Anda di halaman 1dari 72

Masa Pendudukan Belanda[sunting | sunting sumber]

Puisi Peluru-peluru menembus tubuhnyayang ada dalam relief di gedung Joang


Gedung yang dibangun pada sekitar tahun 1920-an yang saat ini dipergunakan sebagai
Museum Joang 45 ini pada mulanya adalah hotel yang dikelola oleh keluarga “L.C.
Schomper”, seorang berkebangsaan Belanda yang sudah lama tinggal di Batavia. Hotel
ini diberi nama Schomper sesuai nama pemiliknya. Hotel tersebut saat itu termasuk
yang cukup baik dan terkenal di kawasan pinggiran Selatan Batavia, dengan bangunan
utama yang berdiri megah di tengah dan diapit deretan bangunan kamar-kamar
penginapan di sisi kiri dan kanannya untuk menginap para tamu.
Bangunan kamar penginapan yang tersisa saat ini tinggal beberapa yang ada di sisi
utara gedung utama, saat ini dipergunakan sebagai ruang perpustakaan, ruang
kreativitas anak (children room) dan kantor Wirawati Catur Panca.
Masa Pendudukan Jepang[sunting | sunting sumber]
Ketika Jepang masuk ke Indonesia (1942-1945) dan menguasai Batavia, hotel tersebut
diambil alih oleh para pemuda Indonesia dan beralih fungsi sebagai kantor yang
dikelola Ganseikanbu Sendenbu (Jawatan Propaganda Jepang) yang dikepalai oleh
seorang Jepang, “Simizu”. Di kantor inilah kemudian diadakan
program pendidikan politik yang dimulai pada tahun 1942 untuk mendidik pemuda-
pemuda Indonesia dan dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah Jepang.

Koleksi[sunting | sunting sumber]


Di museum ini dapat dilihat jejak perjuangan kemerdekaan RI dengan koleksi benda-
benda peninggalan para pejuang Indonesia. Di antaranya adalah mobil dinas resmi
Presiden dan Wakil Presiden RI Pertama yang dikenal dengan mobil REP 1 dan REP 2,
dan Mobil Peristiwa Pemboman di Cikini. Selain itu ada pula koleksi foto-foto
dokumentasi dan lukisan yang menggambarkan perjuangan sekitar tahun 1945-1950-
an. Beberapa tokoh perjuangan ditampilkan pula dalam bentuk patung-patung dada.

Aktivitas[sunting | sunting sumber]


Museum Joang 45 terbuka untuk umum dalam aktivitasnya, pengunjung atau peserta
aktivitas dapat mendaftarkan diri untuk dapat terlibat dalam aktivitas museum. Dalam
hal ini Museum Joang 45 bertindak sebagai Fasilitator. Beberapa aktivitas Museum
yang terus dikembangkan diantaranya: Aktivitas Reguler:

1. Penyuluhan Permuseuman
2. Pameran dan Diskusi
3. Partisipasi Jabodetabek dan Dalam Daerah
4. dll
Aktivitas Temporer:

1. Pekan Museum Joang, terbuka untuk umum (Lomba Pidato, Lomba Puisi,
Lomba Melukis, Lomba Mewarnai, Lomba Sejarah dan Budaya)
2. Napak Tilas Proklamasi
3. Pameran Temporer, Pameran Keliling.

Fasilitas Museum[sunting | sunting sumber]


Fasilitas yang tersedia bagi pengunjung Museum Joang '45 adalah

1. Ruang Pameran Tetap dan Temporer dengan pojok multi media,


2. Bioskop Joang 45, Studio penayangan film-film dokumenter dan film perjuangan
lama.
3. Perpustakaan referensi sejarah ilmiah, dilengkapi komik-komik perjuangan untuk
bacaan anak,
4. Childrenroom, ruang khusus untuk kreativitas anak dilengkapi game komputer
pahlawan, mewarnai, puzzle, dan permainan knock-down,
5. Foto Studio, menyediakan kostum para pejuang untuk dikenakan pengunjung
dan foto instan.
6. Souvenir Shop.
7. Plaza untuk aktivitas outdoor berupa Teater Anak.
8. Masih ingatkah kamu dengan peristiwa penculikan Ir. Soekarno ke
Rengasdengklok? Peristiwa tersebut adalah momen penting yang membuat Hari
Kemerdekaan Indonesia jatuh pada 17 Agustus. Rencana penculikan yang
digawangi para pemuda tersebut ternyata disusun di sini, di Gedung Joang
‘45, Jakarta.
9. Markas Para Bapak Bangsa
10. Gedung yang dekat dengan Tugu Tani ini dulunya adalah markas pembinaan
politik untuk para pemuda. Jadi, pada masa pendudukan Jepang, para pemuda
mengambil alih gedung yang sebelumnya merupakan Hotel Schomper. Ir.
Soekarno, Mohammad Hatta, Adam Malik, Chaerul Saleh, dan sejumlah tokoh
lainnya, terlibat dalam pembinaan politik di gedung yang dahulu bernama
Gedung Menteng 31.
11.
12. Diorama peristiwa bersejarah di sekitar bulan Agustus 1945.
13. Sekarang, jika berkunjung ke Gedung Joang ‘45, kamu akan menemukan
banyak peninggalan dan dokumentasi sejarah kemerdekaan. Ada patung para
tokoh besar, diorama kejadian penting saat dan setelah kemerdekaan, barang-
barang peninggalan, serta dokumentasi periode 1944-1949. Bahkan, kamu juga
dapat melihat langsung mobil Presiden Soekarno dan mobil Wakil Presiden
Hatta yang terparkir di halaman belakang museum ini.
14. Bertemu Pemoeda Menteng 31
15. Peristiwa penculikan Soekarno ke Rengasdengklok merupakan salah satu
peristiwa paling penting dalam penentuan kemerdekaan Indonesia. Pasalnya,
kalau tidak ada peristiwa ini, proklamasi kemerdekaan tidak akan
dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945. Pemoeda Menteng 31 menculik
Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok agar jauh dari pengaruh militer
Jepang. Mereka lalu mendesak para Bapak Bangsa memproklamasikan
kemerdekaan sesegera mungkin.
16.
17. Kamu bisa ketemu dengan para Pemoeda Menteng 31 melalui foto-foto yang
dipajang di museum ini. Foto-foto tersebut mendokumentasikan kejadian-
kejadian bersejarah yang terjadi di hari-hari menjelang 17 Agustus 1945. Di
dalam gedung juga ada Bioskop Joang ‘45, tempat menonton video dokumenter
sejarah, termasuk peristiwa penculikan tersebut. Salinan videonya bahkan bisa
dibeli, lho!
18. Dokumentasi Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
19. Museum yang diresmikan tahun 1974 ini punya koleksi benda peninggalan
sejarah dari peristiwa-peristiwa penting yang biasanya hanya diulas di buku
pelajaran sekolah. Kamu juga bisa melihat poster-poster propaganda Jepang,
baju dan senjata yang digunakan para gerilyawan, serta tandu yang digunakan
untuk membopong Jenderal Soedirman. Foto-foto hitam putih tentang
perjuangan rakyat Indonesia yang ada di sini juga amat menggetarkan hati!
20.
21. Poster Propaganda Jepang di Gedung Joang 45.
22. Karena museum ini luas, berkelilinglah sesuka hatimu. Jangan lewatkan
halaman belakang yang rindang dan perpustakaan di sisi kanan gedung.
Sempatkan juga untuk menonton video dokumenter kejadian-kejadian bersejarah
seputar kemerdekaan negeri ini di Bioskop Joang 45. Selain itu, museum ini
punya fasilitas lain, seperti Kantin Joang, toko suvenir, dan masjid yang adem.
Oke banget, pokoknya!
23.
24. Ruang menonton video peristiwa kemerdekaan.
25. Kamu bisa main ke Gedung Joang ‘45 dengan biaya yang sangat murah. Untuk
dewasa dikenakan tarif Rp5 ribu, mahasiswa Rp3 ribu, sedangkan anak-anak
Rp2 ribu. Museum ini berada di jalan Menteng Raya 31, Jakarta Pusat, tak jauh
dari Tugu Tani. Museum beroperasi pukul 09.00 – 15.00, dari Selasa sampai
Minggu.
26. —
27. Museum Gedung Joang '45 merupakan saksi perjuangan yang menyimpan
cukup banyak sejarah tentang berbagai peristiwa ketika kemerdekaan RI akan
berlangsung. Gedung Joang 45 ini lokasinya berada di Jl. Menteng Raya 31,
Jakarta. Untuk Anda yang tertarik dengan sejarah dari perjuangan kemerdekaan
RI, maka Museum Joang 45 merupakan salah satu tempat wisata di Jakarta
yang wajib untuk kunjungi. Pada awalnya Gedung Joang 45 adalah sebuah
bangunan Schomper Hotel yang sudah dibangun sejak tahun 1920-1938, yang
dikelola L.C. Schomper, keturunan belanda.

Kemudian pada waktu pendudukan Jepang di Indonesia, hotel ini kemudian


diambil alih Ganseikanbu Sendenbu atau Departemen Propaganda dan setelah
itu dikenal sebagai Gedung Menteng 31.

Gedung ini kemudian menjadi sebuah markas program pendidikan politik yang
diselenggarakan untuk beberapa tokoh pemuda yang sangat berperan pada era
kemerdekaan, antara lain seperti Sukarni, A.M Hanafi, Chaerul Saleh dan Adam
Malik.
Mereka juga lebih dikenal sebagai 'Pemoeda Menteng 31', yang kemudian
menjadi aktor dibalik penculikan Soekarno, Hatta dan Fatmawati menuju ke
Rengasdengklok satu hari sebelum hari kemerdekaan tiba. Tokoh-tokoh para
pemuda tersebut dibina langsung oleh Soekarno, Hatta, Sunaryo, Moh. Yamin
dan juga Achmad Subarjo.

Museum Joang '45 Jakarta


foto : wikipedia
28. Sejumlah lukisan yang berkaitan dengan peristiwa proklamasi kemerdekaan RI
di pamerkan di Museum Gedung Joang '45 ini. Disini juga terdapat beberapa
miniatur yang menggambarkan suasana Gedung Menteng 31 pada waktu masa
kemerdekaan dan orasi Soekarno dalam sebuah Rapat Besar di Lapangan
IKADA yang diadakan pada 19 September 1945.

Di Museum Gedung Joang '45 ini juga terdapat arsip dokumentasi yang berupa
foto-foto dan juga patung dada dari para tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan.
Berbagai koleksi lain yang juga terdapat di museum ini adalah seperti tiga
kendaraan kepresidenan yang dahulunya digunakan oleh Presiden dan Wakil
Presiden pertama Rakyat Indonesia.

Selain terdapat cukup banyak dokumentasi sejarah, Museum Gedung Joang 45


juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas, antara lain adalah seperti ruang
pameran tetap dan temporer yang disertai pojok multimedia, disini juga ada yang
dinamakan bioskop joang 45 dan menayangkan berbagai film yang bertemakan
perjuangan dan juga dokumenter, perpustakaan yang berisikan berbagai
referensi sejarah, children room yang berisikan aneka ragam games, foto studio,
souvenir shop dan juga plaza outdoor untuk berbagai aktivitas teater para anak.

Museum Joang 45 atau Gedung Joang '45 adalah salah satu museum yang berada di
Jakarta. Saat ini pengelolaannya dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Provinsi DKI Jakarta. Museum ini terletak di Jalan Menteng Raya 31, Kelurahan Kebon
Sirih, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Museum ini diresmikan pada tahun 1974
oleh Presiden Soeharto, setelah dilakukan direnovasi.

