anggota IKAPI No. 556/DKI/2018

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

P
uji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata’ala
atas segala nikmat dan kesempatan yang diberikan dalam
hidup, termasuk untuk menerbitkan buku kumpulan tulisan
tentang peran media massa dalam menunjang tujuan pembangunan
berkelanjutan atau Sustainable Development Goals ini.

Sustainable Development Goals atau Tujuan Pembangunan


Berkelanjutan yang diresmikan pada 25 September 2015 di Markas
Besar PBB oleh para pemimpin dunia merupakan agenda global
untuk melaksanakan pembangunan di bidang sosial, ekonomi dan
lingkungan hidup dengan memerhatikan hak asasi manusia dan
kesetaraan bagi masyarakat. Sebanyak 17 tujuan dan 169 target
ditetapkan sebagai rencana aksi global untuk 15 tahun ke depan
(2016-2030).

Indonesia, sebagai negara yang turut menandatangani


kesepakatan SDGs, memiliki kewajiban moral untuk mewujudkan
tujuan tersebut dalam membangun masyarakatnya. Masih banyak
persoalan pembangunan di Indonesia yang perlu mendapat
perhatian pemerintah agar mengarah pada tujuan pembangunan
berkelanjutan sehingga generasi mendatang masih bisa menikmati
hasil pembangunan saat ini.

Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs III
Media massa, sebagai bagian dari masyarakat memiliki andil
dalam mendorong terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Peran
inilah yang dirangkum oleh Departemen Komunikasi Massa Fikom
Unpad dalam buku bungai rampai ini. Beragam tulisan hasil pemikiran
maupun penelitian para dosen Fikom Unpad terkait SDGs disajikan
dalam buku ini.

Saya sampaikan terimakasih dan apresiasi setinggi-tingginya


kepada berbagai pihak yang berinisiatif dan bersedia membagikan
keilmuannya dalam buku ini, semoga memberikan manfaat dan
diberkahi Allah Subhanahu Wa ta’ala. Aamiin Ya Robbal Aalamin.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salam Komunikasi- Harmoni

Dr. Dadang Rahmat Hidayat, SH., S.Sos., M.Si.


Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran

IV Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................. III


DAFTAR ISI.............................................................................. V

A: Jurnalisme Banal dan Trivialisasi


Justito Adiprasetio & S. Kunto Adi Wibowo....................................... 1

Campaign Peduli Sampah The Body Shop Indonesia


Evi Novianti, Diah Sri Rejeki............................................................... 23

Corporate Social Responsibility Lembaga Perbankan


Guna Pemberdayaan Kelompok Disabilitas melalui
Telusuran Publikasi di Media Digital
Hanny Hafiar, Priyo Subekti, Yanti Setianti........................................ 48

Ekonomi Kreatif dan Media Online


Santi Susanti, Asep Suryana.............................................................. 68

Hegemoni dan Literasi Media


Dadang Sugiana & Agus Setiaman..................................................... 91

Komunikasi Mitigasi Bencana


Suwandi Sumartias............................................................................ 109

Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs V
Media Massa dalam Pengembangan
Kualitas Pendidikan Masyarakat
Iwan Koswara, Rahma Sartika........................................................... 124

Media Massa Indonesia dan Tindak Pidana Korupsi


Aceng Abdullah................................................................................. 146

Mengajarkan Kecintaan pada Lingkungan


Melalui Media Massa
Uud Wahyudin, Agus Setiaman......................................................... 163

Pengabaian Fungsi Edukasi pada Tayangan


Wisata dan Budaya di Televisi Swasta
Herlina Agustin, Dandi Supriadi......................................................... 181

Peran Media dan SDGs dalam Menghadapi


Tantangan Perubahan Iklim di Indonesia
Ade Kadarisman................................................................................ 206

Peran Media Film Dokumenter dalam


Kampanye Lingkungan Hidup
Yuliani Dewi Risanti, Putri Trulline..................................................... 224

Peran Media Sosial dalam Pengembangan Ekonomi Kreatif


Tine Silvana....................................................................................... 241

Peran Media Sosial dalam Perubahan Sosial


Putri Trulline, Yuliani Dewi Risanti..................................................... 258

VI Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs
Strategi City Branding Biro Humas DKI Jakarta dalam
Promosi Pariwisata “Enjoy Jakarta” di Media Massa dan Online
Ilham Gemiharto, Shabina Gianti...................................................... 277

TVRI dalam Pelestarian Budaya Lokal


Agus Setiaman, Uud Wahyudin......................................................... 289

TENTANG PENULIS............................................................... 307


TENTANG BITREAD.............................................................. 313

Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs VII
A: Jurnalisme Banal dan
Trivialisasi
Justito Adiprasetio & S. Kunto Adi Wibowo

Pendahuluan

K
asus penganiayaan terhadap A, siswi SMP di Pontianak oleh
tiga orang tersangka memantik percakapan di media sosial
Twitter dan pemberitaan oleh hampir semua media massa di
Indonesia, terutama media daring nasional. Kasus tersebut terjadi
pada akhir bulan Maret 2019, lalu pihak keluarga korban mengadukan
kasus ke Polsek Pontianak pada 5 April 2019, yang berlanjut pada
Polsek Pontianak melimpahkan kasus tersebut ke Polresta Pontianak
pada tanggal 8 April 2019. Namun bukan pernyataan pihak kepolisian
yang membuat percakapan di ruang publik bergolak, wacana publik
tentang kekerasan terhadap A diawali oleh cuitan akun Twitter @
syarifahmelinda yang ditulis pada Senin (8/4). Cuitan tersebut
mendapatkan retweets dari 10.000 pengguna Twitter hanya dalam
kurun waktu 24 jam dari pertamakali cuitan tersebut menghiasi
linimassa. Pada waktu yang bersamaan tagar #justiceforaudrey
merangkak naik dan puncaknya, tagar tersebut menduduki posisi
tertinggi trends di dunia pada keesokan harinya (9/4). Pada Senin
(8/4) juga muncul petisi JusticeForAudrey yang diarahkan pada Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dalam kurun waktu kurang dari

Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs 1
48 jam petisi itu ditandatangani lebih dari dua juta kali. Esoknya (9/4)
semua media daring secara eskalatif menayangkan pemberitaan
penganiayaan tersebut. Media daring seperti detik.com, Kompas.
com, Kumparan dll memberikan porsi besar terhadap pemberitaan
penganiayaan A.

