Disusun oleh :
dr. Arham Adnani
Pembimbing:
dr. Rachfita, SpJP
Pendamping :
dr. Kurniati, SpKK
dr. Lisa Puspitorini, SpS
ANAMNESIS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Ibnu Sina dengan keluhan sesak sejak kemarin, terus menerus,
memberat bila beraktivitas dan bila pasien batuk. Sebelumnya, tidak pernah ada keluhan
seperti. Selain itu, pasien juga mengeluhkan nyeri dada tembus ke punggung 3 jam SMRS,
tidak menjalar ke tangan kiri. Nyeri seperti ditusuk. Dada juga terasa panas. Pasien juga
mengeluhkan pusing. Pasien menyangkal keluhan mual, muntah, dan bengkak di anggota
tubuh lain. BAK dan BAB tidak ada keluhan.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
DARAH LENGKAP
Hb 16,4
Leukosit 14.400
HCT 50%
Trombosit 338.000
FUNGSI LIVER
SGOT 22,5
SGPT 17,1
FUNGSI GINJAL
BUN 12,4
Serum Creatinin 0,96
ELEKTROLIT
Natrium 144
Kalium 4,2
Klorida 110
GLUKOSA
Glukosa Darah Acak 191
FUNGSI JANTUNG
CKMB 55
Troponin Negatif (+)
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Thorax : Cardiomegali + Batwing Appearance (+)
EKG:
Assesment
Edukasi :
- KIE MRS HCU
- Rutin berolahraga
- Jauhi makan makanan berminyak
- Tingkatkan konsumsi buah dan sayuran
- Minum obat secara teratur
Perkembangan Pasien
Tanggal S O A P
5 Januari S: Nyeri dada dan O: KU lemah GCS 456 A: SKA + ALO Dx:
2019 sesak berkurang TD:129/876 N:68x/mnt + HT
RR:20x/mnt t:37 SpO2 Emergency ECG setiap pagi,
100% profil lipid
Tx Tetap
6 Januari S: Nyeri dada dan O: KU lemah GCS 456 A: SKA + ALO Dx: ECG setiap pagi
2019 sesak berkurang TD:116/72 N:74x/mnt + HT
RR:20x/mnt t:36,7 SpO2 Emergency Tx:
100% Tx Tetap
C: S1S2 tunggal m-g-
7 Januari S: Nyeri dada dan O: KU lemah GCS 456 A: SKA + ALO Dx: ECG setiap pagi
2019 sesak berkurang TD:129/876 N:68x/mnt + HT
RR:20x/mnt t:37 SpO2 Emergency Tx: Terapi lanjut, Inj.
100% Furosemude
1x1amp
C:S1S2 tunggal m-g-
8 Januari S: Keluhan - O: KU lemah GCS 456 A: SKA + ALO Dx: ECG setiap pagi
2019 TD:116/72 N:74x/mnt + HT
RR:20x/mnt t:36,7 SpO2 Emergency Tx:
100% membaik Inj. Lovenox stop,
C: S1S2 tunggal m-g- terapi lanjut. Besok
KRS
I. PENDAHULUAN
Penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyakit jantung yang sangat penting
karena penyakit ini diderita oleh jutaan orang dan merupakan penyebab kematian utama di
beberapa negara termasuk Indonesia. Di Amerika Serikat dilaporkan jumlah penderita PJK baru
adalah 1,5 juta per tahun. PJK juga merupakan penyebab disabilitas dan kerugian ekonomis yang
tertinggi dibandingkan penyakit lain. Diperkirakan dana yang dibelanjakan tiap tahunnya untuk
perawatan PJK di Amerika Serikat adalah sebesar 14 Milyar US Dollar. (Joewono B S, 2003).
Di Indonesia, penyakit kardiovaskuler telah menduduki peringkat pertama sebagai
penyebab utama kematian pada tahun 2000 dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
2001 sebesar 26,3% dari seluruh kematian. Proporsi kematian semakin meningkat dengan
bertambahnya umur dan meningkat nyata pada usia 35 tahun keatas.(Tim Surkesnas, 2002) Hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan prevalensi penyakit jantung di
Indonesia pada populasi berumur 15 tahun keatas sebesar 9,2%. Prevalensi penyakit jantung
tertinggi didapatkan di provinsi Sulawesi Tengah (16,9%) disusul DI Aceh, Gorontalo, Sumatera
Barat dan Nusa Tenggara Timur. (Depkes RI, 2008)
II. FAKTOR RESIKO
Menurut (Joewono B S, 2003) faktor risiko PJK dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu :
1. Faktor Resiko Mayor
a) Hiperkolesterolemia
b) Hipertensi
c) Merokok
d) Diabetes Mellitus
e) Riwayat Keluarga/Genetik
2. Faktor Resiko Minor
a) Laki-laki
b) Obesitas
c) Stress
d) Kurang Olahraga
e) Menopause
f) Lain-lain
Selain pembagian diatas, menurut IDI (2017) juga dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:
1. Yang tidak dapat diubah :
a. Usia: Resiko meningkat pada pria diatas 45 tahun dan wanita diatas 55 tahun (umumnya
setelah menopause).