Foto bersama di depan Gedung Joang '45.

Prasasti yang menceritakan sejarah Gedung Joang '45


Sejarah Gedung Joang '45
Pada tahun 1938, seorang pengusaha Belanda bernama LC Schomper mendirikan
sebuah hotel yang bernama Schomper 1 di daerah Menteng Raya. Hotel ini dibangun
khusus bagi pejabat tinggi Belanda, pengusaha asing, dan pejabat pribumi. Ketika
Jepang menjajah Indonesia, Hotel Schomper dikuasai oleh pemuda Indonesia dan
dijadikan asrama dan tempat pendidikan nasionalisme para pemuda Indonesia. Ir.
Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Adam Malik, Chaerul Saleh, dan sejumlah tokoh
Indonesia lainnya merupakan tokoh-tokoh yang terlibat dalam pendidikan pemuda yang
memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia. Pada masa ini Hotel Schomper 1 kemudian
diganti dengan nama Gedung Menteng 31. Seiring Perkembangan waktu pada tanggal
19 Agustus 1974, setelah melalui serangkaian perbaikan dan renovasi, Gedung
Menteng 31 diresmikan sebagai Museum Joang 45 oleh Presiden Soeharto dan
Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin.

Patung dua Proklamator yang ada di halaman depan Gedung Joang '45.

Museum Joang ’45 menyimpan koleksi foto yang mendokumentasikan peristiwa


bersejarah di Indonesia antara tahun 1944-1949. Di dalam museum juga disimpan
patung beberapa pahlawan, koleksi lukisan, mobil yang pernah dipakai Presiden dan
Wakil Presiden yang pertama, serta koleksi lainnya.
Ruang depan Museum Joang '45

Koleksi
Di museum ini dapat dilihat jejak perjuangan kemerdekaan RI dengan koleksi benda-
benda peninggalan para pejuang Indonesia. Di antaranya adalah mobil dinas resmi
Presiden dan Wakil Presiden RI Pertama yang dikenal dengan mobil REP 1 dan REP 2,
dan Mobil Peristiwa Pemboman di Cikini. Selain itu ada pula koleksi foto-foto
dokumentasi dan lukisan yang menggambarkan perjuangan sekitar tahun 1945-1950-
an. Beberapa tokoh perjuangan ditampilkan pula dalam bentuk patung-patung dada.
Patung dan beberapa salinan foto serta kisah perjuangan beberapa tokoh Pemoeda
Menteng 31 di Museum Joang '45.

Isi dari Museum Joang 45 adalah pergerakan pemuda-pemuda Indonesia dalam


pertempuran pra kemerdekaan dan pasca kemerdakaan, perjuangan Soekarno-Hatta
dalam memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, dan barang-barang peninggalan
seperti baju bertempur, tandu Jendral Sudirman, baju yang digunakan oleh PMI Wanita,
kapal perang, dan lain sebagainya. Untuk mengetahui pergerakan pemuda-pemuda
dalam pertempuran di fasilitasi dengan foto-foto dan tulisan yang interaktif.

Aktivitas
Museum Joang 45 terbuka untuk umum dalam aktivitasnya, pengunjung atau peserta
aktivitas dapat mendaftarkan diri untuk dapat terlibat dalam aktivitas museum. Dalam
hal ini Museum Joang 45 bertindak sebagai Fasilitator. Beberapa aktivitas Museum
yang terus dikembangkan diantaranya:
Aktivitas Reguler:
1. Penyuluhan Permuseuman
2. Pameran dan Diskusi
3. Partisipasi Jabodetabek dan Dalam Daerah
4. dll
Aktivitas Temporer:
1. Pekan Museum Joang, terbuka untuk umum (Lomba Pidato, Lomba Puisi, Lomba
Melukis, Lomba Mewarnai, Lomba Sejarah dan Budaya)
2. Napak Tilas Proklamasi
3. Pameran Temporer, Pameran Keliling.

Nukilan sejarah yang terpampang di sekitar bangunan museum

Fasilitas Museum
Fasilitas yang tersedia bagi pengunjung Museum Joang '45 adalah:
1. Ruang Pameran Tetap dan Temporer dengan pojok multi media,
2. Bioskop Joang 45, Studio penayangan film-film dokumenter dan film perjuangan
lama.
3. Perpustakaan referensi sejarah ilmiah, dilengkapi komik-komik perjuangan untuk
bacaan anak,
4. Childrenroom, ruang khusus untuk kreativitas anak dilengkapi game komputer
pahlawan, mewarnai, puzzle, dan permainan knock-down,
5. Souvenir Shop,
6. Plaza untuk aktivitas outdoor berupa Teater Anak.

Dilain gedung terdapat ruang mobil REP-1 dan REP-2 yang menjadi mobil dinas
Presiden RI pada waktu itu. Tiga mobil REP tersebut dipajang berderet namun
pengunjung tidak dapat masuk kedalam untuk melihat lebih dekat dikarenakan tertutup
oleh kaca.

Koleksi mobil antik yang dahulu digunakan Presiden Soekarno.

Mobil REP-2

Mobil REP-2 awalnya milik seseorang pengusaha yang bernama Djohan Djohor, paman
Moh. Hattacuntuk membantu perjuangannya dan menghindaricperampasan militer
Jepang. Mobil REP-2 dipergunakancoleh Bung Hatta di dalam tugas kenegaraan
sebagai Wakil Presien RI. dan pada waktu pemerintahan RI pindah ke Yogyakarta,
REP-2 turut serta mendampingi Bung Hatta hingga kembali ke Jakarta.

Mural Museum Joang '45

Mural Museum Joang ’45 bertuliskan “Merdeka atau Mati!” yang mampu membakar
semangat bangsa Indonesia ketika itu untuk mempertahankan kemerdekaan.
Gedung yang dibangun pada sekitar tahun 1920-an yang sekarang dipergunakan
sebagai Museum Joang 45 ini pada awalnya merupakan hotel yang dikelola oleh
keluarga “L.C. Schomper”, seorang berkebangsaan Belanda yang telah lama tinggal di
Batavia. Hotel ini diberikan nama Schomper seperti nama pemiliknya. Hotel tersebut
saat itu termasuk yang cukup bagus dan familiar di wilayah pinggiran Selatan Batavia,
dengan bangunan utama yang berdiri megah di tengah dan diapit deretan bangunan
kamar-kamar penginapan di sisi kiri dan kanannya untuk menginap para Tamu.
Bangunan kamar penginapan yang tersisa saat ini tinggal sebagian yang ada di sisi
utara gedung utama, sekarang dipergunakan sebagai ruang perpustakaan, ruang
kreativitas anak (children room) dan kantor Wirawati Catur Panca.
Masa Kependudukan Jepang
Dikala Jepang masuk ke Indonesia (1942-1945) dan merajai Batavia, hotel ini diambil
alih oleh para pemuda Indonesia dan beralih fungsi sebagai kantor yang dikelola
Ganseikanbu Sendenbu Jawatan Propaganda Jepang yang dikepalai oleh seorang
Jepang, “Simizu”. Di kantor inilah kemudian diadakan program pengajaran politik yang
diawali pada tahun 1942 untuk mengajar pemuda-pemuda Indonesia dan dibiayai
sepenuhnya oleh pemerintah Jepang.
Koleksi
Di museum ini kita bisa melihat jejak pengorbanan kemerdekaan RI dengan koleksi
benda-benda peninggalan para pejuang Indonesia. Di antaranya yakni mobil dinas legal
Presiden dan Wakil Presiden RI Pertama yang diketahui dengan mobil REP 1 dan REP
2, dan mobil saat Pemboman di Cikini. selain itu ada pula koleksi foto-foto dokumentasi
dan lukisan yang menjadi bukti pengorbanan sekitar tahun 1945-1950-an. Sebagian
tokoh pengorbanan ditampilkan pula dalam wujud patung-patung dada.
Pemuda Pergerakan Revolusi - Menteng 31
Kelompok Menteng 31 ini bermula dari perbedaan paham antara tokoh2 pemuda dalam
Comite van Actie yang umumnya sudah berpengalaman politik dan pimpinan asrama
Parapatan 10. Asrama Parapatan 10 ini adalah asrama mahasiswa kedokteran di Jalan
Parapatan 10 yang penghuninya sebagian besar mahasiswa dari luar Jakarta,
mahasiswa pindahan dari sekolah dokter NIAS di Surabaya & mahasiswa yang diutus
oleh pemerintah pendudukan Sumatera. Perbedaan itu dalam hal cara-cara perjuangan
yang acapkali tidak cocok dengan rasio mahasiswa. Apa yang disebut oleh tokoh2
pemuda itu sebagai hal yang revolusioner tetapi dari kaca mata mahasiswa kadang2
dianggap tidak rasional. Akhirnya pada tanggal 25 Agustus 1945, diputuskan untuk
berpisah. Comite van Actie meninggalkan asrama Parapatan 10 dan pindah ke
Menteng 31.

Penyebab utama lainnya adalah sikap Eri Soedewo yang saat itu menjadi ketua
kelompok Asrama Parapatan 10 yang berpendapat bahwa mahasiswa hanya diperalat
oleh tokoh2 pemuda yang berpolitik sementara tugas utama mahasiswa kedokteran
adalah di bidang kesehatan dan Palang Merah.

Sebenarnya, Menteng 31 ini sebelumnya memang sudah dijadikan asrama tempat


penggemblengan pemuda2 Indonesia sesuai usulan Sukarni kepada Ganseikanbu
Sendenbu (Dinas Jawatan Propaganda Jepang). Pada bulan Juli 1942 usulan tersebut
diterima dengan maksud menarik simpati pemuda & untuk kepentingan propaganda
Jepang, sementara Sukarni & pemuda2 secara diam2 menggunakan tempat tersebut
sebagai markas pergerakan.

Sejak saat itu, pusat perjuangan pemuda di Jakarta ada dua, yaitu Parapatan 10 yang
tetap menjadi pusat perjuangan pelajar/mahasiswa, dan Menteng 31 yang menjadi
pusat perjuangan pemuda pada umumnya.

Abu Bakar Lubis adalah tokoh perjuangan yang menjadi penghubung antara Parapatan
10 dan Menteng 31.

Namun demikian, pamor dan peranan Parapatan 10 sebagai tempat tempat yang
melahirkan pemuda2 revolusi berkurang. Tetapi Menteng 31 lebih dahulu digerebek
Kenpetai pada tanggal 20 September 1945 sedangkan Parapatan 10 masih bertahan
sampai asrama itu digerebek NICA pada akhir tahun 1946.

Menurut Adam Malik dalam bukunya “Mengabdi Republik”, yang tercatat sebagai
anggota kelompok Menteng 31 adalah Sukarni, M. Nitihardjo, Adam Malik, Wikana,
Chaerul Saleh, Pandu Wigana, Kusnaeni, Darwis, Johar Nur, Arminanto dan A.M.
Hanafi.

(Catatan: secara umum jumlahnya cukup banyak tapi yang sering disebut biasanya
nama2 yang perannya cukup menonjol).

Pada peristiwa Rengasdengklok, beberapa nama dari Menteng 31 ikut terlibat seperti
Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana.

