Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM

EKOLOGI LAUT
BUDIDAYA FITOPLANKTON SPESIES
(Chaetoceros calsitrans dan Navicula sp) DI LABORATORIUM

Disusun oleh:
NAMA : Noor Alifah
NIM : 1701140470
Kelompok : IV (empat)

LABORATORIUM BIOLOGI
PROGRAM STUDI TADRIS BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
TAHUN AJARAN 2019/2020
Abstrak

Fitoplankton mempunyai peranan yang sangat penting di dalam suatu perairan, selain sebagai
dasar dari rantai makanan (primary producer) juga merupakan salah satu parameter tingkat
kesuburan suatu perairan. Terdapat hubungan positif antara kemelimpahan fitoplankton di
suatu perairan tinggi maka perairan tersebut cenderung memiliki produktivitas yang sangat
tinggi pula. Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui karakteritik fitoplankton Chaetoceros
calsitrans dan Navicula sp, fase-fase pertumbuhan, peran dan manfaat serta faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton Chaetoceros calsitrans dan Navicula sp.

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Jumlah dan keanekaragaman jenis biota yang hidup di laut sangat
menakjubkan, walaupun sudah banyak diketahui jenis-jenis tersebut ilmuan masih
saja menemukan penghuni-penghuni baru terutama di daerah terpencil dan
lingkungan laut yang dulunya tidak pernah dijangkau orang. Perbadaan dalam
berbagai keadaan lingkungan laut sangat besar dalam mempengaruhi penyebaran
biota-biota laut tersebut (Sunarto, 2008).
Habitat alami plankton adalah perairan tawar (sungai, danau, rawa), estuari
dan air laut/pantai. Keberadaan plankton di suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu intensitas cahaya, suhu, dan kecerahan suatu perairan. Intensitas cahaya
sangat dibutuhkan terutama bagi fitoplankton untuk melakukan proses fotosintesis
karena fitoplankton sebagai tumbuhan mengandung pigmen klorofil yang mampu
melaksanakan reaksi fotosintesis dimana air dan karbon dioksida dengan sinar surya
dan garam-garam hara dapat menghasilkan senyawa organik seperti karbohidrat.
Selain phytoplankton, zooplankton juga berperan dalam rantai makanan, dimana
zooplankton ini merupakan produsen sekunder yang membutuhkan makanan berupa
phytoplankton (Rahman, 2008).
Pengetahuan tentang plankton belumlah cukup jika hanya mempelajari
teorinya saja tanpa ada praktek untuk mengamati dan mempelajari secara lansung
mengenai plankton. Pengetahuan yang diperoleh pada saat mengikuti proses
pembelajaran di ruangan dianggap belum cukup tanpa dibuktikan secara langsung
mengenai hal-hal yang telah disampaikan pada saat proses pembelajaran tersebut.
Untuk lebih mengetahui dan memahami tentang plankton maka perlulah kiranya
diadakan praktikum mengenai planktonologi.

2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik fitoplankton khususnya spesies Chaetoceros calsitrans
dan Navicula sp
2. Bagaimana fase-fase pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton di
laboratorium sebagai pakan larva landak laut.
3. Apa saja peran dan manfaat fitoplankton spesies Chaetoceros calsitrans dan
Navicula sp.
4. Apa saja faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi pola hidup fitoplankton
spesies Chaetoceros calsitrans dan Navicula sp.
3. Tujuan Praktikum
1. Mahasiswa dapat mengidentifikasi karakteristik fitoplankton khususnya spesies
Chaetoceros calsitrans dan Navicula sp.
2. Mengidentifikasi fase-fase pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton di
laboratorium sebagai pakan larva landak laut.
3. Mengidentifikasi peran dan manfaat fitoplankton spesies Chaetoceros calsitrans
dan Navicula sp.
4. Mengidentifikasi faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi pola hidup
fitoplankton spesies Chaetoceros calsitrans dan Navicula sp.