Relasi antara kekerasan dan media, juga representasi kekerasan


terhadap perempuan dalam berita merupakan isu besar dalam kajian
media dan jurnalisme saat ini. Hingga saat ini sebagian besar perhatian
penelitian terfokus pada bagaimana pesan media tentang kekerasan
terhadap perempuan dibingkai dalam berita (Sutherland et al.,
2015). Sutherland, et al. (2016) memaparkan terdapat berbagai pola-
pola dominan bagaimana suatu narasi kekerasan dibingkai; media
memiliki tendensi untuk menyodorkan pada audiens, representasi
yang terlalu simplisistik, tidak memadai, dan mendistorsi tingkat dan
sifat masalah. Pada kasus Indonesia misalnya, hal tersebut kerapkali
terjadi dan diperparah oleh kultur media daring di Indonesia yang
sangat berorientasi pada kecepatan (Margianto & Syaefullah, 2018),
berbeda dengan kultur media daring di Amerika maupun negara-
negara Eropa Kontinental.

Kecepatan adalah kualitas yang dianggap mutlak bagi


industri media di Indonesia. Sangat mudah dijumpai pemberitaan
yang seadanya, di mana pemberitaan hanya ditopang oleh satu
narasumber saja (Sari, 2018)1. Distorsi atas narasi kekerasan juga
diperparah dengan ciri karakter yang seolah-olah menjadi ciri khas
dari jurnalisme Indonesia: sensasionalisme dan trivialisasi (Lindawati,
2017; McKee, 2005). Apabila sensasionalisme adalah penggunaan

1. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180208190729-21-274915/jurnalisme-
daring-antara-traffic-dan-etik

2 Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs
judul dan narasi yang bombastis, trivialisasi adalah kondisi di mana
media yang semestinya memberikan informasi terkait hal-hal yang
bersifat publik, namun terjebak pada urusan trivial atau remeh-
temeh seperti gosip selebriti. Lazim kita jumpai kasus pemberitaan
terkait kekerasan, namun meletakkan selebriti yang minim relevansi
dengan kasus kekerasan tersebut sebagai narasumber.

Tulisan pendek ini berupaya menunjukkan pola-pola dominan


bagaimana suatu narasi kekerasan dipaparkan dengan mengambil
studi kasus pemberitaan penganiayaan A di media daring Indonesia.
Tulisan ini menggunakan data yang dikumpulkan dari publikasi
delapan media daring nasional Indonesia terkait penganiayaan
A sejak 8 April 2019 hingga 18 April 2019. Delapan media daring
tersebut adalah detik.com, Kompas.com, Kumparan, Liputan6.com,
idntimes.com, suara.com, Viva.co.id dan Tirto id, kedelapannya
adalah media daring jurnalisme paling populer di Indonesia. Terdapat
satu media daring yang menempati posisi puncak sebagai media
paling populer di Indonesia, yaitu Tribunnews.com, namun media
daring tersebut tidak digunakan sebagai unit analisis dalam studi ini.
Hal tersebut disebabkan Tribunnews memiliki 24 portal media lokal
yang diintegrasikan dalam situs utama, sehingga terdapat berita
yang redundan muncul di masing-masing portal tersebut namun
masih ada di bawah payung Tribunnews (Adiprasetio, 2018). Menjadi
tidak apple to apple membandingkan Tribunnews dengan format
media daring lainnya. Proses pengumpulan data dari delapan media
dari dibantu oleh mahasiswa Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi,
Universitas Padjadjaran angkatan 2018.

Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs 3
Kekerasan dan Eksploitasi Media

Kekerasan adalah satu objek pemberitaan yang kerap dieksploitasi


media. Walaupun tak sedikit studi yang menunjukkan bahwa paparan
kekerasan yang berlebihan di media massa rentan mengantarkan
pada turunnya sensitivitas terhadap kekerasan (National Television
Violence Study, 1998; Scharrer, 1998), dan bahkan mengantarkan
pada peningkatan tendensi agresi dari audiens (Potter, 1999; Molitor
& Hirsch, 1994; Thomas & Drabman, 1984), media massa tetap
saja menggunakan pemberitaan kekerasan sebagai sarana untuk
mendulang pemirsa. “Bad news is a good news” adalah adagium
yang seolah-olah menjadi ayat suci, yang harus dipegang oleh pelaku
industri media: berita buruk akan menarik perhatian pemirsa dan
pembaca dan menjadi tulang punggung bertahannya media daring.
Besarnya jumlah pemberitaan yang dilakukan oleh media daring
terhadap kasus penganiayaan A menunjukkan besarnya tendensi
yang serupa dilakukan oleh media daring di Indonesia.

Terdapat asumsi laten yang menjangkiti model bisnis media


daring di Indonesia, di mana traffic pengguna dianggap sebagai
berhala paling tinggi dalam model bisnis media daring. Sehingga cara
utama untuk mendapatkannya adalah dengan tidak hanya dengan
memanfaatan isu-isu khusus tak terkecuali kekerasan, tetapi juga
dengan mengeksploitasi clickbait dan bombastisisme. Tidak hanya
itu, media juga kerapkali memproduksi berita sebanyak-banyak
atas suatu tema pemberitaan (Adiprasetio, 2018), tujuannya analog
dengan cara pemancing amatir mencari ikan: lempar kail dan umpan
sebanyak-banyaknya, maka probabilitas untuk mendapatkan ikan
juga akan semakin besar.