Dari buku Julius Pour “Djakarta 1945 Awal Revolusi Kemerdekaan”, dijelaskan karena
ketiadaan kepemimpinan dari kabinet dan tidak pernah ada komando untuk mulai
merebut kekuasaan dari tentara Jepang paska proklamasi, para pemuda sepakat untuk
membentuk API (Angkatan Pemuda Indonesia) di bawah pimpinan Wikana sebagai
Ketua, Chaerul Saleh sebagai Wakil Ketua, Darwis sebagai Bendahara, serta Ahmad
Aidit, Pardjono, A.M. Hanafie, Koesnandar, Djohar Noer dan Chalid Rosyidi sebagai
anggota. Setelah itu dibentuk juga BARA (Barisan Rakyat) dan BBI (Barisan Buruh
Indonesia). Ketiga organisasi ini berada di bawah naungan Comite van Actie, yang
bermarkas di Menteng 31. API kelak berubah menjadi Pesindo (Pemuda Sosialis
Indonesia).

(Catatan: Di bukunya Soe Hok Gie “Orang2 di Persimpangan Kiri”, nama Darwis
disebut sebagai pemuda dari Asrama Parapatan 10).

Di buku Soe Hok Gie, kelompok Menteng 31 ini juga sempat mengorganisasikan
tukang2 becak dan mendirikan Persatuan Buruh Kendaraan, dimana Aidit dkk aktif di
dalamnya, tapi kemudian dibubarkan oleh Jepang karena dianggap berbahaya.

Kegiatan pemuda2 dari Menteng 31 pasca proklamasi ingin segera merebut


kekeuasaan dari Jepang sebagai perwujudan dari istilah “…pemindahan kekuasaan
dan lain2” dalam teks proklamasi namun karena mereka tidak sabar menunggu
tindakan dari “kelompok tua” dalam hal ini termasuk Bung Karno dan Bung Hatta, maka
terjadilah peristiwa pengambilalihan Stasiun Djakarta- Manggarai, sebagai bentuk
pengambilalihan kekuasaan pertama dari Jepang.

Peran markas Menteng 31 punya pengaruh yang cukup signifikan dan luas ketika
revolusi kemerdekaan dimulai & dalam perkembangannya tidak hanya menjadi markas
pergerakan pemuda tetapi juga markas buruh, petani, seniman dan massa lainnya.

Dalam kaitannya dengan tokoh2 pemuda revolusioner dari Menteng 31 yang namanya
kemudian muncul dalam peristiwa PKI Madiun dan G30S, di dalam buku Tan Malaka
“Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945 – Maret 1946” dijelaskan bahwa
sekitar bulan Maret 1944, di Menteng 31 dibentuk Gerindom (Gerakan Indonesia
Merdeka) dengan Aidit, Lukman, Sjamsudin Tjan dan Sidik Kertapati aktif di dalamnya.
Gerindom tidak terang2an membawa cap komunis tapi bahan2 pelajaran berupa
terjemahan dari brosur Dingley tentang gerakan tani di Indonesia & pidato Dimitrov
pada Kongres Komintern tahun 1935 jadi petunjuk yang jelas.
Menuju Merdeka: Sebaran dan Gerakan Pemuda Radikal di Menteng
Menuju Merdeka: Sebaran dan Gerakan Pemuda Radikal di Menteng

kumparanNEWS

Selasa 15 Agustus 2017 - 10:57


Bendera Merah Putih di Pantai Pandawa, Bali. (Foto: Antara/Nyoman Budhiana)

15 Agustus 2017. Apa yang sedang kamu lakukan saat ini, wahai milenial Indonesia?
Memperhatikan ucapan dosen di ruang kuliah sembari sesekali mencuri pandang ke
arah gebetan? Kongko di warteg sembari ngebon karena uang bulanan menipis?

Bekerja robotik di kantor demi sesuap nasi dan selembar tiket berlibur? Duduk-duduk
syantik di kafe dan bergaul eksis bersama teman-teman kekinian kamu? Sibuk
menyusun rancangan lomba 17 agustusan karena ditunjuk Pak RT menjadi panitia?
Atau sedang tekun merenung memikirkan masa depan bangsa?

Apapun itu, situasi kita saat ini hitungannya sudah enak sekali, sepahit apapun hidup
atau nasib yang kita jalani--mungkin. Kini, mari kita menengok ke belakang, 72 tahun
lalu, saat Indonesia belum lagi ada dan nusantara masih “remah roti” yang menjadi
rebutan bangsa lain.

Tentara Heiho. (Foto: Dok. Kemdikbud)


Malam 15 Agustus 1945, suasana tegang terasa di penjuru Jakarta. Usai berbuka
puasa--saat itu Ramadan, sebuah rapat gelap digelar para pemuda radikal di belakang
Laboratorium Bakteriologi Gedung Eijkman Institute, Jalan Pegangsaan Timur Nomor
17, Menteng, Jakarta Pusat.

“Radikal” pada masa itu memiliki konotasi berbeda dengan saat ini. Sejumlah buku
yang ditulis oleh para pelaku dan saksi mata peristiwa sejarah, setidaknya memiliki tiga
sebutan untuk generasi muda waktu itu, yakni “pemuda radikal”, “pemuda revolusioner”,
dan “pemuda militan”.

Pertemuan rahasia kelompok pemuda di belakang Eijkman Institute itu dipimpin oleh
Chaerul Saleh, Wakil Ketua Asrama Angkatan Baru Indonesia di Menteng 31 yang juga
pendiri dan Ketua Umum Persatuan Pelajar Indonesia--ormas paling radikal saat itu.
Gedung Eijkman Institute. (Foto: kitlv.nl)
Empat pemuda radikal di Menteng (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)

Rapat gelap dihadiri para pentolan tokoh muda Indonesia yang berasal dari sejumlah
asrama “mahasiswa” ternama. Mereka antara lain Darwis dan Djohar Nur dari Asrama
Baperpi di Cikini 71; DN Aidit dan AM Hanafi dari Asrama Angkatan Baru Indonesia di
Menteng 31; Wikana dan Yusuf Kunto--mata-mata pengintai Jepang--dari Asrama
Indonesia Merdeka di Kebon Sirih 80; Eri Sudewo, Subadio Sastrosatomo, dan
Subianto Djojohadikusumo dari kelompok Sjahrir di Asrama Prapatan 10.

Mereka yang terlihat di Pegangsaan Timur 17, 15 Agustus 1945 itu, merupakan “biang”
dari gerakan pemuda Indonesia. Dan asrama-asrama yang menjadi tempat tinggal atau
sentral aktivitas mereka bukan sekadar asrama, tapi juga pusat kegiatan operasional
dan koordinasi politik antarkelompok, antara pusat dan daerah.
Infografis Sebaran Markas Pemuda Jelang Proklamasi (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)

“Asrama-asrama itu menjadi tempat kaderisasi pemuda. Tiap asrama punya pemimpin
sendiri. Tapi semua terhubung pada jaringan bawah tanah Sutan Sjahrir dan Tan
Malaka,” kata Jaka Perbawa, kurator Museum Perumusan Naskah Proklamasi, saat
berbincang dengan kumparan, Senin (7/8).

Terdapat empat asrama pemuda yang cukup menonjol di Jakarta kala itu. Pertama,
Asrama Pemuda Baperpi (Badan Permusyawaratan Pelajar-Pelajar Indonesia) di Cikini
71, Menteng, di bawah pimpinan Djohar Nur, beranggotakan para mahasiswa
nasionalis moderat. Asrama ini dibangun pemerintah pendudukan Jepang.

Kedua, Asrama Mahasiswa Kedokteran di Prapatan 10, Kwitang, di bawah pimpinan Eri
Sudewo, beranggotakan pecahan Asrama Baperpi. Mereka mahasiswa-mahasiswa
yang aktif bergerak di bawah tanah, fasih berbahasa Belanda, dan mayoritas dari
kalangan elite yang berkiblat ke Barat.

Para pegiat asrama ini, karena dekat dengan Sutan Sjahrir dan dipengaruhi
pemikirannya, kerap disebut Grup Pemuda Sjahrir.

Jalan Prapatan yang terbentang di antara persimpangan Tugu Tani sisi utara sampai
persimpangan Senen, Jakarta Pusat, kini berganti nama menjadi Jalan Prajurit Usman-
Harun.
Asrama Menteng 31. (Foto: Dok. jakarta.go.id)

Ketiga, Asrama Angkatan Baru Indonesia di Menteng 31 di bawah pimpinan Sukarni


Kartodiwirjo dan Chaerul Saleh, beranggotakan para pemuda radikal sempalan Asrama
Prapatan 10. Sukarni dan Chaerul Saleh saat itu bukan nama baru dalam peta
pergerakan pemuda Indonesia. Keduanya bisa dibilang “dedengkot” para pemuda.
Sukarni. (Foto: Dok. Kemdikbud)

Sukarni merupakan pendiri organisasi Persatuan Pemuda Kita; Ketua Pengurus Besar
Indonesia Muda--organisasi hasil peleburan Jong Java, Pemuda Indonesia, dan Jong
Sumatera; anak didik Sukarno semasa berkuliah di Bandung; dan disebut memiliki
akses ke Tan Malaka.

Sejak remaja, Sukarni hobi berkelahi dengan orang Belanda. Ia dan puluhan teman-
temannya pernah terlibat tawuran dengan anak-anak Belanda. Mereka menang dan
menceburkan ke kolam bocah-bocah Belanda yang kalah tarung.

Previous

Baca Juga :
Mencincang Orang Belanda Usai Fajar Kemerdekaan

Baca Juga :
Sihir 3 Stanza Indonesia Raya

Baca Juga :
Keping yang Terserak: Terompet Proklamasi sampai Bantal Granat

Next
Chaerul Saleh. (Foto: Wikimedia Commons)

Sementara Chaerul Saleh ialah salah satu pendiri dan Ketua Umum Persatuan Pelajar
Indonesia--ormas paling radikal saat itu. Ia juga bekerja di Departemen Propaganda
Jepang (Sendenbu), dan pernah memimpin Baperpi.

Sebagai pemuda dan pemimpin mahasiswa yang militan, Chaerul Saleh mulai menonjol
di gerakan mahasiswa menjelang Perang Dunia II, tahun 1940-an.

Gedung Joang 45. (Foto: Wikipedia)

Berdiri di bangunan bekas hotel mewah, Asrama Angkatan Baru Indonesia di Jalan
Menteng Raya 31--yang kini dikenal dengan sebutan “Gedung Joang”--adalah markas
operasioal para pemuda radikal. Asrama ini didirikan di bawah restu Sendenbu
pimpinan Hitoshi Shimizu pada Juli 1942.

Anggota asrama dibagi dua: 50 orang tinggal di asrama dengan makan ditanggung
pengelola asrama, dan 70 orang tidak tinggal di asrama namun sama-sama mengikuti
kursus politik di asrama tersebut.
Terdapat sejumlah syarat bagi pemuda yang hendak mengikuti pendidikan di Asrama
Menteng 31, yakni berpendidikan MULO (sekolah menengah pertama pada zaman
kolonial Belanda) dan perguruan tinggi, serta memimpin pergerakan pemuda di
daerahnya masing-masing.

Mereka yang menghuni asrama ini, selain Sukarni dan Chaerul Saleh, ialah Adam Malik
dan Dipa Nusantara Aidit. Sementara tenaga pengajarnya ialah Sukarno, Hatta, Amir
Syarifuddin, Ki Hajar Dewantara, dan lain-lain.

Angkatan Baru Indonesia di Menteng 31 diberi kuliah umum filsafat, sejarah, tata
negara, juga dididik untuk melakukan kontrapropaganda terhadap berita-berita Jepang,
serta membangun jaringan informasi serta kekuatan di daerah-daerah.