B. Kajian Pustaka
Plankton adalah semua kumpulan organisme, baik hewan maupun tubuhan air
berukuran mikroskopis dann hidupnya melayang mengikuti arus (Odum, 1998).
Plankton terdiri atas fitoplankton yang merupakan produsen utama (primary producer)
zat-zat organik da zooplankton yang tidak dapat memproduksi zat-zat organik
sehingga harus mendapat tambahan bahan organik (Hutabarat & Evans, 1984).
Fitoplankton mempunyai peranan yang sangat penting di dalam suatu perairan,
selain sebagai dasar dari rantai makanan (primary producer) juga merupakan salah
satu parameter tingkat kesuburan suatu perairan. Terdapat hubungan positif antara
kemelimpahan fitoplankton di suatu perairan tinggi maka perairan tersebut cenderung
memiliki produktivitas yang sangat tinggi pula (Raymont, 1980).
Indonesia merupakan suatu negara yang sebagian besar wilayahnya
adalah perairan, dimana pada ekosistem fitoplankton sangat berperan penting
sebab fitoplankton merupakan primary producer bagi ekosistem laut (Sudjadi dan
Sakti, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Qiptiyah dkk (2008) menyatakan bahwa
kelimpahan fitoplankton dan zooplankton dalam perairan diduga
bergantung pada ketersediaan nutrien dan temperatur airnya. Suhendrayatna
(2001) menyatakan bahwa beberapa jenis mikroalga seperti Dunaliella
tertiolecta, Scenedemusacutus, Chlorella vulgaris, Nostoc sp, Phormidium sp.,
Euglena gracilis, Chaetoceros calcitrans dan Tetraselmis chuii (Muliadi,
2010), dan Nannochloris (Nurhamsiah dkk, 2010) memiliki toleransi yang
tinggi terhadap pengambilan ion logam berat dan laju pertumbuhan
mikroalga ini menuntut hadirnya ion logam pada media kulturisasinya.
Fitoplankton memiliki kemampuan untuk menyerap langsung energi
matahari melalui proses fotosintesis (Nybakken, 1988). Pada proses fotosintesis,
klorofil berperan sebagai katalisator dan menyerap energi cahaya yang
digunakan pada proses tersebut (Strickland, 1960). Klorofil banyak terkandung pada
fitoplankton berpigmen hijau (alga hijau) (Sachlan, 1982), diantaranya Chlorella
vulgaris yang merupakan mikroalga hijau (Anggraeni, 2009). Dari dasar pemikiran
ini diduga Chlorell vulgaris kemungkinan dapat memproduksi klorofil yang cukup
tinggi, dimana produksi klorofil merupakan bagian dari proses produksi H2.
Penelitian tentang kandungan fitoplankton di berbagai perairan baik antar
wilayah berairan maupun antar perairan tertentu menunjukkan adanya keragaman
jumlah dan jenisnya. Meskipun lokasi relatif berdekatan dan merasal dari masa air
yang sama. Namun berbagai faktor seperti angi, arus, suhu, salinitas, zat hara,
kedalaman perairan dan percampuran massa air menyebabkan adannya perbedaan
tersebut.
C. Metode yang digunakan
1. Alat
No Nama Alat Jumlah Fungsi
1 pH meter 1 Buah Mengukur pH air
2 Refraktometer 1 Buah Mengukur salinitas
3 Termometer 1 Buah Mengukur suhu air laut
4 Toples 1 Buah Tempat/ wadah penyimpanan
sampel Navicula sp
5 Autoklaf 1 Buah Mensterilisasi alat dan bahan
Tempat/ wadah penyimpanan
7 Labu erlenmeyer 1 Buah
sampel Chaetoceros calsitrans
Mensterilisasi alat sebelum
8 Bunsen 1 Buah
digunakan
Mengamati sampel Chaetoceros
9 Mikroskop dan computer 1 Buah
calsitrans dan Navicula sp
Mengambil sampel Chaetoceros
10 Pipet tetes 2 Buah
calsitrans dan Navicula sp
Tempat memeriksa dan
11 Haemocytometer 1 Buah menghitung jumlah Chaetoceros
calsitrans dan Navicula sp
Alat bantu menghitung
12 Hand counter 1 Buah
fitoplankton
13 Lampu TL 1 Buah Sumber cahaya
14 Rak 1 Buah Tempat meletakkan medium
15 Botol penyemprot 1 Buah Tempat aquadest steril
Tempat membilas
16 Gelas ukur 1 Buah
haemocytometer
17 AC (Air Conditioner) 1 Buah Mengatur suhu ruangan
18 Mikro pipet Mengambil bahan medium
Mendokumentasi kegiatan
19 HP 1 Buah
praktikum
20 Alat tulis Seperlunya Mencatat hasil pengamatan

2. Bahan
No Nama Bahan Jumlah Fungsi
Medium Chaetoceros calsitrans
1 Air laut 1000 ml
dan Navicula sp
2 Aquadest steril Secukupnya Membilas Haemocytometer
Membantu sterilisasi dan
3 Aluminium foil Secukupnya
menutup labu erlenmayer
4 Kapas dan kain kasa Secukupnya Menyumbat labu erlenmayer
Starter Okinawa untuk
5 50 ml Bibit kultur
Navicula sp
6 Na2SiO3 0,5 ml
7 Na3Po 0,5 ml
8 CaCo3 0,5 ml
9 (NH4)2SO4 0.5 ml
10 Klewat +32 0,5 ml
Starter diatom untuk
11 50 ml Bibit kultur
Chaetoceros calsitrans
12 FeCl3 2 tetes
13 Na2HpO4 0,5 ml
14 KNo3 0,5 ml
15 Na2SiO3 0,5 ml
16 Alkohol Secukupnya Agar terhindar kontaminan
17 Tissue Secukupnya Membersihkan Hymocytometer