4 Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs
Tercatat sejak 8 April 2019 hingga 18 April 2019, delapan media
media daring memberikan ruang yang berbeda untuk pemberitaan
penganiayaan A. suara.com adalah media daring yang paling
menonjol memberitakan kasus tersebut sebanyak 67 berita, disusul
oleh Liputan6.com sebanyak 64 berita, idntimes.com 44 berita,
Kumparan.com dan detik.com berbagi posisi yang sama dengan 36
berita, Tirto.id dengan 22 berita, Kompas.com dengan 21 berita, dan
Viva.co.id dengan 19 berita.

Walaupun jumlah pemberitaan suara.com merupakan yang


tertinggi dibanding media daring yang lain, pemberitaan suara.com
terkait penganiayaan A baru dimulai pada tanggal 10 April 2019.
suara.com berada di belakang delapan media daring yang lain, yang
memulai pemberitaannya pada tanggal 9 April 2019. Pada 10 April
2019, suara.com mempublikasikan 29 berita, esoknya 11 April 2019,
suara.com kembali mempublikasikan 26, lalu sisanya tayang pada
tanggal 11 April dan 16 April 2019.

Walaupun secara kuantitas jumlah pemberitaan media


daring Indonesia atas kasus penganiayaan A cukup besar, namun
hal tersebut tidak berbanding dengan pendalaman isunya.
Indikasinya adalah mayoritas pemberitaan menggunakan media
daring hanya menggunakan satu narasumber saja. Jumlah yang
sangat minim tersebut tidak hanya menunjukkan bagaimana praktik
reportase dilakukan, tetapi menjadi potret bagaimana media daring
memperlakukan pembaca. Media daring cenderung mengabaikan hak
pembaca untuk mendapatkan fakta dan informasi yang sebelumnya
telah dikomparasi terlebih dahulu.

Penggunaan narasumber yang minim sendiri telah mejadi


karakter dari format pemberitaan media daring di Indonesia.

Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs 5
Merupakan hal yang lumrah apabila suatu tema besar pemberitaan
dibagi menjadi berita-berita pendek 6-8 paragraf yang masing-
masing berita hanya berisi pernyataan dari satu narasumber saja.
Kecenderungan buruk tersebut menunjukkan bagaimana media
daring kerapkali memberikan informasi secara tercacah dan parsial
atas kasus kekerasaan terhadap A, di mana ujungnya adalah distorsi
informasi (Margianto & Syaefullah, 2018).

51 dari 67 pemberitaan suara.com hanya menggunakan satu


narasumber, jumlah tersebut sangat timpang apabila dibandingkan
dengan pemberitaan yang menggunakan lebih dari dua narasumber
(tujuh pemberitaan menggunakan dua narasumber, lima berita
menggunakan dua narasumber dan satu berita menggunakan 10
narasumber). Pemberitaan yang menggunakan 10 narasumber (10/4)
bukanlah penjelasan lengkap terkait kronologis dengan dilengkapi
konteks sosial yang memungkinkan tindak kekerasan dapat terjadi,
namun hanyalah kolase pernyataan simpati dari selebriti.

Liputan6.com menempati peringkat kedua dalam konteks


proporsi narasumber, jumlah tersebut lebih baik bila dibandingkan
dengan suara.com. 30 pemberitaan Liputan6.com dari total 64
pemberitaan hanya menggunakan satu narasumber saja, 15
pemberitaan yang lain menggunakan lebih dua narasumber,
sedangkan sisanya menggunakan lebih dari dua narasumber. Setengah
pemberitaan dari idntimes (22 dari 44 berita) hanya menggunakan
satu narasumber, sedangkan 17 dari 36 pemberitaan Kumparan,
19 dari 36 pemberitaan detik.com, sembilan dari 21 pemberitaan
Kompas.com, 11 dari 22 pemberitaan Tirto.id, hanya menggunakan
satu narasumber. Viva.co.id adalah media daring yang paling sedikit
memberikan ruang untuk pemberitaan kekerasan terhadap A, 12 dari
19 pemberitaan Viva.co.id hanya menggunakan satu narasumber.

6 Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs
Pemberitaan terkait kekerasan terhadap A di media daring
hampir selalu bersifat parsial. Informasi yang ada lebih sering dicacah
tidak berdasarkan topik yang kemudian menjadi pencipta distingsi
dari masing-masing pemberitaan, tetapi berdasarkan narasumber.
Indikasi tersebut dapat terbaca dari pemberitaan yang mayoritas
hanya menggunakan satu narasumber belaka. Pencacahan tersebut
yang kemudian merisikokan pembaca memahami kasus secara
parsial dan tidak holistik. Pencacahan pula yang kemudian membuat
pemberitaan media daring mayoritas menggunakan pembingkaian
episodik, ketimbang tematik.

Pembingkaian episodik adalah ketika suatu pemberitaan


terfokus pada peristiwa atau kasus yang spesifik, sedangkan
pembingkaian tematik merupakan teknik pengemasan isu dengan
menonjolkan konteks yang lebih umum dan komprehensif atau
dengan kata lain juga memiliki dimensi sosiologis (Gross, 2008).
Kedua teknik pembingkaian itu sendiri memberikan konsekuensi
terhadap pengemasan suatu informasi, tak terkecuali dalam kasus
pemberitaan kekerasan.

Minimnya Konteks Sosiologis dalam Pemberitaan Kekerasan

Literatur-literatur kontemporer yang membahas tentang representasi


kekerasan terhadap perempuan menjelaskan bahwa media massa
ketika memberitakan kekerasan terhadap perempuan cenderung
menggunakan format pelaporan berbasis kejadian atau peristiwa,
atau dengan kata lain menggunakan model pembingkaian episodik
(Bou-Franch, 2013; Halim & Meyers, 2010; Marhia, 2008; Maxwell,
Huxford, Borum & Hornik, 2000; McManus & Dorfman, 2005; Sims,
2008).

Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs 7
Seperti yang sebelumnya telah disinggung, laporan berita yang
terfokus terutama pada kejadian atau peristiwa terpisah yang terletak
di tempat dan waktu tertentu, dan cenderung mengabaikan konteks
sosial menyeluruh di mana kekerasan perempuan terjadi dapat
dimasukkan dalam kategori pembingkaian episodik. Pembingkaian
memengaruhi bagaimana audiens menempatkan posisi dalam isu
yang ada juga mempengaruhi respons emosi mereka (Gross, 2008).
Pembingkaian episodik akan mengantarkan pada pemahaman
individualistik audiens terhadap situasi isu, ketimbang memosisikan
audiens sebagai subjek yang memiliki atribusi sosial dan tanggung
jawab terhadap isu tersebut (Sutherland, 2016).

Pembingkaian episodik menciptakan keberjarakan antara


suatu isu yang seharusnya memiliki dimensi kepublikan dengan
audiens, sedangkan sebaliknya, pembingkaian tematik sepaket
dengan ulasan konteks sosial yang ada di dalamnya akan cenderung
dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif dan holistik
terhadap audiens (Scheufele, 1999). Pembingkaian tematik akan
memosisikan audiens sebagai bagian atau memiliki relasi langsung
dengan isu yang diberitakan.

Pada pemberitaan kekerasan A, media-media di Indonesia


cenderung menggunakan pembingkaian episodik ketimbang
pembingkaian tematik. Terdapat pemberitaan yang mencoba
menjelaskan konteks sosial, namun penjelasan yang ada tidak
memadai, karena mayoritas hanya menggunakan satu atau dua
narasumber dengan tendensi meminjam pernyataan ketimbang
berupaya memberikan penjelasan kepada publik konteks dan
kompleksitas sosial macam apa yang memungkinkan kekerasan
tersebut dapat terjadi (Margianto & Syaefullah, 2018).

8 Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs
64 dari 67 pemberitaan suara.com menggunakan
pembingkaian episodik, dan hanya 3 di antaranya yang menggunakan
pembingkaian tematik. Liputan6.com, 55 pemberitaannya
menggunakan pembingkaian episodik, dan hanya 9 berita yang
menggunakan pembingkaian tematik. Idntimes, 34 pemberitaannya
menggunakan pembingkaian episodik, dan 10 berita menggunakan
pembingkaian tematik. Kumparan.com, 28 pemberitaannya
menggunakan pembingkaian episodik, delapan pemberitaan
menggunakan pembingkaian tematik. detik.com, 30 pemberitaannya
menggunakan pembingkaian episodik, dan hanya enam berita
yang menggunakan pembingkaian tematik. Kompas.com, 17
pemberitaannya menggunakan pembingkaian episodik, dan hanya
empat berita yang menggunakan pembingkaian tematik. Viva.co.id,
18 pemberitaannya menggunakan pembingkaian episodik, dan hanya
1 berita yang menggunakan pembingkaian tematik.

Hanya Tirto.id yang menonjolkan pembingkaian tematik


dalam pemberitaannya. Secara keseluruhan Tirto.id hanya
menggunakan pembingkaian episodik di 6 berita, dan sisanya 16
berita menggunakan pembingkaian tematik. Tirto.id memberikan
porsi lebih banyak terhadap berbagai informasi terkait konteks
sosial dari kasus penganiayaan A. Tirto.id juga menonjolkan berbagai
artikel yang memberikan upaya pemahaman terkait konsekuensi dari
berbagai tindakan dan situasi yang dihadapi dalam proses hukum
yang terjadi. Hal tersebut terepresentasi dalam artikel “Kasus Bulliying
AY: Layakkah Pelaku Dihukum Seperti Kriminal Dewasa?” (12/4)2,
Tirto.id menjadikan Peneliti Institute for Criminal Justice Reform
(ICJR) untuk menjelaskan secara gamblang mengenai bagaimana

2. https://Tirto.id/kasus-bullying-ay-layakkah-pelaku-dihukum-seperti-kriminal-dewasa-
dlUo

Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs 9
mekanisme pendekatan aparat yang seharusnya diambil dalam
penegakan hukum anak-anak. Juga, dalam artikel pertama Tirto.id
terkait penganiayaan A, yang berjudul “Penganiayaan AY: Bagaimana
Memulihkan Korban dan Menghukum Pelaku?” (9/4)3, Tirto.id
menggunakan 4 narasumber yaitu ahli hukum pidana, Kasat Reskrim
Polresta Pontianak, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform, dan
Pakar Psikologi anak. Masing-masing menjelaskan mekanisme dan
perspektif yang berbeda terkait penanganan hukum dan implikasinya
terhadap korban yang merupakan anak-anak.

Tidak hanya berdasarkan rasio pembingkaian episodik dan


tematik, pemberitaan Tirto.id memiliki distingsi apabila dibandingkan
dengan pemberitaan dengan media daring lain. Pada pemberitaan-
pemberitaan lainnya Tirto.id menggunakan pendekatan yang
mempertimbangkan aspek hukum dan konsekuensinya, aspek
psikologi tidak hanya korban namun juga masyarakat dan konteks
sosiologis sebagai payung besar, pertimbangan yang tak begitu nampak
dari bagaimana media daring memberitakan kasus penganiayaan A.
Contohnya adalah dalam artikel yang berjudul “Kasus AY: Kok Bisa
Anak Perempuan Merisak Sesamanya” (10/4)4, Tirto.id mewawancarai
Lilik Meilani (Ibu Korban) tentang sumber permasalahan, kondisi AY
sebagai korban dan kelanjutan dari tindakan polisi yang menangani
pelaku dan, serta mencoba mengelaborasi pandangan dr. Gail Gross
(Psikolog) dengan mereferensikan artikel lain, untuk menjelaskan
alasan mengapa perempuan dapat merisak sesama perempuan.
Juga contoh lain dalam artikel “Apakah Penganiayaan AY Termasuk

3. https://Tirto.id/kasus-bullying-ay-layakkah-pelaku-dihukum-seperti-kriminal-dewasa-
dlUo
4. https://Tirto.id/kasus-ay-kok-bisa-anak-perempuan-merisak-sesamanya-dlCY

10 Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs
Kelalaian Orang Tua” (11/4)5, Tirto.id mengelaporasi posisi orang
tua dalam kasus penganiayaan tersebut, dalam dimensi psikologi
juga hukum. Pembingkaian tematik dalam pemberitaan tersebut
secara langsung nampak dari bagaimana Tirto.id secara elaboratif
memaparkan pandangan narasumber yang mereka wawancarai,
yaitu Yohana Yembise (Menteri Menteri Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak - PPPA), Amanda Margia Wiranata (Psikolog
Anak), Hibnu Nugroho (Ahli Hukum Pidana).