Menteng 31, yang kental nuansa politik dan militer, adalah asrama yang paling
terorganisasi dengan baik, dan karenanya menjadi motor penggerak pemuda
revolusioner di Jakarta. Sejumlah alumninya cukup menonjol. Mereka terkenal berani,
tahan mental, dan lihai dalam perang gerilya.

“Sebenarnya Jepang bermaksud menjadikan pemuda-pemuda ‘Angkatan Baru’ sebagai


aparat yang setia guna melancarkan propaganda ‘Asia Timur Raya’, tetapi gagal.
Pengaruh gerakan kemerdekaan justru lebih mampu melahirkan angkatan baru yang
tergembleng, tangguh, dan tak bisa dijadikan kuda tunggangan Jepang meski disuap
sekalipun,” kata Sidik Kertapati, aktivis Gerindo, dalam bukunya, Sekitar Proklamasi 17
Agustus 1945.
Wikana. (Foto: Dok. Kemdikbud)

Keempat, Asrama Indonesia Merdeka di Jalan Kebon Sirih 80, Menteng, di bawah
pimpinan Wikana--aktivis kiri, pemimpin bawah tanah Partai Komunis Indonesia Jawa
Barat pada era penjajahan Belanda, Ketua Barisan Pemuda Gerindo (Gerakan Rakyat
Indonesia), dan anak didik Sukarno semasa di Bandung seperti Sukarni.

Asrama Indonesia Merdeka, seperti dikutip dari portal resmi Provinsi DKI Jakarta,
jakarta.go.id, didirikan Oktober 1944 oleh pemerintahan pendudukan Jepang di bawah
pengawasan Kaigun (Angkatan Laut Kekaisaran Jepang), tepatnya Kepala Perwakilan
Kaigun Jepang di Jakarta, yakni Laksamana Muda Tadashi Maeda.

Asrama itu bertujuan untuk memberikan pendidikan politik bagi para pemuda Indonesia
dari berbagai daerah. Penghuni asrama--anggota Gerindo maupun para pemuda dari
timur Indonesia--mendapat pelajaran tentang paham kebangsaan dari tokoh-tokoh
nasional seperti Sukarno, Hatta, Iwa Kusumasumatri, Sutan Sjahrir, dan lain-lain. Mirip
dengan pola pendidikan di Asrama Menteng 31.

Enam bulan setelah Asrama Indonesia Merdeka berdiri, April 1945, 30 orang angkatan
pertama lulus dari kursus kebangsaan di asrama tersebut. Sebulan kemudian, Mei
1945, saat 80 orang angkatan kedua siap memulai kursus, Jepang “keburu” menyerah
kepada Sekutu, mengakhiri pendudukan Jepang di Indonesia.
Jalan Cikini, Jakarta, 1945. (Foto: kitlv.nl)

Dari empat asrama pemuda tersebut, tiga di antaranya tersebar di Menteng--Asrama


Baperpi di Cikini 71, Asrama Angkatan Baru Indonesia di Menteng 31, dan Asrama
Indonesia Merdeka di Kebon Sirih 80.

Menteng sejak lama memang menjadi pusat pergerakan politik negeri ini. Dan bukan
cuma asrama pemuda yang berserak di Menteng, Jakarta Pusat, melainkan juga
kediaman para tokoh nasional Indonesia yang sengaja dipusatkan Jepang di satu lokasi
dan saling berdekatan untuk mempermudah pengawasan.

“Dihimpun oleh Jepang agar Jepang mudah ‘memegang’ mereka. Rumah-rumah


golongan tua seperti Sukarno dan Hatta di kawasan inti Menteng, dan golongan muda
di pinggiran Menteng. Batas Menteng itu rel kereta,” ujar Jaka Perbawa di Museum
Perumusan Naskah Proklamasi, Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng.

Sejarah itulah yang antara lain berperan pada terbentuknya Menteng sebagai kawasan
elite di Jakarta hingga kini.

Di sisi lain, kedekatan lokasi membuat para tokoh nasional Indonesia pada masa itu
dapat berkomunikasi dengan mudah. Dari rumah Sukarno di Pegangsaan Timur 56 ke
rumah Hatta di Jalan Diponegoro 57 misalnya, hanya butuh 10 menit berjalan kaki.

“Para tokoh berpengaruh diberi fasilitas rumah oleh Jepang di kawasan Menteng.
Rumah-rumah itu bekas ditinggali orang-orang Eropa yang pergi ketika Jepang datang.
Jepang, saat tiba ke Indonesia, langsung menyensus siapa-siapa saja orang
berpengaruh di sini. Sukarno setelah bebas dari Bengkulu, disediakan rumah di
Pegangsaan Timur, diajak bergabung dalam rencana persemakmuran Jepang. Juga
Bung Hatta dan Sjahrir. Tapi Sjahrir tak mau,” kata Jaka.

Rosihan Anwar, dalam bukunya, Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan
1909-1966, juga Hendri F. Isnaeni dalam bukunya, Kontroversi Sang Kolaborator,
menceritakan tentang kesepakatan antara Sukarno, Hatta, dan Sjahrir soal cara
perjuangan mereka demi Indonesia merdeka.

Sukarno-Hatta menempuh jalan kooperasi atau bekerja sama dengan Jepang sembari
mempersiapkan pemuda Indonesia, sedangkan Sjahrir memimpin gerakan bawah
tanah, dengan tetap berkomunikasi dengan Sukarno-Hatta.
Sjahrir, Sukarno, dan Hatta. (Foto: kitlv.nl)

Sikap nonkolaborasi Sjahrir itu mengendap sepenuhnya dalam hati para pemuda.
Golongan muda itulah yang kemudian mendesak Sukarno-Hatta untuk segera
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
“Janji kemerdekaan di kemudian hari oleh Jepang kami anggap menghina bangsa
Indonesia. Kami, pemuda radikal seluruh Indonesia, jijik dan malu mendengarnya. Kami
tidak mau ‘kemerdekaan hadiah’. Jangankan di kelak kemudian hari, janji merdeka
besok pun kami tidak sudi menerimanya. Pemuda sudah lama menyiapkan organisasi
dalam segala bentuk, siap bertempur merebut kemerdekaan tanah air,” kata AM Hanafi,
Sekretaris Asrama Angkatan Baru Indonesia, dengan emosional dalam bukunya,
Menteng 31: Membangun Jembatan Dua Angkatan.

AM Hanafi dan kawan-kawannya--Chaerul Saleh, Sudiro, SK Trimurti, Sayuti Melik, dan


Asmara Hadi yang tak lain adalah kakak Hanafi--berkumpul di sebuah kebun pisang
dekat Lapangan Terbang Kemayoran sehari sebelum rapat gelap para pemuda di
belakang Laboratorium Bakteriologi Eijkman Institute.

Saat itu, 14 Agustus 1945, sembari digigiti nyamuk kebun, mereka menunggu pesawat
yang ditumpangi Sukarno-Hatta kembali dari Saigon, Vietnam. Sukarno-Hatta ke
Vietnam untuk memenuhi undangan Jenderal Hisaichi Terauchi, Panglima Tertinggi
Pasukan Jepang di Asia Tenggara.

Begitu mendarat di Kemayoran, setelah situasi agak sepi dan orang-orang Jepang
mulai menjauh, para pemuda mendekati Sukarno-Hatta. Sukarno ketika itu hendak naik
ke mobil, sedangkan Hatta sudah masuk lebih dulu ke dalam mobil yang sama.
Sukarno-Hatta. (Foto: kitlv.nl)

“Selamat datang kembali Bung Karno, Bung Hatta. Kami semua menunggu oleh-oleh
dari Saigon,” kata Chaerul Saleh.

Sukarno, yang di Vietnam mendengar Jenderal Terauchi berbicara “Pemerintah Agung


di Tokyo memutuskan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia”, lantas
mengatakan, “Pokoknya kemerdekaan sudah dekat. Sekarang Indonesia sudah akan
merdeka seperti halnya jagung bukan lagi akan berbunga, tapi segera akan berbuah.
Karena itu kita semua harus bersiap.”

Ucapan Sukarno lantas disambut desakan para pemuda. “Tapi kami tidak mau
kemerdekaan hadiah. Kami tak mau janji-janji Jepang itu. Proklamirkan kemerdekaan
bangsa kita sekarang juga! Jepang sudah kalah, Jepang sudah dibom! Jenderal
Terauchi tentu tidak bilang itu kepada Bung Karno.”
Informasi tentang kekalahan Jepang itu memang tak disebut sama sekali oleh Jenderal
Terauchi--yang di hadapan Sukarno mengesankan Jepang tetap imperium kuat Asia
Raya.

Namun Sukarno menolak untuk membahas hal itu lebih lanjut. “Kita tidak bisa
membicarakan soal itu di sini. Lihat itu, Kempetai (polisi militer Jepang) mengawasi kita.
Bubarlah! Nanti kita bicara lagi.”

Chaerul Saleh dan kawan-kawan diliputi kejengkelan kala mobil Sukarno melintas pergi.

“Pemuda angkatan sekarang tentu tidak bisa membayangkan dan merasakan gejolak di
dada kami pada waktu itu. Kami gemas dan penuh gerutu. Seandainya pada waktu itu
tangan kami menggenggam bom, maka bom itu ingin kami ledakkan waktu itu juga
sehingga bisa mendorong Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera tanpa ragu
meyakini kekalahan Jepang dari Sekutu,” ujar AM Hanafi.

Previous

Baca Juga :
Revolusi: Pemuda Bersiap Mengepung Jakarta

Baca Juga :
Pisau Kaum Muda untuk Sukarno: Seteru di Pintu Zaman Baru

Baca Juga :
Fragmen Rengasdengklok: Ompol Guntur dan Revolusi Jerami

Next

Gedung Eijkman Institute. (Foto: kitlv.nl)

Setelah insiden itu, masih berselimut rasa kesal, para pemuda menggelar pertemuan di
belakang gedung Eijkman Institute, Jalan Pegangsaan Timur 17.

Rapat rahasia itu menghasilkan satu sikap bersama, bahwa “Kemerdekaan Indonesia
adalah hak serta persoalan rakyat Indonesia. Sama sekali tidak tergantung kepada
siapapun dan negara manapun. Untuk menyatakan bahwa Indonesia telah merdeka,
tidak bisa lain harus dengan proklamasi kemerdekaan.”

38 jam kemudian, proklamasi kemerdekaan Indonesia berkumandang, membuka pintu


zaman baru.
Revolusi: Pemuda Bersiap Mengepung Jakarta
Revolusi: Pemuda Bersiap Mengepung Jakarta

kumparanNEWS

Selasa 15 Agustus 2017 - 09:46

Ini cerita dari masa yang berbeda. Puluhan tahun lalu, ketika aroma kekalahan Jepang
sayup-sayup mulai tercium dan kedudukan Jepang di Asia Pasifik makin terdesak.

Kuniaki Koiso, Perdana Menteri Jepang saat itu, mengiming-imingi hadiah


kemerdekaan untuk Indonesia jika Jepang berhasil memenangkan Perang Asia Timur
Raya. Janji tersebut ia ucapkan dalam pidato tanggal 7 September 1944.

Menurut sejarawan Taufik Abdullah, ada tiga alasan mengapa Jepang memberikan janji
kemerdekaan. Pertama, demi menarik simpati rakyat. Kedua, untuk memperkuat politik
Asia Timur Raya. Ketiga, untuk memperoleh keuntungan dalam percaturan perang,
setidaknya nama baik.

Perang Asia Timur Raya kemudian digembar-gemborkan sebagai perang suci melawan
kejahatan imperialisme Barat. Namun bersamaan dengan itu, kolonialis Jepang
menguras tenaga rakyat Indonesia, baik sebagai tentara hingga kerja paksa di bawah
rezim diktator militer mereka.