b. Jenis Kelamin: Morbiditas akibat PJK pada laki-laki 2 kali lebih besar dibandingkan
perempuan, hal ini berkaitan dengan estrogen endogen yang bersifat protektif pada
perempuan.
c. Riwayat Keluarga: Riwayat keluarga PAK (Penyakit Arteri Koroner) dini yaitu ayah
usia <55 tahun dan ibu <65 tahun.
2. Yang dapat diubah :
1. Mayor
1. Peningkatan lipid serum
2. Hipertensi
3. Merokok
4. Konsumsi alcohol
5. Diabetes mellitus
6. Diet tinggi lemak jenuh, kolesterol dan kalori
2. Minor
1. Aktivitas fisik kurang
2. Stress psikologik
3. Tipe kepribadian
III. KLASIFIKASI
Pasien dengan PJK dibagi menjadi 2 kelompok besar:
1. Penyakit Arteri Koroner Kronik
a. Angina pektoris stabil
Karakteristik : Dada dan tangan yang tidak nyaman yang mungkin bukan berupa rasa sakit.,
tetapi gejalanya bertambah dengan aktivitas fisik dan stress. Gejala berkurang dengan istirhat
5 – 10 menit dan dengan pemberian nitroglycerin.
2. Sindroma Koroner Akut
1. Unstable Angina
Karakteristik : Angina pektoris dengan salah satu gejala berikut:
1. Timbul saat istirahat atau aktfitas fisik minimal. Berlangsung > 10 menit
2. Gejala lebih berat
3. Terjadi dengan pola crescendo (lebih parah, lebih lama dan lebih sering
daripada sebelumnya)
2. Non ST elevasi Miokard Infark (NSTEMI)
Karakteristik : Pasien dengan gejala unstable angina dengan adanya nekrosis dari otot
jantung yang direfleksikan dengan peningkatan enzim jantung. Tidak ditemukan ST
elevasi pada EKG
3. ST elevasi Miokard Infark (STEMI)
Karakteristik : Pasien dengan gejala nyeri dada yang berat dan terus menerus dengan
adanya peningkatan enzim jantung dan kelainan ST elevasi pada EKG.
(Lozcalzo, J, 2013)
IV. PATOFISIOLOGI
Plak yang mengandung lemak dan jaringan fibrosa secara progresif membuat lumen arteri
koronaria makin sempit sehingga volume darah yang mengalir melalui arteri berkurang
sehingga terjadi iskemia miokard. Ketika proses atreosklerosis berlanjut, penyempitan lumen
akan disertai perubahan vaskuler yang merusak kemampuan arteri koronaria untuk berdilatasi.
Keadaan ini menyebabkan gangguan keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan oksigen
dalam miokardium sehingga miokardium yang terletak di distal lesi akan terancam. Jika
kebutuhan oksigen sudah melampaui jumlah oksigen yang dapat dipasok oleh pembuluh darah
yang mengalami kerusakan, maka akan terjadi iskemia miokard setempat. (Kowalak, Jennifer
P, 2012).
Sel-sel miokardium akan menjadi iskemik dalam 10 detik sesudah terjadi oklusi arteri
koronaria. Iskemia sepintas menyebabkan perubahan yang masih reversible pada tingkat
seluler dan jaringan. Perubahan ini akan menekan fungsi miokardium. Apabila tidak diatasi,
keadaan ini akan menyebabkan cedera atau nekrosis jaringan. Dalam tempo beberapa menit,
keadaan kekurangan oksigen tersebut memaksa miokardium untuk beralih dari metablisme
aerb ke anaerob sehingga terjadi penumpukan asam laktat dan penurunan pH sel. (Kowalak,
Jennifer P, 2012).