Secara garis besar, Tirto.id memberikan pendekatan yang


sangat humanistis dengan bingkai tematik dan tidak terfokus hanya
pada penjelasan tentang sejauh apa proses hukum telah dijalankan
oleh pihak kepolisian.

Desas-Desus, Representasi dan Verifikasi

Pada awal viralnya kasus penganiayaan terhadap A di media sosial,


terdapat desas-desus bahwa tindak penganiayaan melibatkan
kekerasan, dan mengakibatkan alat kelamin dari korban mengalami
trauma. Desas-desus tersebut menyebar lewat percakapan media
sosial Twitter. Hampir seluruh media berhati-hati dalam memberitakan
kasus ini, dengan tidak mengekspos desas-desus tersebut menunggu
proses visum terjadi.

Pada saat hasil visum sudah dikeluarkan oleh pihak kepolisian,


semua media mengeluarkan pemberitaan yang memverifikasi
desas-desus yang terlanjur menyebar dan mengisi perbincangan di
media sosial tersebut. Kekerasan seksual menjadi salah satu subjek

5. https://Tirto.id/apakah-penganiayaan-ay-termasuk-kelalaian-orangtua-pelaku-dlQA

Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs 11
perbincangan bersama dengan makian dan cacian terhadap pelaku,
juga ucapan simpati terhadap korban.

detik.com sempat secara tidak langsung mengekspos kasus


penganiayaan tersebut sebagai kekerasan seksual sebelum hasil
visum dari kepolisian keluar, detik.com juga tidak memperdalam
wawancara terhadap saksi terkait keberadaan kekerasan seksual pada
penganiayaan tersebut. Pada salah satu pemberitaan (10/4) detik.com
dalam salah satu kanal pemberitaannya, wolipop mempublikasikan
pandangan Psikolog terhadap viral-nya tagar penganiayaan A di
Twitter, artikel tersebut berjudul “Viral #JusticeForAudrey, Psikolog:
Jahatnya Sudah Kebangetan”6. Pilihan kata dalam judul yang
disematkan oleh detik.com menunjukkan bahwa bukan pandangan
terkait kepakaran yang berupaya ditonjolkan oleh detik, namun
nuansa emosional dari narasumber. Narasumber mengatakan:

“Ini jahatnya sudah kebangetan karena beredar informasi yang


menyebut, selain pelaku menyerang fisik, verbal dan psikis,
terjadi juga kekerasan seksual. Lebih tragisnya lagi, pelecehan itu
dilakukan terhadap sesama perempuan yang seharusnya saling
mendukung satu sama lain.”

Kutipan itu tidak dilengkapi dengan penjelasan tentang fakta-


fakta yang sudah terungkap dalam kasus tersebut. Pada pemberitaan
tersebut detik.com seolah mengafirmasi pernyataan narasumber yang
menyatakan bahwa telah terjadi kekerasan seksual yang dilakukan
oleh sesama perempuan, terhadap Audrey. Tanpa penjelasan yang
spesifik imajinasi pembaca rentan bergerilya ke mana saja, terutama

6. https://wolipop.detik.com/entertainment-news/d-4504267/viral-justiceforaudrey-
psikolog-jahatnya-sudah-kebangetan?_ga=2.88468187.1984789834.1555847656-
1620978250.1551686919

12 Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs
ketika perbincangan di media sosial penuh dengan desas-desus
bahwa telah terjadi kekerasan seksual yang mengakibatkan rusaknya
organ vital korban. Pada berita tersebut, detik.com sendiri tidak
mengeksplorasi kepakaran narasumber, dengan meminta penjelasan
misalnya terkait implikasi dari penganiayaan terhadap korban. detik
hanya memberikan paragraf yang terdiri dari satu kalimat dan tidak
elaboratif terkait pandangan psikolog: “Ratih (narasumber) pun
sulit membayangkan betapa parahnya trauma psikologis yang harus
ditanggung korban di samping luka fisik akibat perlakuan tersebut.”

detik.com sendiri kemudian membuat pemberitaan lain,


setelahnya, di hari yang sama, yang berjudul “Hasil Visum Korban
di Kasus Audrey: Tak Ada Memar, Alat Kelamin Tidak Robek”
(10/4)7 untuk menjelaskan hasil visum yang dikeluarkan oleh pihak
kepolisian bahwa tidak ada penganiayaan yang bersifat seksual dan
mengakibatkan cedera-nya organ vital korban.

Pemberitaan yang serupa dengan detik.com juga dilakukan


oleh suara.com, suara.com mempublikasikan berita yang berjudul
“Psikolog Duga Anak SMA Perusak Kelamin Audrey Meniru Kelakuan
Orangtua” (10/4)8. Berdasarkan judul yang digunakan oleh suara.
com, menunjukkan bahwa perusakan kelamin adalah sesuatu yang
terjadi, dan dugaan psikolog adalah pada alasan atau latar mengapa
hal tersebut terjadi. Walaupun suara.com mengutip pernyataan
psikolog, namun tanpa verifikasi terkait pandangan dan pernyataan
dari psikolog, suara.com seolah mengafirmasi bahwa benar-benar
terjadi “perusakan kelamin”, hal yang bahkan muncul di judul tulisan

7. https://news.detik.com/berita/d-4504620/hasil-visum-korban-di-kasus-audrey-tak-ada-
memar-alat-kelamin-tidak-robek
8. https://www.suara.com/news/2019/04/10/133544/psikolog-duga-anak-sma-perusak-
kelamin-audrey-meniru-kelakuan-orangtua

Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs 13
utama. Pada badan tulisan di paragraf kedua, tulisan itu secara
langsung menyebutkan telah terjadi pengerusakan alat kelamin:

“Audrey yang merupakan anak SMP dikeroyok 12 orang anak


SMA. Bahkan dalam pengeroyokan itu, kelamin Audrey dirusak.
Hal itu terjadi di Kota Pontianak, Kalimantan Barat.”