Sidik Kertapati, dalam bukunya berjudul Seputar Proklamasi 17 Agustus 1945,


menggambarkan zaman Jepang sebagai era perampokan, pembunuhan, kelaparan,
dan perkosaan yang serba-biadab.

Previous
Baca Juga :
Mencincang Orang Belanda Usai Fajar Kemerdekaan

Baca Juga :
Keping yang Terserak: Terompet Proklamasi sampai Bantal Granat

Baca Juga :
Sihir 3 Stanza Indonesia Raya

Next
Romusha. (Foto: KITLV.NL)

Masa pendudukan Jepang membuat banyak buruh yang menjadi romusha (pekerja
paksa) diangkut ke daerah pertempuran, bekerja keras membanting tulang untuk
membuat parit-parit kubu pertahanan dan lapangan militer. Sebagian dari mereka
bahkan dikirim hingga ke hutan-hutan Burma, seolah mengantar nyawa demi
pembangunan jalan kereta api Burma-Thailand.

Akibat beratnya beban kerja, kelaparan, dan penyakit, banyak romusha menemui
ajalnya.
“Mayat manusia, kebanyakan mayat romusha, bergelimpangan di perempatan jalan
merupakan pemandangan yang biasa," tulis Sidik, salah satu tokoh pemuda di masa
revolusi, dalam bukunya.

Janji kemerdekaan digunakan Jepang sebagai taktik untuk mengelabui rakyat


Indonesia demi memeras dukungan dari mereka. Sejak Jepang tiba di Indonesia
setelah penyerahan tanah jajahan dari kolonial Belanda pada 7-8 Maret 1942, Jepang
menggunakan berbagai propaganda dan janji untuk mengecoh masyarakat Indonesia.

Mulai dari Gerakan Tiga-A (Nippon Pemimpin, Pelindung, dan Cahaya Asia) yang
dipelopori oleh Hitoshi Shimizu, pemimpin Sedenbu (Departemen Propaganda Masa
Kependudukan Jepang), sejak 29 Maret 1942 hingga ramalan Jayabaya, dimanfaatkan
Jepang.

Pamflet ramalan Jayabaya yang disebar berisi pernyataan bahwa bangsa kulit kuning
akan menolong dan memerintah tanah Jawa hanya selama “seumur jagung”.
Tentara Heiho. (Foto: Dok. Kemdikbud)

Sejak 1943, Jepang yang mulai kehabisan pasukan perang berusaha keras untuk
memobilisasi rakyat Indonesia secara langsung demi kepentingan tempur mereka.
Untuk itu Jepang membentuk organisasi-organisasi semimiliter.

Pertama, Seinendan dibentuk 9 Maret 1943. Pasukan berisi pemuda itu bertujuan untuk
mendidik dan melatih para pemuda agar dapat menjaga dan mempertahankan tanah
airnya. Kedua, Funjinkai yang khusus dibentuk bagi kaum perempuan sejak Agustus
1943. Anggotanya juga diberi latihan dasar militer.

Ketiga, Keibodan yang dibentuk sebagai pembantu polisi, bertindak selaku pengaman
desa, termasuk mata-mata. Keempat, PETA (Pembela Tanah Air) yang dibentuk pada
Oktober 1943 dan dipersenjatai dengan senjata api. PETA dipimpin oleh orang
Indonesia hingga tingkat komandan batalyon (shodanco).

PETA dalam perjalanannya kemudian berkembang menjadi organisasi dengan


solidaritas kelompok yang kental. Pertalian sosial terjalin kuat di antara mereka dengan
kelompok-kelompok kecil lokal. Dilatih dengan cara keras dan kejam, anak-anak kaum
buruh dan petani yang banyak menjadi tumbal penjajahan itu tumbuh membentuk basis
pasukan sukarela Indonesia yang mendukung gerakan revolusi.

Pada suatu malam di bulan Desember 1944, tiga shodanco yakni Umar Bahsan, Moh.
Affan, dan Suharjana, beserta pasukannya berkumpul di markas PETA di
Rengasdengklok setelah latihan bersama. Hasil pertemuan membulatkan tekad untuk
memberontak terhadap Jepang dan bersepakat untuk memperluas jaringan dengan
menjalin komunikasi rahasia dengan kelompok lain.

Komunikasi yang terjalin itu bukan hanya antara PETA dengan kelompok gerakan
pemuda seperti Gerindo, tapi bahkan dengan gerombolan kriminal kota yang memiliki
kesadaran revolusioner. Kontak antara dunia kriminal di Jakarta dengan pergerakan
nasional tumbuh, sebagian karena kebencian terhadap kolonial dan sebagian lain
karena keahlian yang saling melengkapi, yakni komando atas huru-hara serta kendali
atas organisasi sosial.
Pasar Baru, Jakarta, 1945. (Foto: kitlv.nl)

Robert Cribb, dalam buku Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949
menulis, “Pendudukan Jepang menciptakan hubungan yang dekat antara dunia hitam
dengan gerakan nasionalis dari generasi lebih muda, yang menjadi dasar suatu koalisi
revolusioner pada 1945 dan sesudahnya.”

Pemberontakan PETA pertama meletus pada 14 Februari 1945 di Blitar, Jawa Timur,
dipimpin oleh shodanco Muradi dan Supriyadi.

“Penderitaan rakyat sudah sampai di puncak dan sudah tidak tertahankan lagi,” ujar
Supriyadi saat itu seperti dikutip dari buku Seputar Proklamasi Kemerdekaan:
Kesaksian, Penyiaran, dan Keterlibatan Jepang.

Tapi pemberontakan tersebut berhasil ditumpas oleh balatentara Jepang. Pengadilan


Militer Jepang pada 14-16 April 1945 menjatuhkan hukuman mati kepada tiga
shodanco, yakni dr. Ismail, Muradi, dan Suparjono; serta tiga budanco (komandan
regu), yaitu Sunanto, Sudarno, dan Halir. Kepala mereka dipenggal.
Sementara Supriyadi menghilang tanpa bekas. Keberadaannya tak pernah diketahui
lagi hingga kini.
Supriyadi (Foto: perpusnas.go.id)

Melihat gelombang pemberontakan yang mulai tampak di depan mata, Jepang


menguatkan janji manisnya. Tepat pada hari ulang tahun Kaisar Hirohito, 1 Maret 1945,
Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) atau Dokuritsu Junbii Chosakai.

Tujuan lain pembentukan BPUPKI, menurut Kolonel Miyoshi dari Gunseikanbu, adalah
untuk meredam revolusi yang tak diinginkan jika tidak ada tindakan sebelum ulang
tahun pendudukan Jepang di Indonesia, yakni 9 Maret.

Mengingat posisi Jepang yang semakin terdesak oleh Sekutu --meskipun ditutup-tutupi-
- dan kecaman keras Sukarno pada September 1944 yang berisi, “...perjuangan
kemerdekaan Indonesia lebih penting daripada janji Jepang”, maka dibentuklah badan
yang bertugas untuk menyelidiki semua aspek dan membahas bentuk hingga dasar
negara untuk Indonesia Merdeka.

Setelah purnatugas dengan menghasilkan rancangan undang-undang dasar Indonesia


Merdeka, BPUPKI yang dipimpin dr. Radjiman Widyodiningrat, dengan 62 anggota dan
7 perwakilan Jepang, dibubarkan pada 7 Agustus 1945. Kemudian langsung
dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi
Iinkai, sehari setelah pengeboman Hiroshima.

Sementara pada 6 Agustus, BM Diah, wartawan sekaligus salah satu tokoh pemuda
Angkatan Baru, bertemu dengan Tan Malaka. Harry A. Poeze dalam buku berjudul Tan
Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia mencatat bahwa Tan, yang
memperkenalkan diri sebagai perwakilan dari Banten, menjanjikan dukungan pemuda
Banten untuk revolusi.
BM Diah, salah satu tokoh muda. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)

Keesokan harinya, 7 Agustus, BM Diah ditangkap dan ditahan karena ucapannya pada
6 Juli dalam sidang pertama Gerakan Rakyat Baru yang tegas menentang
pemerintahan militer Jepang.

Pada 8 Agustus 1945, Sukarno, Mohammad Hatta, dan dr. Radjiman selaku pimpinan
PPKI terbang menuju Dalat, Vietnam, untuk memenuhi undangan Jenderal Hisaichi
Terauchi, Panglima Tertinggi Tentara Jepang di Asia Tenggara.

Pertemuan yang tergolong berbahaya itu bersifat rahasia, mengingat pasukan Sekutu
sudah menguasai wilayah Burma (Myanmar) dan Semenanjung Malaya.

Sukarno-Hatta dan rombongannya, dengan menghindari penerbangan malam, terbang


melalui Singapura lalu Saigon. Mereka tiba di Dalat pada 12 Agustus 1945. Di sana,
Jenderal Terauchi menjanjikan kemerdekaan Indonesia akan diberikan pada 24
Agustus.
Nagasaki sebelum dan sesudah di bom. (Foto: perpusnas.go.id)

Pada saat hampir bersamaan, kelompok pemuda mulai mengadakan pertemuan di


Asrama Indonesia Merdeka, Kebon Sirih 80, pada 10 Agustus. Berita pengeboman
Hiroshima dan Nagasaki di Jepang pada 6 dan 9 Agustus telah sampai ke telinga
mereka.

Asrama Indonesia Merdeka merupakan salah satu markas kelompok pemuda di bawah
pengawasan Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Tokoh penting dari kelompok ini adalah
Wikana dan Yusuf Kunto. Mereka ikut mendesak agar kemerdekaan segera direbut.

Pertemuan berikutnya, 12 Agustus, berlokasi di Defensielijn van den Bosch 56 atau


Bungur Besar, Kemayoran, yang merupakan markas kelompok DN Aidit. Saat itu,
desas-desus kekalahan Jepang makin santer menguar di udara.

Di kalangan mahasiswa, berita kekalahan Jepang yang tinggal menunggu waktu untuk
menyerah, mendorong mahasiswa memboikot mata kuliah Bahasa Jepang. Berita
tersebut menyebar dari pekerja Indonesia di radio militer Jepang.

Malam 13 Agustus, Jakarta diliputi kegelapan karena aliran listrik terputus. Kantor
Berita Domei (kini Antara) tidak bisa menghubungi Kantor Berita Tokio sehingga tidak
ada informasi baru yang masuk.

Saat Sukarno beserta rombongan tiba kembali di Bandara Kemayoran, Jakarta, pada
14 Agustus, berita kekalahan Jepang telah menjadi buah bibir di masyarakat. Namun
begitu, Jepang berusaha menutupi kekalahan demi kekalahan yang dialaminya sejak
Pertempuran Midway hingga Perang Pasifik pada Agustus 1945.
Berita Jelang Proklamasi (Foto: Dok. Istimewa)

Harian Asia Raya sebagai media propaganda dan satu-satunya yang terbit di Jakarta,
hingga 14 Agustus masih menampilkan berita kemenangan Jepang dalam menghalau
serangan Sekutu, di samping berita perkembangan menuju Indonesia Merdeka yang
sejak lama dijanjikan Jepang.

Pada hari kedatangan Sukarno, Hatta, dan dr. Radjiman di Jakarta dari Dalat, halaman
depan Asia Raya menampilkan berita berjudul “Sebelum Jagung Berbunga, Indonesia
Pasti Merdeka”.