Kombinasi hipoksia, penurunan ketersediaan energi dan asidosis dengan cepat akan merusak
fungsi ventrikel kiri. Kekuatan kontraksi pada pada bagian otot jantung yang terkena akan
menurun karena serabut otot tidak cukup memendek sehingga kekuatan serta percepatan aliran
yang dihasilkan berkurang. Lebih lanjut, pada dinding ventrikel terjadi gerakan abnormal di
daerah iskemia sehingga darah ang diejeksikan pada tiap kontraksi berkurang. Pemulihan aliran
darah melalui arteri koronaria akan mengembalikan metabolism aerob yang normal dan
kontraktilitas jantung. Akan tetapi, bila aliran darah tidak dapat dipulihkan maka akan terjadi
infark miokard. (Kowalak, Jennifer P, 2012).
Infark miokard terjadi karena adanya penyumbatan satu atau lebih arteri koronaria.
Oklusi/sumbatan dapat disebabkan oleh atherosklerosis, pembentukan thrombus, agregasi
trombosit, atau stenosis/spasme arteri koronaria. Jika oklusi arteri koronaria menyebabkan
iskemia yang lebih lama dan lebih dari 30 hingga 45 menit, maka akan terjadi kerusakan sel
miokard yang irreversible dan kematian otot jantung. Lokasi infark miokard tergantung pada
pembuluh darah yang tersumbat.
1. Oklusi arteri cirmcumflexa koronaria kiri Infark dinding lateral
2. Oklusi arteri desenden anterior koronaria kiri Infark dinding anterior
3. Oklusi arteri koronaria kanan dan cabang-cabangnya infark dinding inferior atau
posterior sejati. Infark ventrikel kanan Gagal jantung kanan.
(Kowalak, Jennifer P, 2012).
Beberapa perubahan juga terjadi setelah serangan infark miokard. Enzim dan protein jantung
akan dilepas oleh sel-sel miokard yang mengalami infark. Enzim dan protein inilah yang
digunakan untuk penegakan diagnosis infark miokard. Berikut tabel enzim dan protein jantung:
Perubahan pada otot jantung setelah infark miokard :
1. 24 jam otot-otot jantung mengalami edema dan sianosis.
2. Beberapa hari berikutnya, leukosit menginfiltrasi daerah nekrotik dan mulai
membersihkan sel-sel nekrotik yang membuat tipis dinding ventrikel.
3. Minggu ketiga, pembentukan jaringan parut.
4. Minggu keenam, jaringan parut yang kuat.
(Kowalak, Jennifer P, 2012)
V. DIAGNOSIS INFARK MIOKARD
Anamnesis:
1. Keluhan (IDI, 2017):
a. Nyeri dada retrosternum seperti tertekan dan tertindih benda berat.
b. Nyeri menjalar ke dagu, leher, tangan punggung, dan epgastrium. Penjalaran di
tangan kiri lebih sering terjadi.
c. Gejala tambahan berupa sesak, mual, muntah, nyeri epigastrium, keringat
dingin dan cemas
2. Faktor Resiko.
Pemeriksaan fisik (IDI, 2017):
1. Pasien biasanya terbaring dengan gelisah dan kelihatan pucat.
2. Hipertensi/hipotensi
3. Dapat terdengar suara murmur dan gallop S3
4. Ronki basah disertai peningkatan vena jugularis dapat ditemukan pada kasus dengan
edema paru.
5. Dapat ditemukan aritmia.
Pemeriksaan Penunjang (IDI, 2017):
1. EKG:
1. STEMI: terdapat elevasi segmen ST diikuti dengan perubahan sampai inversi
gelombang T, kemudian muncul peningkatan gelombang Q minimal di dua
sadapan.
2. NSTEMI: Dapat ditemukan depresi segmen ST dan inversi gelombang T atau
EKG yang normal.
2. Biomarker:
Peningkatan enzim jantung CK-MB, LDH dan Cardiac Troponin
(Joewono B S, 2003)
Diagnosis Klinis
Kriteria diagnosis:
1. Klinis : Nyeri dada khas angina
2. EKG : ST Elevasi atau ST Depresi atau T inverted
3. Laboratorium : Peningkatan enzim jantung
Diagnosis banding:
Angina pektoris prinzmetal
Unstable Angina Pectoris
Anxietas
Diseksi aorta
Dispepsia
Miokarditis
Pneumothoraks
Emboli paru
Komplikasi:
Aritmia Letal
Perluasan Infark dan iskemia paska infark
Disfungsi otot jantung
Ruptur miokard
VI. TATALAKSANA INFARK MIOKARD
a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Segera rujuk setelah pemberian :
1. Oksigen 2-4 liter/menit
2. Nitrat, ISDN 5-10 mg sublingual maksimal 3 kali
3. Aspirin, dosis awal 320 mg dilanjutkan dosis pemeliharaan 1 x 160
4. Dirujuk dengan terpasang infus dan oksigen
Dirujuk ke layanan sekunder dengan spesialis jantung atau spesialis penyakit dalam (IDI,
2017).
b. Tatalaksana Lanjut
NSTEMI
1. Anti Iskemik
1. Nitrat: Nitrogliserin menurunkan kebutuhan oksigen miokard sekaligus meningkatkan
pengiriman oksigen ke miokard. Diberikan dengan dosis 0,4 mg sublingual, bisa
diberikan 3 kali selang 5 menit.