3. Prosedur Kerja
a. Sterilisasi
1. Mencuci autoklaf dan mencuci toples
2. Mengeringkan autoklaf dan toples dengan cara meniriskannya di atas
meja keramik
3. Mengambil air laut yang sudah disediakan di rumah kaca
4. Memasukkan air laut kedalam labu erlenmeyer
5. Menutup labu erlenmeyer dengan menggunakan aluminium foil
6. Memasukkan labu erlenmeyer kedalam autoklaf beserta mikropipet
7. Menunggu sterilisasi alat dan bahan sampai dengan selesai
8. Mengeluarkan alat dan bahan yang sudah di sterilisasidalam autoklaf
9. Meletakkan alat dan bahan yang sudah di sterilisasi di atas rak
penyimpanan
b. Pembuatan Media
1. Menyiapkan mikropipet, bahan-bahan kimia dan air laut yang sudah
disterilisasi
2. Menuangkan air laut dari labu erlenmeyer kedalam toples sebanyak 500 ml
dan menyisakan air laut sebanyak 500 ml di dalam labu erlenmeyer
3. Menggunting kain kasa secukupnya untuk membuat bandulan
4. Membuat bandulan dari kain kasa dengan cara menggulungnya dengan
bentuk bulat sampai bisa menutupi mulut labu erlenmeyer
5. Melakukan pembuatan medium diatom untuk Chaetoceros calsitrans dan
medium okinawa untuk Navicula sp.
6. Medium Diatom
 Memfiksasi mikropipet dengan melewatkannya diatas nyala lampu api
bunsen
 Membuka tutup bahan kimia dan melewatkannya di atas nyala api
lampu bunsen
 Memasukkan masing-masing 0,5 ml bahan kimia KNO3, FeCl3,
NaSiO3, dan Na2SiO4, kedalam labu erlenmeyer menggunakan masing-
masing mikropipet yang telah disediakan
 Menutup kembali wadah bahan kimia menggunakan bandul dan
aluminium foil
 Melewatkan mikropipet di atas nyala api lampu bunsen dan mengambil
50 ml starter Chaetoceros calsitrans
 Menanam starter Chaetoceros calsitrans ke dalam media diatom
 Melewatkan mulut labu erlenmeyer di atas nyala api lampu bunsen dan
menutupnya menggunakan bandul dan aluminium foil
 Meletakkan medium Chaetoceros calsitrans di atas rak penyimpanan
media di bawah lampu TL
7. Medium Okinawa
 Mengambil toples yang sudah dibersihkan dan memasukkan 500 ml air
laut yang sudah di sterilisasi
 Melewatkan mikropipet di atas nyala api lampu bunsen
 Membuka tutup bahan kimia dan melewatkannya di atas nyala api
lampu bunsen
 Memasukkan masing-masing 0,5 bahan kimia Na2SiO3, Na3PO,
CaCO3, (Nh4) 2SO4, dan Klewat + 32 menggunakan masing-masing
mikropipet bahan kimia yang telah disediakan
 Menutup kembali wadah bahan kimia menggunakan bandul dan
aluminium foil
 Melewatkan mikropipet di atas nyala api lampu bunsen dan mengambil
50 ml starter Navicula sp.
 Menanam starter Navicula sp. ke dalam medium okinawa
 Melewatkan mulut toples di atas nyala api lampu bunsen dan
menutupnya
 Meletakkan medium Navicula sp. dii rak penyimpanan medium di
bawah lampu TL

8. Tahap Pengamatan
 Melakukan pengamatan Chaetoceros calsitrans dan Navicula sp.
selama 12 hari
 Menyemprotkan alkohol 70% keseluruh bagian tangan dengan
secukupnya
 Mengambil labu erlenmeyer yang berisi biakan Chaetoceros calsitrans
di rak penyimpanan media
 Melakukan aerasi pada biakan Chaetoceros calsitrans dengan cara
menggoyangkan labu erlenmeyer tersebut
 Membuka bandulan penyumbat tutup labu erlenmeyer dan memfiksasi
mulut labu erlenmeyer dengan menggunakan nyala api lampu bunsen
 Mengambil pipet tetes dan memfikasasinya dengan melewatkan di atas
nyala api lampu bunsen
 Mengambil sedikit sampel biakan Chaetoceros calsitrans dengan
menggunakan pipet tetes
 Meletakkan sampel Chaetoceros calsitrans yang sudah diambil
menggunakan pipet tetes ke atas Haemocytometer pada plot atas dan
plot bawah dan menutupnya menggunakan kaca penutup
 Meletakkan Haemocytometer tersebut dibawah mikroskop dan
melakukan pengamatan dengan menggunakan mikroskop
 Menghitung jumlah chaetoceros calsitrans dengan menggunakan hand
counter
 Melakukan pengulangan perhitungan Chaetoceros calsitrans sebanyak
3 kali pengulangan pada plot A dan plot B
 Mencapture gambar hasil perhitungan Chaetoceros calsitrans dan
mencatat hasil perhitungan tersebut pada laporan sementara
 Mengambil toples biakan Navicula sp. di rak penyimpanan medium
 Membuka tutup toples biakan Navicula sp. dan memfiksasi mulut
permukaan toples di atas nyala api lampu bunsen
 Mengambil pipet tetes dan memfikasasinya dengan melewatkan di atas
nyala api lampu bunsen
 Mengambil sedikit sampel biakan Navicula sp. dengan menggunakan
pipet tetes
 Meletakkan sampel Navicula sp. yang sudah diambil menggunakan
pipet tetes ke atas Haemocytometer pada plot atas dan plot bawah dan
menutupnya
 Meletakkan Haemocytometer tersebut dibawah mikroskop dan
melakukan pengamatan dengan menggunakan mikroskop
 Menghitung jumlah Navicula sp. dengan menggunakan hand counter
 Melakukan pengulangan perhitungan Navicula sp. sebanyak 3 kali
pengulangan pada plot A dan plot B
 Mencapture gambar hasil perhitungan Navicula sp. dan mencatat hasil
perhitungan tersebut pada laporan sementara
 Menghitung jumlah rata-rata hasil biakan Chaetoceros calsitrans dan
Navicula sp. dan mencatatnya pada laporan sementara
 Mendokumentasi kegiatan praktikum
 Membuat laporan lengkap budidaya fitoplankton Chaetoceros
calsitrans dan Navicula sp.
4. Desain/rancangan praktikum