Judul tersebut diambil dari penggalan pidato Sukarno setibanya di Jakarta yang
menyatakan, “Kalau dulu saya katakan bahwa Indonesia Merdeka akan datang
sebelum jagung berbunga, maka sekarang saya tegaskan bahwa Indonesia sudah
merdeka sebelum jagung berbunga.”

Hatta kemudian dalam penjelasannya mengenai kunjungan ke Dalat menemui Jenderal


Terauchi memaparkan bahwa, “Banyak syarat yang harus dilalui. Umpamanya, selama
perang negara, Indonesia akan tetap dipimpin oleh balatentara Dai Nippon. Negara
Indonesia ini akan menjadi anggota lingkungan Asia Timur Raya.”

Pada hari itu juga, sejumlah pemuda seperti Chaerul Saleh, Asmara Hadi, AM Hanafi,
Sudiro, Sayuti Melik, dan SK Trimurti, telah berkumpul di kebun pisang dekat Lapangan
Terbang Kemayoran menanti Sukarno.

Dalam pertemuan singkat itu, AM Hanafi dalam buku berjudul Menteng 31: Membangun
Jembatan Dua Angkatan menceritakan, “Kami, pemuda radikal seluruh Indonesia, jijik
dan malu mendengarnya. Kami tidak mau ‘kemerdekaan hadiah’. Jangankan di kelak
kemudian hari, janji merdeka besok pun kami tidak sudi menerimanya.”

Previous

Baca Juga :
Menuju Merdeka: Sebaran dan Gerakan Pemuda Radikal di Menteng
Baca Juga :
Pisau Kaum Muda untuk Sukarno: Seteru di Pintu Zaman Baru

Baca Juga :
Fragmen Rengasdengklok: Ompol Guntur dan Revolusi Jerami

Next

Kelompok pemuda bersepakat untuk mengambil langkah supaya Indonesia tidak


diserahterimakan kepada pihak Sekutu, dan proklamasi harus segera dilaksanakan
tanpa campur tangan Jepang.

Sejak itu, tulis Osa Kurniawan Ilham dalam buku Proklamasi: Sebuah Rekonstruksi,
pusat komando berada di “Asrama Prapatan 10 di mana Eri Sudewo sebagai
komandan dan Soejono Martosewojo sebagai pimpinan markas”.

Penjagaan di asrama pun diperketat dengan penggunaan sandi untuk keluar masuk
asrama. Koordinasi dilakukan dengan asrama PETA dan Heiho untuk memperoleh
senjata. Sementara kelompok pemuda lain ada yang bertugas memeriksa lokasi dan
konsentrasi pasukan Jepang di Jakarta.
Asrama Menteng 31. (Foto: Dok. jakarta.go.id)

Saat itu para pejabat Jepang seolah mulai ketakutan. Orang-orang Jepang banyak
yang tidak masuk kantor dan menutup diri di kamar masing-masing. Salah satu kolonel
Jepang bernama Suzuki diketahui melakukan harakiri setelah menembak mati istrinya
terlebih dulu.

Bayangan akan gelombang kerusuhan dan pembunuhan karena balas dendam seperti
ketika menyerahnya Belanda pada 1942, tiba-tiba tampak di pelupuk mata.

Keesokan harinya, 15 Agustus, setelah pidato penyerahan Jepang pada Sekutu


beredar luas di radio, kelompok pemuda semakin membulatkan tekad.
Gedung Eijkman Institute. (Foto: kitlv.nl)

Dalam pertemuan rahasia yang berlangsung di belakang Laboratorium Bakteriologi,


Eijkman Istitute, Jalan Pegangsaan Timur Nomor 17, mereka bersepakat,
“Kemerdekaan Indonesia adalah hak serta persoalan rakyat Indonesia. Sama sekali
tidak tergantung kepada siapapun dan negara manapun.”

Mereka juga memutuskan agar Sukarno segera memproklamasikan kemerdekaan


Indonesia. Pada malam hari, Sukarno didatangi sejumlah pemuda, di antaranya Wikana
dan Chaerul Saleh.
Wikana dan Chaerul Saleh yang merupakan dua di antara pentolan tokoh muda,
menyatakan revolusi siap berkobar malam itu juga.

“Kita sudah memiliki pasukan PETA, pasukan pemuda, Barisan Pelopor, bahkan Heiho
sudah siap. Dengan satu isyarat dari Bung Karno, seluruh Jakarta pasti akan terbakar.
Ribuan pasukan bersenjata sudah siap mengepung Jakarta, melancarkan revolusi
bersenjata serta menjungkirkan seluruh pertahanan tentara Jepang.”

Jakarta malam itu, 15 Agustus 72 tahun lalu, jelas menakutkan. Dengan kobar api
revolusi di dada, para pemuda di seantero kota siap bertempur demi sebuah Indonesia
Merdeka.

Previous

Baca Juga :
Berkelana Melintasi Waktu di Imam Bonjol 1, Jantung Proklamasi

Baca Juga :
Proklamasi Teduh di 17 Agustus: Kami Bangsa Merdeka

Baca Juga :
Menyebar Kabar Proklamasi ke Penjuru Negeri

Next
Jelang Kemerdekaan Indonesia (Foto: Ridho Robby/kumparan)

Proklamasi, ternyata didahului oleh perdebatan hebat antara golongan pemuda


dengan golongan tua. Baik golongan tua maupun golongan muda, sesungguhnya
sama-sama menginginkan secepatnya dilakukan Proklamasi Kemerdekaan dalam
suasana kekosongan kekuasaan dari tangan pemerintah Jepang. Hanya saja,
mengenai cara melaksanakan proklamasi itu terdapat perbedaan pendapat.
Golongan tua, sesuai dengan perhitungan politiknya, berpendapat bahwa
Indonesia dapat merdeka tanpa pertumpahan darah, jika tetap bekerjasama
dengan Jepang.

Karena itu, untuk memproklamasikan kemerdekaan, diperlukan suatu revolusi


yang terorganisir. Soekarno dan Hatta, dua tokoh golongan tua, bermaksud
membicarakan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan dalam rapat Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI ). Dengan cara itu, pelaksanaan
Proklamasi Kemerdekaan tidak menyimpang dari ketentuan pemerintah Jepang.
Sikap inilah yang tidak disetujui oleh golongan pemuda. Mereka menganggap,
bahwa PPKI adalah badan buatan Jepang. Sebaliknya, golongan pemuda
menghendaki terlaksananya Proklamasi Kemerdekaan itu, dengan kekuatan
sendiri. Lepas sama sekali dari campur tangan pemerintah Jepang. Perbedaan
pendapat ini, mengakibatkan penekanan-penekanan golongan pemuda kepada
golongan tua yang mendorong mereka melakukan “aksi penculikan” terhadap diri
Soekarno-Hatta.

Tanggal 15 Agustus 1945, kira-kira pukul 22.00, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56
Jakarta, tempat kediaman Bung Karno, berlangsung perdebatan serius antara
sekelompok pemuda dengan Bung Karno mengenai Proklamasi Kemerdekaan
sebagaimana dilukiskan Lasmidjah Hardi ( 1984:58 ); Ahmad Soebardjo ( 1978:85-
87 ) sebagai berikut:

” Sekarang Bung, sekarang! malam ini juga kita kobarkan revolusi !” kata Chaerul
Saleh dengan meyakinkan Bung Karno bahwa ribuan pasukan bersenjata sudah
siap mengepung kota dengan maksud mengusir tentara Jepang. ” Kita harus
segera merebut kekuasaan !” tukas Sukarni berapi-api. ” Kami sudah siap
mempertaruhkan jiwa kami !” seru mereka bersahutan. Wikana malah berani
mengancam Soekarno dengan pernyataan; ” Jika Bung Karno tidak
mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga, akan berakibat terjadinya suatu
pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari .”

Mendengar kata-kata ancaman seperti itu, Soekarno naik darah dan berdiri
menuju Wikana sambil berkata: ” Ini batang leherku, seretlah saya ke pojok itu
dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari !”.
Hatta kemudian memperingatkan Wikana; “… Jepang adalah masa silam. Kita
sekarang harus menghadapi Belanda yang akan berusaha untuk kembali menjadi
tuan di negeri kita ini. Jika saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya
katakan, dan mengira bahwa saudara telah siap dan sanggup untuk
memproklamasikan kemerdekaan, mengapa saudara tidak memproklamasikan
kemerdekaan itu sendiri ? Mengapa meminta Soekarno untuk melakukan hal itu
?”

Namun, para pemuda terus mendesak; ” apakah kita harus menunggu hingga
kemerdekaan itu diberikan kepada kita sebagai hadiah, walaupun Jepang sendiri
telah menyerah dan telah takluk dalam ‘Perang Sucinya ‘!”. ” Mengapa bukan
rakyat itu sendiri yang memproklamasikan kemerdekaannya ? Mengapa bukan
kita yang menyatakan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa ?”.
Dengan lirih, setelah amarahnya reda, Soekarno berkata; “… kekuatan yang
segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan kesiapan total
tentara Jepang! Coba, apa yang bisa kau perlihatkan kepada saya ? Mana bukti
kekuatan yang diperhitungkan itu ? Apa tindakan bagian keamananmu untuk
menyelamatkan perempuan dan anak-anak ? Bagaimana cara mempertahankan
kemerdekaan setelah diproklamasikan ? Kita tidak akan mendapat bantuan dari
Jepang atau Sekutu. Coba bayangkan, bagaimana kita akan tegak di atas
kekuatan sendiri “. Demikian jawab Bung Karno dengan tenang.

Para pemuda, tetap menuntut agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan


kemerdekaan. Namun, kedua tokoh itu pun, tetap pada pendiriannya semula.
Setelah berulangkali didesak oleh para pemuda, Bung Karno menjawab bahwa ia
tidak bisa memutuskannya sendiri, ia harus berunding dengan para tokoh
lainnya. Utusan pemuda mempersilahkan Bung Karno untuk berunding. Para
tokoh yang hadir pada waktu itu antara lain, Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa
Kusumasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro. Tidak lama kemudian, Hatta
menyampaikan keputusan, bahwa usul para pemuda tidak dapat diterima dengan
alasan kurang perhitungan serta kemungkinan timbulnya banyak korban jiwa dan
harta. Mendengar penjelasan Hatta, para pemuda nampak tidak puas. Mereka
mengambil kesimpulan yang menyimpang; menculik Bung Karno dan Bung Hatta
dengan maksud menyingkirkan kedua tokoh itu dari pengaruh Jepang.

Pukul 04.00 dinihari, tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta oleh
sekelompok pemuda dibawa ke Rengasdengklok. Aksi “penculikan” itu sangat
mengecewakan Bung Karno, sebagaimana dikemukakan Lasmidjah Hardi (
1984:60 ). Bung Karno marah dan kecewa, terutama karena para pemuda tidak
mau mendengarkan pertimbangannya yang sehat. Mereka menganggap
perbuatannya itu sebagai tindakan patriotik. Namun, melihat keadaan dan situasi
yang panas, Bung Karno tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti
kehendak para pemuda untuk dibawa ke tempat yang mereka tentukan.
Fatmawati istrinya, dan Guntur yang pada waktu itu belum berumur satu tahun, ia
ikut sertakan.