2. Morphine Sulfate: Diberikan untuk penderita yang tidak hilang gejalanya meski telah
diberikan 3 tablet nitrat sublingual. Dapat diulang 5 – 30 menit sesuai kebutuhan.
3. Beta Blocker: Beta blocker menghambat respon kontraktilitas denyut jantung terhadap
nyeri dada, aktivitas dan rangsangan lainnya. Selain itu juga menurunkan tekanan darah
sistolik dan penurunan kerja jantung.
4. Calcium Channel Blocker: CCB berfungsi untuk efek vasodilatasi, penurunan
kontraktilitas miokard, dan perlambatan sinus node. Dapat menurunkan kebutuhan
oksigen jantung dan memperbaiki aliran darah ke miokard.
(Yenny R, Pikir B. S, 2015).
2. Anti Platelet
Tujuan : Untuk mengurangi resiko komplikasi akut iskemik dan kejadian atherotrombosis
berulang.
a. Aspirin. Dosis: Loading dose 150-300 mg dikunyah, dengan dosis pemeliharaan 75-100 mg
b. Adenosine Diphosphate Receptor Antagonist (P2Y12 receptor inhibitors)
Contohnya adalah Clopidogrel. Dosis: Loading dose 300 mg dilanjutkan dosis harian 75 mg
selama 9-12 bulan (Yenny R, Pikir B. S, 2015).
3. Anti Koagulan
Tujuan : Menghambat pembentukan dan aktivitas thrombin sehingga menurunkan kejadian
thrombus.
a. Fondaparinux
b. LMWHs
c. UFH
(Yenny R, Pikir B. S, 2015)
4. Revaskularisasi Koroner
Tujuan : Menghilangkan gejala, mempersingkat waktu perawatan, dan memperbaiki prognosis.
Indikasi, waktu untuk revaskularisasi, serta pendekatan yang dipilih (PCI vs CABG)
bergantung pada banyak factor termasuk kondisi penderita, profil resiko, penyakit penyerta dan
kondisi lesi coroner berdasarkan angiografi. (Yenny R, Pikir B. S, 2015) .
STEMI
a. Tatalaksana emergensi
Tatalaksana STEMI di IRD sesuai dengan bagan di bawah:
b. Pemilihan Strategi Reperfusi
1. Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
ESC dan AHA merekomendasikan PCI sebagai strategi reperfusi bila :
1. Dapat dilakukan dalam waktu kurang dari 120 menit dari kontak medis pertama
oleh operator yang berpengalaman.
2. Terdapat kontraindikasi fibrinolitik dengan gejala iskemi kurang dari 12 jam,
dianjurkan PCI tanpa memandang waktu penundaan dari kontak medis pertama.
3. Penderita dengan syok kardiogenik atau gagal jantung akut yang berat tanpa
memandang waktu penundaan dari onset infark miokard.
4. Masih ada bukti iskemia meskipun gejala sudah berlangsung 12-24 jam.
5. Hanya dianjurkan untuk arteri yang infark.
(Puspitasari M, Pratanu I, 2015)
2. Fibrinolisis
ESC dan AHA merekomendasikan terapi fibrinolitik dalam 12 jam sejak onset gejala
pada penderita :
1. Tidak memiliki kontraindikasi terhadap fibrinolitik
2. PCI tidak dapat dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak
kontak pertama medis.
3. Penderita iskemi yang berlanjut dalam 12-24 jam sejak awal gejala dan
melibatkan area miokard yang luas atau instabilitas hemodinamik.
3. Agen fibrinolitik yang direkomendasikan adalah streptokinase(SK), alteplase (tPA),
reteplase (r-PA) atau tenecteplase(TNK-tPA)
(Puspitasari M, Pratanu I, 2015)
4. Emergency CABG (Coronary Artery Bypass Graft) Direkomendasikan pada :
1. PCI gagal atau tidak dapat dilakukan.
2. Anatomi arteri coroner yang sesuai dengan kondisi CABG.
3. Iskemi miokard persistent dan/atau terdapat ketidakstabilan hemodinamik yang
refrakter terhadap terapi.