Mencari referensi
tentang fitoplankton

Merancang
Selasa, 26-11-2019 perencanaan kegiatan
praktikum

Membersihkan autoklaf
Rabu, 27-11-2019 dan toples yang akan
digunakan
Mengambil dan menyaring
air laut serta mengukur pH,
salinitas dan suhu air laut.

Strelisasi alat dan bahan

Pembuatan medium diatom dan


Jumat, 29-11-2019 Okinawa dan penanaman starter

Sabtu,30-11-2019
Sabtu, 30-11-2019 s/d Pengamatan
Rabu,
s/d Rabu11-12-2019
11-12 2019 Pengamatan

Menyalin data hasil


Kamis, 12-12-2019 pengamatan ke dalam
laporan
Kamis, 12-12-2019 Menyalin data hasil
pengamatan ke dalam
laporan
D. Hasil dan Pembahasan
1. Data hasil Pengamatan
Pengamatan Pertumbuhan dan Perkembangan Fitoplankton
1. Chaetoceros calsitrans
Jumlah sel
Hasil pengamatan

Fitoplankton pada
Gambar hasil
No Hari/ Tgl/ Bln Pukul pengamatan Rata-rata
pengamatan
1 2 3

Sabtu/ 30/ A 44 78 37
1 14.22 250x 106 mm3/ ml
November
B 88 68 60

2 Minggu/ 1/ 15.01 A 93 71 48 256x 106 mm3/ ml


Desember B 50 51 71

3 Senin/ 2/ A 53 62 22
13.20 188,7x 106 mm3/ ml
Desember
B 57 68 21

Selasa/ 3/ A 62 76 94
4 11.22 312x 106 mm3/ ml
Desember
B 76 80 80

Rabu/ 4/ A 78 95 64
5 15.05 338x 106 mm3/ ml
Desember
B 125 62 83

Kamis/ 5/ A 72 51 81
6 08.00 281,3x 106 mm3/ ml
Desember B 91 56 71

Jum’at/ 6/ A 154 89 86
7 19.00 369,3x 106 mm3/ ml
Desember
B 105 109 11

Sabtu/ 7/ A 104 93 125


8 20.30 464,7x 106 mm3/ ml
Desember
B 72 154 149

Minggu/ 8/ A 79 143 126


9 07.00 461,3x 106 mm3/ ml
Desember
B 78 133 154

Senin/ 9/ A 115 85 127


10 09.05 432,7x 106 mm3/ ml
Desember
B 94 135 93

Selasa/ 10/ A 166 124 72


11 09.00 472 x 106 mm3/ ml
Desember
B 152 114 80

Rabu/ 11/ A 145 87 139


12 20.00 521,3 x 106 mm3/ ml
Desember
B 134 106 171
2. Navicula Sp
Jumlah sel

pengamatan
Fitoplankton pada
Gambar hasil

Hasil
No Hari/ Tgl/ Bln Pukul pengamatan Rata-rata
pengamatan
1 2 3

Sabtu/ 30/ A 2 1 5
1 14.22 12x 106 mm3/ ml
November B 0 5 4

Minggu/ 1/ A 0 0 1
2 15.01 1x 106 mm3/ ml
Desember
B 1 0 0

3 Senin/ 2/ A 1 0 1
13.20 1x 106 mm3/ ml
Desember
B 0 0 0

Selasa/ 3/ A 1 3 16
4 11.22 1x 106 mm3/ ml
Desember
B 1 2 9

Rabu/ 4/ A 16 5 21
5 15.05 24x 106 mm3/ ml
Desember
B 4 11 25

Kamis/ 5/ A 122 2 0
6 08.00 54x 106 mm3/ ml
Desember
B 2 0 1

Jum’at/ 6/ A 0 9 2
7 19.00 84x 106 mm3/ ml
Desember
B 1 6 3

Sabtu/ 7/ A 397 5 6
8 20.30 283x 103 mm3/ ml
Desember
B 2 11 4

Minggu/ 8/ A 45 5 19
9 07.00 138x 103 mm3/ ml
Desember
B 116 5 18

Senin/ 9/ A 14 17 18
10 09.05 58x 103 mm3/ ml
Desember
B 15 13 11
Selasa/ 10/ A 56 30 111
11 09.00 225x 103 mm3/ ml
Desember
B 53 38 50