Walaupun kemudian pada pemberitaan-pemberitaan


setelahnya seperti pada tulisan “Justice for Audrey, Fakta-fakta
Baru yang Terungkap” (10/4)9, suara.com berupaya menjelaskan
kembali apa yang sebenarnya terjadi berdasarkan fakta yang sudah
terungkap, termasuk di antaranya hasil visum yang menunjukkan
tidak adanya kerusakan pada alat kelamin korban, pemberitaan
sebelumnya menunjukkan kelalaian suara.com dengan tidak
memverifikasi informasi yang ada terlebih dahulu. suara.com
terburu-buru memberitakan bahwa telah terjadi penganiayaan
yang di antaranya merupakan kekerasan seksual, misinformasi yang
memperkeruh perbincangan publik terkait kasus penganiayaan
terhadap A. Komunikasi – publikasi jurnalisme – selalu bersifat
irreversible, kerusakan yang ditimbulkan akibat dari kelalaian tentu
tidak bisa diperbaiki sekejap, bahkan ketika artikel terbaru yang lebih
lengkap sudah dipublikasikan. Hingga saat ini (12/5), artikel yang
berisi tentang kerusakan alat kelamin tersebut masih dapat dijumpai
di laman suara.com.

Terdapat dilema media massa ketika harus memberitakan


kasus kekerasan. Apakah suatu media harus memberitakan
kronologi dan fakta kejadian dengan gamblang, atau media massa
lebih baik cenderung tidak memberikan penjelasan yang detail

9. https://m.suara.com/news/2019/04/10/195243/justice-for-audrey-fakta-fakta-baru-
yang-terungkap

14 Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs
untuk menghindari nuansa vulgar dari pemberitaan tersebut
yang berpotensi mempengaruhi pembaca. Terkait desas-desus
pengrusakan alat kelamin oleh pelaku, Tirto.id beberapa kali
memberitakan terkait informasi namun tanpa menyebutkan secara
gamblang pada judul pemberitaannya. Pada pemberitaan pertama
Tirto.id terkait penganiayaan A, yang berjudul “Penganiayaan AY,
Bagaimana Memulihkan Korban dan Menghukum Pelaku” (9/4)10,
Tirto.id mencantumkan hasil wawancara yaitu Kasat Reskrim Polresta
Pontianak, yang menyebutkan “Kamil (Pihak Kepolisian belum bisa
memastikan apakah perusakan vagina itu benar terjadi atau tidak”,
hal tersebut disebabkan harus melalui proses visum terlebih. Pada
pemberitaan lanjutan esoknya, pada artikel yang berjudul “Apakah
Penganiayaan AY termasuk Kelalaian Orangtua Pelaku” (10/4)11,
Tirto.id menjelaskan bahwa tidak terjadi kasus perusakan alat
kelamin seperti yang sebelumnya viral berdasarkan hasil visum
dan keterangan dari orangtua korban. Fakta terkait pengrusakan
alat kelamin dijadikan sebagai pelengkap dari pemberitaan yang
menggunakan pembingkaian tematik.

Langkah yang dilakukan Tirto.id berbeda dengan media-media


lainnya, yang dengan jelas menonjolkan fakta tersebut bahkan di
judul tulisan, hal yang dilakukan oleh hampir seluruh media selain
Tirto.id. Salah satu contohnya adalah kumparan yang mengekpos
tuturan Polisi sekaligus menggunakan pernyataan polisi sebagai judul
yaitu: “Polisi: Alat Kelamin Siswi SMP di Pontianak yang Dianiaya
Tak Dirusak” (9/4).12 Pada pemberitaan lain, esoknya, Kumparan

10. https://Tirto.id/penganiayaan-ay-bagaimana-memulihkan-korban-dan-menghukum-
pelaku-dlAY
11. https://Tirto.id/apakah-penganiayaan-ay-termasuk-kelalaian-orangtua-pelaku-dlQA
12. https://kumparan.com/@kumparannews/kronologi-kasus-penganiayaan-siswi-smp-di-
pontianak-1qr5o8OVaHq

Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs 15
mengutip pernyataan Polisi terkait persepsi korban atas alat kelamin,
“Polisi: Korban Penganiayaan di Pontianak Masih Nyeri di Kelamin”
(10/4).13 idntimes dan Kompas.com, juga menjadikan ketiadaan
kekerasan seksual sebagai salah satu topik utama dalam tulisan,
Idntimes pada “Hasil Visum Audrey Tunjukkan Tidak Ada Kekerasan
pada Organ Vital” (10/4)14, sedangkan Kompas.com dengan judul
“Polisi: Tak Ada Kekerasan pada Organ Vital Siswi SMP Korban
Pengeroyokan di Pontianak” (10/4)15. Selain Tirto.id, hanya Viva.co.id
yang tidak mengekspos pemberitaan terkait ketiadan kerusakan pada
vagina korban sebagai di judul dan topik utama dari tulisannya.

Trivialisasi Pemberitaan Kekerasan

Pada dasarnya pemberitaan tentang kasus hukum terutama yang


ada dalam lingkup pidana, merupakan hak publik. Hal tersebut ditilik
pada fungsi jurnalisme sebagai public sphere yang menjadi tempat
kontestasi, perdebatan dan representasi dari social realm dan public
realm (Habermas, 1996). Publik memiliki hak untuk mengetahui risiko
ancaman atas konstitusi dari pihak manapun, pada lingkup tersebut
media jurnalisme mengemban tugas untuk tidak hanya memberikan
informasi tersebut kepada masyarakat, namun juga sebagai bagian
dari medan wacana yang terbuka bagi publik.