Rengasdengklok kota kecil dekat Karawang dipilih oleh para pemuda untuk
mengamankan Soekarno-Hatta dengan perhitungan militer; antara anggota PETA
( Pembela Tanah Air ) Daidan Purwakarta dengan Daidan Jakarta telah terjalin
hubungan erat sejak mereka mengadakan latihan bersama-sama. Di samping itu,
Rengasdengklok letaknya terpencil sekitar 15 km. dari Kedunggede Karawang.
Dengan demikian, deteksi dengan mudah dilakukan terhadap setiap gerakan
tentara Jepang yang mendekati Rengasdengklok, baik yang datang dari arah
Jakarta maupun dari arah Bandung atau Jawa Tengah.
Sehari penuh, Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Maksud para
pemuda untuk menekan mereka, supaya segera melaksanakan Proklamasi
Kemerdekaan terlepas dari segala kaitan dengan Jepang, rupa-rupanya tidak
membuahkan hasil. Agaknya keduanya memiliki wibawa yang cukup besar. Para
pemuda yang membawanya ke Rengasdengklok, segan untuk melakukan
penekanan terhadap keduanya. Sukarni dan kawan-kawannya, hanya dapat
mendesak Soekarno-Hatta untuk menyatakan proklamasi secepatnya seperti
yang telah direncanakan oleh para pemuda di Jakarta . Akan tetapi, Soekarno-
Hatta tidak mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap berpegang teguh pada
perhitungan dan rencana mereka sendiri. Di sebuah pondok bambu berbentuk
panggung di tengah persawahan Rengasdengklok, siang itu terjadi perdebatan
panas; ” Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan
Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu …”. ” Lalu apa ?” teriak
Bung Karno sambil beranjak dari kursinya, dengan kemarahan yang menyala-
nyala. Semua terkejut, tidak seorang pun yang bergerak atau berbicara.

Waktu suasana tenang kembali. Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara
rendah ia mulai berbicara; ” Yang paling penting di dalam peperangan dan
revolusi adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan seluruh
pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17 “. ” Mengapa justru diambil tanggal 17,
mengapa tidak sekarang saja, atau tanggal 16 ?” tanya Sukarni. ” Saya seorang
yang percaya pada mistik”. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan
akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya
merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah
angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu
kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. tanggal 17 besok
hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-
Qur’an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu
kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia “. Demikianlah antara lain dialog
antara Bung Karno dengan para pemuda di Rengasdengklok sebagaimana ditulis
Lasmidjah Hardi ( 1984:61 ).

Sementara itu, di Jakarta, antara Mr. Ahmad Soebardjo dari golongan tua dengan
Wikana dari golongan muda membicarakan kemerdekaan yang harus
dilaksanakan di Jakarta . Laksamana Tadashi Maeda, bersedia untuk menjamin
keselamatan mereka selama berada di rumahnya. Berdasarkan kesepakatan itu,
Jusuf Kunto dari pihak pemuda, hari itu juga mengantar Ahmad Soebardjo
bersama sekretaris pribadinya, Sudiro, ke Rengasdengklok untuk menjemput
Soekarno dan Hatta. Rombongan penjemput tiba di Rengasdengklok sekitar
pukul 17.00. Ahmad Soebardjo memberikan jaminan, bahwa Proklamasi
Kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945, selambat-
lambatnya pukul 12.00. Dengan jaminan itu, komandan kompi PETA setempat,
Cudanco Soebeno, bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta.

Kisah penculikan Soekarno dan Hatta

Kamis, 16 Agustus 2012 06:03Reporter : Mardani

 4
SHARES

Soekarno-Hatta-Sjahrir. ©2012 Merdeka.com

Merdeka.com - Peristiwa Rengasdengklok tak bisa dilepaskan dari sejarah perjalanan


bangsa ini. Peristiwa 'penculikan' terhadap dua proklamator itu menjadi salah satu
momen penting jelang proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, keinginan untuk segera memproklamasikan
kemerdekaan semakin menggelora di bangsa Indonesia. Namun, saat itu terdapat
perbedaan pendapat yang tajam antara golongan muda dengan golongan tua soal
pelaksanaan proklamasi.

Kaum tua yang dimotori Bung Karno dan Hatta saat itu lebih kepada perhitungan
politiknya. Mereka berpandangan untuk memproklamasikan kemerdekaan diperlukan
revolusi yang terorganisir dengan baik. Karenanya, kerjasama dengan Jepang masih
diperlukan agar tidak terjadi pertumpahan darah.

Soekarno dan Hatta kemudian bermaksud membahas pelaksanaan proklamasi dalam


rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sebab, dengan demikian
pelaksanaan proklamasi tidak akan menyimpang dari ketentuan Jepang.

Hal itu sontak mendapat penolakan keras dari golongan muda, yang saat itu dimotori
Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana. Mereka menilai PPKI adalah buatan Jepang,
sementara mereka menginginkan proklamasi kemerdekaan Indonesia tanpa ada embel-
embel negara Sakura itu.

Pertemuan antara golongan muda dengan golongan tua kemudian digelar di kediaman
Bung Karno, Jl Pegangsaan Timur No 56, Jakarta, pada Rabu, 15 Agustus 1945,
sekitar pukul 22.00 WIB. Saat itu, terjadi perdebatan 'panas' antara golongan muda
dengan Bung Karno mengenai proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Perdebatan panas tersebut dimuat di dalam buku "Lahirnya Republik Indonesia."


Jakarta: Kinta. 1978, karya Ahmad Soebardjo (1978) dan "Samudera Merah Putih 19
September 1945." Jilid 1. Jakarta: Pustaka Jaya. 1984, karya Lasmidjah Hardi.

Dalam perdebatan itu, golongan muda tetap bersikeras pelaksanaan proklamasi


kemerdekaan harus segera dilakukan, jika perlu saat itu juga. Mereka bahkan mengaku
siap melawan tentara Jepang jika terjadi pertumpahan darah. Namun, Bung Karno saat
itu berpandangan kekuatan para pejuang belum cukup untuk melawan kekuatan
bersenjata tentara Jepang.

Setelah tak juga mendapatkan titik temu, Bung Karno akhirnya berunding kepada
sejumlah tokoh dari golongan tua, di antaranya Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa
Kusumasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro. Namun, hasil perundingan itu
ternyata tak sesuai dengan keinginan golongan muda.

Saat itu, Hatta mengatakan, hasil keputusan yang didapat tidak menyetujui
keinginan golongan muda. Sebab dinilai kurang perhitungan dan dapat
menimbulkan banyak korban jiwa. Tak terima dengan keputusan itu, golongan
muda kemudian 'menculik' Bung Karno dan Bung Hatta, pada Kamis 16 Agustus
1945 sekitar pukul 04.00 WIB.

Meski kecewa dan marah atas 'penculikan' itu, Bung Karno dan Bung Hatta tetap
mengikuti keinginan para pemuda untuk menghindari adanya keributan. Saat itu,
Bung Karno mengikutsertakan sang istri, Fatmawati dan anaknya, Guntut, yang
masih balita.

Keduanya kemudian dibawa ke sebuah rumah milik salah seorang pimpinan


PETA, Djiaw Kie Siong, di sebuah kota kecil di dekat karawang yakni
Rengasdengklok. Letak Rengasdengklok yang terpencil menjadi salah satu
alasan para pemuda memilih tempat itu agar mudah mendeteksi pergerakan
tentara Jepang jika menuju tempat itu.

Meski di lokasi itu para pemuda mendesak keduanya untuk segera


memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dua proklamator itu tak juga tunduk
pada keinginan para pemuda itu.
Kemudian, pada siang harinya, perdebatan panas terjadi antara Bung Karno
dengan para pemuda. Bung Karno yang terus ditekan agar segera
memproklamasikan kemerdekaan berkukuh akan melakukan hal itu pada 17
Agustus 1945.

Sejumlah alasan disampaikan oleh Bung Karno soal pemilihan 17 Agustus 1945.
Sementara itu, kesepakatan terjadi di Jakarta antara golongan tua yang diwakili
Ahmad Soebardjo dengan golongan muda yang diwakili Wikana. Saat itu
keduanya sepakat proklamasi kemerdekaan akan dilaksanakan di Jakarta.

Berbekal kesepakatan itu, Bung Karno dan Bung Hatta kemudian dijemput
Ahmad Soebardjo untuk kembali ke Jakarta. Saat itu, Ahmad Soebardjo
menjanjikan kepada para pemuda yang berada di Rengasdengklok bahwa
proklamasi kemerdekaan Indonesia akan dilaksanakan pada 17 Agustus 1945
p[aling lambat pukul 12.00 WIB.

Atas jaminan itu, kedua proklamator itu kemudian diizinkan kembali ke Jakarta.
Singkat cerita, proklamasi kemerdekaan Indonesia akhirnya diproklamirkan Bung
Karno dengan didampingi Hatta pada Jumat 17 Agustus 1945. [dan]

Mobil kepresidenan Soekarno ternyata hasil curian

Soekarno belum resmi Pahlawan Nasional?