Rabu/ 11/ A 11 11 11
12 20.00 62x 103 mm3/ ml
Desember
B 14 21 26

2. Pembahasan
a) Karakteristik Chaetoceros calsitrans dan Navicula sp
Klasifikasi Chaetoceros calsitrans
Chaetoceros merupakan salah satu Diatome yang memiliki klasifikasi
sebagai berikut:
Phylum : Bacillariophyta
Classis : Bacillariophyceae
Ordo : Bacillariales
Subordo : Biddulphineae
Familia : Chaetoceros
Genus : Chaetoceros(Bougis,1979)
Ada beberapa spesies Chaetoceros antara lain: C. calsitrans. C. gracilis,
C. mulleri, C. simplex, C. rigidus, C. minutisimus, C. diadema dan C.
danicum.

Morfologi
Chaetoceros ada yang berbentuk bulat dengan diameter 4-6 µ dan ada
pula yang berbentuk segi empat dengan ukuran 8-12 x 7-18 µ. Dinding sel
fitoplankton ini dibentuk dari silika. Karotenoid dan diatomin merupakan
pigmen yang dominan. Pada kultur, fitoplankton ini berwarna kuning
keemasan hingga coklat (Isnansetyo A. & Kurniastuty, 1995).
Sifat Ekologi, Fisiologi dan Reproduksi
Chaetoceros toleran terhadap suhu air yang tinggi. Pada suhu air 40 0C,
fitoplankton ini masih dapat bertahan hidup, akan tetapi tidak berkembang.
Mikroalga ini akan tumbuh optimal pada kisaran suhu 20 0-220C. Toleransi
terhadap salinitas sangat lebar yaitu 6-50/mil, sedangkan kisaran salinitas 17-
25/mil, merupakan salinitas optimal untuk pertumbuhannya. Salinitas
minimum untuk pertumbuhan mikroalga ini adalah 6/mil. Laju pertumbuhan
Chaetoceros naik pada intensitas penyinaran 500-10.000 lux (Isnansetyo A.
& Kurniastuty, 1995).
Berdasarkan hasil penelitian Wulandari dkk., (2014) Chaetoceros sp
ditemukan hampir 90% di daerah pesisir hal ini berkaitan dengan bentuk
tubuh Chaetoceros sp. yang membentuk rantai atau kumpulan sel serta
mempunyai chaeta sehingga memiliki laju penenggelaman yang
rendah.Reproduksi Chaetoceros dapat secara aseksual maupun seksual.
Silikat mempunyai peranan penting dalam proses reproduksi fitoplankton
sebagai bahan pembentuk cangkang baru.

Klasifikasi Navicula sp
Navicula sp. merupakan alga uniseluler (microalgae) yang termasuk
dalam kelas Bacillariopheceae. Fitoplankton ini dikenal sebagai diatome atau
ganggang kersik karena dinding sel tubuhnya mengandung zat kersik. Zat
kersik merupakan komponen penting dalam plankton. Navicula sp hidup di
air tawar dan laut, memiliki klasifikasi sebagai berikut:
Phylum : Bacillariophyta
Classis : Bacillariopyceae
Ordo : Naviculales
Familia : Naviculaceae
Genus : Navicula (Bory de Saint-Vincent, 1822)

Morfologi
Navicula berbentuk lonjong dan memiliki rafe pada tutup dan wadahnya.
Navicula sp. merupakan salah satu diatom yang digunakan sebagai pakan
alami pada fase juvenile hingga anakan. Navicula sp memiliki kandungan
protein yang sangat tinggi (± 48%) dan ini sangat dibutuhkan bagi
pertumbuhan organisme budidaya. Navicula sp memiliki ciri-ciri: memiliki
pigmen coklat keemasan, uniseluler, sel panjang berbentuk seperti kapal,
bentuk dasar penales, ornamentasi tipe pennate, bagian kedua ujung sel
meruncing, mempunyai sentral nodul dan polar nodul, tidak mempunyai
flagel (Gambar 1.9). Menurut Edmonson (1959)berwarna coklat keemasan,
uniseluler, bentuk dasar penales, ornamentasi tipe pennate, mempunyai rafe,
dinding sel sebelah dalam tanpa sekat, rafe tertutup dalam bingkai silika,
mempunyai sentral nodul dan polar nodul.
Sifat Ekologi, Fisiologi dan Reproduksi
Navicula dapat tumbuh dengan baik dalam kisaran pH 7,8-8,4, dan sel-
selnya sangat sensitif terhadap intensitas paparan sinar matahari langsung.
Navicula mengandung protein antara 6-34%, lemak 7-23% dan karbohidrat
5-23% (Brown et al., 1997). Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa
paparan biakan mikroalga terhadap cahaya merah meningkatkan produksi
karbohidrat, sementara cahaya biru meningkatkan produksi protein
(Olivarria, 2015). Mikroalga ini akan tumbuh optimal pada kisaran suhu 25 0-
300C.
Sistem reproduksi pada Navicula sp dengan membelah diri. Setap inti
diatome membelah menjadi dua dan diikuti pembagian sitoplasma menjadi
dua bagian. Selanjutnya dinding sel terpisah menjadi kotak dan tutup. Pada
sel anakan, baik kotak dan tutup akan berfungsi menjadi tutup dan masing-
masing akan membentuk kotak baru. Dengan demikian setiap sel anakan
yang berasal dari kotak akan mempunyai ukuran lebih kecil dari sel asalnya.
Peristiwa ini berulang-ulang.Perkembangan generatif terjadi secara
konjugasi. Bila ukuran tubuh Navicula tidak memungkinkan untuk
melakukan pembelahan, maka inti selnya akan mengalami meiosis dan
menghasilkan gamet. Gamet itu kemudia akan meninggalkan sel dan setelah
terjadi pembuahan di dalam air akan menghasilkan zigot. Zigot selanjutnya
akan tumbuh menjadi individu baru dan membentuk tutup dan kotak baru.