Namun pada posisinya sebagai public sphere, jurnalisme


kerapkali berhadapan dengan berbagai ancaman, salahsatunya

13. https://m.kumparan.com/@kumparannews/polisi-korban-penganiayaan-di-pontianak-
masih-nyeri-di-kelamin-1qrKWV6hCu1
14. https://www.idntimes.com/news/indonesia/dini-suciatiningrum/hasil-visum-audrey-
tunjukkan-tidak-ada-kekerasan-pada-organ-vital
15. https://pontianak.kompas.com/read/2019/04/10/12082441/polisi-tak-ada-kekerasan-
pada-organ-vital-siswi-smp-korban-pengeroyokan-di

16 Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs
adalah trivialisasi (McKee, 2005). Trivialisasi merupakan problem
yang kerapkali terabaikan, karena isu-isu lain di ruang publik yang
terkesan lebih signifikan, seperti: komersialisasi, komersialisasi,
spectacle, fragmentasi, dan apati. Trivialisasi adalah problem public
sphere di mana informasi yang dipertukarkan dan pesan komunikatif
yang terdapat di dalamnya tereduksi menjadi hal-hal yang bersifat
banal. Trivialisasi mencerabut dimensi kepublikan dari public sphere
dan menjadikannya sekadar festival remeh temeh.

Pemberitaan terkait kekerasan yang seharusnya merupakan


prioritas dalam isu kepublikan, juga rentan terjebak dalam trivialisasi.
Jurnalisme kuning adalah salahsatu contoh bagaimana trivialiasi
bekerja, menyeret dimensi kepublikan dari informasi dalam produk
jurnalisme yang menyajikan fakta yang berlebihan, menyebarkan
desas-desus, skandal dan bahkan rentan terjebak pada red-herring
fallacy karena isu yang dibahas seringkali melebar hingga lingkup yang
tidak memiliki relevansi langsung pada kepentingan publik (Campbell,
2001). Apabila sepanjang sejarah jurnalisme, kita dapat menemui
ragam bentuk jurnalisme kuning yang berusaha mengeksploitasi
pembaca dengan menciptakan sensasionalisme dalam tulisannya
sehingga pembaca mendapatkan kenikmatan tersendiri ketika
mengonsumsi informasi, saat ini trivialisasi jurnalisme bekerja dalam
berbagai ragam bentuk, salahsatunya adalah dengan mengaitkan
suatu isu dengan selebritas, menjadikan selebritas sebagai
narasumber dari pemberitaan kasus kekerasan seolah-olah selebritas
tersebut memiliki signifikansi dan relasi langsung terhadap kasus
yang terjadi.

suara.com sebagai media daring yang paling banyak


memberitakan kasus penganiayaan A, 24 publikasi dari total 67
pemberitaan menggunakan selebritis yang minim relevansi dengan

Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs 17
kasus penganiayaan tersebut sebagai narasumber utama. Selebritis
yang dijadikan suara.com sebagai narasumber merentang dari
selebriti media sosial, pembawa acara, pemain sinetron dan film,
petinju dst. Selebritis yang menjadi narasumber di antaranya adalah
Nikita Mirzani (pemain sinetron), Ria Ricis (selebriti media sosial),
Chacha Frederica (selebriti media sosial), Atta Halilintar (selebriti
media sosial), Prilly Latuconsina (aktris film), Uya Kuya (entertainer),
Hotman Paris (selebriti cum pengacara), Chris John (petinju), Ruben
Onsu (entertainer), Ifan Seventeen (musisi), Tyas Mirasih (pemain
sinetron), Ira Wibowo (aktris film), Kareena Kapoor (aktris film
India), Arie Untung (entertainer), Taqy Malik (selebriti media sosial),
Reza Oktavian (selebriti media sosial), Erika Karlina (selebriti media
sosial), Awkarin (selebriti media sosial), Tatjana Saphira (selebriti
media sosial), Rachel Vennya (selebriti media sosial) dan Jefri Nichol
(selebriti media sosial). Selebritis tersebut tentu saja merupakan
influencer yang memiliki potensi untuk mempengaruhi pengikut
mereka dan membentuk wacana publik terkait suatu isu, namun
tidak berarti hal tersebut tidak memiliki risiko. Menjadikan subjek-
subjek yang minim relevansi dan kompetensi terkait kasus kekerasan
sebagai narasumber utama, potensial menyeret isu yang seharusnya
memiliki dimensi kepublikan masuk ke dalam palung banalitas.

Tidak hanya suara.com, media-media lain juga menjadikan


selebriti sebagai narasumber utama dari pemberitaanya. 23
pemberitaan Liputan6.com dari 64 menggunakan narasumber
selebriti, baik sebagai narasumber utama maupun sebagai pelengkap,
sosok yang paling sering muncul adalah: Prilly Latuconsina dan
Atta Halilintar. 4 pemberitaan dari total 36 pemberitaan detik.com
menggunakan narasumber utama selebriti yaitu: Anji (Penyanyi),

18 Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs
Chacha Frederica, Tyo Pakusadewo (Aktor), Kunto Aji (Penyanyi). 6
pemberitaan Kumparan di antara 36 pemberitaan menggunakan
narasumber utama selebriti yaitu: Nikita Mirzani, Awkarin, Cita
Citata (penyanyi), Tyas Mirasih, Ifan Seventeen, Prilly Latuconsina.
Viva.co.id menggunakan selebriti: Ira Wibowo, Nikita Mirzani, Prilly
Latuconsina, Tyas Mirasih dan Ria Ricis di pemberitaannya sebagai
narasumber di 7 pemberitaannya dari total 19 pemberitaan terkait
kasus kekerasan yang menimpa A. 6 pemberitaan Kumparan di antara
36 pemberitaan menggunakan narasumber utama selebriti, yaitu:
Nikita Mirzani, Awkarin, Cita Citata, Tyas Mirasih, Ifan Seventeen, Prilly
Latuconsina. Hampir semua media daring memberikan ruang untuk
komentar selebriti yang dinyatakan langsung atau hasil wawancara
maupun melalui media sosial, Tirto.id menjadikan cuitan pemain
Film Bollywood Kareena Kapoor, sebagai topik utama tulisannya yang
berjudul “Aktris Kareena Kapoor Ikut Beri Dukungan untuk Korban
Bully Audrey” (10/4). Hanya Kompas.com dan idntimes, media yang
sama sekali tidak memberikan ruang untuk pernyataan selebriti
terkait kasus penganiayaan A.