4. Penderita yang menjalani pembedahan akibat komplikasi mekanis pasca infark
miokard. (contoh : rupture septum ventrikel)
(Puspitasari M, Pratanu I, 2015)
X. STENT THROMBOSIS
Stent thrombosis adalah salah satu komplikasi dari pemasangan stent arteri koroner yang jarang
tapi berbahaya. Kasus ini menimbulkan angka kecacatan dan kematian yang tinggi. Stent
thrombosis adalah pembuntuan tiba-tiba dari arteri koroner yang sudah di stent akibat
pembentukan thrombus. (Gibson M,2018).
Stent thrombosis dibagi menurut onsetnya :
1. Acute stent thrombosis : 0 – 24 jam setelah pemasangan stent.
2. Subacute stent thrombosis : > 24 jam sampai 30 hari setelah pemasangan stent.
3. Late stent thrombosis : >30 hari sampai 1 tahun setelah pemasangan stent.
4. Very late stent thrombosis : > 1 tahun setelah pemasangan stent.
Stent thrombosis dibagi menurut tingkat kepastiannya : a. Definite Stent Thrombosis
1. Konfirmasi melalui angiografi. Adanya thrombus pada stent atau 5 mm di proksimal
atau distal stent dan adanya 1 dari kriteria berikut dalam 48 jam pertama:
1. Onset akut dari gejala iskemik saat istirahat.
2. Iskemik baru pada EKG
3. Peningkatan dan penurunan kembali biomarker jantung.
2. Konfirmasi patologi dari stent thrombosis.
3. Probable Stent Thrombosis
a) Kematian yang tidak jelas pada 30 hari pertama pasca pemasangan stent.
b) Adanya infark miokard di area yang sama dengan area stent tanpa konfirmasi
angiografi.
4. Possible Stent Thrombosis: Kematian yang tidak jelas setelah 30 hari pasca
pemasangan stent. (Gibson M,2018)
Stent thrombosis terjadi akibat banyak factor yang menginduksi thrombogenesis. Trauma dari
pemasangan stent sendiri dapat mengaktifkan platelet dan kaskade thrombogenik. Selain itu
juga bisa dipengaruhi oleh :
1. Lambatnya sirkulasi coroner
2. Diseksi local
3. Lesi parah pada distal stent yang tidak teratasi
4. Aliran keluar yang kurang.
5. Dosis anti platelet yang tidak adekuat.
6. Resisten pada anti platelet.
7. Sepsis
8. Transfusi darah
9. Dehidrasi
10. Hipotensi
Adanya stent thrombosis pada Drug Eluting Stent (DES) disebabkan karena beberapa faktor :
1. Adanya endotelialisasi yang terlambat.
2. Reaksi radang pada bahan stent
3. Reaksi hipersensitivitas pada bahan stent
Tatalaksana untuk stent thrombosis adalah melakukan revaskularisasi, baik dengan PCI
maupun dengan thrombolitik jika PCI tidak ada. Jika revaskularisasi tidak berhasil, sebaiknya
dilakukan CITO CABG. Pencegahan dari stent thrombosis dengan mengonsumsi terapi
kombinasi anti platelet. Pada pasien PCI dengan DES direkomendasikan Aspirin 75-
100mg/hari dan clopidogrel 75 mg/hari dalam 3-4 bulan. Jika tidak ada perdarahan bisa dipakai
diatas 1 tahun. (Gibson M,2018).
Departemen Kesehatan RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia
Ikatan Dokter Indonesia.2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Falisitas Pelayanan
Kesehatan Tingkat Pertama. Jakarta: Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Joewono, B
S.2003. Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya: Airlangga University Press
Kowalak, Jennifer P.2012. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG
Pamewa F, Adipranoto J.D.2015. Peran PCI pada Penyakit Jantung Koroner: Penyakit
Jantung Koroner Manajemen Komprehensif. Surabaya: Departemen/SMF Kardiologi dan
Kedokteran Vaskular Universitas Airlangga – RSUD Dr Soetomo
Tim Surkesnas.2002. Survei Kesehatan Nasional Laporan Studi Mortalitas 2001: Pola
Penyakit Penyebab Kematian di Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan.
Yenny R, Pikir B. S.2015. Penatalaksanaan Angina Tidak Stabil dan Infark Miokard Elevasi
Non ST: Penyakit Jantung Koroner Manajemen Komprehensif. Surabaya: Departemen/SMF
Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Universitas Airlangga – RSUD Dr Soetomo
LAMPIRAN