a. Fase-fase pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton di laboratorium


sebagai pakan larva landak laut
Pertumbuhan fitoplankton dalam kultur budidaya di laboratorium
ditandai dengan bertambah besarnya ukuran sel atau bertambah banyaknya
jumlah sel. Kepadatan sel digunakan untuk mengetahui fitoplankton dalam
kultur pakan alami. Terdapat 4 fase pertumbuhan fitoplankton (Isnansetyo &
Kurniastuty, 1995):
a) Fase Istirahat
Sesaat setelah penambahan inokulum ke dalam medai kultur, populasi
tidak mengalami oerubahan. Ukuran sel pada saat itu pada umumnya
meningkat. Secara fisiologis fitoplankton sangat aktif dan terjadi proses
sintesis protein baru. Fotoplankto mengalami netabolisme, tetapi belum
terjadi pembelahan sel, sehingga kepadatan sel belum meningkat.
b) Fase Logaritmik atau Eksponensial
Fase ini diawali oleh pembelahan sel dengan laju pertumbuhan tetap. Pada
kondisis kultur yang optimum, laju pertumbuhan pada fase ini mencapai
maksimal.
c) Fase Stasioner
Fase ini mengalami penurunan pertumbuhan bila dibandingkan dengan
fase logaritmik. Pada fase ini laju reproduksi sama dengan laju kematian.
Dengan demikian penambahan dan pengurangan jumlah fitoplankton
relatif sama atau seimbang, sehingga kepadatan fitoplankton tetap.
d) Fase Kematian
Pada fase ini laju kematian lebih cepat daripada laju reproduksi. Jumlah
sel menurun secara geometrik. Penurunan kepadatan fitoplankton ditandai
dengan perubahan kondisi optimum yang dipengaruhi oleh temparetur,
cahaya, pH air, jumlah hara dan beberapa kondisi lainnya

Pemanenan fitoplankton harus dilakukan saat yang tepat yaitu pada saat
fitoplankton mencapai puncak populasi. Apabila pemanenan fitoplankton
terlalu cepat, sisa zat hara masih cukup besar sehingga dapat membahayakan
larva landak laut, karena pemberian pakan fitoplankton pada larva dengan cara
memindahkan massa air kultur fitoplankton. Sedangkan apabila pemanenan
terlambat maka sudah banyak kematian, sehingga kualitasnya menurun.
b. Peran dan manfaat fitoplankton Chaetoceros calsitrans dan Navicula sp
Fitoplankton memiliki peran yang sangat penting pada saat melakukan
budidaya biota laut (marine aquaculture), sebab bukan hanya berfungsi
sebagai pakan larva, tetapi juga berfungsi sebagai penyangga kualitas air.
Beberapa fitoplankton diketahui juga efektif menyerap beberapa senyawa yang
bersifat racun bagi larva, dapat meningkatkan oksigen terlarut karena aktivitas
fotosintesis dan mengendalikan kandungan CO2. Beberapa jenis fitoplankton
(mikroalga) juga berperan sebagai antibakterial, immunostimulan dan
pemasok enzim pencernaan bagi pemangsanya (Dhert & Sorgeloss, 1995).
Fitoplankton juga berfungsi sebagai pakan zooplankton yang diberikan pada
media pemeliharaan larva. Fitoplankton juga mempunyai potensi untuk
dikembangkan sebagai sumber protein sel tunggal dan dikembangkan sebagai
makanan kesehatan manusia.
C. calcitransis adalah spesies laut dari kelas Bacillariophyceae yang
merupakan dasar rantai makanan laut.Selain mengandung karotenoid dalam
jumlah tinggi juga mengandung fucoxanthin (Foo et al., 2015). C.
calcitransisjuga merupakan sebagai salah satu sumber daya alam alternatif
untuk asam lemak tak jenuh (Krichnavaruk et al., 2005).
Pada bidang perikanan, fitoplankton dijadikan sebagai makanan larva
ikan, Sea urchin, teripang dan biota laut lainnya, dengan cara melakukan
isolasi untuk mendapatkan satu spesis tertentu, misalnya Chaetoceros
calisitrans. Tahap selanjutnya dilakukan budidaya baik skala laboratorium
maupun skala produksi. Untuk skala laboratorium, dibudidayakan dengan cara
mengontrol dan mengkondisikan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi
pertumbuhan fitoplankton, dengan menggunakan gelas erlenmyer ataupun
gelas beaker sebagai tempat tumbuh serta menggunakan media-media tertentu
untuk pertumbuhannya. Sedangkan untuk skala produksi, dibudidayakan pada
bak-bak terkontrol untuk usaha pembibitan ikan sebagai keperluan pakan larva
ikan. Pada industri farmasi dan makanan suplemen, fitoplankton yang
mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi digunakan sebagai makanan
suplemen bagi penderita gangguan pencernaan dan yang membutuhkan energi
tinggi, misalnya produk adalah Chlorella.

c. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi pola hidup fitoplankton spesies


Chaetoceros calsitrans dan Navicula sp
Kemelimpahan fitoplanktonpada perairan dipengaruhi oleh beberapa
parameterlingkungan dan karakteristik fisiologisnya. Komposisi dan
kemelimpahan fitoplankton akan berubah pada berbagai tingkatan sebagai
respon terhadap perubahan-perubahan kondisi lingkungan baik fisik, kimia,
maupun biologi (Reynolds et al., 1984).
Faktor penunjang pertumbuhan fitoplankton sangat kompleks dan saling
berinteraksi antara faktor fisika-kimia perairan seperti intensitas cahaya,
oksigen terlarut, stratifikasi suhu, dan ketersediaan unsur hara nitrogen dan
fosfor, sedangkan aspek biologi adalah adanya aktivitas pemangsaan oleh
hewan, mortalitas alami, dan dekomposisi (Goldman dan Horne, 1983).
Menurut Sastrawan (1991) beberapa faktor lingkungan fisik yang
mempengaruhi kehidupan fitoplankton antara lain curah hujan, suhu,
intensitas cahaya dan unsur hara perairan. Kemelimpahan fitoplankton lebih
tinggi pada daerah dekat daratan yang dipengaruhi estuari karena memiliki
nutrien yang lebih tinggi. Faktor fisik dan kimia yang menyebabkan
distribusi horizontal fitoplankton tidak merata dan kemelimpahan
fitoplankton berbeda (Wulandari dkk., 2014).
Pada umumnya air laut mempunyai nilai pH lebih besar dari 7 yang
cenderung bersifat basa, namun dalam kondisi tertentu nilainya dapat
menjadi lebih rendah dari 7 sehingga menjadi bersifat asam. Derajat
keasaman suatu perairan merupakan salah satu parameter kimia yang cukup
penting dalam memantau kestabilan perairan. Perubahan nilai pH suatu
perairan terhadap organisme ak uatik mempunyai batasan tertentu dengan
nilai pH yang bervariasi, tergantung pada suhu air laut, konsentrasi ok sigen
terlarut dan ad anya anion d an kation (Pescod, 1978). Pada umumnya, nilai
pH dalam suatu perairan berkisar antara 4 – 9, sedangkan di daerah bakau,
nilai pH dapat menjadi lebih rendah disebabkan kandungan bahan organik
yang tinggi. Menurut Mulyanto (1992), nilai pH yang baik untuk kehidupan
ikan berkisar antara 5 – 9 dan antara 6,5 – 8,5 (Anonim, 1988). Hasil
pengukuran pH pada perairan ini memberikan nilai rata-rata secara
keseluruhan antara 7,98-8,20 dengan rata-rata 8,09 ± 0,05. Kondisi nilai pH
di perairan ini (7,98-8,20) masih memenuhi nilai ambang batas baku mutu
untuk peruntukan Biota Laut (Budidaya) yaitu 7 – 8,5 (Anonim, 2004).
Secara keseluruhan, pH di perairan ini relatif homogen yang didukung oleh
nilai koefi sien variasi yang sangat kecil yaitu 0,67 %.
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur
proses kehidupan dan penyebaran organisme. Suhu air laut di suatu perairan
dipengaruhi oleh kondisi atmosfer, dan intensitas penyinaran matahari yang
masuk ke laut (Offi cer, 1976). Selain itu, suhu air laut juga dipengaruhi oleh
faktor geografi s dan dinamika arus (Sijabat, 1974). Kenaikan suhu dapat
menurunkan kelarutan oksigen dan meningkatkan toksisitas polutan
(Mulyanto, 1992). Metabolisme yang optimum bagi sebagian besar makhluk
hidup membutuhkan kisaran suhu yang relatif sempit. antara Pengaruh suhu
secara langsung terhadap plankton adalah meningkatkan reaksi kimia
sehingga laju fotosintesis meningkat seiring dengan kenaikan suhu (dari 10
ºC – 20 ºC). Pengaruh suhu tidak langsung adalah berkurangnya kelimpahan
plankton akibat suhu semakin menurun dan ke rapatan air semakin
meningkat seiring bertambahnya kedalaman p eraira n (Raymont, 1980).
Secara keseluruhan suhu di perairan ini relatif homogen dengan nilai koefi
sien variasi sebesar 0,89 %.
3. Diskusi Temuan
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah kami lakukan, kami tidak
menemukan temuan lain selain spesies Chaetoceros calsitrans dan Navicula sp
4. Keterbatasan/ kendala pelaksanaan praktikum
Dari praktikum dan pengamatan yang telah kami lakukan terdapat beberapa
keterbatasan dan kendala antara lain:
1. Minimnya ketersediaan air laut yang mana jarak antara laboratorium dan laut
kurang lebih ditempuh selama 2 jam perjalanan. Hal tersebut menjadi kendala
karena fitoplankton hanya dapat tumbuh dan berkembang di air laut.
2. Keterbatasan alat untuk pengamatan. Di laboratorium hanya terdapat satu
komputer untuk pengamatan. Hal tersebut menghambat karena setiap
kelompok harus bergantian dalam melakukan pengamatan yang mana setiap
kelompok memerlukan waktu yang cukup lama saat pengamatan dan
menyebabkan pengamatan sampai larut malam.
3. Kurangnya keterampilan dalam melakukan sampling yang menyebabkan data
yang didapatkan tidak sesuai dengan yang diharapkan.