AktualPress.com—Munculnya peristiwa Rengasdengklok disebabkan karena adanya
perbedaan sikap antara golongan tua dan golongan pemuda. Perbedaan tersebut
mengenai kapan waktu yang tepat untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Perbedaan ini muncul sebagai reaksi kekalahan Jepang melawan Sekutu. Setelah
mendengar berita kekalahan Jepang dari siaran radio luar negeri, pada malam harinya
Sutan Syahrir menyempaikan berita kekalahan Jepang tersebut kepada Moh. Hatta.
Syahrir juga menanyakan mengenai kemerdekaan Indonesia sehubungan dengan
kekalahan Jepang tersebut.
Pada tanggal 15 Agustus 1945 para pemuda berkumpul di salah satu ruang Lembaga
Bakteriologi yang terletak di Jalan Pegangsaan Timur No. 13 Jakarta di bawah
pimpinan Chairul Saleh. Para pemuda sepakat bahwa kemerdekaan Indonesia
merupakan hak dan masalah rakyat Indonesia yang tidak bergantung kepada bangsa
atau negara lain.
Rapat juga memutuskan untuk mendesak Soekarno-Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 16 Agustus 1945. Adapun pertimbangan
keputusan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Soekarno dan Hatta adalah dua orang pemimpin yang berwibawa di mata rakyat
Indonesia. Proklamasi kemerdekaan yang dilaksanakan oleh mereka akan mendapat
dukungan dari seluruh rakyat Indonesia.
2. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia harus dilaksanakan dengan kekuatan sendiri
tanpa pengaruh dari pihak mana pun dengan tujuan untuk mengangkat wibawa negara
Indonesia yang baru lahir.
Hasil keputusan tersebut disampaikan oleh Darwis dan Wikana kepada Soekarno-
Hatta, namun tidak dicapai kata sepakat. Karena tidak dicapai kata sepakat, maka
golongan pemuda bermaksud mengamankan Soekarno-Hatta ke luar Jakarta.
Maksud golongan pemuda itulah yang kemudian melahirkan Peristiwa
Rengasdengklok. Perbedaan tersebut berkisar pada cara melaksanakan Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia.
1. Golongan tua (Soekarno, Moh. Hatta, Ahmad Subarjo, dan lain-lain), menghendaki
agar proklamasi kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Dengan pertimbangan mengingat kenyataannya, Jepang masih tetap berkuasa dan
bersenjata lengkap. Sebab jika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan di luar PPKI
(tanpa sidang PPKI) pasti akan dicegah oleh Jepang.
2. Golongan pemuda (Sukarni, Adam Malik, Chairul Saleh, Yusuf Kunto, Wikana, dan
lain-lain), menghendaki agar kemerdekaan Indonesia diproklamasikan di luar PPKI
(tanpa sidang PPKI).
Dengan pertimbangan, jika Proklamasi kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan
terlebih dahulu mengadakan sidang PPKI, maka kemerdekaan bangsa Indonesia akan
dianggap sebagao ciptaan Jepang dan pasti akan dihancurkan oleh pasukan Sekutu
yang tidak lama lagi akan tiba di Indonesia.
Golongan pemuda mengadakan rapat lagi di asrama Baperpi, Cikini, Jakarta pada
tengah malam menjelang tanggal 16 Agustus 1945. Selain peserta rapat di Lembaga
Bakteriologi, rapat tersebut juga dihadiri oleh Sukarni, Yusuf Kunto, dr. Muwardi, dan
Shodanco Singgih.
Dalam rapat tersebut memutuskan untuk mengamankan Soekarno-Hatta ke luar
Jakarta. Keputusan tersebut dengan pertimbangan sebagai berikut :
1. Proklamasi kemerdekaan lepas dari pengaruh pihak mana pun, termasuk Jepang
dan harus tetap dilaksanakan.
2. Soekarno-Hatta harus diamankan ke luar Jakarta agar terlepas dari pengaruh
Jepang, sehingga mereka berani memproklamasikan kemerdekaan sesuai dengan
kemauan golongan pemuda.
Tempat yang dipilih untuk mengamankan Soekarno-Hatta adalah Rengasdengklok,
Kab. Karawang, Jawa Barat yang terletak 15 km dari Jalan raya Jakarta – Cirebon.
Untuk menghindari kecurigaan dari pihak Jepang, Shodanco Singgih mendapat
kepercayaan untuk melaksanakan rencana tersebut dibantu oleh Sukarni dan Yusuf
Kunto.
Penculikan Soekarno-Hatta dilakukan pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.30 waktu
Jawa zaman Jepang atau jam 04.00 WIB. Rengasdengklok dipilih karena berada jauh
dari jalan raya utama Jakarta – Cirebon.
Setelah sampai di Rengasdengklok, Soekarno dan Moh. Hatta ditempatkan di rumah
milik warga masyarakat keturunan Tionghoa yang bernama Djiaw Kie Siong. Golongan
pemuda kembali mendesak agar Soekarno-Hatta bersedia memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia.
Namun, pembicaraan tersebut tidak membawa hasil. Akan tetapi, dalam pembicaraan
pribadi antara Shodanco Singgih dan Soekarno, Shodanco Singgih menyimpulkan
bahwa Soekarno bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia segera setelah
kembali ke Jakarta. Kesediaan Soekarno tersebut disampaikan kepada golongan
pemuda di Jakarta.
Sementara itu, di Jakarta terjadi perundingan antara Ahmad Subarjo (mewakili
golongan tua) dan Wikana (mewakili golongan pemuda) yang kemudian tercapai kata
sepakat bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia harus dilaksanakan di Jakarta
pada tanggal 17 Agustus 1945 sebelum pukul 12.00 WIB.
Di samping itu, Laksamana Tadashi Maeda mengizinkan rumah kediamannya dijadikan
sebagai tempat perundingan dan bersedia menjamin keselamatan para pemimpin
bangsa Indonesia. Akhirnya Soekarno-Hatta dijemput dari Rengasdengklok dan tiba di
Jakarta pada pukul 19.30 WIB.
ntuk mengenang peristiwa pengamanan Bung Karno dan Bung Hatta oleh golongan
pemuda di Rengasdengklok tepatnya di markas bekas kompi Peta dibangun Monumen
Rengasdengklok. (Zainab/sejarah-negara.com)

Konflik" Menjelang ProklamasiKemerdekaan


9 Agustus 2012 08:40 Diperbarui: 25 Juni 2015 02:02 3516 4 3
foto : rosodaras.files.wordpress.com
[caption id="" align="aligncenter" width="482" caption="foto :
redblood.blog.fisip.uns.ac.id"][/caption] Banyak peristiwa sejarahyang cukup penting
terjadi menjelang Proklamasi RI tahun 1945, tapi dalam tulisan ini saya mengkhususkan
untuk menulis tentang sisi pemuda, tentang patriotisme pemuda indonesia di saat itu
yang menurut saya punya peranan yang cukup penting di dalam
memproklamasikan Indonesia. Pada setiap jamannya Pemuda selalu menjadi
inspirator Pembawa Perubahan, dalam setiap negara setiap perubahan selalu
ada pemuda yang terlibat. Makanya peran pemudadalam sebuah negara itu
mempunyai arti yang sangat penting, kualitas pemuda pada suatu negara akan sangat
menentukan kualitas suatu negara di masa depan. Jakarta kala itu sangat tegang.
Golongan tua termasuk Bung Karno dan Bung Hatta berpendapat
sebaiknya kemerdekaan dicapai tanpa pertumpahan darah. Ini dapat dilakukan melalui
kerjasama dengan pihak Jepang. Sebaliknya kelompok pemuda sudah tidak sabar
lagi. Kemerdekaan harus segera diproklamasikan tanpa bantuan dan melibatkan
bangsa asing mana pun. Kelompok pemuda malah menganggap Bung Karno dan Bung
Hatta kejepang-jepangan, padahal ini adalah strategi Diplomasi yang harus dilakukan
Bung Karno dan Bung Hatta. Pada 15 Agustus 1945 pukul 20.00, di salah ruangan
Lembaga Bakteriologi, di Pegangsaan Timur 17 (sekarang Fakultas Kesehatan
Masyarakat UI), para pemuda dan mahasiswa mengadakan pertemuan di bawah
pimpinan Chaerul Saleh. Hasilnya, pukul 23.00 mereka mengutus Wikana dan Darwis
mendatangi Bung Karno dan mendesak agar esok hari (16/8)
memproklamasikankemerdekaan. Bung Karno menolak. Alasannya ia dan Bung Hatta
tidak ingin meninggalkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Apalagi
PPKI esoknya akan rapat di Jakarta. [caption id="" align="alignnone" width="600"
caption="foto : rosodaras.files.wordpress.com"][/caption] Bung Karno dan Bung Hatta
menginginkan kemerdekaan ini bisa dicapai dengan cara negosiasi dengan jepang,
namun dengan cara demikian Bung Karno dan Bung Hatta di cap ke jepang-jepangan
oleh Syahrir. Perbendaan pandangan antara Bung Syahrir dengan Bung Karno dan
Bung Hatta, tidaklah ditanggapi secara serius oleh Bung Karno, tapi dengan cara itulah
Bung Syahrir memanasi Pemuda agar mendesak Bung Karno dan Bung Hatta segera
memerdekakan Indonesia. Apa yang dilakukan Bung Syahrir adalah
demi kemerdekaan Indonesia, hanya saja caranya dipandang oleh Bung Karno dan
Bung Hatta terlalu radikal, Bung karno dan Bung Hatta tidak menginginkan adanya
pertumpahan darah. [caption id="" align="alignright" width="241" caption="foto : Chairul
saleh - 1.bp.blogspot.com"]
foto : 1.bp.blogspot.com
[/caption] Adalah AM Hanafi, seorang tokoh Angkatan ‘45 dan mantan dubes RI di
Kuba, dalam buku Menteng 31 menulis, ”Tanggal 14 Agustus 1945 pukul 15.00
beberapa pemuda radikal berkumpul di sebuah pekarangan yang banyak pohon
pisangnya, tidak jauh dari lapangan terbang Kemayoran. Mereka adalah Chaerul Saleh,
Asmara Hadi, AM Hanafi, Sudiro, dan SK Trimurti. Kami menantikan kedatangan Bung
Karno dan Bung Hatta dari Saigon. Kami pikir keduanya diiming-imingi Jepang dengan
janji kemerdekaan kelak di kemudian hari. Janji yang kami anggap menghina
bangsa Indonesia. Kami para pemuda tidak mau kemerdekaan hadiah.” Ketika Bung
Karno dan Bung Hatta hendak masuk mobilnya, Chaerul Saleh menghampiri mereka,
dan berkata, ”Proklamirkan kemerdekaan sekarang juga.” Bung Karno yang tidak
senang didesak mengatakan, ”Kita tidak bisa bicara soal itu di sini. Lihat itu,
Kempetai mengawasi kita.” Lalu ia masuk ke mobil di mana Hatta sudah berada di
dalamnya. [caption id="" align="alignleft" width="220" caption="foto : WIKANA-
upload.wikimedia.org"]

foto : WIKANA- upload.wikimedia.org


[/caption] Ketegangan antara Pemuda Indonesia dengan Bung Karno dan Bung Hatta
ini memang hanya disebabkan perbedaan persepsi anatar generasi,
para pemuda menginginkan sesuatu segera terwujud, sementara Bung Karno dan Bung
Hatta masih menginginkan meraih kemerdekaan dengan cara yang damai tanpa
pertumpahan darah, makanya ketika Wikana mengancam, ”Kalau Bung Karno tidak
mau mengumumkan proklamasi, esok akan terjadi pertumpahan darah di
Jakarta.” Bung Karno pun naik pitam, ”Ini batang leherku. Potonglah leherku malam
ini juga.” Wikana terkejut melihat kemarahan Bung Karno itu. Namun
para pemuda tidak terus putus asa, tetap berusaha untu memaksa Bung Karno dan
Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Ancaman
para pemuda rupanya bukan omong kosong. Pada 16 Agustus 1945 pukul 04.00,
setelah sahur, mereka menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok. Di
sini sekali lagi para pemuda di bawah pimpinan Sukarni gagal memaksa keduanya
untuk memproklamasikan kemerdekaan. ‘Perdebatan’ kelompok muda dan tua terjadi
kembali pada menit-menit menjelang proklamasi. Meski proklamasi diputuskan akan
dibacakan pukul 10.00 di kediaman Bung Karno, para pemuda tetap gelisah. Mereka
khawatir tentara Jepang akan menggagalkannya. Mereka mendesak Bung Karno
segera membacakannya tanpa menunggu Bung Hatta. ”Saya tidak akan
membacakan teksproklamasi kalau Bung Hatta tidak ada. Jika Mas Muwardi tidak
mau menunggu, silakan baca sendiri,” kata Bung Karno dengan lantang. Tak lama
kemudian terdengar teriakan, ”Bung Hatta datang… Bung Hatta datang….” Tepat
pukul 10.00 tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan RI pun diproklamasikan. Jadi
sangat jelas peran pemudaIndonesia saat itu demi untuk kemerdekaan Indonesia,
andil pemudaindonesia cukup besar dalam detik-detik
menjelang kemerdekaanRepublik Indonesia, namun peran pemuda ini hanya ada
tercatat dalam sejarah, nama-nama mereka jarang sekali disebutkan pada setaiap
acara-acara proklamsi kemerdekaan. Setelah kemerdekaanjuga
peranan pemuda dalam membawa perubahan bangsa sangatlah menonjol, saat Bung
Karno turun juga, pemuda cukup berperan dalam memberikan tekanan-tekanan, begitu
juga ketika pemerintahan Orde Baru Lengser. Jadi kalau Bung Karno pernah
mengatakan Beriakan aku pemuda, maka aku akan mengguncangkan Dunia. Jadi
begitu bangganya Bung Karno pada pemuda Indonesia.
Akankah PemudaIndonesia terus membuat sejarah ? Pastinya akan terus,
karena pemuda itu sangat identik dengan semangat perubahan. SALAM MERDEKA….
Tulisan ini sengaja saya tuliskan untuk mengenang kembali berbagai peristiwa
menjelang Proklamasi KemerdekaanIndonesia. Tulisan ini saya kutip dari berbagai
sumber, baik dari buku, media on line juga dari blog pribadi saya. Semoga saja tulisan
ini bisa menggugah semangat kaum muda, betapa pentingnya peranan kaum muda
terhadap sebuah perubahan sebuah bangsa.

Anda mungkin juga menyukai