Penutup

Bagaimana media massa merepresentasikan kasus penganiayaan


A hanyalah satu fragmen dari pola media massa di Indonesia
memberitakan kekerasan. Ketergesa-gesaan dan insensitivitas
terhadap korban serta kurangnya pertimbangan terhadap implikasi
dari pemberitaan kekerasan menjadi landasan mengapa hampir
seluruh media berlomba memberitakan kekerasan dengan
sekadarnya.

Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs 19
Pemberitaan dengan dominasi pembingkaian episodik
menunjukkan sebagian besar media, hanya berupaya mendeskripsikan
peristiwa, tanpa berposisi sebagai advokat bagi korban maupun
publik. Absennya konteks sosial dalam pemberitaan rentan membuat
masyarakat gagal memahami situasi yang sebenarnya, dan malah
memperkeruh wacana publik yang sebelumnya sudah tereskalasi di
Twitter. Terdapat beragam bukti empiris yang dipaparkan oleh studi-
studi sebelumnya yang menunjukkan media massa secara konsisten
menciptakan jarak antara realitas pengalaman kekerasan perempuan,
dan “realitas” yang digambarkan di media (Sutherland, 2016). Hal
yang kemudian menciptakan pengaruh negatif terhadap masyarakat,
apalagi diperparah dengan praktik-praktik trivialisasi yang dilakukan
oleh media, di mana pemberitaan kekerasan disulap menjadi festival
remeh temeh.

Daftar Pustaka

Adiprasetio, J. (2018). Kekalahan Jurnalisme di Hadapan Pasar dan


Pemasaran Daring. dalam Suryana, A., Subekti, P., Yanto, A.,
Risanti, Y.N., Nurisani, R. Eksistensi Promosi di Era Digital.
Bandung: Bitread.

Bou-Franch, P. (2013). Domestic violence and public participation in the


media: the case of citizen journalism. Gender and Language,
7(3), 275-302.

Gross, K. (2008). Framing Persuasive Appeals: Episodic and Thematic


Framing, Emotional Response, and Policy Opinion. Political
Psychology, 29, 2, 169-192.

20 Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs
Habermas, J., & Burger, T. (1996). The structural transformation of the
public sphere: An inquiry into a category of bourgeois society.
Cambridge: Polity Press.

Halim, S., & Meyers, M. (2010). News coverage of violence against


Muslim women: a view from the Arabian Gulf. Communication,
Culture & Critique, 3(1), 85-104.

Margianto, J.H. & Syaefullah, A. (2018). Media Online: Pembaca, Laba


dan Etika: Problematika Praktik Jurnalisme Online di Indonesia.
Jakarta: AJI Indonesia & Ford Foundation.

Marhia, N. (2008). Just representation? Press reporting and the reality of


rape. London: E

Maxwell, K. A., Huxford, J., Borum, C., & Hornik, R. (2000). Covering
domestic violence: how the O. J. Simpson case shaped reporting
of domestic violence in the news media. Journalism and Mass
Communication Quarterly, 77(2), 258-272.

McKee, Alan (2005). The Public Sphere: An Introduction. Cambridge:


Cambridge University Press.

McManus, J., & Dorfman, L. (2005). Functional truth or sexist distortion?


Assessing a feminist critique of intimate violence reporting.
Journalism, 6(1), 43-65.

Molitor, Fred., & Hirsch, Kenneth William. (1994). Children’s Toleration


of Real Life Aggression after Exposure to Media Violence: A
Replication of the Drabman and Thomas Studies,” Child Study
Journal 24 (3): 191-207.

“National Television Violence Study, Volume 111” (Santa Barbara: Center


for Communication and Social Policy, University of California,
1998).

Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs 21
Potter, W James. (1999). On Media Violence. Thousand Oaks, CA: Sage.

Scharrer, E. (2008). Media Exposure and Sensitivity to Violence in News


Reports: Evidence of Desensitization? Journalism & Mass
Communication Quarterly, 85(2), 291–310.

Scheufele, D. A. (1999). Framing as a theory of media effects. Journal of


Communication, 49(1), 103-122.

Sims, C. D. L. (2008). Invisible wounds, invisible abuse: the exclusion of


emotional abuse in newspaper articles. Journal of Emotional
Abuse, 8(4), 375-402.

Sutherland, G., McCormack, A., Pirkis, J., Easteal, P., Holland, K., &
Vaughan, C. (2015). Media representations of violence against
women and their children: state of knowledge paper. Sydney,
Australia: ANROWS.

Sutherland, G., McCormack, A., Esteal, P., Holland, K., & Pirkis, J. (2016).
Media guidelines for the responsible reporting of violence
against women: a review of evidence and issues. Australian
Journalism Review, 38, 1, 5-17.

Thomas, Margaret H., & Drabman Ronald S. (1975). “Toleration of Real


Aggression as a Function of Exposure to Televised Violence and
Age of Subject,” Merrill-Palmer Quarterly 21 (3): 227-32.

22 Media dan Pembangunan Berkelanjutan:


Meneropong Peran Media Massa dalam Menunjang SDGs

Anda mungkin juga menyukai