E. Simpulan dan Rekomendasi


a. Simpulan
1) Berdasarkan hasil penelitian Chaetoceros sp ditemukan hampir 90% di daerah
pesisir hal ini berkaitan dengan bentuk tubuh Chaetoceros sp. yang
membentuk rantai atau kumpulan sel serta mempunyai chaeta sehingga
memiliki laju penenggelaman yang rendah.
2) Navicula sp memiliki ciri-ciri: memiliki pigmen coklat keemasan, uniseluler,
sel panjang berbentuk seperti kapal, bentuk dasar penales, ornamentasi tipe
pennate, bagian kedua ujung sel meruncing, mempunyai sentral nodul dan
polar nodul, tidak mempunyai flagel
3) Terdapat 4 fase pertumbuhan fitoplankton yaitu fase istirahat, fase logaritmik,
fase stasioner dan fase kematian.
4) Fitoplankton speies chaetoceros calsitrans dan Navicula sp berfungsi sebagai
pakan larva, tetapi juga berfungsi sebagai penyangga kualitas air.
5) Faktor eksternal dipengaruhi oleh suhu, pH air laut, salinitas dan cahaya
matahari

b. Rekomendasi dan Perbaikan


a) Rekomendasi
 Meningkatkan kerja sama antar anggota kelompok.
 Membuat jadwal yang sesuai dan mengkoordinir kembali tugas masing-
masing anggota kelompok.
 Memperluas pengetahuan mengenai fitoplankton khususnya spesies
Chaetoceros calsitrans dan Navicula sp.
 Mengasah keterampilan atau skill saat pengamatan.
 Memahami prosedur kerja yang akan dipraktikumkan.
a) Perbaikan
 Mengkondisikan laboratorium seperti habitat asli dari fitoplankton
khususnya spesies Chaetoceros calsitrans dan Navicula sp. dengan
melengkapi alat praktikum.
 Mengoptimalisasikan suhu ruangan untuk menjaga kelangsungan hidup dari
fitoplankton khususnya spesies Chaetoceros calsitrans dan Navicula sp.
 Bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas saat pengamatan.
F. Referensi

Adiwilaga, E. M., Harris, E., & Pratiwi, N. T. (2012). Hubungan antara kelimpahan
fitoplankton dengan parameter fisik-kimiawi perairan di Teluk Jakarta. Jurnal
Akuatika, 3(2).

Handayani, M., H. Haeruman dan L.C. Sitepu.2005. Komunitas Fitoplankton Sebagai


Bio-Indikator Kualitas Perairan Teluk Jakarta. Seminar nasional MIPA,
Universitas Indonesia, Jakarta.
Rahman, A. 2008. Kajian Kandungan Phospat dan Nitrat Pengaruhnya terhadap
Kelimpahan Jenis Plankton di Perairan Muara Sungai Nelayan. Kalimantan
Scientiae. (71). 24 Hal.

Padang, A., La Djen, S., & Tuasikal, T. (2015). Pertumbuhan fitoplankton Tetraselmis
sp di wadah terkontrol dengan perlakuan cahaya lampu TL. Agrikan: Jurnal
Agribisnis Perikanan, 8(1), 21-26.

Rizky, Y. A., Raya, I., & Dali, S. (2012). Penentuan Laju Pertumbuhan Sel
Fitoplankton Chaetoceros calcitrans, Chlorella vulgaris, Dunaliella salina, dan
Porphyridium cruentum. Skripsi. Fakultas MIPA. Universitas Hasanuddin
Makassar.

Simanjuntak, M. (2009). Hubungan faktor lingkungan kimia, fisika terhadap distribusi


plankton di perairan Belitung Timur, Bangka Belitung. Jurnal Perikanan
Universitas Gadjah Mada, 11(1), 31-45.

Sunarto. 2008. Karakteristik Biologi dan Peranan Plankton Bagi Ekosistem Laut.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjajaran. Jatinangor. 41
Hal.

Anda mungkin juga menyukai